bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demokratisasi penyiaran merupakan bagian penting dalam menjalankan
keadilan informasi publik. Ruang-ruang diskusi publik yang semakin sesak dengan
dominasi TV-TV Swasta nasional. Tayangan program televisi swasta yang justru
memberikan informasi-informasi Jakarta sentris, sedangkan tidak semua wilayah di
Indonesia memerlukan informasi sepenuhnya tentang Jakarta. Kemudian program
tayangan yang berbau komedi slapstick, hiburan yang tidak mendidik. Tidak hanya
itu, hiburan-hiburan semu seperti gosip, kasus politik yang bombastis, dan berita
terhangat pun dikemas sedemikian rupa agar lebih menarik ditonton. Televisi
sebagai tontonan publik yang seharusnya memberikan informasi yang netral,
mengedukasi, dan berkualitas. Justru sebaliknya, dimana setiap saluran televisi
bersaing untuk meningkatkan rating televisi.
Persaingan antar televisi dalam meningkatkan rating tentu akan merugikan
publik sebagai khalayak. Mau tidak mau publik harus menonton tayangan program
disiarkan televisi. Publik hanya dianggap sebagai konsumen pasif yang hanya
menerima program-program yang siap dipancarkan melalui stasiun relai di wilayah
masing-masing. Tidak hanya itu, pemerintah dalam hal ini Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) belum memberikan peran yang signifikan dalam melakukan
pengawasan serta mengontrol kualitas tayangan program yang sampai kepada
publik. Banyaknya keluhan dan keresahan publik dalam menonton program-
program di televisi, tidak secara langsung mendapatkan respon dari KPI.
Sebaliknya, KPI menyusun aturan pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3SPS) yang semakin sulit dan berbelit kepada produsen
tayangan program. Seharusnya produsen program dalam hal ini TV Swasta
mendapatkan edukasi yang baik dari KPI, namun justru semakin mendikte dan
menekan para pelaku media penyiaran. Di sisi lain, pelaku TV Swasta semakin
2
enggan dan acuh terhadap peraturan maupun kode etik yang diberlakukan oleh KPI.
Hal ini seperti lingkaran setan bagi pemerintah, publik, ataupun TV Swasta.
Penyebabnya belum menemukan titik terang dalam mewujudkan demokrasi
penyiaran yang ideal di Indonesia.
Berbeda halnya dengan Televisi Komunitas dimana kendala semacam itu
tidak lagi berlaku.TV Komunitas memiliki standar yang berbeda dengan TV
Swasta. Lembaga Penyiaran Komunitas ini bersifat non-profit dan hanya
berproduksi untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Batasan yang dimiliki TV
Komunitas inilah yang menjadi ciri utamanya. Namun karena keterbatasan sumber
daya serta tidak diperbolehkannya mencari keuntungan justru membuat TV
Komunitas tidak dapat bertahan lama. Sejauh yang peneliti ketahui, saat ini hanya
terdapat satu TV Komunitas yang mampu bertahan yakni GrabagTV. Sejak
kelahirannya pada tahun 2004 hingga kini, telah mengalami berbagai hambatan
dalam menjalani aktivitasnya sebagai TV Komunitas.
GrabagTV sebagai salah satu Televisi Komunitas berbasis warga dan
memiliki ciri khas dalam menyiarkan tayangan programnya. Stasiun televisi ini
berada di tengah-tengah pedesaan Grabag, serta menyajikan tayangan program
yang dekat dengan warganya. GrabagTV menayangkan berita lokal, hiburan-
hiburan desa, ataupun penyuluhan untuk pertanian setempat. TV Komunitas ini
tepatnya berada di Dusun Ponggol, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang Jawa
Tengah. Lokasi GrabagTV ini terbilang cukup unik karena wilayahnya seperti
cekungan dan berada di dataran tinggi. tidak banyak sinyal stasiun televisi yang
dipancarkan dari relai-relai terdekat sampai ke wilayah ini. Tidak ada sama sekali
siaran televisi yang sanggup ditangkap oleh antenna analog rumah membuat
wilayah Grabag disebut wilayah blankspot. Sekitar tahun 1995, Kantor Kecamatan
Grabag untuk mendirikan pemancar sederhana. Semenjak itulah warga Grabag
mulai dapat menikmati siaran televisi, meski hanya satu saluran televisi saja.
Berdasarkan kondisi tersebut GrabagTV hadir sebagai televisi yang
menyajikan kelokalan sekaligus melakukan literasi media. Menyajikan kelokalan
yang dimaksud ialah tayangan program dengan mengangkat informasi yang berada
3
di wilayah Grabag sendiri. Kemudian GrabagTV memberikan literasi media
melalui keterlibatan warga Grabag dalam memproduksi program sendiri. Dalam
waktu yang bersamaan warga turut menonton, memproduksi, sekaligus
mengevaluasi program yang mereka produksi sendiri. Hasil produksi yang
dihasilkan oleh warga Grabag bersama GrabagTV kemudian disiarkan melalui
pemancar di Kantor Kecamatan Grabag. Jam tayang yang disiarkan bergantian
dengan TVRI atau RCTI, dengan mengambil waktu relai empat jam per harinya
GrabagTV turut menyiarkan program tayangannya. Program-program yang
ditayangkan pun sederhana, seperti kegiatan yang dilakukan pada tingkat
Kecamatan atau hiburan rakyat yang diadakan setiap dusun di wilayah Grabag.
Konten program GrabagTV yang lebih ndeso dan lokal ternyata lebih disukai
oleh warga Grabag dibandingkan dengan siaran RCTI ataupun TVRI. Bahasa yang
lebih mudah dipahami serta berita sekitaran Grabag yang memang lebih dibutuhkan
oleh warga. Jika dibandingkan dengan diskusi politik, berita korupsi di regional
Jakarta, ataupun sinetro ala Jakarta yang lebih banyak ditayangkan oleh TV Swasta
Nasional di luar Grabag sana. Seperti pada tahun 2007, TV Komunitas ini
menyiarkan langsung proses Pilkades atau Pemilihan Kepala Desa di Grabag. Dari
awal hingga akhir GrabagTV menayangkan peristiwa pemilihan yang berlangsung
lima tahun sekali ini. Penayangan siaran ini merupakan informasi yang sangat layak
untuk didengar, baik oleh warga Grabag sebagai pemilik suara maupun pejabat
tinggi Pemerintahan Desa.
Dalam penayangan siaran Pilkades tersebut juga melibatkan aktif beberapa
warga Grabag yang memiliki keterampilan dalam bidang penyiaran. Hal tersebut
berpengaruh pada keterbukaan pemerintah untuk mau diliput oleh warganya sendiri
sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab bagi jajaran Pemerintah Desa Grabag.
Melalui fenomena tersebut menjadi salah satu landasan TV komunitas GrabagTV
dalam memberikan warna sebagai solusi penyiaran di tanah air. Respon yang
diperoleh GrabagTV ssendiri sangat baik di kalangan warga Grabag.
Pemancar yang digunakan GrabagTV menggunakan saluran VHF5 dan pada
tahun 2009 berganti menjadi VHF7. Secara bergilir GrabagTV melakukan siaran
4
secar analog dengan saluran televisi swasta nasional. Berlandaskan pada Undang-
Undang No.32 Tahun 2002 yang mengakui keberadaan Lembaga Penyiaran
Komunitas, baik Televisi maupun Radio. GrabagTV terus berupaya mengadvokasi
dalam memeroleh alokasi frekuensi tetap1. Ketentuan teknis yang telah diatur lebih
rinci dalam Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2005 justru mempersulit
keberadaan Televisi Komunitas GrabagTV.
Seperti pada pasal 5 ayat 1 “Radius siaran LPK di batasi maksimum 2,5
kilometer dari lokasi pemancar atau dengan ERP (effective radiated power)
maksimum lima puluh watt”. Regulasi tersebut hanya membatasi wilayah
jangkauan siaran tanpa mempertimbangkan kondisi geografis dan kepadatan
penduduk di daratan Indonesia yang berbeda-beda. Luas wilayah Kecamatan
Grabag lebih dari 2,5 kilometer dan jarak antar rumah tidak terlalu dekat.
Persyaratan ini dianggap kurang relevan bagi TV Komunitas yang berada di
wilayah pedesaan seperti GrabagTV. Berbeda dengan wilayah perkotaan dimana
jarak antar rumah berhimpitan dan lebih padat. Meski begitu GrabagTV tetap
melakukan siaran secara rutin melalui pemancar rakitan dengan daya lima puluh
watt yang hanya menjangkau radius tujuh kilometer saja2.
Upaya advokasi dalam mengajukan perijinan telah dilakukan oleh pihak
GrabagTV kepada KPID Jawa Tengah. Namun tidak pernah berhasil dan tak
kunjung mendapat pencerahan dalam membentuk ruang gerak dinamis bagi
GrabagTV. Di tengah perjuangan GrabagTV agar memeroleh izin siaran analog,
kini banyak warga Grabag yang menggunakan Televisi Berlangganan. Televisi
berlangganan telah menawarkan siaran televisi lebih banyak jika dibandingkan
dengan antenna VHF sehingga GrabagTV semakin kehilangan audiensnya.
Ketika GrabagTV dan TV Komunitas lain tengah mengalami rumitnya
perizinan siaran analog di KPID Jateng. Pada waktu yang bersamaan pula Kominfo
1Saat ini UU Penyiaran sedang mengalami revisi dan akan selesai pada tahun 2015 ini http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32633-menkominfo-yakin-undang-undang-penyiaran-akan-selesai-dibahas-tahun-2015 2 Budhi Hermanto, Televisi Komunitas: sebuah media alterative, www.kabarindonesia.com, 2008
5
mewacanakan Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan
Tetap Tidak Berbayar (Free to Air). Kemudian disahkan oleh Menkominfo melalui
Permenkominfo RI No.32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi
Secara Digital dan Penyiaran Multipleksing melalui Sistem Terestrial3. Siaran
analog yang ada selama ini akan dialihkan menuju digital sehingga memungkinkan
sistem multipleksing. Melalui sistem multipleksing, satu kanal frekuensi analog
dapat digunakan enam hingga dua belas kanal frekuensi digital.
GrabagTV sebagai TV Komunitas yang ingin tetap bertahan melihat
peralihan penyiaran digital ini sebagai peluang. TV Komunitas ini menyadari
bahwa ia berada pada posisi tawar yang rendah di hadapan KPID dalam memeroleh
frekuensi analog. Jika GrabagTV terus memaksakan untuk mendapatkan izin siaran
terestrial maka hanya akan membuang waktu. Peralihan penyiaran digital ini
dimanfaatkan GrabagTV untuk tidak lagi memanfaatkan siaran analog. Namun
mencoba untuk menggunakan media alternatif yang dapat mendekati siaran digital.
dengan melakukan transformasi menjadi TV Internet dengan situs
www.grabagtv.com.
Meskipun Permenkominfo tentang penyiaran digital telah keluar sejak tahun
2013, namun hingga kini penggantian televisi analog menjadi digital masih belum
berjalan sepenuhnya. Bahkan bisa dikatakan mengalami kesulitan karena
memerlukan persiapan yang matang dan komprehensif dari pihak Kominfo. Media
alternatif yang digunakan GrabagTV ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan
wacana penyiaran digital yang akan dilakukan Kominfo pada seluruh penyiaran di
Indonesia.
Televisi Internet memang berbeda dengan Televisi Digital. Akan tetapi media
ini dapat menjadi solusi sementara karena sulitnya bersiaran secara terestrial. Sejak
Desember 2014, GrabagTV telah beralih menjadi Televisi Komunitas berbasis
Internet. Peralihan dari siaran Terestrial menjadi TV Internet ini baru pertama kali
3Kominfo,Siaran Pers tentang Peraturan Menteri mengenai TV Digital, http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3733/Siaran+Pers+Tentang+Peraturan+Menteri+Mengenai+TV+Digital/0/siaran_pers#.VS9uEPmUc1M, diakses pada 18 April 2015
6
dilakukan oleh sebuah TV Komunitas. Jika bersiar melalui internet, apakah
GrabagTV ini bisa disebut sebagai Televisi Komunitas? Berbeda dengan penyiaran
digital dan analog yang diakui dalam UU sesuai dengan PP 51/2005 Pasal 2 ayat 1,
berbunyi :
Lembaga Penyiaran Komunitas menyelenggarakan penyiaran melalui sistem
terestrial yang meliputi :
a. Penyiaran radio AM/MW secara analog atau digital;
b. Penyiaran radio FM secara analog atau digital;
c. Penyiaran televisi secara analog atau digital.
TV Internet tidak termasuk kedalam kategori-kategori tersebut, baik analog
maupun digital. Akan tetapi Televisi Komunitas itu sendiri berada di bawah payung
hukum UU 32/2002 tentang Penyiaran, Pasal 13 ayat 2, berbunyi :
Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh:
a. Lembaga Penyiaran Publik;
b. Lembaga Penyiaran Swasta;
c. Lembaga Penyiaran Komunitas; dan
d. Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Selanjutnya diatur lebih rinci melalui Peraturan Pemerintah No.51 Tahun
2005 tentang Penyelenggara Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. Dalam PP
ini diatur lebih dalam mengenai perizinan, jangkauan siar, permodalan, hingga
sanksi. Persis sebelum disahkannya PP tersebu, pada tahun yang sama GrabagTV
mengajukan izin ke KPID Jawa Tengah. Namun ditolak karena belum ada regulasi
yang mengatur lebih rinci tentang LPK. Maka KPID Jawa Tengah hanya sebatas
mempersilahkan GrabagTV melakukan siaran selama tidak mengganggu kanal
frekuensi lainnya. Berdasarkan informasi dari Balai Monitoring II KPID Jateng,
GrabagTV daparbersiaran pada kanal VHF5.
Dengan memahami kondisi tersebut, apakah UU Penyiaran dan PP 51/2005
telah menjadi payung hukum yang ideal bagi Televisi Komunitas berbasis warga
7
ini? Atau justru masih memberikan pertanyaan kembali mengenai keberadaan TV
Komunitas? Melihat dinamika ini semakin memperlambat terwujudnya
demokratisasi penyiaran di Indonesia. Jika saja regulator penyiaran mau
memberikan wadah yang relevan bagi keberadaan TV Komunitas, maka bisa jadi
GrabagTV dan TV Komunitas yang lain tidak akan kesulitan untuk
mengembangkan diri.
Transformasi yang dilakukan GrabagTV merupakan upaya dalam
mempertahankan TV Komunitas di tengah-tengah dominasi televisi swasta
komersial. Selain itu, TV Internet ini dilakukan juga sebagai peluang dalam
memeroleh alokasi frekuensi digital. Sembari menunggu migrasi digital yang
tengah berlangsung di kota-kota besar, Televisi Komunitas ini masih berharap
untuk mendapatkan rumah bernaung agar tetap bersiaran dan menyajikan lokalitas
dan literasi media kepada warga Grabag. Lahirnya regulasi TV Digital ini juga
menjadi alasan utama GrabagTV untuk terus bersiaran meski masih melalui TV
Internet. Sembari menunggu UU Penyiaran yang masih direvisi oleh pemerintah4,
GrabagTV sedang mempersiapkan kapasitas menuju Televisi Digital. Media lokal
seperti TV Komunitas ini harus terus bertahan agar publik tidak serta merta
terdominasi siaran program dari TV Swasta yang bahkan tidak jarang tendesius
akan kepentingan kelompok politik tertentu.
Wacana pengadaan penyiaran digital yang dilakukan Kominfo masih belum
tuntas, telah muncul masalah baru. Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATJI)
mengajukan gugatan untuk membatalkan Permen TV Digital yang telah disusun
oleh Kominfo5. Selanjutnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyetujui
gugatan ATJI kepada Kominfo. Kabar terkini, Kominfo tengah mengajukan
banding di PTUN. Gugatan ini dilakukan karena ATJI mengaggap Kominfo belum
secara serius dalam mempersiapkan penyiaran digital. Banyaknya stasiun televisi
4Kominfo. http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4632/Menkominfo%3A+Revisi+UU+Penyiaran +Selesai+Tahun+2015/0/berita_satker#.VTHmfvmUc1M diakses pada 19 April 2015 5 Lihat laman http://www.beritasatu.com/nasional/258440-terkait-pembatalan-aturan-tv-digital-kominfo-tempuh-upaya-banding.html diakses pada 19 April 2015
8
yang masih bergantung pada siaran analog tentunya memerlukan persiapan yang
panjang dan matang untuk bisa beralih menjadi televisi digital.
Regulasi penyiaran digital yang masih diperbincangkan pada jajaran
pemerintahan pusat masih belum memberikan pengaruh pada penyiaran di tingkat
lokal. Tetap saja penyiaran lokal seperti TV Komunitas berjalan seperti biasa. Toh
sejak dahulu kebijakan-kebijakan yang ada di Jakarta belum memberikan dampak
yang signifikan pada wilayah pedesaan, seperti Grabag contohnya. Namun bukan
tidak mungkin jika GrabagTV dapat membaca peluang maka akan memeroleh
kesempatan dapat bersiaran secara digital.
Melalui penelitian ini, penulis berupaya untuk membahas lebih dalam
mengenai dinamika yang terjadi pada GrabagTV sebagai TV Komunitas yang terus
bertahan. Serta berbagai strategi yang dilakukan GrabagTV agar tidak tenggelam
di tengah persaingan televisi-televisi nasional yang semakin kuat. Memahami lebih
dalam mengenai perpindahan yang dilakukan GrabagTV dari siaran Terestrial
menuju TV Internet. Tidak hanya secara harfiah namun juga berdasarkan konteks
yang dialami GrabagTV yang semakin teralienasi dalam mewujudkan
demokratisasi penyiaran di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan sebelumnya maka rumusan
masalah yang relevan dengan penelitian ini ialah :
“Bagaimana dinamika yang terjadi pada GrabagTV sebagai TV komunitas
yang melakukan transformasi dari siaran terestrial menuju TV internet?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai dinamika transformasi GrabagTV ini dilakukan
bertujuan:
1. Untuk mengetahui latar belakang dan upaya GrabagTV untuk bertahan
sebagai TV komunitas
2. Untuk mengetahui proses transformasi Siaran Terestrial menuju TV
internet pada GrabagTV
9
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Akademis
1. Agar dapat menjadi rujukan bagi peneliti media maupun mahasiswa
komunikasi mengenai perkembangan TV komunitas di Indonesia
2. Menjadi rujukan bagi regulator (KPID, KPI Pusat, Menkominfo RI) dalam
menentukan arah kebijakan yang seadil-adilnya dalam menangani urusan
Lembaga Penyiaran Komunitas di Indonesia
Manfaat Praktis
1. Untuk mengetahui kondisi keadaan TV komunitas kini sekaligus upaya
masyarakat dalam mempertahankannya
2. Mencari tahu lebih dalam mengenai keberadaan GrabagTV
E. Kerangka Pemikiran
1. Lembaga Penyiaran Komunitas
Dalam konteks demokratisasi, globalisasi media dan homogenisasi
isi media ini dipandang bisa berakibat melenyapkan pluralitas atau
keberagaman yang dibutuhkan bagi tumbuhnya wacana-wacana
alternatif dalam ruang media. Karena itu, perkembangan media
alternatif menjadi logis dan penting dalam rangka memberikan
ruang bagi suara-suara alternatif yang tidak memiliki tempat di
media umum atau arus-utama (mainstream media) yang sebagian
besar dikuasai oleh korporasi media besar tadi6.
Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK) dapat menjadi salah satu media
alternatif dalam mengatasi dominasi informasi media mainstream. LPK justru
memberikan ruang gerak bagi publik yang tidak memiliki kekuatan (powerless)
seperti warga pedesaan atau di wilayah pedalaman. TV Komunitas menjadi
6 Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji
Media dan Budaya dalam Dinamika Globalisasi, Jakarta: Obor, 2014, hlm.194
10
perpanjangan aspirasi masyarakat sebagai komunitas yang ingin bergerak ke arah
yang lebih dinamis (voice the voiceless). Seperti yang tertuang dalam konstitusi
bahwa “LPK merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum
Indonesia, didirikan oleh komunitas tertentu, bersifat independen, dan tidak
komersial, dengan daya pancar rendah, luas jangkauan wilayah terbatas, serta untuk
melayani kepentingan komunitasnya.” Dalam hal ini tertera jelas bahwa LPK diakui
dan sah dalam penyiaran di Indonesia dengan mengikuti aturan yang berlaku.
Berbeda halnya dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) yang dapat
menjangkau secara nasional maupun lokal. Jika LPS dapat bersiaran nasional, maka
LPK hanya bisa bersiaran lokal. Keberadaan LPK memang bagi komunitas tertentu.
Dimana setiap komunitas memiliki kebutuhan informasi yang berbeda-beda.
Menurut Masduki, secara konseptual belum ada rumusan batasan komunitas yang
cukup komprehensif sehingga hanya dapat diklasifikan kedalam beberapa kategori.
Batasan-batasan komunitas tersebutbisa meliputi7:
Administrasi (wilayah pemerintahan)
Geografis (wilayah desa, kota, pantai, dan segalanya)
Demografis (karakteristik penduduk)
Psikografis (preferensi kegemaran, gaya hidup)
Sosio-ekonomis (level pendidikan&pendapatan)
Teknologis (batasan frekuensi, standar teknis)
Programatis (isi, orientasi, dan cara kerja)
SDM (partisipasi, keterwakilan semua pihak)
Dalam komunitas, partisipasi anggotanya menjadi kekuatan utama. Pada
umumnya sistem kerja suatu komunitas berbasis sukarela (volunteerism). Sistem
kerja tersebut memiliki kelebihan jika semakin tinggi tingkat pengabdiannya pada
suatu komunitas maka semakin produktif pula komunitas tersebut. Sebaliknya, jika
sedikit saja bahkan hampir tidak ada yang menghidupi komunitas tersebut, maka
7 Nazaruddin, et al., Televisi Komunitas: Pemberdayaan dan Media Literasi, Yogyakarta:
Combine Research Institute, dkk, 2009., hlm.36.
11
produktivitasnya cenderung menurun bahkan tidak dipungkiri akan mati. Dalam
dinamika berkomunitas, naik turunnya tingkat produktivitas suatu komunitas telah
menjadi ciri khas dari komunitas itu sendiri. Suatu komunitas harus dapat menjalani
hambatannya agar dapat terus bertahan.
Dalam dunia penyiaran, umumnya LPK melingkupi batasan geografis.
Batasan wilayah yang mencakup sekelompok warga dengan memiliki kebutuhan
yang hampir sama. Di Indonesia, penyiaran komunitas lebih banyak terdapat di
wilayah-wilayah pedesaan ataupun wilayah rawan bencana. Seperti radio
komunitas atau rakom sehingga cakupannya terbatas pada pendengar di sekitar
wilayah tersebut saja. Jangkauan siarannya juga terbatas dan tidak boleh melebihi
aturan yang diberlakukan. Televisi Komunitas juga pada umumnya melingkupi
batasan geografis. Namun masih jarang TV Komunitas yang bertahan lama,
kalaupun ada yang bertahan jumlahnya sangat sedikit. Hal ini dikarenakan biaya
produksi yang dikeluarkan TV Komunitas jauh lebih besar dibandingkan dengan
rakom. Alat yang diperlukan untuk menjalankan radio komuunitaspun lebih
sederhana dibanding televisi. Dalam siaran televisi harus memiliki pemancar, ruang
audio khusus, kamera, dan banyak lainnya agar dapat menyajikan visual yang baik.
Seluruh aturan mengenai pengadaan LPK diatur dalam UU Penyiaran No 32
Tahun 2012. Pada UU Penyiaran ini membatasi komunitas yang harus bersifat
nonpartisan pada status organisasinya, yakni :
Tidak mewakili organisasi atau lembaga asing serta bukan komunitas
internasional;
Tidak terkait dengan organisasi terlarang; dan
Tidak untuk kepentingan propaganda bagi kelompok atau golongan tertentu.
UU Penyiaran tahun 2002 ini merupakan hasil revisi dari UU Penyiaran tahun
1997. Kemudian baru pada tahun 2002, UU Penyiaran mulai menyebutkan istilah
Lembaga Penyiaran Komunitas ke dalam konstitusi. Meski begitu, batasan dan
definisi mengenai arah gerak komunitas juga belum dipaparkan lebih detail dalam
12
regulasi ini. Hal ini berpengaruh pada ambangnya pemahaman konsep mengenai
media komunitas baik di masyarakat maupun kalangan regulatornya sendiri.
Peraturan mengenai penyiaran LPK pada UU Penyiaran, muncul pula aturan
mengenai penyiaran digital. Permenkominfo 32/2013 mengenai migrasi digital
telah disahkan, namun masih belum secara tegas dapat dilaksanakan. Pada
kenyataannya, sistem penyiaran analog masih dijalani oleh penyiaran di seluruh
Indonesia. Jika memang penyiaran digital akan berlangsung total, maka peluang
LPK untuk dapat bersiaran semakin kecil. Sesuai dengan Permenkominfo No 32
Tahun 2013, dalam penyiaran digital hanya disediakan kanal frekuensi digital untuk
LPP dan LPS saja. Untuk LPK harus ‘menempel’ atau bergabung dengan LPP
(TVRI) dalam menayangkan program siarannya. Sesuai dengan wilayah jangkauan
siaran LPK tersebut.
Wacana peralihan penyiaran digital atau migrasi digital dilegitimasi ke dalam
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No.22 Tahun 2011. Namun
penyelenggaran Permen tersebut belum bisa dilaksanakan oleh semua pelaku
penyiaran di Indonesia. KPI sendiri masih belum siap dalam melakukan
pengawasan bagi calon penyiaran digital. Dibawah pengesahan Tifatul Sembiring
(Menteri Komunikasi dan Informatika 2009-2014) secara serentak akan
melaksanakan switch-off pada 2018 mendatang. Kendati begitu, dengan adanya
salinan Permenkominfo No.32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Penyiaran
Televisi secara Digital dan Penyiaran Multipleksing melalui Sistem Terestrial
masih belum cukup kuat dalam melaksanakan Televisi Digital di Indonesia.
Saat ini masyarakat Indonesia lebih memerlukan tayangan program yang
berkualitas dan lebih edukatif. Bukan yang sekedar pindah sinyal digital saja.
Apalagi dalam melaksanakan televisi digital diperlukan perangkat tambahan bagi
tv analog, yakni set top box (STB). Alat untuk tv analog agar dapat memeroleh
sinyal digital. Negara dengan mayoritas pengguna antena penangkap sinyal analog
masih kesulitan dalam memeroleh STB. Kebutuhan akan televisi digitalpun belum
tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang telah menerapkan sistem
penyiaran digital seperti Inggris dan Jepang.
13
Upaya peralihan televisi digital yang sedang dilakukan Kominfo masih pada
tahap banding. Pasca pengabulan gugatan pembatalan Permen tentang penyiaran
digital oleh Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia Apalagi kanal frekuensi yang
bergerak bebas di udara ini terbatas dan merupakan sumber daya alam terbatas.
Sesuai dengan pasa 33 UUD 1945, bahwa sumber daya alam dilindungi oleh negara
dan tidak bisa hanya dikuasai oleh segelintir pihak saja.
Lembaga Penyiaran Komunitas mencakup televisi dan radio. Baik televisi
maupun radio memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Di Indonesia
lebih banyak terdapat radio komunitas dibandingkan dengan televisi komunitas.
Serta keberadaan rakom atau radi komunitas lebih populer jika dibandingkan
dengan televisi komunitas. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai televisi
komunitas dan radio komunitas.
a. Televisi Komunitas
Televisi Komunitas pertama di Indonesia sangat sulit untuk ditelusuri.
Namun pada tahun 1995, telah berdiri TV Komunitas berbasis kampus di Institut
Kesenian Jakarta. Pendiri TV Kampus tersebut merupakan Dekan Fakultas Film
dan Televisi, Ki Hartanto. Kemudian baru pada tahun 2004, muncul GrabagTV
sebagai TV Komunitas berbasis geografis pertama di Indonesia. Menurut Budhi
Hermanto dalam perkembangannya Televisi Komunitas dibagi menjadi dua jenis
menurut prosesnya (Hermanto, 2008), yakni:
TV Komunitas berbasis sekolah dan kampus (perguruan tinggi)
TV Komunitas yang tumbuh atas dasar inisiatif warga masyarakat itu sendiri
TV kampus atau sekolah memeroleh alokasi dana dari pemerintah.
Pengadaan TV Komunitas di sekolah dan kampus ditujukan untuk kegiatan
pembelajaran bagi muridnya. Pemancar dan frekuensi siaranpun disediakan dari
pusat. Namun karena konsep TV Komunitas belum ajeg dan tidak ada standar acuan
yang jelas. Menjadikan TV Komunitas berbasis sekolah kebingungan dalam
memproduksi konten program. Produksi siaran lebih fleksibel dan belum ada tata
cara yang jelas dari pusat mengenai ini. Para pelaku TV kampus dan sekolah, seperti
14
ISI TV Surakarta dan UPN TV dalam melakukan siaran setiap harinya untuk
memberikan edukasi dan literasi media.
TV Komunitas yang lahir di tengah-tengah masyarakat umumnya yang
lebih dikenal. Seperti PalmerahTV, BandorasaTV, MajenangTV, CenderawasihTV,
GrabagTV dan banyak lainnya. TV Komunitas ini hadir atas inisiatif warga akan
perlunya media informasi di wilayahnya. PalmerahTV misalnya, ia hadir di tengah
perkampungan Palmerah, Jakarta Barat. Pendirinya merupakan warga asli sana
dengan mengadakan peralatan seadanya untuk memproduksi siaran komunitas.
BandorasaTV yang baru lahir pada awal 2015 lalu juga lahir di tengah-tengah
masyarakat8. Keberadaan TV Komunitas ini menjadi sarana pendidikan literasi
media karena melibatkan warganya untuk meliput dan memproduksi siaran.
Pada umumnya di Indonesia hanya membagi TV Komunitas berdasarkan
siaran analognya. Berbeda dengan Australia yang juga memiliki TV Komunitas
berbasis internet, yakni Access31. TV Komunitas ini dapat diakses melalui website
Access31 dari Perth, Australia Barat9. Pembagian frekuensi penyiaran di Australia
lebih ketat dan jelas sehingga sulit bagi televisi komunitas untuk memeroleh alokasi
frekuensi. Pada wilayah internet, jangkauan penyiaran tidak dibatasi bahkan akses
lebih mudah dan fleksibel.
b. Radio Komunitas
Sejak awal penjajahan Belanda, radio telah hadir sebagai sarana komunikasi
antar pemerintah dalam menyampaikan informasi. Radio menjadi sumber informasi
utama bangsa Indonesia. Sebelum Indonesia merdeka, radio muncul sebagai
teknologi informasi ‘bawah tanah’ di kalangan pejuang kemerdekaan. Makna
rakom saat itu identik dengan istilah media radikal karena bersifat melawan arus
utama (penjajahan asing) dan membentuk perubahan. Pada jaman perjuangan di
masa lampau kondisi demokrasi meupakan representasi yang sangat buruk. Rakyat
tidak dapat menyampaikan aspirasinya secara terbuka. Posisi media terutama
8 http://www.komunitaskreatif.org/news/read/70/bandorasa-kini-punya-televisi-desa 9 Ibid. hlm.83.
15
rakom menjadi sangat strategis dan lebih independen karena bersifat bawah tanah
dan tanpa izin penjajah masa itu. Rakom yang didirikan juga tidak tergantung
kepada kepentingan modal10.
Rakom yang ada sejak sebelum kemerdekaan pun berkembang menjadi lebih
demokratis. Menyajikan informasi seputar wilayah tertentu dan hanya didengar
oleh khalayak lokal. Rakom semakin bermunculan pasca reformasi sehingga
dibentuklah Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) pada tahun 2002. Dengan
diketuai Tunggal HS Rakom Suara Petani Klaten di Jakarta. Pendirian JRKI ini
ditujukan untuk mengawasi lahirnya UU Penyiaran tahun 2002 serta mengawal
kinerja regulator penyiaran komunitas. JRKI terlibat secara aktif dalam mengawali
proses demikrasi penyiaran di Indonesia. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja)
untuk mengakomodir implementasi konstitusi penyiaran. Dimulai dari pengawalan
proses advokasi RUU Penyiaran hingga implementasinya. Kemudian diumumkan
pada saat persiapan kongres JRKI11.
Berbeda dengan Televisi Komunitas, baik teknis dan sumber daya manusia,
pengadaan rakom cenderung lebih mudah. Penyajian audio tanpa visual menjadikan
radio lebih fleksibel untuk dilakukan. Biaya produksi juga lebih terjangkau.
Disamping itu, tidak memerlukan proses editing yang rumit seperti pada televisi
komunitas.
10 Bowo Usodo dkk, Radio Komunitas Indonesia: dari gagasan dan potret lapangan, Bandung: JRKI, 2008,hal.19. 11 Ibid.hlm.35.
16
2. Teknis Lembaga Penyiaran Komunitas
Pendirian Lembaga Penyiaran Komunitas didasarkan pada PP 51/2005
Lembaga Penyiaran Komunitas. LPK dalam hal ini TV Komunitas boleh didirikan
melalui persetujuan tertulis minimal 51 persen dari jumlah penduduk dewasa atau
minimal 250 orang dewasa. Perizinan tersebut dikuatkan dengan persetujuan
tertulis aparat pemerintah setingkat kepala desa/lurah setempat. Ketika izin telah
dipegang, TV Komunitas berhak untuk melakukan siaran pada radius maksimum
2,5 kilometer dari lokasi pemancar atau dengan Effective Radiated Power (ERP)
lima puluh watt. Daya jangkau siar yang sangat terbatas ini akan menyulitkan bagi
wilayah dengan kepadatan penduduk yang rendah.
Berdasarkan aturan menteri, standar siaran produksi untuk rakom minimal
lima jam tiap harinya sedangkan televisi komunitas minimal dua jam tidap harinya.
LPK juga tidak diperbolehkan mencari keuntungan dalam melakukan siaran.
Sifatnya yang non-komersial mengharuskan LPK mencari pemasukan diluar iklan.
Dana dapat diperoleh melalui sumbangan, hibah, sponsor dan sumber lain yang sah
dan tidak mengikat. Komunitas yang bersifat sukarela, menjadikan komitmen
sebagai modal utama dalam melakukan kegiatan dalam menyelenggarakan LPK.
Dengan asas sukarela tentu tidak semua komunitas berhasil mengikat
profesionalitasnya. Jika LPK tidak mampu melakukan siarannya secara rutin maka
akan mendapatkan peringatan dari KPID setempat. Selanjutnya akan berakhir
dengan pencabutan izin siaran. Hal ini tentu saja sangat memberatkan LPK yang
memiliki permodalan jauh berbeda dibandingkan dengan LPS yang memang
ditujukan untuk komersial dan rating.
Pada proses digital nanti LPK akan berdampingan dengan LPP Lokal. Sesuai
PP 32/2013 pasal 4 ayat 1, “LPP Lokal dan LPK dalam menyelenggarakan
penyiaran televisi secara digital harus bekerjasama dengan LPP TVRI yang
menyelenggarakan Penyiaran Multipleksing melalui Sistem Terestrial”. Dengan
sistem Pemancara Televisi Siaran Digital Terestrial Standar DVB-T2 (Digital
Video Broadcasting Terestrial- Second Generation) yakni alat dan perangkat
pemamcar televisi siaran secara terestrial yang menggunakan modulasi digital
17
untuk memancarkan sinyal video, audio, dan data digital dengan menggunakan
standar DVB-T/T2.
Gambar 1. Penyiaran Televisi Digital
Sumber : Makalah SMKN 3 Batu
Pengadaan Set top box diwacanakan oleh Pemerintah untuk diberikan secara
gratis12. Tetapi belum sampai pada Set Tob Box, regulasi terkait Televisi Digital
terancam batal. Pembatalan ini diajukan oleh ATJI kepada Kominfo karena
dianggap tidak serius dan ketidaksiapan dalam menghadapi Telvisi Digital. Hingga
kini pun masih belum ada hasil akhir dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mengurus kasus ini.
12 Lihat laman http://industri.kontan.co.id/news/masyarakat-bakal-menerima-set-top-box-gratis diakses pada 19 April 2015
18
3. Regulasi Penyiaran
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merupakan pengawas dan pengontrol
berjalannya media penyiaran di Indonesia. Lembaga negara yang bersifat
independen dan memiliki wewenang dalam menetapkan program siaran,
mengawasi berlangsungnya praktik penyiaran serta memberikan sanksi pada
pelanggaran peraturan dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (P3SPS). Lembaga independen yang seharusnya bertanggungjawab
langsung kepada Presiden ini ternyat masih harus berbagi tugas dengan Kominfo,
terkait perizinan siaran kepada calon-calon stasiun televise di Indonesia. Hal ini
menjadikan posisi KPI tidak lagi independen, apalagi persoalan perizinan serta
wewenang lainnya yang justru diambil alih oleh Kominfo.
Hal inilah yang memberikan kesan dualisme dalam institusi KPI ini. Disatu
sisi memiliki wewenang, namun di sisi lain masih harus berdampingan dengan
Kominfo. Disamping itu, KPI yang disahkan langsung oleh Presiden masih belum
disepakati bersama terkait wewenang dan fungsinya dalam melakukan pengawasan
demokratisasi penyiaran di Indonesia. Hal ini terbukti dari banyaknya pihak yang
meminta pengujian ulang atas kelayakan KPI sebagai pengawas penyiaran
Indonesia. Seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran
Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI), Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara
Indonesia (Persusi), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve) diwakili oleh
Todung Mulya Lubis untuk mengajukan judicial review UU Penyiaran terkait
wewenang dan fungsi KPI13. Keberadaan KPI ditakutkan akan menjadi
perpanjangan tangan Departemen Penerangan –jejak Orde Baru- jika tidak segera
diuji ulang terkait upaya demokratisasi penyiaran.
13 Muhammad Mufid, Komunikasi dan Regulasi Penyiaran, Jakarta: Kencana, 2005, hlm.169.
19
Bahkan keberadaan UU Penyiaran 2002 dianggap mengkerdilkan peran dan
posisi KPI. Regulasi ini belum sepenuhnya memberi kewenangan utuh kepada KPI
dalam mengakomodasi kepentingan publik14, seperti :
KPI tidak dijadikan independence regulatory body dengan kewenangan
penuh untuk mengatur dunia penyiaran, melainkan berbagi kewenangan
dengan pemerintah.
Penyiaran publik hanya monopoli badan hukum negara (TVRI dan RRI).
Pemusatan pemilikan dan pemilikan silang tidak dilarang, atau paling tidak
diatur dengan jelas. Pengaturan oleh KPI dalam hal ini tidak menjadikannya
nilai-nilai publik terakomodasi karena format KPI itu sendiri.
Banyak hal yang bisa dikenai sanksi yang terlalu luas dan berat.
Dualisme dalam institusi KPI ini sangat mengkhawatirkan sekaligus
memprihatinkan. Dimana pemerintah turut mensahkan berdirinya KPI namun tidak
beriringan dalam melakukan pendewasaan arah gerak KPI itu sendiri (Armando,
2011). Hal ini berdampak pada kinerja KPI yang cenderung ambang dan tidak jelas
kemana akan melakukan wewenang dan fungsinya dalam memberlangsukan
demokratisasi penyiaran.
Pemerintah sebagai regulator dan pembuat regulasi, sedangkan KPI dan
Kominfo bertugas untuk mengawasi berlangsung regulasi tersebut15. Idealnya,
kedua lembaga tersebut berjalan beriringan dan bekerjasama dalam mengusung
demokratisasi penyiaran. Akan tetapi kepentingan antar lembaga menjadi begitu
dominan. Hubungan antara KPI dan Kominfo yang tidak seimbang ini akan
berpengaruh pada kinerja pengawasan penyiaran di Indonesia. Kedua institusi
tersebut masih belum selesai dalam menyamakan visi agar dapat bekerjasama.
Padahal permasalahan penyiaran di berbagai wilayah di Indonesia semakin penting
14 Ibid.hlm.163 15 KPI Pusat, Kedaulatan Frekuensi: Regulasi Penyiaran, Peran KPI, dan Konvergensi Media, Jakarta: PT Kompas, 2013,hlm.179.
20
dan mendesak untuk segera diselesaikan. Salah satunya tentang dinamika Televisi
Komunitas ini.
4. Televisi Internet: Difusi Inovasi Televisi Komunitas
Problematika penyiaran yang hadir di Indonesia disebabkan karena industri
media yang menganggap publik hanya sebagai konsumen. Indonesia sebagai negara
demokrasi sudah seharusnya memberi ruang publik yang luas kepada publiknya.
Jika stasiun-stasiun tv swasta terus menyajikan tayangan program untuk
meningkatkan rating, maka ini akan membahayakan demokrasi penyiaran di
Indonesia. Industri media yang terus berkembang akan menjadi sebuah tren dan
terus berkembang secara global. Dalam demokrasi, globalisasi media dan
homogenisasi isi media ini dipandang bisa berakibat melenyapkan pluralitas atau
keberagaman yang dibutuhkan bagi tumbuhnya wacana-wacana alternatif dalam
ruang media16. Sesaknya ruang gerak publik yang terus didominasi oleh TV-TV
nasional berakibat pada pemaksaan budaya dan kebutuhan informasi yang terus-
menerus disajikan oleh stasiun televisi.
Sesaknya ruang publik pada ranah televisi swasta memaksa publik untuk
mencari media alternatif lain. Media alternatif yang mampu memberikan ruang
gerak bagi publik tanpa adanya intervensi kepentingan dari kelompok tertentu. Hal
ini menjadikan media-media alternatif sebagai bentuk ide baru atau inovasi yang
ingin dikembangkan oleh individu atau kelompok yang sadar akan pentingnya
literasi media.
Tabel 1. Kesamaan Model Komunikasi Elemen – elemen Difusi Inovasi dan S-M-
C-R-E
Elemen-elemen pada
model S-M-C-R-E
Menyesuaikan dengan elemen-elemen Difusi
Inovasi
Source (komunikator) Penemu (Inventors), Ilmuwan (scientist), Agen
Perubahan (change agents), atau Pemimpin Opini
(opinion leaders)
16 Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, Op.cit., hlm.194
21
Message (pesan) Inovasi (Sifat yang dirasakan, seperti keuntungan
relasi, kesesuaian, dll)
Channel (media) Saluran komunikasi
Komunikasi Antar Pribadi
Saluran Media Massa
Forum Media (Diskusi Kelompok dalam Sistem
Sosial)
Receiver (komunikan) Anggota sistem sosial
Effects (efek) Konsekuensi akhir
1. Pengetahuan
2. Perubahan sikap (persuasi)
3.Perubahan perilaku (pengadopsian atau penolakan)
Sumber: Everet M.Rogers. Communication of Innovations. 1971. Hlm.20
Difusi atau persebaran yang diciptakan dari inovasi akan memeroleh dua
kemungkinan, yakni dapat diterima atau mengalami penolakan oleh masyarakat.
Dinamika proses difusi inovasi ini sejalan dengan karakteristik proses komunikasi
seperti pada model S-M-C-R-E, elemen-elemen komunikasi menyerupai elemen-
elemen Difusi Inovasi17. Proses difusi suatu inovasi juga merupakan proses
komunikasi yang terjadi pada masyarakat tersebut. Inovasi yang terjadi bertujuan
untuk memberikan ide baru dengan mengubah suatu sistem sosial tanpa melakukan
perusakan.
Terdapat empat elemen yang terdapat dalam Difusi Inovasi18. Pertama,
inovator atau penggagas inovasi yang membawa solusi atas permasalahan yang
muncul di tengah-tengah sistem sosial. Inovator ini akan umumnya akan lebih
mudah diterima jika termasuk dalam anggota sistem sosial. Sebagai contoh jika
inovator dalam wilayah pedesaan, maka tokoh masyarakat atau ketua RT/RW yang
menjadi inovatornya. Keberadaan mereka akan jauh lebih diterima dan dipercaya
17 Everet M. Rogers, Communication of Inoovation, New York: The Free Press, 1971, hlm. 20. 18 Ibid, 18-38.
22
oleh masyarakat. Akan lebih sulit jika inovator berasal dari luar masyarakat atau
sistem sosial. Ide baru atau inovasi akan lebih lama untuk diterima oleh masyarakat
karena harus memberikan rasa percaya dan aman bagi masyarakat atau sistem sosial
sebagai calon pengadopsi inovasi.
Kedua, inovasi yakni munculnya sebuah ide, praktek atau objek yang
dirasakan kebaruannya oleh individu. Inovasi untuk memunculkan peluang dalam
memperbaiki sebuah permasalahan pada sistem sosial tersebut. Inovasi yang
ditawarkan kepada sistem sosial harus relevan dan mudah untuk dilakukan. Untuk
memahami tingkat relevan dan kemudahannya, inovasi memiliki lima karakteristik
yang memengaruhi tingkat adopsinya19, yakni :
Manfaat relatif, sejauh mana inovasi dipandang lebih baik daripada gagasan
yang telah ada sebelumnya.
Kesesuaian inovasi berdasarkan nilai-nilai yang ada, sesuai dengan histori
yang ada dalam sistem sosial dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pengadopsi yang berpotensial.
Inovasi yang ditawarkan tidak membuat sistem sosial sebagai calon
pengadopsi kesulitan dalam melakukannya.
Inovasi memiliki kemampuan untuk dicoba meski pada kondisi-kondisi
yang serba terbatas sehingga calon pengadopsi tidak memerlukan banyak
perlengkapan untuk melaksanakannya.
Inovasi yang telah berhasil dilakukan dapat dilihat oleh sistem sosial lainnya
sehingga menjadi apresiasi atau karya bagi calon pengadopsi.
Inovasi yang mampu memenuhi kelima karakteristik tersebut dapat lebih
mudah diterima oleh sistem sosial. Tingkat adopsi sebuah inovasi akan lebih tinggi
jika mampu memenuhi seluruh karakteristik tersebut. Semakin mudah inovasi
dilakukan oleh masyarakat awam, semakin tinggi potensi adopsinya. Sebaliknya,
semakin rumit inovasi maka semakin rendah keinginan masyarakat untuk
19 Ibid.hlm. 248
23
mengadopsi inovasi yang ditawarkan. Keputusan yang diambil individu atau
masyarakat untuk mengadopsi atau menolak inovasi menjadi pertimbangan penting
dalam difusi inovasi.
Kemudian yang ketiga yakni saluran komunikasi (Communication channel).
Dalam menyampaikan inovasi kepada individu atau masyarakat harus melalui
saluran komunikasi atau perantara yang strategis dan efisien agar dapat
tersampaikan dengan baik. Dalam memperkenalkan inovasi, media massa kurang
efektif dalam melakukan difusi atau persebaran. Saluran komunikasi ini
disesuaikan dengan sasaran sistem sosialnya. Jika sasaran sistem sosialnya
merupakan wilayah pedesaan maka media massa kurang efektif dalam
menyampaikan inovasi. Berbeda jika sistem sosialnya merupakan masyarakat yang
aktif dalam mengakses informasi melalui media massa maka media massa menjadi
saluran komunikasi yang efektif dalam menyampaikan suatu inovasi. Oleh karena
itu, pemilihan saluran komunikasi menjadi penting dalam menjalankan suatu
inovasi.
Tabel 2. Model Proses Pengambilan Keputusan Inovasi
Sumber : Rogers, 1983
24
Pada bagan di atas, menjabarkan tentang proses diterimanya suatu inovasi.
Inovasi yang ditawarkan oleh innovator tidak serta langsung diterima atau ditolak
oleh sistem sosial. Namun melalui beberapa tahapan penerimaan pesan. Pada tahap
pengetahuan biasanya meliputi proses sosialisasi program baru yakni inovasi
sebagai solusi yang diajukan kepada sistem sosial setempat. Proses ini cukup
panjang karena merupakan awal perkenalan. Kemudian ketika mendapatkan rasa
kepercayaan oleh sistem sosial maka persuasi atau kemampuan inovasi untuk
diadopsi mulai dilakukan. Para innovator akan memberikan contoh atau
mensimulasi cara pengadopsiannya. Tahap ini merupakan peluang bagi inovator
dalam menunjukkan kemudahan inovasi yang ditawarkan karena akan berpengaruh
pada keputusan yang akan dipilih oleh sistem sosial.
Sistem sosial berhak untuk menerima ataupun menolak inovasi yang ada.
Tergantung pada sifat inovasinya, jika inovasi berasal dari pemerintah dan bersifat
wajib maka harus diterima oleh sistem sosial. Namun jika inovasi berasal dari
warga sendiri atau pada kelas sosial yang sama maka sistem sosial lebih leluasa
untuk menerima ataupun menolak inovasi. Kemudian setelah implementasi inovasi
dilakukan, sistem sosial akan merasakan dampak pada aktivitasnya. Dampak yang
baik dan menarik bagi sistem sosial cenderung akan mendapatkan konfirmasi yang
positif yakni diterima. Akan tetapi jika dampak yang dirasakan terlalu lama dan
sulit untuk dilakukan kembali maka sistem sosial tidak akan mau melakukan
inovasi tersebut.
Keempat, anggota sistem sosial. Sistem sosial merupakan kelompok
masyarakat yang akan menyelesaikan permasalahan bersama dengan rasa saling
percaya untuk mencapai tujuan bersama. Terbentuknya sistem sosial
dilatarbelakangi oleh kesamaan pada kondisi tertentu, bisa berdasarkan wilayah,
kepentingan, kesukaan, atau profesi yang sama. Setiap sistem sosial terikat oleh
norma-norma tertentu. Inovasi yang ditawarkan harus sesuai dengan norma yang
berlaku pada sistem sosial tersebut agar dapat diterima. Masing-masing norma
memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga bergantung pada inovasi dan sistem
sosial yang seperti apa untuk dikombinasikan.
25
Terakhir, ialah efek dimana inovasi memberikan konsekuensi akhir kepada
suatu sistem sosial. Konsekuensi akhir ini terbagi menjadi tiga tahapan, yakni
pengetahuan, perubahan sikap dan perubahan perilaku. Inovasi mampu
memberikan pemahaman yang baik kepada sistem sosial sehingga memberikan
pengetahuan yang cukup dan mudah dilakukan. Setelah inovasi itu dapat dipahami,
kemudian inovasi dapat menarik untuk dilakukan bagi sistem sosial. Konsekuensi
ini penting karena inovasi akan percuma jika hanya dapat dipahami namun tidak
menarik untuk dilakukan. Kemudian terjadi perubahan sikap pada sistem sosial,
yakni keputusan untuk mau mengadopsi atau menolak adanya inovasi tersebut.
F. Kerangka Konsep
Berdasarkan pemaparan mengenai teori difusi inovasi, penelitian ini
mengkaji tentang dinamika persebaran inovasi yang diakukan GrabagTV untuk
menjadi TV Internet20. Memahami lebih jauh mengenai latar belakang munculnya
TV Internet pada transformasi GrabagTV sebagai fenomena komunikasi. Tidak
hanya itu, penelitian ini mencoba membahas lebih dalam mengenai dinamika
GrabagTV sebagai TV Komunitas yang terus bertahan dalam mengahadapi
berbagai hambatan dalam mewujudkan demokrasi penyiaran di Indonesia.
Wilayah blankspot pada Grabag ini menjadikan kelahiran GrabagTV sebagai
sebuah televisi komunitas yang dapat diterima oleh warga. TV Komunitas berbasis
warga ini pada awal kemunculannya juga merupakan inovasi di tengah-tengah
minimnya tayangan program yang menyajikan informasi dan hiburan lokal bagi
warga. Televisi komunitas ini telah menjadi bagian dari perkembangan pendidikan
literasi media bagi warga Grabag. Tayangan penyuluhan pertanian, proses
pemilihan kepala desa, penyampaian aspirasi, sarana hiburan lokal. Melalui
aktivitas penyiaran tersebut GrabagTV berperan aktif dalam melakukan pendidikan
literasi media kepada warganya. Namun akhirnya inovasi ini gagal dan berhenti di
tengah jalan karena adanya larangan untuk bersiaran dari Balmon.
20 Ibid, hlm. 68.
26
Melalui www.grabagtv.com, GrabagTV seolah terus mencari celah agar
dapat terus mempertahankan eksistensinya sebagai televisi komunitas berbasis
warga. Sejak 2012, GrabagTV tidak lagi menyiarkan tayangan program lokalnya.
Surat teguran dari Balai Monitoring tidak membolehkan GrabagTV bersiaran
melalui VHF 7 yang telah dipakai sejak 2009. Pemancar rakitan yang terletak persis
di bagian belakang stasiun GrabagTV dengan modal lima juta tidak lagi berfungsi.
GrabagTV dalam hal ini berperan sebagai penggagas inovasi, menawarkan
sebuah solusi dengan memanfaatkan internet dan menggabungkan konten produksi
TV Komunitas menjadi TV Internet. Transformasi yang dilakukan GrabagTV
menjadi TV Internet juga tidak serta merta dapat diterima oleh warga. Bukan berarti
inovasi ini ditolak atau ditentang, namun lebih karena kemampuan warga untuk
mengakses internet tidak lebih mudah jika dibandingkan GrabagTV yang
sebelumnya hanya menggunakan antenna VHF.
TV Internet sebagai inovasi yang dilakukan GrabagTV agar dapat
berproduksi kembali serta disiarkan kepada khalayak yang luas. Selanjutnya akan
terjadi dua kemungkinan yakni penerimaan dan dilanjutkan inovasi atau penolakan
terhadap inovasi21. Upaya untuk mempertahankan yang dilakukan oleh TV
Komunitas GrabagTV ini sebagai bentuk memperjuangkan ruang publik yang
semakin sempit dan sesak. Pada penelitian sebelumnya, GrabagTV dimaknai
sebagai bagian dari ruang publik. Penelitian tersebut berjudul “Hambatan TV
Komunitas GrabagTV Membentuk Ruang Publik” menjelaskan upaya GrabagTV
dalam memenuhi kebutuhan informasi di ruang publik. Semakin sempitnya ruang
gerak masyarakat atau publik dalam mengakses informasi yang benar. Bahkan
gerak kapitalisasi media yang menggeliat kuat di dunia penyiaran Indonesia.
Keberadaan GrabagTV menjadi TV Internet masih belum diatur dalam
regulasi penyelenggaraan LPK. Meski belum adanya regulasi yang mengatur
batasan TV Komunitas dalam media internet, GrabagTV konsisten dalam
21 Syaiful Rohim, Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam dan Aplikasi, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2009, hlm.170-173.
27
menyusun konten media dalam websitenya. Melalui Teori Difusi Inovasi22,
interaksi yang terjadi pada lingkungan masyarakat desa dapat diselesaikan dengan
menciptakan inovasi-inovasi baru yang mampu mengatasi permasalahan lokal yang
ada. Salah satunya TV Internet sebagai inovasi yang disepakati bersama dalam
mengatasi permasalahan menjadi kunci penting dalam membentuk sebuah TV
Komunitas.
Hadirnya GrabagTV yang berdiri semenjak tahun 2004 bukan tanpa
hambatan. Sulitnya menembus birokrasi untuk memperoleh alokasi frekuensi siaran
kepada KPID hingga sebelas tahun terakhir ini tak kunjung mendapat kabar baik.
TV Swasta yang semakin mendominasi khayalak, dimana khalayak justru
diperlakukan sebagai konsumen bukan publik. Tentu saja dengan hambatan demi
hambatan yang harus dihadapi oleh TV komunitas, hingga kini masih mencari
solusi yang tepat untuk menangani hal tersebut. Transformasi TV Internet ini
merupakan solusi bagi GrabagTV dalam menyelesaikan simpang siur frekuensi
siaran. Agar tetap produksi dan memiliki wadah yang tetap. Maka TV Internet
GrabagTV yang dapat diakses melalui www.grabagtv.com menjadi labuhan
sementara TV Komunitas ini.
Upaya GrabagTV di ruang publik juga sama dengan upaya GrabagTV
menjadi TV Internet sebagai suatu inovasi. Inovasi agar tayangan GrabagTV tetap
dapat dinikmati warga serta warga terlibat aktif dalam produksinya. Fenomena ini
menarik karena tidak semua TV Komunitas dapat bertahan dan mau menciptakan
inovasi agar terus berproduksi. Upaya TV Komunitas kepada masyarakat Grabag
dalam peralihan menuju TV Internet agar menjadi inovasi yang bisa diterima terus
dilakukan. Berbagai upaya dilakukan agar konsep TV Internet dapat diadopsi oleh
masyarakat Grabag pada GrabagTV23.
22 Everett M. Rogers, Komunikasi dan Pembangunan: Perspektif Kritis, Yogyakarta: PKMBP,
2013, hlm.73. 23 Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan
Kampanye Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2004, hlm. 33-35.
28
TV Internet sebagai satu-satunya media yang dapat digunakan oleh
GrabagTV agar dapat terus bertahan tanpa harus melakukan perizinan KPID.
Penggunaan yang lebih mudah dan fleksibel bagi GrabagTV menjadikan TV
Internet lebih bisa dilakukan. Meski TV Internet masih belum dapat diakses oleh
semua kalangan warga Grabag. Namun hal ini tinggal menunggu waktu saja,
mengingat tingkat konsumsi warga akan kebutuhan informasi akan semakin
meningkat ke depannya. Saat ini yang dilakukan GrabagTV ialah memperluas
tingkat ‘pengetahuan’ atau memahamkan kepada warga Grabag mengenai TV
Internet.
TV komunitas tumbuh atas dasar kreatif warga masyarakatnya sendiri. Jika
TV Sekolah atau Kampus memiliki kurikulum atau panduan penyiaran, maka TV
komunitas warga merupakan hasil pengupayaan mandiri untuk melakukan kegiatan
produksi siaran24. Dampak TV Internet tidaklah secara signifikan merubah pola
konsumsi masyarakat terhadap TV mainstream. Namun demikian TV Internet
berpeluang menjadi media alternatif atas kebutuhan informasi yang tidak terdapat
dalam TV swasta Jakarta.
Transformasi yang dilakukan GrabagTV dari siaran Terestrial menuju
Televisi Internet merupakan sebuah difusi inovasi baik kepada publik maupun
pemerintah. GrabagTV sebagai Televisi Komunitas yang terus mempertahankan
komunitasnya, hingga beralih ke media internet. Keberalihan tersebut bisa jadi
menjadi dampak laten dari ruwetnya regulasi penyiaran yang tak kunjung jelas dan
memihak publik. Diawali dari pengesahan UU Penyiaran 32/2002, PP 51/2005
tentang Penyelenggaraan LPK, Permenkomunfo 32/2013 tentang pengadaan
penyiaran digital, hingga kasus pembatalan 33 permen terkait Televisi Digital oleh
Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (AJTI) kepada Menkominfo pada awal Maret
2015.
Permasalahan penyiaran nasional ini harus segera diselesaikan dengan
melibatkan pihak-pihak yang dirugikan. Peraturan mengenai LPK sudah
24 Ibid.hlm.91.
29
seharusnya melibatkan Rakom dan TV Komunitas yang tersebar di seluruh
Indonesia. Namun yang terjadi, para pegiat LPK hanya bisa menunggu pasrah hasil
revisi UU yang saat ini tengah dikaji. Televisi Komunitas yang selalu teralienasi
dan menjadi ‘anak bawang’ di tengah hegemoni Televisi Swasta dan Televisi
Publik akan dipertanyakan eksitensinya pasca revisi UU Penyiaran keluar.
Penelitian ini berupaya untuk menelusuri hak-hak dan kewajiban TV Komunitas
sesuai dengan regulasi yang disahkan. Hal ini dilakukan agar TV Komunitas dapat
melihat peluang agar dapat terus bertahan. Seperti GrabagTV melihat TV Internet
sebagai peluang untuk dapat terus bersiaran. Oleh karena itu, TV Internet menjadi
peluang sebagai media alternatif TV Komunitas pada era modern kini.
Memanfaatkan teknologi informasi untuk memperjuangkan keadilan informasi.
G. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Pemilihan metode penelitian merupakan bagian penting dalam melakukan
penelitian. Metode ini sebagai dasar tindakan dan arahan baik dalam pengambilan
data maupun analisis saat di lapangan. Transformasi media yang dilakukan
GrabagTV dari siaran Terestrial menuju Televisi Internet merupakan proses yang
panjang. Dengan menelusuri kelahiran Televisi Komunitas berbasis warga hingga
bertransformasi menjadi Televisi Internet. Keterlibatan peneliti dalam penelitian ini
terbatas pada pengamatan partisipatif sehingga tidak merubah sifat GrabagTV
sebagai objek penelitian.
Mendeskripsikan kronologi fenomena GrabagTV sebagai Televisi
Komunitas yang telah menjadi Televisi Internet secara komprehensif. Kemudian
membahas dinamika yang terjadi di GrabagTV dalam melakukan literasi
masyarakat dan lokalitasnya. Dinamika ini dipengaruhi oleh berbagai aspek,
ketidakstabilan regulasi penyiaran dalam melindungi LPK. Serta hambatan
GrabagTV sebagai TV Komunitas yang berbasis sukarela. Maka metode Studi
Kasus menjadi relevan dalam melakukan penelitian ini. Agar dapat memenuhi
kebutuhan peneliti dalam menjawab pertanyaan “mengapa” dan atau “bagaimana”.
30
Melalui teknik pengumpulan data yang telah ditentukan, metode Studi Kasus akan
membahas lebih dalam mengenai transformasi GrabagTV.
2. Lokasi Penelitian
GrabagTV merupakan TV Komunitas yang terletak di wilayah pedesaan
dan jauh dari perkotaan. Tepatnya di Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang
Jawa Tengah. Wilayah ini termasuk perbatasan antara Temanggung dan Magelang.
Jarak konturnya cukup dekat sehingga membentuk dataran yang tidak rata. Desa
Grabag sebagai area blankspot yang membentuk cekungan di tengah-tengah dataran
tinggi.
3. Unit Analisis
Unit analisis merupakan sasaran atau obyek yang diteliti di lapangan. Dalam
penelitian ini unit analisisnya yakni TV Komunitas GrabagTV. Kemudian lebih
difokuskan pada dinamika perubahannya dari siaran Terestrial menuju TV Internet.
Dalam dinamika TV Komunitas GrabagTV sendiri terdiri dari berbagai elemen,
seperti pemerintah terkait, publik, dan pegiat GrabagTV. Elemen-elemen tersebut
akan diturunkan menjadi narasumber dalam mengumpulkan data penelitian. Tiga
unit analisis yang telah ditentukan, yakni Pegiat GrabagTV, Publik dan Pemerintah,
nantinya akan memberikan data yang lebih spesifik dalam melakukan pembahasan.
Setiap elemen memiliki latarbelakang dalam melibatkan diri di GrabagTV.
Pendalaman data diperoleh berdasarkan hak dan kewajiban yang di emban oleh
pemerintah, publik, dan pegiat GrabagTV. Kemudian inovasi atau strategi yang
dilakukan GrabagTV untuk tetap bertahan sebagai TV Komunitas. Khususnya
dalam melakukan wawancara dan observasi. Dengan metode purposive sampling,
peneliti akan langsung menuju narasumber yang sesuai dengan kebutuhan serta
dapat melakukan observasi secara bersamaan.
31
Dalam penulisan hasil penelitian ini berdasarkan dari kesesuaian data diantara
ketiga unit analisis tersebut. Seperti pada teknik analisis data, pengumpulan data
dari unit analisis yang diperoleh akan dirangkum dan dirangkai untuk membangun
sebuah eksplanasi yang baik. Eksplanasi yang menggambarkan dinamika
GrabagTV yang bertahan sebagai TV Komunitas menggunakan TV Internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian menjadi tahapan awal yang sangat penting.
Namun sebelumnya perlu dilakukan persiapan penelitian25. Terdapat tiga langkah
pengumpulan data, yakni :
a. Observasi
Dalam penelitian sudi kasus, observasi merupakan teknik pengumpulan data
yang lazim dilakukan. Menurut Bungin, observasi adalah metode pengumpulan
data yang digunakan untuk menghimpun dan penelitian melalui pengamatan dan
pengindraan26. Observasi dapat dilakukan dengan melihat, mencium ataupun
mendengar. Hasil dari kegiatan observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa,
objek, kondisi ataupun perasaan seseorang. Melalui observasi peneliti bisa
mengamati secara langsung apa yang terjadi pada objek
Observasi dilakukan meliputi sistem produksi dan manajerialnya GrabagTV
di Desa Grabag, Kecamatan Magelang Jawa Tengah. Penelitian ini memerlukan
pengambilan data melalui pengamatan untuk mengetahui dinamika yang terjadi
kekinian sebagai dampak dari proses di masa lalu. Sebagai pengamat yang tidak
memiliki pengaruh atau kuasa pada objek penelitian, peneliti berupaya untuk
mencari tahu data-data yang berkaitan dengan latar belakang pendirian Televisi
Komunitas. Serta aktivitas yang terjadi pada kesehariannya. Perlu pengamatan atau
observasi langsung TV Komunitas GrabagTV yang berlokasi di Dusun Ponggol,
Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
25 Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods, California: Sage Publication, Inc,
2012, hlm.133-158 26 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada Putra Grup, 2008, hlm.115.
32
b. Wawancara
Pengambilan data melalui pengamatan saja tidak akan cukup. Perlunya
perspektif dan opini dari pihak-pihak terkait sangat membantu dalam pembahasan
nantinya. Wawancara merupakan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
informasi yang digali sumber data langsung melalui percakapan atau tanya jawab27.
Terdapat dua jenis wawancara, yaitu: 1) wawancara mendalam (in-depth interview),
dimana peneliti menggali informasi secara mendalam kepada informan dan terlibat
langsung dengan kegiatan informan. Peneliti bertanya secara bebas kepada
informan tanpa adanya pedoman yang disiapkan sebelumnya. 2) wawancara terarat
(interview guide) dimana peneliti telah mempersiapkan wawancara sebelumnya
sehingga pertanyaan yang ditujukan kepada informan telah secara jelas dan terarah.
Calon narasumber atau informan sendiri dilakukan dengan menggunakan
metode purposive sampling, yakni penentuan calon informan ditentukan
berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Dalam penelitian ini akan menggunakan
kedua jenis wawancara tersebut. Melakukan wawancara terarah kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam dinamika berlangsungnya Televisi Komunitas GrabagTV.
Berdasarkan dari Kerangka Konsep yang telah terbentuk, memunculkan tiga entitas
yang diperlukan sebagai data, yakni :
1) Pemerintah.
Mengingat kecilnya peluang dan jaringan yang sedikit yang dimiliki peneliti
dalam akses ke dalam jajaran pemerintah. Wawancara dilakukan kepada pihak
Komisi Penyiaran Daerah Jawa Tengah yang berlokasi di Semarang, khususnya
pihak yang mengerti dan paham dengan kondisi Televisi Komunitas.
2) Televisi Komunitas
Pegiat GrabagTV terdiri dari lima pendiri utama. Agar lebih efektif,
wawancara akan dilakukan pada Ketua Dewan Pengawas GrabagTV dan beberapa
pegiat GrabagTV lainnya.
27 Djam’an dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2011, hlm.130.
33
3) Publik
Warga Grabag sebagai khalayak utama GrabagTV berperan dalam
menentukan indikator keberhasilan GrabagTV. Televisi komunitas berbasis warga
yang memberikan informasi yang mengangkat lokalitas dan literasi warga.
Wawancara ini terfokus pada warga yang secara intens mengikuti siaran program
dari masa bersiaran Terestrial hingga Televisi Internet. Beserta tokoh masyarakat
setempat.
c. Dokumentasi
Dokumen dapat meliputi sumber tertulis dari literatur dan pengambilan foto
di lapangan. Teknik pengumpulan data ini akan dilakukan bersamaan dengan proses
pengamatan dan wawancara berlangsung. Baik dilakukan dengan dokumentasi
sendiri maupun memeroleh dari administrasi GrabagTV. Penyajian data
dokumentasi berupa foto, bagan, dan arsip GrabagTV.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah suatu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan dipahami. Teknik analisis data dilakukan secara bertahap,
seperti berikut :
a. Deskripsi Kasus
Pasca pengumpulan data dilakukan analisis data dengan strategi umum yakni
mengembangkan deskripsi kasus. Memulai dengan pendeskripsian latar belakang
pendirian GrabagTV sebagai Televisi Komunitas berbasis warga. Serta dinamika
penyiaran yang bertransformasi media dari siaran Terestrial menuju Televisi
Internet. Merunut faktor regulasi dan LPK sebagai analisis utama pembahasan
penelitian ini. Kemudian mengidentifikasi keseluruhan pola kompleksitas tersebut
yang akhirnya dipergunakan dalam pengertian kausal untuk “menjelaskan”
mengapa suatu implementasi telah gagal28. Gagal disini dapat dimaksudkan dengan
28 Ibid. hlm.133-158
34
belum lancarnya proses difusi inovasi yang berlangsung. Implementasi gagal
Televisi Internet yang masih belum melakukan penetrasi secara maksimal kepada
warga Grabag dan sosialisasinya kepada pemerintah.
b. Reduksi data
Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menghilangkan, mengarahkan, dan membuang yang tidak perlu untuk topik
penelitian. Kemudian mengorganisasikan data terkait dengan rumusan masalah
hingga nantinya dapat dibahas lebih dalam sekaligus diverifikasi. Banyaknya
permasalahan yang dihadapi GrabagTV , penelitian ini mengkhususkan untuk
menarik data-data yang diperlukan dalam dinamika transformasi media dari siaran
terestrial menuju Televisi Internet.
c. Pembuatan Eksplanasi
Analisis yang lebih khusus yakni explanatory building atau pembuatan
eksplanasi. Menyusun deskripsi transformasi GrabagTV dengan mengulang data-
data yang telah terkumpul untuk mengembangkan gagasan-gagasan baru. Verifikasi
data dilakukan dengan metode triangulasi data. Triangulasi data dilakukan untuk
menguji keabsahan data yang diambil agar sesuai dengan fakta lapangan. Jika
diperlukan eksplanasi yang dibentuk berdasar data yang diperoleh akan
memberikan gagasan-gagasan tambahan atau bahkan baru. Penelitian ini nantinya
agar dapat membangun eksplanasi mengenai proses transformasi GrabagTV dari
siaran Terestrial menuju Televisi Internet.
35