bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada bulan April 2008, pemerintah telah meresmikan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-
undang ini diberlakukan efektif pada 1 Mei 2010. Bisa dikatakan UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang KIP ini merupakan wujud dari implementasi demokrasi
dalam suatu pemerintahan. Kebijakan dalam undang-undang ini menjamin salah
satu hak dasar dalam kehidupan demokrasi dan kebijakan publik, yaitu
ketersediaan informasi secara transparan.
Secara garis besar, undang-undang ini memang bertujuan untuk menjawab
hak publik atas kebutuhan informasi, yang transparan, cepat dan akurat. Ini berarti
setiap lembaga dituntut bisa menjadi komunikator dan sumber informasi yang
baik bagi publik, dalam artian cekatan dan berkualitas. Untuk mencapai tujuan
yang dimaksud, maka undang-undang ini mengamanatkan serangkaian kewajiban
kepada semua badan publik sebagaimana diatur dalam pasal 7 yakni :
1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan
informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon
informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
2. Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan
tidak menyesatkan.
2
3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan
Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan
dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien
sehingga dapat diakses dengan mudah.
4. Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan
yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.
5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat
pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan
keamanan negara.
6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau
media elektronik dan nonelektronik.
Sudah lima tahun lebih berjalan, nyatanya pelaksanaan UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang KIP ini berjalan lamban. Ditengarai dengan belum
terbentuknya Komisi Informasi Daerah di semua provinsi di Indonesia. Saat ini
yang tercatat di website Komisi Informasi (www.komisiinformasi.go.id), Komisi
Informasi Daerah baru ada di 20 provinsi. Padahal, Komisi Informasi Daerah
merupakan perpanjangan tugas dan fungsi dari Komisi Informasi Pusat yang
kehadirannya sangat berperan penting dalam mengusung pelaksanaan Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik di daerah.
Tidak hanya Komisi Informasi Daerah yang belum terbentuk di beberapa
provinsi, penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang
disyaratkan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan
3
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61Tahun 2010 sebagai
petunjuk teknis pun belum sepenuhnya terlaksana. Masih banyak badan publik
yang belum memiliki PPID. Data dari PPID Kementerian Kominfo
(http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com) menyebutkan per 1 November 2013,
dari 693 badan publik, baru 227 yang memiliki PPID atau sekitar 32,76%, dengan
rincian 34 Lembaga Kementerian, 36 Lembaga Negara/Lembaga Setingkat
Menteri/LNS/LPP, 23 Lembaga Provinsi, 98 Kabupaten, dan 36 Kota. Dari 227
yang terbentuk, masih banyak yang kenyataannya belum bekerja maksimal.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat seperti yang tercantum dalam pasal
13 UU KIP, penunjukan PPID merupakan syarat untuk mewujudkan pelayanan
yang cepat, tepat, dan sederhana.
Ada beberapa kendala yang memungkinkan terjadinya kelambanan
pelaksanaan UU KIP ini. Diantaranya masih kurangnya pemahaman badan publik
selaku pelaksana atas kewajiban yang diamanatkan dalam UU KIP itu sendiri.
Termasuk tentang prosedur dan mekanisme dalam manajemen informasi.
Dari sederetan badan publik yang masih lamban melaksanakan UU KIP,
Pemerintah Kabupaten Kediri merupakan salah satunya. Hingga September 2013,
berdasarkan data di www.kip.jatimprov.go.id, dari 38 kabupaten/kota yang ada di
Jawa Timur, Kabupaten Kediri merupakan salah satu dari 8 kabupaten/kota yang
belum memiliki PPID. Tujuh lainnya adalah Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri,
Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten
Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo.
4
Secara kelembagaan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kediri
Nomor 188.45/945/418.32/2013 tentang Penetapan PPID Kabupaten Kediri, PPID
di Kabupaten Kediri baru resmi berdiri 27 Desember 2013. Meskipun sudah resmi
berdiri dan memiliki legalitas dengan SK tersebut namun secara fisik, PPID di
Kabupaten Kediri belum beroperasi dan melaksanakan fungsinya.
Pembentukan PPID di Kabupaten Kediri mengalami proses yang lumayan
panjang. Pembentukan PPID sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2010, dan
melewati beberapa rapat koordinasi untuk membahas dan memutuskan
pembentukannya. Namun proses tersebut baru menemui hasil di akhir 2013 yang
berarti hampir mencapai masa 4 tahun berjalannya Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang KIP secara efektif.
Masih terlalu dini memang untuk bisa melihat implementasi UU Nomor 14
Tahun 2008 tentang KIP ini berdasarkan fungsi dari PPID tersebut, mengingat
berdirinya yang masih baru. Namun bukan berarti kajian terhadap implementasi
undang-undang tersebut tidak bisa dilakukan. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang
KIP mengamanatkan banyak hal, tidak hanya terkait dengan keberadaan lembaga
seperti Komisi Informasi dan PPID, namun juga secara substansi yang terkait
dengan pelayanan informasi oleh badan publik. Apalagi jelas disebutkan oleh
undang-undang tersebut (pasal 21 ayat 2 ), bahwa dalam hal PPID belum ditunjuk,
tugas dan tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit atau dinas di bidang
informasi, komunikasi, dan/atau kehumasan.
Disampaikan oleh Kepala Bagian Organisasi Pemerintah Kabupaten
Kediri, Sonny SM Laksono, dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda)
5
Kabupaten Kediri Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang
didalamnya memuat tentang pelayanan informasi, maka Pemerintah Kabupaten
Kediri dalam hal ini bisa dikatakan sudah berkewajiban melaksanakan amanat
dari UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Hal serupa juga disampaikan oleh
Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Kediri, Edhi
Purwanto. Edhi Purwanto menjelaskan dengan adanya Perda Pelayanan Publik,
Pemerintah Kabupaten Kediri sudah melaksanakan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang KIP namun pelaksanaan itu memang masih banyak
kekurangan karena adanya kendala yang dihadapi.
Melihat kasus sengketa informasi sebagai hal yang mungkin terjadi atas
kegagalan pelayanan informasi, di Kabupaten Kediri hingga saat ini belum pernah
terjadi sengketa informasi. Hal ini di satu sisi, bisa saja memang karena
keberhasilan dari pemerintah dalam memberikan pelayanan informasi yang lancar.
Namun di sisi lain, hal itu bisa saja menggambarkan pasifnya masyarakat
Kabupaten Kediri terhadap keterbukaan informasi.
Pelayanan informasi oleh Pemerintah Kabupaten Kediri selama ini
menerapkan sistem arus satu pintu. Institusi yang berwenang sepenuhnya sebagai
gerbang utama pelayanan informasi adalah Bagian Humas dan Protokol.
Sedangkan bidang komunikasi dan informasi menjadi wewenang Dinas
Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Praktis, ada dua lembaga bidang
informasi yang dekat dengan isu keterbukaan informasi publik. Bagian Humas
dan Protokol sehari-harinya melayani permintaan informasi publik. Dalam
tugasnya, Bagian Humas dan Protokol menjalin kerja sama dengan media massa
6
dalam penyebaran informasi, disamping mengeluarkan buletin, liflet, juga media
internal pemerintah daerah. Dinas Kominfo melakukan publikasi informasi
melalui iklan layanan masyarakat, kegiatan komunikasi di masyarakat melalui
media tradisional, dan penyebarluasan informasi melalui media cetak dan
elektronik. Dinas Kominfo juga membuka layanan resmi informasi seputar
pemerintah daerah melalui pengelolaan website www.kedirikab.go.id. Dalam
sistem pemerintahan yang seperti ini, koordinasi dan sistem informasi yang
terintegrasi sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan informasi yang cepat,
tepat, dan akurat.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, baik Bagian Humas dan Protokol
maupun Dinas Kominfo selaku lembaga yang menangani bidang informasi masih
menemui beberapa kendala, diantaranya terkait dengan sumber daya manusia,
prasarana, juga koordinasi antar lembaga. Kendala-kendala tersebut tentu saja
turut menghambat kelancaran pelayanan informasi kepada masyarakat.
Berbagai gambaran yang dikemukan diatas, seperti lambannya
pelaksanaan UU KIP di badan publik daerah dengan ditandai lambannya
pembentukan PPID, tidak adanya kasus sengketa informasi, juga kurang
maksimalnya layanan informasi, kemudian mendorong perlu dilakukannya
penelitian tentang implementasi UU KIP oleh badan publik daerah, salah satunya
Pemerintah Kabupaten Kediri ini, untuk mendapatkan gambaran tentang
pelaksanaan keterbukaan informasi dan mengetahui kendala-kendala yang
dihadapi oleh badan publik daerah.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan di atas maka rumusan
masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. “Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun
2008-2013?”
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di
Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui gambaran implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP
oleh Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013.
2. Mengidentifikasi hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Pemerintah
Kabupaten Kediri selaku pelaksana UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Memberikan gambaran tentang implementasi UU KIP di daerah.
2. Menunjukkan hambatan dan kendala yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan
UU KIP serta memberikan rekomendasi dalam rangka implementasi tersebut
selanjutnya.
3. Melengkapi penelitian empiris tentang analisi kebijakan komunikasi.
4. Menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.
8
E. Kerangka Pemikiran
E.1. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP sebagai Kebijakan Komunikasi
UU KIP merupakan salah satu dari kebijakan komunikasi yang ada di
Indonesia. Kebijakan komunikasi lainnya misalnya UU Nomor 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kebijakan komunikasi menurut UNESCO
dalam Abrar (2008; 10) dimaknai sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-
norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi.
Kebijakan komunikasi lahir setelah adanya sistem komunikasi. Setiap Negara
memiliki sistem komunikasi dimana pola-pola komunikasi berjalan dan berproses.
Sistem komunikasi terdiri dari berbagai sub sistem yang menjalankan fungsi
masing-masing dan memerlukan sebuah regulasi agar sub sistem tersebut dapat
berjalan tanpa saling berbenturan satu sama lain. Informasi merupakan salah satu
bagian dari sistem komunikasi yang memerlukan aturan khusus sebagai pedoman
para pelaku komunikasi bertindak. UU KIP adalah salah satu kebijakan
komunikasi yang dibuat untuk memperlancar sub sistem informasi tersebut
berjalan.
Menurut Abrar (2008; 4), kebijakan komunikasi setidaknya memiliki 3
bagian penting, yaitu konteks, domain, dan paradigm. Konteks berarti keterkaitan
kebijakan komunikasi dengan sesuatu yang melingkupi dirinya seperti politik-
ekonomi, politik komunikasi, dll. Domain kebijakan komunikasi berarti muatan
nilai yang dikandung dalam sebuah komunikasi seperti globalisasi, ekonomi
global, dll. Sedangkan paradigma lebih kepada kerangka cita-cita yang
9
menjadikan tujuan kebijakan komunikasi tersebut. Kebijakan komunikasi
setidaknya memiliki 5 kriteria. Kriteria ini berkaitan dengan bentuk kebijakan
sebagai sebuah kebijakan publik. Kriteria tersebut yaitu memiliki tujuan tertentu,
berisi tindakan pejabat pemerintah, memperlihatkan apa yang akan dilakukan
pemerintah, bisa bersifat positif dan negatif, dan bersifat memaksa (otoritatif).
E.1.1 Keterbukaan Informasi
UU KIP sebagai undang-undang keterbukaan informasi tentu saja
dimaksudkan untuk mengatur tentang pemenuhan hak publik atas informasi yang
transparan dari badan publik. Tujuan keterbukaan informasi adalah memastikan
bahwa lembaga publik akan lebih akuntabel dan transparan dalam menyediakan
informasi. Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi
merupakan kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental,
sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan publik.
Akan tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup
informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik
tetap harus didahulukan.
Disampaikan Mendel (2008) regulasi yang berkaitan dengan kebebasan
informasi atau lebih dikenal keterbukaan informasi publik di Indonesia akan
selalu memuat hak setiap orang untuk memperoleh informasi, kewajiban badan
publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat dan tepat
waktu, biaya ringan (proporsional), dan cara sederhana, adanya pengecualian
informasi bersifat ketat dan terbatas, serta kewajiban badan publik untuk
membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Untuk mewujudkan
10
good governance UU KIP sangatlah perlu. UU KIP akan mengawal pemerintahan
berlangsung transparan dan partisipasi masyarakat terjadi secara optimal dalam
seluruh proses pemerintahan, mulai dari pengambilan, pelaksanaan serta evaluasi
keputusan.
E.2. Implementasi Kebijakan
Sebuah kebijakan merupakan sebuah proses kegiatan yang melewati
beberapa tahapan. Tahapan tersebut adalah penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Menurut Lester dan Stewart dalam Kusumanegara (2010; 97),
implementasi adalah sebuah tahapan yang di lakukan setelah aturan hukum
ditetapkan melalui proses politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan
bahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu administratif.
Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam
pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian yang luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan
kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2012; 135) membatasi
implementasi kebijakan sebagai tindakan - tindakan yang dilakukan oleh individu-
individu (alat kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan - keputusan
kebijakan sebelumnya, tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
11
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk
mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-
keputusan kebijakan.
E.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Ada beberapa model implementasi kebijakan yang bisa digunakan untuk
menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan.
Berikut dua model yang sering digunakan untuk mengkaji faktor pendukung dan
penghambat dalam implementasi kebijakan :
a. Model George C. Edwards III
Menurut Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variabel, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur
birokrasi.
Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan Model Edwards III
Sumber : Edwards III dalam Subarsono (2005; 91)
Komunikasi
Struktur Birokrasi
Implementasi
Disposisi
Sumber daya
12
Keempat variabel yang digambarkan di atas bisa diuraikan sebagai berikut :
1. Komunikasi
Menurut Edwards, komunikasi harus ditransmisikan kepada personel yang
tepat, dan harus jelas, akurat serta konsisten.
- Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan
sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran
(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi
(Subarsono, 2005 ; 90)
- Kejelasan. Instruksi-instruksi yang diberikan kepada para pelaksana
kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari
kebijakan tersebut. Selain itu kurangnya kejelasaan dapat
menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno,
2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi
yang diberikan harus diinformasikan dengan jelas.
- Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,
maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas
(Winarno, 2008; 177). Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan
dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai.
2. Sumber daya
Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pendukung,
khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana
kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif (Nugroho, 2012;
13
693). Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia dan sumber
daya finansial. Sumber daya meliputi sumber aya manusia (staf) yang memadai
serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181).
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono, 2005; 91). Dengan
kata lain, disposisi merupakan kesediaan dari pelaksana kebijakan untuk
melaksanakan kebijakan tersebut. Disposisi yang baik dari implementator akan
menghasilkan pelaksanaan kebijakan yang baik pula. Namun bila implementator
memiliki sikap atau perspekstif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka
proses implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.
4. Struktur birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak
sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka
memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Pada dasarnya,
para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan
mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi
dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih di hambat oleh struktur-struktur
organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut.
14
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard
Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi :
- Standar Operasional Prosedur (SOP)
Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu organisasi
adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard Operating
Procedures (SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat
memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga
menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-
organisasi yang kompleksitas dan tersebar luas, yang pada gilirannya
dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan
dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang
besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi-organisasi
dengan Standard Operating Procedures (SOP) yang luwes dan kontrol
yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat
menyesuaikan tanggungjawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi
tanpa menpunyai Standard Operating Procedures (SOP).
- Fragmentasi
Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam
melaksanakan kebijakan adalah fragmentasi organisasi.
Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara
beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan
tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan
15
kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai
pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multidimensi dari
banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi. Konsekuensi yang
paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk
menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas
dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk
menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.
b. Model Van Meter dan Van Horn
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter
dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation. Model ini
mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari
keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Kedua tokoh ini
menyampaikan 6 variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik. Enam
variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik model Van Meter dan Van
Horn ini diuraikan sebagai berikut :
1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan
terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,
maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara
para agen implementasi.
2. Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik
sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia
(non-human resourse).
16
3. Aktifivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi. Dalam banyak
program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi
dengan intansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar
instansi bagi keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana
adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi
kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan
dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan,
bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik
mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang
penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan
memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni
pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor,
yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
Enam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang
diuraikan di atas digambarkan dalam skema sebagai berikut :
17
Gambar 2
Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975)
Sumber : Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005; 100)
Untuk menggambarkan implementasi sebuah kebijakan di lembaga
pemerintah, baik model Edwards III maupun model Van Meter dan Van Horn ini
masih relevan, mengingat arah kebijakan yang berjalan linear dari atas ke bawah,
yaitu dari pembuat kebijakan, pelaksana, ke publik. Bila kita kaji lebih dalam,
sebenarnya kedua model yang dikemukakan di atas memiliki variabel yang
hampir sama satu sama lain. Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh
Edwards III, maka variabel dalam model Van Meter dan Van Horn bisa
dimasukkan ke dalam variabel Edwards III sebagai berikut : variabel (1) standar
Ukuran
dan Tujuan
Kebijakan
Kebijakan
Publik
Kinerja
Kebijakan
Publik
Komunikasi
Antar
Ogranisasi dan
Kegiatan
Pelaksanaan
Sumber
Daya
Kebijakan
Publik
Karakteristik
Badan
Pelaksana
Lingkungan
Ekonomi, Sosial
dan Politik
Disposisi
Pelaksana
18
dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan dalam variabel “komunikasi”. Hal ini
karena dari penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar
dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi
maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber
daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel (3) hubungan antar
organisasi dapat kita masukkan dalam variabel “struktur birokrasi” karena
mengarah pada proses koordinasi di dalam struktur organisasi. Variabel (4)
karakteristik agen pelaksana dapat kita masukkan pada variabel “struktur
organisasi”. Sedang variabel (6) disposisi implementor, dapat kita masukkan pada
variabel “disposisi”. Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Metter
dan Van Horn, yang agak berbeda adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan
ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini
terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga
mempertimbangkan faktor eksternal.
E.3 Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi
Ditegaskan oleh Merilee S. Grindle (1980; 8-10), dalam analisis
implementasi kebijakan, setidaknya ada dua aspek penting yang seyogyanya
dilihat, yaitu : Pertama, isi kebijakan. Isi kebijakan berpengaruh bagi
implementasi karena menentukan hal-hal apa saja yang akan diimplementasikan
serta siapa yang akan melakukannya. Kedua, konteks kebijakan. Kondisi sosial-
politik serta office politics dalam tubuh birokrasi akan menentukan bagaimana
kebijakan akan diimplementasikan.
19
Dalam implementasi kebijakan, berkenaan dengan pencapaian
implementasi undang-undang dapat dipilahkan secara sederhana menjadi dua : (1)
pengembangan kelembagaan, dan (2) pencapaian substantif. Dalam kajian
implementasi kebijakan keterbukaan informasi, Pratikno dkk (2012; 5-6), melihat
aspek pengembangan kelembagaan dari tiga indikator, yakni (a) pembentukan
Komisi Informasi Daerah (KID), (b) penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID), dan (c) peraturan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan
keterbukaan informasi di daerah. Adapun pencapaian substansif berkaitan dengan
produksi informasi publik yang wajib disediakan oleh satuan Pemda kepada
khalayak di wilayahnya masing-masing. Aspek substantif ini tersusun atas tiga
indikator, yakni (a) ketersediaan media penyampai, (b) produk dan jenis informasi
yang sudah dipublikkan, dan (c) kemudahan akses bagi publik untuk mendapatkan
informasi tersebut.
Aspek pencapaian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pratikno
dkk diatas berhasil menjelaskan implementasi kebijakan terkait dengan isi
kebijakan keterbukaan informasi di Indonesia.
E.4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
E.4.1 Tujuan UU KIP
UU KIP bertujuan untuk menjawab hak publik atas kebutuhan informasi,
yang transparan, cepat dan akurat. Tujuan lebih terperinci tentang penerbitan UU
ini sebagaimana tercantum pada pasal 3 UU KIP yaitu :
20
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan
publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,
serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik
dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif
dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan
Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas
E.4.2 Kewajiban Pemerintah Daerah
Kewajiban Pemerintah Daerah dalam UU KIP :
a. Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan
dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien
sehingga dapat diakses dengan mudah (Pasal 7 ayat 3)
b. Menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID); dan
membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara
21
cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis layanan informasi
publik yang berlaku secara nasional (Pasal 13 ayat 1a dan ayat 1b)
c. Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi
Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/kota (Pasal 24 ayat
1)
d. Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan
belanja negara, anggaran Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi
Informasi kabupaten/kota dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
daerah provinsi dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 29 ayat 6)
Kewajiban Pemerintah Daerah terkait pelaksanaan UU KIP dalam
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan
Informasi Publik :
a. Menetapkan peraturan mengenai standar prosedur operasional layanan
informasi publik
b. Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk
mengelola informasi publik secara baik dan efisien
c. Menunjuk dan mengangkat PPID untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab serta wewenangnya
d. Menganggarkan pembiayaan secara memadai bagi layanan Informasi Publik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
22
e. Menyediakan sarana dan prasarana layanan Informasi Publik, termasuk papan
pengumuman dan meja informasi di setiap kantor Badan Publik, serta situs
resmi bagi Badan Publik Negara
f. Menetapkan standar biaya perolehan salinan Informasi Publik
g. Menetapkan dan memutakhirkan secara berkala Daftar Informasi Publik atas
seluruh Informasi Publik yang dikelola
h. Menyediakan dan memberikan Informasi Publik sebagaimana diatur di dalam
Peraturan ini
i. Memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi
Publik yang mengajukan keberatan
j. Membuat dan mengumumkan laporan tentang layanan Informasi Publik sesuai
dengan Peraturan ini serta menyampaikan salinan laporan kepada Komisi
Informasi
k. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan layanan Informasi
Publik pada instansinya
Kewajiban Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik :
a. Pimpinan Badan Publik menunjuk PPID paling lambat satu tahun sejak
Peraturan Pemerintah ini diundangkan (Agustus 2011). PPID dijabat oleh
seseorang yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan informasi dan
dokumentasi (Pasal 12, 13 dan 21 ayat 1)
23
b. Dalam hal PPID belum ditunjuk, tugas dan tanggung jawab PPID dapat
dilakukan oleh unit atau dinas di bidang informasi, komunikasi, dan/atau
kehumasan (Pasal 21 ayat 2)
Kewajiban Pemerintah Daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan
Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan
Daerah :
a. PPID di lingkungan pemerintahan provinsi ditetapkan oleh gubernur,
sedangkan untuk lingkungan kabupaten/kota, PPID ditetapkan oleh
bupati/wali kota (Pasal 7 ayat 4 dan 5)
b. PPID melekat pada pejabat struktural yang membidangi tugas dan fungsi
pelayanan informasi (Pasal 7 ayat 2) dan dibantu oleh PPID Pembantu yang
ada di masing-masing SKPD (Pasal 8 ayat 5 dan 6)
c. PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
masing-masing bertanggung jawab kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota
melalui Sekretaris Daerah (Pasal 8 ayat 2 dan 3)
d. Tata kerja PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi diatur dalam Peraturan
Gubernur, sedangkan tata kerja PPID di lingkungan Pemerintahan
Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Bupati/Wali Kota (Pasal 12 ayat 2 dan
3)
Berkenaan dengan layanan informasi, dalam Bab IV UU KIP diatur
tentang jenis-jenis informasi yang wajib disediakan oleh badan publik dan
informasi yang dikecualikan. Menurut UU KIP, sebagaimana dirinci dalam
24
Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan
Informasi Publik, informasi yang dipublikasikan lewat sejumlah medium (laporan
yang diterbitkan, leaflet, brosur, dan website) setidaknya harus berisi beberapa
jenis informasi dasar seperti :
1. Profil organisasi mencakup alamat lengkap SKPD, nomor telepon dan
faksimile, serta struktur organisasi.
2. Program sedang berlangsung mencakup nama, kegiatan, sasaran, penerima
manfaat, anggaran, penanggung jawab utama, serta alamat dan nomor telepon
yang digunakan untuk program kegiatan.
3. Anggaran mencakup total alokasi anggaran untuk tahun sedang berjalan,
rencana anggaran untuk tahun berjalan, laporan keuangan tahun sebelumnya,
serta daftar aset dan persediaan.
4. Akses informasi publik mencakup jumlah permohonan informasi yang
diterima, jumlah permohonan informasi yang ditanggapi, jumlah permohonan
informasi yang ditolak, alasan penolakan, prosedur bagi permohonan
informasi.
5. Peraturan dan kebijakan berdampak pada publik berupa daftar undang-undang,
peraturan, dan kebijakan yang telah diberlakukan atau dalam proses
pengesahan.
F. Konsep Penelitian
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kajian
implementasi kebijakan keterbukaan informasi dari Pratikno dkk yaitu aspek
capaian implementasi kebijakan yang meliputi capaian kelembagaan dan capaian
25
substantif. Sedangkan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi, penelitian ini menggunakan gabungan dari variabel model Edwards
III dan variabel dari model Van Meter dan Van Horn, yang menggunakan model
Edwards III sebagai patokan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga
kedua model tersebut saling melengkapi satu sama lain. Namun tidak semua hal
yang disampaikan oleh Edwards III serta Van Meter dan Van Horn akan
digunakan, melainkan dipilih sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengidentifikasi
faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi, konsep yang akan
digunakan adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, dan
lingkungan sosial politik.
Tabel 1
Konsep Capaian Implementasi Kebijakan
No Konsep Makna Indikator
1. Capaian
Kelembagaan
Bagaimana pengembangan
kelembagaan oleh
Pemerintah Daerah sesuai
dengan amanat UU KIP
Penetapan PPID
Adanya peraturan dan
petunjuk teknis untuk
pelaksanaan
keterbukaan informasi
di daerah.
2. Capaian
Substantif
Berkaitan dengan produksi
informasi publik yang
wajib disediakan oleh
Pemerintah Daerah.
Tersedianya media
penyampai.
Produk dan jenis
informasi yang sudah
dipublikkan sesuai
dengan apa yang
diamanatkan UU KIP.
Kemudahan akses bagi
publik untuk
mendapatkan informasi.
26
Tabel 2
Konsep Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
No Konsep Makna Indikator
1. Komunikasi Adanya sosialisasi UU KIP
dan kebijakan terkait
sebagai kegiatan untuk
mengkomunikasikan isi
kebijakan kepada badan
publik.
Sosialisasi tentang UU
KIP dari KI, Pemerintah
Pusat, Provinsi, dan
Daerah yang jelas, tepat,
dan konsisten
2. Sumberdaya Ketersedian sumber daya
pendukung seperti
anggaran, sarana prasarana
dan sumber daya manusia
yang kompeten di
bidangnya untuk
melaksanakan UU KIP.
Tercukupinya kebutuhan
anggaran, sumber daya
manusia, dan sarana
prasarana dalam
mendukung pelaksanaan
UU KIP.
3. Disposisi Komitmen para pejabat
terhadap implementasi UU
KIP meliputi sikap dan
pemahaman para pejabat.
Adanya komitmen para
pejabat terhadap
pelaksanaan UU KIP
4. Struktur Birokrasi Bagaimana struktur
birokrasi, norma-norma,
dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam
birokrasi, yang semuanya
itu akan mempengaruhi
implementasi UU KIP.
Pendelegasian
wewenang dalam
pembentukan PPID
Adanya peraturan
tentang keterbukaan
informasi publik
Adanya SOP
Adanya koordinasi yang
baik dalam pelayanan
informasi
5. Lingkungan
Sosial dan Politik
Sejauh mana kelompok-
kelompok kepentingan
memberikan dukungan
bagi implementasi
kebijakan.
Adanya dukungan
DPRD, pelaku media,
dan publik terhadap
pelaksanaan UU KIP
27
G. Metodologi Penelitian
G.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif dipandang sesuai karena dalam penelitian
kualitatif penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh
untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang
berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam lokasi penelitian.
Dengan penelitian deskriptif ini diharapkan mendapatkan gambaran
yang jelas tentang implementasi UU KIP oleh Pemkab Kediri dan nantinya dapat
memberikan rekomendasi yang baik, jelas, dan berimbang bagi para pembuat
keputusan serta untuk mendukung perencanaan di dalam organisasi.
G.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah studi kasus. Metode kajian menggunakan
studi kasus untuk mendapatkan uraian dan penjelasan komprehesif mengenai
berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu komunitas, atau suatu
situasi sosial.
Dalam kajian kebijakan, studi kasus bisa digunakan untuk melihat daya
guna suatu kebijakan. Studi kasus juga dapat digunakan untuk memahami
fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini sesuai dengan
kebutuhan peneliti untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah
diajukan.
28
G.3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah analisis implementasi UU KIP oleh Pemkab
Kediri selama tahun 2008-2013 yang dilihat dari aspek capaian kelembagaan dan
substantif serta faktor pendukung dan penghambat implementasi yang dilihat dari
aspek komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, dan lingkungan
sosial politik.
G.4. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah para pegawai di Pemerintah Kabupaten
Kediri.
G.5. Jenis dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung. Data primer di
dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada informan.
Informan-informan tersebut adalah para pegawai di Pemkab Kediri, DPRD,
pekerja media, dan perwakilan LSM. Sedangkan definisi dari data sekunder
adalah data-data yang diperoleh dari tangan kedua, misalnya data yang diperoleh
dari data kepustakaan, data-data dari unit kerja Pemkab Kediri, ataupun lembaga-
lembaga sejenis. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh melalui studi
kepustakaan dalam usaha mendapat informasi pada tahap awal penelitian serta
pada saat melakukan analisis. Data kepustakaan yang dikumpulkan terdiri dari
buku, jurnal, makalah, artikel surat kabar, dan artikel dari internet terkait UU KIP.
29
G.6. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu analisis
data sekunder, pengamatan langsung atau observasi, dan wawancara mendalam.
G.6.1 Analisis Data Sekunder
Analisis data sekunder dilakukan dengan meninjau dokumen-dokumen
yang mencakup kebijakan di tingkat lokal dan dokumen lain yang relevan dengan
tujuan penelitian. Analisis data sekunder dalam penelitian ini diantaranya adalah
analisis tentang kebijakan lokal yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan UU
KIP, manajemen sistem informasi, dan data-data dalam layanan informasi.
G.6.2 Observasi
Observasi dilakukan dengan cara mendatangi lokasi pelayanan publik dan
mengamati prosedur pelayanan. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa
perilaku pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta
jaringan infrastruktur yang digunakan dalam melayani publik. Observasi juga
dilakukan untuk mengamati website www.kedirikab.go.id yang merupakan
website resmi Pemkab Kediri yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab
Dinas Kominfo.
G.6.3 Wawancara
Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan
wawancara mendalam (Lincoln & Denzin, 2009; 507), wawancara mendalam
berguna untuk mencari kekhasan dari sebuah jawaban, tidak hanya berhenti pada
jawaban normatif, namun lebih pada kenapa dan bagaimana.
30
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi
dari informan penting dan juga dari beberapa pihak yang berkaitan dan yang
mengetahui proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan penyediaan informasi.
Wawancara diarahkan untuk mengungkap kebijakan dan sikap para birokrat
pelaksana layanan dan pengambil keputusan sekaligus mencari tahu tentang pola
koordinasi-kerja sama antar lembaga publik, dan dukungan eksternal yaitu publik
dan DPRD.
G.6.3.1 Informan
Untuk mencari informasi tentang implementasi UU KIP di Pemkab Kediri,
peneliti melakukan wawancara dengan informan-informan di jajaran Pemkab
Kediri, diantaranya :
1. Kepala Dinas Kominfo Kab. Kediri, Ir. Adi Suwignyo, M.Si
2. Kepala Bagian Humas dan Protokol Kab. Kediri, Edhi Purwanto, SH
3. Para karyawan di Pemerintah Kabupaten Kediri
Sedangkan untuk mencari informasi terkait dengan kondisi lingkungan
sosial dan politik, wawancara dilakukan dengan :
1. Ketua Badan Legislasi DPRD Kabupaten Kediri, Nur Wakhid
2. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kediri, Mega Wulandari
3. Ketua LSM Serikat Rakyat Kediri Bersatu (SRKB) , Munasir Huda
4. Ketua LSM Indonesia Justice Society (IJS) Kediri, Ahmad Mahbuba
Dipilihnya informan tersebut karena sangat relevan dengan maksud dan
tujuan penelitian ini dilakukan. Kepala Bagian Humas dan Protokol merupakan
juru bicara dari Pemkab Kediri. Dengan menganut sistem arus satu pintu, semua
31
layanan informasi dilakukan melalui Bagian Humas dan Protokol, sehingga
lembaga inilah yang paling mengetahui bagaimana pelayanan informasi
berlangsung. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi adalah pembuat komitmen
dalam sistem teknologi informasi yang turut mendukung bekerjanya sistem
informasi dan komunikasi di Pemkab Kediri. Karyawan Pemkab Kediri terutama
di Bagian Humas dan Protokol serta Dinas Kominfo merupakan SDM di lembaga
yang paling erat kaitannya dengan isu keterbukaan informasi. Sedangkan untuk
mengetahui informasi tentang tanggapan legislatif dan publik, Ketua Badan
Legislasi DPRD Kabupaten Kediri bisa mewakili lembaga legislatif yang turut
berperan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan
Ketua PWI Kediri dan Ketua LSM SRKB serta Ketua LSM IJS yang dimaksud
memimpin lembaga yang mewakili media dan masyarakat dalam pelayanan
informasi.
G.7. Teknik Penyajian Data
Dalam penelitian ini, data-data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti
selanjutnya diolah dalam proses pemilihan dengan memusatkan perhatian pada
kumpulan data dan memilah data yang diperlukan dalam penelitian. Selanjutnya
hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk rangkaian tulisan atau teks. Selain
menyajikan data-data yang berupa kata-kata, dalam penelitian ini, penyajian data
juga dilakukan dalam bentuk tabel dan gambar sebagai data pendukung.
G.8 Teknik Analisis Data
Data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi serta data
sekunder yang sudah diolah, kemudian disajikan berdasarkan dengan kerangka
32
konsep yang sudah digambarkan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan dianalisis
dan dimaknai dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi, khususnya
tentang keterbukaan informasi publik di Indonesia.
G.9 Batasan Penelitian
Deskripsi tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pemkab Kediri dari tahun 2008 sejak
undang-undang tersebut diundangkan hingga tutup anggaran Desember 2013.
G.10 Sistematika Tesis
Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep penelitian,
metodologi penelitian, teknik penyajian data, teknik analisis data,
batasan penelitian, dan sistematika tesis.
Bab II : Gambaran Umum Objek Penelitian berisi tentang Profil Pemerintah
Kabupaten Kediri, Layanan Informasi Publik di Pemerintah Kabupaten
Kediri, dan Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Kediri.
Bab III : Hasil Penelitian, berisi tentang Implementasi Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Pemerintah
Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013 meliputi aspek capaian
implementasi (kelembagaan dan substantif) dan aspek faktor
pendukung dan penghambat implementasi.
Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran