bab i pendahuluan a. latar belakang...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada bulan April 2008, pemerintah telah meresmikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang- undang ini diberlakukan efektif pada 1 Mei 2010. Bisa dikatakan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP ini merupakan wujud dari implementasi demokrasi dalam suatu pemerintahan. Kebijakan dalam undang-undang ini menjamin salah satu hak dasar dalam kehidupan demokrasi dan kebijakan publik, yaitu ketersediaan informasi secara transparan. Secara garis besar, undang-undang ini memang bertujuan untuk menjawab hak publik atas kebutuhan informasi, yang transparan, cepat dan akurat. Ini berarti setiap lembaga dituntut bisa menjadi komunikator dan sumber informasi yang baik bagi publik, dalam artian cekatan dan berkualitas. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, maka undang-undang ini mengamanatkan serangkaian kewajiban kepada semua badan publik sebagaimana diatur dalam pasal 7 yakni : 1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. 2. Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan.

Upload: dinhxuyen

Post on 02-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada bulan April 2008, pemerintah telah meresmikan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-

undang ini diberlakukan efektif pada 1 Mei 2010. Bisa dikatakan UU Nomor 14

Tahun 2008 tentang KIP ini merupakan wujud dari implementasi demokrasi

dalam suatu pemerintahan. Kebijakan dalam undang-undang ini menjamin salah

satu hak dasar dalam kehidupan demokrasi dan kebijakan publik, yaitu

ketersediaan informasi secara transparan.

Secara garis besar, undang-undang ini memang bertujuan untuk menjawab

hak publik atas kebutuhan informasi, yang transparan, cepat dan akurat. Ini berarti

setiap lembaga dituntut bisa menjadi komunikator dan sumber informasi yang

baik bagi publik, dalam artian cekatan dan berkualitas. Untuk mencapai tujuan

yang dimaksud, maka undang-undang ini mengamanatkan serangkaian kewajiban

kepada semua badan publik sebagaimana diatur dalam pasal 7 yakni :

1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan

informasi publik yang berada dibawah kewenangannya kepada pemohon

informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

2. Badan publik wajib menyediakan informasi publik yang akurat, benar dan

tidak menyesatkan.

2

3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan

Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan

dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisien

sehingga dapat diakses dengan mudah.

4. Badan publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis setiap kebijakan

yang diambil untuk memenuhi hak setiap orang atas informasi publik.

5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat

pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan

keamanan negara.

6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau

media elektronik dan nonelektronik.

Sudah lima tahun lebih berjalan, nyatanya pelaksanaan UU Nomor 14

Tahun 2008 tentang KIP ini berjalan lamban. Ditengarai dengan belum

terbentuknya Komisi Informasi Daerah di semua provinsi di Indonesia. Saat ini

yang tercatat di website Komisi Informasi (www.komisiinformasi.go.id), Komisi

Informasi Daerah baru ada di 20 provinsi. Padahal, Komisi Informasi Daerah

merupakan perpanjangan tugas dan fungsi dari Komisi Informasi Pusat yang

kehadirannya sangat berperan penting dalam mengusung pelaksanaan Undang-

Undang Keterbukaan Informasi Publik di daerah.

Tidak hanya Komisi Informasi Daerah yang belum terbentuk di beberapa

provinsi, penunjukan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang

disyaratkan dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan

3

ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 61Tahun 2010 sebagai

petunjuk teknis pun belum sepenuhnya terlaksana. Masih banyak badan publik

yang belum memiliki PPID. Data dari PPID Kementerian Kominfo

(http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com) menyebutkan per 1 November 2013,

dari 693 badan publik, baru 227 yang memiliki PPID atau sekitar 32,76%, dengan

rincian 34 Lembaga Kementerian, 36 Lembaga Negara/Lembaga Setingkat

Menteri/LNS/LPP, 23 Lembaga Provinsi, 98 Kabupaten, dan 36 Kota. Dari 227

yang terbentuk, masih banyak yang kenyataannya belum bekerja maksimal.

Kondisi ini cukup memprihatinkan, mengingat seperti yang tercantum dalam pasal

13 UU KIP, penunjukan PPID merupakan syarat untuk mewujudkan pelayanan

yang cepat, tepat, dan sederhana.

Ada beberapa kendala yang memungkinkan terjadinya kelambanan

pelaksanaan UU KIP ini. Diantaranya masih kurangnya pemahaman badan publik

selaku pelaksana atas kewajiban yang diamanatkan dalam UU KIP itu sendiri.

Termasuk tentang prosedur dan mekanisme dalam manajemen informasi.

Dari sederetan badan publik yang masih lamban melaksanakan UU KIP,

Pemerintah Kabupaten Kediri merupakan salah satunya. Hingga September 2013,

berdasarkan data di www.kip.jatimprov.go.id, dari 38 kabupaten/kota yang ada di

Jawa Timur, Kabupaten Kediri merupakan salah satu dari 8 kabupaten/kota yang

belum memiliki PPID. Tujuh lainnya adalah Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri,

Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten

Bondowoso, dan Kabupaten Situbondo.

4

Secara kelembagaan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Kediri

Nomor 188.45/945/418.32/2013 tentang Penetapan PPID Kabupaten Kediri, PPID

di Kabupaten Kediri baru resmi berdiri 27 Desember 2013. Meskipun sudah resmi

berdiri dan memiliki legalitas dengan SK tersebut namun secara fisik, PPID di

Kabupaten Kediri belum beroperasi dan melaksanakan fungsinya.

Pembentukan PPID di Kabupaten Kediri mengalami proses yang lumayan

panjang. Pembentukan PPID sebenarnya sudah dimulai pada tahun 2010, dan

melewati beberapa rapat koordinasi untuk membahas dan memutuskan

pembentukannya. Namun proses tersebut baru menemui hasil di akhir 2013 yang

berarti hampir mencapai masa 4 tahun berjalannya Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2008 tentang KIP secara efektif.

Masih terlalu dini memang untuk bisa melihat implementasi UU Nomor 14

Tahun 2008 tentang KIP ini berdasarkan fungsi dari PPID tersebut, mengingat

berdirinya yang masih baru. Namun bukan berarti kajian terhadap implementasi

undang-undang tersebut tidak bisa dilakukan. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang

KIP mengamanatkan banyak hal, tidak hanya terkait dengan keberadaan lembaga

seperti Komisi Informasi dan PPID, namun juga secara substansi yang terkait

dengan pelayanan informasi oleh badan publik. Apalagi jelas disebutkan oleh

undang-undang tersebut (pasal 21 ayat 2 ), bahwa dalam hal PPID belum ditunjuk,

tugas dan tanggung jawab PPID dapat dilakukan oleh unit atau dinas di bidang

informasi, komunikasi, dan/atau kehumasan.

Disampaikan oleh Kepala Bagian Organisasi Pemerintah Kabupaten

Kediri, Sonny SM Laksono, dengan keberadaan Peraturan Daerah (Perda)

5

Kabupaten Kediri Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang

didalamnya memuat tentang pelayanan informasi, maka Pemerintah Kabupaten

Kediri dalam hal ini bisa dikatakan sudah berkewajiban melaksanakan amanat

dari UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Hal serupa juga disampaikan oleh

Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Kediri, Edhi

Purwanto. Edhi Purwanto menjelaskan dengan adanya Perda Pelayanan Publik,

Pemerintah Kabupaten Kediri sudah melaksanakan Undang-Undang Nomor 14

Tahun 2008 tentang KIP namun pelaksanaan itu memang masih banyak

kekurangan karena adanya kendala yang dihadapi.

Melihat kasus sengketa informasi sebagai hal yang mungkin terjadi atas

kegagalan pelayanan informasi, di Kabupaten Kediri hingga saat ini belum pernah

terjadi sengketa informasi. Hal ini di satu sisi, bisa saja memang karena

keberhasilan dari pemerintah dalam memberikan pelayanan informasi yang lancar.

Namun di sisi lain, hal itu bisa saja menggambarkan pasifnya masyarakat

Kabupaten Kediri terhadap keterbukaan informasi.

Pelayanan informasi oleh Pemerintah Kabupaten Kediri selama ini

menerapkan sistem arus satu pintu. Institusi yang berwenang sepenuhnya sebagai

gerbang utama pelayanan informasi adalah Bagian Humas dan Protokol.

Sedangkan bidang komunikasi dan informasi menjadi wewenang Dinas

Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Praktis, ada dua lembaga bidang

informasi yang dekat dengan isu keterbukaan informasi publik. Bagian Humas

dan Protokol sehari-harinya melayani permintaan informasi publik. Dalam

tugasnya, Bagian Humas dan Protokol menjalin kerja sama dengan media massa

6

dalam penyebaran informasi, disamping mengeluarkan buletin, liflet, juga media

internal pemerintah daerah. Dinas Kominfo melakukan publikasi informasi

melalui iklan layanan masyarakat, kegiatan komunikasi di masyarakat melalui

media tradisional, dan penyebarluasan informasi melalui media cetak dan

elektronik. Dinas Kominfo juga membuka layanan resmi informasi seputar

pemerintah daerah melalui pengelolaan website www.kedirikab.go.id. Dalam

sistem pemerintahan yang seperti ini, koordinasi dan sistem informasi yang

terintegrasi sangat dibutuhkan untuk memberikan pelayanan informasi yang cepat,

tepat, dan akurat.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, baik Bagian Humas dan Protokol

maupun Dinas Kominfo selaku lembaga yang menangani bidang informasi masih

menemui beberapa kendala, diantaranya terkait dengan sumber daya manusia,

prasarana, juga koordinasi antar lembaga. Kendala-kendala tersebut tentu saja

turut menghambat kelancaran pelayanan informasi kepada masyarakat.

Berbagai gambaran yang dikemukan diatas, seperti lambannya

pelaksanaan UU KIP di badan publik daerah dengan ditandai lambannya

pembentukan PPID, tidak adanya kasus sengketa informasi, juga kurang

maksimalnya layanan informasi, kemudian mendorong perlu dilakukannya

penelitian tentang implementasi UU KIP oleh badan publik daerah, salah satunya

Pemerintah Kabupaten Kediri ini, untuk mendapatkan gambaran tentang

pelaksanaan keterbukaan informasi dan mengetahui kendala-kendala yang

dihadapi oleh badan publik daerah.

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan di atas maka rumusan

masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. “Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang

Keterbukaan Informasi Publik di Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun

2008-2013?”

2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di

Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP

oleh Pemerintah Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013.

2. Mengidentifikasi hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Pemerintah

Kabupaten Kediri selaku pelaksana UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Memberikan gambaran tentang implementasi UU KIP di daerah.

2. Menunjukkan hambatan dan kendala yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan

UU KIP serta memberikan rekomendasi dalam rangka implementasi tersebut

selanjutnya.

3. Melengkapi penelitian empiris tentang analisi kebijakan komunikasi.

4. Menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

8

E. Kerangka Pemikiran

E.1. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP sebagai Kebijakan Komunikasi

UU KIP merupakan salah satu dari kebijakan komunikasi yang ada di

Indonesia. Kebijakan komunikasi lainnya misalnya UU Nomor 32 Tahun 2002

tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kebijakan komunikasi menurut UNESCO

dalam Abrar (2008; 10) dimaknai sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-

norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi.

Kebijakan komunikasi lahir setelah adanya sistem komunikasi. Setiap Negara

memiliki sistem komunikasi dimana pola-pola komunikasi berjalan dan berproses.

Sistem komunikasi terdiri dari berbagai sub sistem yang menjalankan fungsi

masing-masing dan memerlukan sebuah regulasi agar sub sistem tersebut dapat

berjalan tanpa saling berbenturan satu sama lain. Informasi merupakan salah satu

bagian dari sistem komunikasi yang memerlukan aturan khusus sebagai pedoman

para pelaku komunikasi bertindak. UU KIP adalah salah satu kebijakan

komunikasi yang dibuat untuk memperlancar sub sistem informasi tersebut

berjalan.

Menurut Abrar (2008; 4), kebijakan komunikasi setidaknya memiliki 3

bagian penting, yaitu konteks, domain, dan paradigm. Konteks berarti keterkaitan

kebijakan komunikasi dengan sesuatu yang melingkupi dirinya seperti politik-

ekonomi, politik komunikasi, dll. Domain kebijakan komunikasi berarti muatan

nilai yang dikandung dalam sebuah komunikasi seperti globalisasi, ekonomi

global, dll. Sedangkan paradigma lebih kepada kerangka cita-cita yang

9

menjadikan tujuan kebijakan komunikasi tersebut. Kebijakan komunikasi

setidaknya memiliki 5 kriteria. Kriteria ini berkaitan dengan bentuk kebijakan

sebagai sebuah kebijakan publik. Kriteria tersebut yaitu memiliki tujuan tertentu,

berisi tindakan pejabat pemerintah, memperlihatkan apa yang akan dilakukan

pemerintah, bisa bersifat positif dan negatif, dan bersifat memaksa (otoritatif).

E.1.1 Keterbukaan Informasi

UU KIP sebagai undang-undang keterbukaan informasi tentu saja

dimaksudkan untuk mengatur tentang pemenuhan hak publik atas informasi yang

transparan dari badan publik. Tujuan keterbukaan informasi adalah memastikan

bahwa lembaga publik akan lebih akuntabel dan transparan dalam menyediakan

informasi. Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi

merupakan kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental,

sebuah informasi adalah milik publik, bukan milik pemerintah atau badan publik.

Akan tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup

informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik

tetap harus didahulukan.

Disampaikan Mendel (2008) regulasi yang berkaitan dengan kebebasan

informasi atau lebih dikenal keterbukaan informasi publik di Indonesia akan

selalu memuat hak setiap orang untuk memperoleh informasi, kewajiban badan

publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat dan tepat

waktu, biaya ringan (proporsional), dan cara sederhana, adanya pengecualian

informasi bersifat ketat dan terbatas, serta kewajiban badan publik untuk

membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi. Untuk mewujudkan

10

good governance UU KIP sangatlah perlu. UU KIP akan mengawal pemerintahan

berlangsung transparan dan partisipasi masyarakat terjadi secara optimal dalam

seluruh proses pemerintahan, mulai dari pengambilan, pelaksanaan serta evaluasi

keputusan.

E.2. Implementasi Kebijakan

Sebuah kebijakan merupakan sebuah proses kegiatan yang melewati

beberapa tahapan. Tahapan tersebut adalah penyusunan agenda, formulasi

kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

Menurut Lester dan Stewart dalam Kusumanegara (2010; 97),

implementasi adalah sebuah tahapan yang di lakukan setelah aturan hukum

ditetapkan melalui proses politik. Kalimat tersebut seolah-olah menunjukkan

bahwa implementasi lebih bermakna non politik, yaitu administratif.

Implementasi sebagai kegiatan administrasi memiliki konsekuensi dalam

pelaksanaannya dan memiliki dampak terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan dipandang dalam

pengertian yang luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor,

organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan

kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (2012; 135) membatasi

implementasi kebijakan sebagai tindakan - tindakan yang dilakukan oleh individu-

individu (alat kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan

untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan - keputusan

kebijakan sebelumnya, tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk

11

mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam

kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk

mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-

keputusan kebijakan.

E.2.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Ada beberapa model implementasi kebijakan yang bisa digunakan untuk

menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi sebuah kebijakan.

Berikut dua model yang sering digunakan untuk mengkaji faktor pendukung dan

penghambat dalam implementasi kebijakan :

a. Model George C. Edwards III

Menurut Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat

variabel, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur

birokrasi.

Gambar 1. Proses Implementasi Kebijakan Model Edwards III

Sumber : Edwards III dalam Subarsono (2005; 91)

Komunikasi

Struktur Birokrasi

Implementasi

Disposisi

Sumber daya

12

Keempat variabel yang digambarkan di atas bisa diuraikan sebagai berikut :

1. Komunikasi

Menurut Edwards, komunikasi harus ditransmisikan kepada personel yang

tepat, dan harus jelas, akurat serta konsisten.

- Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan

sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi

(Subarsono, 2005 ; 90)

- Kejelasan. Instruksi-instruksi yang diberikan kepada para pelaksana

kebijakan harus jelas sehingga tidak mengaburkan pesan awal dari

kebijakan tersebut. Selain itu kurangnya kejelasaan dapat

menimbulkan perubahan kebijakan yang tidak diharapkan (Winarno,

2008; 177). Dalam mengimplementasikan kebijakan, setiap instruksi

yang diberikan harus diinformasikan dengan jelas.

- Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif,

maka perintah-perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas

(Winarno, 2008; 177). Ketidakkonsistenan dapat menyebabkan tujuan

dari kebijakan tersebut tidak akan tercapai.

2. Sumber daya

Sumber daya berkaitan dengan ketersediaan sumber daya pendukung,

khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana

kebijakan publik untuk melaksanakan kebijakan secara efektif (Nugroho, 2012;

13

693). Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia dan sumber

daya finansial. Sumber daya meliputi sumber aya manusia (staf) yang memadai

serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,

wewenang dan fasilitas-fasilitas (Winarno, 2008; 181).

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti komitment, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono, 2005; 91). Dengan

kata lain, disposisi merupakan kesediaan dari pelaksana kebijakan untuk

melaksanakan kebijakan tersebut. Disposisi yang baik dari implementator akan

menghasilkan pelaksanaan kebijakan yang baik pula. Namun bila implementator

memiliki sikap atau perspekstif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka

proses implementasi kebijakan menjadi tidak efektif.

4. Struktur birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan secara

keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak

sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka

memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan modern. Pada dasarnya,

para pelaksana kebijakan mungkin mengetahui apa yang dilakukan dan

mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya. Tetapi

dalam pelaksanaannya mungkin mereka masih di hambat oleh struktur-struktur

organisasi di mana mereka menjalankan kegiatan tersebut.

14

Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni

prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut sebagai Standard

Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi :

- Standar Operasional Prosedur (SOP)

Salah satu dari aspek-aspek struktual paling dasar dari suatu organisasi

adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya Standard Operating

Procedures (SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat

memanfaatkan waktu yang tersedia. Selain itu, SOP juga

menyeragamkan tindakan-tindakan dari para pejabat dalam organisasi-

organisasi yang kompleksitas dan tersebar luas, yang pada gilirannya

dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang dapat dipindahkan

dengan mudah dari suatu tempat ke tempat lain) dan kesamaan yang

besar dalam penerapan peraturan-peraturan. Organisasi-organisasi

dengan Standard Operating Procedures (SOP) yang luwes dan kontrol

yang besar atas program-program yang luwes mungkin lebih dapat

menyesuaikan tanggungjawab yang baru ketimbang birokrasi-birokrasi

tanpa menpunyai Standard Operating Procedures (SOP).

- Fragmentasi

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam

melaksanakan kebijakan adalah fragmentasi organisasi.

Tanggungjawab bagi suatu bidang kebijakan sering tersebar di antara

beberapa organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi kekuasaan

tersebut dilakukan secara radikal guna mencapai tujuan-tujuan

15

kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan juga akan mempunyai

pengaruh dalam mendorong fragmentasi. Sifat multidimensi dari

banyak kebijakan juga ikut mendorong fragmentasi. Konsekuensi yang

paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha untuk

menghambat koordinasi. Para birokrat karena alasan-alasan prioritas

dari badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk

menghindari koordinasi dengan badan-badan lain.

b. Model Van Meter dan Van Horn

Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter

dan Van Horn disebut dengan A Model of the Policy Implementation. Model ini

mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari

keputusan politik, pelaksana dan kinerja kebijakan publik. Kedua tokoh ini

menyampaikan 6 variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik. Enam

variabel yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik model Van Meter dan Van

Horn ini diuraikan sebagai berikut :

1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan

terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur,

maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara

para agen implementasi.

2. Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik

sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia

(non-human resourse).

16

3. Aktifivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi. Dalam banyak

program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi

dengan intansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar

instansi bagi keberhasilan suatu program.

4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana

adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan

yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi

implementasi suatu program.

5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya

ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi

kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan

dukungan bagi implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan,

bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite politik

mendukung implementasi kebijakan.

6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang

penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan

memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni

pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor,

yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

Enam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn yang

diuraikan di atas digambarkan dalam skema sebagai berikut :

17

Gambar 2

Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn (1975)

Sumber : Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005; 100)

Untuk menggambarkan implementasi sebuah kebijakan di lembaga

pemerintah, baik model Edwards III maupun model Van Meter dan Van Horn ini

masih relevan, mengingat arah kebijakan yang berjalan linear dari atas ke bawah,

yaitu dari pembuat kebijakan, pelaksana, ke publik. Bila kita kaji lebih dalam,

sebenarnya kedua model yang dikemukakan di atas memiliki variabel yang

hampir sama satu sama lain. Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh

Edwards III, maka variabel dalam model Van Meter dan Van Horn bisa

dimasukkan ke dalam variabel Edwards III sebagai berikut : variabel (1) standar

Ukuran

dan Tujuan

Kebijakan

Kebijakan

Publik

Kinerja

Kebijakan

Publik

Komunikasi

Antar

Ogranisasi dan

Kegiatan

Pelaksanaan

Sumber

Daya

Kebijakan

Publik

Karakteristik

Badan

Pelaksana

Lingkungan

Ekonomi, Sosial

dan Politik

Disposisi

Pelaksana

18

dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan dalam variabel “komunikasi”. Hal ini

karena dari penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar

dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multiinterpretasi

maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber

daya”, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel (3) hubungan antar

organisasi dapat kita masukkan dalam variabel “struktur birokrasi” karena

mengarah pada proses koordinasi di dalam struktur organisasi. Variabel (4)

karakteristik agen pelaksana dapat kita masukkan pada variabel “struktur

organisasi”. Sedang variabel (6) disposisi implementor, dapat kita masukkan pada

variabel “disposisi”. Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Metter

dan Van Horn, yang agak berbeda adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan

ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini

terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga

mempertimbangkan faktor eksternal.

E.3 Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi

Ditegaskan oleh Merilee S. Grindle (1980; 8-10), dalam analisis

implementasi kebijakan, setidaknya ada dua aspek penting yang seyogyanya

dilihat, yaitu : Pertama, isi kebijakan. Isi kebijakan berpengaruh bagi

implementasi karena menentukan hal-hal apa saja yang akan diimplementasikan

serta siapa yang akan melakukannya. Kedua, konteks kebijakan. Kondisi sosial-

politik serta office politics dalam tubuh birokrasi akan menentukan bagaimana

kebijakan akan diimplementasikan.

19

Dalam implementasi kebijakan, berkenaan dengan pencapaian

implementasi undang-undang dapat dipilahkan secara sederhana menjadi dua : (1)

pengembangan kelembagaan, dan (2) pencapaian substantif. Dalam kajian

implementasi kebijakan keterbukaan informasi, Pratikno dkk (2012; 5-6), melihat

aspek pengembangan kelembagaan dari tiga indikator, yakni (a) pembentukan

Komisi Informasi Daerah (KID), (b) penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi (PPID), dan (c) peraturan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan

keterbukaan informasi di daerah. Adapun pencapaian substansif berkaitan dengan

produksi informasi publik yang wajib disediakan oleh satuan Pemda kepada

khalayak di wilayahnya masing-masing. Aspek substantif ini tersusun atas tiga

indikator, yakni (a) ketersediaan media penyampai, (b) produk dan jenis informasi

yang sudah dipublikkan, dan (c) kemudahan akses bagi publik untuk mendapatkan

informasi tersebut.

Aspek pencapaian implementasi seperti yang dikemukakan oleh Pratikno

dkk diatas berhasil menjelaskan implementasi kebijakan terkait dengan isi

kebijakan keterbukaan informasi di Indonesia.

E.4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik

E.4.1 Tujuan UU KIP

UU KIP bertujuan untuk menjawab hak publik atas kebutuhan informasi,

yang transparan, cepat dan akurat. Tujuan lebih terperinci tentang penerbitan UU

ini sebagaimana tercantum pada pasal 3 UU KIP yaitu :

20

a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan

publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,

serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;

b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan

publik;

c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik

dan pengelolaan Badan Publik yang baik;

d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif

dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;

e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang

banyak;

f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

dan/atau

g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan

Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas

E.4.2 Kewajiban Pemerintah Daerah

Kewajiban Pemerintah Daerah dalam UU KIP :

a. Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan

dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien

sehingga dapat diakses dengan mudah (Pasal 7 ayat 3)

b. Menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID); dan

membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara

21

cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis layanan informasi

publik yang berlaku secara nasional (Pasal 13 ayat 1a dan ayat 1b)

c. Komisi Informasi terdiri atas Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi

Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi kabupaten/kota (Pasal 24 ayat

1)

d. Anggaran Komisi Informasi Pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan

belanja negara, anggaran Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi

Informasi kabupaten/kota dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja

daerah provinsi dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan (Pasal 29 ayat 6)

Kewajiban Pemerintah Daerah terkait pelaksanaan UU KIP dalam

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan

Informasi Publik :

a. Menetapkan peraturan mengenai standar prosedur operasional layanan

informasi publik

b. Membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk

mengelola informasi publik secara baik dan efisien

c. Menunjuk dan mengangkat PPID untuk melaksanakan tugas dan tanggung

jawab serta wewenangnya

d. Menganggarkan pembiayaan secara memadai bagi layanan Informasi Publik

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

22

e. Menyediakan sarana dan prasarana layanan Informasi Publik, termasuk papan

pengumuman dan meja informasi di setiap kantor Badan Publik, serta situs

resmi bagi Badan Publik Negara

f. Menetapkan standar biaya perolehan salinan Informasi Publik

g. Menetapkan dan memutakhirkan secara berkala Daftar Informasi Publik atas

seluruh Informasi Publik yang dikelola

h. Menyediakan dan memberikan Informasi Publik sebagaimana diatur di dalam

Peraturan ini

i. Memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi

Publik yang mengajukan keberatan

j. Membuat dan mengumumkan laporan tentang layanan Informasi Publik sesuai

dengan Peraturan ini serta menyampaikan salinan laporan kepada Komisi

Informasi

k. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan layanan Informasi

Publik pada instansinya

Kewajiban Pemerintah Daerah yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik :

a. Pimpinan Badan Publik menunjuk PPID paling lambat satu tahun sejak

Peraturan Pemerintah ini diundangkan (Agustus 2011). PPID dijabat oleh

seseorang yang memiliki kompetensi di bidang pengelolaan informasi dan

dokumentasi (Pasal 12, 13 dan 21 ayat 1)

23

b. Dalam hal PPID belum ditunjuk, tugas dan tanggung jawab PPID dapat

dilakukan oleh unit atau dinas di bidang informasi, komunikasi, dan/atau

kehumasan (Pasal 21 ayat 2)

Kewajiban Pemerintah Daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan

Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan

Daerah :

a. PPID di lingkungan pemerintahan provinsi ditetapkan oleh gubernur,

sedangkan untuk lingkungan kabupaten/kota, PPID ditetapkan oleh

bupati/wali kota (Pasal 7 ayat 4 dan 5)

b. PPID melekat pada pejabat struktural yang membidangi tugas dan fungsi

pelayanan informasi (Pasal 7 ayat 2) dan dibantu oleh PPID Pembantu yang

ada di masing-masing SKPD (Pasal 8 ayat 5 dan 6)

c. PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota

masing-masing bertanggung jawab kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota

melalui Sekretaris Daerah (Pasal 8 ayat 2 dan 3)

d. Tata kerja PPID di lingkungan Pemerintahan Provinsi diatur dalam Peraturan

Gubernur, sedangkan tata kerja PPID di lingkungan Pemerintahan

Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Bupati/Wali Kota (Pasal 12 ayat 2 dan

3)

Berkenaan dengan layanan informasi, dalam Bab IV UU KIP diatur

tentang jenis-jenis informasi yang wajib disediakan oleh badan publik dan

informasi yang dikecualikan. Menurut UU KIP, sebagaimana dirinci dalam

24

Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan

Informasi Publik, informasi yang dipublikasikan lewat sejumlah medium (laporan

yang diterbitkan, leaflet, brosur, dan website) setidaknya harus berisi beberapa

jenis informasi dasar seperti :

1. Profil organisasi mencakup alamat lengkap SKPD, nomor telepon dan

faksimile, serta struktur organisasi.

2. Program sedang berlangsung mencakup nama, kegiatan, sasaran, penerima

manfaat, anggaran, penanggung jawab utama, serta alamat dan nomor telepon

yang digunakan untuk program kegiatan.

3. Anggaran mencakup total alokasi anggaran untuk tahun sedang berjalan,

rencana anggaran untuk tahun berjalan, laporan keuangan tahun sebelumnya,

serta daftar aset dan persediaan.

4. Akses informasi publik mencakup jumlah permohonan informasi yang

diterima, jumlah permohonan informasi yang ditanggapi, jumlah permohonan

informasi yang ditolak, alasan penolakan, prosedur bagi permohonan

informasi.

5. Peraturan dan kebijakan berdampak pada publik berupa daftar undang-undang,

peraturan, dan kebijakan yang telah diberlakukan atau dalam proses

pengesahan.

F. Konsep Penelitian

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep kajian

implementasi kebijakan keterbukaan informasi dari Pratikno dkk yaitu aspek

capaian implementasi kebijakan yang meliputi capaian kelembagaan dan capaian

25

substantif. Sedangkan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi

implementasi, penelitian ini menggunakan gabungan dari variabel model Edwards

III dan variabel dari model Van Meter dan Van Horn, yang menggunakan model

Edwards III sebagai patokan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga

kedua model tersebut saling melengkapi satu sama lain. Namun tidak semua hal

yang disampaikan oleh Edwards III serta Van Meter dan Van Horn akan

digunakan, melainkan dipilih sesuai kebutuhan penelitian. Untuk mengidentifikasi

faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi, konsep yang akan

digunakan adalah komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, dan

lingkungan sosial politik.

Tabel 1

Konsep Capaian Implementasi Kebijakan

No Konsep Makna Indikator

1. Capaian

Kelembagaan

Bagaimana pengembangan

kelembagaan oleh

Pemerintah Daerah sesuai

dengan amanat UU KIP

Penetapan PPID

Adanya peraturan dan

petunjuk teknis untuk

pelaksanaan

keterbukaan informasi

di daerah.

2. Capaian

Substantif

Berkaitan dengan produksi

informasi publik yang

wajib disediakan oleh

Pemerintah Daerah.

Tersedianya media

penyampai.

Produk dan jenis

informasi yang sudah

dipublikkan sesuai

dengan apa yang

diamanatkan UU KIP.

Kemudahan akses bagi

publik untuk

mendapatkan informasi.

26

Tabel 2

Konsep Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

No Konsep Makna Indikator

1. Komunikasi Adanya sosialisasi UU KIP

dan kebijakan terkait

sebagai kegiatan untuk

mengkomunikasikan isi

kebijakan kepada badan

publik.

Sosialisasi tentang UU

KIP dari KI, Pemerintah

Pusat, Provinsi, dan

Daerah yang jelas, tepat,

dan konsisten

2. Sumberdaya Ketersedian sumber daya

pendukung seperti

anggaran, sarana prasarana

dan sumber daya manusia

yang kompeten di

bidangnya untuk

melaksanakan UU KIP.

Tercukupinya kebutuhan

anggaran, sumber daya

manusia, dan sarana

prasarana dalam

mendukung pelaksanaan

UU KIP.

3. Disposisi Komitmen para pejabat

terhadap implementasi UU

KIP meliputi sikap dan

pemahaman para pejabat.

Adanya komitmen para

pejabat terhadap

pelaksanaan UU KIP

4. Struktur Birokrasi Bagaimana struktur

birokrasi, norma-norma,

dan pola-pola hubungan

yang terjadi dalam

birokrasi, yang semuanya

itu akan mempengaruhi

implementasi UU KIP.

Pendelegasian

wewenang dalam

pembentukan PPID

Adanya peraturan

tentang keterbukaan

informasi publik

Adanya SOP

Adanya koordinasi yang

baik dalam pelayanan

informasi

5. Lingkungan

Sosial dan Politik

Sejauh mana kelompok-

kelompok kepentingan

memberikan dukungan

bagi implementasi

kebijakan.

Adanya dukungan

DPRD, pelaku media,

dan publik terhadap

pelaksanaan UU KIP

27

G. Metodologi Penelitian

G.1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif dipandang sesuai karena dalam penelitian

kualitatif penelitian harus dilakukan secara teliti, mendalam dan menyeluruh

untuk memperoleh gambaran mengenai prinsip-prinsip umum atau pola-pola yang

berlaku umum sehubungan dengan gejala-gejala yang ada dalam lokasi penelitian.

Dengan penelitian deskriptif ini diharapkan mendapatkan gambaran

yang jelas tentang implementasi UU KIP oleh Pemkab Kediri dan nantinya dapat

memberikan rekomendasi yang baik, jelas, dan berimbang bagi para pembuat

keputusan serta untuk mendukung perencanaan di dalam organisasi.

G.2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah studi kasus. Metode kajian menggunakan

studi kasus untuk mendapatkan uraian dan penjelasan komprehesif mengenai

berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu komunitas, atau suatu

situasi sosial.

Dalam kajian kebijakan, studi kasus bisa digunakan untuk melihat daya

guna suatu kebijakan. Studi kasus juga dapat digunakan untuk memahami

fenomena dalam implementasi kebijakan. Penggunaan metode ini sesuai dengan

kebutuhan peneliti untuk mendapatkan jawaban atas rumusan masalah yang telah

diajukan.

28

G.3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah analisis implementasi UU KIP oleh Pemkab

Kediri selama tahun 2008-2013 yang dilihat dari aspek capaian kelembagaan dan

substantif serta faktor pendukung dan penghambat implementasi yang dilihat dari

aspek komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi, dan lingkungan

sosial politik.

G.4. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah para pegawai di Pemerintah Kabupaten

Kediri.

G.5. Jenis dan Sumber Data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung. Data primer di

dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada informan.

Informan-informan tersebut adalah para pegawai di Pemkab Kediri, DPRD,

pekerja media, dan perwakilan LSM. Sedangkan definisi dari data sekunder

adalah data-data yang diperoleh dari tangan kedua, misalnya data yang diperoleh

dari data kepustakaan, data-data dari unit kerja Pemkab Kediri, ataupun lembaga-

lembaga sejenis. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh melalui studi

kepustakaan dalam usaha mendapat informasi pada tahap awal penelitian serta

pada saat melakukan analisis. Data kepustakaan yang dikumpulkan terdiri dari

buku, jurnal, makalah, artikel surat kabar, dan artikel dari internet terkait UU KIP.

29

G.6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data, yaitu analisis

data sekunder, pengamatan langsung atau observasi, dan wawancara mendalam.

G.6.1 Analisis Data Sekunder

Analisis data sekunder dilakukan dengan meninjau dokumen-dokumen

yang mencakup kebijakan di tingkat lokal dan dokumen lain yang relevan dengan

tujuan penelitian. Analisis data sekunder dalam penelitian ini diantaranya adalah

analisis tentang kebijakan lokal yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan UU

KIP, manajemen sistem informasi, dan data-data dalam layanan informasi.

G.6.2 Observasi

Observasi dilakukan dengan cara mendatangi lokasi pelayanan publik dan

mengamati prosedur pelayanan. Data yang dikumpulkan dan dicatat berupa

perilaku pelayanan, kondisi bangunan, dukungan sarana dan prasarana serta

jaringan infrastruktur yang digunakan dalam melayani publik. Observasi juga

dilakukan untuk mengamati website www.kedirikab.go.id yang merupakan

website resmi Pemkab Kediri yang pengelolaannya menjadi tanggung jawab

Dinas Kominfo.

G.6.3 Wawancara

Penelitian ini akan menggunakan teknik pengumpulan data dengan

wawancara mendalam (Lincoln & Denzin, 2009; 507), wawancara mendalam

berguna untuk mencari kekhasan dari sebuah jawaban, tidak hanya berhenti pada

jawaban normatif, namun lebih pada kenapa dan bagaimana.

30

Dalam penelitian ini wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi

dari informan penting dan juga dari beberapa pihak yang berkaitan dan yang

mengetahui proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan penyediaan informasi.

Wawancara diarahkan untuk mengungkap kebijakan dan sikap para birokrat

pelaksana layanan dan pengambil keputusan sekaligus mencari tahu tentang pola

koordinasi-kerja sama antar lembaga publik, dan dukungan eksternal yaitu publik

dan DPRD.

G.6.3.1 Informan

Untuk mencari informasi tentang implementasi UU KIP di Pemkab Kediri,

peneliti melakukan wawancara dengan informan-informan di jajaran Pemkab

Kediri, diantaranya :

1. Kepala Dinas Kominfo Kab. Kediri, Ir. Adi Suwignyo, M.Si

2. Kepala Bagian Humas dan Protokol Kab. Kediri, Edhi Purwanto, SH

3. Para karyawan di Pemerintah Kabupaten Kediri

Sedangkan untuk mencari informasi terkait dengan kondisi lingkungan

sosial dan politik, wawancara dilakukan dengan :

1. Ketua Badan Legislasi DPRD Kabupaten Kediri, Nur Wakhid

2. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kediri, Mega Wulandari

3. Ketua LSM Serikat Rakyat Kediri Bersatu (SRKB) , Munasir Huda

4. Ketua LSM Indonesia Justice Society (IJS) Kediri, Ahmad Mahbuba

Dipilihnya informan tersebut karena sangat relevan dengan maksud dan

tujuan penelitian ini dilakukan. Kepala Bagian Humas dan Protokol merupakan

juru bicara dari Pemkab Kediri. Dengan menganut sistem arus satu pintu, semua

31

layanan informasi dilakukan melalui Bagian Humas dan Protokol, sehingga

lembaga inilah yang paling mengetahui bagaimana pelayanan informasi

berlangsung. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi adalah pembuat komitmen

dalam sistem teknologi informasi yang turut mendukung bekerjanya sistem

informasi dan komunikasi di Pemkab Kediri. Karyawan Pemkab Kediri terutama

di Bagian Humas dan Protokol serta Dinas Kominfo merupakan SDM di lembaga

yang paling erat kaitannya dengan isu keterbukaan informasi. Sedangkan untuk

mengetahui informasi tentang tanggapan legislatif dan publik, Ketua Badan

Legislasi DPRD Kabupaten Kediri bisa mewakili lembaga legislatif yang turut

berperan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan di daerah. Sedangkan

Ketua PWI Kediri dan Ketua LSM SRKB serta Ketua LSM IJS yang dimaksud

memimpin lembaga yang mewakili media dan masyarakat dalam pelayanan

informasi.

G.7. Teknik Penyajian Data

Dalam penelitian ini, data-data yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti

selanjutnya diolah dalam proses pemilihan dengan memusatkan perhatian pada

kumpulan data dan memilah data yang diperlukan dalam penelitian. Selanjutnya

hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk rangkaian tulisan atau teks. Selain

menyajikan data-data yang berupa kata-kata, dalam penelitian ini, penyajian data

juga dilakukan dalam bentuk tabel dan gambar sebagai data pendukung.

G.8 Teknik Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi serta data

sekunder yang sudah diolah, kemudian disajikan berdasarkan dengan kerangka

32

konsep yang sudah digambarkan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan dianalisis

dan dimaknai dengan menggunakan perspektif kebijakan komunikasi, khususnya

tentang keterbukaan informasi publik di Indonesia.

G.9 Batasan Penelitian

Deskripsi tentang Implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008

tentang Keterbukaan Informasi Publik di Pemkab Kediri dari tahun 2008 sejak

undang-undang tersebut diundangkan hingga tutup anggaran Desember 2013.

G.10 Sistematika Tesis

Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, konsep penelitian,

metodologi penelitian, teknik penyajian data, teknik analisis data,

batasan penelitian, dan sistematika tesis.

Bab II : Gambaran Umum Objek Penelitian berisi tentang Profil Pemerintah

Kabupaten Kediri, Layanan Informasi Publik di Pemerintah Kabupaten

Kediri, dan Keterbukaan Informasi Publik di Kabupaten Kediri.

Bab III : Hasil Penelitian, berisi tentang Implementasi Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Pemerintah

Kabupaten Kediri selama tahun 2008-2013 meliputi aspek capaian

implementasi (kelembagaan dan substantif) dan aspek faktor

pendukung dan penghambat implementasi.

Bab IV : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran