bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Selain pendidikan karakter, pendidikan lingkungan, dan pendidikan
anti korupsi, pendidikan tentang literasi media juga semakin dirasa penting
untuk dimasukkan ke dalam kurikulum. Hal tersebut disampaikan oleh
Nina Mutmainnah dari Komisioner KPI Pusat dalam workshop Literasi
Media bertajuk “Menciptakan Masyarakat Melek Media” di tahun 2012
yang lalu. Agatha Lily M.Si., sebagai Komisioner KPI Pusat, juga
menyampaikan bahwa anak usia dini harus dilindungi dari terpaan media.
Hal tersebut didukung dengan adanya penelitian yang menganjurkan anak-
anak supaya tidak menonton televisi lebih dari dua jam dalam sehari.1 Ini
menunjukkan bahwa literasi media merupakan sebuah isu yang perlu
diperhatikan, khususnya bagi anak-anak karena faktanya, anak-anak sulit
terhindarkan lagi dari berbagai tayangan televisi.2
Banyak seminar dan pelatihan diadakan sebagai bentuk kepedulian
berbagai pihak terhadap literasi media anak Indonesia. Beberapa
organisasi kemudian didirikan juga untuk mendukung program-program
literasi media, salah satunya adalah Yayasan Pengembangan Media Anak
(YPMA). Ketua Umum YPMA adalah Guntarto yang juga memiliki blog
www.indonesia-medialiteracy.net. Guntarto kerap menulis tentang literasi
media yang dia dapatkan lewat konferensi atau pun penelitiannya di situs
tersebut. Beberapa waktu yang lalu, Pimpinan Komisariat Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (PK IMM) Dakwah UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, juga menggelar Seminar Literasi Media dengan tema „Peran
1 Ira. 2014. Terarsip di: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/22-literasi-media/32381-
urgensi-literasi-media-usia-dini%20//. Diakses 18 Juli 2016. 2 Ali Sobri. 2012. Terarsip di:
http://health.kompas.com/read/2012/08/31/0826240/penting.literasi.media.masuk.dalam.kurikulum.pendidikan. Diakses 30 Mei 2016.
2
Media Positif dalam Intelektualitas Generasi Muda‟ di Yogyakarta. Para
akademisi juga berpendapat bahwa anak dan remaja perlu mendapatkan
literasi media terlebih dengan kehadiran dan perkembangan media digital
saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh dosen Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Dina Listiorini, pada seminar
“Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013” yang diselenggarakan
UPT-Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Universitas Sanata
Dharma. Literasi media yang dimaksud tidak berhenti pada sisi teknis dan
kontrol penggunaan media, namun juga mengenai isi atau konten media
(Hadi, 2014).3
Potter4 mengatakan bahwa pada dasarnya, literasi media adalah
tentang memiliki kontrol atas media. Sedangkan definisi yang ditawarkan
adalah perspektif yang secara aktif kita gunakan ketika mengekspos diri
terhadap media dalam rangka menginterpretasikan arti dari pesan yang kita
terima. Menjadi orang yang terliterasi media, artinya kita memiliki
keterampilan pikiran yang jernih untuk menentukan arah penjelajahan kita
di dunia media. Dengan demikian, kita bisa mendapatkan pengalaman dan
informasi yang kita inginkan tanpa terganggu dengan hal-hal lain yang
tidak perlu atau berefek buruk.
Dalam lingkup literasi media, iklan merupakan sesuatu yang
menarik untuk ditilik. Sebagai salah satu bentuk media, iklan memiliki
sifat persuasif yang dapat mengubah perilaku konsumen (consumer
behavior). Selain jumlahnya yang semakin banyak, bentuk iklan pun kini
semakin beragam karena perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Sekarang, iklan digital semakin banyak muncul karena
konsumsi media digital masyarakat semakin hari semakin tinggi. Begitu
beragamnya bentuk iklan membuat setiap sendi kehidupan kita tidak dapat
terhindarkan dari iklan. Oleh sebab itu, literasi diperlukan untuk menjaga
3 Bambang Sutopo Hadi. 2014. Akademisi: anak perlu literasi media digital. Terarsip di:
http://www.antarayogya.com/berita/327587/akademisi-anak-perlu-literasi-penggunaan-media-digital. Diakses 20 Mei 2016. 4 W. James Potter. 2001. Media Literacy. Thousand Oaks, CA: Sage Publication. Hal. IX.
3
diri kita untuk tetap sadar akan efek iklan. Karena ketika kita mengabaikan
iklan-iklan tersebut, pesannya justru akan menyentuh alam bawah sadar
kita dan dengan lebih mudah mengontrol perilaku kita.5
Sementara itu, perkembangan budaya dunia sedang dipengaruhi
oleh munculnya Generasi Z yang baru-baru ini menjadi fenomena dan
mulai menggeser pengaruh generasi Milennial terhadap tren global.6 Sama
seperti generasi pendahulunya, Millennials, Generasi Z juga disebut-sebut
sebagai “digital natives” dan sama-sama secara aktif menghindari iklan.7
Namun dalam hal toleransi terhadap iklan daring (online), Generasi Z
lebih toleran dibandingkan Millennials.8
Generasi Z lahir dan tumbuh di era Facebook, Google, dan
YouTube membuat mereka menjadi generasi yang terliterasi dalam segala
hal tentang media sosial, serta menjadikan YouTube sebagai kanal utama.9
Dikatakan pula bahwa Generasi Z sangat menyatu dengan media sosial
karena selain untuk bersosialisasi, media sosial juga digunakan untuk
kepentingan edukasi. Data dari Sparks & Honey menunjukkan bahwa 52%
Generasi Z menggunakan media sosial untuk mengerjakan tugas
5 Ibid., hal. 138.
6 Grace Masback. 2016. 5 Ways that Gen Z is Changing the World. Terarsip di:
http://www.huffingtonpost.com/grace-masback-/5-ways-that-gen-z-is-changing-the-
world_b_9547374.html. Diakses 12 Desember 2016. 7 Matt Kleinschmit. 2015. Generation Z characteristics: 5 infographics on the Gen Z lifestyle.
Terarsip di: https://www.visioncritical.com/generation-z-infographics/. Diakses 13 September
2016. 8 Christopher Heine. 2015. Infographic: Gen Z and Millennials Want Different Things From Brands
– The younger generation is more tolerant of digital ads. Terarsip di:
http://www.adweek.com/news/technology/infographic-gen-z-and-millennials-want-different-
things-brands-163741. Diakses 13 September 2016. 9 Suzanne Bearne. 2015. Forget millennials, brands need to win over Generation Z. Terarsip di:
http://www.campaignlive.co.uk/article/1348169/forget-millennials-brands-need-win-generation-
z?src_site=marketingmagazine#. Diakses 13 September 2016.
4
penelitian, sementara sepertiganya mengerjakan sesuatu bersama teman
secara online dan menonton pembelajaran online.10
Karakteristik Generasi Z yang kompleks dan sinis membuat mereka
menjadi tantangan bagi para pemasar. Karakter tersebut menjadikan
mereka sadar betul akan usaha pemasaran yang dilakukan iklan.11
Konsumsi media dan karakteristik Generasi Z tersebut membuat peneliti
tertarik untuk secara khusus mengeksplorasi literasi Generasi Z, khususnya
di Yogyakarta.
Sementara itu, data BPS (2014) menunjukkan pada anak laki-laki
usia 16-18 tahun di Yogyakarta lebih sering mengakses internet
dibandingkan perempuan dengan perbandingan presentase 55,21% :
44,79%. Data tersebut dipaparkan melalui laporan “Presentase Penduduk
Usia 5 Tahun Ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3 Bulan
Terakhir Menurut Provinsi, Kelompok Umur, dan Jenis Kelamin, 2014”.
Besar kemungkinan anak laki-laki lebih sering mengekspos dirinya
terhadap media baru. Dengan demikian, mereka akan memiliki literasi
yang baik karena dalam keterampilan bermedia, eksposur memiliki peran
yang penting.
Berangkat dari fakta di atas, peneliti memilih siswa-siswa dari
SMA Kolese de Britto Yogyakarta sebagai Generasi Z yang akan diteliti.
SMA Kolese de Britto sendiri merupakan sekolah khusus putra dan
menjadi salah satu sekolah unggulan di Yogyakarta. Sekolah ini juga
menjadi salah satu sekolah yang mendapat predikat sekolah terbaik
nasional versi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Hal tersebut didasarkan pada Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN)
tahun 2015. Penilaiannya sendiri dilakukan oleh pemerintah pusat atas
10
Erik Oster. 2014. This Gen Z Infographic Can Help Marketers Get Wise to the Future – Here
come the social natives. Terarsip di: http://www.adweek.com/news/advertising-branding/gen-z-
infographic-can-help-marketers-get-wise-future-159642. Diakses 13 September 2016. 11
Bearne, Op.Cit.
5
dasar data konsistensi integritas, serta cara, dan proses siswa saat
mengikuti UN dalam kurun waktu enam tahun.12
Selain karena prestasi akademik tersebut, peneliti melihat keunikan
sistem pendidikan di SMA Kolese de Britto. Lewat situsnya,
www.debritto.sch.id, SMA Kolese de Britto menyebutkan bahwa sekolah
ini menggunakan sistem pendidikan bebas. Istilah pendidikan bebas yang
mereka bawa bukan suatu pendidikan yang anarki, namun suatu sistem
yang bebas dari peraturan yang perlu untuk kehidupan masyarakat.
Sekolah ini banyak berfokus pada pembentukan kepribadian (Djoen 1976).
Sistem pendidikan yang bebas ini diikuti dengan kesadaran akan
konsekuensi. Seperti yang disampaikan oleh Prof. Mudrajad Kuncoro,
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang juga
merupakan alumnus SMA Kolese de Britto, bahwa pendidikan SMA
Kolese de Britto menekankan filosofi bebas namun bertanggungjawab dan
disiplin.13
Kebebasan tersebut kemudian diterjemahkan, salah satunya,
dengan kebebasan untuk memakai sepatu dan sandal ke sekolah, juga
rambut gondrong yang kemudian menjadi identitas siswa-siswa SMA
Kolese de Britto. Disampaikan oleh Wakasek Humas SMA Kolese de
Britto, Widi Nugroho, kepada Edupost.Id, bahwa sistem pendidikan yang
dilakukan oleh SMA Kolese de Britto dapat dilihat dari karakter siswa
yang memiliki kemandirian yang baik serta cerdas dalam menentukan
pilihan yang tepat.14
Karakter yang dimiliki siswa-siswa SMA Kolese de
Britto dilihat peneliti sebagai salah satu faktor pendukung perkembangan
literasi mereka. Bahwa kemudian kebebasan untuk memilih dan
12
Ang. 2016. 13 Sekolah di Sleman Tercatat Masuk Predikat Terbaik Nasional. Terarsip di:
http://jogja.tribunnews.com/2016/01/06/13-sekolah-di-sleman-tercatat-masuk-predikat-terbaik-
nasional?page=2. Diakses 4 Oktober 2016. 13
Mediani Dyah Natalia. 2015. Bebaskan Siswa Berekspresi, Cara Kolese de Britto Didik Siswa
Bertanggungjawab. Terarsip di: http://harianjogja.bisnis.com/read/20150809/1/2761/bebaskan-
siswa-berekspresi-cara-kolese-de-britto-didik-siswa-bertanggungjawab. Diakses 4 Oktober 2016. 14
Andi. 2016. SMA De Britto Bebaskan Siswanya Tak Berseragam dan Berambut Gondrong.
Terarsip di: http://edupost.id/kabar-sekolah/sma-de-britto-bebaskan-siswanya-tak-berseragam-
dan-berambut-gondrong/. Diakses 4 Oktober 2016.
6
berekspresi dapat membangun pemikiran dan sikap-sikap kritis terhadap
konten media.
Mengenai eksplorasi yang akan dilakukan peneliti sendiri adalah
eksplorasi literasi media untuk konten iklan. Teori tentang literasi media
untuk konten iklan tersebut diambil dari teori-teori Potter. Meskipun
dalam bukunya, Media Literacy Second Edition, Potter mengawalinya
dengan pembahasan literasi media secara umum, namun Potter
menyertakan sub-bab Commercial Advertising yang berbicara khusus
tentang iklan. Sehingga ke depan, penulis akan menyebut literasi yang
akan dieksplorasi ini sebagai literasi konten iklan.
Dan karena secara spesifik peneliti ingin mengeksplorasi Generasi
Z yang sangat dekat dengan dunia digital, maka iklan yang akan diambil
oleh peneliti adalah iklan yang muncul di media sosial. Dengan demikian,
literasi media untuk konten iklan yang disampaikan Potter akan ditambah
dengan beberapa poin tentang literasi khusus media baru yang
disampaikan oleh Lin et al. (2013) dalam tulisannya, Understanding New
Media Literacy: An Explorative Theoretical Framework.
Untuk mengeksplorasi literasi tersebut, peneliti akan menggunakan
iklan YouTube “Open Up with Oreo Indonesia” yang akan dimaknai oleh
siswa-siswa SMA Kolese de Britto. Iklan ini masuk sebagai 10 iklan
YouTube terpopuler di Indonesia pada enam bulan pertama di tahun 2016
dengan menempati posisi teratas.15
Sejak diunggah di kanal YouTube
Oreo Asia pada tanggal 28 Januari 2016, iklan yang berdurasi 30 detik
tersebut sudah ditonton lebih dari 2,5 juta kali. Sedangkan pemilihan iklan
YouTube didasari alasan, seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa
YouTube merupakan kanal utama pilihan Generasi Z.16
Dengan demikian,
besar kemungkinan Generasi Z sudah pernah menonton iklan ini.
15
Syukron Ali. 2016. Agar Jadi Top Iklan di YouTube. Terarsip di: http://swa.co.id/swa/business-
strategy/agar-jadi-top-iklan-di-youtube. Diakses 18 Oktober 2016. 16
Bearne, Op.Cit.
7
Iklan ini merupakan bagian dari kampanye “Open Up with Oreo”
yang ingin mengajak audiensnya menjadi “open” atau membuka diri
terhadap orang baru dan pengalaman baru. Iklan yang menggunakan
format animasi ini memunculkan tokoh-tokoh yang cukup beragam seperti
anak kecil, anak muda, hingga nenek-nenek. Sementara itu, kampanye
“Open Up with Oreo” merupakan bagian dari kampanye yang lebih besar
yaitu “Oreo Penuh Keajaiban” atau judul kampanye internasionalnya
“Wonderfilled”. Lewat kampanye “Oreo Penuh Keajaiban” sendiri Oreo
ingin menyampaikan bahwa dengan berbagi Oreo, semua orang dapat
melihat setiap hal melalui kacamata anak-anak.17
Meski demikian,
disampaikan pula oleh Oreo bahwa pesan tersebut disuarakan kepada
semua warga Indonesia, terlepas batas usia dan gender.18
Dengan karakteristik yang dimiliki dan pemilihan media iklan yang
dekat dengan Generasi Z, peneliti berasumsi bahwa generasi ini dapat
memaksimalkan literasi mereka ketika melakukan pemaknaan terhadap
iklan. Untuk menguji asumsi tersebut, peneliti merasa penelitian
eksperimental ini perlu dilaksanakan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang tertulis di atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimana Generasi Z di Yogyakarta memaknai iklan
YouTube “Open Up with Oreo Indonesia”?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama, yaitu:
17
Sigit Kurniawan. 2015. Oreo Berbagi Kebahagiaan dengan Kacamata Anak-anak. Terarsip di: http://marketeers.com/article/oreo-berbagi-kebahagiaan-dengan-kacamata-anak-anak.html. Diakses 11 Mei 2016. 18
D Irianto. 2015. Mondelez Indonesia dan Oreo Tawarkan ‘Keajaiban Imajinasi’. Terarsip di:
http://www.lensaindonesia.com/2015/10/04/mondelez-indonesia-dan-oreo-tawarkan-
keajaiban-majinasi.html. Diakses 22 Juli 2016.
8
1. Untuk mengetahui bagaimana Generasi Z di Yogyakarta
menggunakan literasi konten iklan untuk memaknai pesan
iklan YouTube “Open Up with Oreo Indonesia”.
2. Untuk mengetahui aspek apa saja yang diketahui oleh Generasi
Z di Yogyakarta dari iklan YouTube “Open Up with Oreo
Indonesia”.
3. Untuk mengetahui seperti apa literasi konten iklan Generasi Z
di Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini akan menambah kajian ilmu
sosial terkait dengan eksplorasi literasi konten iklan dan literasi media
secara umum oleh audiens, khususnya Generasi Z. Selain itu, hasil
penelitian ini juga akan memberikan gambaran tentang kondisi literasi
konten iklan Generasi Z di Yogyakarta. Hal tersebut dilihat dari
bagaimana anak-anak di Kota Yogyakarta menggunakan rangakaian
keterampilan yang merupakan literasi konten iklan mereka dalam
proses pemaknaan terhadap sebuah iklan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini akan memunculkan insight dari audiens,
khususnya Generasi Z, yang dapat dijadikan bahan evaluasi oleh
lembaga-lembaga yang memiliki perhatian terhadap perkembangan
literasi konten iklan remaja dan anak muda, serta literasi media secara
umum, untuk merancang sebuah program atau kebijakan.
Pemerintahan juga dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai
bahan pertimbangan terkait dengan kebijakan penyiaran iklan kepada
remaja dan anak muda. Selain itu, insight dari penelitian ini juga dapat
dimanfaatkan oleh para pengiklan terkait dengan kemungkinan untuk
berkomunikasi langsung dengan Generasi Z lewat iklan. Dengan
9
memahami tingkat literasi konten iklan Generasi Z, pengiklan dapat
melakukan teknik komunikasi persuasif yang lebih tepat sasaran.
E. Kerangka Teori
1. Literasi Media untuk Konten Iklan
Sebelum masuk ke iklan atau commercial advertising, Potter
banyak menjelaskan tentang literasi media. Literasi media didefinisikan
sebagai perspektif yang secara aktif kita gunakan ketika mengekspos
diri terhadap media dalam rangka menginterpretasikan arti dari pesan
yang kita terima. Untuk memiliki perspektif tersebut, seorang individu
memerlukan struktur pengetahuan yang merupakan gabungan dari alat
(tools) dan bahan mentah (raw material). Yang menjadi alat adalah
keterampilan (skill), dan bahan mentahnya adalah informasi dari media
dan dari dunia nyata.19
Literasi media sendiri didukung oleh beberapa
aspek – kognitif, emosi, dan moral. Tingkat literasi seseorang
bergantung pada tingkat perkembangan aspek-aspek tersebut.20
Sedangkan hal yang paling berpengaruh terhadap rangkaian
keterampilan (skills) dalam literasi media, pada dasarnya, adalah
seberapa aktif seorang individu mengekspos dirinya terhadap media.21
Potter kemudian membagi rangkaian keterampilan tersebut ke dalam
dua level kategori yaitu rudimentary skills dan advanced media literacy
skills.22
Rudimentary skills merupakan keterampilan yang dipengaruhi
oleh kedewasaan kognisi, emosi, dan moral. Yang termasuk ke dalam
rudimentary skill adalah ketika seorang individu tahu ingin mencari
konten apa di media, tahu di media apa konten itu berada, tahu di
bagian mana dari media di mana konten itu berada, dan memiliki
pengetahuan tentang konteks informasi yang sedang dicari.
19
W. James Potter. 2001. Media Literacy. Thousand Oaks, CA: Sage Publication. Hal. 4. 20
Ibid., hal. 20-32. 21
Ibid., hal. 40. 22
Ibid., hal. 38-52.
10
Keterampilan mengenali simbol (recognizing symbol), mengenali pola
(recognizing pattern), dan memberi makna terhadap simbol dan pola
tersebut menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki (match
meaning) juga merupakan bagian dari rudimentary skills.
Kategori selanjutnya adalah advanced media literacy skill. Pada
kategori ini, seorang individu memiliki kontrol lebih untuk mengartikan
pesan dari media. Dengan demikian, individu tersebut dapat memahami
media, memahami pesan media, dan memahami efek media. Kategori
ini juga memiliki dua level kategori. Yang pertama adalah message
focused skills di mana di dalamnya terdapat keterampilan untuk
menganalisis (analysis), membandingkan dan membedakan
(compare/contrast), mengevaluasi (evaluation), dan mengabstraksi
(abstraction). Sedangkan kategori yang kedua adalah message
extending skills di mana di dalamnya termasuk keterampilan untuk
mendeduksi (deduction), menginduksi (induce), dan mensintesis
(synthesis).
Keterampilan-keterampilan tersebut berlaku juga ketika seorang
individu menghadapi konten iklan. Dengan penyesuaian terhadap
karakteristik iklan, Potter kemudian menawarkan serangkaian
keterampilan yang dapat membangun struktur pengetahuan yang
berpengaruh terhadap perkembangan literasi seorang individu. Seperti
literasi media secara umum, struktur pengetahuan ini juga melibatkan
aspek kognitif, emosi, dan moral, serta ditambah aspek estetika.
Banyak yang berpikir bahwa iklan selalu didesain untuk
mempengaruhi kita membeli sebuah produk. Sesungguhnya, hanya
sedikit iklan yang memiliki intensi seperti demikian. Banyak iklan,
khususnya iklan produk baru, berfokus pada pembangungan awareness
tentang keberadaan produk tertentu. Beberapa iklan didesain untuk
menciptakan emosi di dalam diri kita dan menghubungkannya ke
produk yang diiiklankan. Beberapa iklan didesain untuk membuat kita
tidak mempercayai klaim iklan produk lain sehingga kita terhindar dari
11
pengaruhnya. Karena bagaimana pun juga, intensi umum dari iklan
adalah penguatan (reinforcement). Kebanyakan iklan memiliki target
orang-orang yang memang sudah menggunakan produk yang
diiklankan. Iklan didesain untuk mengingatkan konsumen bahwa
sebuah produk masih ada dan masih merupakan produk yang bagus.
Biasanya, orang-orang mengingat iklan untuk produk yang sudah
pernah mereka beli, sehingga kebanyakan iklan memilih untuk
menguatkan sikap dan tingkah laku (attitude and behaviour) yang
sudah ada. Oleh sebab itu, audiens perlu memiliki kesadaran tentang
kebutuhannya.23
Di bawah ini merupakan tabel struktur pengetahuan di mana
keterampilan-keterampilan untuk membangun literasi konten iklan
disertakan.
Tabel 1.1
Struktur Pengetahuan Literasi Media untuk Konten Iklan
Keterampilan (skill) Pengetahuan (knowledge)
Kognitif Kemampuan menganalisis iklan
dengan mengidentifikasi elemen-
elemen persuasi.
Pengetahuan tentang iklan
dan aspek-aspeknya dari
berbagai sumber (media
dan dunia nyata).
Mampu membandingkan dan/atau
membedakan fakta yang
disampaikan iklan dengan fakta yang
ada di dalam stuktur pengetahuan.
Kemampuan untuk mengevaluasi
kebenaran atas klaim yang muncul di
dalam iklan.
Emosi Kemampuan menganalisis perasaan-
perasaan yang muncul di dalam
iklan.
Mengingat kembali
rasanya membutuhkan
produk yang diiklankan
dari pengalaman pribadi
Kemampuan untuk menempatkan
diri sebagai orang-orang yang
muncul di dalam iklan.
Estetika Kemampuan untuk menganalisis
elemen kerajinan (craft) dan artistik
sebuah iklan.
Pengetahuan tentang
penulisan, grafis, fotografi,
dll.
23
Ibid., hal. 147-149.
12
Kemampuan untuk membandingkan
serta membedakan seni yang
digunakan untuk menciptakan satu
iklan dan seni yang digunakan untuk
menciptakan iklan yang lain.
Pengetahuan tentang iklan
yang sukses dan tidak
sukses, serta elemen apa
saja yang berkontribusi
atas kualitas tersebut.
Moral Kemampuan untuk menganalisis
elemen moral sebuah iklan.
Pengetahuan tentang
kritik-kritik terhadap iklan.
Pengetahuan tentang
bagaimana iklan dapat
memanipulasi sikap dan
tingkah laku kita.
Kemampuan untuk mengevaluasi
tanggung jawab etis dari iklan.
Pengetahuan tentang
prinsip-prinsip keadilan
yang universal dan
martabat manusia. Sumber: Potter (2001:148)
Secara kognitif, ketika seorang individu memiliki pengetahuan
tentang topik dari berbagai sumber, baik dari media maupun dunia
nyata, maka dia akan mampu mengidentifikasi elemen-elemen atau
pesan-pesan persuasif dari iklan. Dengan demikian, seorang individu
dapat membandingkannya dengan kondisi atau fakta-fakta yang terjadi
di dunia nyata untuk melihat kebenaran atas klaim yang disampaikan
iklan.
Dari aspek emosi, seorang individu yang dapat mengingat
kembali apa rasanya membutuhkan produk yang diiklankan dari
pengalaman pribadinya akan mampu menganalisis perasaan orang-
orang yang ada di dalam iklan. Dengan menganalisis perasaan-perasaan
tersebut, seorang individu dapat bermain perspektif ketika memproses
konten iklan.
Sementara, dari aspek estetika, pengetahuan tentang penulisan,
grafis, fotografi, dan aspek-aspek artistik lainnya memungkinkan
seorang individu untuk menganalisis elemen kerajinan dan artistik
sebuah iklan. Pengetahuan tersebut dibutuhkan untuk mengetahui
sukses atau tidaknya sebuah iklan dan elemen apa saja yang
berkontribusi pada hasil tersebut. Dengan demikian, seorang individu
13
dapat membandingkan dan membedakan seni yang digunakan untuk
membuat satu iklan dan yang lain.
Dan dari aspek terakhir, aspek moral, seorang individu dengan
pengetahuan tentang kritik terhadap iklan, pengetahuan bahwa iklan
dapat memanipulasi sikap dan tingkah laku, akan mampu menganalisis
elemen-elemen moral dari sebuah iklan. Selain itu, individu tersebut
juga dapat mengevaluasi tanggung jawab etis dari sebuah iklan. Proses
evaluasi tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang
universal dan martabat manusia. Sehingga ketika seorang individu
dapat melewati tersebut, dapat dikatakan bahwa kode moral yang
dimiliki individu tersebut sudah berkembang dengan baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa literasi
konten iklan menyoroti elemen-elemen persuasi dari iklan. Hal tersebut
yang membedakan literasi konten iklan dengan literasi konten berita
dan hiburan.
2. Literasi Media Baru
Jenkins et al. (2006) dalam tulisannya, Confronting the
Challenges of Participatory Culture: Media Education for the 21st
Century, memaparkan bahwa di abad ke-21 ini, kita berada pada budaya
partisipasi atau participatory culture. Aktivitas bermedia di abad ke-21
ini tidak semata-mata menerima informasi, namun juga memproduksi
dan membagikan informasi. Fenomena tersebut, secara khusus banyak
terjadi di kalangan anak muda. Participatory culture kemudian
didefinisikan sebagai budaya di mana ada batas yang ada cukup rendah
untuk ekspresi artistik dan keterlibatan masyarakat, ada dorongan yang
kuat untuk mencipta dan membagikan ciptaan tersebut ke banyak
orang, muncul situasi di mana pengetahuan dari para ahli dibagikan
kepada para pemula dalam bentuk tutorial secara informal, orang
merasa memiliki kontribusi yang penting dalam lingkungan bermedia,
dan orang-orang dapat merasakan derajat koneksi sosial satu dengan
14
yang lain. Adanya budaya partisipasi ini membuat peneliti merasa perlu
melengkapi keterampilan literasi media yang ditawarkan oleh Potter
karena keterampilan-keterampilan tersebut tidak secara spesifik
berbicara tentang media baru.
Selain Jenkins et al. (2006), Chen, Wu, dan Weng (2011) juga
membahas tentang literasi media baru dengan menawarkan sebuah
framework. Namun kemudian Lin et al. (2013) memberikan alternatif
framework berupa pengembangan framework dari Chen et al. (2011)
dan mengintegrasikan indikator-indikatornya dengan keterampilan-
keterampilan media baru yang disampaikan oleh Jenkins et al. (2006).
Alternatif framework tersebut muncul karena framework yang
ditawarkan Chen et al. (2011) memiliki dua limitasi.24
Yang pertama
adalah bahwa framework tersebut mengkarakterisasi empat tipe literasi
media baru (new media literacy atau NML) secara, relatif, mentah-
mentah. Yang kedua adalah bahwa framework tersebut tidak dapat
membedakan Web 1.0 dan Web 2.0 yang memiliki peran penting dalam
membentuk sebuah kultur media. Dalam lingkungan atau kultur Web
1.0 kita dapat menciptakan konten media seperti mengubah format
hardcopy menjadi format digital, menulis e-mail, dan mengedit foto.
Namun Web 1.0 tidak memiliki ruang partisipasi seperti yang
difasilitasi oleh Web 2.0. Web 2.0 disebut-sebut memiliki peran penting
untuk mendorong anak muda untuk (1) membuat suara mereka
didengar, (2) mewujudkan ideologi, sikap, nilai melalui bermacam-
macam identitas, (3) memahami berbagai norma sosial, dan (4)
berpartisipasi secara tanggung jawab dalam pertukaran/rekonstruksi ide
dengan kritis.
24
Tzu-Bin Lin, Jen-Yi Li, Feng Deng, dan Ling Lee. 2013. Journal of Educational Technology &
Society: Understanding New Media Literacy: An Explorative Theoretical Framework. Vol. 16. No.
4. Hal. 160-170.
15
Bagan 1.1
Framework Literasi Media Baru
Sumber: Lin et al. (2013:163)
Framework yang ditawarkan oleh Lin et al. (2013) ini terdiri dari
empat fokus area yang masing-masing memiliki indikator-indikator.
Dari area functional consuming, terdapat indikator consuming skill yang
merujuk pada sekumpulan keterampilan teknis untuk seorang individu
yang dibutuhkan ketika individu tersebut mengkonsumsi konten
media.25
Indikator ini memperkuat „akses‟ yang dimaksud Chen dan
Wu (2001) sebagai kemampuan untuk menggunakan format media
yang berbeda-beda.
Indikator yang kedua adalah understanding yang merujuk pada
kemampuan seorang individu untuk memahami konten media pada
level literal.26
Indikator ini juga dapat diilustrasikan melalui 4 dari 11
keterampilan yang disampaikan Jenkins et al. (2006). Empat
25
Ibid, hal. 164. 26
Ibid
Critical media
literacy
Functional media
literacy
Consuming media
literacy
Prosuming media
literacy
Critical
Consuming
Functional
Consuming
Critical
Prosuming
Functional
Prosuming
Evaluation
Synthesis
Analysis
Understanding
Consuming
Skill
Creation
Participation
Production
Distribution
Prosuming Skill
Production New Divide
Critically
16
keterampilan tersebut adalah play, simulation, multi-tasking, dan
transmedia navigation.
Dari area critical consuming, muncul tiga indikator. Yang
pertama adalah analysis yang merujuk pada kemampuan seorang
individu untuk mendekonstruksi pesan media.27
Indikator ini dapat
dilihat sebagai „analisis tekstual‟ semiotika (Share, 2002, hal. 144) yang
memiliki fokus pada bahasa, aliran (genre), dan kode dari berbagai
format (misal media cetak, digital, dan sebagainya). Indikator-indikator
ini secara konsisten menekankan bahwa seorang individu seharusnya
tidak menerima konten media sebagai gambaran asli dari realita, namun
menyadari konstruksi pesan media sebagai sebuah proses subjektif dan
sosial (e.g. Pungente et al., 2005).
Indikator kedua adalah synthesis yang merujuk pada kemampuan
seorang individu untuk mencampurkan konten media dengan
mengintegrasikan sudut pandang mereka dan untuk merekonstruksi
pesan media.28
Synthesis di sini bukan berarti prosuming. Indikator ini
juga mewakili keterampilan appropriation yang disampaikan oleh
Jenkins et al. (2006).
Dan indikator ketiga dari area critical consuming adalah
evaluation yang merujuk pada kemampuan seorang individu untuk
mempertanyakan, mengkritisi, dan menantang kredibilitas sebuah
konten media.29
Indikator ini mengharuskan seorang individu untuk
menginterpretasi konten media dengan mempertimbangkan isu-isu
seperti identitas, power relation, dan ideologi (e.g. Chen et al., 2011).
Isu-isu tersebut dapat dipahami juga sebagai social value, purpose of
media producers, dan power position of media producers and audience
(Chen & Wang, 2011). Evaluation juga melibatkan proses pengambilan
keputusan di mana indikator synthesis (dan analysis) tidak
27
Ibid. 28
Ibid 29
Ibid
17
membahasnya secara gamblang. Indikator ini juga mewakili
keterampilan judgment yang disampaikan oleh Jenkins et al. (2006).
Area selanjutnya adalah functional prosuming dan critical
prosuming. Area prosuming ini tidak digunakan oleh peneliti karena
penelitian ini mengambil konteks pemaknaan terhadap konten iklan.
Konteks pemaknaan yang diambil peneliti di sini adalah ketika audiens
memberi pengertian terhadap konten iklan yang diterima. Oleh sebab
itu, proses pemaknaan ada pada area consuming dan tidak sampai pada
area prosuming di mana terdapat aktivitas menciptakan, memproduksi
dan mendistribusikan informasi, dan sebagainya.
3. Generasi Z
Generasi Z merupakan generasi yang unik. Mereka mengalami
perubahan dan perkembangan konsumsi media. Penggunaan dan
pemahaman mereka terhadap media digital membuat generasi ini
disebut sebagai digital natives. Generasi Z adalah anak-anak yang lahir
dari tahun 1994-2015.30
Sehingga di tahun 2016 ini, Generasi Z
mendominasi bangku SMP, SMA, dan perkuliahan awal.
Karakteristik generasi ini, khususnya dalam bermedia, cukup
unik. Dari berbagai artikel, peneliti menemukan fakta-fakta bahwa
Generasi Z adalah generasi yang ambisius, lebih dewasa daripada
Millennials dalam mengetahui ingin menjadi apa di masa depan,
menjadikan YouTube sebagai kanal utama, merupakan digital natives,
selalu ingin mencipta, kompleks, dan sinis. Generasi ini disebut-sebut
sangat menyadari kepentingan pemasaran dari iklan karena seluruh
sendi hidupnya sudah bersentuhan dengan iklan dan promosi. Tidak
hanya iklan-iklan linear, namun juga guerrilla marketing, blogger, viral
sensation, dan social media phenomenon31
yang beberapa tahun
belakangan diboncengi oleh banyak merek.
30
Erni, Op.Cit. 31
Bearne, Op.Cit.
18
Fakta-fakta yang lain adalah bahwa, sama dengan Millennials,
Generasi Z juga secara aktif menghindari iklan, mereka lebih menyukai
storytelling dan permainan visual.32
Meskipun aktif menghindari iklan,
namun Generasi Z jauh lebih toleran daripada Millennials dalam
menyikapi iklan-iklan online secara keseluruhan.33
Karakter-karakter tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
para pengiklan. Generasi Z dinilai cukup bijak menghadapi paparan
berbagai iklan dan dengan cepat dapat menyadari kepalsuan-kepalsuan
yang muncul. Dan sebagai digital natives yang memiliki karakter-
karakter demikian, Generasi Z dikatakan terliterasi dalam segala hal di
media sosial.34
Sementara dari perkembangan psikologis, Jean Piaget, seorang
psikolog, mengatakan bahwa secara kognitif, individu yang usianya
berada di atas 12 tahun sudah melewati fase di mana mereka
mengembangkan pemahaman tentang plot fiksi, bagaimana motif dari
setiap karakter mempengaruhi plot, dan bagaimana perubahan karakter
merupakan hasil dari apa yang terjadi pada mereka. Selain itu,
pemahaman tentang kondisi perekonomian televisi, bahwa televisi
memiliki motif mencari keuntungan, juga sudah berkembang dengan
baik. Mulai usia 12 tahun, remaja menjadi semakin skeptis terhadap
iklan.35
Pada perkembangan dewasa, terdapat perkembangan kecerdasan
yang oleh banyak peneliti dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama
adalah cyrstalline yang merupakan kemampuan untuk mengingat fakta-
fakta. Semakin dewasa, pengetahuan faktual seorang individu tentang
dunia, seperti kosa kata dan informasi umum, semakin baik. Sedangkan
jenis kecerdasan yang kedua adalah fluid yang merupakan kemampuan
32
Kleinschmit, Op.Cit. 33
Heine, Op.Cit. 34
Bearne, Op.Cit. 35
Potter, Op.Cit., 20-23.
19
untuk menjadi kreatif dan melihat pola (patterns) dalam rangkain fakta
yang rumit. Kecerdasan fluid meningkat pada awal masa pendewasaan
namun kemudian akan menurun. Sehingga akan ada saatnya penurunan
kemampuan menggunakan simbol yang abstrak, memanipulasi kata-
kata dan angka, menyadari analogi, dan melengkapi nomor seri.36
Dari aspek emosi, di masa setelah anak-anak atau awal masa
dewasa, seorang individu sudah mencapai pendewasaan kognitif. Pada
masa ini, pemahaman terhadap semua jenis narasi (narratives) juga
mulai terbentuk. Literasi emosial sendiri bergantung pada
perkembangan kognitif. Seorang individu yang tidak bisa membaca
atau mengikuti narasi visual akan memiliki keterbatasan reaksi emosial
terhadap elemen-elemen mikro sebuah pesan.37
Terakhir, secara moral, di masa-masa remaja pertengahan,
beberapa orang sudah mampu melampaui pengertian-pengertian
konvensional tentang sesuatu yang benar dan yang salah. Mereka
memilih untuk fokus pada prinsip-prinsip dasar. Untuk bisa melakukan
hal tersebut, diperlukan kemampuan untuk berpikir secara abstrak
sehingga dapat menyadari maksud-maksud di balik hukum-hukum
sosial.38
Menurut Ritson dan Elliot (1999), remaja dan anak muda
menonton iklan dan menggunakannya sebagai “ticket to entry” ke
dalam diskusi-diskusi yang berkaitan dengan iklan. Lebih jauh lagi,
mereka menggunakan situasi iklan, frasa, dan karakter sebagai metafora
dan bagian dari ritual dalam interaksi mereka satu dengan yang lain.39
36
Ibid., hal. 23-24. 37
Ibid., hal. 29-30. 38
Ibid., hal. 31. 39
Margaret-Anne Lawlor dan Andrea Prothero. 2008. European Joural of Marketing: Exploring
Children’s Understanding of Television Advertising – Beyond the Advertiser’s Perspective. Vol. 42
lss 11/12. Hal. 1206-1207.
20
4. Iklan YouTube “Open Up with Oreo Indonesia”
Oreo merupakan merek biskuit sandwich yang diproduksi oleh
Nabisco. Oreo pertama kali diproduksi pada tahun 1912 di Amerika
Serikat. Sementara, di Indonesia, Oreo diproduksi oleh PT. Mondelez
Indonesia Manufacturing di Bekasi, setelah sebelumnya sempat
diproduksi oleh PT. Nabisco Indonesia (sebelum tahun 2008) dan PT.
Kraft Indonesia (sebelum tahun 2013). Dan menurut data brand index
tahun 2016, Oreo menjadi leading brand untuk produk biskuit
sandwich di Indonesia.
Sesuai dengan perkembangan jaman, Oreo beberapa waktu
belakangan melakukan 3600 campaign yang mengintegrasikan beberapa
media – khususnya media digital. Kampanye-kampanye tersebut dapat
dikatakan berhasil karena kemudian muncul banyak apresiasi tidak
hanya dari audiens, namun juga media dalam bentuk awards.40
Melalui kampanye-kampanyenya yang terdahulu, Oreo telah
mencoba menarget anak hingga keluarga.41
Di tahun 2013, Oreo
meluncurkan kampanye “Wonderfilled”, atau dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan sebagai kampanye “Oreo Penuh Keajaiban”.42
Kampanye ini dilakukan secara global dengan penyesuaian budaya
masing-masing negara. Kampanye ini ditujukan untuk semua kalangan,
terlepas dari gender dan usianya. Lewat kampanye ini, Oreo ingin
menyampaikan bahwa dengan berbagi Oreo, semua orang dapat melihat
setiap hal dengan kacamata anak-anak dan menikmati keajaiban, serta
dapat menimbulkan perasaan penuh imajinasi, ketakjuban, dan
40
Rina Anggraeni. 2016. Berikur Daftar Pemenang Bright Awards Indonesia 2016. Terarsip di: http://lifestyle.sindonews.com/read/1091488/166/berikut-daftar-pemenang-bright-awards-indonesia-2016-1457463995. Diakses 9 Mei 2016. 41
Dwi Wulandari. 2014. #AsyiknyaBersama, Kampanye Digital OREO. Terarsip di:
http://mix.co.id/brand-activation/on-ground-activation/kampanye-digital-asyiknyabersama-dari-
oreo. Diakses 22 Juli 2016. 42
Tim Nudd. 2016. Oreo and Adam Lambert Kick Off the Cookie’s Campaign About Diversity and
Tolerance. Terarsip di: http://www.adweek.com/adfreak/oreo-and-adam-lambert-kick-cookies-
campaign-about-diversity-and-tolerance-169088. Diakses 18 Oktober 2016.
21
kebahagiaan. Dan disampaikan oleh Senior Manager for Biscuits Treats
dari Mondelez Indonesia, Ita Karo Karo-Fernandez, bahwa Oreo
mengajak semua orang untuk keluar dari rutinitas sehari-hari untuk
menghadirkan keceriaan serta imajinasi seru.43
Kampanye besar “Oreo Penuh Keajaiban” tersebut memayungi
kampanye-kampanye global yang lain, salah satunya adalah kampanye
terintegrasi, “Open Up with Oreo”. Kampanye tersebut diluncurkan di
awal tahun 2016 dengan iklan internasional yang berjudul “Rolling
Wonder”. Kampanye tersebut dilakukan di lebih dari 50 negara.44
Dari
Oreo sendiri mengatakan bahwa kampanye ini berbicara pada orang-
orang untuk “open up” atau membuka diri terhadap orang baru dan
pengalaman baru – sebuah pesan tentang keberagaman dan toleransi.45
Dengan membuka diri terhadap orang yang berbeda dengan kita, maka
kita akan menemukan kesamaan-kesamaan.46
Kampanye ini ingin
menunjukkan adanya perubahan sikap seiring seseorang menjadi
dewasa. Anak kecil secara natural memiliki sifat terbuka, sedangkan
orang tua sudah nyaman dengan sesuatu yang familiar, membuat
mereka menjadi menutup diri terhadap orang lain.
Tujuan dari kampanye ini sendiri adalah menginspirasi orang di
seluruh dunia untuk lebih terbuka dengan orang-orang di sekitar dan
membangun relasi. Ide kreatif kampanye ini sendiri muncul dari
aktivitas memakan Oreo dengan membuka kepingan kukis hitamnya
dengan cara memutarnya. Aktivitas tersebut menjadi simbol untuk
merusak atau meleburkan batas-batas.47
Kampanye tersebut diluncurkan
dalam bentuk iklan televisi, digital content series, in-store point of sale,
dan di beberapa negara tertentu juga ada global prizing dan costum
43
Irianto, Op.Cit. 44
Nudd, Op.Cit. 45
Ibid. 46
Abigail Watt. 2016. Oreo encourages openness, new connections in “Open Up with Oreo”
campaign. Terarsip di: http://www.candyindustry.com/articles/87114-oreo-encourages-
openness-new-connections-in-open-up-with-oreo-campaign. Diakses 17 Oktober 2016. 47
Ibid.
22
product embossment. Oreo sendiri mengatakan bahwa penggunaan
format animasi dalam iklan-iklan untuk kampanye “Open Up with
Oreo” ini, secara estetika, merepresentasi semangat kampanye besar
“Wonderfilled” atau “Oreo Penuh Keajaiban”.
Di Indonesia sendiri muncul iklan YouTube dari kampanye ini
dengan judul “Open Up with Oreo Indonesia”. Judul yang digunakan
memang berbeda dengan versi internasionalnya, namun kontennya
sama. Bersama dengan kampanye lain yang juga merupakan bagian dari
kampanye besar “Oreo Penuh Keajaiban”, iklan-iklan YouTube di
Indonesia mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat. Iklan “Oreo
Penuh Keajaiban” yang menampilkan tokoh vampir dan ikan hiu
menjadi iklan terpopuler di Indonesia versi Google pada tahun 2015.48
Sementara, iklan “Open Up with Oreo Indonesia” yang digunakan
dalam penelitian ini menjadi iklan YouTube terpopuler di Indonesia
versi Google untuk enam bulan pertama di tahun 2016.49
5. Studi Eksperimental
Dalam bahasa yang sederhana, bereksperimen berarti
memodifikasi satu hal pada suatu situasi dan kemudian
membandingkan luaran atau hasil yang didapat dengan hal yang sudah
ada dan tidak dimodifikasi. Penelitian eksperimental sendiri masuk ke
dalam jenis penelitian kuantitatif.
Di dalam penelitian kuantitatif secara umum, terdapat beberapa
variabel. Yang pertama adalah variabel independen yang menjadi
penyebab atau pengaruh terhadap luaran atau hasil penelitian. Variabel
ini juga disebut dengan perlakuan, manipulasi, antecedent, atau variabel
48
Lia Wanadriani Santosa. 2016. Top 10 iklan YouTube terpopuler di Indonesia versi google.
Terarsip di: http://www.antaranews.com/berita/539483/top-10-iklan-youtube-terpopuler-di-
indonesia-versi-google. Diakses 17 Oktober 2016. 49
Liberty Jemadu. 2016. 10 Video Iklan Paling Populer di YouTube di Indonesia. Terarsip di:
http://www.suara.com/pressrelease/2016/06/03/150611/10-video-iklan-paling-populer-di-
youtube-indonesia. Diakses 17 Oktober 2016.
23
predictor. Variabel berikutnya adalah variabel dependen yang memang
tergantung pada variabel independen. Variabel ini merupakan luaran
atau hasil dari variabel independen yang sudah dipengaruhi. Istilah lain
untuk variabel dependen adalah criterion, outcome, dan variabel efek.
Dikenal pula intervening variable atau mediating variable yang
ada di antara variabel independen dan dependen. Variabel ini
memediasi efek dari variabel independen terhadap variabel dependen.
Sementara, dalam penelitian eksperimen, terdapat moderating variable
yang merupakan variabel baru yang diciptakan peneliti dengan
mengambi satu variabel dan mengembangkannya dengan variabel lain
untuk menentukan dampak gabungan keduanya. Dan dua variabel
terakhir adalah variabel kontrol dan confounding variable. Variabel
kontrol merupakan tipe khusus variabel independen yang diukur
peneliti karena variabel ini berpotensi mempengaruhi variabel
dependen. Sedangkan confounding variable, atau spurious variable,
tidak benar-benar diukur atau diobservasi di dalam penelitian. Variabel
ini muncul namun pengaruhnya tidak dapat dideteksi secara langsung.50
Terdapat tiga langkah kritis dalam eksperimen yaitu; (1)
memulai dengan hipotesis kausal, (2) memodifikasi satu aspek spesifik
dari situasi yang dekat hubungannya dengan penyebab (dalam proses
kausal), dan (3) membandingkan dengan luaran atau hasilnya.
Eksperimen dapat dengan kuat menguji dan berfokus pada
bukti-bukti tentang hubungan kausal. Dibandingkan dengan teknik
penelitian yang lain, eksperimen memiliki baik keuntungan maupun
batasan. Kedua hal tersebut membantu peneliti untuk melihat
kesesuaian penelitiannya.51
Dari tiga desain eksperimen yang umum digunakan, desain
quasi-experimental merupakan desain penelitian yang dapat digunakan
pada situasi khusus atau ketika seorang eksperimenter memiliki kontrol
50
John W. Creswell. 2009. Research Design. Thousand Oaks, CA: Sage Publication. Hal. 50-51. 51
W. Lawrence Neuman. 2011. Social Research Methods. Boston, MA: Pearson. Hal. 276-277
24
yang terbatas terhadap variabel independen. Hal tersebut dijelaskan
oleh Neuman dalam bukunya, Social Research Methods.52
Desain yang
merupakan variasi dari desain eksperimen klasik juga tidak
menggunakan random assignment dalam proses pemilihan pesertanya.53
Terdapat tiga jenis desain yang termasuk ke dalam quasi-
experimental design.54
Untuk penelitian ini, peneliti melihat bahwa
nonequivalent (pre-test and post-test) control-group design merupakan
desain yang bisa diaplikasikan. Desain ini, seperti pendekatan populer
quasi-experiment, menggunakan kelompok eksperimental A dan
kelompok kontrol B yang dipilih dengan tidak menggunakan random
assignment. Kedua kelompok tersebut melalui pre-test dan post-test,
namun hanya kelompok eksperimen yang menerima perlakuan.
Ketiadaan random sampling dalam desain ini membantu peneliti
untuk menganalisis objek penelitian yang spesifik. Sedangkan pre-test
dan post-test yang diberikan kepada dua kelompok penelitian akan
menjadi bahan bagi peneliti untuk membandingkan hasil dari kelompok
yang menerima perlakuan dengan kelompok yang tidak menerima
perlakuan. Peneliti juga dapat membandingkan hasil kelompok
eksperimen dari sebelum menerima perlakuan dengan setelah menerima
perlakuan. Dengan demikian, analisis yang muncul akan fokus namun
tetap kaya.
Untuk memperjelas penelitian ini, peneliti mencoba
menerjemahkan kerangka pemikiran ini ke dalam bagan berikut.
52
Ibid, hal. 286-287 53
Creswell, Op.Cit., hal. 155. 54
Ibid, hal. 160-161
25
Bagan 1.2
Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Dari pemaparan tentang literasi konten iklan di atas, peneliti
berpijak pada teori literasi media dari Potter. Literasi media didefinisikan
Potter sebagai perspektif yang secara aktif kita gunakan ketika
mengekspos diri terhadap media dalam rangka menginterpretasikan arti
dari pesan yang kita terima. Di dalam pembahasan literasi media secara
umum, terdapat literasi untuk konten iklan yang menempatkan definisi
literasi media ke dalam konteks konten iklan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa literasi konten iklan adalah perspektif yang aktif digunakan saat
mengekspos diri terhadap iklan dalam rangka menginterpretasikan arti dari
pesan iklan yang diterima.
Penelitian ini sendiri ingin mengeksplorasi literasi konten iklan
tersebut melalui proses pemaknaan terhadap sebuah iklan oleh Generasi Z.
Literasi tentang konten iklan yang dipaparkan oleh Potter melibatkan
empat aspek, yaitu kognitif, emosi, estetika, dan moral. Aspek-aspek
tersebut berperan penting dalam pengembangan struktur pengetahuan yang
mempengaruhi pembangunan literasi seorang individu. Potter mengatakan
bahwa, “Untuk meningkatkan literasi kita tentang iklan, kita perlu
Generasi Z
Karakteristik
Pemaknaan Iklan “Open
Up with Oreo
Indonesia”
Literasi
Konten Iklan
Keterampilan
26
mengembangkan struktur pengetahuan tentang iklan dan tentang
kebutuhan kita masing-masing” (Potter, 2001: 147).
Di dalam masing-masing aspek tersebut, terdapat keterampilan-
keterampilan yang akan menjadi indikator bagi peneliti untuk melihat
literasi konten iklan subjek penelitian. Dan karena Potter tidak secara
spesifik membangun teorinya berdasarkan media baru, sementara
penelitian ini menggunakan iklan yang muncul di media baru, maka
peneliti melibatkan beberapa keterampilan dari literasi media baru yang
disampaikan oleh Lin et al. (2013). Keterampilan dari Lin et al. (2013)
tersebut dibangun melalui pemikiran Chen et al. (2011) serta Jenkins et al.
(2006). Keterampilan dari literasi media baru tersebut kemudian juga
ditempatkan oleh peneliti pada konteks konten iklan sehingga dapat
terintegrasi dengan keterampilan-keterampilan yang disampaikan oleh
Potter. Dan karena penelitian ini berfokus pada pemaknaan iklan, maka
keterampilan bermedia baru dari Lin et al. (2013) yang diambil peneliti
hanya keterampilan yang berada pada area functional consuming dan
critical consuming. Pemaknaan yang ingin dilihat peneliti tidak sampai
pada aktivitas memproduksi dan distribusi yang keterampilannya berada
pada area functional prosuming dan critical prosuming.
Secara spesifik, penelitian ini mengambil audiens Generasi Z
sebagai subjek penelitian. Generasi Z adalah anak-anak muda yang lahir di
antara tahun 1994-2015.55
Tetapi yang akan menjadi subjek penelitian ini
adalah anak-anak kelahiran tahun 1999-2000 yang di tahun 2016 ini
berusia 16-17 tahun. Pemilihan usia ini berdasarkan pada perkembangan
kognisi, emosi, dan moral anak-anak usia 16-17 yang sudah cukup baik
sehingga dapat memberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan
selama penelitian ini berlangsung. Perkembangan tersebut juga diharapkan
peneliti dapat memunculkan pemikiran-pemikiran dan sikap-sikap yang
55
Ernie, Op.Cit.
27
kritis terhadap iklan yang nantinya akan diberikan ketika pelaksanaan
eksperimen.
Seperti yang sudah disampaikan di latar belakang, sebagai subjek
penelitian, peneliti memilih siswa-siswa dari SMA Kolese de Britto.
Pemilihan ini berdasarkan pada prestasi akademik dan sistem pendidikan
SMA tersebut yang membentuk karakteristik siswa-siswanya. Siswa yang
akan diambil sebagai peserta eksperimen adalah siswa kelas 11 yang
berusia 16 dan 17 tahun. Selain usia dan jenjang pendidikan, media habit
para siswa menjadi salah satu kriteria subjek penelitian yang penting.
Siswa yang aktif menggunakan YouTube, Facebook, dan Instagram adalah
yang akan menjadi peserta eksperimen. Dengan demikian, penjurusan IPA,
IPS, dan Bahasa yang ada di SMA Kolese de Britto tidak berpengaruh
dalam penentuan jumlah peserta eksperimen. Meskipun status SMA
Kolese de Britto adalah sekolah khusus putra, isu gender tidak dilibatkan
dalam penelitian ini. Peneliti akan lebih berfokus kepada media habit dan
karakteristik objek penelitian sebagai Generasi Z.
Sementara itu, iklan yang digunakan untuk mengeksplorasi literasi
iklan anak-anak dalam penelitian ini adalah iklan Oreo – salah satu top
brand di Indonesia untuk kategori biskuit sandwich. Iklan yang dimaksud
adalah iklan YouTube Oreo berjudul “Open Up with Oreo Indonesia”.
Iklan tersebut pernah muncul di televisi dan sudah diunggah di kanal akun
YouTube Oreo Asia. Sampai sekarang, iklan tersebut masih dapat diakses
di YouTube. Hanya terdapat satu versi untuk iklan berjudul “Open Up
with Oreo Indonesia” dengan durasi 30 detik.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, iklan ini merupakan iklan
internasional dari kampanye “Open Up with Oreo” yang judulnya dapat
berbeda-beda, tergantung di negara mana iklan tersebut diluncurkan. Di
Indonesia sendiri, iklan tersebut berjudul “Open Up with Oreo Indonesia”,
sementara judul iklan versi internasionalnya adalah “Rolling Wonder”.
Bahasa yang digunakan untuk jingle dan tagline ini juga sudah disesuaikan
dengan budaya Indonesia. Jingle-nya sendiri dibawakan dengan bahasa
28
Indonesia, dan tagline “wonderfilled” yang muncul di akhir iklan versi
internasional sudah diganti menjadi “penuh keajaiban”. Meski demikian,
pesan yang dibawa tetap sama dan akan dimaknai oleh siswa-siswa SMA
Kolese de Britto.
Dalam penelitian ini, peneliti YouTube sebagai media di mana
iklan ini dapat diakses. Pertimbangan tersebut muncul dari fakta bahwa
YouTube merupakan kanal utama Generasi Z56
, dan, bersama dengan
Facebook serta Instagram, merupakan nomor satu dari tiga media sosial
yang paling sering diakses oleh Generasi Z.57
Selain itu, iklan yang
muncul di YouTube memiliki views paling banyak di antara media lain di
mana iklan ini diunggah.
Untuk mengukur pemaknaan Generasi Z terhadap YouTube “Open
Up with Oreo Indonesia”, peneliti akan memberikan pre-test dan post-test
kepada kedua kelompok penelitian. Pertanyaan-pertanyaan pre-test dan
post-test yang akan diberikan kepada subjek penelitian didasarkan pada
indikator-indikator literasi konten iklan. Indikator-indikator tersebut
merupakan breakdown points dari keterampilan-keterampilan literasi
konten iklan yang sudah disusun sebelumnya.
G. Perangkat Penelitian
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, penelitian ini menggunakan
teori literasi media yang dipaparkan oleh Potter (2001) dan digabungkan
dengan sebagian teori literasi media baru dari framework yang dipaparkan
oleh Lin et. al. (2013). Perlu diketahui bahwa framework dari Lin et al.
(2013) merupakan hasil elaborasi dari framework literasi media baru yang
ditawarkan oleh Chen et. al. (2011). Indikator-indikator literasi media baru
yang muncul dalam framework literasi media baru milik Lin et al. (2013)
juga turut mewakili indikator-indikator yang dipaparkan oleh Jenkins et al.
(2006). Gabungan teori tersebut memunculkan perangkat penelitian khusus
56
Bearne, Op.Cit. 57
Kleinschmit, Op.Cit.
29
yang digunakan untuk penelitian ini. Perangkat penelitian tersebut
digambarkan peneliti melalui bagan di bawah ini.
Bagan 1.3
Perangkat Penelitian
Untuk menentukan parameter penelitian yang akan diterjemahkan
ke dalam butir-butir pertanyaan kuesioner, peneliti berangkat dari
komponen keterampilan literasi media yang dipaparkan oleh Potter (2001).
Disebutkan bahwa terdapat dua jenis keterampilan yaitu rudimentary
media literacy skills dan advanced media literacy skills. Untuk penelitian
ini, peneliti hanya mengambil jenis keterampilan advanced media literacy
skill. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Generasi Z dianggap
30
sudah melampaui rudimentary media literacy skill atau keterampilan
dasar.
Advanced media literacy skills kemudian dibagi dua menjadi
message focused skills dan message extending skills. Kedua jenis
keterampilan tersebut tersusun oleh dimensi-dimensi yang berbeda. Untuk
message focused skills, peneliti berfokus pada dimensi analisis,
membedakan/mengontraskan, dan evaluasi. Dimensi abstraksi tidak
digunakan dan peneliti akan langsung menggunakan dimensi sintesis yang
diharapkan sudah sekaligus mewakili dimensi abstraksi.
Sedangkan untuk message extending skills, peneliti berfokus pada
dimensi deduksi dan sintesis. Dimensi induksi tidak digunakan karena
penelitian ini berfokus pada pemaknaan iklan, khususnya pesan iklan yang
ditampilkan melalui video iklan tersebut. Sementara itu, untuk melakukan
induksi, diperlukan analisis dan evaluasi lebih lanjut tentang sumber-
sumber informasi yang melampaui video iklan itu sendiri.
Untuk memperkuat teori dan mengakomodasi iklan YouTube yang
merupakan media baru, peneliti menambahkan dimensi-dimensi yang
muncul dalam framework literasi media baru dari Lin et al. (2013).
Dimensi-dimensi tersebut disebut Lin dan kawan-kawan sebagai indikator.
Lin et al. (2013) membagi indikator-indikator tersebut ke dalam
empat area; functional consuming, critical consuming, functional
prosuming, dan critical prosuming. Yang dikombinasikan dengan
keterampilan literasi media dari Potter adalah indikator dari area critical
consuming. Terdapat tiga indikator dalam area tersebut; analisis, evaluasi,
dan sintesis. Indikator analisis beserta detail poinnya dikombinasikan
dengan dimensi analisis dari keterampilan literasi media oleh Potter
(2001). Indikator sintesis dikombinasikan dengan dimensi sintesis dari
keterampilan literasi media oleh Potter (2001). Sedangkan indikator
evaluasi dikombinasikan dengan dimensi deduksi dan evaluasi dari
keterampilan literasi media oleh Potter (2001).
31
Dimensi-dimensi keterampilan literasi media yang dikombinasikan
dengan indikator literasi media baru dan yang tidak dikombinasikan
kemudian diaplikasikan ke dalam struktur pengetahuan literasi media
untuk konten iklan dari Potter (2001). Dalam struktur pengetahuan tersebut
terdapat aspek kognitif, emosi, estetika, dan moral.
Untuk melengkapi detail parameter, peneliti juga menambahkan
sekilas teori tentang apa itu iklan dari kacamata pemasaran oleh Leiss et al.
(2005) dan kritik tentang iklan yang muncul pada sub-bab literasi media
untuk konten iklan dari Potter (2001).
Dari struktur pengetahuan yang sudah diolah dengan dimensi-
dimensi literasi, teori tentang iklan, dan kritik tentang iklan, peneliti
menyusun parameter sebagai guide. Guide tersebut yang kemudian
diterjemahkan ke dalam butir-butir pernyataan kuesioner pre-test dan post-
test. Guide tersebut juga digunakan peneliti untuk menilai dan mengukur
jawaban dari pertanyaan kuesioner pre-test dan post-test.
H. Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan konsep-konsep di atas, terdapat beberapa variabel.
Variabel-variabel tersebut adalah literasi konten iklan, pemaknaan iklan
“Open Up with Oreo”, penggunaan literasi konten iklan oleh Generasi Z,
dan karakteristik Generasi Z.
1. Literasi Konten Iklan
Literasi konten iklan yang dimaksud di sini adalah
rangkaian keterampilan yang dipaparkan oleh Potter dengan
penambahan beberapa keterampilan yang dipaparkan oleh Lin et
al. (2013). Penambahan ini didasarkan pada alasan bahwa
keterampilan yang ditawarkan Potter dibuat berdasarkan media
konvesional. Sementara dalam penelitian ini, peneliti
mengambil iklan dari media baru. Lin et al. (2013) dalam
32
tulisannya, Understanding New Media Literacy: An Explorative
Theoretical Framework, menawarkan keterampilan-
keterampilan literasi media baru dalam sebuah framework.
Framework tersebut terintegrasi dengan pendapat-pendapat dari
Chen dan Wu (2011), juga Jenkins et al. (2006), tentang
keterampilan-keterampilan dalam literasi media baru. Namun
keterampilan dari literasi media baru ini tidak semua digunakan.
Peneliti mengambil keterampilan-keterampilan yang mengacu
pada proses pemaknaan iklan saja sehingga yang diambil adalah
keterampilan dari area consuming yang meliputi functional
consuming dan critical consuming.
Peneliti berasumsi bahwa Generasi Z sudah melalui
tahap rudimentary skill atau keterampilan dasar dalam literasi
media. Oleh sebab itu, peneliti lebih berfokus pada advanced
media literacy skill atau keterampilan lanjutan untuk literasi
media.
Dimensi-dimensi yang diambil oleh peneliti adalah
analisis, membandingkan/mengontraskan, evaluasi, apresiasi,
deduksi, dan sintesis. Dimensi analisis,
membandingkan/mengontraskan, dan evaluasi merupakan
bagian dari message focus skills, sementara dimensi deduksi dan
sintesis merupakan bagian dari message extending skills.
Sedangkan dimensi apresiasi digunakan untuk melihat
bagaimana responden menanggapi elemen-elemen pendukung
iklan seperti emosi, estetika, dan moral (dalam bentuk norma).
Pada dimensi analisis, evaluasi dan sintesis, peneliti
melibatkan keterampilan-keterampilan dari literasi media baru.
Pada dimensi analisis, peneliti melibatkan analisis tekstual yang
meliputi analisis bahasa, genre, dan format media. Pada dimensi
evaluasi, peneliti melibatkan social value, purpose of media
producers, dan power position of media producers and
33
audience. Sementara pada dimensi sintesis, peneliti melibatkan
keterampilan responden untuk mengintegrasikan sudut pandang
mereka untuk merekonstruksi pesan iklan.
Dari penjabaran di atas, maka indikator yang digunakan
untuk melihat literasi konten iklan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Dimensi Analisis
Analisis sifat persuasif iklan
1. Menjelaskan iklan.
Kemampuan analisis sifat persuasif iklan dapat
dilihat dari cara responden menjelaskan iklan.
Terdapat tiga poin penting yang menjadi indikator
untuk menjelaskan iklan.58
Yang pertama adalah
fungsi iklan sebagai media atau alat promosi sebuah
produk/merek, yang kedua adalah sifat iklan yang
persuasif atau berusaha membujuk, dan yang ketiga
adalah efek iklan yang mengubah sikap dan perilaku
konsumen atau membuat konsumen menginginkan
sebuah barang/jasa lalu membeli/mengkonsumsinya.
2. Menyebutkan pesan-pesan iklan “Open Up with Oreo
Indonesia”.
Pesan-pesan yang mungkin muncul dari iklan
tersebut adalah:
a. Dunia penuh keajaiban
b. Dunia penuh imajinasi
c. Dunia penuh kebahagiaan
d. Keterbukaan
58
William Leiss, Stephen Kline, Sut Jhally, dan Jacqueline Botterill. 2005. Social Communication in
Advertising. New York, NY: Taylor & Francis. Hal. 23-26.
34
e. Keberagaman
3. Mengindentifikasi pesan tersebut disampaikan secara
implisit atau eksplisit.
4. Memberi alasan mengapa responden melihat bahwa
pesan tersebut disampaikan secara implisit atau
eksplisit.
Proses penyampaian iklan beberapa poin yang
menjadi indikator bagi responden untuk menjelaskan
mengapa pesan iklan Oreo disampaikan secara
implisit atau eksplisit. Poin-poin tersebut adalah59
:
a. Penggunaan bahasa dan/atau susunan
kalimat.
b. Genre
c. Format media
5. Mempercayai pesan iklan atau tidak.
Berikut ini adalah indikator yang harus
dipenuhi responden ketika memberi alasan mengapa
mereka mempercayai pesan iklan atau tidak:
a. Membahas sifat iklan.
b. Membahas fungsi iklan.
c. Membahas efek iklan.
6. Mengetahui maksud iklan “Open Up with Oreo
Indonesia”.
Maksud iklan “Open Up with Oreo Indonesia”
ini selain untuk menyampaikan pesan, juga
memperkenalkan value atau nilai merek Oreo tentang
keterbukaan dan berbagi kebahagiaan.60
Di saat yang
sama, Oreo juga berusaha mempersuasi atau
59
Jeff Share. 2002. Media Literacy Is Elementary: Teaching Youth to Critically Read and Create
Media. New York, NY: Peter Lang. Hal. 144. 60
Nudd, Op.Cit.
35
membujuk konsumen untuk mengubah sikap dan
perilaku konsumen.
7. Mengetahui tanggung jawab etis iklan “Open Up with
Oreo Indonesia”.
Tanggung jawab etis yang dimaksud di sini
merujuk pada tanggung jawab sosial iklan.61
Iklan
selain membentuk budaya juga mengubah sikap dan
perilaku konsumen, serta mengubah pola konsumsi
konsumen.
Dimensi Membedakan/Mengontraskan
Membedakan/mengontraskan usaha persuasi iklan
1. Menyebutkan perbedaan pesan iklan “Open Up with
Oreo Indonesia” dengan pesan iklan lain.
Perbedaan pesan iklan “Open Up with Oreo
Indonesia” dapat dilihat melalui isi pesannya atau cara
penyampaian pesan tersebut. Dalam proses
penyampaian pesan sendiri terdapat beberapa poin
pendukung seperti:
a. Artistik (seni)62
b. Emosi63
c. Moral64
d. Format media (yang digunakan)65
2. Menyebutkan perbedaan maksud iklan “Open Up with
Oreo Indonesia” dengan maksud iklan lain.
61
Potter, Op.Cit., hal. 140-142. 62
Ibid, hal. 145-146. 63
Ibid. 64
Ibid. 65
Share, Op.Cit.
36
Untuk membedakan maksud iklan “Open Up
with Oreo Indonesia”, responden perlu menyebutkan
maksud iklan Oreo dan maksud iklan lain. Selain itu,
responden juga diharapkan untuk dapat menjelaskan
mengapa maksud iklan Oreo tersebut berbeda dengan
maksud iklan lain.
Dimensi Evaluasi
Mengevaluasi pesan iklan
1. Mengetahui apakah pesan iklan “Open Up with Oreo
Indonesia” tepat atau tidak tepat.
Ketepatan pesan iklan ini dilihat dari kacamata
budaya dalam artian, responden diminta untuk menilai
tepat atau tidaknya pesan tersebut dalam konteks
budaya. Responden juga diharapkan dapat memberi
alasan mengapa pesan tersebut mereka nilai tepat atau
tidak tepat dalam konteks budaya.
2. Mengetahui apakah pesan iklan “Open Up with Oreo
Indonesia” masuk akal atau tidak masuk akal.
Untuk mengevaluasi masuk akal atau tidak
masuk akalnya pesan iklan “Open Up with Oreo
Indonesia”, responden perlu juga menganalisis poin-
poin berikut66
:
a. Bahwa terdapat kepentingan bisnis atau
pemasaran di balik iklan.
b. Bahwa terdapat usaha mengubah sikap dan
perilaku dari iklan.
66
Der-Thanq “Victor” Chen dan Yu-mei Wang. 2011. Journal of Systemics, Cybernetics and
Informatics: Unpacking New Media Literacy. Vol. 9. No. 2. Hal. 86.
37
Dimensi Apresiasi
Apresiasi emosi
1. Menyebutkan perasaan yang muncul karena emosi
yang dipengaruhi iklan “Open Up with Oreo
Indonesia”.
Di bawah ini merupakan emosi-emosi yang
mungkin muncul ketika responden menonton iklan
“Open Up with Oreo Indonesia”:
a. Sedih
b. Senang/gembira/bahagia
c. Sebal/kesal
d. Curiga
e. Bingung
f. Gemas
g. Geli
h. Marah
Apresiasi artistik
1. Menyebutkan unsur-unsur keindahan (estetika) dan
seni (artistik).
Berikut ini merupakan unsur-unsur keindahan
(estetika) dan seni (artistik) yang muncul dari iklan
“Open Up with Oreo Indonesia”:
a. Ide iklan
b. Kata-kata
c. Kalimat
d. Bahasa yang digunakan
e. Tagline
f. Animasi
g. Grafis
h. Latar waktu dan tempat
38
i. Musik/jingle
Apresiasi moral (dalam bentuk norma)
1. Memberi penilaian dari sisi norma apakah sesuai atau
tidak.
Dalam proses mengevaluasi iklan dari sisi
norma, responden diharapkan untuk dapat
menceritakan kembali cerita iklan kemudian
menganalisis norma yang muncul.
Dimensi Deduksi
1. Memberi kesimpulan dari tayangan iklan “Open Up
with Oreo Indonesia” untuk melihat pola persuasif
iklan tersebut.
Untuk melihat pola persuasif dari iklan,
responden perlu menyadari poin-poin berikut yang
diharapkan masuk kedalam kesimpulan yang dibuat:
a. Usaha persuasi Oreo lewat iklan.
b. Elemen-elemen yang membangun iklan
(artistik, emosi, dan moral).
c. Format media yang digunakan untuk
beriklan.
Dimensi Sintesis
1. Merekonstruksi pesan tayangan iklan “Open Up with
Oreo Indonesia” dengan menyampaikan kembali
pesan iklan tersebut dengan sudut pandang sendiri.
Proses rekonstruksi melalui penyampaian
kembali pesan iklan tersebut diharapkan mencakup
penyampaian kembali poin-poin berikut:
a. Sifat iklan
39
b. Fungsi iklan
c. Efek iklan
Indikator-indikator tersebut diterjemahkan peneliti dalam
bentuk kuesioner terbuka. Karena kuesioner tersebut adalah
kuesioner terbuka, maka peneliti menyiapkan guide yang berisi
parameter atas jawaban-jawaban responden.
Setiap indikator memiliki bobot penilaian yang berbeda-
beda. Pertanyaan kuesioner, kunci jawaban atau guide, beserta
bobot penilaian dilampirkan peneliti.
2. Karakteristik Generasi Z
Karakteristik Generasi Z yang utama yang dimaksud di
sini adalah digital natives dan secara aktif menghindari iklan
namun memiliki toleransi terhadap iklan online. Dari sisi
perkembangan kognitif, emosi, dan moral, Generasi Z yang
berada pada masa remaja pertengahan (adolescent) ini menjadi
semakin skeptis terhadap iklan, mulai memiliki pemahaman
terhadap semua jenis narasi (narratives), serta menyadari
maksud-maksud di balik hukum-hukum sosial. Karakter sebagai
Generasi Z dan karakter sebagai individu di masa remaja
pertengahan (adolescent) ini ditambah dengan karakter siswa
SMA Kolese de Britto yang bebas berekspresi.
3. Pemaknaan Iklan YouTube “Open Up with Oreo Indonesia”
Pesan kampanye “Open Up with Oreo” adalah tentang
keberagaman dan toleransi dengan menjadi terbuka terhadap
orang lain atau orang baru, juga pengalaman baru. Secara
umum, peneliti ingin melihat pemaknaan Generasi Z terhadap
pesan besar kampanye tersebut. Namun untuk melihat literasi
dengan lebih jelas, pemaknaan akan diberikan terhadap detil-
40
detil yang membangun pesan besar kampanye “Open Up with
Oreo”. Sehingga pemaknaan dalam penelitian ini akan diberikan
terhadap hal-hal berikut:
1. Penyampaian pesan persuasif melalui elemen-
elemen tekstual.
2. Penyampaian pesan persuasif melalui elemen-
elemen artistik yang muncul dalam iklan.
3. Penyampaian pesan persuasif melalui emosi yang
dimunculkan dalam iklan.
4. Tokoh-tokoh yang muncul dalam iklan.
5. Elemen craft di dalam iklan.
6. Elemen moral.
7. Tanggung jawab etis dari iklan.
8. Klaim yang disampaikan iklan.
9. Kebenaran pesan yang disampaikan iklan.
Selain pemaknaan terhadap hal-hal di atas, pemaknaan
juga dilakukan dengan menginterpretasi konten iklan dan
merekonstruksi pesan iklan.
I. Metodologi
1. Pendekatan dan Sifat Penelitian
Penelitian ini memiliki pendekatan kuantitatif di mana metode
yang nantinya akan digunakan oleh peneliti menekankan pada
pengukuran objektif dan analisis data yang statistis. Sedangkan sifat
penelitian ini adalah eksperimental karena lewat penelitian ini, peneliti
ingin melihat hubungan kausal antara literasi konten iklan yang dimiliki
oleh Generasi Z sebagai variabel independen dan pemaknaan iklan
“Open Up with Oreo Indonesia” sebagai variabel dependen.
41
2. Metode Penelitian
Peneliti menggunakan metode eksperimental. Secara khusus,
desain eksperimental yang akan dilaksanakan adalah quasi-
experimental. Desain penelitian ini melibatkan dua kelompok yaitu
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Peserta di kedua
kelompok tersebut dipilih tanpa menggunakan random assignment.
Kedua kelompok akan menjalani pre-test dan post-test, namun hanya
kelompok eksperimen yang akan menerima perlakuan dari peneliti.67
Terdapat empat variabel dalam penelitian ini, variabel
independen, variabel dependen, variabel intervening, dan variabel
moderating. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, variabel
independen penelitian ini adalah literasi konten iklan yang dimiliki oleh
Generasi Z, dan variabel dependennya adalah pemaknaan iklan
YouTube “Open Up with Oreo Indonesia” oleh Generasi Z. Sedangkan
variabel intervening-nya adalah penggunaan literasi konten iklan oleh
Generasi Z dalam proses memaknai iklan YouTube “Open Up with
Oreo Indonesia”, serta variabel moderating-nya adalah karakteristik
Generasi Z terhadap penggunaan literasi konten iklan.
Peneliti secara khusus berusaha melihat seperti apa literasi
konten iklan Generasi Z karena Generasi Z disebut-sebut merupakan
generasi yang skeptis dan cenderung menghindari iklan.68
Padahal,
untuk mengaplikasikan literasi, seorang individu perlu mengekspos
dirinya terhadap konten iklan secara aktif.69
Eksplorasi yang dilakukan
peneliti terhadap literasi konten iklan Generasi Z tersebut dilakukan
lewat proses pemaknaan Generasi Z terhadap iklan YouTube “Open Up
with Oreo Indonesia”. Melalui metode eksperimental, peneliti dapat
dengan bebas mengatur setting subjek penelitian sesuai dengan tujuan
penelitian. Dengan metode ini, peneliti dapat menciptakan kondisi di
67
Creswell, Op.Cit., hal. 160-161. 68
Kleinschmit, Op.Cit. 69
Potter, Op. Cit., hal. 40.
42
mana subjek tidak punya pilihan selain mengekspos dirinya terhadap
konten iklan dengan mempertontonkan iklan yang diuji secara
langsung. Di saat yang bersamaan, peneliti juga memiliki hasil dari
subjek, yang secara alami, tidak terekspos oleh konten iklan yang diuji
karena tidak dipertontonkan iklan tersebut. Dengan demikian, peneliti
dapat memberikan perbandingan hasil antara dua kondisi yang akan
mempekuat atau justru menjatuhkan teori yang ada.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik
nonequivalent (pre-test and post-test) control-group design. Seperti
yang sudah dipaparkan sebelumnya, peserta eksperimen ini tidak
melalui proses random sampling atau random assignment. Dalam
penelitian ini, yang digunakan oleh peneliti anak kelompok siswa di
dalam kelas.
Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dalam penelitian
ini sama-sama merupakan siswa-siswa kelas 11 SMA Kolese de Britto
Yogyakarta yang berusia 16 dan 17 tahun. Seluruh siswa tersebut akan
disaring oleh peneliti berdasarkan kebiasaan bermedia dan
karakteristiknya, yang memenuhi karakteristik Generasi Z,
menggunakan kuesioner. Peneliti hanya akan mengambil siswa yang
secara aktif dan rutin menggunakan media sosial YouTube. Yang
dimaksud menggunakan YouTube secara aktif di sini adalah lebih dari
2 kali sehari dan menghabiskan, paling tidak, 2 jam ketika untuk
mengakses media tersebut.
Dari jumlah total siswa hasil penyaringan tersebut, peneliti akan
membaginya ke dalam dua kelompok – eksperimen dan kontrol. Kedua
kelompok tersebut akan menjalani pre-test berupa kuesioner terbuka.
Kemudian dilanjutkan dengan pemberian perlakuan terhadap kelompok
eksperimen. Perlakuan yang akan diberikan oleh peneliti adalah
mempertontonkan iklan YouTube “Open Up with Oreo Indonesia”.
43
Peneliti akan mempertontonkan iklan tersebut sekali dan secara utuh
dengan mengaksesnya lewat kanal Oreo Asia di YouTube.
Setelah memberi perlakuan terhadap kelompok eksperimen,
peneliti akan melakukan post-test terhadap kedua kelompok penelitian.
Post-test yang diberikan juga berupa kuesioner terbuka yang isi
pertanyaannya sama dengan pertanyaan-pertanyaan pre-test. Peneliti
sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk memunculkan literasi
konten iklan subjek penelitian sesuai dengan indikator-indikator yang
sudah disusun sebelumnya. Setiap pertanyaan dapat mewakili satu
indikator dan setiap indikator memiliki poin maksimal 5. Setiap
indikator tersebut memiliki paramater yang menentukan berapa poin
yang diperoleh setiap responden berdasarkan kelengkapan jawaban
yang diberikan.
Poin setiap tes dari setiap kelompok akan ditotal dan dilihat rata-
ratanya. Data tersebut akan digunakan peneliti untuk mengukur variabel
dependen. Sedangkan hasil post-test masing-masing kelompok akan
dibandingkan peneliti untuk melihat bagaimana Generasi Z
menggunakan literasi konten iklan dalam proses pemaknaan sebuah
iklan ketika mereka tidak menonton iklan dan ketika mereka menonton
iklan. Dengan demikian, peneliti dapat menggambarkan bagan desain
penelitian seperti di bawah ini.
44
Bagan 1.4
Desain Nonequivalent (pre-test and post-test) Control-group
Design
Peneliti juga menyiapkan kategorisasi untuk level literasi konten
iklan. Kategorisasi berikut didasarkan pada nilai total dan rata-rata.
Nilai total dan rata-rata ini juga dibagi menjadi skala kelompok dan
skala individu. Kategorisasi ini yang akan menjadi acuan bagi peneliti
untuk melabeli hasil pre-test dan post-test subjek penelitian.
Siswa-siswa SMA Kolese de Britto kelas 11, usia 16 dan
17 tahun yang aktif dan rutin menggunakan YouTube
Kelompok Eksperimental Kelompok Kontrol
Setengah dari total jumlah
siswa-siswa SMA Kolese de
Britto kelas 11, usia 16 dan
17 tahun yang aktif dan rutin
menggunakan YouTube.
Setengah dari total jumlah
siswa-siswa SMA Kolese de
Britto kelas 11, usia 16 dan 17
tahun yang aktif dan rutin
menggunakan YouTube.
Pre-test Pre-test
Menonton iklan “Open Up with
Oreo Indonesia” di YouTube.
Post-test Post-test
45
Tabel 1.2
Kategorisasi Level Literasi Konten Iklan Berdasarkan Nilai
Total Responden Skala Individu
Nilai Total (Skala Individu)
Level Literasi Poin
Sangat Rendah (SR) 1 – 15
Rendah (R) 16 – 30
Cukup (C) 31 – 45
Lebih dari Cukup (LC) 46 – 60
Tinggi (T) 61 – 75
Kategori ini disiapkan berdasarkan kemungkinan
perolehan poin untuk setiap butir pertanyaan oleh individu. Setiap
pertanyaan memiliki total nilai 5 poin yang dibagi ke dalam 5
bobot jawaban. Pembobotan jawaban di setiap butir pertanyaan
adalah sama yaitu 1 poin, 2 poin, 3 poin, 4 poin, dan 5 poin.
Setiap poin tersebut mengindikasikan tingkat literasi konten iklan
yang berbeda-beda.
Perolehan 1 poin menunjukkan tingkat literasi yang
“sangat rendah”, perolehan 2 poin menunjukkan tingkat literasi
yang “rendah”, perolehan 3 poin menunjukkan tingkat literasi
yang “cukup”, perolehan 4 poin menunjukkan tingkat literasi
“lebih dari cukup”, dan perolehan 5 poin menunjukkan tingkat
literasi yang “tinggi”. Dari sistem tersebut dapat dilihat bahwa
jika seorang responden mendapatkan poin penuh untuk setiap
pertanyaan, maka tingkat literasinya berada pada level tinggi.
Perhitungan poin penuh tersebut adalah 15 (pertanyaan) x 5
(poin) sama dengan 75 poin. Rumus yang sama digunakan untuk
level literasi yang lain.
Jika responden memperoleh 4 poin untuk semua
pertanyaan, 15 (pertanyaan) x 4 (poin), maka literasi konten
iklannya lebih dari cukup ditunjukkan dengan total nilai 60 poin.
Jika responden memperoleh 3 poin untuk semua pertanyaan, 15
46
(pertanyaan) x 3 (poin), maka literasi konten iklannya sudah
cukup ditunjukkan dengan nilai total 45 poin.
Literasi konten iklan yang rendah ditunjukkan ketika
responden memperoleh 2 poin untuk semua pertanyaan, sehingga
nilai totalnya adalah 15 (pertanyaan) x 2 (poin), atau 30 poin.
Sedangkan literasi konten iklan yang sangat rendah ditunjukkan
ketika responden memperoleh 1 poin untuk semua pertanyaan,
sehingga nilai totalnya adalah 15 (pertanyaan) x 1 (poin), atau 15
poin.
Karena adanya kemungkinan bahwa responden tidak
memperoleh poin yang sama untuk setiap pertanyaan, maka
peneliti menyiapkan interval nilai. Interval tersebut dimulai dari 1
dan berakhir di angka 75. Dengan demikian, jika responden
memperoleh nilai total 0 – 15 poin, maka diketahui bahwa literasi
konten iklannya berada pada level sangat rendah. Jika responden
memperoleh nilai total 16 – 30 poin, maka literasi konten
iklannya berada pada level rendah.
Ketika responden memperoleh nilai total 31 – 45 poin,
dapat diketahui bahwa tingkat literasi konten iklannya berada
pada level cukup. Ketika responden memperoleh nilai total 46 –
60 poin, maka literasi konten iklannya lebih dari cukup.
Sedangkan untuk sampai pada level tinggi, responden
membutuhkan nilai total 61 – 75 poin.
Tabel 1.3
Kategorisasi Level Literasi Konten Iklan Berdasarkan
Nilai Total Responden Skala Kelompok
Nilai Total (Skala Kelompok)
Level Literasi Poin
Sangat Rendah (SR) 1 – 330
Rendah (R) 331 – 660
Cukup (C) 661 – 990
Lebih dari Cukup (LC) 991 – 1320
Tinggi (T) 1321 – 1650
47
Jika kategorisasi sebelumnya disiapkan untuk skala
individu, kategorisasi di atas disiapkan untuk skala kelompok.
Rumus yang sama masih digunakan peneliti untuk menentukan
kategorisasi ini. Akan tetapi, nilai total dari masing-masing
kategori dikali jumlah responden setiap kelompok (22 responden).
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa literasi konten iklan
sebuah kelompok berada pada level sangat rendah ketika
perolehan nilai totalnya 0 – 330 poin.
Literasi konten iklan sebuah kelompok dinyatakan berada
pada level rendah ketika perolehan nilai totalnya 331 – 660 poin
dan dinyatakan berada pada level cukup ketika nilai totalnya 661
– 990 poin. Untuk dapat dikatakan bahwa tingkat literasi konten
iklan sebuah kelompok lebih dari cukup, diperlukan nilai total
991 – 1320. Dan untuk sampai ke level tinggi, sebuah kelompok
memerlukan nilai total 1321 – 1650 poin.
Tabel 1.4
Kategorisasi Level Literasi Konten Iklan Berdasarkan
Rata-rata Responden Skala Individu
Rata-rata (Skala Individu)
Level Literasi Poin
Sangat Rendah (SR) 1
Rendah (R) 1,1 – 2
Cukup (C) 2,1 – 3
Lebih dari Cukup (LC) 3,1 – 4
Tinggi (T) 4,1 – 5
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa setiap poin
dari bobot jawaban mengindikasikan tingkat literasi konten iklan
responden. Dalam skala individu, rata-rata tertinggi yang
mungkin muncul adalah 5 poin dengan catatan seluruh pertanyaan
memperoleh poin penuh (5 poin). Rata-rata tersebut
mengindikasikan literasi konten iklan responden berada pada
48
level tinggi. Sedangkan rata-rata terendah yang mungkin muncul
adalah 1 poin dengan catatan seluruh pertanyaan memperoleh
poin 1. Rata-rata tersebut mengindikasikan tingkat literasi konten
iklan yang berada pada level sangat rendah. Sistem yang sama
berlaku untuk kategori-kategori yang lain.
Kategorisasi berdasarkan nilai rata-rata ini juga
memerlukan interval. Interval dimulai dari rata-rata 1 poin yang
menunjukkan bahwa literasi konten iklan responden berada pada
level sangat rendah. Rata-rata 1.1 – 2 poin menunjukkan literasi
konten iklan responden berada pada level rendah. Rata-rata 2.1 –
3 menunjukkan literasi konten iklan responden berada pada level
cukup.
Sedangkan rata-rata 3.1 – 4 poin menunjukkan bahwa
literasi konten iklan responden berada pada level cukup. Dan
untuk sampai ke level tinggi, diperlukan nilai rata-rata 4.1 – 5
poin.
Tabel 1.5
Kategorisasi Level Literasi Konten Iklan Berdasarkan
Rata-rata Responden Skala Kelompok
Rata-rata (Skala Kelompok)
Level Literasi Poin
Sangat Rendah (SR) 0 – 15
Rendah (R) 16 – 30
Cukup (C) 31 – 45
Lebih dari Cukup (LC) 46 – 60
Tinggi (T) 61 – 75
Untuk kategorisasi berdasarkan nilai rata-rata dalam skala
kelompok, peneliti kembali mengalikan nilai rata-rata individu
dengan jumlah responden di setiap kelompok (22 responden).
Dengan demikian, jika nilai rata-rata sebuah kelompok 0 – 15
poin, maka literasi konten iklan kelompok tersebut dinyatakan
berada pada level sangat rendah. Jika nilai rata-rata kelompok 16
49
– 30 poin, maka literasi konten iklan kelompok tersebut
dinyatakan berada pada level rendah.
Sementara supaya literasi konten iklan sebuah kelompok
dinyatakan berada pada level cukup, diperlukan nilai rata-rata
kelompok 31 – 45. Nilai rata-rata 46 – 60 menunjukkan bahwa
literasi konten iklan sebuah kelompok lebih dari cukup. Dan nilai
rata-rata 61 – 75 menunjukkan bahwa literasi konten iklan sebuah
kelompok berada pada level tinggi.
4. Subjek Penelitian
Sesuai dengan tema yang diangkat, subjek penelitian ini adalah
Generasi Z di Yogyakarta. Generasi Z dipilih karena keunikan karakter
dan kebiasaan bermedianya.
Secara spesifik, Generasi Z yang dimaksud adalah siswa-siswa
SMA Kolese de Britto kelas 11 yang berusia 16 dan 17 tahun. Pada usia
16-17, seorang individu sudah mencapai kematangan dalam
perkembangan kognitif, sehingga diharapkan dapat memberi hasil yang
valid untuk penelitian ini. Sebagai krtiteria, subjek harus merupakan
individu yang aktif dan rutin menggunakan YouTube. Subjek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah mereka yang mengakses
YouTube tidak kurang dari dua kali dalam sehari dengan total waktu
tidak kurang dari 2 jam. Selain itu, subjek juga memiliki karakteristik
Generasi Z yang menghindari iklan namun memiliki toleransi terhadap
iklan online. Subjek tidak harus pernah menonton iklan “Open Up with
Oreo Indonesia”. Sehingga dalam pelaksanaan penelitian ini, akan
muncul 3 kategori kelompok yaitu:
1. Siswa usia 16-17 tahun yang sudah pernah menonton iklan
“Open Up with Oreo Indonesia” di YouTube.
2. Siswa usia 16-17 tahun yang sudah pernah menonton iklan
“Open Up with Oreo Indonesia” di media lain selain
YouTube.
50
3. Siswa usia 16-17 tahun yang sama sekali belum pernah
menonton iklan “Open Up with Oreo Indonesia” di YouTube.
Seluruh siswa dari berbagai kategori ini akan dibagi ke dalam
dua kelompok penelitian, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
5. Teknik Analisis Data
Sebelum eksperimen dilaksanakan, peneliti sudah berangkat
dengan hipotesis dan dimensi-dimensi pengukuran yang dibangun dari
sebuah teori. Peneliti akan menganalisis seberapa jauh data penelitian
ini dari hipotesis. Sementara teori akan digunakan peneliti untuk
membangun argumen atas hasil analisis tersebut.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap jawaban dari
subjek penelitian yang memenuhi indikator akan diberi poin. Poin-poin
tersebut akan diakumulasi per kelompok (eksperimen dan kontrol), lalu
dibagi jumlah siswa dalam kelompok untuk mendapatkan poin rata-rata
per kelompok. Semakin tinggi poin rata-rata kelompok, dapat diartikan
bahwa literasi konten iklan siswa yang ada di kelompok tersebut
semakin tinggi.
Sebagai data penelitian, perolehan poin rata-rata dari post-test
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol akan dibandingkan untuk
melihat perbedaan literasi konten iklan antara siswa yang mendapat
perlakuan dan tidak mendapat perlakuan. Pemaparan data ini akan
berupa grafik yang disertai deskripsi.
Selain itu, peneliti akan membandingkan perolehan poin rata-
rata dari pre-test dan post-test masing-masing kelompok penelitian
(eksperimen dan kontrol). Peneliti akan melihat perubahan apa yang
terjadi dari pre-test ke post-test dari masing-masing kelompok dengan
memaparkannya dalam bentuk grafik yang juga disertai deskripsi.
Poin setiap indikator akan diakumulasi sesuai jumlah total
responden di setiap kelompok dan dirata-rata untuk melihat
kemampuan atau keterampilan apa saja yang paling dikuasai dan paling
51
tidak dikuasai. Data ini hanya akan diambil dari hasil post-test
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (sebagai pembanding).
Sementara pemaparan datanya akan juga akan berupa grafik. Untuk
setiap pemaparan data dalam penelitian ini, peneliti akan
melengkapinya analisis yang deskriptif.
Sementara, untuk memberi skor terhadap jawaban-jawaban
responden, peneliti menggunakan parameter dalam guide yang sudah
disiapkan sebelumnya. Untuk mengurangi kemungkinan subjektivitas,
peneliti dibantu oleh seorang partner dalam menginterpretasi jawaban
dari kuesioner terbuka. Partner peneliti untuk penelitian ini adalah
Anindita Lintang Pakuningjati (Lintang), SIP.
Lintang merupakan lulusan S1 Departemen Komunikasi
Universitas Gadjah Mada. Sama seperti peneliti, Lintang juga
mengambil konsentrasi strategis dan sudah mengambil mata kuliah
yang sama dengan peneliti. Secara teori dan teknis, Lintang sudah
dipersiapkan oleh peneliti. Lintang juga sudah memahami isi dan tujuan
dari penelitian ini. Latar belakang studi dan kesiapan partner
diharapkan peneliti dapat memberikan objektivitas pada hasil penelitian
ini.