bab i pendahuluan a. latar belakang...

38
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dilihat dari perspektif kesehatan, bisnis yang berkaitan dengan tembakau seperti halnya rokok dibatasi ruang geraknya dengan berbagai cara di seluruh dunia. Sebagai contoh, terdapat pembedaan pada aturan pembuatan, pengemasan dan iklan produk-produk tembakau, yang di Indonesia sendiri diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003. 1 Secara luas diakui bahwa tembakau merupakan sebuah bencana kesehatan masyarakat yang utama pada abad ke-20 ini. 2 Berbagai penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai penyakit serius seperti halnya kanker, serangan jantung, serta penyakit serius lainnya. 3 Pengendalian konsumsi produk tembakau merupakan suatu aspek yang penting dalam tata kelola kesehatan masyarakat kontemporer. Namun, hukum ekonomi internasional dapat beresiko menjadi sebuah halangan dalam tujuan pengendalian produk tembakau seperti hal-hal pengurangan secara signifikan daripada hambatan tarif dan non-tarif perdagangan, penurunan harga produk tembakau dan dengan demikian menyebabkan 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan 2 Commission On Macroeconomics and Health, 2001, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press hlm. 1 3 Valentina S. Valdi, 2012, Global Health Governance at a Crossroads: Trademark Protection V. Tobacco Control in International Investment Law, Stanford Journal of International Law Stanford, hlm. 125

Upload: dobao

Post on 06-May-2018

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

1  

 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dilihat dari perspektif kesehatan, bisnis yang berkaitan dengan tembakau

seperti halnya rokok dibatasi ruang geraknya dengan berbagai cara di seluruh

dunia. Sebagai contoh, terdapat pembedaan pada aturan pembuatan, pengemasan

dan iklan produk-produk tembakau, yang di Indonesia sendiri diatur melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003. 1 Secara luas diakui bahwa

tembakau merupakan sebuah bencana kesehatan masyarakat yang utama pada

abad ke-20 ini.2 Berbagai penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa rokok dapat

menyebabkan berbagai penyakit serius seperti halnya kanker, serangan jantung,

serta penyakit serius lainnya. 3 Pengendalian konsumsi produk tembakau

merupakan suatu aspek yang penting dalam tata kelola kesehatan masyarakat

kontemporer. Namun, hukum ekonomi internasional dapat beresiko menjadi

sebuah halangan dalam tujuan pengendalian produk tembakau seperti hal-hal

pengurangan secara signifikan daripada hambatan tarif dan non-tarif perdagangan,

penurunan harga produk tembakau dan dengan demikian menyebabkan

                                                                                                               1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan 2 Commission On Macroeconomics and Health, 2001, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press hlm. 1 3 Valentina S. Valdi, 2012, Global Health Governance at a Crossroads: Trademark Protection V. Tobacco Control in International Investment Law, Stanford Journal of International Law Stanford, hlm. 125

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

2  

peningkatan konsumsi produk tembakau, khususnya di negara-negara

berpenghasilan rendah.4 Bank Dunia berpendapat bahwa, dalam rangka usaha

penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok merupakan suatu proses yang

bersifat jangka panjang, yang mana melebihi manfaat ekonomi yang diperoleh

dari produksi dan perdagangan rokok yang bersifat sementara atau berjangka

pendek.5 Selama dua dekade terakhir, berbagai perjanjian perdagangan baik

bilateral, regional, dan multilateral yang diadopsi oleh banyak negara telah

menyebabkan persaingan secara signifikan di pasar tembakau domestik.

Kompetisi ini juga disertai dengan penurunan harga untuk produk tembakau dan

juga merupakan sebuah peningkatan dramatis dalam bidang iklan dan promosi

produk tembakau.6

World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari lima juta

jiwa meninggal pada setiap tahunnya karena disebabkan oleh dampak konsumsi

rokok dan angka ini dapat bertambah menuju angka delapan juta hingga 2030

apabila tidak ada usaha dalam mengontrol konsumsi rokok.7 Melihat data dari

WHO dengan angka kematian yang cukup besar, dirasa diperlukan usaha dari

komunitas internasional dalam menanggapi masalah ini, yang mana penyebab

utamanya merupakan konsumsi rokok.

Salah satu usaha komunitas internasional dalam menanggapi masalah

konsumsi rokok dapat dilihat dengan menerapkan pengaturan mengenai

                                                                                                               4 Commission On Macroeconomics and Health, Op. Cit. hlm. 1 5 World Bank, 1999, Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control 1, Washington, D.C., World Bank, hlm. 32-33 6 Allyn Taylor, Frank J. Chaloupka, Emmanuel Guindon & Michaelyn Corbett, 2000, The Impact of Trade Liberalization on Tobacco Consumption, Oxford University Press, Oxford, hlm.343 7 World Tobacco Fact Sheet No. 339 (Juli 2011) dapat diakses melalui website resmi WHO www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/ (diakses pada 9 Oktober 2013 pukul 00.58)

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

3  

pengemasan polos rokok atau produk tembakau yang diatur melalui Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan sebuah konvensi

multilateral dibawah World Health Organization.

Berlakunya FCTC yang dikeluarkan oleh WHO pada 2005 merupakan

sebuah langkah awal dalam pengendalian tembakau global.8 Sebagai salah satu

perjanjian yang di negosiasikan di bawah WHO, FCTC merupakan perjanjian

berbasis bukti yang paling banyak diikuti oleh negara-negara anggota WHO

dalam mempromosikan kesehatan masyarakat dan dikembangkan sebagai

tanggapan terhadap keprihatinan dunia dalam menanggapi epidemi tembakau.9

Memasuki awal 2013, 176 negara telah menjadi peserta dalam FCTC. Hanya

masalah waktu hingga negara pertama memperkenalkan kemasan polos sejak

berlakunya FCTC pada Februari 2005.10

Pada bulan April 2010, Pemerintah Australia memberitahukan bahwa akan

memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai pengemasan produk

tembakau yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2012 dengan implementasi

penuh sejak 1 Desember 2012.11 Tidaklah mengherankan ketika Australia menjadi

negara pertama yang menerapkan kebijakan “kemasan polos” mengingat Australia

sudah lama menjadi pemimpin internasional dalam usaha mengontrol produk-

                                                                                                               8 Raphael Lencucha & Jeffrey Drope, 2013, Plain Packaging: An Opportunity For Improved International Policy Coherence?, Oxford University Press, Oxford, hlm 1 9 Andrew D. Mitchell, 2010, Australia’s move to the Plain Packaging of Cigarettes and Its WTO Compatibility, University of Melbourne, Melbourne, hlm. 410 10 WHO Framework Convention on Tobacco Control, Feb. 27, 2005, 2302 U.N.T.S. 166 11 Plain Packaging of Tobacco Products, Australian Government Department of Health, diakses melalui http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/tobacco-plain , diakses pada tanggal 28 September 2013 pukul 00:56 WIB

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

4  

produk tembakau. 12 Pada 11 November 2011 lalu, Parlemen Australia

mengesahkan The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang mana merupakan

pengaturan mengenai pengemasan produk tembakau pertama di dunia.

Kemasan polos produk-produk tembakau atau yang disebut juga “kemasan

generik” atau “standar kemasan” sebenarnya bukanlah suatu ide baru. Asal-usul

dari ide ini dapat ditelusuri yang mana akan berawal pada September 1989 ketika

laporan Dewan Zat Beracun Selandia Baru memberikan sebuah rekomendasi

bahwa semua produk tembakau sebaiknya dijual dalam kemasan polos, yaitu

dalam kemasan putih polos dengan pencetakan huruf hitam dan tidak ada warna

lain yang diijinkan baik dalam huruf yang dicetak maupun kemasan itu sendiri

dan tidak diijinkan adanya logo dalam bentuk apapun.13

Tujuan dari The Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011 sendiri

dinyatakan sebagai suatu langkah dalam rangka peningkatan kesehatan

masyarakat, antara lain dengan cara mengurangi jumlah individu yang akan

memulai merokok dan mengkonsumsi produk tembakau.14

Ketentuan yang tercantum dalam FCTC terus ditentang, khususnya

penentangan di bawah hukum ekonomi internasional, termasuk di dalamnya

gugatan yang dibawa di hadapan WTO. Industri tembakau sendiri telah lama

mengkhawatirkan mengenai kebijakan pengemasan polos beserta “efek domino”

yang akan bersama menyertainya apabila penerapan kebijakan pengemasan polos

                                                                                                               12 Jonathan Liberman, 2012, Public Health And Plain Packaging Of Cigarettes, Edward Elgar Publishing, Cheltenham, hlm. 361 13 Patrick Basham & Dr. John C. Luik, 2011, Erasing Intellectual Property “Plain Packaging” For Consumer Products And The Implications For Trademark Rights, Washington Legal Foundation, Washington, hlm. 1 14 Tobacco Plain Packaging Act 2011, Section 3(1)

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

5  

berhasil maka akan diikuti oleh banyak negara di seluruh dunia. Industri tembakau

juga telah lama menegaskan bahwa pelaksanaan kemasan polos akan melanggar

berbagai hukum domestik dan internasional.15

Dibawah FCTC, bagi negara-negara yang menjadi anggota dikenakan

beberapa kewajiban mengenai pengaturan pengemasan dan pengiklanan produk

yang berkaitan dengan tembakau. Secara ringkas kewajiban-kewajiban yang

dikenakan antara lain yaitu meliputi:

i. Negara anggota diharapkan mengambil sebuah langkah dalam

menjamin pengemasan dan pelabelan produk tembakau tidak

dipromosikan dengan cara yang salah, menyesatkan, menipu, atau

memungkinkan untuk menciptakan kesan yang salah tentang

karakteristik, efek kesehatan, bahaya atau emisi, termasuk istilah-

istilah seperti “light” atau “mild”;

ii. Pencetakan peringatan kesehatan dan informasi yang relevan pada

area tampilan utama tidak kurang dari 30% dari setiap kemasan

satuan serta setiap kemasan luar maupun dalam pelabelan produk

tembakau dan;

iii. Secara komprehensif melarang iklan, promosi dan sponsor produk

tembakau atau jika sebuah negara anggota Konvensi ini tidak

dalam posisi melakukan larangan komprehensif karena konstitusi

                                                                                                               15 Physicians for Smoke-Free Canada, 2009, Packaging Phoney Intellectual Property Claims, Physicians for Smoke-Free Canada, Ottawa, hlm, 21

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

6  

atau prinsip-prinsip konstitusional, negara harus membatasi

kegiatan ini.16

Pada November 2008, dalam Konferensi Para Pihak FCTC dibahas

mengenai pedoman pelaksanaan Pasal 11 tentang Kemasan dan Pelabelan serta

Pasal 13 mengenai Iklan Rokok, Promosi, dan Sponsor yang keduanya

menyarankan agar para peserta FCTC mempertimbangkan pengadopsian

kebijakan pengemasan polos, dan secara signifikan memperkuat kebjakan politik

dan dasar hukum yang mendasari kebijakan pengemasan polos.17

Salah satu respon dari industri tembakau dalam menanggapi pelaksanaan

kebijakan pengemasan polos yaitu dengan menunjukkan bahwa terdapat sejumlah

hukum domestik dan internasional yang ada dapat menghambat implementasi

kebijakan pengemasan polos di Australia. Salah satu keberatan yang diajukan

indstri tembakau yaitu menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan pengemasan

polos mungkin akan bertentangan dengan kewajiban Australia dibawah WTO,

khususnya dalam The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual

Property Rights (TRIPS Agreement) dan The Agreement on Technical Barriers to

Trade (TBT).18

Dua perjanjian WTO tersebut cenderung menjadi dasar dari setiap

gugatan formal yang dibawa oleh produsen rokok dalam menentang Australia

melalui sistem penyelesaian sengketan WTO. Kasus serupa mengenai produk

                                                                                                               16 Masabumi Suzuki, 2011, Domestic Measures IP/Trade Law, The Case of the Australian Plain Packaging Act, Doshisha Law Review, Nagoya, hlm. 371 17 Liberman, Loc. Cit. hlm. 362 18 Andrew Mitchell & Sebastian Wurzberger, 2011, Boxed in? Australia’s Plain Tobacco Packaging Initiative and International Investment Law, The University of Melbourne, Melbourne, hlm.2

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

7  

tembakau sebelumnya sudah pernah diajukan di hadapan WTO yaitu mengenai

komplain terhadap peraturan yang diperkenalkan oleh Kanada dan Amerika

Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

produk terkait.19 Sebelumnya keluhan ini telah berulang kali di tentang, salah

satunya melalui komentar oleh anggota dalam Komite TBT, yang selanjutnya

menjadi subyek dari sengketa formal di bawah WTO oleh Indonesia.20

Konsistensi peraturan dibawah kebijakan pengemasan polos dengan

hukum kekayaan intelektual internasional dan hukum perdagangan internasional

menjadi permasalahan, terutama ketika produsen tembakau dibatasi dalam

penggunaan merek dagang yang mereka miliki.

Sebagai negara yang berorientasi ekonomi ekspor dan sebagai ketua

Cairns Group of Agricultural Exporter, Australia memiliki peran yang besar

dalam pembaharuan perdagangan multilateral dan bekerjanya sistem WTO yang

efektif. Kebijakan perdagangan merupakan suatu komponen yang penting bagi

kerangka kebijakan ekonomi Australia dan juga bagi liberalisasi perdagangan

unilateral yang sudah menjadi bagian integral dari perubahan struktural yang telah

mendukung kekuatan ekonomi dan keberlangsungan perdagangan Australia

selama beberapa tahun kebelakang. 21 Kewajiban Australia dibawah hukum

ekonomi internasional melalui perjanjian-perjanjian WTO dan perjanjian

multilateral lainnya serta kewajiban Australia dibawah FCTC dengan kebijakan

                                                                                                               19 Andrew Mitchell & Tania Voon, 2011, Regulating Tobacco Flavours: Implications for WTO Law, Boston University International Law Journal, Boston, hlm. 383 20 Permintaan untuk pembentukan Panel oleh Indonesia, United States – Measures Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes, WTO Doc WT/DS406/2 (11 Juni 2010) 21 Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, 2010, The Law Of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, Thomson Reuters, Minnesota, hlm. 1192

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

8  

pengemasan polos yang di implementasikan Australia merupakan suatu dilema

dalam perdagangan internasional yang kelanjutannya akan mempengaruhi

keberlangsungan perdagangan internasional serta praktek negara-negara

selanjutnya dalam hal pengaturan perdagangan produk tembakau.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah relevansi The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia

terhadap kewajiban Australia dalam perdagangan internasional?

2. Apa justifikasi Australia terhadap berlakunya The Tobacco Plain

Packaging Act 2011?

3. Apakah relevansi The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia

terhadap hukum WTO?

C. Keaslian Penelitian

Selama melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, penelitian dengan judul Implikasi Pengaturan

Kemasan Polos Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act

2011 Australia Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan

Internasional, tidak ditemukan oleh penulis sebuah penelitian dengan judul dan

permasalahan yang sama.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

9  

Namun, penulis menemukan penelitian dengan bahasan yang serupa

namun dengan fokus yang berbeda mengenai The Tobacco Plain Packaging Act

2011 dan juga dengan judul yang berbeda yang ditulis oleh Muhammad Akbar

Akhir dengan judul Kepentingan Australia Terhadap Kontrol Tembakau Dalam

Negeri (Kasus Undang-Undang Plain Packaging) yang lebih membahas ke arah

kepentingan Australia dibalik diberlakukannya The Tobacco Plain Packaging Act

2011 apakah tentang kepentingan ekonomi, kepentingan politik ataukah hanya

merupakan kepentingan nasional Australia. Selain penelitian tersebut, penulis

juga menemukan tulisan yang ditulis oleh Prof. M. Hawin, S.H., LL.M,Ph.D yang

membahas bahasan serupa dengan judul Cigarette Plain Packaging Policy Under

The TRIPS Agreement and Its Implication on Indonesia. Pada tulisan Prof. M.

Hawin, S.H., LL.M, Ph.D lebih berfokus terhadap bahasan The Tobacco Plain

Packaging 2011 terhadap TRIPS Agreement dan bagaimana implikasinya

terhadap Indonesia. Sedangkan penelitian ini lebih berfokus terhadap relevansi

The Tobacco Plain Packaging Act 2011 terhadap kewajiban Australia dalam

perdagangan internasional tidak hanya TRIPS Agreement dan juga terhadap

hukum WTO serta menganalisis justifikasi Australia dengan berlakunya The

Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan juga melihat posisi The Tobacco Plain

Packaging Act 2011 sebagai huku nasional terhadap hukum WTO yang mana

adalah hukum internasional.

Dengan tidak ditemukannya penelitian yang berjudul dan memiliki

bahasan yang sama persis, penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah

keaslian penelitian. Penelitian dengan judul yang sama dan permasalahan yang

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

10  

diangkat pada penelitian kali ini sebelumnya belum pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain.

D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1.Tinjauan Pustaka

1.1. Epidemi Tembakau

Tembakau merupakan penyebab tunggal kematian yang merenggut hingga

setengah jumlah penggunanya dan merupakan penyebab kematian yang dapat

dicegah di dunia pada saat ini. Sejak tahun 1990, epidemi tembakau merupakan

suatu masalah kesehatan publik dengan proporsi besar dan merupakan penyebab

kematian prematur yang utama. Peningkatan jumlah perokok dan bentuk lain

penggunaan tembakau diseluruh dunia menyebabkan kematian atas 3.5 juta jiwa

pada tahun 1998, dengan 70% kematian terjadi pada negara berkembang.22

Penggunaan produk tembakau terus bertumbuh pada negara-negara berkembang

yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang stabil beserta usaha pemasaran

yang agresif oleh industri tembakau.

Robin Appleberry mengemukakan bahwa konsumsi tembakau secara

global menyebabkan kerugian bersih ekonomi tahunan sekitar 200 miliar dollar.23

Sejalan dengan pendapat Appleberry, Alberto Alemanno juga mengatakan bahwa

                                                                                                               22 World Health Organization, 1999, Resolution WHA 52.18. Towards a WHO framework convention on tobacco control, in: Fifty-second World Health Assembly volume 1, World Health Organization, Jenewa. 23 Robin Appleberry, 2001, Breaking the Camel’s Back: Bringing Women’s Human Rights to Bear on Tobacco Control, Yale Journal of Law, New Haven, hlm.91

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

11  

konsumsi tembakau bertanggung jawab atas kematian 650.000 jiwa setiap

tahunnya, terhitung lebih dari lima belas persen dari semua kematian di Uni

Eropa.24

Usaha yang telah dilakukan dalam menghentikan epidemi tembakau

global sebelumnya terbukti tidak efektif. Didorong oleh perusahaan multinasional

dengan profit bisnis tembakau yang sangat tinggi dalam perdagangan produk

tembakau dan juga perkembangan ini dibantu oleh adiksi nikotin yang membuat

epidemi tembakau menyebar dengan sangat cepat dari kalangan negara-negara

maju hingga negara-negara berkembang. Globalisasi juga merupakan sebuah

faktor yang memperlemah usaha suatu negara dalam mengontrol produk

tembakau dalam rangka mengendalikan konsumsi produk tembakau. Promosi

aktif produk-produk tembakau oleh perusahaan-perusahaan tembakau juga sangat

berpengaruh terhadap konsumsi produk-produk tembakau yang mana juga

menyebabkan peringatan-peringatan medis atas bahaya tembakau kurang menjadi

hal yang kurang diperhatikan oleh masyarakat khususnya konsumen produk

tembakau.

Tembakau seringkali di konsumsi secara kurang benar, yang mana

penggunaannya sendiri dianggap semata-mata merupakan sebuah pilahan pribadi

individu.25 Hal ini memungkiri fakta bahwa ketika individu menyadari dampak

kesehatan dari konsumsi tembakau, kebanayakan dari penggunanya berkeinginan

untuk berhenti mengkonsumsi tembakau namun pada kenyataannya sulit untuk

                                                                                                               24 Alberto Alemanno, 2012, Out Sight, Out Mind: Towards a New EU Toabcco Products Directive, The Shredan Press, Hanoven, hlm.197 25 World Health Organization, 2013, mpower: A Policy Package To Reverse The Tobacco Epidemic, Jenewa, World Health Organization, hlm.7

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

12  

dilakukan dikarenakan oleh adiksi nikotin. Selain itu, industri tembakau global

yang kuat terus akan menghabiskan puluhan miliar dolar per tahun dalam rangka

melakukan pemasaran dan memperkerjakan pelobi handal serta iklan untuk

mempertahankan dan meningkatkan penggunaan produk tembakau.26

Beberapa strategi dalam rangka mengurangi konsumsi tembakau telah

dilakukan. Bahkan lebih dari 50 tahun setelah bahaya kesehatan oleh rokok secara

ilmiah telah dibuktikan dan lebih dari 20 tahun setelah bukti ilmiah menunjukkan

bahaya terhadap perokok pasif, beberapa negara telah mengimplementasikan

strategi efektif dan diakui untuk mengontrol epidemi tembakau. Namun, negara-

negara berkembang dirasa kurang sepenuhnya dalam melakukan hal-hal serupa

untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Kaum wanita dan remaja yang

beranjak dewasa pada negara-negara bekembang juga merupakan target spesifik

industri tembakau dikarenakan kalangan ini juga mempunyai potensi yang besar

dalam meningkatkan penjualan dan profit daripada industri tembakau.27 Selain itu,

di beberapa negara, pemerintah memiliki kepentingan langsung atau tidak

langsung dalam penanaman tembakau dan manufakturnya, yang selanjutnya

menghambat tindakan pengurangan konsumsi tembakau.

Upaya internasional yang dipimpin oleh World Health Organization

melalui The WHO Framework Convention on Tobacco Control, yang berlaku

sangat cepat diantara negara-negara anggotanya, dengan 168 negara

penandatangan dan lebih dari 150 anggota. FCTC memberikan prinsip-prinsip dan

                                                                                                               26 Federal Trade Commission, 2005, Cigarette Report for 2003, Washington D.C, Federal Trade Comission, hlm.1 27 World Health Organization, 2007, Gender and Tobacco Control: A Policy Brief, Jenewa, World Health Organization, hlm.6

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

13  

konteks dalam pengembangan kebijakan, perencanaan intervensi dan mobilisasi

sumber daya politik dan keuangan dalam pengendalian tembakau. Dalam

pencapaiannya, pengendalian tembakau memerlukan koordinasi antara banyak

instansi pemerintah, lembaga akademik, asosiasi profesi dan organisasi

masyarakat sipil di tingkat negara, serta koordinasi dan dukungan kerjasama

internasional dan lembaga pembangunan. Maka tanpa kerjasama tersebut FCTC

akan sama saja seperti langkah-langkah dalam pengendalian tembakau

sebelumnya yang bekerja kurang efektif.

1.2. Framework Convention on Tobacco Control

The World Health Organization Framework Convention on Tobacco

Control merupakan suatu perjanjian internasional pertama yang dinegosiasikan

dibawah naungan World Health Organization. Perjanjian ini di adopsi oleh The

World Health Assembly yang merupakan badan pengambil keputusan dari WHO

pada tanggal 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005.28 Sejak

mulai berlaku, FCTC merupakan salah satu perjanjian yang paling cepat dan

secara luas dianut dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa. FCTC

dikembangan dalam menanggapi globalisasi epidemi tembakau dan merupakan

perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali hak untuk standar tertinggi

kesehatan.

Ide mengenai sebuah instrumen dalam pengendalian tembakau secara

resmi dimulai pada Mei 1995 dalam sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-48. Pada                                                                                                                28 World Health Organization, About the WHO Framework Convention on Tobacco Control, diakses melalui http://www.who.int/fctc/about/en/index.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pukul 5:21 WIB

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

14  

tahun beruikutnya, dalam siding Majelis Kesehaan Dunia ke-49 diadopsi resolusi

WHA49.17, yang meminta Direktur Jenderal WHO untuk memulai

pengembangan FCTC.29

Disetujui pada 7 April 1948, Konstitusi WHO yang mengamanatkan

bahwa WHO berserta negara peserta WHO akan bekerja sama demi tercapainya

tingkat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai bagi seluruh masyarakat dunia.

Konstitusi WHO juga mendeskripsikan kekuasaan luas yang berada di pada

World Health Assembly, yaitu badan pembentuk kebijakan tertinggi WHO, untuk

melindungi dan mempromosikan kesehatan publik, yang termasuk didalamnya

persiapan dan pengadopsian standar, legislasi, konvensi dan perjanjian.30

Raphael Lencucha dan Jeffrey Drope, mengatakan bahwa berlakunya

FCTC pada 2005 merupakan sebuah tanda titik balik yang jelas dalam

pengendalian tembakau global. 31 Lebih lanjut dikatakan bahwa FCTC

memberikan kewajiban hukum internasional yang mengikat para pemerintah yang

meratifikasi perjanjian tersebut yang mana dalam istilah hukum, pemerintah yang

menandatangani dan meratifikasi perjanjian tersebut menyetujui untuk terikat

dengan standar yang tertera dalam perjanjian tersebut.32

Namun dilain pihak Masabumi Suzuki mengatakan bahwa konsistensi

antara peraturan dalam FCTC dan hukum ekonomi internasional merupakan suatu

kontroversi yang mana sebagai kontrol penggunaan tembakau membatasi

                                                                                                               29 World Health Organization, The History of The WHO Framework on Tobacco Control, diakses melalui http://www.who.int/fctc/about/history/en/index.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pukul 5:23 WIB 30 World Health Organization, 2006, Constitution of the World Health Organization In: Basic Documents edisi ke-45, Jenewa, World Health Organization. 31 Lenchuca & Drope, Loc. Cit., hlm.1 32  Ibid.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

15  

beberapa jenis kegiatan ekonomi termasuk perdagangan internasional.33 Suzuki

juga menambahkan bahwa pada faktanya sudah terjadi beberapa sengketa yang

berkaitan dengan konsistensi peraturan tembakau dalam WTO dan pendahulunya,

yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).34 Dilihat dari perspektif

teoritis Suzuki berpendapat bahwa, pengaturan dalam tembakau mengilustrasikan

bagaimana perjanjian WTO sebagai sebuah perjanjian perdagangan mengatur

langkah-langkah dalam perdagangan serta bagaimana hukum ekonomi

internasional dapat membatasi tindakan-tindakan non-ekonomi pemerintah.35

Sependapat dengan Suzuki, Walliser dan Bird mengatakan bahwa FCTC

tidak mengikuti struktur perjanjian tradisional.36 Namun hal ini berbeda dengan

apa yang dikemukakan oleh Magnusson yang mengatakan bahwa FCTC

mengartikulasikan lebih dari sekedar aspirasi pengendalian tembakau, FCTC juga

memberikan sebuah rezim berbasis bukti yang dapat memberikan dasar bagi

hukum nasional sesuai dengan perjanjian WTO.37 Menurut Magnusson, hal ini

membantu memecahkan keraguan yang dimiliki pemerintah untuk mengatasi

masalah kesehatan masyarakat dan terlepas dari kecemasan menimbulkan

sengketa perdagangan.38

                                                                                                               33 Suzuki, Loc. Cit., hlm.374 34 Ibid. hlm.375 35 Ibid. 36 Gerlinde Berger-Walliser & Robert C. Bird, 2013, The Impact Of Plain Packaging Regulation on Illicit and Non-Illicit Tobacco Products in the European Union, North Carolina Journal of International Law and Commercial Regulation, North Carolina, , hlm.4 37 Roger Magnusson, 2010, Global Health and the Challenge of Chronic, Non-Communicable Disease, The American Society of Law, Medicine & Ethics, Boston, hlm.499 38 Ibid.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

16  

FCTC yang terdiri dari tiga puluh delapan pasal ini, didalamnya juga

terdapat sejumlah pasal yang relevan dengan pengemasan polos. 39 Dalam

pendapatnya, Halabi mengatakan bahwa FCTC juga didukung oleh sejumlah

pedoman pelaksanaan yang dibangun oleh mandat yang luas dari pasal-pasal

FCTC dan yang mana status hukum dari pedoman-pedoman pelaksanaan ini

masih belum jelas.40

1.3. Pengemasan Polos (Plain Packaging)

Pemerintah Persemakmuran Australia pada 29 April 2010 mengumumkan

bahwa, semua rokok yang dijual diharuskan dalam kemasan polos sejak 1

Desember 2012. Namun ide mengenai pengemasan polos produk tembakau

sendiri bukanlah hal baru yang baru saja diperkenalkan kepada dunia oleh

Pemerintah Australia. Shmatenko mengatakan bahwa pada 1994 Pemerintah

Kanada pernah mencoba memperkenalkan pengemasan polos.41 Namun, usaha ini

gagal menyangkut masalah hak merek dagang, terutama mengenai kemungkinan

kebijakan ini akan melanggar kewajiban Kanada dibawah WTO dan North

American Free Trade Agreement (NAFTA).42

Berbeda dengan pendapat Shmatenko bahwa ide mengenai kemasan polos

berawal pada tahun 1994, Basham dan Luik mengatakan bahwa perdebatan

                                                                                                               39 Sam Foster Halabi, 2010, The World Health Organization’s Framework Convention on Tobacco Control: An Analysis of Guidelines Adopted by the Conference of the Parties, Georgia Journal of International & Comparative Law, Georgia, hlm.128 40 Ibid. 41 Leonid Shmatenko, 2013, Regulatory Measures Through Plain Packaging of Tobacco Products in the Light of International Trade Agreements, Czech Yearbook of International Law, Prague, hlm.28 42 Ibid.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

17  

mengenai pengemasan polos bermula pada September 1989 pada saat Toxic

Substances Board Selandia Baru membuat laporan untuk Kementerian Kesehatan

Selandia Baru yang memberikan rekomendasi untuk semua produk tembakau

dijual dalam kemasan polos. 43 Kemasan polos yang dimaksud oleh Toxic

Substances Board ini adalah sebuah kemasan putih polos dengan pencetakan

hitam dan tidak ada warna lain yang diperbolehkan dan juga penggunaan logo

atau simbol dan bentuk apapun.44

Setelah dikeluarkannya rekomendasi oleh The Toxic Substances Board,

Carr-Gregg dan Gray mengatakan bahwa pengemasan polos akan mengurangi

efek dari pemasaran paralel dan usaha pengiklanan melalui kemasannya. 45

Pendapat oleh Carr-Gregg dan Gray ini diikuti oleh The New Zealand Family

Physician pada 1991 yang mana Beede dan Lawson mengatakan bahwa

pengemasan produk tembakau mempunyai fungsi yang sama dalam peran

promosi seperti pesan iklan.46

Tidak lama setelah Kanada, Pemerintah Inggris juga memiliki rencana

untuk memperkenalkan kebijakan pengemasan polos. Namun, pemerintah Inggris

memutuskan untuk meninggalkan ide tersebut disebabkan kekhawatirannya

mengenai pelanggaran hukum atas merek dagang dan pergerakan bebas barang

dalam Uni Eropa sesuai dengan Pasal 34 Treaty on the Fucntioning of the

                                                                                                               43 Basham & Luik, Loc. Cit., hlm.1 44 Ibid. 45 Carr-Gregg et al, 1990, Generic Packaging – A Possible Solution to the Marketing of Tobacco to Young People, Australian Medical Publishing Company, Sydney, hlm.685 46 P. Beede & R. Lawson, 1991, Pack Image Attraction: The Promotional Impact of Cigarette Packaging, New Zealand Family Physician, Wellington, hlm.175

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

18  

European Union.47 Janušauskaitė juga menambahkan bahwa Lithuania juga telah

mencoba memperkenalkan kebijakan pengemasan polos produk tembakau, namun

tidak berhasil di tingkat parlemen.48

Pada tahun 2009, Uruguay memperkenalkan 3 peraturan, yang mengatur

pembatasan penggunaan logo pada kemasan produk tembakau, walaupun belum

sampai pada tahap hingga melarang semua hak merek dagang dan mengharuskan

pengemasan netral. Dikarenakan oleh pengaturan ini, Philip Morris International,

Inc., yang berada di Amerika Serikat beserta anak perusahaannya, Philip Morris

Products S.A., yang berada di Swiss, meminta untuk diadakannya arbitrase

dengan pemerintah Uruguay dihadapan The International Centre for Settlement of

Investment Disputes (ICSID).49

Mengenai pengaturan kemasan polos, Lenchucha dan Drope berpendapat

bahwa industri tembakau memanfaatkan komitmen negara-negara dalam

perjanjian ekonomi untuk membenarkan penolakan mengenai pengendalian

tembakau dengan cara pengemasan polos, termasuk juga penolakan terhadap

upaya yang dilakukan Uruguay untuk meningkatkan label peringatan bahaya

konsumsi tembakau pada kemasan produk tembakau dan juga dalam Undang-

Undang Australia yang menerapkan kemasan polos pertama didunia.50

                                                                                                               47 Peter Henning & Leonid Shmatenko, 2012, Plain Packaging on Its Way to Europe – Competence Issues and Compatibility with European Fundamental Rights, Maris BV, Voorburg, hlm 5 48 Kristina Janušauskaitė, 2010, Litauen – A Proposal to Introduce “Plain Packaging Requirement” in the Law on Tobacco Control Fails in Parliament, , German Association for the Protection of Intellectual Property (GRUR), Köln, hlm.6 49 Philip Morris Brand Sàrl (Switzerland), Philip Morris Products S.A. (Switzerland) and Abal Hermanos S.A. (Uruguay) v. oriental Republic of Uruguay, ICSID Case No. ARB/10/7, Diputus pada 15 Maret 2011 50 Lenchucha & Drope, Loc. Cit. hlm.2

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

19  

Tilson menjelaskan bahwa kemasan polos atau generik suatu produk

tembakau merupakan standarisasi pengemasan yang sama sekali tanpa

mengandung unsur promosi bersertanya yang mana suatu produk tembakau hanya

akan dapat diidentifikasi dengan merek produk tembakau lain secara spesifik

dengan hanya nama dari merek itu sendiri yang akan menandai produk tersebut.51

Menurut Suzuki, The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang

diberlakukan Pemerintah Australia saat ini merupakan sebuah peraturan paling

ketat mengenai pengemasan produk tembakau diseluruh dunia.52 Namun, Suzuki

juga mengatakan bahwa terdapat beberapa poin kontroversial mengenai

pengemasan polos yang diimplementasikan oleh Pemerintah Australia

menyangkut hukum internasional yang mana menjadi perdebatan diantara para

sarjana hukum dan para praktisi hukum baik dalam lingkup domestik maupun

dalam lingkup internasional.53 Secara khusus, kritik utama terhadap The Tobacco

Plain Packaging Act 2011 yaitu bahwa peraturan mengenai pengemasan polos

mempunyai permasalahan mendasar menyangkut hak kekayaan intelektual

terutama mengenai merek dagang, yang mana apabila melihat pada fakta,

Ukraina, Honduras dan Republik Dominika mengajukan permohonan konsultasi

terhadap Pemerintah Australia dihadapan WTO pada 13 Maret, 4 April dan 18

Juli 2012 mengenai pengaturan pengemasan polos.54 Suzuki juga menambahkan

bahwa, tujuan daripada The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yaitu antara lain

                                                                                                               51 Melodie Tilson, 2008, Plain Packaging of Tobacco Products, Non-Smokers’ Rights Association/Smoking and Health Action Foundation, Toronto, hlm.1 52Suzuki, Loc.Cit., hlm.373 53 Ibid. hlm.374 54 Ibid. (DS 434, 435, dan 441)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

20  

untuk meningkatkan tingkat kesehatan publik dan untuk memenuhi kewajiban

Australia dibawah FCTC.55

1.4. World Trade Organization

The World Trade Organization (WTO) terbentuk dan mulai beroperasi

pada 1 Januari 1995. WTO merupkan organisasi antar pemerintah termuda dan

dapat dikatakan sebagai organisasi yang paling berpengaruh pada masa globalisasi

ekonomi saat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Marco Bronckers, WTO

mempunyai potensi untuk menjadi pilar utama pemerintahan global.56

Awal mula dari WTO dimulai pada The General Agreement on Tariffs and

Trade (GATT) 1947. Sejarah mengenai GATT dimulai pada Desember 1945

ketika Amerika Serikat mengundang aliansi perangnya untuk memasuki negosiasi

dan memutuskan sebuah perjanjian multilateral dalam pengurangan tarif dalam

perdagangan barang secara timbal balik. Pada bulan Juli 1945, Kongres Amerika

Serikat memberikan kewenangan untuk bernegosiasi dan memutuskan perjanjian

tersebut. Menanggapi proposal dari Amerika Serikat, Komisi Ekonomi dan Sosial

Perserikatan Bangsa Bangsa mengadopsi sebuah resolusi pada Februari 1946 yang

menyerukan untuk diadakannya konferensi dalam merumuskan piagam untuk

International Trade Organization (ITO).57 Pada Konferensi Bretton Woods 1944

dibahas lebih lanjut mengenai pembentukkan ITO, dimana The International

Monetary Fund (IMF) dan The International Bank for Reconstruction and

Development (IBRD) atau Bank Dunia juga terbentuk pada saat itu.                                                                                                                55 Ibid. 56 M.Bronckers, 2001, More Power to the WTO, Oxford University Press, Oxford, hlm 41 57 UN ECOSOC Res. 13, UN Doc. E/22 1946.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

21  

John Jackson mengatakan bahwa permasalahan mengenai perdagangan

belumlah dibahas dalam Konferensi Bretton Woods, namun, Konferensi merasa

bahwa perlunya sebuah institusi internasional dalam perdagangan untuk

melengkapi IMF dan World Bank.58 Van Den Bosche dalam Law and Policy of

World Trade Organization mengemukakan bahwa, sebuah komite persiapan

dibentuk pada Februari 1946 dan bertemu untuk pertamakalinya di London pada

Oktober 1946 dalam rangka mengerjakan piagam sebuah organisasi internasional

perdagangan yang mana kelompok kerja ini terus berlanjut dari April hingga

November 1947 di Jenewa.59

John Jackson juga menjelaskan bahwa, pertemuan yang dilaksanakan di

Jenewa tahun 1947 sebenarnya merupakan konferensi yang terperinci dan dibagi

menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama membahas mengenai kelanjutan

persiapan piagam atas institusi perdagangan internasional atau ITO, sedangkan

bagian kedua membahas mengenai negosiasi dalam persetujuan multilateral

tentang pengurangan tarif secara timbal balik dan bagian ketiga terkonsentrasi

pada penyusunan klausa umum atau ‘General Clauses’ atas kewajiban

menyangkut obligasi tarif.60

Negosiasi yang dilaksanakan di Jenewa dalam membahas mengenai

GATT menuai perkembangan dan pada Oktober 1947, para negosiator telah

sepakat pada persetujuan dalam GATT.61 Walaupun demikian, negosiasi yang

                                                                                                               58 John Jackson, 1998, The World Trade Organization: Constitution and Jurisprudence, Royal Institute of International Affairs, London, hlm.15 59 Peter Van Den Bosche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, Cambridge, hlm 79 60 Op.Cit. hlm.16 61 Op. Cit. hlm.79

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

22  

membahas mengenai ITO dalam perjalanannya ditemukan lebih sulit dan sudah

jelas ketika menjelang akhir pertemuan Jenewa 1947 dirasakan bahwa piagam

ITO tidak akan selesai sebelum 1948.

Meskipun pada awalnya GATT dimaksudkan untuk melekat pada piagam

ITO, banyak dari para negosiator merasa bahwa hal itu tidak mungkin untuk

menunggu hingga piagam ITO selesai dan membawa GATT berlaku, oleh karena

itu, diputuskan untuk membawa ketentuan dalam GATT diberlakukan segera.

Namun, menurut Jackson hal ini menciptakan masalah baru, dikarenakan

berdasarkan ketentuan hukum konstitusional para anggota, beberapa negara tidak

bisa menyetujui bagian dari GATT tanpa mengajukan perjanjian ini ke parlemen

dahulu. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi kebutuhan dalam menyerahkan

rancangan akhir dari piagam ITO ke parlemen negara anggota pada akhir 1948

atau pada tahun berikutnya, yang mana para negara anggota khawatir bahwa akan

mengahbiskan upaya politik yang diperlukan dalam mendapatkan GATT melalui

lembaga legislatif akan dapat membahayakan upaya selanjutnya untuk dapat

memberlakukan ITO.62

Untuk mengatasi masalah ini, pada 30 Oktober 1947, delapan dari dua

puluh tiga negara yang telah menegosiasikan GATT 1947 menandatangai

‘Protokol Sementara Penerapan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan

Perdagangan’ (PPA) dan GATT 1947 mulai berlaku pada 1 januari 1948 yang

mana diterapkan melalui PPA. Pada bulan Maret 1948, negosiasi pada piagam

ITO berhasil diselesaikan di Havana. Piagam Havana dibentuk dalam rangka

                                                                                                               62 John Jackson, Loc. Cit. hlm.18

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

23  

pembentukan ITO dan dalam hal menetapkan aturan-aturan dasar serta disiplin

dalam perdagangan internasional dan masalah-masalah yang menyangkut

ekonomi internasional lainnya.

Namun, piagam ITO sendiri tidak pernah diberlakukan. Sementara,

piagam ini sudah berulang kali disampaikan dihadapan Kongres Amerika Serikat

dan tidak pernah disetujui. Oleh karena itu, pada tahun 1951, Presiden Truman

akhirnya memutuskan bahwa ia tidak akan lagi meminta persetujuan dari Kongres

mengenai piagam ITO. Melihat tidak adanya kemungkinan Amerika Serikat

menjadi anggota ITO, maka tidak ada negara yang tertarik untuk membentuk

suatu organisasi internasional untuk perdagangan, dikarenakan pada saat itu

perekonomian dan perdagangan Amerika Serikat sangat kuat dan berpengaruh.

Setelah dibatalkannya pembentukan ITO sebagai institusi perdagangan

dunia, terjadi kekosongan dalam hal tersebut dan yang tersisa hanyalah GATT

1947 sebagai sebagai perjanjian multilateral yang mengatur mengenai

perdagangan dunia.

Van Den Bosche mengatakan bahwa meskipun GATT hanyalah sebuah

perjanjian multilateral dalam pengurangan tarif dan bukanlah suatu organisasi

internasional, GATT sendiri dalam perjalanannya selama bertahun-tahun berhasil

mengubah pandangannya sebagai perjanjian multilateral dengan cara yang

pragmatis dan bertahap menjadi organisasi internasional de facto walaupun

kententuan institusional dalam GATT 1947 sangatlah sedikit.63 Van Den Boshce

dalam “The Establishment of the World Trade Organization: The Dawn of a New

                                                                                                               63 Peter Van Den Bosche, Loc. Cit. hlm.81

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

24  

Era in International Trade?” mengemukakan bahwa meskipun kerangka

kelembagaan dalam GATT 1947 sedikit, GATT sangat berhasil dalam

mengurangi tarif pada perdagangan barang khususnya pada barang-barang

industri yang berasal dari negara maju.64

GATT mungkin suskes dalam usahanya mengurangi tarif dalam

berlangsungnya perdagangan internasional, namun GATT kurang berhasil dalam

menangani masalah pengurangan halanagn non-tarif atau Non-tariff Barriers yang

menjadi sebuah masalah lebih serius daripada halangan tarif atau Tariff Barriers.

Negosiasi dalam pengurangan halangan non-tarif pada faktanya lebih kompleks

dan memerlukan kerangka kelembagaan yang lebih rinci yang mana tidak dimiliki

oleh GATT. Memasuki awal 1980 sangatlah jelas bahwa putaran dalam negosiasi

perdagangan diperlukan seperti apa yang dikemukakan oleh Jackson bahwa dunia

sudah menjadi semakin kompleks dan saling berketergantungan, dan hal tersebut

menjadi lebih jelas bahwa aturan dalam GATT tidak dapat memenuhi ukuran

disiplin yang diperlukan untuk mencegah ketegangan dan gangguan terhadap

aktifitas nasional suatu negara.65 Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya

mendukung untuk dilangsungkannya putaran perdagangan dengan agenda yang

sangat luas termasuk bahasan baru seperti perdagangan jasa dan perlindungan hak

kekayaan intelektual. Namun, banyak juga negara yang merasa keberatan atas

bahasan yang luas tersebut dan bahkan ada yang menentang diadakannya putaran

                                                                                                               64 Peter Van Den Bosche, 1994, World Trade Organization: The Dawn of a New Era in International Trade?, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Maastricht, hlm.398-400 65 John Jackson, Loc. Cit. hlm.24

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

25  

baru. Pada bulan September 1986, di Punta del Este, Uruguay, para pihak GATT

akhirnya setuju untuk memulai putaran baru.

Menteri Perdagangan Italia, Reanto Ruggiero, pada bulan Februari 1990

untuk pertama kalinya melontarkan gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi

internasional baru dalam perdagangan. Beberapa bulan setelahnya, Kanada secara

resmi mengusulkan pembentukan organisasi dagang dunia yang mereka sebut

dengan ‘World Trade Organization’ yang mana adalah sebuah organisasi

internasional yang matang yang mengelola instrumen hukum terkait perdagangan

internasional termasuk didalamnya GATT, General Agreement on Trade and

Services atau GATS dan instrumen multilateral lainnya. Perjanjian untuk

terbentuknya WTO sendiri ditandatangani di Marrakesh pada bulan April 1994

dan mulai berlaku pada 1 Januari 1995. Menurut Gary Sampson bahwa mereka

yang membangun WTO bangga telah menciptakan apa yang digambarkan sebagai

pencapaian terbesar dalam kerjasama ekonomi global.66

Alasan dan tujuan dalam pembentukan WTO ditetapkan dalam

Pembukaan Perjanjian WTO atau The Preamble of WTO Agreement. WTO juga

mempunyai tujuan pokok yang antara lain meliputi peningkatan standar hidup,

pencapaian kesempatan kerja penuh, pertumbuhan pendapatan riil dan permintaan

efektif, dan perluasan produksi, dan perdagangan barang dan jasa.

                                                                                                               66 Gary Sampson, 2001, The Role of the World Trade Organization in Global Governance, United Nations Unversity Press, Tokyo, hlm.5

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

26  

2. KERANGKA TEORI

2.1 Hukum World Trade Organization

Setelah sebuah negara melakukan aksesi terhadap Persetujuan

WTO, sejak saat itulah WTO mewajibkan negara tersebut menerima

berbagai kewajiban hukum, yang mana merupakan suatu disiplin pada

instrumen yang berkaitan terhadap perdagangan internasional. Kewajiban

yang diterima oleh negara anggota merupakan kewajiban yang bersifat

kontraktual, sejalan dengan konsep ini John Jackson menjelaskan bahwa

hal inilah yang membuat kewajiban Most Favoured Nations belum

memperoleh status sebagai hukum kebiasaan internasional hingga saat

ini.67

Dalam bukunya yang berjudul The Law of The World Trade

Organization Documents, Cases & Analysis, Mavroidis, Bermann dan Wu

menjelaskan bahwa terdapat tiga lapisan kewajiban hukum yang diambil

pada saat aksesi anggota WTO, yang mana dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

a. Seperangkat kewajiban yang mengikat semua anggota WTO pada

saat aksesi menjadi anggota WTO dengan tidak ada kemungkinan

untuk pengecualian. Kewajiban-kewajiban ini disebut multilateral

agreement atau perjanjian multilateral.

                                                                                                               67 John H. Jackson, 1969, World Trade And The Law Of GATT, Bobbs-Merill, Indianapolis, hlm 56

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

27  

b. Seperangkat kewajiban yang mana hanya akan mengikat para

anggota WTO yang telah mengaksesi instrumen hukum tertentu .

perjanjian-perjanjian semacam ini disebut juga plurilateral

agreements atau perjanjian plurilateral yang mana partisipasinya

bersifat opsional.

c. Seperangkat kewajiban yang mana hanya mengikat negara anggota

yang mengatur hubungannya dengan anggota WTO lain yang

memegang jabatan atau incumbents. Seperangkat kewajiban ini

disebut juga sui generis obligations atau kewajiban sui generis

yang diterima oleh anggota WTO.68

2.2. Aturan dan Prinsip Dasar Hukum World Trade Orgaization

Hukum WTO meupakan seperangkat aturan yang khusus dan

kompleks. Didalamnya juga berhubungan dengan isu-isu yang luas mulai

dari tarif, kuota impor dan penerapan bea hingga hak kekayaan intelektual,

pengaturan mengenai keamanan makanan dan pengaturan mengenai

keamanan nasional. Menurut Van Den Bosche, aturan dasar dan prinsip-

prinsip hukum WTO dapat dibagi menjadi 6 golongan yang antara lain:

1. Prinsip non-diskriminasi atau the principles of non-

discrimination;

2. Aturan dalam akses pasar, termasuk didalamnya aturan

mengenai transparansi atau the rules on market access;

                                                                                                               68 Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, Loc. Cit. hlm.8

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

28  

3. Aturan mengenai perdagangan tidak adil atau the rules on

unfair trade;

4. Aturan mengenai konflik antara liberalisasi perdagangan

dan nilai-nilai dan kepentiangan sosial lainnya atau the

rules on conflicts between trade liberalization and other

societal values and interest;

5. Aturan mengenai perlakuan khusus dan berbeda terhadap

negara berkembang atau the rules on special and

differential treatment for developing countries; dan

6. Beberapa aturan mengenai institusi dan hal-hal prosedural

yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan

penyelesaian sengketa.69

Aturan-aturan dan prinsip-prinsip dasar dalam hukum WTO inilah

yang membentuk apa yang dimaksud dengan multilateral trading system

atau sistem perdagangan multilateral.70 Mengacu terhadap sistem ini,

Peter Sutherland berpendapat bahwa sistem perdagangan multilateral

dengan WTO sebagai pusatnya merupakan sebuah alat yang paling

penting dalam menejemen dan perkembangan ekonomi global.71

                                                                                                               69 Peter Van den Bosche, Loc. Cit. hlm.39 70 Ibid. 71 Peter Sutherland, J. Swell & D.Weiner, 2001, Challenges Facing the WTO and Policies to Adress Global Governance, United Nations University Press, Tokyo, hlm.81

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

29  

2.3. Sumber Hukum Dari Hukum World Trade Organization

Sumber hukum WTO yang paling utama yaitu The Marrakesh

Agreement Establishing the World Trade Organization atau Perjanjian

Marrakesh yang disetujui pada tanggal 15 April 1994 dan mulai berlaku

pada 1 Januari 1995. Sumber hukum lain dari hukum WTO juga termasuk

didalamnya adalah laporan penyelesaian sengketa dibawah naungan WTO,

undang-undang badan-badan WTO, persetujuan dalam konteks WTO,

hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum hukum, perjanjian

internasional, praktek-praktek yang dilakukan terus-menerus oleh anggota

WTO, pendapat dan ajaran penulis yang paling bekualifikasi dan sejarah

negosiasi.72

2.4. The Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan Hukum WTO

Tujuan utama daripada pembentukkan The Plain Packaging Act

2011 adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Australia dan

untuk memenuhi kewajiban Australia sebagai anggota FCTC dengan cara

mengurangi niat masyarakat Australia untuk mulai merokok. Australia

menerima beberapa kewajiban setelah menjadi anggota FCTC yang

berkaitan dengan pengemasan produk tembakau dan pengiklanan produk-

produk tembakau. Secara singkat kewajiban yang diterima Australia

mengenai pengemasan produk tembakau dan pengiklanannya antara lain

meliputi hal-hal seperti mengambil langkah-langkah efektif dalam

                                                                                                               72 Van Den Bosche, Op. Cit., hlm.44

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

30  

memastikan bahwa kemasan produk tembakau dan pelabelannya tidak

mempromosikan produk tembakau dengan cara apapun yang menyesatkan,

palsu, menipu atau kemungkinan untuk menciptakan kesan yang salah

tentang karakteristik mengenai efek kesehatan yang ditimbulkan oleh

produk tembakau serta bahayanya.

Kewajiban dibawah FCTC lainnya yaitu mengenai pencetakan

peringatan kesehatan dan informasi yang relevan mengenai produk

tembakau pada tidak kurang dari 30% permukaan utama dari setiap

kemasan produk tembakau dan pelarangan iklan dan sponsor produk

tembakau.

Tujuan dari FCTC untuk mensyaratkan kemasan dan pelabelan

produk tembakau yaitu untuk menghindari penipuan dan penyesatan

mengenai peringatan kesehatan dalam produk tembakau. WHO sendiri

tidak memberikan kewajiban khusus dalam pembatasan penggunaan

merek dagang, meskipun tentu bahwa mungkin saja dalam penggunaan

merek dagang dapat jatuh dalam lingkup penipuan dan penyesatan melalui

kemasan dan label produk tembakau. Namun, pada Pasal 11 FCTC

mengenai Pedoman Pengimplementasian Pengemasan Polos diatur bahwa

para pihak diharuskan untuk mempertimbangkan penerapan penggunaan

kemasan polos.

The Tobacco Plain Packaging Act 2011 sendiri berusaha untuk

mencapai tujuannya dengan mengatur kemasan produk tembakau dan

penampilan produk tersebut untuk mengurangi daya tarik produk

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

31  

tembakau dihadapan para konsumennya. Meskipun demikian, pedoman

mengenai pengimplementasian pengemasan polos ini tidak mengikat

secara hukum. Oleh karena itu, pemerintah Australia dirasa tidak

memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh WHO, melainakn untuk

mengadopsi langkah-langkah yang direkomendasikan di bawah FCTC.

Konsistensi pengemasan polos mulai dipertanyakan berkaitan dengan

hukum kekayaan intelektual internasional dan hukum perdagangan

internasional ketika produsen tembakau dibatasi dalam penggunaan merek

dagang mereka.

The Plain Packaging Act 2011 memiliki kemungkinan untuk

bertentangan dengan Konvensi Paris mengenai Perlindungan Kekayaan

Industri (Paris Convention), TRIPS Agreement, TBT Agreement, dan juga

termasuk GATT yang mana perjanjian-perjanjian ini adalah perjanjian

multilateral. Konvensi Wina 1969 dalam Pasal 26 mengatur mengenai

prinsip Pacta Sunt Servanda yang mana mengatakan bahwa setiap

perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan untuk itu harus dilakukan

oleh mereka dengan itikad baik. Dalam melakukan interpretasi perjanjian

multilateral Konvensi Wina 1969 dalam Pasal 31 juga memiliki prinsip

dasar yang mengatur bahwa sebuah perjanjian haruslah ditafsirkan dengan

itikad baik sesuai dengan arti biasa yang diberikan terhadap istilah dalam

konteks perjanjian tersebut dengan mengingat objek dan tujuan dari

perjanjian tersebut.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

32  

E. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh penulis mempunyai tujuan antara lain

sebagai berikut:

1. Tujuan Subyektif

Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam

penulisan hukum guna melengkapi persyaratan akademis dalam rangka

meraih gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada. Lebih lanjut, melalui penulisan hukum ini penulis berharap bahwa

selanjutnya penulis dapat berpikir secara ilmiah, rasional, dan sistematis

apabila melakukan penelitian selanjutnya.

2. Tujuan Obyektif

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji

bagaimana implikasi dari pengaturan kemasan polos terhadap produk

tembakau yang beredar di Australia melalui The Tobacco Plain Packaging

Act 2011 terhadap kewajiban Australia dalam perdagangan internasional.

Juga menganalisa relevansi antara The Tobacco Plain Packaging Act

Australia terhadap hukum WTO dan justifikasi Australia dengan

berlakunya The Plain Packaging Act 2011.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

33  

F. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengertian metode merupakan suatu

prosedur atau sebuah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu.73

Sedangkan, Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum

Normatif Suatu Tinjauan Singkat mengatakan bahwa, metode penelitian

merupakan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,

menganalisis, dan memahami lingkungan yang dihadapinya.74 Sebagai sebuah

kegiatan ilmiah, penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan

konsisten.75 Soerjono Soekanto juga menambahkan bahwa penelitian hukum juga

didasarkan pada suatu metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk mempelajari sesuatu satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan suatu

jalan tertentu dalam menganalisisnya.76

Dalam pembahasan selanjutnya merupakan penjelasan mengenai cara-cara

dan langkah yang digunakan oleh penulis dalam rangka pencarian jawaban dari

permasalahan dalam penelitian ini dan juga mengenai cara penulisan dan

penyusunan penulisan hukum ini.

                                                                                                               73 Jujun S. Suriasumantri, 2000, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.330 74 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.43 75 Ibid. hlm.3 76 Ibid. hlm.6

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

34  

2. Jenis Penelitian

Penelitian hukum dengan judul Implikasi Pengaturan Kemasan Polos

Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia

Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan Internasional ini merupakan

sebuah penelitian hukum yuridis-normatif. Penelitian hukum normatif adalah

suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data

dasar yang digolongkan sebagai data sekunder.77 Menurut Soerjono Soekanto,

penelitian normatif mencakup antara lain:

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

b. Penelitian terhadap sistematika hukum;

c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum; dan

d. Penelitian sejarah hukum.78

Penelitian hukum normatif ini akan ditujukan pada penelitian terhadap

sinkronisasi hukum. Penelitian ini dilakukan terhadap suatu perundang-undangan

terterntu ataupun hukum tercatat dan melihat sampai sejuah manakah suatu

hukum positif tertulis serasi atau sejalan dengan hukum positif lainnya baik secara

vertikal ataupun horizontal. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, dengan melihat

apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan

tertentu tidak saling bertentangan satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut

                                                                                                               77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm.24 78 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm.14

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

35  

pandang hirarki perundang-undangan tersebut. Sedang apabila yang dilakukan

adalah suatu penelitian taraf sinkronisasi secara horisontal, maka yang ditinjau

adalah perundang-undangan yang sederajat. Mengingat yang menjadi sorotan

dalam penelitian hukum ini adalah The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang

merupakan suatu undang-undang di Australia dan hubungannya dengan

kewajiban Australia dalam perdagangan internasional yang diatur dengan

perjanjian internasional maka hal yang diteliti merupakan sinkronisasi antara

peraturan hukum secara vertikal yang mana dikarenakan menurut penulis hukum

internasional kedudukannya lebih tinggi dan hukum nasional kedudukannya

sebagai pelaksana hukum internasional.

3. Sifat Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan bersifat deskriptif, yakni suatu penelitian

untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori

atau hipotesa terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. Dalam penelitian hukum ini

penulis menganalisa mengenai The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia

dan sinkronisasinya dengan kewajiban Australia dalam perdagangan internasional

yang diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional juga menganalisa pendapat-

pendapat penulis lain dalam membahas mengenai kasus yang sama.

4. Bahan Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini dibagi menjadi tiga yaitu

antara lain, data primer, data sekunder dan data tersier. Bahan hukum primer

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

36  

adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat yang

mana tercakup juga didalamnya antara lain produk hukum nasional maupun

produk hukum internasional.79 Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan

bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan

hukum sekunder berupa penjelesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

bahan hukum primer.80 Bahan yang ketiga yaitu bahan hukum tersier yang mana

merupakan bahan hukum yang memperjelas dan memberi petunjuk atas bahan

hukum primer dan sekunder.81 Lebih lanjut, mengingat penelitian ini adalah

penelitian mengenai hukum internasional, dalam mengklasifikasi baham hukum

primer dan sekunder peneliti mengacu pada sumber hukum internasional primer

dan sekunder yang diatur dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.

a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini antara

lain meliputi sumber-sumber hukum internasional primer yan antara lain

meliputi:

a. The Framework Convention on Tobacco Control;

b. The World Trade Organization Agreement

i. Annex 1C Agreement on Trade-Related Aspects of

Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement);

ii. Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT

Agreement);

iii. General Agreement on Tariffs and Trade 1994;

                                                                                                               79 Sri Mamudji et al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.2 80 ibid. hlm30-31 81 Ibid.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

37  

c. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property

1883;

d. Vienna Convention on The Law of Treaties 1969;

e. Hukum Kebiasaan Internasional;

b. Bahan Hukum Subsider menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional

yang meliputi:

a. Prinsip-prinsip umum hukum internasional;

b. Putusan pengadilan mengenai kasus yang berhubungan dengan

bahasan penelitian; dan

c. Pendapat para ahli hukum yang berkualifikasi tinggi.

c. Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh peneliti dalam membantu

penelitian ini antara lain meliputi:

a. Buku;

b. Jurnal-jurnal hukum;

c. Makalah;

d. Artikel; dan

e. bahan dari sumber internet yang berhubugan dengan Australia

Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan Kewajiban Australia dalam

perdagangan internasional;

d. Bahan hukum tersier yang digunakan peneliti dalam membantu peneliti

menerangkan data primer dan sekunder yang digunakan antara lain

meliputi:

a. Kamus-kamus istilah hukum;

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/67608/potongan/S1-2014...Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan

 

 

38  

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia;

c. Kamus Bahasa Inggris – Indonesia;

e. Penelitian ini juga mengangkat hukum nasional sebagai bahan hukum

yang mana merupakan bahasan utama dari penelitian ini meskipun diluar

dari sumber-sumber hukum yang di sebutkan dalam Pasal 38 Statuta

Mahkamah Internasional, yaitu The Tobacco Plain Packaging Act 2011.

5. Metode Pengumpulan Data

Metode dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum

ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yang dilakukan melalui penelitian

dari bahan-bahan yang sebagian besar dari bahan tersebut berasal dari data-data

sekunder, yaitu perjanjian internasional yang berkaitan dengan perdagangan

internasional, jurnal hukum internasional, artikel ilmiah, makalah informasi-

informasi yang berkaitan yang bersumber di internet.

6. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam pengolahan data dan analisis data

penelitian hukum ini adalah metode Kualitatif, yaitu sebuah metode analisis data

Deskriptif Analitis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan

dengan pendapat para pakar hukum maupun berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan yang berlaku. Dalam penelitian yuridis-normatif ini hanya

menggunakan sumber-sumber data sekunder hingga menemukan kesimpulan.