bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dilihat dari perspektif kesehatan, bisnis yang berkaitan dengan tembakau
seperti halnya rokok dibatasi ruang geraknya dengan berbagai cara di seluruh
dunia. Sebagai contoh, terdapat pembedaan pada aturan pembuatan, pengemasan
dan iklan produk-produk tembakau, yang di Indonesia sendiri diatur melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003. 1 Secara luas diakui bahwa
tembakau merupakan sebuah bencana kesehatan masyarakat yang utama pada
abad ke-20 ini.2 Berbagai penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa rokok dapat
menyebabkan berbagai penyakit serius seperti halnya kanker, serangan jantung,
serta penyakit serius lainnya. 3 Pengendalian konsumsi produk tembakau
merupakan suatu aspek yang penting dalam tata kelola kesehatan masyarakat
kontemporer. Namun, hukum ekonomi internasional dapat beresiko menjadi
sebuah halangan dalam tujuan pengendalian produk tembakau seperti hal-hal
pengurangan secara signifikan daripada hambatan tarif dan non-tarif perdagangan,
penurunan harga produk tembakau dan dengan demikian menyebabkan
1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan 2 Commission On Macroeconomics and Health, 2001, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press hlm. 1 3 Valentina S. Valdi, 2012, Global Health Governance at a Crossroads: Trademark Protection V. Tobacco Control in International Investment Law, Stanford Journal of International Law Stanford, hlm. 125
2
peningkatan konsumsi produk tembakau, khususnya di negara-negara
berpenghasilan rendah.4 Bank Dunia berpendapat bahwa, dalam rangka usaha
penyembuhan penyakit yang disebabkan oleh rokok merupakan suatu proses yang
bersifat jangka panjang, yang mana melebihi manfaat ekonomi yang diperoleh
dari produksi dan perdagangan rokok yang bersifat sementara atau berjangka
pendek.5 Selama dua dekade terakhir, berbagai perjanjian perdagangan baik
bilateral, regional, dan multilateral yang diadopsi oleh banyak negara telah
menyebabkan persaingan secara signifikan di pasar tembakau domestik.
Kompetisi ini juga disertai dengan penurunan harga untuk produk tembakau dan
juga merupakan sebuah peningkatan dramatis dalam bidang iklan dan promosi
produk tembakau.6
World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari lima juta
jiwa meninggal pada setiap tahunnya karena disebabkan oleh dampak konsumsi
rokok dan angka ini dapat bertambah menuju angka delapan juta hingga 2030
apabila tidak ada usaha dalam mengontrol konsumsi rokok.7 Melihat data dari
WHO dengan angka kematian yang cukup besar, dirasa diperlukan usaha dari
komunitas internasional dalam menanggapi masalah ini, yang mana penyebab
utamanya merupakan konsumsi rokok.
Salah satu usaha komunitas internasional dalam menanggapi masalah
konsumsi rokok dapat dilihat dengan menerapkan pengaturan mengenai
4 Commission On Macroeconomics and Health, Op. Cit. hlm. 1 5 World Bank, 1999, Curbing the Epidemic: Governments and the Economics of Tobacco Control 1, Washington, D.C., World Bank, hlm. 32-33 6 Allyn Taylor, Frank J. Chaloupka, Emmanuel Guindon & Michaelyn Corbett, 2000, The Impact of Trade Liberalization on Tobacco Consumption, Oxford University Press, Oxford, hlm.343 7 World Tobacco Fact Sheet No. 339 (Juli 2011) dapat diakses melalui website resmi WHO www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/ (diakses pada 9 Oktober 2013 pukul 00.58)
3
pengemasan polos rokok atau produk tembakau yang diatur melalui Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan sebuah konvensi
multilateral dibawah World Health Organization.
Berlakunya FCTC yang dikeluarkan oleh WHO pada 2005 merupakan
sebuah langkah awal dalam pengendalian tembakau global.8 Sebagai salah satu
perjanjian yang di negosiasikan di bawah WHO, FCTC merupakan perjanjian
berbasis bukti yang paling banyak diikuti oleh negara-negara anggota WHO
dalam mempromosikan kesehatan masyarakat dan dikembangkan sebagai
tanggapan terhadap keprihatinan dunia dalam menanggapi epidemi tembakau.9
Memasuki awal 2013, 176 negara telah menjadi peserta dalam FCTC. Hanya
masalah waktu hingga negara pertama memperkenalkan kemasan polos sejak
berlakunya FCTC pada Februari 2005.10
Pada bulan April 2010, Pemerintah Australia memberitahukan bahwa akan
memperkenalkan undang-undang yang mengatur mengenai pengemasan produk
tembakau yang akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2012 dengan implementasi
penuh sejak 1 Desember 2012.11 Tidaklah mengherankan ketika Australia menjadi
negara pertama yang menerapkan kebijakan “kemasan polos” mengingat Australia
sudah lama menjadi pemimpin internasional dalam usaha mengontrol produk-
8 Raphael Lencucha & Jeffrey Drope, 2013, Plain Packaging: An Opportunity For Improved International Policy Coherence?, Oxford University Press, Oxford, hlm 1 9 Andrew D. Mitchell, 2010, Australia’s move to the Plain Packaging of Cigarettes and Its WTO Compatibility, University of Melbourne, Melbourne, hlm. 410 10 WHO Framework Convention on Tobacco Control, Feb. 27, 2005, 2302 U.N.T.S. 166 11 Plain Packaging of Tobacco Products, Australian Government Department of Health, diakses melalui http://www.health.gov.au/internet/main/publishing.nsf/Content/tobacco-plain , diakses pada tanggal 28 September 2013 pukul 00:56 WIB
4
produk tembakau. 12 Pada 11 November 2011 lalu, Parlemen Australia
mengesahkan The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang mana merupakan
pengaturan mengenai pengemasan produk tembakau pertama di dunia.
Kemasan polos produk-produk tembakau atau yang disebut juga “kemasan
generik” atau “standar kemasan” sebenarnya bukanlah suatu ide baru. Asal-usul
dari ide ini dapat ditelusuri yang mana akan berawal pada September 1989 ketika
laporan Dewan Zat Beracun Selandia Baru memberikan sebuah rekomendasi
bahwa semua produk tembakau sebaiknya dijual dalam kemasan polos, yaitu
dalam kemasan putih polos dengan pencetakan huruf hitam dan tidak ada warna
lain yang diijinkan baik dalam huruf yang dicetak maupun kemasan itu sendiri
dan tidak diijinkan adanya logo dalam bentuk apapun.13
Tujuan dari The Australia Tobacco Plain Packaging Act 2011 sendiri
dinyatakan sebagai suatu langkah dalam rangka peningkatan kesehatan
masyarakat, antara lain dengan cara mengurangi jumlah individu yang akan
memulai merokok dan mengkonsumsi produk tembakau.14
Ketentuan yang tercantum dalam FCTC terus ditentang, khususnya
penentangan di bawah hukum ekonomi internasional, termasuk di dalamnya
gugatan yang dibawa di hadapan WTO. Industri tembakau sendiri telah lama
mengkhawatirkan mengenai kebijakan pengemasan polos beserta “efek domino”
yang akan bersama menyertainya apabila penerapan kebijakan pengemasan polos
12 Jonathan Liberman, 2012, Public Health And Plain Packaging Of Cigarettes, Edward Elgar Publishing, Cheltenham, hlm. 361 13 Patrick Basham & Dr. John C. Luik, 2011, Erasing Intellectual Property “Plain Packaging” For Consumer Products And The Implications For Trademark Rights, Washington Legal Foundation, Washington, hlm. 1 14 Tobacco Plain Packaging Act 2011, Section 3(1)
5
berhasil maka akan diikuti oleh banyak negara di seluruh dunia. Industri tembakau
juga telah lama menegaskan bahwa pelaksanaan kemasan polos akan melanggar
berbagai hukum domestik dan internasional.15
Dibawah FCTC, bagi negara-negara yang menjadi anggota dikenakan
beberapa kewajiban mengenai pengaturan pengemasan dan pengiklanan produk
yang berkaitan dengan tembakau. Secara ringkas kewajiban-kewajiban yang
dikenakan antara lain yaitu meliputi:
i. Negara anggota diharapkan mengambil sebuah langkah dalam
menjamin pengemasan dan pelabelan produk tembakau tidak
dipromosikan dengan cara yang salah, menyesatkan, menipu, atau
memungkinkan untuk menciptakan kesan yang salah tentang
karakteristik, efek kesehatan, bahaya atau emisi, termasuk istilah-
istilah seperti “light” atau “mild”;
ii. Pencetakan peringatan kesehatan dan informasi yang relevan pada
area tampilan utama tidak kurang dari 30% dari setiap kemasan
satuan serta setiap kemasan luar maupun dalam pelabelan produk
tembakau dan;
iii. Secara komprehensif melarang iklan, promosi dan sponsor produk
tembakau atau jika sebuah negara anggota Konvensi ini tidak
dalam posisi melakukan larangan komprehensif karena konstitusi
15 Physicians for Smoke-Free Canada, 2009, Packaging Phoney Intellectual Property Claims, Physicians for Smoke-Free Canada, Ottawa, hlm, 21
6
atau prinsip-prinsip konstitusional, negara harus membatasi
kegiatan ini.16
Pada November 2008, dalam Konferensi Para Pihak FCTC dibahas
mengenai pedoman pelaksanaan Pasal 11 tentang Kemasan dan Pelabelan serta
Pasal 13 mengenai Iklan Rokok, Promosi, dan Sponsor yang keduanya
menyarankan agar para peserta FCTC mempertimbangkan pengadopsian
kebijakan pengemasan polos, dan secara signifikan memperkuat kebjakan politik
dan dasar hukum yang mendasari kebijakan pengemasan polos.17
Salah satu respon dari industri tembakau dalam menanggapi pelaksanaan
kebijakan pengemasan polos yaitu dengan menunjukkan bahwa terdapat sejumlah
hukum domestik dan internasional yang ada dapat menghambat implementasi
kebijakan pengemasan polos di Australia. Salah satu keberatan yang diajukan
indstri tembakau yaitu menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan pengemasan
polos mungkin akan bertentangan dengan kewajiban Australia dibawah WTO,
khususnya dalam The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights (TRIPS Agreement) dan The Agreement on Technical Barriers to
Trade (TBT).18
Dua perjanjian WTO tersebut cenderung menjadi dasar dari setiap
gugatan formal yang dibawa oleh produsen rokok dalam menentang Australia
melalui sistem penyelesaian sengketan WTO. Kasus serupa mengenai produk
16 Masabumi Suzuki, 2011, Domestic Measures IP/Trade Law, The Case of the Australian Plain Packaging Act, Doshisha Law Review, Nagoya, hlm. 371 17 Liberman, Loc. Cit. hlm. 362 18 Andrew Mitchell & Sebastian Wurzberger, 2011, Boxed in? Australia’s Plain Tobacco Packaging Initiative and International Investment Law, The University of Melbourne, Melbourne, hlm.2
7
tembakau sebelumnya sudah pernah diajukan di hadapan WTO yaitu mengenai
komplain terhadap peraturan yang diperkenalkan oleh Kanada dan Amerika
Serikat mengenai penggunaan zat aditif dan perasa tertentu dalam rokok dan
produk terkait.19 Sebelumnya keluhan ini telah berulang kali di tentang, salah
satunya melalui komentar oleh anggota dalam Komite TBT, yang selanjutnya
menjadi subyek dari sengketa formal di bawah WTO oleh Indonesia.20
Konsistensi peraturan dibawah kebijakan pengemasan polos dengan
hukum kekayaan intelektual internasional dan hukum perdagangan internasional
menjadi permasalahan, terutama ketika produsen tembakau dibatasi dalam
penggunaan merek dagang yang mereka miliki.
Sebagai negara yang berorientasi ekonomi ekspor dan sebagai ketua
Cairns Group of Agricultural Exporter, Australia memiliki peran yang besar
dalam pembaharuan perdagangan multilateral dan bekerjanya sistem WTO yang
efektif. Kebijakan perdagangan merupakan suatu komponen yang penting bagi
kerangka kebijakan ekonomi Australia dan juga bagi liberalisasi perdagangan
unilateral yang sudah menjadi bagian integral dari perubahan struktural yang telah
mendukung kekuatan ekonomi dan keberlangsungan perdagangan Australia
selama beberapa tahun kebelakang. 21 Kewajiban Australia dibawah hukum
ekonomi internasional melalui perjanjian-perjanjian WTO dan perjanjian
multilateral lainnya serta kewajiban Australia dibawah FCTC dengan kebijakan
19 Andrew Mitchell & Tania Voon, 2011, Regulating Tobacco Flavours: Implications for WTO Law, Boston University International Law Journal, Boston, hlm. 383 20 Permintaan untuk pembentukan Panel oleh Indonesia, United States – Measures Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes, WTO Doc WT/DS406/2 (11 Juni 2010) 21 Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, 2010, The Law Of The World Trade Organization (WTO) Documents, Cases & Analysis, Thomson Reuters, Minnesota, hlm. 1192
8
pengemasan polos yang di implementasikan Australia merupakan suatu dilema
dalam perdagangan internasional yang kelanjutannya akan mempengaruhi
keberlangsungan perdagangan internasional serta praktek negara-negara
selanjutnya dalam hal pengaturan perdagangan produk tembakau.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah relevansi The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia
terhadap kewajiban Australia dalam perdagangan internasional?
2. Apa justifikasi Australia terhadap berlakunya The Tobacco Plain
Packaging Act 2011?
3. Apakah relevansi The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia
terhadap hukum WTO?
C. Keaslian Penelitian
Selama melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, penelitian dengan judul Implikasi Pengaturan
Kemasan Polos Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act
2011 Australia Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan
Internasional, tidak ditemukan oleh penulis sebuah penelitian dengan judul dan
permasalahan yang sama.
9
Namun, penulis menemukan penelitian dengan bahasan yang serupa
namun dengan fokus yang berbeda mengenai The Tobacco Plain Packaging Act
2011 dan juga dengan judul yang berbeda yang ditulis oleh Muhammad Akbar
Akhir dengan judul Kepentingan Australia Terhadap Kontrol Tembakau Dalam
Negeri (Kasus Undang-Undang Plain Packaging) yang lebih membahas ke arah
kepentingan Australia dibalik diberlakukannya The Tobacco Plain Packaging Act
2011 apakah tentang kepentingan ekonomi, kepentingan politik ataukah hanya
merupakan kepentingan nasional Australia. Selain penelitian tersebut, penulis
juga menemukan tulisan yang ditulis oleh Prof. M. Hawin, S.H., LL.M,Ph.D yang
membahas bahasan serupa dengan judul Cigarette Plain Packaging Policy Under
The TRIPS Agreement and Its Implication on Indonesia. Pada tulisan Prof. M.
Hawin, S.H., LL.M, Ph.D lebih berfokus terhadap bahasan The Tobacco Plain
Packaging 2011 terhadap TRIPS Agreement dan bagaimana implikasinya
terhadap Indonesia. Sedangkan penelitian ini lebih berfokus terhadap relevansi
The Tobacco Plain Packaging Act 2011 terhadap kewajiban Australia dalam
perdagangan internasional tidak hanya TRIPS Agreement dan juga terhadap
hukum WTO serta menganalisis justifikasi Australia dengan berlakunya The
Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan juga melihat posisi The Tobacco Plain
Packaging Act 2011 sebagai huku nasional terhadap hukum WTO yang mana
adalah hukum internasional.
Dengan tidak ditemukannya penelitian yang berjudul dan memiliki
bahasan yang sama persis, penelitian ini dapat dianggap memenuhi kaedah
keaslian penelitian. Penelitian dengan judul yang sama dan permasalahan yang
10
diangkat pada penelitian kali ini sebelumnya belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain.
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.Tinjauan Pustaka
1.1. Epidemi Tembakau
Tembakau merupakan penyebab tunggal kematian yang merenggut hingga
setengah jumlah penggunanya dan merupakan penyebab kematian yang dapat
dicegah di dunia pada saat ini. Sejak tahun 1990, epidemi tembakau merupakan
suatu masalah kesehatan publik dengan proporsi besar dan merupakan penyebab
kematian prematur yang utama. Peningkatan jumlah perokok dan bentuk lain
penggunaan tembakau diseluruh dunia menyebabkan kematian atas 3.5 juta jiwa
pada tahun 1998, dengan 70% kematian terjadi pada negara berkembang.22
Penggunaan produk tembakau terus bertumbuh pada negara-negara berkembang
yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang stabil beserta usaha pemasaran
yang agresif oleh industri tembakau.
Robin Appleberry mengemukakan bahwa konsumsi tembakau secara
global menyebabkan kerugian bersih ekonomi tahunan sekitar 200 miliar dollar.23
Sejalan dengan pendapat Appleberry, Alberto Alemanno juga mengatakan bahwa
22 World Health Organization, 1999, Resolution WHA 52.18. Towards a WHO framework convention on tobacco control, in: Fifty-second World Health Assembly volume 1, World Health Organization, Jenewa. 23 Robin Appleberry, 2001, Breaking the Camel’s Back: Bringing Women’s Human Rights to Bear on Tobacco Control, Yale Journal of Law, New Haven, hlm.91
11
konsumsi tembakau bertanggung jawab atas kematian 650.000 jiwa setiap
tahunnya, terhitung lebih dari lima belas persen dari semua kematian di Uni
Eropa.24
Usaha yang telah dilakukan dalam menghentikan epidemi tembakau
global sebelumnya terbukti tidak efektif. Didorong oleh perusahaan multinasional
dengan profit bisnis tembakau yang sangat tinggi dalam perdagangan produk
tembakau dan juga perkembangan ini dibantu oleh adiksi nikotin yang membuat
epidemi tembakau menyebar dengan sangat cepat dari kalangan negara-negara
maju hingga negara-negara berkembang. Globalisasi juga merupakan sebuah
faktor yang memperlemah usaha suatu negara dalam mengontrol produk
tembakau dalam rangka mengendalikan konsumsi produk tembakau. Promosi
aktif produk-produk tembakau oleh perusahaan-perusahaan tembakau juga sangat
berpengaruh terhadap konsumsi produk-produk tembakau yang mana juga
menyebabkan peringatan-peringatan medis atas bahaya tembakau kurang menjadi
hal yang kurang diperhatikan oleh masyarakat khususnya konsumen produk
tembakau.
Tembakau seringkali di konsumsi secara kurang benar, yang mana
penggunaannya sendiri dianggap semata-mata merupakan sebuah pilahan pribadi
individu.25 Hal ini memungkiri fakta bahwa ketika individu menyadari dampak
kesehatan dari konsumsi tembakau, kebanayakan dari penggunanya berkeinginan
untuk berhenti mengkonsumsi tembakau namun pada kenyataannya sulit untuk
24 Alberto Alemanno, 2012, Out Sight, Out Mind: Towards a New EU Toabcco Products Directive, The Shredan Press, Hanoven, hlm.197 25 World Health Organization, 2013, mpower: A Policy Package To Reverse The Tobacco Epidemic, Jenewa, World Health Organization, hlm.7
12
dilakukan dikarenakan oleh adiksi nikotin. Selain itu, industri tembakau global
yang kuat terus akan menghabiskan puluhan miliar dolar per tahun dalam rangka
melakukan pemasaran dan memperkerjakan pelobi handal serta iklan untuk
mempertahankan dan meningkatkan penggunaan produk tembakau.26
Beberapa strategi dalam rangka mengurangi konsumsi tembakau telah
dilakukan. Bahkan lebih dari 50 tahun setelah bahaya kesehatan oleh rokok secara
ilmiah telah dibuktikan dan lebih dari 20 tahun setelah bukti ilmiah menunjukkan
bahaya terhadap perokok pasif, beberapa negara telah mengimplementasikan
strategi efektif dan diakui untuk mengontrol epidemi tembakau. Namun, negara-
negara berkembang dirasa kurang sepenuhnya dalam melakukan hal-hal serupa
untuk mengendalikan konsumsi tembakau. Kaum wanita dan remaja yang
beranjak dewasa pada negara-negara bekembang juga merupakan target spesifik
industri tembakau dikarenakan kalangan ini juga mempunyai potensi yang besar
dalam meningkatkan penjualan dan profit daripada industri tembakau.27 Selain itu,
di beberapa negara, pemerintah memiliki kepentingan langsung atau tidak
langsung dalam penanaman tembakau dan manufakturnya, yang selanjutnya
menghambat tindakan pengurangan konsumsi tembakau.
Upaya internasional yang dipimpin oleh World Health Organization
melalui The WHO Framework Convention on Tobacco Control, yang berlaku
sangat cepat diantara negara-negara anggotanya, dengan 168 negara
penandatangan dan lebih dari 150 anggota. FCTC memberikan prinsip-prinsip dan
26 Federal Trade Commission, 2005, Cigarette Report for 2003, Washington D.C, Federal Trade Comission, hlm.1 27 World Health Organization, 2007, Gender and Tobacco Control: A Policy Brief, Jenewa, World Health Organization, hlm.6
13
konteks dalam pengembangan kebijakan, perencanaan intervensi dan mobilisasi
sumber daya politik dan keuangan dalam pengendalian tembakau. Dalam
pencapaiannya, pengendalian tembakau memerlukan koordinasi antara banyak
instansi pemerintah, lembaga akademik, asosiasi profesi dan organisasi
masyarakat sipil di tingkat negara, serta koordinasi dan dukungan kerjasama
internasional dan lembaga pembangunan. Maka tanpa kerjasama tersebut FCTC
akan sama saja seperti langkah-langkah dalam pengendalian tembakau
sebelumnya yang bekerja kurang efektif.
1.2. Framework Convention on Tobacco Control
The World Health Organization Framework Convention on Tobacco
Control merupakan suatu perjanjian internasional pertama yang dinegosiasikan
dibawah naungan World Health Organization. Perjanjian ini di adopsi oleh The
World Health Assembly yang merupakan badan pengambil keputusan dari WHO
pada tanggal 21 Mei 2003 dan mulai berlaku pada 27 Februari 2005.28 Sejak
mulai berlaku, FCTC merupakan salah satu perjanjian yang paling cepat dan
secara luas dianut dalam sejarah Perserikatan Bangsa-Bangsa. FCTC
dikembangan dalam menanggapi globalisasi epidemi tembakau dan merupakan
perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali hak untuk standar tertinggi
kesehatan.
Ide mengenai sebuah instrumen dalam pengendalian tembakau secara
resmi dimulai pada Mei 1995 dalam sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-48. Pada 28 World Health Organization, About the WHO Framework Convention on Tobacco Control, diakses melalui http://www.who.int/fctc/about/en/index.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pukul 5:21 WIB
14
tahun beruikutnya, dalam siding Majelis Kesehaan Dunia ke-49 diadopsi resolusi
WHA49.17, yang meminta Direktur Jenderal WHO untuk memulai
pengembangan FCTC.29
Disetujui pada 7 April 1948, Konstitusi WHO yang mengamanatkan
bahwa WHO berserta negara peserta WHO akan bekerja sama demi tercapainya
tingkat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai bagi seluruh masyarakat dunia.
Konstitusi WHO juga mendeskripsikan kekuasaan luas yang berada di pada
World Health Assembly, yaitu badan pembentuk kebijakan tertinggi WHO, untuk
melindungi dan mempromosikan kesehatan publik, yang termasuk didalamnya
persiapan dan pengadopsian standar, legislasi, konvensi dan perjanjian.30
Raphael Lencucha dan Jeffrey Drope, mengatakan bahwa berlakunya
FCTC pada 2005 merupakan sebuah tanda titik balik yang jelas dalam
pengendalian tembakau global. 31 Lebih lanjut dikatakan bahwa FCTC
memberikan kewajiban hukum internasional yang mengikat para pemerintah yang
meratifikasi perjanjian tersebut yang mana dalam istilah hukum, pemerintah yang
menandatangani dan meratifikasi perjanjian tersebut menyetujui untuk terikat
dengan standar yang tertera dalam perjanjian tersebut.32
Namun dilain pihak Masabumi Suzuki mengatakan bahwa konsistensi
antara peraturan dalam FCTC dan hukum ekonomi internasional merupakan suatu
kontroversi yang mana sebagai kontrol penggunaan tembakau membatasi
29 World Health Organization, The History of The WHO Framework on Tobacco Control, diakses melalui http://www.who.int/fctc/about/history/en/index.html diakses pada tanggal 17 Oktober 2013 pukul 5:23 WIB 30 World Health Organization, 2006, Constitution of the World Health Organization In: Basic Documents edisi ke-45, Jenewa, World Health Organization. 31 Lenchuca & Drope, Loc. Cit., hlm.1 32 Ibid.
15
beberapa jenis kegiatan ekonomi termasuk perdagangan internasional.33 Suzuki
juga menambahkan bahwa pada faktanya sudah terjadi beberapa sengketa yang
berkaitan dengan konsistensi peraturan tembakau dalam WTO dan pendahulunya,
yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).34 Dilihat dari perspektif
teoritis Suzuki berpendapat bahwa, pengaturan dalam tembakau mengilustrasikan
bagaimana perjanjian WTO sebagai sebuah perjanjian perdagangan mengatur
langkah-langkah dalam perdagangan serta bagaimana hukum ekonomi
internasional dapat membatasi tindakan-tindakan non-ekonomi pemerintah.35
Sependapat dengan Suzuki, Walliser dan Bird mengatakan bahwa FCTC
tidak mengikuti struktur perjanjian tradisional.36 Namun hal ini berbeda dengan
apa yang dikemukakan oleh Magnusson yang mengatakan bahwa FCTC
mengartikulasikan lebih dari sekedar aspirasi pengendalian tembakau, FCTC juga
memberikan sebuah rezim berbasis bukti yang dapat memberikan dasar bagi
hukum nasional sesuai dengan perjanjian WTO.37 Menurut Magnusson, hal ini
membantu memecahkan keraguan yang dimiliki pemerintah untuk mengatasi
masalah kesehatan masyarakat dan terlepas dari kecemasan menimbulkan
sengketa perdagangan.38
33 Suzuki, Loc. Cit., hlm.374 34 Ibid. hlm.375 35 Ibid. 36 Gerlinde Berger-Walliser & Robert C. Bird, 2013, The Impact Of Plain Packaging Regulation on Illicit and Non-Illicit Tobacco Products in the European Union, North Carolina Journal of International Law and Commercial Regulation, North Carolina, , hlm.4 37 Roger Magnusson, 2010, Global Health and the Challenge of Chronic, Non-Communicable Disease, The American Society of Law, Medicine & Ethics, Boston, hlm.499 38 Ibid.
16
FCTC yang terdiri dari tiga puluh delapan pasal ini, didalamnya juga
terdapat sejumlah pasal yang relevan dengan pengemasan polos. 39 Dalam
pendapatnya, Halabi mengatakan bahwa FCTC juga didukung oleh sejumlah
pedoman pelaksanaan yang dibangun oleh mandat yang luas dari pasal-pasal
FCTC dan yang mana status hukum dari pedoman-pedoman pelaksanaan ini
masih belum jelas.40
1.3. Pengemasan Polos (Plain Packaging)
Pemerintah Persemakmuran Australia pada 29 April 2010 mengumumkan
bahwa, semua rokok yang dijual diharuskan dalam kemasan polos sejak 1
Desember 2012. Namun ide mengenai pengemasan polos produk tembakau
sendiri bukanlah hal baru yang baru saja diperkenalkan kepada dunia oleh
Pemerintah Australia. Shmatenko mengatakan bahwa pada 1994 Pemerintah
Kanada pernah mencoba memperkenalkan pengemasan polos.41 Namun, usaha ini
gagal menyangkut masalah hak merek dagang, terutama mengenai kemungkinan
kebijakan ini akan melanggar kewajiban Kanada dibawah WTO dan North
American Free Trade Agreement (NAFTA).42
Berbeda dengan pendapat Shmatenko bahwa ide mengenai kemasan polos
berawal pada tahun 1994, Basham dan Luik mengatakan bahwa perdebatan
39 Sam Foster Halabi, 2010, The World Health Organization’s Framework Convention on Tobacco Control: An Analysis of Guidelines Adopted by the Conference of the Parties, Georgia Journal of International & Comparative Law, Georgia, hlm.128 40 Ibid. 41 Leonid Shmatenko, 2013, Regulatory Measures Through Plain Packaging of Tobacco Products in the Light of International Trade Agreements, Czech Yearbook of International Law, Prague, hlm.28 42 Ibid.
17
mengenai pengemasan polos bermula pada September 1989 pada saat Toxic
Substances Board Selandia Baru membuat laporan untuk Kementerian Kesehatan
Selandia Baru yang memberikan rekomendasi untuk semua produk tembakau
dijual dalam kemasan polos. 43 Kemasan polos yang dimaksud oleh Toxic
Substances Board ini adalah sebuah kemasan putih polos dengan pencetakan
hitam dan tidak ada warna lain yang diperbolehkan dan juga penggunaan logo
atau simbol dan bentuk apapun.44
Setelah dikeluarkannya rekomendasi oleh The Toxic Substances Board,
Carr-Gregg dan Gray mengatakan bahwa pengemasan polos akan mengurangi
efek dari pemasaran paralel dan usaha pengiklanan melalui kemasannya. 45
Pendapat oleh Carr-Gregg dan Gray ini diikuti oleh The New Zealand Family
Physician pada 1991 yang mana Beede dan Lawson mengatakan bahwa
pengemasan produk tembakau mempunyai fungsi yang sama dalam peran
promosi seperti pesan iklan.46
Tidak lama setelah Kanada, Pemerintah Inggris juga memiliki rencana
untuk memperkenalkan kebijakan pengemasan polos. Namun, pemerintah Inggris
memutuskan untuk meninggalkan ide tersebut disebabkan kekhawatirannya
mengenai pelanggaran hukum atas merek dagang dan pergerakan bebas barang
dalam Uni Eropa sesuai dengan Pasal 34 Treaty on the Fucntioning of the
43 Basham & Luik, Loc. Cit., hlm.1 44 Ibid. 45 Carr-Gregg et al, 1990, Generic Packaging – A Possible Solution to the Marketing of Tobacco to Young People, Australian Medical Publishing Company, Sydney, hlm.685 46 P. Beede & R. Lawson, 1991, Pack Image Attraction: The Promotional Impact of Cigarette Packaging, New Zealand Family Physician, Wellington, hlm.175
18
European Union.47 Janušauskaitė juga menambahkan bahwa Lithuania juga telah
mencoba memperkenalkan kebijakan pengemasan polos produk tembakau, namun
tidak berhasil di tingkat parlemen.48
Pada tahun 2009, Uruguay memperkenalkan 3 peraturan, yang mengatur
pembatasan penggunaan logo pada kemasan produk tembakau, walaupun belum
sampai pada tahap hingga melarang semua hak merek dagang dan mengharuskan
pengemasan netral. Dikarenakan oleh pengaturan ini, Philip Morris International,
Inc., yang berada di Amerika Serikat beserta anak perusahaannya, Philip Morris
Products S.A., yang berada di Swiss, meminta untuk diadakannya arbitrase
dengan pemerintah Uruguay dihadapan The International Centre for Settlement of
Investment Disputes (ICSID).49
Mengenai pengaturan kemasan polos, Lenchucha dan Drope berpendapat
bahwa industri tembakau memanfaatkan komitmen negara-negara dalam
perjanjian ekonomi untuk membenarkan penolakan mengenai pengendalian
tembakau dengan cara pengemasan polos, termasuk juga penolakan terhadap
upaya yang dilakukan Uruguay untuk meningkatkan label peringatan bahaya
konsumsi tembakau pada kemasan produk tembakau dan juga dalam Undang-
Undang Australia yang menerapkan kemasan polos pertama didunia.50
47 Peter Henning & Leonid Shmatenko, 2012, Plain Packaging on Its Way to Europe – Competence Issues and Compatibility with European Fundamental Rights, Maris BV, Voorburg, hlm 5 48 Kristina Janušauskaitė, 2010, Litauen – A Proposal to Introduce “Plain Packaging Requirement” in the Law on Tobacco Control Fails in Parliament, , German Association for the Protection of Intellectual Property (GRUR), Köln, hlm.6 49 Philip Morris Brand Sàrl (Switzerland), Philip Morris Products S.A. (Switzerland) and Abal Hermanos S.A. (Uruguay) v. oriental Republic of Uruguay, ICSID Case No. ARB/10/7, Diputus pada 15 Maret 2011 50 Lenchucha & Drope, Loc. Cit. hlm.2
19
Tilson menjelaskan bahwa kemasan polos atau generik suatu produk
tembakau merupakan standarisasi pengemasan yang sama sekali tanpa
mengandung unsur promosi bersertanya yang mana suatu produk tembakau hanya
akan dapat diidentifikasi dengan merek produk tembakau lain secara spesifik
dengan hanya nama dari merek itu sendiri yang akan menandai produk tersebut.51
Menurut Suzuki, The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang
diberlakukan Pemerintah Australia saat ini merupakan sebuah peraturan paling
ketat mengenai pengemasan produk tembakau diseluruh dunia.52 Namun, Suzuki
juga mengatakan bahwa terdapat beberapa poin kontroversial mengenai
pengemasan polos yang diimplementasikan oleh Pemerintah Australia
menyangkut hukum internasional yang mana menjadi perdebatan diantara para
sarjana hukum dan para praktisi hukum baik dalam lingkup domestik maupun
dalam lingkup internasional.53 Secara khusus, kritik utama terhadap The Tobacco
Plain Packaging Act 2011 yaitu bahwa peraturan mengenai pengemasan polos
mempunyai permasalahan mendasar menyangkut hak kekayaan intelektual
terutama mengenai merek dagang, yang mana apabila melihat pada fakta,
Ukraina, Honduras dan Republik Dominika mengajukan permohonan konsultasi
terhadap Pemerintah Australia dihadapan WTO pada 13 Maret, 4 April dan 18
Juli 2012 mengenai pengaturan pengemasan polos.54 Suzuki juga menambahkan
bahwa, tujuan daripada The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yaitu antara lain
51 Melodie Tilson, 2008, Plain Packaging of Tobacco Products, Non-Smokers’ Rights Association/Smoking and Health Action Foundation, Toronto, hlm.1 52Suzuki, Loc.Cit., hlm.373 53 Ibid. hlm.374 54 Ibid. (DS 434, 435, dan 441)
20
untuk meningkatkan tingkat kesehatan publik dan untuk memenuhi kewajiban
Australia dibawah FCTC.55
1.4. World Trade Organization
The World Trade Organization (WTO) terbentuk dan mulai beroperasi
pada 1 Januari 1995. WTO merupkan organisasi antar pemerintah termuda dan
dapat dikatakan sebagai organisasi yang paling berpengaruh pada masa globalisasi
ekonomi saat ini. Seperti yang dikemukakan oleh Marco Bronckers, WTO
mempunyai potensi untuk menjadi pilar utama pemerintahan global.56
Awal mula dari WTO dimulai pada The General Agreement on Tariffs and
Trade (GATT) 1947. Sejarah mengenai GATT dimulai pada Desember 1945
ketika Amerika Serikat mengundang aliansi perangnya untuk memasuki negosiasi
dan memutuskan sebuah perjanjian multilateral dalam pengurangan tarif dalam
perdagangan barang secara timbal balik. Pada bulan Juli 1945, Kongres Amerika
Serikat memberikan kewenangan untuk bernegosiasi dan memutuskan perjanjian
tersebut. Menanggapi proposal dari Amerika Serikat, Komisi Ekonomi dan Sosial
Perserikatan Bangsa Bangsa mengadopsi sebuah resolusi pada Februari 1946 yang
menyerukan untuk diadakannya konferensi dalam merumuskan piagam untuk
International Trade Organization (ITO).57 Pada Konferensi Bretton Woods 1944
dibahas lebih lanjut mengenai pembentukkan ITO, dimana The International
Monetary Fund (IMF) dan The International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD) atau Bank Dunia juga terbentuk pada saat itu. 55 Ibid. 56 M.Bronckers, 2001, More Power to the WTO, Oxford University Press, Oxford, hlm 41 57 UN ECOSOC Res. 13, UN Doc. E/22 1946.
21
John Jackson mengatakan bahwa permasalahan mengenai perdagangan
belumlah dibahas dalam Konferensi Bretton Woods, namun, Konferensi merasa
bahwa perlunya sebuah institusi internasional dalam perdagangan untuk
melengkapi IMF dan World Bank.58 Van Den Bosche dalam Law and Policy of
World Trade Organization mengemukakan bahwa, sebuah komite persiapan
dibentuk pada Februari 1946 dan bertemu untuk pertamakalinya di London pada
Oktober 1946 dalam rangka mengerjakan piagam sebuah organisasi internasional
perdagangan yang mana kelompok kerja ini terus berlanjut dari April hingga
November 1947 di Jenewa.59
John Jackson juga menjelaskan bahwa, pertemuan yang dilaksanakan di
Jenewa tahun 1947 sebenarnya merupakan konferensi yang terperinci dan dibagi
menjadi tiga bagian utama. Bagian pertama membahas mengenai kelanjutan
persiapan piagam atas institusi perdagangan internasional atau ITO, sedangkan
bagian kedua membahas mengenai negosiasi dalam persetujuan multilateral
tentang pengurangan tarif secara timbal balik dan bagian ketiga terkonsentrasi
pada penyusunan klausa umum atau ‘General Clauses’ atas kewajiban
menyangkut obligasi tarif.60
Negosiasi yang dilaksanakan di Jenewa dalam membahas mengenai
GATT menuai perkembangan dan pada Oktober 1947, para negosiator telah
sepakat pada persetujuan dalam GATT.61 Walaupun demikian, negosiasi yang
58 John Jackson, 1998, The World Trade Organization: Constitution and Jurisprudence, Royal Institute of International Affairs, London, hlm.15 59 Peter Van Den Bosche, 2005, The Law and Policy of the World Trade Organization, Cambridge University Press, Cambridge, hlm 79 60 Op.Cit. hlm.16 61 Op. Cit. hlm.79
22
membahas mengenai ITO dalam perjalanannya ditemukan lebih sulit dan sudah
jelas ketika menjelang akhir pertemuan Jenewa 1947 dirasakan bahwa piagam
ITO tidak akan selesai sebelum 1948.
Meskipun pada awalnya GATT dimaksudkan untuk melekat pada piagam
ITO, banyak dari para negosiator merasa bahwa hal itu tidak mungkin untuk
menunggu hingga piagam ITO selesai dan membawa GATT berlaku, oleh karena
itu, diputuskan untuk membawa ketentuan dalam GATT diberlakukan segera.
Namun, menurut Jackson hal ini menciptakan masalah baru, dikarenakan
berdasarkan ketentuan hukum konstitusional para anggota, beberapa negara tidak
bisa menyetujui bagian dari GATT tanpa mengajukan perjanjian ini ke parlemen
dahulu. Hal ini dikarenakan untuk mengantisipasi kebutuhan dalam menyerahkan
rancangan akhir dari piagam ITO ke parlemen negara anggota pada akhir 1948
atau pada tahun berikutnya, yang mana para negara anggota khawatir bahwa akan
mengahbiskan upaya politik yang diperlukan dalam mendapatkan GATT melalui
lembaga legislatif akan dapat membahayakan upaya selanjutnya untuk dapat
memberlakukan ITO.62
Untuk mengatasi masalah ini, pada 30 Oktober 1947, delapan dari dua
puluh tiga negara yang telah menegosiasikan GATT 1947 menandatangai
‘Protokol Sementara Penerapan Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan’ (PPA) dan GATT 1947 mulai berlaku pada 1 januari 1948 yang
mana diterapkan melalui PPA. Pada bulan Maret 1948, negosiasi pada piagam
ITO berhasil diselesaikan di Havana. Piagam Havana dibentuk dalam rangka
62 John Jackson, Loc. Cit. hlm.18
23
pembentukan ITO dan dalam hal menetapkan aturan-aturan dasar serta disiplin
dalam perdagangan internasional dan masalah-masalah yang menyangkut
ekonomi internasional lainnya.
Namun, piagam ITO sendiri tidak pernah diberlakukan. Sementara,
piagam ini sudah berulang kali disampaikan dihadapan Kongres Amerika Serikat
dan tidak pernah disetujui. Oleh karena itu, pada tahun 1951, Presiden Truman
akhirnya memutuskan bahwa ia tidak akan lagi meminta persetujuan dari Kongres
mengenai piagam ITO. Melihat tidak adanya kemungkinan Amerika Serikat
menjadi anggota ITO, maka tidak ada negara yang tertarik untuk membentuk
suatu organisasi internasional untuk perdagangan, dikarenakan pada saat itu
perekonomian dan perdagangan Amerika Serikat sangat kuat dan berpengaruh.
Setelah dibatalkannya pembentukan ITO sebagai institusi perdagangan
dunia, terjadi kekosongan dalam hal tersebut dan yang tersisa hanyalah GATT
1947 sebagai sebagai perjanjian multilateral yang mengatur mengenai
perdagangan dunia.
Van Den Bosche mengatakan bahwa meskipun GATT hanyalah sebuah
perjanjian multilateral dalam pengurangan tarif dan bukanlah suatu organisasi
internasional, GATT sendiri dalam perjalanannya selama bertahun-tahun berhasil
mengubah pandangannya sebagai perjanjian multilateral dengan cara yang
pragmatis dan bertahap menjadi organisasi internasional de facto walaupun
kententuan institusional dalam GATT 1947 sangatlah sedikit.63 Van Den Boshce
dalam “The Establishment of the World Trade Organization: The Dawn of a New
63 Peter Van Den Bosche, Loc. Cit. hlm.81
24
Era in International Trade?” mengemukakan bahwa meskipun kerangka
kelembagaan dalam GATT 1947 sedikit, GATT sangat berhasil dalam
mengurangi tarif pada perdagangan barang khususnya pada barang-barang
industri yang berasal dari negara maju.64
GATT mungkin suskes dalam usahanya mengurangi tarif dalam
berlangsungnya perdagangan internasional, namun GATT kurang berhasil dalam
menangani masalah pengurangan halanagn non-tarif atau Non-tariff Barriers yang
menjadi sebuah masalah lebih serius daripada halangan tarif atau Tariff Barriers.
Negosiasi dalam pengurangan halangan non-tarif pada faktanya lebih kompleks
dan memerlukan kerangka kelembagaan yang lebih rinci yang mana tidak dimiliki
oleh GATT. Memasuki awal 1980 sangatlah jelas bahwa putaran dalam negosiasi
perdagangan diperlukan seperti apa yang dikemukakan oleh Jackson bahwa dunia
sudah menjadi semakin kompleks dan saling berketergantungan, dan hal tersebut
menjadi lebih jelas bahwa aturan dalam GATT tidak dapat memenuhi ukuran
disiplin yang diperlukan untuk mencegah ketegangan dan gangguan terhadap
aktifitas nasional suatu negara.65 Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya
mendukung untuk dilangsungkannya putaran perdagangan dengan agenda yang
sangat luas termasuk bahasan baru seperti perdagangan jasa dan perlindungan hak
kekayaan intelektual. Namun, banyak juga negara yang merasa keberatan atas
bahasan yang luas tersebut dan bahkan ada yang menentang diadakannya putaran
64 Peter Van Den Bosche, 1994, World Trade Organization: The Dawn of a New Era in International Trade?, Maastricht Journal of European and Comparative Law, Maastricht, hlm.398-400 65 John Jackson, Loc. Cit. hlm.24
25
baru. Pada bulan September 1986, di Punta del Este, Uruguay, para pihak GATT
akhirnya setuju untuk memulai putaran baru.
Menteri Perdagangan Italia, Reanto Ruggiero, pada bulan Februari 1990
untuk pertama kalinya melontarkan gagasan untuk mendirikan sebuah organisasi
internasional baru dalam perdagangan. Beberapa bulan setelahnya, Kanada secara
resmi mengusulkan pembentukan organisasi dagang dunia yang mereka sebut
dengan ‘World Trade Organization’ yang mana adalah sebuah organisasi
internasional yang matang yang mengelola instrumen hukum terkait perdagangan
internasional termasuk didalamnya GATT, General Agreement on Trade and
Services atau GATS dan instrumen multilateral lainnya. Perjanjian untuk
terbentuknya WTO sendiri ditandatangani di Marrakesh pada bulan April 1994
dan mulai berlaku pada 1 Januari 1995. Menurut Gary Sampson bahwa mereka
yang membangun WTO bangga telah menciptakan apa yang digambarkan sebagai
pencapaian terbesar dalam kerjasama ekonomi global.66
Alasan dan tujuan dalam pembentukan WTO ditetapkan dalam
Pembukaan Perjanjian WTO atau The Preamble of WTO Agreement. WTO juga
mempunyai tujuan pokok yang antara lain meliputi peningkatan standar hidup,
pencapaian kesempatan kerja penuh, pertumbuhan pendapatan riil dan permintaan
efektif, dan perluasan produksi, dan perdagangan barang dan jasa.
66 Gary Sampson, 2001, The Role of the World Trade Organization in Global Governance, United Nations Unversity Press, Tokyo, hlm.5
26
2. KERANGKA TEORI
2.1 Hukum World Trade Organization
Setelah sebuah negara melakukan aksesi terhadap Persetujuan
WTO, sejak saat itulah WTO mewajibkan negara tersebut menerima
berbagai kewajiban hukum, yang mana merupakan suatu disiplin pada
instrumen yang berkaitan terhadap perdagangan internasional. Kewajiban
yang diterima oleh negara anggota merupakan kewajiban yang bersifat
kontraktual, sejalan dengan konsep ini John Jackson menjelaskan bahwa
hal inilah yang membuat kewajiban Most Favoured Nations belum
memperoleh status sebagai hukum kebiasaan internasional hingga saat
ini.67
Dalam bukunya yang berjudul The Law of The World Trade
Organization Documents, Cases & Analysis, Mavroidis, Bermann dan Wu
menjelaskan bahwa terdapat tiga lapisan kewajiban hukum yang diambil
pada saat aksesi anggota WTO, yang mana dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Seperangkat kewajiban yang mengikat semua anggota WTO pada
saat aksesi menjadi anggota WTO dengan tidak ada kemungkinan
untuk pengecualian. Kewajiban-kewajiban ini disebut multilateral
agreement atau perjanjian multilateral.
67 John H. Jackson, 1969, World Trade And The Law Of GATT, Bobbs-Merill, Indianapolis, hlm 56
27
b. Seperangkat kewajiban yang mana hanya akan mengikat para
anggota WTO yang telah mengaksesi instrumen hukum tertentu .
perjanjian-perjanjian semacam ini disebut juga plurilateral
agreements atau perjanjian plurilateral yang mana partisipasinya
bersifat opsional.
c. Seperangkat kewajiban yang mana hanya mengikat negara anggota
yang mengatur hubungannya dengan anggota WTO lain yang
memegang jabatan atau incumbents. Seperangkat kewajiban ini
disebut juga sui generis obligations atau kewajiban sui generis
yang diterima oleh anggota WTO.68
2.2. Aturan dan Prinsip Dasar Hukum World Trade Orgaization
Hukum WTO meupakan seperangkat aturan yang khusus dan
kompleks. Didalamnya juga berhubungan dengan isu-isu yang luas mulai
dari tarif, kuota impor dan penerapan bea hingga hak kekayaan intelektual,
pengaturan mengenai keamanan makanan dan pengaturan mengenai
keamanan nasional. Menurut Van Den Bosche, aturan dasar dan prinsip-
prinsip hukum WTO dapat dibagi menjadi 6 golongan yang antara lain:
1. Prinsip non-diskriminasi atau the principles of non-
discrimination;
2. Aturan dalam akses pasar, termasuk didalamnya aturan
mengenai transparansi atau the rules on market access;
68 Petros C. Mavriodis, George A. Bermann & Mark Wu, Loc. Cit. hlm.8
28
3. Aturan mengenai perdagangan tidak adil atau the rules on
unfair trade;
4. Aturan mengenai konflik antara liberalisasi perdagangan
dan nilai-nilai dan kepentiangan sosial lainnya atau the
rules on conflicts between trade liberalization and other
societal values and interest;
5. Aturan mengenai perlakuan khusus dan berbeda terhadap
negara berkembang atau the rules on special and
differential treatment for developing countries; dan
6. Beberapa aturan mengenai institusi dan hal-hal prosedural
yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan
penyelesaian sengketa.69
Aturan-aturan dan prinsip-prinsip dasar dalam hukum WTO inilah
yang membentuk apa yang dimaksud dengan multilateral trading system
atau sistem perdagangan multilateral.70 Mengacu terhadap sistem ini,
Peter Sutherland berpendapat bahwa sistem perdagangan multilateral
dengan WTO sebagai pusatnya merupakan sebuah alat yang paling
penting dalam menejemen dan perkembangan ekonomi global.71
69 Peter Van den Bosche, Loc. Cit. hlm.39 70 Ibid. 71 Peter Sutherland, J. Swell & D.Weiner, 2001, Challenges Facing the WTO and Policies to Adress Global Governance, United Nations University Press, Tokyo, hlm.81
29
2.3. Sumber Hukum Dari Hukum World Trade Organization
Sumber hukum WTO yang paling utama yaitu The Marrakesh
Agreement Establishing the World Trade Organization atau Perjanjian
Marrakesh yang disetujui pada tanggal 15 April 1994 dan mulai berlaku
pada 1 Januari 1995. Sumber hukum lain dari hukum WTO juga termasuk
didalamnya adalah laporan penyelesaian sengketa dibawah naungan WTO,
undang-undang badan-badan WTO, persetujuan dalam konteks WTO,
hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum hukum, perjanjian
internasional, praktek-praktek yang dilakukan terus-menerus oleh anggota
WTO, pendapat dan ajaran penulis yang paling bekualifikasi dan sejarah
negosiasi.72
2.4. The Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan Hukum WTO
Tujuan utama daripada pembentukkan The Plain Packaging Act
2011 adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Australia dan
untuk memenuhi kewajiban Australia sebagai anggota FCTC dengan cara
mengurangi niat masyarakat Australia untuk mulai merokok. Australia
menerima beberapa kewajiban setelah menjadi anggota FCTC yang
berkaitan dengan pengemasan produk tembakau dan pengiklanan produk-
produk tembakau. Secara singkat kewajiban yang diterima Australia
mengenai pengemasan produk tembakau dan pengiklanannya antara lain
meliputi hal-hal seperti mengambil langkah-langkah efektif dalam
72 Van Den Bosche, Op. Cit., hlm.44
30
memastikan bahwa kemasan produk tembakau dan pelabelannya tidak
mempromosikan produk tembakau dengan cara apapun yang menyesatkan,
palsu, menipu atau kemungkinan untuk menciptakan kesan yang salah
tentang karakteristik mengenai efek kesehatan yang ditimbulkan oleh
produk tembakau serta bahayanya.
Kewajiban dibawah FCTC lainnya yaitu mengenai pencetakan
peringatan kesehatan dan informasi yang relevan mengenai produk
tembakau pada tidak kurang dari 30% permukaan utama dari setiap
kemasan produk tembakau dan pelarangan iklan dan sponsor produk
tembakau.
Tujuan dari FCTC untuk mensyaratkan kemasan dan pelabelan
produk tembakau yaitu untuk menghindari penipuan dan penyesatan
mengenai peringatan kesehatan dalam produk tembakau. WHO sendiri
tidak memberikan kewajiban khusus dalam pembatasan penggunaan
merek dagang, meskipun tentu bahwa mungkin saja dalam penggunaan
merek dagang dapat jatuh dalam lingkup penipuan dan penyesatan melalui
kemasan dan label produk tembakau. Namun, pada Pasal 11 FCTC
mengenai Pedoman Pengimplementasian Pengemasan Polos diatur bahwa
para pihak diharuskan untuk mempertimbangkan penerapan penggunaan
kemasan polos.
The Tobacco Plain Packaging Act 2011 sendiri berusaha untuk
mencapai tujuannya dengan mengatur kemasan produk tembakau dan
penampilan produk tersebut untuk mengurangi daya tarik produk
31
tembakau dihadapan para konsumennya. Meskipun demikian, pedoman
mengenai pengimplementasian pengemasan polos ini tidak mengikat
secara hukum. Oleh karena itu, pemerintah Australia dirasa tidak
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh WHO, melainakn untuk
mengadopsi langkah-langkah yang direkomendasikan di bawah FCTC.
Konsistensi pengemasan polos mulai dipertanyakan berkaitan dengan
hukum kekayaan intelektual internasional dan hukum perdagangan
internasional ketika produsen tembakau dibatasi dalam penggunaan merek
dagang mereka.
The Plain Packaging Act 2011 memiliki kemungkinan untuk
bertentangan dengan Konvensi Paris mengenai Perlindungan Kekayaan
Industri (Paris Convention), TRIPS Agreement, TBT Agreement, dan juga
termasuk GATT yang mana perjanjian-perjanjian ini adalah perjanjian
multilateral. Konvensi Wina 1969 dalam Pasal 26 mengatur mengenai
prinsip Pacta Sunt Servanda yang mana mengatakan bahwa setiap
perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan untuk itu harus dilakukan
oleh mereka dengan itikad baik. Dalam melakukan interpretasi perjanjian
multilateral Konvensi Wina 1969 dalam Pasal 31 juga memiliki prinsip
dasar yang mengatur bahwa sebuah perjanjian haruslah ditafsirkan dengan
itikad baik sesuai dengan arti biasa yang diberikan terhadap istilah dalam
konteks perjanjian tersebut dengan mengingat objek dan tujuan dari
perjanjian tersebut.
32
E. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis mempunyai tujuan antara lain
sebagai berikut:
1. Tujuan Subyektif
Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
penulisan hukum guna melengkapi persyaratan akademis dalam rangka
meraih gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada. Lebih lanjut, melalui penulisan hukum ini penulis berharap bahwa
selanjutnya penulis dapat berpikir secara ilmiah, rasional, dan sistematis
apabila melakukan penelitian selanjutnya.
2. Tujuan Obyektif
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mengkaji
bagaimana implikasi dari pengaturan kemasan polos terhadap produk
tembakau yang beredar di Australia melalui The Tobacco Plain Packaging
Act 2011 terhadap kewajiban Australia dalam perdagangan internasional.
Juga menganalisa relevansi antara The Tobacco Plain Packaging Act
Australia terhadap hukum WTO dan justifikasi Australia dengan
berlakunya The Plain Packaging Act 2011.
33
F. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengertian metode merupakan suatu
prosedur atau sebuah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu.73
Sedangkan, Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat mengatakan bahwa, metode penelitian
merupakan pedoman tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,
menganalisis, dan memahami lingkungan yang dihadapinya.74 Sebagai sebuah
kegiatan ilmiah, penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten.75 Soerjono Soekanto juga menambahkan bahwa penelitian hukum juga
didasarkan pada suatu metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari sesuatu satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan suatu
jalan tertentu dalam menganalisisnya.76
Dalam pembahasan selanjutnya merupakan penjelasan mengenai cara-cara
dan langkah yang digunakan oleh penulis dalam rangka pencarian jawaban dari
permasalahan dalam penelitian ini dan juga mengenai cara penulisan dan
penyusunan penulisan hukum ini.
73 Jujun S. Suriasumantri, 2000, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm.330 74 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.43 75 Ibid. hlm.3 76 Ibid. hlm.6
34
2. Jenis Penelitian
Penelitian hukum dengan judul Implikasi Pengaturan Kemasan Polos
Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia
Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan Internasional ini merupakan
sebuah penelitian hukum yuridis-normatif. Penelitian hukum normatif adalah
suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data
dasar yang digolongkan sebagai data sekunder.77 Menurut Soerjono Soekanto,
penelitian normatif mencakup antara lain:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. Penelitian terhadap sistematika hukum;
c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum; dan
d. Penelitian sejarah hukum.78
Penelitian hukum normatif ini akan ditujukan pada penelitian terhadap
sinkronisasi hukum. Penelitian ini dilakukan terhadap suatu perundang-undangan
terterntu ataupun hukum tercatat dan melihat sampai sejuah manakah suatu
hukum positif tertulis serasi atau sejalan dengan hukum positif lainnya baik secara
vertikal ataupun horizontal. Hal ini dapat ditinjau secara vertikal, dengan melihat
apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan
tertentu tidak saling bertentangan satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut
77 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hlm.24 78 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hlm.14
35
pandang hirarki perundang-undangan tersebut. Sedang apabila yang dilakukan
adalah suatu penelitian taraf sinkronisasi secara horisontal, maka yang ditinjau
adalah perundang-undangan yang sederajat. Mengingat yang menjadi sorotan
dalam penelitian hukum ini adalah The Tobacco Plain Packaging Act 2011 yang
merupakan suatu undang-undang di Australia dan hubungannya dengan
kewajiban Australia dalam perdagangan internasional yang diatur dengan
perjanjian internasional maka hal yang diteliti merupakan sinkronisasi antara
peraturan hukum secara vertikal yang mana dikarenakan menurut penulis hukum
internasional kedudukannya lebih tinggi dan hukum nasional kedudukannya
sebagai pelaksana hukum internasional.
3. Sifat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan bersifat deskriptif, yakni suatu penelitian
untuk menerangkan, memperkuat atau menguji dan bahkan menolak suatu teori
atau hipotesa terhadap hasil-hasil penelitian yang ada. Dalam penelitian hukum ini
penulis menganalisa mengenai The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia
dan sinkronisasinya dengan kewajiban Australia dalam perdagangan internasional
yang diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional juga menganalisa pendapat-
pendapat penulis lain dalam membahas mengenai kasus yang sama.
4. Bahan Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini dibagi menjadi tiga yaitu
antara lain, data primer, data sekunder dan data tersier. Bahan hukum primer
36
adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat yang
mana tercakup juga didalamnya antara lain produk hukum nasional maupun
produk hukum internasional.79 Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan
bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan
hukum sekunder berupa penjelesan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
bahan hukum primer.80 Bahan yang ketiga yaitu bahan hukum tersier yang mana
merupakan bahan hukum yang memperjelas dan memberi petunjuk atas bahan
hukum primer dan sekunder.81 Lebih lanjut, mengingat penelitian ini adalah
penelitian mengenai hukum internasional, dalam mengklasifikasi baham hukum
primer dan sekunder peneliti mengacu pada sumber hukum internasional primer
dan sekunder yang diatur dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.
a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini antara
lain meliputi sumber-sumber hukum internasional primer yan antara lain
meliputi:
a. The Framework Convention on Tobacco Control;
b. The World Trade Organization Agreement
i. Annex 1C Agreement on Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement);
ii. Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT
Agreement);
iii. General Agreement on Tariffs and Trade 1994;
79 Sri Mamudji et al., 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.2 80 ibid. hlm30-31 81 Ibid.
37
c. The Paris Convention for the Protection of Industrial Property
1883;
d. Vienna Convention on The Law of Treaties 1969;
e. Hukum Kebiasaan Internasional;
b. Bahan Hukum Subsider menurut Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
yang meliputi:
a. Prinsip-prinsip umum hukum internasional;
b. Putusan pengadilan mengenai kasus yang berhubungan dengan
bahasan penelitian; dan
c. Pendapat para ahli hukum yang berkualifikasi tinggi.
c. Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh peneliti dalam membantu
penelitian ini antara lain meliputi:
a. Buku;
b. Jurnal-jurnal hukum;
c. Makalah;
d. Artikel; dan
e. bahan dari sumber internet yang berhubugan dengan Australia
Tobacco Plain Packaging Act 2011 dan Kewajiban Australia dalam
perdagangan internasional;
d. Bahan hukum tersier yang digunakan peneliti dalam membantu peneliti
menerangkan data primer dan sekunder yang digunakan antara lain
meliputi:
a. Kamus-kamus istilah hukum;
38
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia;
c. Kamus Bahasa Inggris – Indonesia;
e. Penelitian ini juga mengangkat hukum nasional sebagai bahan hukum
yang mana merupakan bahasan utama dari penelitian ini meskipun diluar
dari sumber-sumber hukum yang di sebutkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, yaitu The Tobacco Plain Packaging Act 2011.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode dalam pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum
ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka yang dilakukan melalui penelitian
dari bahan-bahan yang sebagian besar dari bahan tersebut berasal dari data-data
sekunder, yaitu perjanjian internasional yang berkaitan dengan perdagangan
internasional, jurnal hukum internasional, artikel ilmiah, makalah informasi-
informasi yang berkaitan yang bersumber di internet.
6. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam pengolahan data dan analisis data
penelitian hukum ini adalah metode Kualitatif, yaitu sebuah metode analisis data
Deskriptif Analitis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan
dengan pendapat para pakar hukum maupun berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku. Dalam penelitian yuridis-normatif ini hanya
menggunakan sumber-sumber data sekunder hingga menemukan kesimpulan.