bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · berprofesi sebagai guru dengan teori psikologi jawa...

40
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cerita bersambung atau cerbung merupakan salah satu bentuk hasil karya sastra. Karya sastra pada umumnya merupakan sebuah dunia tersendiri yang berusaha dilahirkan kembali oleh pengarang (Dahana, 2001:7). Kelahiran kembali karya sastra oleh pengarang diharapkan mampu memunculkan kenikmatan batin dan penambah khasanah bahasa bagi pembaca. Seorang pengarang mampu mengungapkan hal yang dialaminya maupun yang muncul dari inspirasi kehidupan nyata dan diwujudkan ke dalam bentuk tulisan. Berbagai peristiwa dalam kehidupan nyata diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya. Kompleksitas dan problema manusia hidup dapat ditemui pada karya-karya sastra. Sebuah karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetapi merupakan bangunan struktur yang koheren,dan tetap mempunyai tujuan estetis (Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:3). Jadi fiksi adalah cerita rekaan yang tetap mementingkan tujuan estetik pada peristiwa-peristiwa yang termuat dalam cerita. Pengarang atau penulis memberikan intensinya dalam karyanya. Sebuah karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Karya sastra merupakan penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Karya sastra merupakan gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Karya sastra lahir

Upload: others

Post on 06-Sep-2019

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cerita bersambung atau cerbung merupakan salah satu bentuk hasil karya

sastra. Karya sastra pada umumnya merupakan sebuah dunia tersendiri yang

berusaha dilahirkan kembali oleh pengarang (Dahana, 2001:7). Kelahiran kembali

karya sastra oleh pengarang diharapkan mampu memunculkan kenikmatan batin

dan penambah khasanah bahasa bagi pembaca. Seorang pengarang mampu

mengungapkan hal yang dialaminya maupun yang muncul dari inspirasi

kehidupan nyata dan diwujudkan ke dalam bentuk tulisan. Berbagai peristiwa

dalam kehidupan nyata diangkat oleh pengarang melalui karya-karyanya.

Kompleksitas dan problema manusia hidup dapat ditemui pada karya-karya sastra.

Sebuah karya sastra fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik,

tetapi merupakan bangunan struktur yang koheren,dan tetap mempunyai tujuan

estetis (Wellek & Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:3). Jadi fiksi adalah cerita

rekaan yang tetap mementingkan tujuan estetik pada peristiwa-peristiwa yang

termuat dalam cerita.

Pengarang atau penulis memberikan intensinya dalam karyanya. Sebuah

karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Karya sastra merupakan penjelmaan

perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Karya sastra

merupakan gambaran hasil rekaan seseorang dan menghasilkan kehidupan yang

diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Karya sastra lahir

2

di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya

terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya (Pradopo, 2008:114).

Tinjauan psikologis yang dilakukan peneliti dalam cerbung Ngonceki

Impen karya Sri Sugiyanto merupakan suatu tinjauan aspek psikologis yang

berhubungan dengan sikap, rasa dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh utama

dalam mewujudkan impiannya dalam cerbung Ngonceki Impen yaitu Waskitha.

Hal tersebut menjadikan peneliti tertarik dengan problem-problem yang dialami

oleh tokoh utama Waskitha dalam mewujudkan impiannya.

Konflik yang dihadapi Waskitha antara lain, pertama ia harus menempuh

kuliah lagi karena tuntutan profesi di saat ekonominya belum mapan dan belum

bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kedua, ditengah-tengah kuliah Waskitha

harus membangun rumah sendiri karena rumah yang ia tempati merupakan milik

kerabatnya. Ketiga, Waskitha rela melepaskan kuliahnya demi mewujudkan

impiannya membangun rumah. Biaya yang sedianya untuk keperluan kuliah

dipakai untuk modal membangun rumah.

Pertemuan Waskitha dengan Wirasthi, sosok perempuan yang dulu

pernah menjadi kekasihnya, dan sekarang menjadi dosennya, sedikit banyak

mempengaruhi konflik-konflik psikis dalam diri Waskitha. Konflik yang terakhir

yaitu, setelah Waskitha bisa membangun rumah kemudian datang orang ketiga

yang berniat merusak rumah tangganya. Waskitha tidak pernah menyerah dalam

menghadapi setiap tantangan dan masalah dalam hidupnya. Ia optimis dan

memiliki keyakinan yang kuat bahwa orang yang memiliki pandangan positif

terhindar dari kemungkinan-kemungkinan menemui peristiwa yang tidak

menyenangkan.

3

Optimisme adalah suatu harapan yang ada pada individu bahwa segala

sesuatu akan berjalan menuju ke arah kebaikan (Lopes & Sinder, 2003: 47).

Perasaan optimisme membawa individu pada tujuan yang diinginkan, yakni pada

diri dan kemampuan yang dimiliki. Sikap optimisme menjadikan seseorang keluar

dengan cepat dari permasalahan yang dihadapi karena adanya pemikiran dan

perasaan memiliki kemampuan. Juga didukung anggapan bahwa setiap orang

memiliki keberuntungan sendiri-sendiri.

Sri Sugiyanto menekuni hobi menulis sejak duduk di bangku SMP.

Karya-karya Sri Sugiyanto yang telah dimuat dan dipublikasikan antara lain:

cerkak “Randha Kembang” (1981) dalam majalah Panjebar Semangat, cerkak

“Impen Kang Mranggas” (2015) dalam majalah Panjebar Semangat, Karya dalam

bentuk cerbung, antara lain: cerita bersambung yang berjudul “Janggrung”

(2006) dalam majalah Panjebar Semangat, telah diteliti oleh Nur Cahyo Wahyu

Broto dari UNS dengan tinjauan kritik sastra ekspresif, cerita bersambung

berjudul “Nglacak Singlon Sardula Krodha” (2000) dalam majalah Panjebar

Semangat, dan “Ngonceki Impen” (2014) dalam majalah Panjebar Semangat.

Karyanya yang berbentuk novel antara lain: Novelette yang berjudul “Titisan

Derai Kasih” (2000) dalam Majalah FEMINA dan ”Selendang Buat Inuk” (2002)

dalam Majalah FEMINA.

Ngonceki Impen merupakan salah satu karya Sri Sugiyanto yang berbentuk

cerbung. Cerbung Ngonceki Impen ini menjadi salah satu koleksi di Monumen

Pers Nasional, Surakarta. Cerbung Ngonceki Impen dimuat dalam majalah

Panjebar Semangat pada edisi nomor 10, tanggal 8 Maret 2014 sampai dengan

edisi nomor 33, tanggal 16 Agustus 2014 sebanyak 24 episode. Setiap episode

4

dalam cerbung ini disertai dengan gambar ilustrasi dan kutipan beberapa baris

kalimat yang ditulis menggunakan huruf Jawa, yang menunjukkan intisari cerita

per episodenya sehingga pembaca lebih mudah memahami jalannya cerita.

Cerbung Ngonceki Impen merupakan karya fiksi yang menarik,

menggunakan latar belakang kehidupan pedesaan yang masih tradisional,

kekeluargaan, dan norma serta etika masih dijunjung tinggi. Pengarang

mengusung topik keluarga dengan tokoh utama Waskitha sebagai kepala keluarga.

Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh Waskitha ini menimbulkan aspek-

aspek psikologi berupa rasa, sikap dan kepribadian dalam setiap menemui

persoalan. Sikap dan optimisme tokoh utama menjadi hal pokok yang digunakan

dalam penelitian ini. Pengarang menunjukkan kreativitas dalam cerbung Ngonceki

Impen dengan membawa topik keluarga kecil yang belum mapan dalam ceritanya

sehingga pembaca merasa seolah-olah berada dalam cerita tersebut dan

menyesuaikan dengan kehidupan nyata sekarang ini. Cerbung Ngonceki Impen

ditinjau dari segi isi dan bahasa sangat baik dan tertata sehingga para pembaca dan

penikmat sastra dengan mudah bisa memahami dan menikmati dari paparan para

tokoh dan paparan langsung sehingga mempunyai ruang pengolahan karakter

lebih kompleks. Gaya yang dipaparkan Sri Sugiyanto melalui karakter, alur, dan

latar dalam cerbung Ngonceki Impen seakan pembaca lebih dekat dengan konflik

yang terjadi dan dialami Waskitha dalam cerita.

Penelitian terhadap cerbung Ngonceki Impen penting untuk diteliti atas

dasar: pertama, dari segi isi pengarang menampilkan sesuatu yang baru, yaitu

kehidupan berumah tangga dan tantangan hidup di jaman serba modern. Kedua,

cerbung Ngonceki Impen belum pernah diteliti secara akademik menggunakan

5

teori sastra. Cerbung ini menarik untuk dijadikan objek penelitian dengan tinjauan

psikologi sastra, karena menghadirkan kepribadian dan karakter tokoh utama yang

berprofesi sebagai guru dengan teori psikologi Jawa Ki ageng Suryamentaram.

Cerbung Ngonceki Impen, dilihat dari unsur-unsur strukturnya, terdapat suatu

jalinan yang utuh dan mudah dimengerti.

Manfaat dari penelitian ini yaitu manfaat secara teoritis dan secara

praktis. Manfaat secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu

khasanah pengetahuan dan dapat memberikan gambaran sebuah pendekatan yang

dapat dipergunakan terhadap obyek-obyek penelitian karya fiksi lainnya, yang

dalam hal ini menggunakan pendekatan struktural dimana keterkaitan antar unsur

pembangunnya lebih ditekankan, sehingga mampu mempertajam suasana

akademis bagi pembacanya. Manfaat secara praktis penelitian ini diharapkan

dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dan penikmat pada

umumnya serta dapat dijadikan perbandingan untuk penelitian lain yang sejenis.

Mengingat isi cerbung Ngonceki Impen menunjukkan adanya profil

kepribadian seorang yang memiliki rasa optimis, maka peneliti tertarik untuk

mengkaji cerbung ini dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini berjudul

“Optimisme Tokoh Utama dalam Cerita Bersambung Ngonceki Impen Karya Sri

Sugiyanto (Suatu Tinjauan Psikologi Sastra)”.

6

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah berkaitan dengan apa yang diharapkan sesuai dengan

tujuan yang hendak dicapai. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya

Sri Sugiyanto yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema,

dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme,

ironi)?

2. Bagaimanakah kejiwaan tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya

Sri Sugiyanto menurut teori psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram?

3. Bagaimanakah keadaan optimisme tokoh utama dalam cerbung Ngonceki

Impen karya Sri Sugiyanto?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian berfungsi untuk menjawab rumusan masalah yang

sudah ditemukan. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Memaparkan struktur yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya Sri

Sugiyanto yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan

sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme,

ironi).

2. Memaparkan dan mengungkapkan kejiwaan tokoh utama dalam cerbung

Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto menurut psikologi Jawa Ki Ageng

Suryamentaram.

7

3. Memaparkan dan mengungkapkan sikap optimis tokoh utama dalam

cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.

D. Batasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan supaya inti permasalahan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini tidak meluas. Penelitian terhadap cerbung Ngonceki

Impen karya Sri Sugiyanto terlebih dahulu dianalisisi menggunakan pendekatan

struktural menurut Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta cerita (alur, karakter,

latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone,

simbolisme, ironi). Langkah selanjutnya menganalisis psikologi sastra

menggunakan teori kramadangsa Ki Ageng Suryamentaram. Pendekatan

psikologi sastra dalam penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejiwaan tokoh

utama yang terkandung dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.

Kemudian menganalisis sikap optimis pada tokoh utama yang terdapat dalam

cerbung Ngonceki Impen menggunakan teori optimisme yang dikemukakan

Seligman dan Ginnis.

E. Teori

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologi teori

berarti kontemplasi terhadap kosmos dan relitas. Pada tataran yang lebih luas,

dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian,

konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori

tertentu dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Tujuan akhir suatu ilmu

adalah melahirkan sebuah teori (Ratna, 2012:1). Meskipun demikian, sebuah

8

teori, dengan tingkat keumuman yang tinggi dapat dimanfaaatkan untuk

memahami pendekatan-pendekatan teori.

Teori dan pendekatan merupakan salah satu bagian penting dalam

melakukan suatu penelitian, agar sesuai dengan objek yang akan diteliti.

Penelitian pada cerbung Ngonceki Impen karya Sri Surgiyanto membutuhkan teori

yang digunakan terkait dengan permasalahan yang akan dibahas. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini antara lain pendekatan struktural Robert Stanton,

teori psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram, dan teori optimisme menurut

Selligman dan Ginnis.

1. Cerbung

Cerita bersambung atau cerbung adalah suatu cerita atau karangan yang

dimuat tidak hanya sekali saja pada suatu majalah atau media lainnya,

melainkan dimuat beberapa kali. Cerita bersambung sangat panjang karena

teknik penceritaan yang mendetail antara satu kejadian dengan kejadian lain

serta penuturan sari satu bagian ke bagian dalam cerita bersambung. Setiap

satu episode dimuat dalam satu majalah yang terbit, dan episode berikutnya

dimuat dalam majalah yang terbit berikutnya pula.

Cerita bersambung merupakan hasil karya pengarang Jawa Modern dan

menjadi genre sastra dalam khasanah kesusastraan Jawa baru yang mendapat

dukungan dari berbagai pihak. Cerbung sebagai sebuah karya sastra,

menawarkan banyak permasalahan dalam kehidupan. Pengarang menghayati

berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian

9

diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya

(Nurgiyantoro, 2002: 2).

Cerita bersambung merupakan awal dari perkembangan novel Jawa

modern yang dimuat dalam beberapa majalah dan surat kabar (Hutomo, 1975:

5). Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam kaitannya

dengan perkembangan novel Jawa Modern, cerita bersambung mempunyai

peranan penting sebagai salah satu karya sastra Jawa yang dapat dijadikan

sebagai objek penelitian. Cerita bersambung memiliki struktur yang sama

dengan novel, cerita pendek ataupun roman, yakni memiliki tema, amanat,

penokohan, alur dan latar dalam cerita. Perbedaan antara cerita bersambung

dengan karya sastra lainnya yaitu cerita bersambung setiap episodenya dimuat

secara urut dalam majalah atau media lain, sedangkan cerita pendek, roman

atau novel tidak disajikan secara periodik.

2. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan langkah kerja yang tidak boleh

ditinggalkan dalam penelitian, karena struktural merupakan kerangka pokok

bangunan dari sebuah karya sastra. Struktur karya sastra tidak berdiri sendiri

dan terpisah, melainkan berkaitan erat dalam suatu kesatuan utuh. Karya

sastra baik fiksi atau non fiksi, menurut kaum strukturalisme merupakan

sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh unsur pembangunnya.

Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan

gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara

10

bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro,

2010: 36).

Analisis struktural terhadap sebuah karya fiksi dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar

unsur intrinsik. Pendekatan struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar

mendalami unsur-unsur tertentu dalam karya sastra, namun lebih penting

adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur dan sumbangan apa

yang diberikan terhadap sastra, yaitu tema, amanat, penokohan, setting, dan

alur memberikan sebuah gambaran bagi para pembaca (Nurgiyantoro, 2010:

37). Kesimpulan yang dapat ditarik dari pendapat di atas bahwa pendekatan

struktural merupakan pendekatan yang menganalisis dan mengidentifikasi

unsur-unsur intrinsik sebuah karya sastra berupa tema, alur, penokohan, latar,

amanat, dan mencari hubungan antarunsur tersebut.

Teori yang digunakan dalam menganalisis struktur cerita bersambung

Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yaitu teori fiksi Robert Stanton. Analisis

strukturalnya yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi penokohan, alur, latar,

kemudian tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut

pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi (Stanton, 2007: 20).

a. Fakta-Fakta Cerita

Fakta-fakta cerita meliputi alur, karakter, dan latar. Ketiga aspek

tersebut berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita.

11

1) Alur

Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang

terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang

menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak

dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya

(Stanton, 2007: 26).

Menurut Stanton (2012: 28) alur merupakan tulang punggung cerita.

Alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang ditulis panjang

lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya

dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang

mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama

halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri,

alur hendaknya memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata,

meyakinkan dan logis, serta dapat menciptakan bermacam kejutan,

memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan.

Dua elemen dasar yang membangun alur adalah „konflik‟ dan

„klimaks‟. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki „konflik internal‟

yang hadir melalui hasrat dua orang atau seorang karakter dengan

lingkungannya. „Klimaks‟ adalah saat konflik terasa sangat intens

sehingga penyelesaian tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik

yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan

bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Klimaks utama sering

12

berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler (Stanton, 2007:31-

32).

2) Karakter

Karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,

karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita.

Konteks kedua, karakter merujuk pada berbagai percampuran dari

berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-

individu tersebut. Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu „karakter

utama‟ yaitu karakter yang terkait/ menjadi pusat dengan semua peristiwa

yang berlangsung dalam cerita. Alasan seorang tokoh untuk bertindak

sebagaimana yang dilakukan dinamakan „motivasi‟. Motivasi dibagi

menjadi dua yaitu „motivasi spesifik‟ dan „motivasi dasar‟. Motivasi

spesifik seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan yang mungkin

juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu.

Sedangkan motivasi dasar adalah suatu aspek umum dari satu karakter atau

dengan kata lain hasrat dan maksud yang memandu sang karakter dalam

melewati keseluruhan cerita. Arah yang dituju oleh motivasi dasar adalah

arah tempat seluruh motivasi spesifik bermuara. Karakterisasi dapat dilihat

dalam bukti-bukti penafsiran nama karakter, deskripsi eksplisit, komentar

pengarang maupun komentar tokoh lain (karakter minor) (Stanton, 2012:

33-35).

Setiap tokoh memiliki wataknya sendiri-sendiri. Tokoh berkaitan

dengan orang atau seseorang sehingga perlu penggambaran yang jelas

13

tentang tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh dapat diklasifikasikan sebagai

berikut.

a) Berdasarkan segi peranan dalam cerita, dapat dibedakan menjadi

tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama merupakan tokoh

yang dominan dan diutamakan dalam cerita, sedangkan tokoh

tambahan merupakan tokoh yang frekuensi kemunculannya lebih

sedikit dibandingkan tokoh utama.

b) Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh, dapat dibedakan menjadi

tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis merupakan tokoh

heroik yang menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan/ harapan

kita (pembaca), sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab

terjadinya konflik.

c) Berdasakan perkembangan perwatakan, dapat dibedakan menjadi

tokoh bulat dan tokoh pipih/sederhana. Tokoh bulat adalah tokoh

tokoh kompleks yang memiliki karakter berubah-ubah dan dapat

diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian

dan jati dirinya. Tingkah lakunya sering tak terduga dan memberikan

efek kejutan pada pembaca, sedangkan tokoh pipih/ sederhana

merupakan tokoh yang hanya memiliki satu sifat/watak tertentu saja.

Tidak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek

kejutan bagi pembaca. Sifatnya datar, monoton, hanya

mencerminkan satu watak tertentu (Nurgiyantoro, 2005: 176-182).

14

3) Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam

cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang

berlangsung. Latar dapat berwujud dekor, waktu-waktu tertentu (hari,

bulan, tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung

merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang

yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2012: 35).

b. Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam

pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu

diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau

emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan,

keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan

usia tua (Stanton, 2012: 36-37).

Robert Stanton (2012: 37) menyatakan bahwa tema merupakan

pernyataan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita

yang mengolah emosi karakter-karakternya. Istilah yang digunakan ada tiga,

yaitu „tema‟, „gagasan utama‟, dan „maksud utama‟ secara fleksibel, tergantung

pada konteks yang ada. Sama seperti makna pengalaman manusia, tema

menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan

ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Sekali lagi, sama seperti makna

pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu,

15

mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas,

sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema.

c. Sarana-Sarana Sastra

Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih

dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode

semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta

melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut

sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Sarana-sarana paling signifikan di

antara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik utama,

dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan „kesatuan organis‟ cerita. Ketiga-

tiganya terhubung demikian erat, ketiganya menjadi fokus cerita itu sendiri

(Stanton, 2012:51). Sarana-sarana sastra meliputi judul, sudut pandang, gaya

atau tone, simbolisme, dan ironi.

1) Judul

Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga

keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika

judul mengacu pada sang karakter utama atau latar tertentu (Stanton,

2012:51).

2) Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan pusat kesadaran tempat kita dapat

memahami setiap peristiwa dalam cerita. Posisi ini memiliki hubungan

yang berbeda dengan tiap cerita, di dalam atau di luar satu karakter,

menyatu atau terpisah secara emosional.

16

Menurut Stanton (2012:53), dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi

menjadi empat tipe utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa

kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas.

Variasi pada „orang pertama-utama‟, sang karakter utama bercerita dengan

kata-katanya sendiri. Variasi pada „orang pertama-sampingan‟, cerita

dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Variasi pada

„orang ketiga-terbatas‟, pengarang mengacu pada semua karakter dan

memposisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa

yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja.

Pada „orang ketiga-tidak terbatas‟, pengarang mengacu pada setiap

karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat

membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berfikir atau saat

ketika tidak ada satu karakter pun hadir.

3) Gaya dan Tone

Gaya adalah cara pandang pengarang dalam menggunakan bahasa.

Campuran dari berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek

kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora

(dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya. Satu elemen yang amat

terkait dengan gaya adalah tone. Tone adalah sikap emosional pengarang

yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa nampak dalam berbagai wujud,

baik ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh

perasaan (Stanton, 2012:63).

17

4) Simbolisme

Salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak

nyata adalah melalui „simbol‟, simbol berwujud detail-detail konkret dan

faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi

dalam pikiran pembaca. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur

hingga latar cerita seperti satu objek, beberapa objek bertipe sama,

substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal

tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian seorang

manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa

muda (Stanton, 2012:64).

Menurut Stanton (2012:64) simbolisme dapat memunculkan tiga

efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol

bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu

kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut.

Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita

akan beberapa elemen konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah

simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita

menemukan tema.

5) Ironi

Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan

bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.

Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang

dikategorikan „bagus‟). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat

memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-

18

efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan

struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema

(Stanton, 2012:71).

Menurut Stanton (2012:71), ada dua jenis ironi yang dikenal luas

yaitu „ironi dramatis‟ dan „tone ironis‟. Ironi dramatis atau ironi alur dan

situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan

realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau

antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-

elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui

hubungan kasual atau sebab-akibat). Tone ironis atau ironi verbal

digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna

dengan cara berkebalikan.

Penggunaan teori fiksi Robert Stanton dalam penelitian ini dikarenakan

teori Robert Stanton lebih lengkap dibanding teori yang lain. Yang dimaksud

lengkap yakni dalam suatu karya sastra tidak hanya terpaut pada struktural

dasar seperti tema, karakter, alur, amanat, dan lain sebagainya, melainkan

terdapat simbol-simbol atau tone yang ingin disampaikan pengarang melalui

tokoh atau cerita.

3. Ilmu Jiwa Kramadangsa Ki Ageng Suryometaram

Psikologi kepribadian dalam istilah Jawa yang dipakai Ki Ageng

Suryametaram ialah pangawikan pribadi yang berarti pengetahuan diri

sendiri (Fudyartanto, 2003: 102).

19

Orang Jawa umumnya hidup dalam dunia kejiwaan yang dalam.

Penguasaan kejiwaan yang matang dan terlatih inilah yang membedakan

psikologi Jawa dengan psikologi yang lain. Psikologi Jawa yang banyak

memberikan dasar pemahaman hidup melalui aspek kejiwaan adalah Ki

Ageng Suryametaram (Endaswara, 2006: 211-212). Menurut Ki Ageng

Suryamentaram struktur kejiwaan manusia salah satunya terdiri atas keakuan

kramadangsa.

Keakuan kramadangsa: Kepribadian Manusia. Bahwa diri manusia itu

mempunyai rasa keakuan atau rasa pribadi yang berfungsi sebagai rasa

individualitas atau rasa aku selaku individu, sebagai seseorang tertentu. Rasa

keakuan itu menunjukkan rasa yang sifatnya sangat pribadi, tidak dapat

diwakilkan pada orang lain (Fudyartanto, 2003: 108-109). Namun, keakuan

kramadangsa ini bukan berarti inti pribadi manusia, melainkan hanya

identitas yang menempel saja sebagai hasil pengalaman pribadi manusia pada

masa lalu. Suryametaram mengatakan:

“Awakipun piyambak (Kramadangsa) punika wategipun pribadi,

tegesipun wonten nggen raos boten saged nyambat lan boten saget

wakil. Upami, tiyang sakit untu punika boten saged wakil lan boten

saged nyambat lan sakit untu wau mesthi dipunrasoaken piyambak.

Mila kraos pribadi punika mesthi sakeca pribadi lan boten marduli

tiyang sanes sanajan bojonipun.” (Suryometaram, 1989:107)

Terjemahan:

“Diri pribadi (Kramadangsa) adalah sifatnya pribadi, artinya adanya

rasa tidak dapat mengeluh dan diwakilkan. Seumpama orang sakit

gigi itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat mengeluh dan sakit

gigi tadi pasti hanya dirasakan sendiri. Oleh karena itu rasa pribadi

itu pasti seenaknya sendiri dan tidak memperdulikan orang lain

walaupun istri/suaminya.” (Suryometaram, 1989:107)

20

Keakuan kramadangsa terdiri dari dua unsur, yaitu:

1) Catatan (cathetan)

Catatan adalah segala hal yang tercatat dan mengendap dalam batin,

yang berasal dari pengalaman sejak lahir sampai mati. Catatan tidak lain

merupakan segala berkas-berkas ingatan mengenai semua hal yang pernah

dialami oleh seseorang semasa hidupnya. Catatan hidup terus dalam batin

manusia walaupun tidak disadarinya (Frudyartanto, 2003: 09).

2) Rasa hidup

Rasa hidup adalah rasa yang timbul disebabkan adanya kebutuhan-

kebutuhan kodrati dalam diri manusia. Kebutuhan kodrati ada dua macam,

ialah kebutuhan untuk melangsungkan hidup dan kebutuhan untuk

melangsungkan jenisnya (Fudyartanto, 2003: 113-114).

a) Rasa senang dan rasa susah (Raos bingah-susah)

Ki Ageng Suryametaram mengatakan:

“Lha tiyang ingkang murugaken bingah punika karep

kalampahan, karep kalampahan punika bingah, inggih punika

raosing manah sakeca, lega, marem, ayem, gembira, bingar.

Mangka, karep punika yen kalampahan, mesthi lajeng mindhak,

inggih lajeng boten kalampahan, la susah, mila bungah punika

boten saged ajeg. Mangke yen mulur punika kalampahan,

inggih lajeng mulur malih.” (Suryametaram, 1989: 9)

Terjemahan:

“Lha orang yang merasakan bahagia itu keinginan terpenuhi,

keinginan terpenuhi itu bahagia, yaitu rasanya hati enak, lega,

puas, tentram, gembira, berseri-seri. Padahal, keinginan itu jika

terpenuhi, pasti kemudian meningkat, iya kemudian tidak

terpenuhi, la susah, maka bahagia itu tidak bisa terus-menerus.

Nanti jika meningkat tersebut terpenuhi, iya kemudian

meningkat lagi.” (Suryametaram, 1989:9)

21

Ki Ageng Suryametaram juga mengatakan:

“Lha tiyang ingkang murugaken susah punika karep boten

kalampahan, karep boten kalampahan punika susah, inggih

punika raosing manah boten sekeca, gela, cuwa, kagol, muring,

wirang, sakit, risi. Mangka karep punika yen boten kalampahan,

mesthi lajeng mungkret, lajeng mlorot, tegesipun ingkang

dipunkarepaken lajeng suda, inggih lajeng kalampahan, la

bingah, mila susah punika boten saged ajeg. Mangke yen

mungkret punika boten kalampahan, inggih lajeng mungkret

malih. Ungkreting karep punika mesthi dumugi ingkang

dipunkarepaken, mesthi saged kalampahan, tegesipun ingkang

dipunkarepaken apa anane, sa anane, la inggih lajeng

kalampahan, la bingah, mila susah punika boten saged ajeg.

(Suryametaram, 1989:12)

Terjemahan:

“Lha orang yang merasakan susah itu keinginan tidak

terlaksana, keinginan tidak terlaksana itu susah, yaitu rasanya

hati tidak enak, sakit hati, kecewa, kagol, marah, malu, sakit,

kikuk. Padahal keinginan itu jika tidak terlaksanan, pasti

kemudian menyusut, kemudian melorot, artinya yang diinginkan

kemudian berkurang, dan kemudian terpenuhi, la bahagia, maka

susah itu tidak bisa terus-menerus. Nanti kalau menyusut

tersebut tidak terpenuhi, iya kemudian menyusut lagi.

Menyusutnya keinginan pasti sampai pada yang diinginkan,

pasti bisa terpenuhi, artinya yang diinginkan apa adanya,

seadanya, la iya kemudian terpenuhi, la bahagia, maka susah itu

tidak bisa terus-menerus. (Suryametaram, 1989:12)

Kutipan di atas mengatakan bahwa, kehidupan manusia

selalu diikuti dengan perasaan susah dan senang yang silih

berganti. Susah dan senang ini terjadi karena adanya keinginan,

keinginan yang terpenuhi menimbulkan rasa senang, akan tetapi

rasa senang itu hanya sementara karena, keinginan tersebut pasti

akan mulur. Sedangkan rasa susah dirasakan apabila keinginan

tidak dapat terpenuhi, pada akhirnya keinginan akan mungkret,

sehingga dapat terpenuhi dan kemudian merasakan senang.

22

b) Rasa sama (raos sami)

Jika orang dapat mengerti keinginannya sendiri, maka akan

mencapai rasa sama. Sebab siapa saja dan dimana saja, rasa hidup

orang tentu sama, yakni sebentar susah, sebentar senang. Hal ini

terjadi karena semua orang mempunyai keinginan, dan semua

keinginan bersifat sama (Frudyartanto, 2003:122).

Suryametaram mengatakan,

“Dados raosing gesang tiyang sajagat punika sami mawon,

inggih punika mesthi gek bungah, gek susah, gek bungah, gek

susah. Sanajan tiyang sugih, sanajan tiyang mlarat, sanajan

ratu, sanajan kuli, sanajan wali, sanajang bajingan, raosing

gesang inggih sami mawon, inggih mesthi gek bungah, gek

susah, gek bungah, gek susah. Raosing bungah susah, dangu

sakedhaping bungah susah, sangeting bungah susah, punika

ingkang sami mawon, dene ingkang dipunbungahi, ingkang

dipunsusahi, punika ingkang beda-beda.” (Suryametaram,

1989:14)

Terjemahan:

“Jadi rasanya hidup orang sedunia itu sama saja, yaitu pasti

senang, lalu susah, lalu senang, lalu susah. Walaupun orang

kaya, walaupun orang miskin, walaupun ratu, walaupun kuli,

walaupun wali, walaupun bajingan, rasanya hidup iya sama saja,

iya pasti senang, lalu susah, lalu senang, lalu susah. Rasanya

senang susah, lama sebentarnya senang susah, sangatnya senang

susah, tersebut yang sama saja, tapi yang membuat senang, yang

membuat susah, itu yang berbeda-beda.” (Suryametaram,

1989:14)

c) Rasa damai (raos tentrem)

Menurut Ki Ageng Suryomentaram rasa damai, rasa tentram

itu dapat tercapai jika orang dalam semua hal bertindak seenaknya

(segala sesuatu dihadapi dengan enak), sebutuhnya (segala sesuatu

dipenuhi menurut kebutuhannya), seperlunya (segala sesuatu

23

dilakukan karena memang perlu), secukupnya (segala sesuatu

diinginkan dan dilakukan secukupnya, tidak lebih tidak kurang),

semestinya (sesuai dengan aturan), dan sebenarnya (dilakukan

dengan benar).

“Yen mangertosi, yen raosing gesang tiyang sajagat punika

sami mawon, tiyang lajeng luwar saking naraka meri pambegan

lan manjing swarga tentrem, tegesipun: apa-apa sakepenake,

sabutuhe, saperlune, sacukupe, samestine, sabenere.”

(Suryametaram, 1989: 19)

Terjemahan:

“Jika mengerti, jika rasanya hidup orang sedunia itu sama saja,

orang lalu keluar dari neraka iri sombong dan masuk surga

damai, artinya apa-apa se-enaknya, sebutuhnya, seperlunya,

secukupnya, semestinya, sebenarnya.” (Suryametaram, 1989:19)

d) Rasa tabah (raos tatag)

Tabah artinya berani menghadapi segala hal, baik hal-hal

yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan

(menyusahkan) (Frudyartanto, 2003:124).

Suryametaram menerangkan,

“Yen mangertos, yen tiyang punika langgeng, tiyang lajeng

luwar saking naraka getun sumelang lan manjing swarga tatag,

tegesipun „apa-apa ya wani‟. Dados tiyang sugih, tatag lan

dados tiyang mlarat, tatag.” (Suryametaram, 1989:28)

Terjemahan:

“Jika mengerti, jika orang itu abadi, orang kemudian keluar dari

neraka kecewa dan khawatir lan masuk surga tabah, artinya

„apa-apa ya berani‟. Jadi orang kaya, tabah dan jadi orang

miskin, tabah.” (Suryametaram, 1989:28).

24

e) Rasa iri dan sombong (raos meri–pambegan)

Menurut Suryametaram (1989:15), rasa iri dan sombong

adalah:

“Meri punika rumaos kawon tinimbang liya lan pambegan

punika rumaos menang tinimbang liya.”

Terjemahan:

Iri adalah merasa kalah dengan orang lain dan sombong itu

merasa menang dibanding dengan orang lain.

Rasa iri dan sombong timbul, karena orang tidak mengerti

akan kebenaran hidup. Orang yang iri dan sombong bercita-cita

untuk asal dapat melebihi orang lain dalam segala hal. Jika usaha

tersebut gagal, maka kesalah hatinya, lalu timbullah rasa dendam

dan berusaha sekuat tenaga untuk menjatuhkan orang lain yang

melampaui dirinya (Frudyartanto, 2003:125).

f) Rasa sesal dan khawatir (raos getun – sumelang)

Suryametaram mengutarakan bahwa:

“Getun punika ajrih dhateng lelampahan ingkang sampun

kalampahan. Sumelang punika ajrih dhateng lelampahan

ingkang dereng kelampahan.” (Suryametaram, 1989: 23)

Terjemahan:

“Sesal itu takut pada perbuatan yang sudah terjadi. Khawatir itu

takut pada perbuatan yang belum terjadi.” (Suryametaram,

1989:23)

25

Rasa sesal adalah rasa takut terhadap pengalaman yang telah

terjadi; dan rasa khawatir adalah rasa takut pada pengalaman yang

belum terjadi, kalau-kalau menimbulkan keadaan celaka

(Frudyartanto, 2003: 126).

g) Rasa bebas

Ki Ageng Suryamentaram memberi pengertian bahwa rasa

bebas adalah rasa tidak bertentangan (konflik). Apabila orang

melihat sesuatu dan mengerti sifatnya, ia akan merasa bebas; yakni

tidak berselisih dengan yang dilihat dan dimengerti. Melihat dan

mengerti itu tidak hanya melalui panca indera, tetapi juga rasa hati

atau pikiran. (Ki Ageng Suryamentaram, 1978:5).

Dalam bahasa Jawa, dipakai sikap laku “tepa salira”,

tenggang rasa. Sikap laku “tepa salira” ini berguna untuk

berinteraksi dan dan menghadapi orang lain, dan harus tahu

perasaan-perasaan orang lain. Cara untuk mengetahui perasaan

orang lain adalah harus lebih tahu perasaan diri sendiri. Jika

mengerti perasaan orang lain, maka hubungan dan pergaulan

dengan orang lain menjadi bebas, dan tidak akan ada perasaan yang

bersinggungan.

Jika dilihat dari pembagian kejiwaan (psikoanalisis) Freud, ketika

kramadangsa telah meluas menjadi nafsu diri yang baik disebut Id. Id adalah

kepribadian “gelap” alam bawah sadar. Yakni sebuah insting yang

menggerakkan energi buta. Id kadang-kadang kurang rasional. Berbeda

dengan Ego (aku) yang cara bersikap dan bertindak masih dalam batas

26

kenyataan. Id dan Ego akan dikontrol oleh Super Ego akan selalu

dimonitoring oleh Kramadangsa. Ketiganya bersifat labil, kadang senang dan

kadang susah (Endraswara, 2006: 217).

4. Teori Optimisme

Manusia sebagai makhluk yang berkembang dan aktif berbuat dan

bertindak sesuai dengan adanya faktor-faktor yang datang dari luar dirinya

dan juga dari dalam diriya. Karena itu faktor yang ada di dalam diri manusia

tersebut akan ikut menentukan perbuatannya (Walgito, 1997: 52). Dalam

dirinya, manusia berbuat sesuatu karena didorong oleh suatu kekuatan yang

datang dalam dirinya yang menjadi pendorong untuk berbuat. Salah satu

dorongan yang ada dalam diri manusia itu adalah berpikir.

Seseorang berpikir bila menghadapi permasalahan atau persoalan.

Tujuan berpikir adalah memecahkan masalah tersebut. Karena itu sering

dikemukakan bahwa berpikir itu adalah merupakan aktivitas psikis yang

dimensional, berpikir tentang sesuatu. Dalam pemecahan masalah tersebut

orang memungkinkan satu hal yang lain hingga dapat mendapatkan

pemecahannya (Walgito, 1997: 43-50). Dalam berpikir ini, seseorang bisa

memunculkan suatu optimisme dalam dirinya.

Pola berpikir bisa dibedakan menjadi dua yaitu, pola berpikir positif

dan pola berpikir negatif. Dalam menghadapi permasalahan atau peristiwa

yang tidak mengenakkan peran pola pikir ini sangat penting. Seseorang yang

menggunakan pola pikir positif dalam menghadapi peristiwa yang tidak

mengenakkan akan bersikap optimis sedangkan apabila menggunakan pola

berpikir negatif akan menimbulkan sikap yang pesimis.

27

Optimisme adalah suatu rencana atau tindakan untuk menggali yang

terbaik dari diri sendiri, bertanggung jawab penuh atas hidup, membangun

cinta kasih dalam hidup dan menjaga agar antusiasme tetap tinggi (Mc.

Ginnis, 1995: 224). Mc. Ginnis menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang

harus mengubah dirinya dari pesimis menjadi optimis melalui rencana

tindakan dan strategi yang ditetapkan sendiri untuk menjaga agar dirinya

terus termotivasi.

a. Ciri-ciri Optimisme

Ginnis dalam bukunya Abnormal Psychology (1995) mengemukakan

bahwa ciri-ciri khas optimis, yaitu :

1) Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang

optimis berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan

yang besar pada hari esok.

2) Mencari pemecahan sebagian. Orang optimis berpandangan bahwa

tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa

ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup

kecil. Orang optimis membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan

yang bisa ditangani.

3) Merasa yakin bahwa individu mempunyai pengendalian atas masa

depannya. Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai

kekuasaan yang besar sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya.

Keyakinan bahwa individu menguasai keadaan ini membantu

mereka bertahan lebih lama setelah lain-lainnya menyerah.

28

4) Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang

menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu

bertahun-tahun adalah individu yang mengambil tindakan secara

sadar dan tidak sadar untuk melawan entropy (dorongan atau

keinginan) pribadi, untuk memastikan bahwa sistem tidak

meninggalkan mereka.

5) Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya

menyela arus pemikirannya yang negatif dan menggantikannya

dengan pemikiran yang lebih logis, mereka juga berusaha melihat

banyak hal sedapat mungkin dari segi pandangan yang

menguntungkan.

6) Meningkatkan kemampuan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia

ini, dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh

dengan hal-hal baik untuk dirasakan dan dinikmati.

7) Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan

mengubah pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan

imajinasinya. Mereka belajar mengubah kekhawatiran menjadi

bayangan yang positif.

8) Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis

berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa

optimis.

9) Merasa yakin bahwa manusia memiliki kemampuan yang hampir

tidak terbatas untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun

29

umurnya, individu mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena

apa yang terbaik dari dirinya belum tercapai.

10) Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita

bicarakan dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting

terhadap suasana hati kita.

11) Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama

mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu

memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan,

dan menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk

mengagumi dan menikmati banyak hal pada diri orang lain

merupakan daya yang sangat kuat yang membantu mereka

memperoleh optimisme.

12) Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang

yang paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang

memiliki hasrat mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri

dengan sistem baru setelah sistem lama tidak berjalan. Ketika orang

lain membuat frustrasi dan mereka melihat orang-orang ini tidak

akan berubah, mereka menerima orang-orang itu apa adanya dan

bersikap santai.

b. Aspek-aspek Optimisme

Untuk mengetahui optimis tidaknya seseorang, dapat diketahui cara

berpikir dia terhadap penyebab terjadinya suatu peristiwa. Ketika individu

biasa melihat penyebab dari suatu peristiwa buruk sebagai sesuatu yang

menetap (stabil), global, dan internal. Misalnya "itu merupakan salah saya",

30

"saya mengira ini terjadi pada saya", "kejadian ini sering menimpa saya",

dapat dikatakan bahwa gaya penjelasan mereka pesimistik. Istilah

pesimistik, karena gaya yang terus menerus menyoroti peristiwa buruk

terjadi dan berlaku pada seluruh usaha nampak ditangkap sebagai apa yang

biasanya diartikan sebagai pesimisme serta melihat hal-hal yang baik dalam

cara yang berbeda dikatakan gaya optimistik (Zullow dkk, 1988: 83).

Seligman (1991: 97) menamakan cara atau gaya yang menjadi

kebiasaan individu dalam menjelaskan kepada diri sendiri mengapa suatu

peristiwa terjadi sebagai gaya penjelasan (explanatory style). Gaya

penjelasan yang dipakai merupakan indikator optimis atau pesimisnya

seseorang. Gaya penjelasan tersebut lebih dari sekedar apa yang dikatakan

seseorang ketika menemui kegagalan melainkan juga merupakan kebiasaan

berpikir yang dipelajari sejak masa kanak-kanak dan masa remaja (Darmaji,

1996: 78). Dasar dari gaya penjelasan tersebut terbentuk melalui cara

pandang terhadap diri dan lingkungannya apakah dirinya merasa berharga

dan layak atau tidak.

Menurut Seligman (1991: 103-105), gaya penjelasan seseorang terdiri

dari tiga aspek yaitu :

1) Permanensi

Permanensi, merupakan gaya penjelasan masalah yang berkaitan

dengan waktu, yaitu temporer dan permanen. Orang yang pesimis akan

menjelaskan kegagalan atau kejadian yang menekan dengan cara

menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dengan kata-kata

"selalu", dan "tidak pernah", sebaliknya orang yang optimis akan

31

melihat peristiwa yang tidak menyenangkan sebagai sesuatu yang

terjadi secara temporer, yang terjadi dengan kata-kata "kadang-kadang",

dan melihat sesuatu yang menyenangkan sebagai sesuatu yang

permanen atau tetap.

2) Pervasivitas

Pervasivitas, adalah gaya penjelasan yang berkaitan dengan

dimensi ruang lingkup, dibedakan menjadi spesifik dan universal.

Orang yang pesimis akan mengungkap pola pikir dalam menghadapi

peristiwa yang tidak menyenangkan dengan cara universal, sedangkan

orang yang optimis dengan cara spesifik. Dalam menghadapi peristiwa

yang menyenangkan, orang yang optimis melihatnya secara universal

atau keseluruhan, sedangkan orang yang pesimis memandang peristiwa

menyenangkan disebabkan oleh faktor-faktor tertentu.

3) Personalisasi

Personalisasi, yaitu gaya penjelasan yang berkaitan dengan sumber

penyebab, intenal dan eksternal. Orang yang optimis memandang

masalah-masalah yang menekan dari sisi masalah lingkungan

(eksternal) dan memandang peristiwa yang menyenangkan berasal dari

dalam dirinya (internal). Sebaliknya, orang yang pesimis memandang

masalah-masalah yang menekan bersumber dan dalam dirinya (internal)

dan menganggap keberhasilan sebagai akibat dari situasi diluar dirinya

(eksternal).

Uraian di atas tersebut terlihat bahwa kebiasaan berpikir negatif

cenderung melemahkan kamampuan individu menghadapi tantangan dan

32

lingkungannya, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dalam optimisme

adalah permanensi (berkaitan dengan waktu), pervasivitas (berkaitan dengan

ruang lingkup), dan personalisasi (berkaitan dengan sumber penyebab).

c. Faktor yang Mempengaruhi Optimisme

Orang pesimis berpikir bahwa setiap masalah timbul akibat

kesalahannya sendiri. Sebaliknya, ketika menghadapi masalah atau

kegagalan, orang optimis akan berpikir bahwa hal itu tidak akan

berlangsung lama dan tidak membuat seluruh segi kehidupannya menjadi

bermasalah.

Menurut Seligman (1991: 124-127), cara berpikir yang digunakan

individu akan mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupannya antara

lain dalam bidang berikut:

a) Pendidikan

Dalam bidang prestasi orang yang pesimis berada dibawah potensi

mereka yang sesungguhnya, sedangkan orang optimis dapat melebihi

potensi yang mereka miliki. Orang yang optimis lebih berhasil daripada

orang yang pesimis meskipun orang yang pesimis itu mempunyai minat

dan bakat yang relatif sebanding.

b) Pekerjaan

Individu yang berpandangan optimis lebih ulet menghadapi berbagai

tantangan sehingga akan lebih sukses dalam bidang pekerjaan

dibandingkan individu yang berpandangan pesimis. Eksperimen

menunjukkan bahwa orang yang optimis mengerjakan tugas-tugas dengan

lebih baik di sekolah, kuliah dan pekerjaan (Seligman, 1991: 124-125).

33

c) Lingkungan

Menurut Clark (dalam Mc. Ginnis, 1995) tumbuhnya optimisme

dipengaruhi oleh pengalaman bergaul dan orang-orang. Mendukung

pendapat Clark, Seligman (1995: 126) menambahkan bahwa kritik pesimis

dari orang-orang yang dihormati, seperti orang tua, guru, dan pelatih akan

membuat individu segera memulai kritik terhadap dirinya dengan gaya

penjelasan yang pesimis pula. Pengalaman berinteraksi antara anak dan

orangtuanya juga mempengaruhi pembentukan gaya penjelasan anak.

Akibat interaksinya sehari-hari itu, gaya penjelasan yang biasa diucapkan

orangtua dalam menjelaskan penyebab terjadinya suatu peristiwa yang

akan ditiru oleh anak.

d) Konsep diri

Individu dengan konsep diri yang tinggi selalu termotivasi untuk

menjaga pandangan yang positif tentang dirinya dan jika individu

memandang hal-hal positif dalam dirinya maka individu tersebut akan

melakukan refleksi diri dan akan merefleksi pengalamannya yang

bermacam-macam dan apa yang dia ketahui sehingga individu dapat

mengetahui dirinya dan dunia sekitarnya (Bandura, 1986: 71).

Pengalaman-pengalaman individu tersebut terdiri atas pengalaman-

pengalaman penguasaan dan ketidakberdayaan. Kegagalan dan

ketidakberdayaan yang melebihi batas, seperti kematian ibu sejak masa

kanak-kanak, penganiayaan fisik, percekcokan orangtua yang terus-

menerus dapat merusak konsep diri seseorang dan dapat merusak

pandangan optimistik. Namun sebaliknya, tantangan tidak terduga yang

34

menghasilkan penguasaan dapat menjadi titik awal perubahan ke dalam

optimisme yang akan berlangsung sepanjang waktu (Seligman, 1995:

127).

F. Sumber Data dan Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan

tindakan, selebihnya merupakan data tambahan seperti dokumen dan lain-lain

(Moleong, 2010: 157). Sumber data dan data terbagi menjadi primer dan

sekunder, sebagai berikut:

1. Sumber Data

Menurut Siswantoro (2004: 140) sumber data primer merupakan

sumber data utama, sedangkan sumber data sekunder merupakan sumber

kedua. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah cerita

bersambung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto yang diterbitkan oleh

majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat pada tanggal 8 Maret sampai

dengan 16 Agustus sebanyak 24 episode. Sumber data sekunder diperoleh

dari informan yaitu Sri Sugiyanto selaku pengarang.

2. Data

Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer dalam penelitian ini adalah isi teks cerbung Ngonceki Impen

karya Sri Sugiyanto berdasarkan unsur-unsur struktural yang meliputi fakta-

fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut

pandang, gaya dan tone, simbolisme, ironi), informasi kejiwaan tokoh utama,

35

dan informasi optimisme tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya

Sri Sugiyanto. Data sekunder atau data pendukung dalam penelitian ini

berupa hasil wawancara dengan Sri Sugiyanto selaku pengarang cerbung

Ngonceki Impen.

G. Metode dan Teknik

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif kualitatif. Metode ini menekankan analisisnya pada proses

penyimpulan deduktif induktif, serta pada analisis terhadap dinamika hubungan

antara fenomena yang diamati. Metode kualitatif yaitu kegiatan penelitian

untuk memperoleh informasi kualitatif dengan deskriptif yang lebih berharga

dari sekunder angka, yang dimaksudkan sebagai penelitian yang temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau angka, tetapi pada prosedur non-

matematis (H. B. Sutopo 2003:88)..

Data-data tulisan dalam cerita bersambung Ngonceki Impen karya Sri

Sugiyanto berupa kata-kata, frasa, klausa, kalimat, atau paragraf akan menjadi

data-data yang dianalisis. Dengan menggunakan metode yang tepat, diharapkan

penelitian terhadap suatu karya dapat menjadi lebih maksimal sehingga

hasilnya pun lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan data yang digunakan maka teknik pengumpulan yang

dilakukan adalah sebagai berikut.

36

a. Teknik Content Analysis

Content analysis atau kajian isi merupakan teknik yang digunakan

untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik

sebuah pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sistematis (Moleong,

2010:163). Teknik ini kerjanya berupa analisis isi yang terdapat dalam karya

sastra. Kumpulan-kumpulan data berupa teks isi yang yang didapatkan

dengan cara membaca, menyimak, mencatat, kemudian mengelompokkan

ke dalam dua kategori.

Kategori pertama didapatkan dengan cara mengungkapkan unsur-unsur

struktur cerita dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto dengan

menggunakan teori struktural Robert Stanton, sehingga mendapatkan data

katagoris yang berupa: fakta-fakta cerita (alur, karakter, latar), tema, dan

sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme,

ironi). Kategori kedua adalah psikologi sastra dengan mengungkapkan isi

karya sastra terutama mengenai kejiwaan serta optimisme dalam cerbung

Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.

b. Teknik Wawancara

Teknik wawancara merupakan teknik yang dipakai untuk memperoleh

informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang

diteliti. Wawancara juga merupakan cara untuk memperoleh data dengan

percakapan, yaitu antara pewawancara dengan yang diwawancarai

(Moleong, 2010:186). Wawancara dilakukan kepada Sri Sugiyanto selaku

pengarang cerbung Ngonceki Impen yang tinggal di RT 1 RW 4 Dusun

Randusari, Desa Ngadirojo Kidul, Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri.

37

Wawancara dilakukan secara terstruktur, artinya pewawancara menyiapkan

pertanyaan berupa daftar pertanyaan sehingga nantinya akan bisa meluas

dan berkembang dengan sendirinya namun tetap terarah dengan proses

perekaman menggunakan handycam atau hand phone. Peneliti mengajukan

pertanyaan dengan mengacu pada daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah

disusun. Peneliti menggunakan jenis wawancara ini bertujuan agar

wawancara dapat berkembang guna mencari jawaban terhadap hipotesis

kerja

c. Teknik Studi Pustaka.

Penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka, yaitu mengumpulkan

data-data dengan bangunan pustaka yang meliputi naskah, buku-buku,

skripsi, dan media massa. Teknik studi pustaka ini dimaksudkan untuk

memperoleh data-data yang dapat menunjang penelitian. Data yang

diperoleh dari penelitian perpustakaan ini dijadikan pondasi dasar dan alat

utama bagi praktek penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif dilaksanakan secara

terus-menerus, sejak pengumpulan data di lapangan sampai penulisan laporan

penelitian (Aminudin, 1990:18). Data yang telah diolah kemudian dianalisis

melalui beberapa tahapan. Tahapan tersebut merupakan rangkaian suatu proses

yang berurutan dan berkesinambungan. Teknik analisis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tahap deskripsi, yaitu seluruh data yang diperoleh dihubungkan dengan

persoalan, setelah itu dideskripsikan.

38

b. Tahap klasifikasi, yaitu data-data yang telah dideskripsikan kemudian

dikelompokkan menurut kelompoknya masing-masing sesuai dengan

permasalahan yang ada.

c. Tahap analisis, yaitu semua data-data yang telah diklasifikasikan menurut

kelompoknya masing-masing dianalisis menggunakan pendekatan

struktural kemudian dilanjutkan dengan menggunakan pendekatan

psikologi sastra.

d. Tahap interpretasi data, yaitu upaya penafsiran dan pemahaman terhadap

analisis data sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan

utuh.

e. Tahap evaluasi, yaitu seluruh data-data yang sudah dianalisis dan

diinterpretasikan kemudian ditarik kesimpulan, namun sebelum ditarik

kesimpulan data itu diteliti kembali supaya dapat dipertanggungjawabkan.

4. Validitas Data

Ada empat macam teknik trianggulasi menurut Patton yang diungkapkan

Sutopo (2003: 78), yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3)

trianggulasi metode, dan (4) trianggulasi teori. Penelitian terhadap karya sastra

yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan trianggulasi data. Teknik

trrianggulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir femenologi yang

bersifat multiperspektif, artinya untuk menarik simpulan yang mantap,

diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo, 2003:78). Karena hal itu

berkaitan dengan hasil yang diperoleh, maka diperlukan beberapa cara pandang

untuk menguji keabsahan data agar data yang diperoleh benar-benar teruji

kebenarannya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

39

trianggulasi sumber data. Teknik trianggulasi sumber data dilakukan dengan

cara menggali sumber yang berupa catatan atau arsip dan dokumen yang

memuat catatan yang berkaitan dengan data yang dimaksud dan dapat berupa

sumber dari informan atau narasumber.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam sebuah penelitian berfungsi untuk

memberikan gambaran mengenai langkah-langkah suatu penelitian. Adapun

sistematika dalam penulisan ini sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan

masalah, teori, sumber data dan data, metode dan teknik, dan sistematika

penulisan.

BAB II: PEMBAHASAN

Meliputi analisis struktural yang membangun cerbung Ngonceki Impen karya Sri

Sugiyanto menggunakan teori fiksi Robert Stanton yang meliputi fakta-fakta

cerita (alur, karakter, latar), tema, dan sarana-sarana sastra (judul, sudut pandang,

gaya dan tone, simbolisme, ironi), mendeskripsikan dan mengungkapkan aspek

psikologi tokoh utama dalam cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto dalam

perspektif pendekatan psikologi sastra, serta mengungkapkan wujud-wujud

optimisme yang terdapat pada diri tokoh Waskitha.

BAB III: PENUTUP

Meliputi simpulan dan saran.

40

DAFTAR PUSTAKA

Meliputi buku-buku referensi sebagai acuan dalam penelitian.

LAMPIRAN

Meliputi surat keterangan wawancara dengan pengarang, wawancara dengan

pengarang, biodata pengarang, foto penulis dengan pengarang, sinopsis cerbung

Ngonceki Impen, serta cerbung Ngonceki Impen karya Sri Sugiyanto.