bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · 2020-03-05 · 1 bab i pendahuluan . a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Hukum Internasional tidak ada lembaga atau organisasi yang
bersifat supranasional, badan supranasional sendiri adalah badan yang bisa
memaksakan suatu aturan internasional termasuk PBB. Kekuasaan hukum
internasional sendiri berasal dari hukum internasional yang disebut hukum alam
yang diterapkan pada bangsa-bangsa sebab hukum alam dianggap hukum yang
lebih tinggi dibandingkan hukum nasional, hukum internasional mengikat karena
kehendak dari negara itu sendiri, dan pendekatan sosiologi. Hukum internasional
memberikan kepastian hukum terhadap apa yang dilakukan oleh masyarakat, dan
karena kebutuhan negara terhadap hukum internasional maka negara tunduk.1 Hak
asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karna manusia.2
Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir yang
berasal dari Tuhan. HAM merupakan hak-hak kodrati (natural rights theory).
HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan disemua
tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Sebab itu dapat
dikatakan hak asasi manusia adalah hak yang diberikan Tuhan atau hak asasi
manusia adalah manifestasi hak istimewa manusia, sehingga harus ada pada
manusia.3
1 Sefrani, Hukum Internasional :Suatu Pengantar, RajaGrafindo Persada: Jakarta,
cetakan ke-5, 2014, hlm., 14. 2 Andrey Sujatmoko, Hukum Ham dan Hukum Humaniter, RajaGrafindo Persada:
Jakarta, cetakan ke-1, 2015, hlm., 2. 3 A. Masyhur Effendi, Tempat Hak Azasi Manusia Dalam Hukum
Internasional/Nasional, Penerbit Alumni : Bandung, 1980, hlm., 20.
2
Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) sebagai suatu organisasi internasional
mempunyai tujuan dan tugas yang besar/luas, khususnya dibidang Hak Asasi
Manusia.4 Suatu deklarasi yang dikenal sebagai pernyataan PBB dan
ditandatangani pada tanggal 1 januari 1942 oleh 26 negara yang kemudian diikuti
oleh 21 negara, menyatakan :
―that complete victory over their enemies is essential to defend life, liberty,
independece and religious freedom, and to preserve human right and justice
in their own land as will as other land.‖5
Hal tersebut merupakan salah satu yang menjadi dasar bahwa PBB memiliki
tanggungjawab atau kewajiban hukum dalam perlindungan hidup, kebebasan
beragama, hak hidup dan keadilan di dalam negara atau wilayah sendiri maupun
wilayah atau negara lain. Sehingga PBB memiliki kewajiban terhadap negara-
negara yang masih mendiskriminasi atau melanggar hak hidup manusia.
Dalam konvernsi Dumbarton Oaks (Washington D.C.) 1944, menyetujui
dibentuknya organisasi internasional yang disebut PBB yang akan memberikan :
―facilitate solutions of international economic, social and other humanitarian
problems and promote respect for human right and fundamental freedoms.‖6
Perlindungan hukum merupakan fasilitas yang seharusnya diberikan oleh
PBB kepada setiap manusia. Hal ini sudah merupakan kewajiban dan alasan
mengapa PBB dibentuk, agar manusia memperoleh hak yang seharusnya
didapatkan, perlindugan PBB terhadap konflik kemanusiaan, pernghormatan
terhadap hak asasi manusia yang didalamnya termasuk bebasnya tiap manusia dari
tindakan maupun peraturan yang bersifat diskriminatif, dan mendapat keadilan
sesuai dengan yang seharusnya di dapatkan oleh manusia.
4 Ibid., hlm. 23.
5 Ibid., hlm 24.
6 Ibid.
3
Adanya perubahan secara dramatis kedudukan (status) individu yang beralih
semata-mata sebagai objek menjadi subjek hukum internasional. Individu
memiliki hak untuk mencari pelunasan (redress) diforum internasional.
Perlindungan HAM yang diakui secara internasional merupakan status perubahan
yang bersifat revolusioner.7 Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat
yang sangat penting terhadap eksistensi HAM. Dibentuknya PBB juga
merfleksikan komitmen dari sejumlah besar negara menyangkut HAM. Hal
tersebut terlihat dari ketentuan-ketentuan mengenai HAM yang terkandung dalam
Piagam PBB.8
Hak Asasi Manusia (HAM) ditempatkan dibawah jaminan internasional
oleh Piagam PBB, maka tidak memungkinkan negara menyingkirkan perwakilan
internasional yang berhubungan dengan pelanggaran hak-hak atas dasar yang
menyebutkan bahwa korban merupakan warga negaranya dan bahwa hukum
internasional memberikan kebebasan bagi suatu negara untuk memperlakukan
negaranya berdasarkan keinginannya sendiri.
Menurut Theo van Boven, kodifikasi instrumen hukum HAM International
yang spesifik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :9
1. Hak menentukan nasib sendiri (the right of self determination)
2. Perlindungan dari diskriminasi (Prevention of Discrimination)
3. Hak asasi perempuan (Rights of Women)
4. Hak asasi anak (Rights of the Child)
7 V. Nanda, InternationalLaw in the Twenty-First Century, ch. 5 in N.Jasentuliyana
(edit.), Perspectives on International Law, at 83, London: Kluwer, 1995, hlm 175. 8 Andrey Sujatmoko, op.cit., hlm., 16.
9 Theo Van Boven, ―The International System of Hujman Rights an Over View” dalam
Manual of Human Rights Reporting: Under Six Major International Human Rights Instruments,
OHCHR, Unitar dan United Nation Staff College Project, 1997.
4
5. Perbudakan, penghambaan, kerja paksa, dan institusi dan praktik-praktik
yang dipersamakan dengannya (Slavery, servitude, forced labour and
samiliar institutions and practices), terdiri atas:
a. Hak dalam administrasi pengadilan pidana : perlindungan terhadap
orang yang berada dalam tahanan dan penjara (human rights in the
administration of justice; protection of persons subjected to detention
or imprisonment);
b. Kebebasan memperoleh informasi (freedom of in information);
c. Kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi (freedom of
association);
d. Pekerjaan (employment);
e. Pernikahan dan keluarga (marriage and the family; childhood and
youth);
f. Kesejahteraan sosial, kemajuan, dan pembangunan (social welfare,
progress and development);
g. Hak untuk menikmati budaya; pengembangan dan kerjasama budaya
internasional (right to enjoy culture; international cultural development
and cooperation);
h. Kewarganegaraan; kehilangan kewarganegaraan, asilum; dan pengungsi
(nationality, statelessness, asylum and refugees);
i. Kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk
genosida (war crime and crimes against humanity, including genocide);
5
j. Hukum humaniter (Humanitarian Law). 10
Dari klasifikasi diatas salah satunya adanya perlindungan terhadap segala
bentuk diskriminasi. Diskriminasi merupakan salah satu pelanggaran dari HAM.
Menurut Theodorson & Theodorson (1979), Diskriminasi adalah perlakuan yang
tidak seimbang pada perorangan atau kelompok berdasarkan sesuatu, biasanya
bersifat kategorikal atau atribut khas seperti ras, suku, agama atau keanggotaan
kelas-kelas sosial. Menurut UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.11
Diskriminasi pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan
warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).12
Dalam Piagam
PBB pada pasal 55 Bab IX huruf c yang berisi tentang penghormatan hak asasi
manusia seantero jagad demikian pula pengejewantahannya serta kebebasan-
kebebasan dasar bagi semua tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, atau
agama dalam pasal tersebut jelas di sebutkan bahwa pada dasarnya kebebasan
merupakan sesuatu hal yang mutlak dalam kehidupan manusia tanpa membedakan
ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama. Tidak hanya dalam Piagam PBB namun
10 Dedi Supriyadi, 2013, Hukum Internasional (Dari Konsepsi Sampai Aplikasi), Pustaka
Setia, Bandung, Cetakan 1, hlm., 254. 11
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka (3). 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
6
larangan diskriminasi juga disebutkan di dalam beberapa peraturan Internasional
yang menjelaskan bagaimana bentuk diskriminasi.
Bentuk-bentuk diskriminasi meliputi:
a. Ras
b. Warna kulit
c. Jenis kelamin
d. Bahasa
e. Agama
f. Pendapat politik atau opini lainnya
g. Nasionalitas atau kebangsaan
h. Kepemilikan suatu benda (Property)
i. Kelahiran atau status lainnya
j. Orientasi seksual
k. Umur
l. Cacat tubuh
Hal-hal diatas merupakan bentuk-bentuk diskriminasi. Diatas disebutkan
beberapa alasan terjadinya diskriminasi, beberapa hal tersebut memicu terjadinya
diskriminasi.
Dalam peraturan lain menyebutkan bahwa setiap manusia berhak untuk
tidak didiskriminasi dengan alasan apapun sehingga peraturan yang bersifat
diskriminasi seharusnya tidak ada pada setiap negara yang menganut atau negara
yang hukumnya berasal dari hukum internasional. Sebab dalam hukum
internasional tidak ada peraturan yang mendiskriminasi, malahan peraturan dalam
internasional melarang adanya diskriminasi. Non diskriminasi adalah tidak
membeda-bedakan dari sudut pandang manapun. Deklarasi menjamin hak setiap
orang untuk hidup, hak memperoleh kebebasan dan keamanan; deklarasi
menjamin persamaan hak di hadapan hukum (equality before the law) serta
perlindungan yang sama terhadap setiap diskriminasi karena pelanggaran prinsip
— prinsip deklarasi. Sekali lagi perlu dikutip Pasal 12 Deklarasi bahwa "
Everyone is entitled to all the rights and freedoms ......without distinction of any
7
kind. Hak asasi manusia telah diakui dalam berbagai perjanjian internasional
sebagai hak—hak tertentu yang sifatnya kodrati yang diberikan kepada semua
umat manusia, yang menyebabkan manusia dapat hidup dengan layak sebagai
manusia yang dimuliakan Allah.13
Prinsip non-diskriminasi juga mendasari
pemberlakuan semua hak yang dijamin, yaitu bahwa setiap orang berhak
menikmati hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya tanpa
perbedaan apapun.14
Kejahatan terhadap kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta adalah pasal salah
satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai
bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditunjukan
terhadap penduduk sipil, seperti a) pembunuhan; b) pembasmian; c) pembudakan;
d) deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e) pengurungan atau
pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-
aturan dasar Hukum Internasional; f) penyiksaan; g) pemerkosaan, perbudakan
seksual, pelacuran secara paksa,kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa
dan atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya; h) penindasan terhadap suatu
kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya yang
secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan
dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi
mahkamah; i) penculikan/penghilangan orang secara paksa; j) Kejahatan apartheid
k) perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa dengan sengaja mengakibatkan
13
Wahyuningsih, Prinsip Kesetaraan Gender Dan Non Diskriminasi Dalam Konvenan
ICESCR Dan ICCPR, jurnal hukum, volume 2, 2008, hlm., 23. 14
Ibid., hlm., 27.
8
penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik
seseorang.15
Pada statuta pasal 7 huruf h yang berbunyi penindasan terhadap suatu
kelompok politik atau ras, bangsa, etnis, agama, gender/ jenis kelamin, hal ini
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal-hal tersebut adalah hal yang
seharusnya menjadi kewajiban hukum bagi PBB jika hal ini terjadi pada suatu
negara. Sebab PBB merupakan badan internasional yang bergerak juga dalam
bidang kemanusiaan.
Larangan diskriminasi lainnya ada di dalam DUHAM, pada pasal
1, 2, 6, 7, 15, 16, 18, 19, 21, 23, dan 30. Berikut bunyi-bunyi pasal pada
DUHAM
Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian
apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
15
Rudi M. Rizky., ―Peradilan HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Penegakan
HHI”, Makalah Basic Course on International Humanitarian Law, kerja sama antara Fakultas
Hukum UGM dengan ICRC Delegasi Indonesia, 19-24 Desember 2005; Boer Mauna, Hukum
Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,Bandung: Alumni,
2005, hlm., 294-295.
9
politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau
daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang
merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau
yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.
Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai
manusia pribadi di mana saja ia berada.
Pasal 7
Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas
perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan
yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.
Pasal 15
(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut
kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti
kewarganegaraannya.
Pasal 16
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak
yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan
di saat perceraian.
10
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan
bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari
masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat
dan Negara.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama;
dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau
kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau
kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya,
beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.
Pasal 19
Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat
tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan
menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara
apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.
Pasal 21
(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya,
secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan
bebas.
(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat
dalam jabatan pemerintahan negeranya. (3) Kehendak rakyat harus
11
menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus
dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan
sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan
prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas
memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil
dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari
pengangguran.
(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang
sama untuk pekerjaan yang sama.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil
dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang
bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan
jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya.
Selain dalam DUHAM (Universal Declaration of Human Right / Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia) seharusnya dalam membuat peraturan atau undang-
undang Indonesia juga mempertimbangkan dengan konvensi-konvensi yang telah
disetujui oleh Indonesia, sebuah konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
secara tidak langsung saat Indonesia menandatangani konvensi Internasional
tersebut Indonesia telah menyetujui tentang apa yang ada didalam konvensi
12
tersebut. Konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia antara lain International
Convenant on Civiland Political Right, Convenant on the Right of thr Child,
International Convenant on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination, Convenant Against Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment, Convenant on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women.
Nyatanya masih banyak peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif
dan bertentangan dengan hukum kebiasaan Internasional, dan hukum yang telah
dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tidak hanya peraturan nya yang bersifat
diskriminatif tetapi perilaku dari individu atau kelompok itu sendiri terkadang
juga bersifat diskriminatif. Sedangkan di dalam KHA (Komite Hak Asasi) prinsip
non-diskriminasi diatur dalam pasal 2 yang menyatakan bahwa: negara tidak akan
melakukan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis atau asal-usul
sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status yang lain dari anak atau orang
tua anak atau wali hukum anak.16
Peraturan yang diskriminatif Keputusan Presidium Kabinet No:
127/Kep/12/1966 tentang prosedur penggantian nama cina yang asli ke nama
Indonesia. Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang "Kebijaksanaan Jang
Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing" atau Keppres 240/1967
menyarankan warga Tionghoa mengganti namanya menjadi nama Indonesia,
dalam peraturan ini warga tionghoa tidak wajib untuk mengganti namanya, dalam
proses mengganti nama tidak boleh dipungut biaya yang tinggi. Sedangkan dalam
16
Dedi Supriyadi, 2013, Op.cit., Hlm., 259-260.
13
praktiknya pergantian nama dirasa menjadi wajib, sebab warga tionghoa yang
menggunakan nama aslinya untuk membuat surat atau yang lainnya tidak diproses
selama bertahun-tahun entah apa alasannya padahal dalam peraturan tersebut
pergantian nama tidak diwajibkan peraturan tersebut hanya menyarankan, dalam
proses pergantian nama pun banyak ditemukan pungutan yang tidak seharusnya.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, di dalam undang-undang
ini adanya diskriminasi terhadap perempuan, contohnya pada pasal 2 yang
memperbolehkan pernikahan dibawah tangan dan atau menolak pencatatan
perkawinan hal ini akan berpengaruh terhadap anak yang dilahirkan dikemudian
hari akibat dari perkawinan tersebut, menurut pasal 42 dan 43 UU ini bahwa anak
yang sah adalah anak uang dilahirkan dari perkawinan yang sah, dan anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah hanya memiliki hubungan hukum
dengan ibunya dan keluarga ibunya, perkawinan yang tidak sah adalah
perkawinan yang tidak di catatkan atau pernikahan dibawah tangan, hal ini
diskriminatif terhadap kepentingan anak yang lahir dari perkawinan yang tidak
sah dan sangat memberatkan kaum perempuan itu sendiri. Anak yang tidak lahir
didalam perkawinan yang sah atau perkawinan bawah tangan atau perkawinan
yang tidak dicatatkan, hal ini mendiskriminasi anak, anak ini tidak mendapatkan
hak yang sesuai yang seharusnya didapatnya.
Dalam surat instruksi wakil gubernur No. K/898/I/A/1975 peraturan daerah
istimewa yogyakarta ada peraturan gubernur yang mengatakan bahwa adanya
larangan kepemilikan tanah bagi warga non pribumi di DIY. Peraturan ini jelas
mengandung unsur diskriminatif dimana hak untuk memiliki tanah di batasi oleh
asal-usul dari masyarakat tersebut (pembedaan ras). Sedangkan sudah jelas
14
dikatakan dalam UU No.5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok
agraria yang berbunyi hanya warga negara indonesia yang dapat mempunyai hak
milik. Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya perbedaan ras tidak menjadi batasan
untuk seorang warga negara memiliki tanah. Akibat dari peraturan ini masyarakat
yogyakarta yang bukan pribumi tidak dapat memiliki hak milik. Diskriminasi
yang terjadi adalah diskriminasi akibat perbedaan ras, hal ini disebabkan
peraturan DIY yang mengandung unsur diskriminasi sendiri.
Dalam UU No. 1/PNPS/1965 hanya mengakui dan melindungi 6 agama,
lewat undang-undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama dan Undang-Undang No.24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk)
tersebut Pemerintah telah membuat diskriminasi berupa: Pembedaan (distinction)
dan Pengecualian (exclusion) terhadap agama-agama di Indonesia dengan hanya
mengakui 6 agama dan tidak mengakaui agama lainnya. Hal ini berdampak pada
kehidupan pribadi dari individu yang memeluk agama diluar dari agama yang
dilindungi di Indonesia, misalnya berdampak pada perkawinan yang dilakukan
oleh individu tersebut, terjadi kesulitan dalam pencatatan pernikahan bahkan tidak
sedikit perkawinan yang dilakukan tidak dicatatkan sehingga berakibat pada hak
dan perlindungan hukum yang biasanya didapatkan dari perkawinan yang
dicatatkan. Hal ini berdampak juga untuk sang anak yang lahir dari perkawinan
ini.
Contoh dari perilaku yang individu yang diskriminatif di Indonesia misalnya
yang baru saja terjadi pada pilkada taun lalu yang terjadi di Ibukota, dalam
peraturan yang mengatur tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota tidak
15
ada ketentuan atau syarat yang disebutkan oleh undang-undang yang bersifat
diskriminatif namun dalam pelaksanaannya mungkin memang benar salah satu
dari kandidat atau calon gubernur beragam kristen dan memiliki ras tionghoa
namun selama proses kampanye dan sebagainya hal ini dipermasalahkan,
beberapa kelompok masyarakat beranggapan bahwa pemimpin yang seharusnya
menjadi pemimpin mereka adalah orang yang memiliki agama yang sama dengan
mayoritas yang ada, ditambah lagi calon gubernur memiliki ras tionghoa, hal ini
dipermasalahkan juga sebab sebagian masyarakat dari wilayah ibukota merasa
jika calon gubernur ini memimpin rakyat merasa bahwa rakyat Indonesia kembali
dijajah oleh bangsa tionghoa. Padahal calon gubernur sendiri berkewarganegaraan
Indonesia hal ini mendiskriminasi agama serta ras dari individu atau kelompok
tertentu terhadap individu atau kelompok lainnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana kewajiban hukum PBB terhadap peraturan dalam suatu negara
yang bersifat diskriminatif (UU No. 1 Tahun 1974, Undang-Undang No.24 Tahun
2013, Keputusan Presidium Kabinet No: 127/Kep/12/1966, Keputusan Presiden
No. 240 Tahun 1967, Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor
K.898/I/A/1975)yang bertentangan dengan aturan Internasional?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
menganalisis dan menemukan kewajiban hukum PBB dalam menghilangkan
peraturan negara yang bersifat diskriminatif berdasarkan hukum Internasional.
16
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui kewajiban hukum PBB dalam hukum terutama terhadap
peraturan yang bersifat diskriminatif yang bertentangan dengan perturan
internasional
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk bahan kuliah,
bahan penelitian selanjutnya, penerapan pada peraturan, dsb.
E. Metodologi Penelitian
Metode normatif adalah metode yang digunakan dalam penelitian hukum
dengan cara meneliti bahan hukum itu sendiri.
1. Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu
dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua
penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk
mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).17
a. Statute approach (pendekatan undang-undang)
Proposal ini menggunakan pendekatan statute approach, yaitu metode untuk
meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam pernormaannya
menyimpang. Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
17 Hardijan Rusli, ―Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?‖, Law Review
Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hal. 50.
17
dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-
Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain. Antara lain:
1. Universal Declaration of Human Right/ Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM)
2. Piagam PBB
3. International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation
Againts Women (CEDAW)/ Konvensi PBB – Penghapusan
Diskriminasi Perempuan (1979)
4. Konferensi HAM tentang segala bentuk Hak (1990-1996)
5. Konvensi PBB – Penghapusan Semua Jenis Diskriminasi (1965)
6. Konvensi PBB - Hak Anak (1989)
7. Statuta Roma (1998)
8. Undang-Undang No. 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
9. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
10. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965
11. Undang-Undang No.24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
(Adminduk)
12. Keputusan Presidium Kabinet No: 127/Kep/12/1966 Tentang Prosedur
Penggantian Nama Cina Yang Asli Ke Nama Indonesia.
13. Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 Tentang "Kebijaksanaan Jang
Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing"
14. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
18
15. Surat Instruksi Wakil Gubernur DIY Nomor K.898/I/A/1975 Tentang
Larangan Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga Non-Pribumi di
DIY
b. Conceptual approach (pendekatan konseptual)
Selain menggunakan statute approach penelitian ini juga menggunakan
pendekatan conceptual approach (pendekatan konseptual) ini merupakan
jenis pendekatan dalam penelitian hukum yang memberikan sudut pandang
analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari
aspek konsep-konsep hukum yang melatar belakanginya, atau bahkan dapat
dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan
kaitannya dengan konsep-konsep yang digunakan. Pendekatan ini dipakai
untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan penormaan dalam
suatu perundang-undangan apakah telah sesuai dengan ruh yang terkandung
dalam konsep-konsep hukum yang mendasarinya. Pendekatan ini beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam
ilmu hukum. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan
memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas
hukum yang relevan dengan permasalahan.
c. Deskriptif kualitatif
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau fakta,
keadaan, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian
berlangsung dengan menyuguhkan apa yang sebenarnya terjadi. Penelitian
ini menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi
yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu
19
masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, perbedaan antar
fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi, dan sebagainya.