bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang daerah
teritorialnya sangat luas, dimana di dalamnya terdiri dari beribu - ribu pulau dan
perairan yang luas. Dengan banyaknya pulau yang ada, maka banyak pula
masyarakat yang terdapat di Indonesia dengan keanekaragaman adat dan
budayanya. Tentunya dengan keanekaragaman adat dan budaya yang berlainan
tersebut menimbulkan konsekuensi berlakunya hukum adat di daerah masing-
masing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dominikus Rato dalam bukunya menyatakan bahwa hukum adat adalah
hukum yang sebagian besar tidak tertulis, bentuknya tidak tertulis karena
selaras dengan budaya masyarakat hukum adat di Indonesia yang berlandasakan
pada budaya lisan dan budaya tutur.1 Hal ini tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat sebagai kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup
baik di kota-kota maupun di desa (Customary Law).2 Sampai saat ini meskipun
di Indonesia sebagian besar masyarakatnya sudah menerapkan hukum nasional,
1 Dominikus Rato, Pengantar Hukum Adat (Suatu Pengantar Singkat Hukum Adat di Indonesia),
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2011, hlm. 12. 2 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Cet. 12, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1989, hlm. 54
2
akan tetapi masih terdapat beberapa daerah yang menerapkan hukum adat
setempatnya.
Dalam hukum adat menurut Prof. Mr. M. M. Djojodigoeno tentang
perkawinan yang beliau sebut sebagai perjodohan adalah hidup bersama antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri, yang
pelaksanaannya melalui berbagai upacara peralihan (Rites de Passage), yang
melambangkan perubahan status dari hidup sendiri-sendiri menjadi hidup
bersama dan membentuk keluarga.3
Asas-asas yang terdapat pada hukum adat tidak terlalu berbeda dengan
asas-asas hukum adat secara umum, adapun beberapa asas yang menjadi dasar
dalam perkawinan adat menurut Hilman Hadikusuma. Adapun asas-asas
tersebut yaitu:4
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama
dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa
wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan
menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri
yang tidak diakui masyarakat adat.
5. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup
umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
3 M. M. Djojodigoeno, Asas-asas Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta,
1964, hal. 51 4 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 182
3
6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan.
Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan
kekerabatan antara dua pihak.
7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan
sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa
asas yang menjadi dasar dalam perkawinan dimana hal ini sejalan dengan Pasal
28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan kedua yakni setiap orang
berhak membentuk keluarga melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah, yaitu:
1. Bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal
2. Bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, disamping itu tiap-
tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku.
3. Bahwa perkawinan dalam UU Perkawinan menganut asas monogami
dimana suami hanya diperkenankan memiliki satu orang istri. Hanya
apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan
agama dari yang bersangkutan (suami dan istri) mengizinkannya,
maka suami dapat beristri lebih dari seorang (Poligami). Akan tetapi
poligami dapat dilakukan apabila istri menghendaki dan suami harus
memenuhi berbagai persyaratan tertentu yang diputuskan oleh
pengadilan.
4. Bahwa dalam UU Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon
suami-istri itu harus matang raga dan jiwanya untuk dapat
melangsungkan perkawinan. Hal tersebut bertujuan untuk
mewujudkan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian.
5. Bahwa dalam UU Perkawinan ini juga menganut prinsip untuk
mempersukar perceraian demi terciptanya keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera.
6. Bahwa dalam UU Perkawinan menjamin hak dan kedudukan antara
suami dengan istrim seimbang.
4
Mengenai asas perkawinan nasional yang diatur dalam UU Perkawinan,
tidak memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan perkawinan adat,
terlihat dari asas masing-masing perkawinan nasional dan perkawinan adat.
Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan dalam UU Perkawinan tersebut, akan
tetapi perkawinan adat, dalam hukum adat merupakan salah satu sumber yang
penting untuk pembangunan hukum nasional, karena hukum adat merupakan
hukum asli Indonesia (yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan).
Dasar dari Undang-Undang Perkawinan adalah hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak-pihak (dalam hal ini calon suami-istri) yang
melangsungkan perkawinan. Hal ini dihubungkan dengan ajaran Receptio In
Complexu oleh Mr. L. W. C Van Don Berg, yaitu:5
“Receptio In Complexu oleh bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh
kaum Islam dari hukum Islam, oleh kaum Kristen dari hukum
Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut
ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk
suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu
dengan setia”.
Sehubungan dengan teori diatas maka hukum agama dan kepercayaan
yang dianut oleh calon suami-istri merupakan unsur-unsur dari hukum adat,
sehingga pembentukan hukum perkawinan nasional yakni UU Perkawinan
mengandung unsur-unsur hukum adat.6
5 Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Soeroengan, Jakarta, 1958, hlm. 51
6 Ibid, hlm. 5
5
Dalam perkawinan adat dikenal tiga sistem kekerabatan dalam
perkawinannya, yakni sistem kekerabatan patrilineal (garis keturunan bapak),
sistem kekerabatan matrilineal (garis keturunan ibu), dan sistem kekerabatan
bilateral (garis keturunan bapak dan ibu).
Masyarakat adat Lampung, menganut sistem endogami atau perkawinan
antara etnis, klan, atau suku sebagai sistem perkawinannya dengan tetap
menggunakan prinsip monogami, akan tetapi dalam keadaan tertentu dalam
adat Lampung dimungkinkan untuk berpoligami.7 Keadaan yang dimaksudkan
yaitu apabila istri tidak dapat memberikan keturunan maka dimungkinkan untuk
memperistri wanita lain dengan tujuan untuk meneruskan garis keturunan dari
bapak, karena dalam Lampung menggunakan sistem kekerabatan patrilineal,
dimana anak lelaki tertua memegang peran penting dalam meneruskan adat dari
bapak.
Perkawinan adat Lampung seperti yang dijelaskan pada paragraf
sebelumnya adalah perkawinan yang menganut sistem kekerabatan patrilineal
atau perkawinan jujur, dimana perkawinan jujur ini dilakukan dengan
pembayaran “jujur’ dari pihak lelaki (sebagai calon suami) yaitu dalam bentuk
barang atau uang kepada pihak wanita (sebagai calon istri). Diterimanya barang
atau uang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan si wanita
akan mengalihkan kedudukannya kepada kerabat suami untuk selama ia
7 Lihat kembali dalam asas perkawinan dalam UU Perkawinan maupun adat
6
mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.8 Dalam perkawinan adat Lampung
Pepadun ini kedudukan antara suami dan istri tidaklah seimbang, artinya
kedudukan suami lebih tinggi dari kedudukan istri dalam hal kehidupan rumah
tangga dalam kekerabatan klan.
Perkawinan yang dilangsungkan oleh masyarakat Indonesia secara umum
terbagi menjadi dua bagian perkawinan yaitu pencatatan perkawinan di catatan
sipil (atau dalam agama Islam dikenal akad nikah di Kantor Urusan Agama),
serta resepsi pernikahan (dimana rata-rata pernikahan di Indonesia
dilangsungkan menggunakan adatnya masing-masing). Persoalan terjadi ketika
perkawinan adat hanya dilangsungkan secara adat saja dalam hal ini
Perkawinan adat suku Lampung Pepadun, tanpa adanya pencatatan perkawinan
di catatan sipil, atau di KUA. Sehingga hal tersebut nantinya berdampak pada
penyelesaian masalah ketika terjadi suatu ketidak cocokan pemikiran dalam
rumah tangga. Apabila dicatatkan di pencatatan sipil atau di KUA, sudah
barang tentu akan dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama, akan tetapi ketika persoalan rumah tangga dalam masyarakat adat yang
hanya melakukan perkawinan adat saja akan mengalami kesulitan untuk
menyelesaikan masalah rumah tangga ketika terjadi masalah yang cukup serius,
hingga menimbulkan perceraian, meskipun dalam perkawinan adat Lampung
Pepadun tidak diperkenankan untuk bercerai. Dalam penulisan ini akan dibahas
mengenai kedudukan suami istri, hubungan anak dengan orang tua serta
8 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, Citra
Aditya, Bandung, 2003, hal. 72
7
pengelolaan harta kekayaan yang didapat sesudah perkawinan, yang
dilangsungkan dengan perkawinan adat Lampung Pepadun.
Masyarakat Adat Lampung Pepadun tepatnya di Desa Gunung Batin Udik
sampai saat ini masih menerapkan perkawinan adat. Contohnya seperti
Perkawinan yang dilakukan oleh Adi dan Rina, mereka menikah pada tahun
1988 setelah Adi dan Rina menjalani rumah tangga selama 23 tahun, ditengah
perjalanan kehidupan rumah tangga mereka, pada tahun 2011 ternyata Adi
meninggal dunia dan harta bersama yang dimiliki selama perkawinan jatuh
kepada Rina sebagai istrinya yang sah, tetapi hak asuh anak mereka di berikan
kepada pihak laki-laki, jadi secara otomatis Rina bukan lagi menjadi bagian
keluarga laki-laki tersebut.9
Persoalan inilah yang akan diteliti lebih lanjut oleh penulis, mengenai
bagaimana pelaksanaan perkawinan adat Lampung Pepadun yang ada di desa
Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah yang
akan diketengahkan adalah, Bagaimana pelaksanaan perkawinan dalam hukum
adat Lampung Pepadun?
9 Hasil wawancara dengan Tetua adat Desa gunung Batin Udik, Bapak Ahmad Syukri (Suttan
Puyimbang), 2 Desember 2015
8
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan perkawinan
adat Lampung Pepadun yang meliputi syarat dan keabsahan perkawinan, akibat
yuridis perkawinan yang berkaitan dengan : kedudukan suami istri, hubungan
antara anak dengan orang tua, serta akibat terhadap harta kekayaan.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Agar penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, dan secara
khusus hukum adat.
b. Manfaat Praktis
Untuk memberi informasi pada masyarakat adat Lampung
bahwa perkawinan adat Lampung ini masih di gunakan sampai saat
ini.
9
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana tentang ”Pelaksanaan
Perkawinan Menurut Hukum Adat Lampung Pepadun” yang dilihat dari
Hukum Adat Di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai
Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung ini, sepanjang penegetahuan
penulis belum ada ditemukan penelitian yang sama persis dengan judul skripsi
ini.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris,
penelitian ini memandang hukum dari luar sebagai gejala sosial
semata-mata dan mengaitkannya dengan masalah-masalah
sosial, di dalam penelitian hukum yang diteliti adalah kondisi
hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai dan
hukum sebagai norma sosial. 10
10
Peter M. Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya , Prenada Media 2008, Hal 30
10
2. Jenis Pendekatan
Pada penelitian ini menggunakan jenis pendekatan sosiologis,
yaitu suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan
untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada
identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju
kepada penyelesaian masalah (problem-solution).11
serta dilengkapi
dengan penelitian antropologi hukum yaitu penelitian yang
mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang-ulang dan
terus-menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah merupakan
sesuatu yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam
masyarakat bersangkutan,12
dalam hal ini masyarakat adat Lampung
Pepadun.
3. Lokasi, Populasi, dan Sampel Penelitian
a. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat melakukan kegiatan
penelitian untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk
penulisan skripsi ini. Lokasi yang dipakai untuk kegiatan
penelitian yaitu Desa Gunung Batin Udik, Kecamatan
11
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 10 12
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1986, hal. 27
11
Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah Provinsi
Lampung. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dikarenakan
fokus pada penelitian ini yaitu perkawinan adat yang
dilakukan oleh masyarakat adat Lampung Pepadun yang
terdapat di daerah tersebut.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri
dari subyek atau obyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.13
Adapun
yang menjadi populasi dalam penulisan skripsi ini yaitu
masyarakat adat Lampung Pepadun yang melangsungkan
perkawinan secara adat Lampung pepadun dan masyarakat
yang tinggal di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan
Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah Provinsi
Lampung.
Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik
yang dimiliki oleh populasi.14
Terdapat lebih dari 70
kepala keluarga yang ada di sana namun penulis hanya
13
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Alfabeta, bandung, 2012, hal. 119 14
Ibid, hal. 120
12
mengambil sampel beberapa pelaku perkawinan adat
Lampung pepadun untuk kegiatan penelitian ini yakni
suami istri yang melangsungkan perkawinan menurut
Hukum Adat Lampung Pepadun, yakni pasangan Bp.
William dan Ibu Sari, pasangan Bp. Riky dan Ibu Hasnah,
pasangan Bp. Murni dan Ibu Wulandari, pasangan Bp.
Robi dan Ibu Linda, pasangan Bp. Adi dan Ibu Rina.
Disamping itu, untuk melengkapi data di lakukan
wawancara dengan Tetua Adat Lampung Pepadun, serta
Perangkat Desa Adat Lampung Pepadun yang tinggal di
Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai
Kabupaten Lampung Tengah Provinsi Lampung.
4. Jenis Data
a. Data primer adalah data yang dapat diperoleh secara langsung
dari hasil penelitian, dan diperoleh dari hasil wawancara yang
dilakukan penulis terhadap Tetua Adat Lampung Pepadun,
perangkat desa tersebut dan masyarakat yang melakukan
perkawinan adat tersebut.
b. Data sekunder diperoleh melalui buku, hasil penelitian, dan yang
berkaitan dengan perkawinan adat Lampung Pepadun.
13
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam Bab I pendahuluan yang berisi tentang : Latar belakang
masalah, Rumusan Masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian, Metode
Penelitia, dan Sistematika Penulisan.
Dalam Bab II pembahasan yang berisi tentang : Tinjauan Pustaka yang
menjelaskan tentang bagaimana bagaimana perkawinan menurut hukum adat
Lampung yang berisi azas-azas menurut hukum adat, tata cara perkawinan
menurut hukum adat lampung dan akibat perkawinan,. Hasil penelitian dan
Analisis yang diuraikan tentang pembahasan hasil penelitian dan pembahasan
mengenai Perkawinan Adat Lampung Pepadun tersebut.
Dalam Bab III Penutup yang berisi tentang : Kesimpulan dari penelitian dan
Saran sebagai rekomendasi yang didapat dalam penelitian.