bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pelaku tindak pidana pada umumnya berusaha menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana
dengan berbagai cara agar harta kekayaan hasil tindak pidananya susah ditelusuri
oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta
Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah.1 Karena itu,
perbuatan menyembunyikan menyamarkan asal-usul harta kekayaan atau kegiatan
pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem
perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2
Kegiatan pencucian uang sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan
dunia kejahatan.3 Hal yang sangat sering dirasakan akan tetapi sukar untuk
dibuktikan, dan dikenal dengan nama money laundering, yang merupakan bentuk
kejahatan yang seringkali inheren dengan kejahatan kerah putih atau white collar
crime.4 Membuktikan adanya suatu money laundering bukanlah hal yang mudah,
1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164). 2 Ibid. 3 Harkristuti Harkrisnowo, 2004, “Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Tinjauan
terhadap Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 dan Amandemennya”, Makalah, Video Confrence
Nasional mengenai Undang-Undang Anti Pencucian Uang, Kenali Nasabah Anda dan Pelaporan
Transaksi Keuangan, PPATK, BI, UI, UGM, USU, UNDIP, UNAIR, ELIPS, Jakarta, hlm. 1. 4 Ibid.
2
karena kegiatan money laundering dilakukan dengan sangat kompleks.5
Kriminalisasi pencucian uang diharapkan juga harus mempunyai tujuan yang lebih
luas, seperti menjaga stabilitas keuangan, dan kepercayaan terhadap lemabaga
keuangan. Mengingat sifatnya sebagai tindak pidana lanjutan (follow up crimes)
maka kriminalisasi pencucian uang sebagai tindak pidana pencucian uang (TPPU)
pada akhirnya diharapkan untuk menanggulangi kejahatan utamanya (core
crimes).6
Berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi terkait Kasus-kasus yang sudah
menjadi Putusan TPPU Periode Januari-Desember 2014 oleh PPATK, terdapat
beberapa pola transaksi yang dilakukan oleh pelaku TPPU pada tahun 2013 dan
2014 untuk menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari
tindak pidana dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1.
Jumlah Putusan TPPU tahun 2014 dan 2013 menurut Pola Transaksi7
No. Keterangan 2014 2013 %
1 Sektor tunai 19 7 171
2 Tarik tunai 14 3 367
5 Hazel Carol memberikan karakteristik tindak pidana pencucian uang sebagai salah satu bentuk
white collar crime, yaitu; tidak kasat mata, sangat kompleks, ketidakjelasan korban, aturan hukum
yang samar atau tidak jelas serta sulit dideteksi dan dituntut, dalam Robinson, “Mewaspadai
Pencucian Uang melalui Pasar Modal”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, Maret, 2003, hlm. 53 6 Yenti Ganarsih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundering), Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 73. 7 Direktorat Pemeriksaan dan Riset Deputi Bidang Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan, 2015, “Tipologi terkait Kasus-Kasus yang sudah menjadi Putusan TPPU
Periode Januari - Desember 2014” Laporan Hasil Riset Tipologi Semester I Tahun 2015, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Jakarta, hlm. 33.
3
3 Transfer via Internet Banking dari rekening giro 1 0 100
4 Transfer via Internet Banking ke rekening tabungan 3 0 300
5 Ditransfer ke rekening lain yang bukan milik pelaku 2 3 -33
6 RTGS 12 1 1100
8 Transfer via m-banking 2 0 200
9 Transfer via ATM 7 6 17
10 Setoran Pemindahan 5 1 400
11 Tarikan pemindahan - 3 -100
12 Pindah Buku 33 0 3300
13 Pembelian via EDC 33 0 300
14 Pencairan cek/BG 6 0 600
15 Transaksi pemberian uang secara tunai antar para
pihak
5 0 500
16 Penukaran valuta asing 2 0 200
Berbagai macam pola transaksi tersebut membuktikan bahwa TPPU
merupakan kejahtan yang kompleks dan sulit pembuktiannya karena terdakwa
memang dengan maksud untuk menyembunyikan asal-usul harta hasil tindak
pidana dan oleh karenanya mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan nasional
karena berhubungan dengan kepercayaan pada lembaga keuangan.
4
TPPU merupakan follow up crimes. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 tahun 2010 mengatur mengenai core crimes dari TPPU dengan menyatakan
bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja;
penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang
perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap;
terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang;
perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang
lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang
diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.
Berdasarkan basis data 65 terdakwa yang didapatkan dari 61 putusan terkait
TPPU selama tahun 2014, dapat diuraikan tindak pidana asalnya sebagaimana dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.8
Tabel 2.
Putusan Pengadilan berdasarkan Tindak Pidana Asal9
No. Tindak Pidana Asal Jumlah Putusan %
1 Korupsi 21 34,43
8 Ibid, hlm. 10. 9 Ibid.
5
2 Tidak disebutkan tindak pidana asalnya 10 16,39
3 Penipuan 7 11,48
4 Narkotika 7 11,48
5 Perbankan 4 6,56
6 Pemalsuan surat 6 9,84
7 Penggelapan 4 6,56
8 Pembalakan liar 1 1,64
9 Perjudian 1 1,64
Total 61 100
Hasil tindak pidana yang dapat dikualifikasikan sebagai TPPU diantaranya
ialah hasil tindak pidana narkotika.10 Tindak pidana narkotika diatur dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 sangat berhubungan dengan Undang-Undang tindak pidana
asal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tersebut, yang berarti
bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 berhubungan dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009. Menarik untuk dicermati bahwa dalam kedua
Undang-Undang a quo yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai follow
up crime, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 core crime dari TPPU mengatur
10 Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 ayat (1), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
6
ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir sama yaitu mengatur
perbuatan yang dilarang mengenai pencucian uang.
Ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir sama yang diatur oleh
kedua Undang-Undang a quo ialah sebagai berikut:
Pertama, ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dengan
Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang pada intinya
mengatur mengenai TPPU aktif. Rumusan delik yang hampir sama yang diatur oleh
kedua Undang-Undang tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau
surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena TPPU.
2. Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,
menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun
tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak
pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika.
Kedua, ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
dengan Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang pada
intinya mengatur TPPU pasif, rumusan delik yang hamir sama yang diatur oleh
ketiga Undang-Undang tersebut ialah sebagai berikut:
1. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran,
atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
7
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
2. Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan,
penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau
transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam
bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika.
Persamaan rumusan delik yang diatur oleh kedua Undang-Undang a quo akan
menimbulkan permasalahan dalam penerapan praktik peradilan jika terjadi tindak
pidana yang memenuhi seluruh unsur rumusan delik pada ketiga Undang-Undang
a quo, mengingat seluruh Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang
pidana yang bersifat khusus. Persoalan multi-kriminalisasi yang bersifat khusus
tersebut, tidak terlalu mudah pemecahan arah solusinya mengingat sebagai tindak
pidana yang berada di luar KUHP, tidak saja diperlukan pemahaman dan
pengalaman praktik, tetapi suatu relasi antara praktik yang selalu dilandasi legalitas
pemahaman nalar akademis dan praktek berdasarkan asas-asas Hukum Pidana,
terutama keterkaitan asas Lex Speciaslis derogate legi generalis (berikut
perkembangannya), asas Concursus maupun asas Deelneming (penyertaan) apabila
memang ada keterkaitannya.11
Undang-Undang a quo merupakan Undang-Undang hukum pidana khusus.
Kendati demikian terdapat perbedaan terhadap sifat kekhususan kedua Undang-
Undang tersebut. Produk Undang-Undang yang memuat “ketentuan pidana” pada
11 Indrianto Seno Adji, 2014, “Administrative Penal Law: kearah Konstruksi Pidana Limitatif”,
Makalah, Pelatihan Hukum Pidana & Kriminologi dengan Topik “Asas Asas Hukum Pidana &
Kriminologi Serta Perkembangannya Dewasa Ini” Mahasiswa Hukum Pidana dan Kriminologi,
Yogyakarta, hlm. 8.
8
hakikatnya dapat dikualifikasikan sebagai Undang-Undang pidana khusus. Hal
tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Sudarto bahwa Undang-Undang pidana
khusus merupakan Undang-Undang pidana selain Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang merupakan induk peraturan hukum pidana.12 Sudarto
menjelaskan lebih lanjut bahwa apabila Undang-Undang Pidana dibagi menurut
sifatnya, maka Undang-Undang pidana itu dapat dibagi menjadi Undang-Undang
pidana “dalam arti sesungguhnya” dan peraturan-peraturan hukum pidana dalam
Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang pidana “dalam arti sesungguhnya”
merupakan Undang-Undang yang menurut tujuannya dimaksudkan mengatur hak
memberi pidana dari negara dan contohnya adalah KUHP. Sedangkan peraturan-
peraturan hukum pidana dalam Undang-Undang tersendiri merupakan peraturan-
peraturan yang hanya dimaksudkan untuk memberi sanksi pidana terhadap aturan-
aturan mengenai salah satu bidang yang terletak di luar hukum pidana, misalnya
Undang-Undang Pokok Agraria.13 Bertolak dari pandangan Sudarto tersebut dapat
disimpulkan bahwa Undang-Undang pidana khusus di luar KUHP mencakup
Undang-Undang pidana dalam arti sesungguhnya dan Undang-Undang
administrasi yang di dalamnya memuat ketentuan pidana.14
Dengan menggunakan nomenklatur yang berbeda, Indrianto Seno Adjie
menyebut Undang-Undang Pidana Khusus di luar KUHP dalam arti sesungguhnya
di atas sebagai hukum pidana khusus yang bersifat “intra aturan pidana”. Undang-
12 Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 59-60. 13 Ibid, hlm. 63-64. 14 Supriyadi, “Penetapan Tindak Pidana sebagai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Undang-Undang
Pidana Khusus”, Jurnal Mimbar Hukum, Volume 27, Nomor 3, Oktober, 2015, hlm. 390-391.
9
Undang pidana yang dapat dimasukkan sebagai hukum pidana khusus yang bersifat
intra aturan pidana yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, dan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Undang-Undang administrasi yang di
dalamnya memuat ketentuan pidana disebut sebagai hukum pidana khusus yang
bersifat “ekstra aturan pidana”. Undang-Undang pidana yang dapat dimasukkan
sebagai hukum pidana khusus yang bersifat ekstra aturan pidana yaitu Undang-
Undang Kehutanan, Undang-Undang Keimigrasian, Undang-Undang Perbankan,
Undang-Undang Ketenagalistrikan dan lain-lain.15 Undang-Undang pidana inilah
yang disebut administrative penal law.16
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 merupakan Undang-Undang pidana
khusus yang bersifat intra hukum pidana sementara Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 merupakan Undang-Undang pidana khusus yang bersifat ekstra hukum
pidana atau biasa disebut juga sebagai administrative penal law.
Persoalan dan pertanyaan muncul ketika pelanggaran terhadap produk
Administrative Penal Law (sebagai Hukum Pidana bersifat Khusus yang Ekstra)
dipersepsikan sebagai Tindak Pidana Khusus lainnya. Pertanyaan yang primat
adalah: dapatkah pelanggaran terhadap administrative penal law adalah sebagai
absorsif perbuatan tindak pidana ekstra dengan pola-pola yang dinamakan satu
materiele daad dan materiele daad-nya adalah sama, dalam perspektif pelanggaran
beberapa perundang-undangan? Jawaban pertanyaan ini tidak sekedar persoalan
15 Ibid, hlm 391. 16 Ibid.
10
pengalaman praktik, tetapi keterkaitan dan kekuatan pemahaman penegak hukum
terhadap asas-asas Hukum Pidana (Buku I KUHP) yang sangat dinamis dalam
implementasi penyelesaian kasus-kasus dinamis yang demikian.17
Berdasarkan penelusuran penulis mengenai putusan terkait TPPU dan tindak
pidana narkotika pada tahun 2014 di website direktori putusan Mahkamah Agung,
terdapat satu putusan dengan terdakwa yang didakawa dengan Pasal 137 huruf a
dan Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan juga didakwa
dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Putusan
tersebut ialah Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 61/PID/2014/PT.DKI
selain itu terdapat pula putusan terkait perkara tersebut tetapi Penuntut Umum lebih
memilih mendakwa terdakwa dengan Pasal 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 yaitu Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
01/PID.B/2014/PN.Plg rincian kedua putusan tersebut ialah sebagai berikut:
Pertama, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
61/PID/2014/PT.DKI atas nama terdakwa Afdar. Terdakwa didakwa dengan
dakwaan kombinasi yaitu: Kesatu Primair Pasal 137 huruf a Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua Primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 Subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Lebih
Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan menyatakan bahwa Terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan
17 Indrianto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 9.
11
Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan tindak pidana
berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Menghukum terdakwa
dengan pidana penjara selama 14 tahun dan pidana denda satu miliar rupiah
subsidair pidana penjara selama satu tahun.
Pengadilan tingkat pertama No. 2236/PID.SUS/2012/PN.JKT.BAR
menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009. Menyatakan Dakwaan Kedua: Primair, Subsidair dan lebih
Subsidair tidak dapat diterima. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan
pidana penjara selama delapan tahun dan denda Rp.800.000.000,- subsidair pidana
penjara selama satu tahun.
Pengadilan tingkat banding membatalkan putusan a quo dengan menyatakan
bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana berdasarkan Dakwaan Kesatu Primair yaitu Pasal 137 huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Dakwaan Kedua Primair yaitu Pasal 3
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Menjatuhkan pidana penjara 18 tahun serta
Pidana denda sejumlah Rp.1.000.000.000,- subsidair satu tahun kurungan.
Kedua, Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
01/PID.B/2014/PN.Plg atas nama terdakwa Hj.Nurhayati Alias Nur binti
H.M.Arifin. Terdakwa didakwa dengan dakwaan gabungan kombinasi yaitu:
Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Subsidair Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dan
Kedua Primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat (1)
12
Ke-1 KUHP Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64
ayat (1) Ke-1 KUHP.
Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan menyatakan bahwa terdakwa
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan
Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat (1) Ke-1
KUHP. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama seumur hidup.
Majelis hakim menjatuhkan putusan dengan menyatakan bahwa terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
berdasarkan Pasal 114 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 jo. Pasal 64 ayat
(1) Ke-1 KUHP. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara
selama 18 tahun dan denda Rp.2.000.000.000,- subsidair pidana penjara selama satu
tahun.
Berdasarkan kedua putusan a quo dapat dilihat terjadi perbedaan penerapan
hukum pidana terkait Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010. Putusan pertama antara ketentuan Pasal 137 huruf a
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 dikumulatifkan sehingga seluruh unsur dalam
ketentuan Undang-Undang a quo harus dibuktikan. Putusan Kedua Jaksa Penuntut
Umum tidak mendakwa terdakwa dengan Pasal 137 huruf a ataupun Pasal 137
huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetapi mendakwa terdakwa dengan
dakwaan subsidairitas yaitu Pasal 3 Subsidair Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8
13
Tahun 2010, padahal rumusan kedua pasal tersebut hampir sama jika terdakwa
didakwa dengan salah satu Pasal dari salah satu ketentuan Undang-Undang tersebut
maka perbuatan yang dilakukan terdakwa patut diduga memenuhi seluruh rumusan
ketentuan pidana dalam kedua Undang-Undang tersebut.
Penulis juga menemukan perbedaan penerapan hukum pidana dalam putusan
terkait TPPU dan tindak pidana narkotika pada tahun 2013 dalam putusan tersebut
terdakwa didakwa dengan mengalternatifkan ketentuan Pasal 137 huruf b Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 atau Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Majelis Hakim pada perkara a quo lebih
memilih untuk membuktikan unsur Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 yang mana hal tersebut berbanding terbalik seperti perkara pada
putusan kedua di atas, rincian putusan tersebut ialah sebagai berikut:
Ketiga, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
438/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel. atas nama Terdakwa Zakiyah. Terdakwa didakwa
dengan dakwaan kombinasi sebagai berikut: Kesatu Primair Pasal 114 ayat (2) jo.
Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Subsidair Pasal 112
ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Dan Kedua
Pertama Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Atau Kedua
Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Penuntut Umum menuntut terdakwa dengan menyatakan terdakwa terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal
Kesatu Subdidiair Pasal 112 ayat (2) jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009 dan Kedua Pertama Pasal 137 huruf b Undang-Undang Nomor 35
14
Tahun 2009. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 17 tahun dan
pidana denda sejumlah Rp1.000.000.000,00 subsidair tiga bulan penjara.
Majelis Hakim juga mengadili terdakwa dengan menyatakan bahwa
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana berdasarkan Pasal Pasal 114 ayat (2) Jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 pada dakwaan Kesatu Primair dan Pasal 137 huruf b
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dakwaan Kedua Alternatif Pertama.
Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda
sejumlah Rp1.000.000.000,00 subsidair dua bulan penjara.
Berdasarkan ketiga putusan a quo telah terjadi perbedaan penerapan hukum
pidana terhadap perkara pidana sejenis karena tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa diatur oleh lebih dari satu Undang-Undang. Perbedaan tersebut
diantaranya ialah perbedaan bentuk dakwaan, perbedaan penerapan undang-undang
terhadap perbuatan terdakwa dan juga perbedaan penerapan sanksi pidana.
Core crimes dari TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU,
diatur dalam berbagai Undang-Undang, dan Undang-Undang yang mengatur coor
crimes dari TPPU tersebut tidak ada yang mengatur tindak pidana mengenai
pencucian uang kecuali Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009. Perbedaan penerapan hukum pidana pada Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tidak menjadi bahan kajian dalam penulisan hukum ini, dikarenakan
belum ada perkara pidana dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
15
terhadap TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang kehutanan yang
menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013.
Perbedaan penerapan perundang-undangan hukum pidana khusus tersebut
yang diakibatkan karena, diaturnya satu jenis tindak pidana oleh lebih dari satu
Undang-Undang pidana khusus, membuat penulis tertarik untuk mengkaji
bagaiamana seharusnya penerapan peraturan perundang-undangan terhadap
perkara TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dalam praktek
peradilan, dan juga bagaimana seharusnya prospek pengaturan peraturan
perundang-undangan yang ideal terhadap TPPU yang diperoleh dari hasil tindak
pidana narkotika di masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang akan menjadi
fokus permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimanakah penerapan peraturan perundang-undangan terhadap perkara
TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dalam putusan
pengadilan?
2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan terhadap TPPU yang diperoleh dari
hasil tindak pidana narkotika untuk berlaku di masa yang akan datang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan subjektif dan tujuan objektif yaitu
sebagai berikut:
16
1. Tujuan Subjektif
Memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum,
Universitas Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, tujuan objektif dari penelitian ini
adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang
diterapkan terhadap perkara TPPU yang diperoleh dari hasil tindak pidana
narkotika dalam putusan pengadilan (ius operatum).
b. Untuk menganalisis dan mengkaji prospek pengaturan terhadap TPPU yang
diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika di masa yang akan datang (ius
constituendum).
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi
teoritis maupun dari segi praktis sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana
dikarenakan hasil penelitian ini memberikan kejelasan mengenai peraturan
perundang-undangan yang diterapkan terhadap perkara TPPU yang berasal dari
hasil tindak pidana narkotika serta penjelasan mengenai prospek pengaturan
17
terhadap TPPU yang berasal dari hasil tindak pidana narkotika di masa yang akan
datang.
2. Manfaat praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada
pembentuk undang-undang dan aparat penegak hukum, sebagai berikut:
a. Pembentuk Undang-Undang karena hasil dari penelitian ini memberi
penjelasan mengenai prospek pengaturan yang ideal di masa yang akan
datang mengenai tidak pidana pencucian uang yang diperoleh dari hasil
tindak pidana narkotika.
b. Aparat penegak hukum karena hasil penelitian ini memberi penjelasan dan
pedoman mengenai peraturan perundang-undangan yang seharusnya
diterapkan terhadap ketentuan pidana dengan rumusan delik yang hampir
sama yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 jika dalam praktik peradilan terjadi tindak
pidana yang memenuhi seluruh rumusan delik yang diatur dalam kedua
Undang-Undang tersebut.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, belum pernah
ada penelitian maupun penulisan hukum yang berjudul Penerapan Hukum Pidana
terhadap Perkara TPPU yang diperoleh dari Hasil Tindak Pidana Narkotika. Namun
ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai tema yang sama dengan
penelitian yang penulis lakukan, antara lain:
18
1. Lina M. Ibrahim, 2005, “Upaya Penegakan Hukum atas TPPU sebagai Hasil
Tindak Pidana Insider Trading di Pasar Modal”, Tesis, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.18
Rumusan permasalahan dalam penelitian hukum tersebut ialah Tindak Pidana
Insider Trading di Pasar Modal Indonesia sebagai predicate crime yang merupakan
dasar dilakukannya TPPU. Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian
tersebut ialah: pertama, tindak pidana pasar modal merupakan salah satu predicate
crime (tindak pidana asal) bagi TPPU/money loundering sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Dalam Pasal
1 angka 1 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pencucian uang adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, mambayarkan, membelanjakan,
menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduga merupakan Hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk
menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan sehingga seolah-
olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dari pengertian tersebut jika dihubungkan
dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang predicate crime, maka ada
garis hubung yang dapat ditarik bahwa harta kekayaan yang dapat dijadikan objek
tidak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak
pidana yang disebutkan dalam Pasal 2 tersebut dimana salah satunya adalah harta
kekayaan yang didapat dari tindak pidana pasar modal. Penulis mengangkat tema
18 Lina M. Ibrahim, 2005, “Upaya Penegakan Hukum atas TPPU sebagai Hasil Tindak Pidana
Insider Trading di Pasar Modal”, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
19
mengenai insider trading termasuk sebagai salah satu tindak pidana pasar modal,
maka insider trading merupakan predicate crime dan harta kekayaan yang
merupakan hasil kejahatan insider trading merupakan objek bagi TPPU.
TPPU di pasar modal dapat terjadi melalui dua cara, pertama, hasil tindak
pidana selain tindak pidana pasar modal masuk ke dalam sistem pasar modal (dicuci
melalui transaksi yang dilakukan di pasar modal), yang kedua, hasil tindak pidana
pasar modal dicuci melalui sistempasar modal jug. Jika yang terjadi adalah bentuk
yang kedua, maka kejahatan dan proses pencucian uang dilakukan dalam satu
medium yang sama yaitu pasar modal. Kedua, dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa “Terhadap Harta Kekayaan yang diduga
merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya untuk dapat dimulainya pemeriksaaan TPPU”. Dari penjelasan Pasal 3 ayat
(1) tersebut dapat diartikan bahwa permulaan pemeriksaan TPPU tidak bergantung
pada dapat/tidaknya tindak pidana asal (predicate cruime) itu dibuktikan, atau
dengan kata lain permulaan pemeriksaaan TPPU dapat terus dilakukan walaupun
harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana belum dan atau tidak
terbukti sebagai harta hasil tindak pidana.
Khusus untuk kasus insider trading, yang pembuktiannya cukup sulit, dimana
seseorang yang dituduh telah melakukan insider trading dalam suatu transaksi
perdagangan saham dan ternyata insider trading tersebut tidak dapat dibuktikan
oleh Bapepam, maka tidak perlu lagi dibuktikan asal uang yang didapat orang
tersebut, karena transaksi yang dilakukan merupakan transaksi yang wajar,
sehingga uang yang dihasilkan pun merupakan uang yang sah. Dengan demikian,
20
menurut hemat penulis, pemeriksaaan terhadap dugaan TPPU sebagai hasil dari
tindak pidana insider trading yang dilakukan oleh Kepolisisan berdasarkan laporan
dari PPATK tidak dapat dilanjutkan karena objek TPPU tersebut tidak ada (tindak
pidana insider trading tidak terbukti/tidak ada tindak pidana, maka uang yang
dihasilkan dari suatu transaksi adalah uag yang sah dan UUPM tidak mengatur
mengenai dimungkinkannya dilakukan pembuktian terbalik terhadap kasus insider
trading). Dengan demikian upaya penegakan hukum TPPU terhadap kasus insider
trading yang tidak terbukti tidak dapat dilakukan.
Ketiga, oleh karena TPPU tidak dapat berdiri sendiri melainkan tergantung
dari adanya predicate crime, maka kerjasama antar PPATK dengan lembaga
lainnya sangat diperlukan. Dalam melakukan penegakan hukum TPPU sebagai
hasil tindak pidana pasar modal, PPATK telah melakukan kerjasama dengan
Bapepam sebagai otoritas pasar modal melalui MOU yang telah ditandatangani
oleh kedua belah pihak. Dengan ditandatanganinya MOU antara Bapepam dan
PPATK maka dalam hal ada dugaan terjadinya TPPU di pasar modal, Bapepam dan
PPATK dapat melakukan kerjasama, dimana Bapepam dapat melakukan
pemeriksaan apakah telah terjadi tindak pidana di pasar modal, sementara PPATK
melalui kepolisian tetap melakukan pemeriksaaan atas kemungkinan adanya TPPU
di pasar modal. Dengan adanya kerjasama yang baik antara Bapepam, PPATK dan
Kepolisian, maka penanganan atas setiap kasus pencucian uang sebagai akibat
tindak pidana di pasar modal dapat diatasi bersama secara lebih baik dan penegakan
hukum bisa dilakukan semaksimal mungkin.
21
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan
ialah yang pertama, penulis melakukan analisis terhadap Tidak Pidana Pencucian
Uang yang predicate crimenya Tindak Pidana Narkotika sementara penelitian
hukum di atas menganalisis TPPU yang predicate crimenya Tindak Pidana Pasar
Modal. Kedua dalam melakukan analisis terhadap TPPU, Undang-Undang yang
penulis gunakan sebagai bahan hukum primer ialah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 sementara dalam penelitian hukum di atas yang digunakan sebagai
bahan hukum primer ialah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 karena tahun
penelitian hukum tersebut dilakukan pada tahun 2005 sebelum Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 diundangkan. Dengan demikian penelitian hukum di atas
berbeda dengan penelitian hukum yang penulis lakukan.
2. Mega Dwi Sartika, 2013, “Tinjauan Umum terhadap Tindak Pidana
Perdagangan Anak sebagai Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang”, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan
Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.19
Rumusan masalah dalam penelitian hukum tersebut ialah: Pertama,
bagaimanakah pengaturan praktik kejahatan perdagangan anak yang ada di
Indonesia. Kedua, bagaimanakah mencegah dan memberantas kejahatan
perdagangan anak sebagai predicate crime dalam UU TPPU.
19 Mega Dwi Sartika, 2013, “Tinjauan Umum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak sebagai
Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang”, Tesis, Program Studi
Ilmu Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
22
Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian tersebut ialah: Pertama,
pegaturan kejahatan perdagangan anak di Indonesia secara global dapat
disimpulkan dan berawal dari beberapa hal yang menjadi penyebab terdapatnya
pekerja dalam usia anak adalah antara lain karena persepsi bekerja membantu
pendapatan keluarga, kemiskinan dan gaya hidup konsumerisme, krisis ekonomi
dan lemahnya penegakan hukum serta kondisi keluarga karena pendidikan rendah.
Pemerintah dalam Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Trafficking Perempuan dan Anak.
Perlindungan dengan mewujudkan norma hukum dan tindakan hukum terhadap
pelaku trafficking. Pencegahan segala bentuk trafficking, rehabilitasi dan reitegrasi
sosial bagi korban trafficking serta mewujudkan kerjasama dan koordinasi dalam
penanggulangan trafficking.
Pengaturan praktik kejahatan anak telah menjadi perhatian Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Beberapa usulan untuk menentang perdagangan anak telah
dikembangkan atas bantuan Dewan Jenderal dan Komisi Fungsional, Dewan Sosial
dan Ekonomi dengan memberikan bantuan dana kepada negara-negara peserta
(termasuk Indonesia) berupa advokasi oleh lembaga Swadaya Masyarakat
bekerjasama dengan pemerintah. Berbagai instrumen internasional dalam
memerangi dan menghapus eksploitasi seksual komersial telah disetujui oleh
pemerintah dan dalam penyusunan rencana aksi nasional merujuk kepada
kesepakatan yang terutang dalam instrumen internasional tersebut antara lain:
Konvensi Hak-hak Anak telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan
presiden Nomor 36 Tahun 1990. Deklarasi dan Agenda Stockholm tahun 1996.
23
Komiten dan Rencana Aksi Regional Kawasan Asia Timur dan Pasifik melawan
Eksploitasi Seksual Komersial Anak Tahun 2001. Komitmen global yokohama
tahun 2001. Konvensi ILO Nomor 182 telah diratifikasi oleh Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO. Optional Prootocol ti the
Sale of Children, Child Prostitution and Child Phornography ditandatangani pada
tanggal 24 September 2001. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking
in Persons, Especially Women and Children Supplementing to UN Convention
against Transnational Organized Crime ditandatangani pada tanggal 12 Desember
2012.
Pengaturan hukum perdagangan orang termasuk terhadap anak di bawah
umur yang diatur dalam peraturan yang berbeda pada hakikatnya merupakan suatu
perkembangan yang positif, namun tetap dirasakan belum memadai dan belum
sempurna untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat. Pengaturan yang
berbeda dan tidak dalam satu sistem akan dapat menyulitkan dan rumit dalam
penerapannya. Salah satu kendala sederhana untuk menanggulangi kejahatan ini
adalah belum diketahui secara pasti pengertian yuridis dan kejahatan
memperniagakan dan mengenai batasan tentang usia di bawah umur.
Kedua, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden
Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
Perempuan dan Anak (RAN-P3A) sebagai salah satu kebijakan dalam bidang
hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan perdagangan anak.
Pencegahan dan Pemberantasan antara lain dengan telah disahkannya
Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan TPPU yaitu Undang-Undang
24
Nomor 15 Tahun 2002 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003 dan kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Undang-Undang TPPU merupakan sarana untuk mewujudkan harapan banyak
pihak sebagai hukum untuk mengantisipasi berbagai pola kejahatan yang mengarah
pada kegiatan pencucian uang. Adapun yang menjadi sasaran dalam Undang-
undang TPPU ini adalah mencegah dan memberantas sistem atau proses pencucian
uang dalam bentuk placement, layering dan integration. Sasaran utama dalam
kegiatan pencucian uang adalah lembaga keuangan bank ataupun non bank, maka
sasaran pengaturan dari Undang-Undang TPPU ini meliputi peranan-peranan aktif
dari lembaga-lembaga ini untuk mengantisipasi kejahatan pencucian uang.
Proses pendeteksian kejahatan kegiatan pencucian uang baik pada tahap
placement, layering maupun integration akan menjadi dasar untuk merekonstruksi
asosiasi antara uang atau harta hasil kejahatan dengan si penjahat. Apabila telah
terdeteksi dengan baik, proses hukum dapat segera dimulai, baik dalam rangka
mendakwa tindak pidana pencucian uang maupun kejahatan asalnya yang terkait.
Inilah yang menjadi alasan utama mengapa PJK diwajibkan melaporkan transaksi
keuangan mencurigakan (STR-sucipious transaction report) dan transaksi
keuangan tunai (CTR-cash transaction report).
Peran industri perbankan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang sangat menonjol. Perbankan dan penyedia jasa keuangan lainnya
merupakan ujung tombak dalam rejim anti pencucian uang. Lembaga keuangan
bersama-sama dengan karyawannya berada di lini terdepan dalam upaya
memerangi aktifitas keuangan ilegal. Oleh karena itu industri perbankan harus
25
mengambil langkah-langkah konkrit untuk melakuan identifikasi, memperkecil dan
mengelola setiap risiko yang berasal dari uang haram yang mengancam individual
bank dan industri perbankan. Untuk dapat melakukan hal itu, perbankan harus
memiliki mekanisme kontrol dan mekanisme manajemen risikio dan juga meniliki
sumber daya yang cukup agar mampu dan taat pada peraturan perundang-undangan
dan pedoman tentang anti pencucian uang. Kewajiban bank ini antara lain harus
menerapkan prinsip mengenal nasabah dan melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan. Di samping itu, penerapan prinsip ini dimaksudkan untuk mencegah
dipergunakannya bank sebagai sarana pencucian uang oleh nasabah bank. Bank
diwajibkan menyusun Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah dan
menyampaikan kepada Ban Indonesia dan melaporkan setiap perubahan atas
pedoman tersebut kepada Bank Indonesia.
Dalam rangka mencegah dan memberantas TPPU. UU TPPU membentuk
PPATK suatu lembaga ndependen yang bertanggungjawab kepada presiden.
PPATK pada dasarnya adalah unit intelijen keunagan. Pentingnya PPATK
dilatarbelakangi kesadaran bahwa untuk memrangi pencucian uang dibutuhkan
keahlian khusus. Pendirian unit intelijen keuangan yang bertugas menerima dan
memproses informasi keuangan dari penyedia jasa keuangan harus dilihat dari latar
belakang phenomena semakin meningkatnya kebutuhan akan pentingnya keahlian
khsus tersebut.
Cara efektif dalam memberantas tindak pidana adalah kerjasama yang efektif
antara penegak hukum para penegak hukum yang selama ini terkesan agak terpisah-
pisah. Untuk itu, diperlukan persamaan persepsi dan kerjasama dalam
26
menggunakan pendekatan baru follow the money sebagai pelengkap pendekatan
konvensional follow the suspect. Diperlukan adanya pelatihan bersama di antara
para penegak hukum sehingga melahirkan persepsi yang sama. Untuk dapat bekerja
sama, sudah tentu diperlukan sikap saling percaya, singkirkan egoisme
kelembagaan dan danaya komunikasi yang insentif. Sedapat mungkin diupayakan
adanya komunikasi antara para penegak hukum sejak mulai penyidikan. Dengan
begitu, kalau ada perbedaan segera dapat diatasi. Untuk dapat melakukan
pendekatan follow the money dengan melakukan financial investigation, selain
diperlukan pendidikan khusus, juga dapat meminta bantuan dari akuntan publik
atau akuntan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian hukum yang penulis lakukan
ialah: Pertama, penulis melakukan analisis terhadap Tidak Pidana Pencucian Uang
yang predicate crimenya Tindak Pidana Narkotika sementara penelitian hukum di
atas menganalisis TPPU yang predicate crimenya Tindak Pidana Perdagangan
Anak. Kedua yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian hukum di atas
ialah bagaimana cara memberantas core crimes melalui Undang-Undang TPPU
sebagai follow up crimes sementara penelitian hukum yang penulis lakukan pokok
pembahasannya ialah lebih meitiberatkan pada penerapan Undang-Undang pidana
khusus yang mana yang seharusnya digunakan dalam praktik peradilan karena
terdapat pengaturan terhadap satu jenis tindak pidana oleh lebih dari satu Undang-
Undang sebagai core crimes dan follow up crimes. Dengan demikian penelitian
hukum di atas berbeda dengan penelitian hukum yang penulis lakukan.
27
3. Adi Freddy Bawaeda, 2014, “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik
dalam TPPU”, Tesis, Magister Hukum Litigasi Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. 20
Rumusan permasalahan dalam penelitian hukum tersebut ialah yang pertama
mengenai formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam
TPPU. Kedua, pertanggungjawaban pidana partai politik menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 dan ketiga mengenai reformulasi pertanggungjawaban pidana
partai politik dalam TPPU yang ideal dimasa yang akan datang.
Kesimpulan dari rumusan permasalahan penelitian hukum tersebut ialah:
pertama, Formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam
TPPU di Indonesia dimulai sejak diundangkannya Undang- Undang Nomor 15
Tahun 2002, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003, dalam kedudukannya sebagai korporasi. Tujuh tahun kemudian kedua
undang-undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.
Kedudukan korporasi di dalam ketiga undang-undang tersebut adalah sebagai
subjek tindak pidana. Hanya saja di dalam undang-undang sebelumnya (Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003),
menganut teori identifikasi atau teori organ dalam arti sempit. Oleh karena itu untuk
dapat dikatakan korporasi melakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh
pengurus (pejabat senior) korporasi. Berbeda dengan kedua undang-undang
sebelumnya, dalam Undang-Undang yang berlaku saat ini (Undang-Undang Nomor
20 Adi Freddy Bawaeda, 2014, “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik dalam TPPU”, Tesis,
Magister Hukum Litigasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
28
8 Tahun 2010), directing mind korporasi tidak hanya pejabat senior saja. Terkait
sanksi pidana, korporasi dapat dijatuhi pidana penjara, kurungan, denda, dan pidana
tambahan.
Kedua, Partai politik yang melakukan TPPU dapat dipidana dalam
kedudukannya sebagai korporasi. Namun demikian terdapat beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 yang tidak bisa diterapkan, misalnya
terkait dengan pidana tambahan. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) diatur mengenai
jenis sanksi pidana tambahan terhadap korporasi, akan tetapi beberapa diantaranya
tidak dapat dijatuhkan terhadap partai politik. Selain itu terkait dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (2). Ketentuan pasal tersebut, khususnya huruf b akan sulit dipenuhi
dalam konteks partai politik. Tidak dapat diterapkannya sejumlah ketentuan
terhadap partai politik dikarenakan partai politik walaupun sebagai badan hukum
(korporasi), tetapi rezimnya berbeda dengan pencucian uang sehingga terdapat
beberapa ketentuan yang sulit atau tidak dapat diterapkan kepada partai politik.
Permasalahan lainnya juga terletak pada Undang-Undang TPPU itu sendiri.
Walaupun dalam pendefinisian korporasi itu sendiri diformulasikan secara luas,
namum dalam penjabaran ketentuan lainnya masih dibatasi pada korporasi yang
bergerak di bidang tertentu saja (bidang usaha). Ternyata dari kalangan partai
politik itu sendiri belum paham akan kedudukan partai politik dalam TPPU sebagai
korporasi. Ketiga, Dalam memformulasikan pertanggungjawaban pidana partai
politik (korporasi) dalam TPPU kedepannya perlu diperhatikan beberapa catatan
penting. Pertama, reformulasi dilakukan terhadap ketentuan yang menyatakan
kapan korporasi dikatakan melakukan TPPU. Kedua, reformulasi terhadap
29
ketentuan sanksi pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan. Kedua
catatan ini penting untuk dipertimbangkan mengingat tindak pidana pencucian
sangatlah masif. Artinya TPPU tidak hanya terjadi di sektor usaha saja, tetapi bisa
mencakup lintas sektor.
Perbedaan penelitian hukum di atas dengan penelitian hukum yang penulis
lakukan ialah yang pertama penulis melakukan analisis terhadap penerapan perkara
TPPU yang berasal dari hasil Tindak Pidana Narkotika, berbeda dengan penelitian
di atas yang menganalisis peranggungjawaban pidana partai politik yang
melakukan TPPU. Kedua, penelitian hukum penulis melakukan analisis terhadap
pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai TPPU yang berasal
dari Hasil Tindak Pidana Narkotika. Berbeda dengan penelitian di atas yang
menganalisis pengaturan yang ideal pada masa yang akan datang mengenai
pertanggungjawaban partai politik dalam TPPU.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini disajikan ke dalam lima bab. Secara sistematis ke lima
bab dimaksud terdiri dari bab I berisi pendahuluan, bab II berisi tinjauan pustaka
tentang variabel dalam penelitian, bab III berisi metode yang dialakukan dalam
penelitian, bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan
masalah, bab V berisi penutup berupa kesimpulan dan saran. Rincian dari kelima
bab tersebut diuraikan sebagai berikut.
Bab I tentang pendahuluan. Penulis berusaha memaparkan berbagai alasan
yang melatarbelakangi perlunya penelitian dan penulisan hukum tentang penerapan
30
hukum pidana terhadap perkara TPPU yang berasal dari hasil tindak pidana
narkotika. Di samping itu, pada bab pendahuluan disajikan pula rumusan
permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian
dan sistematika penelitian.
Bab II tentang tinjauan pustaka. Penulis menguaraikan beberapa hal terkait
variabel penelitian yaitu: pertama, tinjauan tentang TPPU yaitu mengenai sejarah,
pengertian dan tipologi dari TPPU. Kedua, tinjauan tentang tindak pidana
narkotika, yaitu mengenai pengertian, dan sejarah tindak pidana narkotika. Ketiga,
tinjauan tentang penerapan hukum pidana yaitu mengenai penerapan hukum,
hukum pidana dan penerapan hukum pidana.
Bab III tentang metode penelitian. Penulis menguaraikan mengenai mtode
yang digunakan dalam penelitian ini mulai dari jenis penelitian, bahan penelitian,
cara dan alat penelitian, analisis hasil penelitian, jalnnya penelitian dan kendala
dalam melakukan penelitian ini.
Bab IV tentang hasil penelitian dan pembahasan. Penulis melakukan
pembahasan terhadap dua rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: pertama,
pembahasan tentang penerapan hukum pidana terhadap perkara TPPU yang berasal
dari tindak pidana narkotika dalam praktik peradilan. Kedua, pembahasan tentang
prospek pengaturan TPPU yang berasal dari tindak pidana narkotika untuk berlaku
di masa yang akan datang. Akhir bab IV disajikan analisis data
Bab V tentang Penutup. Penulis memberikan kesimpulan dan saran terkait
hasil penelitian yang telah penulis lakukan.