bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.perbanas.ac.id/3836/5/bab i.pdf · diragukan dan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kecurangan merupakan masalah yang sering kali ditemui di sekitar kita,
baik berskala kecil maupun berskala besar seperti halnya korupsi. Hampir setiap
hari media masa selalu menyajikan berita terkait dengan kecurangan seperti
korupsi, money loundering (pencucian uang), gratifikasi, penyuapan, dan
sebagainya. Semakin hari kecurangan di Indonesia semakin membudaya dan
semakin rumit untuk diatasi. Hal tersebut dikarenakan para pelaku kecurangan
merupakan orang yang berpendidikan dan telah berpengalaman, sehingga mereka
dapat dengan mudah menentukan celah dan jalan keluar apabila terjerat dalam
suatu skandal. Berbagai skandal kecurangan tersebut umumnya tidak memandang
siapa mereka, apa jabatan yang sedang diembannya, dan apa latar pendidikan
mereka. Tak hanya itu, para pelaku kecurangan umumnya berasal dari berbagai
golongan profesi, salah satunya adalah akuntan.
Gallup (2005) dalam Wilopo (2016) melakukan penelitian untuk membuat
peringkat bagi standar kejujuran dan etika dari dua puluh satu (21) profesi di
USA. Survei ini di lakukan di USA dengan masyarakat USA sendiri sebagai
sampel penelitiannya dengan mengajukan berbagai pertanyaan tentang perilaku
kedua puluh satu profesi ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya enam
profesi aja yang memiliki peringkat standar tinggi dan sangat tinggi dalam
kejujuran dan etika, sedangkan ke sembilan sisanya memiliki skor yang rendah.
2
Keenam profesi tersebut diantaranya; profesi yang menduduki peringkat nomer
satu adalah perawat, kemudian selanjutnya adalah apoteker, dokter, guru, polisi,
dan rohaniawan.
Profesi akuntan berada pada peringkat ke-sembilan. Sedangkan peringkat
terbawah diduduki oleh profesi salesman dan telemarketer. Gallup (2005)
menyatakan bahwa peringkat akuntan semakin menurun dikarenakan skandal
keuangan yang terjadi di awal abad 20-an seperti kasus Enron, dan Wolrdcom
yang melibatkan Kantor Akuntan Publik Arthur Anderson. Berbagai skandal
korupsi yang sering diberitakan di media masa saat ini dilakukan oleh berbagai
golongan profesi, tak luput salah satunya adalah akuntan. Keterlibatan akuntan
dalam kasus kecurangan atau korupsi menyebabkan integritas akuntan semakin
diragukan dan menjadi sorotan publik. Selain itu, bukti lain menunjukkan bahwa
berdasarkan laporan Mahkamah Agung atas keputusan tindak pidana korupsi dari
2003 hingga 2012, ternyata lebih dari 70% pelaku korupsi berasal dari jenjang
pendidikan Sarjana (Wilopo 2016 : 37).
Pendidikan berperan penting dalam pembentukan karekter bangsa dan
pengedukasian terhadap pencegahan korupsi. Pendidikan yang baik adalah yang
mampu memberikan edukasi terhadap para siswanya. Namun sayangnya, dunia
pendidikan di Indonesia telah lama diwarnai dengan ketidakjujuran yang
dilakukan oleh para siswanya, tak luput di Perguruan Tinggi yang biasa dikenal
dengan kecurangan akademik. Tren ketidakjujuran ini menimbulkan berbagai
ancaman dalam dunia bisnis, sehingga para akademisi ditantang untuk
3
menghindari ketidakjujuran ini dan diharapkan mampu menghargai etika
pendidikan dan pengembangan moral pendidikan sarjana (Deliana, dkk, 2017).
Fenomena kecurangan akademik yang terjadi di Perguruan Tinggi salah
satunya di STIE Perbanas Surabaya khususnya pada mahasiswa Akuntansi
beragam, mulai dari kecurangan saat ujian seperti mencontek dan membuka
jawaban saat ujian melalui handphone, hingga pelanggaran berat seperti
menititipkan tanda tangan sebagai bukti hadir perkuliahan, memalsukan surat ijin
sakit, memalsukan tanda tangan orang tua bahkan dosen. Hal tersebut terbukti
dengan adanya pemberitahuan pempublikasian wajah, identitas pelaku, maupun
pernyataan tertulis pelaku kecurangan di papan mading kampus. Konsekuensi
yang harus mereka terima juga dapat dikatakan sepadan yakni digugurkannya
mata kuliah yang terbukti telah dicurangi, bahkan skorsing. Namun, nyatanya
sanksi tersebut tidak memberikan efek takut pada mahasiswa lainnya, justru
mereka masih berani untuk berbuat curang demi mendapatkan yang mereka
inginkan.
Pengawasan di setiap sudut ruangan, termasuk ruang kelas pun terbilang ketat.
Pihak STIE Perbanas Surabaya telah memasang kamera CCTV untuk mengawasi
proses perkuliahan di dalamnya. Namun, sebagian besar tindak kecurangan
ditemukan bukan dari kamera CCTV, namun oleh pengawas ujian atau dosen
yang mengawasi jalannya ujian. Padahal, pendidikan di STIE Perbanas Surabaya
telah banyak membekali para mahasiswanya dengan penerapan dan pengasahan
softskill maupun hardskill. Softskill telah banyak diterapkan dalam kegiatan
perkuliahaan, seperti pada sesi tanya jawab perkuliaan, kemandirian, hingga
4
kegiatan Super Softskill Mentoring (SSM) yang diadakan di Semester Genap tiap
tahunnya. Harapannya, dengan diadakannya kegiatan tersebut akan timbul
kesadaran diri, sikap proaktif , mental yang sehat, dan kejujuran dari mahasiswa.
Namun sepertinya tidak semua mahasiswa menerapkan softskillnya dalam
kegiatan perkuliahan sehari-hari. Alhasil, masih saja ada mahasiswa yang terbukti
melakukan kecurangan.
Kecurangan akademik khususnya pada saat Ujian Tengah Semester (UTS)
maupun Ujian Akhir Semester (UAS) di STIE Perbanas Surabaya selalu terjadi di
setiap semester, hal ini dibuktikan dengan data rekap mahasiswa yang melakukan
ketidakjujuran berupa mencontek, membuka catatan, dan lain-lain mulai dari
periode Gasal 2013/2014 hingga Genap 2017/2018 sebagai berikut:
Tabel 1.1
Data Mahasiswa Yang Melakukan Kecurangan Akademik
TAHUN SEMESTER JUMLAH PER
SEMESTER
PER
TAHUN
2013
GENAP 2013/2014 UTS 0
2
9 UAS 2
GASAL 2013/2014 UTS 3
7 UAS 4
2014
GENAP 2014/2015 UTS 2
5
15 UAS 3
GASAL 2014/2015 UTS 2
10 UAS 8
2015
GENAP 2015/2016 UTS 1
4
19 UAS 3
GASAL 2015/2016 UTS 2
15 UAS 13
2016
GENAP 2016/2017 UTS 2
6
11 UAS 4
GASAL 2016/2017 UTS 3
5 UAS 2
2017
GENAP 2017/2018 UTS 0
10
11 UAS 10
GASAL 2017/2018 UTS 0
1 UAS 1
JUMLAH KESELURUHAN 65
Sumber: Bagian Akademik STIE Perbanas Surabaya, diolah.
5
Gambar 1.1
Grafik Kecurangan Akademik Mahasiswa Jurusan Akuntansi STIE
Perbanas Surabaya per Semester
Gambar 1.2
Kecurangan Akademik Mahasiswa Akuntansi STIE Perbanas Surabaya
per UTS/UAS
Tabel 1.1 maupun Gambar 1.2 menyajikan data bahwa kecurangan akademik
cenderung lebih tinggi disaat UAS dari pada UTS. Hal ini terbukti dari lebih
besarnya angka kecurangan saat UAS dari pada UTS di setiap semesternya.
Kecurangan tertinggi terjadi pada UAS semester Gasal 2015/2016 sebanyak 13
mahasiswa, Genap 2017/2018 sebanyak 10 mahasiswa, dan Gasal 2014/2015
2
5 4 6
10
7
10
15
5
1
2013 2014 2015 2016 2017
Kecurangan Akademik
GENAP GASAL
0
3 2 2
1 2 2
3
0 0 2
4 3
8
3
13
4 2
10
1
GENAP13/14
GASAL13/14
GENAP14/15
GASAL14/15
GENAP15/16
GASAL15/16
GENAP16/17
GASAL16/17
GENAP17/18
GASAL17/18
Kecurangan Akademik
UTS UAS
6
sebanyak 8 mahasiswa, sedangkan kecurangan terendah terjadi pada UTS
semester Genap 2013/2014 dan 2017/2018, serta Gasal 2017/2016, dimana tidak
terdapat mahasiswa yang tercatat telah mencontek. Jika ditelusuri lebih lanjut,
umumnya mahasiswa cenderung merasa mata kuliah di periode UAS (Setelah
UTS hingga menjelang UAS) lebih sulit jika dibandingkan dengan periode UTS
(setelah awal masuk hingga menjelang minggu UTS). Hal ini dikarenakan pada
silabus perkuliahan memberikan perkenalan materi di awal minggu dan semakin
bertambah tingkat kesulitan dan kompleksitasnya di minggu-minggu berikutnya.
Jika ditinjau secara keseluruhan semester, kecurangan akademik tertinggi berada
pada periode 2015/2016 yang berjumlah 19 mahasiswa. Lalu, jika dilihat tren
kecurangan ini cenderung masih berfluktuatif setiap periodenya.
Ketidakjujuran dalam dunia pendidikan yang selanjutnya disebut dengan
kecurangan akademik (academic fraud maupun academic dishonesty) dapat
diartikan sebagai tindakan curang yang dilakukan oleh mahasiswa yang meliputi
mencontek dalam bentuk kertas kecil atau melalui ponsel, copy paste dari internet,
bekerjasama dengan teman saat ujian, dan masih banyak lagi (Santoso dan Yanti,
2015). Academic fraud dapat didefinisikan sebagai suatu cara dan tindakan yang
dilakukan dengan unsur kesengajaan untuk mencapai suatu tujuan (hasil yang
baik) yang berasal dari perilaku tidak jujur. Kecurangan akademik yang dilakukan
mahasiswa menurut Fitriana dan Baridwan (2012) adalah upaya untuk
mendapatkan sesuatu secara tidak jujur. Kecurangan akademik yang dilakukan
pelajar maupun mahasiswa dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan
dengan sengaja, seperti halnya pelanggaran terhadap peraturan, ketidakadilan
7
dalam penyelesaian tugas dan ujian, melakukan copy paste terhadap tugas
rekannya dan sebagainya. Ketidakjujuran akademik yang dilakukan mahasiswa
disebabkan diantaranya adanya tekanan, peluang dan pembenaran perilaku yang
diteliti oleh Apriani, dkk (2017), Artani dan Wetra (2017), Deliana dkk (2017),
Nursani dan Irianto (2016), Fitriana dan Baridwan (2012), dan Becker, et al.,
(2006) Selain itu, ada beberapa faktor lainnya seperti self-efficacy yang diteliti
oleh Artani dan Wetra (2017), Purnamasari (2013), Pudjiastuti (2012),
Kushartanti (2009), dan Bolin (2004), dan juga religiusitas oleh Herlyana, dkk
(2017), Pamungkas (2014), dan Purnamasari (2013).
Pertama, tekanan. Tekanan adalah situasi yang menghimpit seseorang yang
mengakibatkan mereka seketika memiliki kebutuhan yang sangat mendesak yang
terkadang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. (Tuanakotta, 2010 : 207).
Tekanan yang dirasakan mahasiswa pun bermacam-macam, diantaranya; mereka
ingin mendapatkan IPK baik pada masa studinya, tekanan dari dirinya, lingkungan
dan orang tua. Semakin banyak tekanan yang dirasakan oleh mahasiswa, semakin
besar pula niat untuk melakukan kecurangan akademik (Fitriana & Baridwan,
2012). Tekanan menyebabkan mereka dituntut untuk memenuhi target dalam diri
mereka. Tak hanya berasal dari internal, faktor tekanan eksternal juga dirasa akan
memberatkan mahasiswa. Tak hanya berujung pada tindak kecurangan terhadap
pendidikannya, apabila mahasiswa merasa dirinya terlalu tertekan, maka tidak
menutup kemungkinan dia akan berbuat kriminal. Penelitian yang dilakukan oleh
Apriani, dkk (2017) memberikan hasil bahwa tekanan berpengaruh terhadap
terjadinya kecurangan. Penelitian tersebut mendukung penelitian yang dilakukan
8
oleh, Zamzam, dkk (2017), dan Deliana, dkk (2017) dan Fitriana dan Baridwan
(2012). Namun, penelitian oleh Artani dan Wetra (2017) dan Nursani (2016),
memberikan hasil yang sedikit berbeda, bahwa tekanan yang dirasakan oleh
mahasiswa tidak berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan.
Kedua, peluang. Peluang didefinisikan sebagai elemen kedua dalam Fraud
Triangle, dikarenakan tekanan saja tidak akan membuat seseorang melakukan
ketidakjujuran, namun jika seseorang melihat peluang dan terhimpit tekanan,
maka ia akan semakin termotivasi untuk bertindak curang (Tuanakotta, 2010 :
211). Peluang untuk melakukan tindak kecurangan yang biasanya dilihat oleh
mahasiswa STIE Perbanas Surabaya adalah mereka sering kali menganalisis
situasi ruang kelas ketika mereka sedang melakukan ujian. Mereka sering kali
memperhatikan baik dosen ataupun pengawas ujian. Ketika pengawas ujian
terlihat lengah, mahasiswa akan seketika memikirkan cara untuk membuka
jawaban yang dibawanya dan berusaha berhati-hati agar tidak terlihat. Tak hanya
peluang terkait pengawas, peluang yang menguntungkan mahasiswa adalah posisi
duduk yang “tepat”. Tepat memiliki maksud yakni mereka terhalangi oleh rekan
yang lain sehingga mereka tidak terlihat oleh pengawas. Dari kesempatan inilah
mereka akan senantiasa bebas untuk membuka jawaban yang telah mereka
persiapkan. Keterkaitan antara peluang dengan tindak terjadinya kecurangan telah
banyak diteliti. Diantaranya diteliti oleh Deliana, dkk (2017), Nursani dan Irianto
(2016), Fitriana dan Baridwan (2012), dan Bolin (2004) yang memberikan hasil
bahwa peluang berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik.
Sedangkan penelitian oleh Apriani, dkk (2017), Zamzam, dkk (2017), dan Artani
9
dan Wetra (2017) menujukkan bahwa peluang yang dirasakan oleh mahasiswa
tidak berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik.
Ketiga, pembenaran. Pembenaran biasanya terjadi sebelum seseorang
melakukan kecurangan, bukan sesudahnya. Mencari pembenaran merupakan
bagian yang harus ada dalam kejahatan itu sendiri, bukan sebuah motivasi untuk
melakukan kejahatan. Pembenaran diperlukan agar pelaku dapat mencerna
perilakunya yang berlawanan dengan hukum untuk tetap mempertahankan jati
dirinya sebagai orang yang dipercaya (Tuanakotta, 2010 : 212). Pembenaran yang
mendasari mahasiswa untuk melakukan tindak kecurangan adalah karena mereka
memiliki alasan yang sebenarnya dikatakan baik, seperti agar dapat lulus dalam
mata kuliah tertentu, agar IPK tinggi, dan sebagainya, namun tindakan yang
mereka lakukan salah. Pembenaran bertentangan antara niat dengan perilaku.
Pembenaran hanya berada di sudut pandang individu tersebut tapi dapat dilihat
orang lain sebagai tindakan yang salah. Penelitian untuk membuktikan keterkaitan
antara pembenaran dengan tindak kecurangan akademik pernah dilakukan oleh
Apriyani, dkk (2017), Nursani (2016), dan Fitriana dan Baridwan (2012) secara
bersama-sama memberikan hasil bahwa pembenaran berpengaruh terhadap
kecurangan akademik. Namun, berbeda dengan peneliti oleh Deliana, dkk (2017)
Artani dan Wetra (2017), dan Zamzam, dkk (2017) yang menemukan bahwa
pembenaran tidak berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan akademik.
Self-efficacy banyak didefinisikan sama dengan kepercayaan diri seseorang.
Efikasi diri merupakan keyakinan pada kemampuan seseorang untuk mengatur
dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai
10
keinginannya (Ghufron dan Risnawita 2011 : 73). Dalam diri mahasiswa pastinya
memiliki pengukuran tersendiri terhadap kemampuannya dalam menanggapi
berbagai macam situasi dam masalah. Ketika efikasi diri seseorang meningkat,
maka ia akan merasakan bahwa ia akan sangat mampu untuk menyelesaikan
masalah dengan segenap kemampuannya, begitu juga sebaliknya. Mahasiswa
yang melakukan kecurangan akademik dapat dikategorikan sebagai mereka yang
memiliki efikasi diri rendah. Hal itu dikarenakan mereka tidak memiliki
kepercayaan diri yang cukup terhadap kemampuan yang mereka miliki. Padahal
ketika menghadapi ujian seperti kuis, UTS, UAS, mahasiswa tidak akan belajar
terlalu banyak. Hal ini dikarenakan sistem ujian di STIE Perbanas Surabaya yang
memiliki cut-off di setiap tiga kali pertemuan. Seharusnya, tiga sub-bab yang
mereka pelajari selama tiga minggu tersebut telah dipahami, bukan justru
bertindak curang. Penelitian terkait efikasi diri dengan terjadinya kecurangan
pernah diteliti oleh Purnamasari (2013), Pudjiastuti (2012) dan Kushartanti (2009)
menunjukkan bahwa Self-Efficacy berpengaruh terhadap terjadinya kecurangan
akademik. Sedangkan penelitian oleh Artani dan Wetra (2017), Bolin (2004)
menjelaskan bahwa Self-Efficacy tidak berpengaruh terhadap kecurangan
akademik.
Hal berikutnya adalah religiusitas. Religi menurut Glock and Stark dalam
Ghufron dan Risnawita (2011 : 167) adalah tingkat keterkaitan individu dengan
agamanya yang dimana telah dihayati dan sehingga berpengaruh kepada segala
aspek kehidupannya. Hal ini didasari oleh kepercayaan dan pengalaman spiritual
masing-masing. Penelitian terkait religiusitas dengan terjadinya kecurangan
11
akademik pernah dilakukan oleh Herlyana, dkk (2017) dan Purnamasari (2013)
yang memberikan hasil bahwa religiusitas berpengaruh terhadap kecurangan
akademik.
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa STIE Perbanas Surabaya jurusan
Akuntansi dikarenakan STIE Perbanas Surabaya merupakan salah satu Perguruan
Tinggi unggulan yang menghasilkan lulusan yang mampu terjun di bidang bisnis
dan perbankan yang berwawasan global (www.perbanas.ac.id), sehingga
diharapkan para mahasiswanya mampu meningkatkan dan menjunjung visi misi
STIE Perbanas Surabaya sebagai mahasiswa yang berkompeten dan memiliki
daya saing. Dikarenakan menurut Becker et al., (2006), mahasiswa yang
menempuh pendidikan berbasis bisnis lebih banyak melakukan kecurangan
(seperti mencontek, dan sebagainya) dikarenakan mereka memiliki mental yang
lemah. Hal ini tentunya tidak diiginkan oleh Perguruan Tinggi manapun terkait
dengan mental atau kualitas mahasiswa mereka yang rendah. Selain itu,
diharapkan juga para mahasiswa Akuntansi Perbanas yang nantinya akan menjadi
seorang profesional, mampu menjunjung kode etik dan keprofesionalannya.
Berdasarkan paparan fenomena di atas dan terdapatnya research gap pada
penelitian terdahulu menjadikan peneliti tertarik untuk menyusun penelitian
dengan judul “Analisis Pengaruh Dimensi Fraud Triangle, Self-Efficacy, dan
Religiusitas Terhadap Terjadinya Kecurangan Akademik Mahasiswa
Jurusan Akuntansi”.
12
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
munculah beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh tekanan (pressure) terhadap terjadinya kecurangan
akademik mahasiswa jurusan akuntansi?
2. Bagaimana pengaruh peluang (opportunity) terhadap terjadinya
kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi?
3. Bagaimana pengaruh pembenaran (rationalization) terhadap terjadinya
kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi?
4. Bagaimana pengaruh self-efficacy terhadap terjadinya kecurangan
akademik mahasiswa jurusan akuntansi?
5. Bagaimana pengaruh religiusitas terhadap terjadinya kecurangan akademik
mahasiswa jurusan akuntansi?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh tekanan (pressure) terhadap terjadinya
kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi.
2. Untuk menganalisis pengaruh peluang (opportunity) terhadap terjadinya
kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi.
13
3. Untuk menganalisis pengaruh pembenaran (rationalization) terhadap
terjadinya kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi.
4. Untuk menganalisis pengaruh self-efficacy terhadap terjadinya
kecurangan akademik mahasiswa jurusan akuntansi.
5. Untuk menganalisis pengaruh religiusitas terhadap terjadinya kecurangan
akademik mahasiswa jurusan akuntansi.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Mahasiswa
Penelitian ini selain dapat digunakan untuk menambah ilmu pengetahuan
baru, juga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran diri mahasiswa
untuk dapat berpasrtisipasi aktif dalam meningkatkan kejujuran dan
ketikutsertaan secara positif dalam peraturan lingkungan Perguruan
Tingginya.
b. Bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait dengan
faktor-faktor apa saja yang dapat menimbulkan keinginan untuk berbuat
curang, sehingga lembaga pendidikan dapat dengan mudah mencari
langkah antisipasi atau langkah memperbaiki agar dapat menghalangi
adanya celah untuk melakukan kecurangan.
c. Bagi Pemerintah
Tidak hanya ditujukan kepada tiga pihak di atas, pemerintahpun dapat
juga merasakan manfaat penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu
14
memberi masukan kepada pemerintah mengenai bagaimana tata kelola
yang baik, serta untuk membuat peraturan mengenai penerapan Standard
Operating Procedure (SOP) yang harus dimiliki oleh seluruh instansi
pendidikan di Indonesia.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memberikan penjelasan mengenai objek dan pembahasan yang lebih
rinci, maka dibuatlah sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan ini terdiri atas beberapa subbab, diantaranya uraian
Latar Belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan Skripsi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini menjelaskan tentang Penelitian Terdahulu, Landasan
Teori yang digunakan untuk meneliti, Kerangka Pemikiran dan
Hipotesis. Dalam Kerangka Pemikiran diharapkan mampu
menjelaskan hubugan keterkaitan antar variabel yang diteliti.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang prosedur dan tata cara untuk
megetahui sesuatu dalam penelitian ini dengan mengungkapkan
langkah-langkah yang sistematis. Isi dari bab ini meliputi
Rancangan Penelitian, Batasan Penelitian, Identifiksi Variabel,
Definisi Operasional dn Pengukuran Variabel, Populasi, sampel
15
dan Teknik Pengambilan Sampel, Data dan Metode Pengumpulan
Data, Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian, dan
Teknik Analisis Data.
BAB IV GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN DAN ANALISIS
DATA
Bab ini menjelaskan tentang gambaran subjek penelitian, analisis
data dan pembahasan hasil penelitian.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan tentang kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan
saran untuk penelitian selanjutnya.