bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Australia merupakan salah satu Negara yang memiliki permasalahan
dengan pencari suaka yang memaksa masuk wilayah Australia dengan cara yang
tidak legal. Australia merupakan destinasi para pencari suaka yang ingin
mendapatkan perlindungan dengan status sebagai pengungsi sehingga kemudian
mereka berharap akan mendapatkan kewarganegaraan dan ijin tinggal di
Australia. Beberapa Negara yang menjadi tujuan bagi para pencari suaka yang
ingin mendapatkan statusnya sebagai pengungsi merupakan Negara yang
memiliki keberhasilan ekonomi, kesejahteraan sosial, maupun kestabilan politik
seperti Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Jerman, Inggris, spanyol serta Selandia
Baru termasuk Australia yang memiliki kestabilan politik dan ekonomi.1 Australia
sendiri termasuk salah satu Negara yang bisa dibilang memiliki keberhasilan
ekonomi dan stabilitas politik.
Para pencari suaka yang datang kebanyakan berasal dari Negara-Negara
Asia yang sedang mengalami konflik politik, diantaranya adalah Afghanistan,
Iraq, Iran, Sri Lanka dan dari beberapa Negara lainya.2 Terjadinya konflik politik
yang berkepanjangan tersebut mengakibatkan Negara asal dirasa tidak
1 Jurnal Skripsi, M. Rifqi Herdiansyah. “KEBIJAKAN PEMERINTAH AUSTRALIA TERKAIT
PERMASALAHAN IRREGULARMARITIME ARRIVALS PERIODE KEPEMIMPINAN
PERDANA MENTERI JULIAGILLARD TAHUN 2010-2012” dalam
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Jurnal%20Skripsi%20M.%20Rifqi%20Herdianzah.pdf
di akses pada 23-10-2013 2 Jannet Philips, 2014, “Boat People to Australia: A quick Guide To The Statistic”, diunduh dari
http://parlinfo.aph.gov.au/parlInfo/download/library/prspub/2958111/upload_binary/2958111.pdf;f
ileType=application/pdf diakses pada 25-10-2014
2
memungkinkan lagi untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya
sehingga memaksa mereka untuk mencari perlindungan di Negara lain.
Kedatangan para pencari suaka menuju Australia memiliki maksud untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, perlindungan, serta jaminan keselamatan dari
Negara tujuan.
Isu pengungsi memang menjadi permasalahan dan agenda internasional,
hal tersebut dapat dilihat dari terbentuknya UNHCR (United Nation High
Commissioner for Refugees) yang merupakan organisasi tangan kanan PBB yang
khusus menangani isu pengungsi dunia.3 Organisasi ini bertujuan untuk
membantu masyarakat dunia yang hidupnya terncam dinegara asalnya dan tidak
memungkinkan untuk tetap tinggal dinegara asalnya agar mendapatkan
perlindungan dengan menempatkan mereka di Negara lainya.4
Australia merupakan salah satu Negara yang telah menandatangani
konvensi 1951 dan protokol 1967, dan telah secara resmi tergabung menjadi
anggota UNHCR. Ini artinya Australia memiliki kewajiban untuk turut
berpartisipasi dalam membantu para pengungsi yang ingin meninggalkan
negaranya, serta memberikan fasilitas dan perlindungan bagi para pengungsi
sesuai dengan komitmen yang tertuang dalam konvensi yang telah di setujui
bersama sebelumnya.5 Namun meskipun demikian demikian tetap ada prosedur
3 Brian White, Richard Little dan Michael Smith, 1997, “Issues In World Politics”, London,
Macmillan Press, hal 217-218. 4 Lihat www.unhcr.org
5 United Nation, REFUGEES AND STATELESS PERSONS; Convention Relating to The Status
Of Refugees, dalam
https://treaties.un.org/doc/Publication/MTDSG/Volume%20I/Chapter%20V/V-2.en.pdf di unduh
pada 23-10-2013
3
yang wajib untuk dipenuhi oleh para pencari suaka sebelum mereka mendapatkan
tempat ataupun perlindungan dari Australia dan Negara lainya.
Para pengungsi memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan jaminan
keamanan dari pemerintah Australia sesuai dengan perintah konvensi 1951 dan
protocol 1967, namun kedatangan mereka dianggap menjadi masalah oleh
Pemerintah Australia. Hal tersebut di karenakan adanya pelanggaran prosedur
yang dilakukan oleh para pencari suaka, mereka masuk dalam territorial Australia
dengan cara yang tidak direkomendasikan. Australia beranggapan pencari suaka
yang datang tanpa teridentifikasi berpotensi memberikan dampak negative bagi
negaranya.6 Kondisi tersebut kemudian menjadi landasan bagi Australia
memberikan efek jera bagi para pencari suaka yang datang dengan menggunakan
perahu. Hal itu dapat dilihat dari beberapa kebijakan australia yang bersifat
preventif terhadap pencari suaka ini.
Para pencari suaka yang datang ke Australia memanfaatkan jalur perairan
Indonesia, dan menjadikan Indonesia sebagai tempat transit atau pemberhentian
sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Negara tujuan. Perjalanan
mereka menuju Australia dengan menggunakan perahu, yang difasilitasi oleh
oknum tertentu yang merupakan warga Negara Indonesia.7 Letak georafis
Indonesia yang strategis menjadikan Indonesia sebagai jalur faforit bagi para
pencari suaka yang bertujuan ke Australia, sehingga Indonesia memiliki peran
6 Dalam http://www.afp.gov.au/en/policing/people-smuggling.aspx diakses 23 Oktober 2013
7 Sigit Zulmunir, “Warga Bogor Tersangka Penyelundup Imigran Rohingya”, dalam
http://en.tempo.co/read/news/2013/11/19/078530762/Warga-Bogor-Tersangka-Penyelundup-
Imigran-Rohingya 24-10- 2013
4
penting yang di bisa di manfaatkan oleh Pemerintah Australia untuk membendung
masuknya para imigran.
Dengan kondisi seperti ini tentunya Australia perlu untuk melakukan
kerjasama dengan Indonesia. Melalui kerjasama ini akan mempermudah Australia
untuk mencegah masuknya pencari suaka dengan menggunakan perahu karena
akan mempersempit ruang gerak para pencari suaka dan penyelundup untuk
menembus perbatasan Australia. Indonesia bisa menjadi benteng pertahanan
terluar Australia sebelum para pengungsi sampai ke batas wilayah Negara. Para
pencari suaka akan lebih dulu tertangkap oleh petugas keamanan Indonesia
sebelum mereka sampai ke australia.
Pada tahun 2002, Australia yang di pimpin oleh perdana menteri Jhon
Howard dan Indonesia di pimpin oleh Presiden Megawati melakukan kerjasama
dengan menginisiasi sebuah forum internasional yang di kenal dengan Bali
Procces yang bertujuan untuk memberantas penyelundupan dan perdagangan
manusia, serta kejahatan transnasional terkait lainnya dengan melibatkan beberapa
Negara tetangga yang memiliki visi yang sama terhadap isu-isu tersebut dan
berkomitmen untuk mengatasi permasalahan people smuggling dan trafficking.8
Forum ini tentunya dapat di maksimalkan oleh Australia untuk menguatkan sektor
keamanan dalam pencegahan penyelundupan pencari suaka ke Australia pada
khususnya dan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada isu transnational crime9
8 “Bali Proccess” Dalam http://www.unhcr.or.id/id/Bali-process-id di akses pada tanggal 28-10-
2013 9 Transnational Organized Crime merupakan kegiatan kejahatan yang bersifat lintas batas Negara
yang terdiri dari tiga orang atau lebih dan bersifat terorganisir. Kegiatan criminal seperti ini
cenderung bersifat bisnis untuk mengejar keuntungan finansial atau keuntungan lainya. Misalnya,
penyelundupan manusia,terrorisme, dan penyelundupan obat terlarang. Paul D. Williams, 2008,
5
terkait lainya. Australia dan Indonesia juga melakukan kerjasama keamanan yang
di kenal dengan Lombok treaty pada tahun 2006, yaitu sebuah perjanjian
kerjasama yang meliputi kerjasama intelijen, keamanan maritim, keamanan
penerbangan, proliferasi senjata pemusnah massal dan kerjasama tanggap
darurat.10
Upaya Pemerintah Australia untuk memperkuat pertahanan dan keamanan
territorialnya dari serbuan para pencari suaka yang mencari suaka terus berlanjut.
Upaya untuk menjadikan Indonesia partner sekaligus ujung tombak dalam
menghadang para pengungsi yang datang ke Australia melalui perairan Indonesia
di lanjutkan dengan melakukan kerjasama antar instansi kedua Negara. Pada tahun
2011 lalu, POLRI dan Australia Federal Police melakukan kesepakatan perjanjian
kerjasama yang berdasarkan atas Lombok Treaty dalam pencegahan dan
pemberantasan kejahatan lintas Negara. Perjanjian tersebut langsung di tanda
tangani oleh KAPOLRI Jendral Timur Pradopo (POLRI) dan Commissioner Tony
Negus APM (AFP) serta disaksikan oleh masing masing Kepala Negara.11
Didalam kerjasama tersebut, Australia tentunya mempunyai sebuah misi
yang direfleksikan dengan melakukan ratifikasi nota kesepahaman dengan
Indonesia. Australia tentunya menyadari bahwa permasalahan pencari suaka
tersebut akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk di selesaikan. Di
“Security Studies; An Introduction”, New York, Routledge, hal; 454 dalam
http://bookfi.org/dl/1154013/402e3b diakses pada 08-10-2014 10
“Perjanjian Keamanan RI-Australia Resmi Berlaku” Dalam
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1313 di akses pada
tanggal 28-10-2013 11
Naskah kerjasama antara Kepolisian Republik Indonesia dengan Polisi Federal Australia
“Pengaturan Antara Kepolisian Republik Indonesia Dan Kepolisian Federal Australia Tentang
Kerjasama Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara” dalam
http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty/index diakses pada 28-10-2013
6
perlukan sebuah strategi yang jitu untuk menghambat arus kedatangan para
pengungsi ke Australia. Sehingga dengan kerjasama tersebut, Australia dapat
menekan arus kedatangan pengungsi dan mengurangi beban Pemerintah dalam
penanganan isu tersebut.
Kebijakan Australia untuk mempererat hubungan kerjasama melalui
instrument Polisi Federal Polisi-nya merupakan hal yang tepat, karena secara
geografis, Indonesia adalah Negara tetangga Australia dan menjadi jalur faforit
bagi para pencari suaka. Ketika jalur tersebut, yang notabene banyak di
manfaatkan oleh para pencari suaka dapat di control, maka secara otomatis
Australia dapat meminimalisir arus kedatangan mereka. Namun sebaliknya jika
Australia tidak mampu mengontrol wilayah tersebut maka jumlah para pengungsi
yang datang tidak akan sepenuhnya mampu di bendung. Dan tentunya hal tersebut
akan merugikan Australia, serta potensi akan ancaman yang di timbulkan oleh
para pencari suaka akan semakin besar.
Pada tahun 2011 lalu, Polisi federal Australia juga memberikan bantuan
tiga buah kapal patroli kepada Kepolisian Republik Indonesia yang dapat
digunakan untuk kepentingan patrol di daerah perbatasan.12
Bantuan tersebut
merupakan refleksi dari kerjasama yang di lakukan sekaligus merupakan
kepanjangan tangan dari kepentingan Australia. Dengan bantuan yang diberikan
tersebut, tentunya akan mempermudah Kepolisian Republik Indonesia dalam
penanggulangan arus gelombang para pencari suaka. Manfaat yang di dapatkan
Australia sendiri adalah semakin ketatnya penjagaan jalur pintu masuk para
12
“Australia Bantu POLRI Tiga Kapal Patroli”
http://www.jpnn.com/read/2011/12/06/110341/Australia-Bantu-Polri-Tiga-Kapal-Patrol di akses
pada 28-10- 2013
7
pengungsi menuju Australia maka keamanan nasional Australia pun dapat
tercontrol.
Pada dasarnya penyelesaian masalah pencari suaka memang tidak hanya
bertumpu pada institusi Australia Federal Police ataupun POLRI saja. Namun juga
melibatkan pihak-pihak terkait dalam penangananya. Namun disini peneliti
melihat bahwa kedua institusi tersebut merupakan institusi utama yang mewakili
kepentingan penegakan hokum di masing-masing Negara. Permasalahan pencari
suaka yang di hadapi oleh Australia, merupakan permasalahan yang serius bagi
pemerintah Australia. Hal inilah yang menjadi factor pendorong bagi Australia
untuk kemudian menjalin hubungan kerjasama dengan Indonesia.
Isu pencari suaka ini sangat menarik untuk dibahas walaupun isu tersebut
merupakan isu klasik bagi Australia. Namun hingga saat ini isu tersebut masih
hangat diperbincangan oleh kedua Negara antara Indonesia dan Australia. Dalam
pembahasan pencari suaka ke Australia, tentunya Indonesia juga tidak terlepas
dari pembahasan tersebut dikarenakan indonesia merupakan tempat transit para
pencari suaka. Isu tersebut pula yang terkadang meningkatkan tensi hubungan
Antara Australia dengan Indonesia sehingga dengan latar belakang tersebut
kemudian peneliti mengangkat penelitian tentang “KEPENTINGAN AUSTRALIA
DALAM KERJASAMA AUSTRALIA FEDERAL POLICE DENGAN KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA DALAM PENANGGULANGAN PENCARI SUAKA”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka didalam penelitian ini peneliti
mencoba untuk menjelaskan tentang “bagaimana kepentingan Australia dalam
8
kerjasama yang di lakukan antara Polisi Federal Australia dengan Kepolisian
Republik Indonesia dalam penanganan permasalahan pencari suaka?”.
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menjelaskan tentang
bagaimana kepentingan Australia dalam kerjasama yang di lakukan Kepolisian
Federal Australia dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanggulangan
permasalahan pencari suaka, dengan menggunakan disiplin ilmu Hubungan
Internasional.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat dalam menambah pengetahuan
tentang usaha yang di lakukan Australia guna mendapatkan kepentingan
nasionalnya serta keamanan dari potensi yang mengancam Negaranya, yang
tentunya akan merugikan Negara yang bersangkutan, melalui kerjasama Polisi
Federal Australia dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam penanggulangan
pencari suaka. Serta hasil penelitian ini di harapkan akan bermanfaat bagi peneliti
lain sebagai referensi atau dasar pemikiran dalam penelitian yang sejenis.
1.4 Penelitian Terdahulu
Permasalahan pencari suaka merupakan sebuah isu global yang dihadapi
beberapa negara di dunia. Khususnya bagi Negara-negara yang menjadi destinasi
dan tempat transit para pencari suaka. Mereka adalah para korban pelanggaran
HAM yang seharusnya mendapatkan perlindungan, namun sebaliknya mereka di
anggap sebagai ancaman bagi negara-negara penerima. Hal tersebut dikarenakan
9
banyak para pencari suaka yang datang tidak menghiraukan peraturan untuk
mendapatkan suaka di Australia, sehingga pemerintah Australia merasa di rugikan
oleh kedatangan para pencari suaka tersebut. Beberapa penelitian sebelumnya
sudah pernah membahas tentang permasalahan kedatangan pencari suaka yang
tidak mematuhi perosedur.
Humprey Wangke13
dalam jurnalnya “Indonesia dan Masalah Imigran
Gelap” menjelaskan bahwa imigran gelap yang saat ini menjadi salah satu
permasalahan serius bagi Indonesia dan Australia sebagai dampak dari terjadinya
konflik politik yang terjadi di beberapa negara. Permasalahan Imigran gelap sulit
untuk di selesaikan dikarenakan kurangnya ketegasan pemerintah Australia dalam
menentukan status mereka dari pencari suaka menjadi pengungsi, sehingga
dengan demikian berdampak negative pada Indonesia. Indonesia yang hanya
berstatus sebagai Negara transit tidak dapat berbuat banyak karena para imigran
yang tertangkap di Indonesia menolak di tahan oleh pemerintah Indonesia karena
proses penyelesaiannya di anggap tidak jelas. Tidak termasuknya Indonesia dalam
daftar Negara yang menandatangani konvensi 1951 dan protocol 1967 juga
memberikan permasalahan dalam penanganan imigran gelap.
Perbedaan penelitian Humprey Wangke dengan milik peneliti adalah pada
focus penelitian yang akan di teliti. Peneliti akan membahas tentang kerjasama
antara Australia dengan Indonesia melalui Australia Federal Police dengan
kepolisian republic Indonesia untuk menangani isu pencari suaka. Kemudian dari
13
Peneliti bidang Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi
(P3DI) Setjen DPR RI di unduh dari
http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-IV-17-I-P3DI-September-
2012-4.pdf 25-10-2013
10
kerjasama tersebut peneliti mencoba menjelaskan tentang kepentingan yang di
kejar Australia dalam kerjasama yang dilakukan tersebut.
Selanjutnya adalah penelitian yang di lakukan oleh M. Rizki
Herdiansyah14
yang berjudul “Kebijakan Pemerintah Australia Terkait
Permasalahan Irregular Maritime Arrival Periode Kepemimpinan Perdana
Mentri Jullian Gillard (2010-2012)”. Penulis dalam penelitianya membahas
tentang kebijakan-kebijakan apa saja yang di ambil oleh Australia yang di pimpin
oleh perdana mentri jullian Gillard dalam merespon kedatangan para pengungsi
yang tidak memenuhi persyaratan untuk mendapatkan suaka. Dapat di lihat bahwa
dalam jurnalnya peneliti menggunakan pendekatan kebijakan luar negeri.
Dalam kepemimpinan perdana mentri jullian Gillard Australia telah
mengeluarkan beberapa kebijakan, yang memiliki tujuan untuk menghadang
masuknya para pengungsi yang datang melalui jalur laut dan tanpa memiliki
document-document yang lengkap. Adapun beberapa kebijakan-kebijakan
tersebut antara lain: (1) Pasific Solution, (2) Mandatory Detention, (3)
Pemberlakuan Bridging Visa, (4) Pengembalian Pencari Suaka ke Negara Asal,
(5) Malaysia Solution
Kebijakan-kebijakan tersebut diatas merupakan kebijakan yang di
keluarkan pemerintah Australia periode kepemimpinan Jullian Gillard yang
bertujuan untuk melawan arus kedatangan para pengungsi. Sehingga dengan
kebijakan-kebijakan tersebut diharapkan akan berdampak terhadap arus
kedatangan para pengungsi yang mencoba masuk wilayah Australia tanpa
14
M. Rifqi Herdiyansah, Op.cit
11
membawa dokumen-dokumen yang lengkap. Adapun beberapa factor yang di
jelaskan oleh peneliti yang kemudian mempengaruhi keluarnya kebijakan-
kebijakan tersebut, factor-faktor tersebut antara lain Bureaucratic Influencer,
Partisan Infuencer, serta mass influencer yang kemudian menjadi rasionalisasi
pertimbangan oleh pemerintah Australia dalam pengambilan sebuah kebijakan
untuk meresponse arus kedatangan para pengungsi yang di nilai merugikan
Australia.
Fokus penelitian milik M. Rizki Herdiansyah berbeda dengan milik
peneliti, konsep yang digunakan oleh peneliti di atas adalah kebijakan luar negeri
serta melihat factor-faktor yang mempengaruhi keluarnya kebijakan preventive
Australia. Sedangkan konsep yang di gunakan peneliti saat ini adalah keamanan
nasional dan cooperative security, karena peneliti ingin melihat kepentingan
Australia dalam kerjasama Australia Federal Police dengan Kepolisian Republik
Indonesia yang akan menjadi focus pembahasan dalam penelitian ini.
Penelitian selanjutnya berjudul “Isu Imigran Gelap Dalam Hubungan
Bilateral Australia-Indonesia” yang diteliti oleh Sita HIdriyah.15
Didalam
jurnalnya peneliti membahas tentang isu para pengungsi yang mencoba
memaksakan diri untuk masuk ke wilayah Australia. Permasalahan pengungsi
merupakan isu global yang harus di tangani bersama. Melalui forum internasional
(Bali Proses) yang dimotori oleh Australia dan Indonesia bisa menjadi instrument
dalam memperkuat hubungan kerjasama bilateral untuk meresponse isu
15
Peneliti bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian, Pengolahan
Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI. “Isu Imigran Gelap Dalam Hubungan Bilateral
Australia Indonesia”, Dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/info_singkat/Info%20Singkat-
V-19-I-P3DI-Oktober-2013-60.pdf di akses pada 25-01- 2014
12
pengungsi, sehingga dari forum kerjasama tersebut menghasilkan solusi yang
tepat untuk mengatasi permasalahan pengungsi, yang tentunya dapat memberikan
dampak positif terhadap perkembangan isu tersebut bagi kedua negara. Indonesia
sendiri memiliki kepentingan dalam kerjasama tersebut yaitu untuk membagi
tanggung jawab dalam permasalahan pengungsi mengingat indonesia sendiri
belum menandatangani konvensi 1951 dan protokol 1967 dengan pembagian
tanggung jawab tersebut akan memberikan sebuah kerja sama yang bersimbiosis
mutualisme.
Fokus penelitian milik Sita Hidriyah yaitu dinamika kerjasama antara
Pemerintah Australia dengan Indonesia dalam meresponse isu pencari suaka, dan
mengasumsikan perlunya kerjasama antara Australia dan Indonesia untuk
penanganan pencari suaka. Penelitian diatas akan menambah refrensi serta
wawasan peneliti tentang dinamika kerjasama antara Australia dengan Indonesia
yang dapat di manfaatkan dalam penelitian “Kepentingan Australia Dalam
Kerjasama Australia Federal Police Dengan Kepolisian Republik Indonesia Untuk
Penanganan pencari suaka”.
Selanjutnya Jurnal Skripsi oleh Citra Adelia16
yang berjudul “Perubahan
kebijakan Bangladesh Terhadap Kaum Rohingya di Perbatasan Bangadesh
Myanmar”. Penelitian tersebut membahas tentang adanya transformasi isu
kemanusiaan menjadi sebuah isu keamanan. Pemerintah Bangladesh merubah
kebijakannya untuk membantu kaum Rohingya di karenakan munculnya
16
Citra Adelia ”Perubahan kebijakan Bangladesh Terhadap Taum Rohingya di Perbatasan
Bangadesh Myanmar” di unduh dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/E-Journal%20Skripsi.docx di akses pada 25-03-2014
13
permasalahan permasalahan yang di timbulkan oleh kaum Rohingya di
Bangladesh. Mereka kaum Rohingya menyebabkan ketidak setabilan ekonomi dan
sosial di Bangladesh sehingga kemudian dianggap mengancam keamanan
masyarakat Bangladesh. Keberadaan kaum Rohingya yang telah lama menetap
menimbulkan situasi tidak kondusif bagi stabilitas keamanan Bangladesh. Dari
situlah kemudian pemerintah merubah kebijakanya dari menerima menjadi
menolak kaum Rohingya yang datang ke Bangladesh dengan dasar keamanan
nasionalnya.
Penelitian yang peneliti bahas dengan judul “Kepentingan Australia Dalam
Kerjasama Australia Federal Police dengan Kepolisian Republik Indonesia Dalam
Penanggulangan pencari suaka” memiliki persamaan dengan penelitian milik
Citra Adelia yaitu adanya transformasi isu pengungsi yang bermula pada isu
kemanusiaan kemudian berubah menjadi isu keamanan. Peneliti sebelumnya juga
melihat isu pengungsi dengan konsep keamanan nasional. Namun perbedaanya
adalah Negara penerima pengungsi, dimana Citra Adelia membahas tentang isu
pengungsi di Srilangka sedangkan penelitian ini membahas isu tersebut di
Australia, yang juga menolak kedatangan pencari suaka yang datang dengan
menggunakan perahu.
Tabel 1.1
Tabel Posisi Penelitian
No Judul dan Nama
Peneliti
Jenis Penelitian
dan Analisa
Hasil
1. Jurnal:
Permasalahan
Imigran Gelap di
Indonesia.
Permasalahan arus kedatangan
pengungsi merupakan permasalahan
bersama antara negara transit dengan
negara tujuan, sehingga dibutuhkan
14
Oleh:
Humprey Wangke
kerjasama antar negara sebagai bentuk
dari tindakan konkret untuk
penyelesaian permasalahan tersebut.
Permasalah pengungsi tidak akan pernah
selesai jika hanya membebankan
permasalahan tersebut kepada satu
negara saja.Sehingga solusi terbaik
utnuk penyelesaian peremasalahan
imigran gelap tersebut dengan
melakukan kerjasama antara Indonesia
yang merupakan negara transit dengan
Australia yang merupakan tempat tujuan
para pengungsi.
2. Jurnal Skripsi:
Kebijakan Pemerintah
Australia Terkait
Permasalahan
Irregular Marritime
Arrivals era
kepemimpinan
Perdana Mentri
Jullian Gillard (2010-
2012)
Oleh:
M. Rizki Herdiansyah
Pendekatan:
Keamanan
Nasional
Kebijakan Luar
Negeri
Tidak semua pengungsi yang ingin
mendapatkan suaka di Australia akan
selalu mendapatkan suaka dari
pemerintah Australia. Hal tersebut di
karenakan Australia sudah tidak lagi
memberikan toleransi kepada pengungsi
yang datang melalui jalur tidak resmi
yaitu melalui jalur laut. Untuk itu
Australia di era kepemimpinan Jullian
Gillard mengeluarkan beberapa
kebijakan yang bersifat “Punitive”
artinya kebijakan tersebut bertujuan
untuk memberikan efek jera kepada para
pengungsi, sehingga akan berdampak
terhadap berkurangnya arus kedatangan
para pengungsi menuju Australia
melalui jalusr illegal. Kebijakan
kebijakan tersebut diantaranya adalah
Pasific Solution, Mandatory Detension,
Pemberlakuan Bridging Visa,
Pengembalian Pencari Suaka ke Negara
Asal, dan Malaysia Solution.
3. Jurnal:
Isu Imigran Gelap
Dalam Hubungan
Billateral Indonesia-
Australia.
Oleh :
Sita Hidriyah
Permasalahan pencari suaka tentu
berkaitan dengan penyelundupan
manusia, merupakan pekerjaan rumah
bagi indonesia dan Australia. Isu pencari
suaka memerlukan penanganan serius,
karena permasalahan tersebut berkaitan
dengan masalah kedaulatan. Namun
sebaliknya mereka merupakan korban
kemanusiaan yang membutuhkan
perlindungan dari negara lain. Oleh
karena itu indonesia kemudian
15
mengajak negara negara terkait untuk
membahas isu tersebut. Indonesia
sendiri memiliki kepentingan dalam
kerjasama tersebut yaitu adanya
pembagian tanggung jawab bersama
antara negara terkait. Shingga kemudian
solusi terbaik dapat di dapatkan.
4. Jurnal Skripsi:
Perubahan Kebijakan
Pemerintah
Bangladesh Terhadap
Kaum Rohingya di
Perbatasan
Bangladesh-Myanmar
Oleh:
Citra Adelia
Pendekatan:
Keamanan
Nasional,
Kepentingan
Nasional
Penolakan Bangladesh terhadap
pengungsi kaum “rohingya” merupakan
perubahan persepsi pemerintah
Bangladesh dalam memandang isu
Migrasi Internasional. Kaum rohingya
yang notabene membutuhkan suaka atau
perlindungan sebagai akibat dari korban
kemanusiaan telah berubah menjadi
sebuah ancaman bagi Bangladesh. Hal
tersebut di karenakan kondisi ekonomi
sosial dan politik yang di akibatkan oleh
etnis rohingya. Mereka menyebabkan
ketidak stabilan ekonomi dan sosial
pada akhirnya mengancam keamanan
manusia masyarakat Bangladesh.
Sehingga pengungsi yang berangkat
sebagai isu kemanusian telah
bertransformasi menjadi isu keamanan
nasional Bangladesh.
5. Skripsi: Kepentingan
Australia Dalam
Kerjasama Australia
Federal Police-
Kepolisian Republik
Indonesia Dalam
Penanggulangan
Pencari Suaka
Oleh:
Ahmad Sholeh
Jenis Penelitian:
(Deskriptif)
Pendekatan:
Kepentingan
Nasional,
Keamanan
Nasional,
Cooperative
Security
Isu pengungsi menjadi permasalahan
bagi Australia ketika mereka mencoba
memasuki wilayah Australia tanpa
mematuhi prosedur yang berlaku. Hal
tersebut menjadi permasalahan karena
akan memberikan dampak negative
yang mengancam keamanan nasional
Australia. Tentunya permasalahan
tersebut membutuhkan penanganan
serius sehingga kemudian di refleksikan
dalam agenda politik luar negeri
Australia. Upaya pemerintah Australia
untuk melindungi kedaulatan Negara
dan kesejahteraan masyarakat dari
potensi ancaman yang akan di
timbulkan oleh para pencari suaka yang
datang yaitu melalui kerjasama
Australia Federal Police dengan
Kepolisian Republik Indonesia. Dengan
melakukan kerjasama tersebut tentunya
16
penanggulangan gelombang kedatangan
pencari suaka akan semakin efektif dan
efisien, serta mengantisipasi ancaman
yang akan di timbulkan.
1.5 Landasan Konseptual
Untuk menjawab rumusan permasalahan di atas peneliti akan mencoba
menggambarkan serta menjelaskan dengan menggunakan beberapa landasan
konseptual :
1.5.1 Cooperative Security
Politik luar negeri merupakan sebuah instrumen atau strategi yang
digunakan suatu Negara, untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya dalam
berhubungan dengan dunia internasional, dengan cara apapun sebuah Negara akan
akan berusaha untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya.17
Menurut Allan
Gyngel kepentingan nasional merupakan tujuan suatu Negara yang berorientasi
pada kesejahteraan masyarakat serta kebutuhan masyarakat akan keamanan yang
di interpretasikan melalui kebijakan luar negerinya.18
Setiap Negara tentunya
memiliki kepentingan-kepentingan yang berbeda di kancah internasional, namun
kepentingan dasar suatu Negara antara lain adalah keamanan wilayah, warga,
serta kedaulatannya. Negara sebagai aktor yang melakukan politik luar negeri,
tetap menjadi unit politik utama dalam sistem hubungan internasional, meskipun
17
Dalam Artikel, Yanyan Mochammad Yani, Drs. MAIR. Ph.D, “Politik Luar Negeri”, Di unduh
dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pdf diakses pada
25-10-2013 18
Allan Gyngel and M Wesley, Making Australian Foreign Policy, Oxford, 2007. Hal 23 di unduh
dari http://en.bookfi.org/book/1127186 pada tanggal 28-03-2014
17
terdapat aktor-aktor non-Negara yang juga berkecimpung dalam kancah
internasional.19
Keamanan berkaitan dengan isu-isu yang mengancam kelangsungan hidup
di dalam sebuah Negara dan Negara bukanlah satu-satunya yang menjadi
ancaman dalam agenda perluasan keamanan, Barry Buzan membagi keamanan
kedalam lima dimensi yang kiranya membutuhkan penanganan yang lebih baik :20
a. Military security: berfokus pada aspek militer antar Negara.
b. Political security: fokus pada pengorganisasian stabilitas negara, sistem
pemerintahan serta idiologi dan legitimasi terhadap pemerintah.
c. Economic security: fokus pada akses sumber daya, keuangan dan pasar yang
berguna dalam upaya menjaga tingkat kemakmuran, karena ekonomi juga
bentuk dari power suatu Negara.
d. Societal security: memfokuskan pada upaya untuk tetap memelihara tradisi
budaya baik dalam konteks bahasa, kultur, kebiasaan, agama dan identitas
nasional.
e. Environmental security: fokus pada menjaga lingkungan secara luas yang
memiliki fungsi sebagai penopang bagi keberlangsungan mahluk hidup.
Buzan disini memperlihatkan bahwa permasalahan tentang isu keamanan
era ini tidak hanya berada pada sektor militer saja. Buzan mengklasifikasikannya
menjadi beberapa sector, seperti aspek-aspek yang telah di sebutkan sebelumnya.
Aspek-aspek yang diklasifikasikan oleh Barry Buzan dinilai pula memerlukan
perhatian, agar dapat terhindar dari sesuatu yang berpotensi mengancam. Perlunya
19
Ibid 20
Barry Buzan, dalam Dr. Anak agung banyu perwita, Hal 128, Op.cit
18
memperhatikan aspek aspek tersebut dikarenakan, ketika salah satu sektor tersebut
terganggu atau terancam, maka akan menyebabkan instabilitas sebuah Negara
sehingga sangat perlu untuk menjaga stabilitas sector-sector tersebut.
Peneliti disini melihat adanya potensi ancaman yang dapat ditimbulkan
oleh kedatangan para pencari suaka. Dalam kasus pencari suaka ini terlihat tidak
mengancam pada sector militer, namun mengancam sector-sektor lain di luar
militer. Dengan demikian permasalahan isu pencari suaka ini dapat di kategorikan
dalam isu keamanan non-tradisional. Coopertive Security terbentuk karena realita
semakin meluasnya pemahaman konsep keamanan yang tidak mungkin mampu di
selesaikan per-negara, artinya untuk menghadapi berbagai tantangan keamanan
internasional yang bersifat non-tradisional diperlukan respon yang kolektif
dimana saling membangun kepercayaan perlu untuk diwujudkan. Cooperative
security memberikan sebuah penekanan terhadap upaya kerjasama antar aktor
yang di lakukan dalam menciptakan keamanan melalui sebuah dialog, konsultasi,
serta saling berbagi informasi satu sama lain.21
Australia merupakan salah satu dari beberapa Negara destinasi para
pencari suaka yang ingin mendapatkan perlindungan. Sebagian dari para pencari
suaka ini, datang dengan menggunakan cara yang tidak di anjurkan oleh
pemerintah australia karena dianggap telah melanggar peraturan imigrasi
Australia. Hal tersebut memberikan dampak pula terhadap Negara tetangga, yaitu
Indonesia yang merupakan jalur bagi para pencari suaka yang ingin mendapatkan
suaka di Australia. Indonesia tentunya juga dirugikan dengan keadaan tersebut
21
Ibid hal: 129
19
salah satunya adalah meningkatnya tingkat kejahatan Trans National. Menurut
mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Ito
Sumardi, para pelintas batas secara illegal yang sedang mencari suaka akan rawan
dimanfaatkan untuk digunakan sebagai kurir, atau bahkan kepentingan untuk
merakit bom dalam aksi terorisme.22
Kerjasama yang dilakukan oleh Australia dengan Indonesia melalui
Australia Federal Police dengan kepolisian Republik Indonesia dengan dasar
adanya saling kebutuhan akan rasa aman dari aspek ancaman yang sama, serta
mengancam keamanan nasional kedua Negara. Australia dan Indonesia sadar
bahwa pencari suaka yang datang tidak dengan mematuhi prosedur perlu
ditangani dengan serius dengan melakukan kerjasama yang di wakili oleh institusi
penegak hokum masing-masing Negara.23
Kerjasama yang dilakukan antar
instansi penegak hukum diaplikasikan dengan saling bertukar informasi yang di
perlukan, melakukan operasi bersama, serta kerjasama pengembangan
sumberdaya manusia dan peralatan sesuai dengan kesepakatan tertulis kedua belah
fihak.24
Australia Federal Police sepakat untuk melakukan kerjasama dengan
Kepolisian Republik Indonesia untuk mengatasi para pencari suaka dalam sebuah
perjanjian yang telah di sepakati oleh kedua fihak. Indonesia memiliki peran
22
Wayan Agus Purnomo, “Pelintas batas rawan rawan jadi kurir transnasional” dalam
http://www.tempo.co/read/news/2011/03/29/063323718/Pelintas-Batas-Rawan-Jadi-Kurir-
Transnasional di akses pada tanggal 01-09-2014 23
Dalam “NOTA KESEPAHAMAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN
PEMERINTAH COMMONWEALTH OF AUSTRALIA TENTANG PENANGGULANGAN
KEJAHATAN LINTAS NEGARA DAN PENGEMBANGAN KERJASAMA KEPOLISIAN” di
akses dari http://treaty.kemlu.go.id/uploads-pub/4245_AUS-2008-0174.pdf pada tanggal 12-11-
2013 24
Ibid
20
penting dalam penanganan pencari suaka ini, karena mengingat Indonesia
merupakan jalur yang banyak dilalui oleh para pencari suaka dan juga tersedianya
fasilitas yang akan mempermudah para pencari suaka menuju Australia. Upaya
Pemerintah Indonesia dalam penanganan pengungsi tidak terlepas dari peran
pemerintah Australia yang memberi sokongan atau bantuan logistik dan materil
kepada pemerintah Indonesia. Bantuan-bantuan tersebut tentunya sangat
membantu Indonesia untuk menghadang para pengungsi yang datang mengingat
Indonesia bukanlah anggota konvensi pengungsi 1951 dan Protokol 1967.
1.5.2 National Security
Dalam perkembangan isu keamanan dalam study hubungan internasional
saat ini ancaman tidak hanya datang dari actor negara namun actor non-negara
juga menjadi aspek ancaman bagi sebuah negara dan manusia yang ada di
dalamnya.25
Selama perang dingin keamanan nasional masih di definisikan
dengan dimana Negara secara fisik terlindungi dari ancaman yang timbul dari luar
yang dimaksud adalah Negara karena actor dalam hubungan internasional kala itu
hanya negara.26
Globalisasi menjadi aspek pendorong semakin luasnya actor-aktor
non-state dalam hubungan internasional, karena globalisasi memudahkan
siapapun untuk masuk ke batas negara lain, sehingga kemudian muncullah
25
Simon Dalby, dalam Dr. Anak agung banyu perwita dan Dr. Yanyan Muhammad Yani,
“Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”, Bandung, ROSDA, 2005, hal 119 26
Abdul-Monem M. Al-Mashat, “National Security in the Third World”, (Boulder, Col.:
Westview Press, 1985), hal. 19, dikutip dalam makalah, Rizal Sukma, “konsep keamanan
nasional”, diakses dari http://ebookily.org/pdf/konsep-keamanan-nasional-propatriaorid-towards-a-
168132713.html di akses pada tanggal 28-03- 2014
21
kelompok-kelompok kejahatan lintas Negara maupun organisasi-organisasi
internasional yang merupakan contoh aktor non-state.27
Secara harfiah aman berarti terbebas dari gangguan, bahaya, serta terbebas
dari rasa takut dan khawatir.28
Keamanan nasional merupakan salah satu
kepentingan suatu negara sehingga negara akan mengejar ataupun berusaha untuk
mendapatkan kepentingan yang di maksud. Artinya Negara akan berusaha untuk
melindungi keamanan nasionalnya dari ancaman yang menyebabkan instabilitas
yang datang dari luar maupun dalam negeri. Barry Buzan Mengasumsikan bahwa
terdapat tiga landasan yang bisa dijiadikan alat untuk melihat keamanan nasional
suatu Negara, yaitu the idea of the state, the institutional expression of the state,
dan the physical base of the state.29
Peneliti akan melihat ancaman pencari suaka dari kacamata Phisical Base
of State yaitu negara terdiri dari penduduk dan territory sebuah Negara, termasuk
kekayaan sumberdaya yang terkandung didalamnya.30
Ketika aspek tersebut
terancam atau terganggu maka bisa dibilang bahwa keamanan Negara juga
terancam. Dengan demikian peneliti akan melihat bagaimana Negara dalam kasus
ini adalah Australia berusaha untuk melindungi kedaulatan negaranya, penduduk
serta segala yang terkandung di dalamnya (sumberdaya alam) dari potensi
ancaman yang di sebabkan oleh kedatangan para pencari suaka yang datang
dengan illegal. Peneliti ingin menjelaskan bahwa pencari suaka ini nantinya
berpotensi mengancam aspek kedaulatan, social dan ekonomi Australia. Adapun
27
Dr. Anak Agung Banyu Perwita hal 125, Op.cit 28
“Definisi keamanan dalam Kamus besar bahasa Indonesia” dalam http://www.kamusbesar.com/ 29
Lihat, Barry Buzan, “People, States, and Fear: The National Security In The Third World”, Hal
40 30
Ibid, Hal 62
22
aspek lainya seperti Ancaman terhadap stabilitas politik, lingkungan, dan ancaman
lainya tidak dibahas disini, karena isu tersebut tidak terlalu dominan dalam
perbincangan permasalahan pencari suaka di Australia.
Para pencari suaka yang masuk tanpa teridentifikasi ini sama dengan
menentang integritas Negara. Jika permasalahan ini tidak di atasi secara intens
maka akan semakin banyak pelanggaran kedaulatan wilayah Australia karena
kurangnya control terhadap wilayah perbatasan Australia.31
Permasalahan
kedaulatan memang menjadi permasalahan krusial, karena dari itu kemudian
pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan yang extreme untuk membendung
isu pencari suaka ini. Pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan Sovereign
Border yaitu para pencari suaka yang tertangkap menuju Australia dengan
menggunakan perahu hanya akan mendapatkan ijin tinggal sementara, atau
bahkan mereka akan di proses dipapua nugini (Pulau Manus dan Nauru) dan akan
di tempatkan disana.32
Tidak hanya itu, untuk penyelesaian permasalahan pencari
suaka ini tentunya menimbulkan permasalahan logistic dan pastinya biaya yang
dikeluarkan tidaklah sedikit.33
Australia Federal Police pun bertekad untuk mengatasi permasalahan
penyelundupan manusia yang berperan dalam menyelundupkan para pencari
suaka ke Australia. Tindakan Australia Federal Police terebut merupakan
tindakan pencegahan agar hal yang tidak dinginkan seperti yang telah di jelaskan
31
Dalam http://www.afp.gov.au/en/policing/people-smuggling.aspx di akses pada tanggal 25-12-
2014 32
Dalam http://www.abc.net.au/news/interactives/operation-sovereign-borders-the-first-6-months/ diakses pada 23-11-2014 33
Adam Graycar dan Rebecca Tailby, 2000, “People Smuggling: National Security Implication”,
dalam, http://www.aic.gov.au/media_library/conferences/other/graycar_adam/2000-08-
smuggling.pdf diakses pada 01-09-2014
23
tidak sampai terjadi. Pada dasarnya, setiap orang yang ingin ke Australia harus
memiliki dokumen-dokumen resmi dan valid visa, jika tidak maka resikonya
adalah akan ditempatkan di tempat detensi imigrasi untuk ditindak lanjuti.34
Australia sendiri tentunya memiliki standart yang perlu untuk dipenuhi oleh para
pencari suaka yang ingin tinggal di Australia.
Para ppencari suaka ini juga akan berpotensi mengganggu terhadap
stabilitas social di Australia. Mereka berpotensi melakukan kegiatan criminal,
Drug Trafficking, serta penyebaran penyakit berbahaya yang akan mengganggu
masyarakat Australia.35
Fihak imigrasi Australia perlu untuk mengidentifikasi
mereka sebelum memberikan visa perlindungan bagi para pencari suaka untuk
menghindari sesuatu yang nantinya akan merugikan Australia.
Ketika mereka menuju Australia dengan menggunakan perahu artinya
mereka tidak mengikuti security check yang bertujuan untuk menyaring dan
memastikan bahwa orang yang di ijinkan untuk tinggal di Australia itu nantinya
tidak akan bermasalah dan malah menjadi beban pemerintah Australia dan
merugikan masyarakat Australia. Karena Australia memiliki hak untuk
mengijinkan siapa saja yang berhak untuk mendapatkan ijin tinggal di Australia.
Dengan demikian Australia perlu melakukan sebuah tindakan atau kebijakan
dengan maksud untuk memproteksi masuknya pencari suaka dengan cara illegal
tersebut, sehingga akan mengkikis potensi ancaman yang akan mungkin di
timbulkan oleh para imigran berstatus pencari suaka ini.
34
Australian Immigation and Australian Visas, dalam http://www.australia-
migration.com/page/General_Hints_and_Tips/296 diakses pada 28-10-2014 35
Chalk, Peter, “Non-Military Security And Global Order: The Impact of Extrimism, Violence and
Chaos on National and International Security”, New York, ST. MARTIN’S PRESS, LLC, 2000.
Hal 133-134. Di unduh dari http://en.bookfi.org/book/1184210 pada tanggal 28-03-2014
24
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif, yaitu upaya menjawab
pertanyaan siapa, apa, dimana, kapan atau berapa; jadi merupakan upaya
melaporkan apa yang terjadi36
. Penelitian ini akan membahas tentang
“Kepentingan Australia Dalam Kerjasama Australia Federal Police Dengan
Kepolisian Republik Indonesia Dalam Penanggulangan Pencari Suaka”
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang di gunakan oleh peneliti adalah dengan
cara Studi pustaka yaitu dengan mengumpulkan atau mencari data yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, website, artikel dan lain sebagainya yang
diterbitkan oleh berbagai lembaga atau instansi yang berkaitan dengan topik yang
peneliti sedang teliti.
1.6.3 Teknis Analisis Data
Jenis data yang digunakan terhadap penelitian untuk membantu peneliti
dalam melakukan penelitian yaitu bentuk data kualitatif. Dimana fenomena yang
diperoleh bukan angka, tetapi berupa kata-kata atau kalimat sebagai kutipan yang
berdasarkan pada makna fenomena tersebut. Data-data yang didapatkan dikaji dan
dianalisa yang tepat mengenai teori atau konsep yang sesuai untuk digunakan
dalam melihat fenomena yang dikaji.
36
Mohtar Mas'oed, 1990, “Ilmu Hubungon Internasionol: Disiplin dan metodelogi” LP3ES hal 68.
25
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
1.6.4.1 Batasan Waktu
Peneliti memberikan lingkup kajian pada tahun 2011-2013, dimana pada
tahun 2011 tersebut merupakan waktu peratifikasian naskah perjanjian kerjasama
penanganan kejahatan lintas negara yang di lakukan antara Australia Federal
Police dengan Kepolisian Republik Indonesia dan kerjasama tersebut berlaku
untuk tiga tahun. Namun terdapat permasalahan yang berujung pada penghentian
kerjasama ini pada tahun 2013.
1.6.4.2 Batasan Materi
Untuk memperjelas dan menghindari pembahasan yang meluas maka
penulis membatasi penelitian ini pada permasalahan kerjasama Australia Federal
Police dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam Penanggualngan Pencari
Suaka (2011 - 2013) sebagai refleksi dari kepentingan yang di kejar oleh
Australia. Pembahasan ini juga hanya di maksudkan bagi para pencari suaka yang
menuju Australia dengan menggunakan perahu, bukan karena kasus over stay.
Penelitian disini juga hanya akan membahas tentang ancaman pencari suaka ini
dalam aspek Kedaulatan, Keamanan social, dan Ekonomi.
1.7 Argumen Dasar
Kepentingan Australia dalam kerjasama yang dilakukan antara Australia
Federal Police dengan Kepolisian Republik Indonesia adalah untuk menjaga
kedaulatan Negaranya, dan menjaga kesejahteraan masyarakat serta stabilitas
social masyarakat dari potensi ancaman yang akan ditimbulkan oleh para pencari
suaka. Para pencari suaka yang datang tanpa teridentifikasi akan menimbulkan
26
permasalahan bagi Australia, sehingga perlunya penanganan dengan indonesia
melalui kerjasama antara Australia Federal Police dengan Kepolisian Republik
Indonesia untuk menghalau para pencari suaka yang kedatanganya tidak
dibenarkan karena menggunakan perahu, mengingat Indonesia merupakan jalur
serta tempat transit yang sering di gunakan oleh para pencari suaka yang bertujuan
ke Australia.
1.8 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan untuk mempermudah peneliti dalam
penulisan atau penyusunan penelitian tersebut sebagai kerangka awal.
JUDUL PEMBAHASAN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4 Penelitian Terdahulu
1.5 Landasan Konsep atau Teori
1.5.1 Konsep Cooperative Security
1.5.2 Konsep Keamanan Nasional
1.6 Metode Penelitian
1.7 Asumsi Dasar
1.8 Sistematika Penulisan
BAB II
ISU PENCARI SUAKA
DALAM HUBUNGAN
BILATERAL
INDONESIA-
AUSTRALIA
2.1 Definisi Pengungsi Menurut
Konvensi 1951 Dan Protokol 1967
2.2 Indonesia Sebagai Jalur Favorit
Pencari Suaka
2.3 Australia Sebagai Destinasi Para
Pencari Suaka
2.4 Peranan Pemerintah Indonesia dan
POLRI Dalam Penanganan pencari
suaka di Indonesia
2.5 Kerjasama Austrlia Federal
Police-Kepolisian Republik
Indonesia dalam penanganan
pencari suaka
27
BAB III KEPENTINGAN
AUSTRALIA DALAM
KERJASAMA AFP-
POLRI
3.1 Menjaga Keamanan Kedaulatan
Australia.
3.2 Kepentingan australia dalam
kerjasama Australia Federal
Police dengan Kepolisian
Republik Indonesia
BAB IV PENUTUP Kesimpulan