repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 15860 › skripsi.pdf?... ·...

60
1 SKRIPSI PROSPEK NEW STRATEGIC ARMS REDUCTION TREATY DALAM KEPEMILIKAN SENJATA NUKLIR AMERIKA SERIKAT DAN RUSIA ARGA PROBOWISESA E131 07 056 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

Upload: others

Post on 27-Feb-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

SKRIPSI

PROSPEK NEW STRATEGIC ARMS REDUCTION TREATY DALAM

KEPEMILIKAN SENJATA NUKLIR AMERIKA SERIKAT DAN RUSIA

ARGA PROBOWISESA

E131 07 056

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

2

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui arti penting perjanjian New STARTbagi Amerika Serikat dan Rusia. Setelah mengetahui arti pentingnya, melalui penelitian inidiharapkan akan diketahui peluang dan tantangan implementasi New START bagi AmerikaSerikat dan Rusia di masa depan. Dari beberapa rumusan yang diambil maka penulisan dalampenelitian ini menggunakan metode prediktif analitik. Dalam penelitian ini, akan diberikangambaran umum nuklir di Amerika Serikat dan Rusia sebelum akhinya prediksi bagaimanapenerapan New START kepada keberadaan nuklir di Amerika Serikat dan Rusia. Teknikpengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah telaah pustaka yaitudengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yangakan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen,jurnal-jurnal, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan denganpermasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan iniadalah teknik analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penandatanganperjanjian New START adalah implementasi kebijakan luar negeri, terkait nuklir keduanegara untuk bersama-sama mengurangi ancaman nuklir dari pihak-pihak non-pemerintah,seperti teroris. Perjanjian ini juga menjadi pintu bagi kedua negara untuk mempelajarikekuatan dan kelemahan nuklir masing-masing demi modernisasi pertahanan mereka.Perjanjian New START bukanlah perjanjian pertama yang membatasi dan mengurangipersenjataan kedua negara. Hal ini terkait jumlah senjata nuklir yang masif di kedua negara.Jumlah nuklir yang melebihi kebutuhan memberikan dampak negatif dari segi ekonomi,khususnya biaya perawatan dan efisiensi pertahanan suatu negara. Kondisi-kondisi inilahyang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi perjanjian ini.

Kata Kunci: Amerika Serikat, Rusia, Nuklir, Diplomasi, Pengendalian Senjata, DilemaKeamanan.

3

ABSTRACT

The purpose of this study is to know the importants of New START Agreement for UnitedStates and Russia. Afterward, the research will help finding opportunity and challenge of NewSTART implementation for the future of both country. The research method is using predictiveanalitic. This research will give general image of nuclear posture in US and Russia, thenpredict the implementation of New START to existence of nuclear on this two country. Datacollecting were obtained through library research by gathering data from written literaturesof the problems and then analyze it. The literatures were books, documents, journals, andinternet websites and online reports of the study to perused. All datas will be qualitativelyanalyzed. The result of this research shows that the signing of this agreement is a forerignpolicy implementation by these two country, related to their nuclear for further reduction ofnon-government’s nuclear security threats, such as terrorist group. The agreement willbecome the entry point for both country learn each other nuclear power strength andweakness in order to modernize their defences. New START Agreement not their first treatyfor arms ceiling and reduction. This related to their massive nuclear proprietary. The numberof their nuclear exceeding their needs impacted negatively on their defense economies,especially maintenance cost and defense efficiency. These conditions have become thechallenge as well as the opportunity for this agreement.

Keyword: United States, Russia, Nuclear, Diplomacy, Arms Control, Security Dilemma.

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dimulai dari sebuah pemikiran para ilmuwan Yunani Kuno, Democritus menganggap

bahwa setiap benda di dunia terdiri atas partikel tidak kasat mata yang disebut atom. Atom

adalah apa yang terjadi ketika sebuah benda terus-menerus dipotong hingga akhirnya sampai

pada titik tidak dapat dipotong lagi.1 Atom berasal dari kata atomos, yang dalam bahasa

Yunani berarti “yang tidak dapat dibagi”. Atom kemudian menjadi bahan penelitian dan

cabang ilmu fisika, hingga akhirnya menjadi sumber energi raksasa, salah satu senjata

pemusnah massal, dan alat diplomasi.2

Abad ke-18 dan ke-19 merupakan masa ketika berbagai penelitian terkait atom dan

nuklir mengalami perkembangan yang pesat.Pitchblende, bijih uranium pertama ditemukan

oleh Pierre Curie dan Maria-Slodowska Currie pada tahun 1898, yang kemudian mereka

namakan radium. Kemudian pada tahun 1904 Ernest Rutherford, Bapak Ilmu Nuklir yang

berhasil menemukan bentuk fisik nuklir menungkapkan, “If it were ever possible to control at

will the rate of disintegration of the radio elements, an enormous amount of energy could be

obtained from a small amount of matter”.3

J. J. Thompson pada tahun 1897 menemukan bahwa dalam atom terdapat proton

positif (positively-charged protons) yang dikelilingi oleh proton negatif (negatively-charged

protons). Proton positif inilah yang oleh Ernest Rutherford berhasil diidentifikasi sebagai

nukleus atau pusat inti atom pada tahun 1908. James Chadwick kemudian menemukan pada

1Joseph Crincione, Bomb Scare The History and Future of Nuclear Weapons, New York: Columbia UniversityPress. 2007, hal. 5.2 U.S. Department of Energy, The History of Nuclear Energy, Office of Nuclear Energy, Science andTechnology: Washington D.C., Hal. 3, lihat juga Michael G. Roskin, Nicholas O. Berry, The New World OfInternational Relations, New Jersey: Prentice Hall. 1997, hal. 217.3 Ibid., hal. 3.

5

tahun 1932 bahwa dalam atom terdapat partikel yang memiliki berat yang sama dengan

proton pada nukleus, namun tanpa aliran listrik (positif atau negatif). Partikel ini diberi nama

proton, yang kemudian menjadikan model atom seperti yang dikenal sekarang.4

Gambar 1.1 Model Atom

(sumber: Bomb Scare; The History of Future of Nuclear)

Otto Hahn, Fritz Strassman, dan Lise Meitner pada tahun 1939 membombardir

uranium dengan neutron dan mendapati bahwa elemen baru telah tercipta. Uranium memiliki

nomor atom 92, yang berarti terdapat 92 proton dalam nukleusnya. Para ilmuwan

menganggap neutron-neturon tersebut diserap oleh atom-atom uranium dan inilah yang

menghasilkan elemen baru ciptaan manusia. Analisis kimia sayangnya berkata lain bahwa

yang terjadi bukanlah seperti itu. Ketika Lise Meitner dan Otto Freisch menggunakan teori

Niels Bohr diketahui bahwa nukleus sebenarnya merenggang sebelum akhirnya menjadi dua

nukleus. Freisch kemudian menamakan proses ini sebagai fission.5

4Joseph Cirincione, Loc.Cit.5Ibid.

6

Gambar 1.2 Proses Fission

(sumber: Bomb Scare; The History of Future of Nuclear)

Penelitian lebih lanjut menunjukkan atom-atom hasil dari fission ternyata memiliki

berat yang hampir sama. Itu berarti selama proses pemecahan energi yang terpecah memiliki

berat dan kekuatan yang sama, sehingga ketika ini terjadi dalam proses berantai maka akan

didapatkan ledakan energi yang terus menggandakan diri dalam jumlah yang besar. Melalui

rumus yang kemudian ditemukan oleh Einstein diketahui jika suatu benda (m) dikalikan

kecepatan cahaya dalam kuadrat (c2) akan menghasilkan jumlah energi yang besar (E) atau

E=mc2. Menggunakan rumus Einstein kita dapat gambaran bahwa satu kilogram uranium

akan menghasilkan 2.580.000.000.000.000.000.000.000 (2,58 triliun triliun) atom uranium

setara dengan 10.000 ton dinamit.6

Nuklir akhirnya menjadi senjata pertama kali melalui proyek bernama Manhattan

Project di Chicago. Proyek ini menghasilkan senjata nuklir pertama berjenis bom plutonium

yang kemudian digunakan dalam serangan ke Hiroshima dan Nagasaki pada masa Perang

Dunia II.7Pasca Perang Dunia II, Perang Dingin antara Amerika Serikat dan sekutunya

dengan Uni Soviet pun dimulai. Dalam Perang Dingin, kepemilikan teknologi nuklir adalah

faktor penting bagi dua negara superpower saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ini

6Ibid., hal. 5-6.7Ibid., hal. 3 dan 7.

7

dimulai dari strategi nuklir kedua negara yang serupa yaitu strategic outlook atau strategi

yang menekankan pentingnya pertahanan militer sebuah negara dalam mencapai dan menjaga

kedaulatan mereka akibat kurang kuatnya institusi atau sistem internasional, yaitu dengan

terus mengamati kekuatan negara lawannya.8

Bagi Amerika Serikat saat itu terdapat dua hal utama dalam strategi kepemilikan

nuklir. Pertama adalah superioritas dalam kepemilikan nuklir, mengingat kemampuan dan

daya hancur senjata ini. Kedua adalah untuk menjadikan nuklir sebagai sebuah pilihan

serangan. Sementara Uni Soviet hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjadikan nuklir sebagai

sebuah counterforce atau kekuatan serangan balasan dan alat pertahanan. Tujuannya adalah

dengan menghancurkan kemampuan militer dan menjatuhkan semangat musuh. Hal ini akan

lebih mudah dijelaskan jika melihat gaya kedua negara dalam mempersiapkan senjata

nuklirnya. Amerika Serikat memilih menggunakan cara taktis, dengan lebih banyak

memasang nuklir yang bisa diangkut pesawat. Sementara Rusia memilih memasang nuklirnya

pada roket-roket besar di atas tanah dengan targetnya titik vital musuh, sambil menunggu

serangan pertama.9

Alasan kepemilikan nuklir kemudian berkembang bahwa dengan memiliki nuklir,

kedua negara tersebut memperkuat posisi mereka sebagai negara yang menjadi poros utama

bagi negara lain dalam penetapan dan penerapan kebijakan luar negeri mereka. Konsep yang

diterapkan pasukan Sekutu misalnya, A memiliki akses ke B jika A berpartisipasi dalam

kebijakan B. Selain itu adalah kemampuan untuk menolak serangan negara lain dan

menciptakan persekutuan dibawah kepemimpinan negara nuklir, dan yang paling penting

8 P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Nuclear Strategy, Arms Control, and The Future,Colorado: Westview Press, Inc., 1985, hal. 2-9.9Ibid., hal. 2-9.

8

adalah akses ke berbagai perjanjian dan kerjasama internasional dan peningkatan harga diri

bangsa dan negara di lingkungan internasional.10

Contoh nyata misalnya pada Inggris yang mengembangkan kemampuan nuklirnya

sendiri. Meskipun kemampuan nuklir Inggris sangat kecil dan tidak akan mampu menangkal

Uni Soviet, namun Inggris menemukan tiga keuntungan politis ketika memiliki nuklir.

Pertama, Inggris memiliki kepercayaan diri lebih dan prestise dibanding negara lain; kedua,

Inggris mendapatkan reputasi sebagai sebuah negara kuat; dan ketiga, Inggris akan memiliki

akses ke berbagai perjanjian khusus pemilik kemampuan nuklir dan ikut memiliki pengaruh

dalam setiap kebijakannya.11

Kondisi yang sulit ditebak selama masa Perang Dingin, rasa tidak aman yang muncul

akibat kemampuan militer, ekonomi, atau teknologi negara lain (security dilemma)12

mendorong negara-negara lemah atau yang baru merdeka mencari perlindungan kepada

negara-negara kuat, dalam hal ini adalah mereka yang memiliki kekuatan nuklir. Ditambah

lagi terdapat beberapa perang di negara lain yang secara tidak langsung melibatkan Amerika

Serikat dan Uni Soviet mendorong terjadinya arms race atau perlombaan senjata khususnya

pada pengayaan nuklir. Akibatnya, pengembangan besar-besaran kekuatan nuklir bagi

persenjataan mencapai puncaknya pada tahun 60-an. Kemudian dikenallah rudal balistik,

rudal lintas benua, kapal selam pembawa nuklir, pesawat pembom nuklir, dan silo atau bunker

penyimpan nuklir.

Perang Dingin dinyatakan berakhir pada tahun 1990, tepatnya saat Uni Soviet pecah,

namun kepemilikan teknologi perang, jumlah persenjataan, termasuk hulu ledak nuklir masih

10 Michael G. Roskin, Nicholas O. Berry, The New World Of International Relations, New Jersey: Prentice Hall.1997, hal. 219.11Ibid., hal. 219.12 Martin Griffiths, International Relations Theory for the Twenty-First Century: An Introduction, New York:Routledge, 2007, hal. 17.

9

berada di tingkat yang tinggi. Sekitar 10.000 hulu ledak dimasing-masing pihak.13 Ditambah

lagi dengan berbagai jenis kendaraan dan rudal yang mampu mengangkut senjata ini ke

berbagai belahan dunia. Mulai dari rudal balistik antar-benua, rudal balistik jarak menengah,

kapal selam nuklir, pesawat pembom, atau mobil angkut. Hal inilah yang tetap memanaskan

kondisi politik dunia, khususnya dalam bidang keamanan. Meskipun ada keraguan bahwa

kedua negara ini akan menggunakan nuklir sebagai senjata, namun kepemilikannya tetap

meresahkan sejumlah kalangan dan negara.

Akhir dari Perang Dingin menghasilkan lima negara pemilik nuklir yang resmi dan

diakui secara internasional. Mereka adalah Amerika Serikat, Rusia, China, Inggris, dan

Perancis. Tujuannya agar nuklir, khususnya sebagai senjata, tidak menjadi milik satu

kelompok saja sehingga balance of power tetap tercipta. Kelima negara ini akan berperan

sebagai aktor yang memiliki pengaruh lebih dalam berbagai kebijakan penggunaan nuklir.

Selain negara-negara yang telah mendapat persetujuan dari lima negara pemilik nuklir,

terdapat beberapa negara yang hak dan kepemilikan nuklirnya terus dipertanyakan. Misalnya

saja Israel, Pakistan, India, Korea Utara, dan Iran.14

Memahami tingginya jumlah hulu ledak nuklir akibat arms race, maka muncul

kekhawatiran jika kepemilikannya akan sulit dikendalikan seiring waktu. Dengan dorongan

dari negara lain dan demi menjaga agar tidak terjadi politisasi nuklir ke negara lain, maka

Amerika Serikat dan Rusia merasa perlu diadakan pengurangan kepemilikan senjata ini.

Diadakanlah berbagai pertemuan dan kesepakatan terkait pengurangan penggunaan dan

ketergantungan senjata nuklir sejak tahun 1946.

13 http://amscontrolcenter.org/assets/pdfs/START_Briefing_Book_4-6-2010.pdf (diakses tanggal 17 Mei 2010).14Paul Battersby & Joseph M. Siracusa, Globalization & Human Security, United Kingdom: Rowman &Littlefield Publishers, Inc., 2009, hal. 176.

10

Amerika Serikat dan Rusia telah lama mengusahakan agar terciptanya perjanjian non-

profilerasi nuklir, yaitu sebuah perjanjian untuk mengurangi percepatan produksi dan

pengembangan senjata nuklir.15 Diharapkan pengembangan nuklir tidak lagi bergerak dalam

bidang persenjataan tapi sebagai energi alternatif atau pengayaan produk pangan. Perjanjian

mengenai nuklir pertama yang benar-benar terjadi dimulai pada negosiasi larangan uji coba

nuklir pada 31 Oktober 1958 dengan hasilnya Partial Limited Ban Treaty tahun 1963 yang

isinya antara lain agar tidak menguji coba senjata nuklir dalam tingkat atmosfir, luar angkasa,

dan bawah laut. Kemudian disusul dengan perjanjian-perjanjian lain hingga beberapa tahun

belakangan ini.16

Dari seluruh pertemuan dan perjanjian antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang

kemudian kita kenal sebagai negara Rusia, New Strategic Arms Reduction Treaty (New

START) merupakan salah satu kesepakatan yang paling penting. Mengingat New START

adalah kelanjutan dari berbagai perjanjian nuklir sebelumnya yang kini menjadi perjanjian

terbesar dalam pengurangan kepemilikan senjata nuklir secara massal. Perjanjian New START

direncanakan akan mampu mengurangi jumlah kepemilikan senjata nuklir hingga 60%.17

Semenjak era Perang Dingin pada tahun 1960an hingga sekarang telah tercapai banyak

perjanjian pengurangan dan pembatasan kemampuan serangan nuklir kedua negara. Hal ini

bisa tercapai karena adanya kesadaran kedua negara bahwa senjata yang nuklir yang mereka

produksi selama Perang Dingin tidak pernah digunakan sama sekali.18 Hal ini terjadi akibat

adanya efek deterrence, yaitu Amerika Serikat atau Uni Soviet tidak akan melakukan

serangan karena khawatir negara mereka akan balik diserang sehingga yang terjadi adalah

15 Jennifer A. Hurley, Weapons of Mass Destruction: Opposing Viewpoint, California: Greenhaven Press, Inc.,1999, hal. 155.16Ibid., hal. 159.17“Treaty Between The United States Of America And The Russian Federation On Measures For The FurtherReduction And Limitation Of Strategic Offensive Arms” (diakses melaluihttp://amscontrolcenter.org/assets/pdfs/START_Briefing_Book_4-6-2010.pdf tanggal 17 Mei 2010)18 Jennifer A. Hurley, Op.Cit., hal. 58.

11

efek saling menghabisi satu sama lain.19 Deterrence menciptakan kondisi tidak pernah

digunakannya senjata ini dan hanya menjadi alat politik dalam bidang keamanan.20

Bagi Amerika Serikat dan Rusia, pengurangan senjata nuklir akan memberikan citra

baik kepada dunia internasional. New START akan membuktikan kesungguhan kedua negara

ini untuk berfokus tidak lagi kepada masalah militer. Hal ini sangat sesuai dengan tujuan

presiden kedua negara ini untuk meningkatkan kepercayaan dan komoditas ekspor dalam

menunjang ekonomi domestik yang baru saja diserang resesi global. Hal ini juga sesuai

dengan strategi kebijakan luar negeri kedua negara dalam situs resmi masing-masing. Kedua

negara berfokus dalam stabilitas domestik khususnya dalam bidang ekonomi, dan khusus bagi

Amerika Serikat bukan hanya mengurangi senjata nuklir mereka tapi juga negara lain.

Amerika Serikat mulai mengecam negara-negara yang memiliki nuklir tanpa persetujuan

negara anggota klub nuklir. Meskipun masih dipertanyakan tujuan politisnya.

Perubahan strategi luar negeri Amerika Serikat dan Rusia adalah gambaran dari

bagaimana kepentingan nasional mereka telah mengalami perkembangan. Kepemilikan nuklir

tidak lagi menjadi bagian dari strategi utama mereka, yang diutamakan adalah perkembangan

ekonomi dan perdagangan dunia. Hal ini sesuai dengan kondisi dunia saat ini yang memaksa

mereka untuk mengurus perekonomian dalam negeri. Melalui perbandingan kebijakan luar

negeri kedua negara, ditemukan beberapa persamaan dalam penjabaran strategi luar negeri

Amerika Serikat dan Rusia antara lain, bagaimana mereka merasa perlunya penguatan

ekonomi, penanggulangan terorisme, dan strategi untuk kembali merebut perhatian, simpati,

dan empati dunia internasional.21

19 Robert Jastrow, How to Make Nuclear Weapon Obsolete, Toronto: Little, Brown and Company, 1985, hal.123.20 Michael G. Roskin, Op.Cit., hal. 216.21“U.S. National Security Strategy 2010 dan Strategia Natsionalnoi Bezopasnosti Rossiiskoi Federatsii do 2020Goda” (diakses melalui http://www.nationalstrategy.com/ tanggal 3 November 2010 danhttp://www.scrf.gov.ru/documents/99.html tanggal 3 November 2010).

12

Perkembangan masyarakat dunia yang semakin demokratis memunculkan kesadaran

politik dalam diri mereka. Hal ini ikut menjadi salah satu faktor penting berdirinya berbagai

gerakan kemanusiaan, yang diantaranya adalah gerakan anti-nuklir, gerakan anti-perang,

gerakan lingkungan, dll. Kelompok masyarakat inilah yang ikut mendorong non-profilerasi

nuklir Amerika Serikat dan Rusia.22 Selain itu, kehadiran negara-negara berkembang yang

tidak memiliki nuklir namun memiliki posisi strategis dalam strategi keamanan negara-negara

maju ikut mempengaruhi minimalisasi keberadaan senjata nuklir. Perkembangan selanjutnya

adalah ikut bergabungnya negara-negara Eropa dalam gerakan menolak nuklir ini, dengan

alasan bahwa mereka berada diantara kedua negara ini dan jika perang terjadi mereka akan

terkena dampaknya secara langsung.23

Jumlah senjata nuklir yang dirasa masih cukup besar pada pihak Amerika Serikat

maupun Rusia dan sebagai bagian dari kondisi deterrence membuat kedua negara secara

berkelanjutan, walaupun pernah terhambat, berusaha mengurangi jumlah nuklir yang mereka

simpan. Bagi kedua negara, hal ini tentu sangat berat untuk diputuskan. Selain karena masih

adanya perdebatan antara pendukung dan mereka yang menolak keberadaan nuklir baik para

akademisi, pengamat, maupun politisi, juga karena kurangnya kepercayaan antara kedua

negara. Kekhawatiran jika Amerika Serikat mengurangi nuklirnya tapi Rusia tidak atau

sebaliknya, membuat kecurigaan mengganggu negara ini. Namun, dengan keyakinan kedua

negara melalui pemimpin negara mereka bahwa dunia sudah siap untuk tidak memiliki nuklir

menjadi sebuah peluang baik tercapainya dunia bebas nuklir di masa yang akan datang.

22 General Sir John Hackett, The Third World War: The Untold Story, New York: Macmillan Publishing Co.,Inc., 1982, hal. 17.23Robert Jastrow, Op.Cit., hal. 135.

13

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Sesuai dengan strategi keamanan yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Rusia,24

masalah pertahanan tidak lagi berada dalam tataran negara melawan negara tapi negara

melawan organisasi atau gerakan-gerakan, misalnya gerakan separatis, terorisme, atau

fundamentalis dan radikalisme. Melihat hal ini maka dianggap penting bagi kedua negara

untuk mulai meninggalkan senjata pemusnah massal konvensional yang mereka miliki, yaitu

nuklir. Tujuan utamanya adalah menarik perhatian dan empati negara lain serta membuka

jalur diplomasi yang bersifat lebih demokratis bukannya militeristik. Dengan demikian maka

Amerika Serikat dan Rusia akan mampu membuka jalur lain dalam bekerja sama dengan

negara lain, seperti ekonomi, kesehatan, lingkungan, pendidikan, dan sosial.

Kepentingan nasional mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan negara

yang akan tergambarkan dalam kebijakan luar negeri mereka. Saat ini, baik Amerika Serikat

dan Uni Soviet telah mengadopsi gerakan non-profilerasi nuklir dalam kepentingan nasional

mereka. Salah satu cara pencapaian non-profilerasi nuklir adalah dengan bersama-sama

mengurangi kepemilikannya dan saling mengawasi penggunaannya kemudian lebih berfokus

pada pada bidang lainnya. Hal inilah yang tergambarkan dalam perjanjian New START yang

telah ditandatangani oleh presiden kedua negara, Barrack Obama dan Dimitry Medvedev pada

bulan April 2010 di Praha. Menurut situs jaringan pemerintahan masing-masing negara, kedua

negara dibawah pemerintahan yang baru cukup antusias dengan pencapaian New START di

masa yang akan datang terlepas dari berbagai kendala-kendala yang mungkin akan dihadapi

di tahun-tahun berikutnya dan dengan terus mengambil pelajaran berharga dari beberapa

perjanjian sebelumnya.

Menyadari pentingnya perjanjian ini bagi kedua negara dimasa kini dan yang akan

datang, dan dengan melihat hal ini sebagai sebuah faktor yang akan ikut mempengaruhi

24U.S. National Security Strategy 2010, Loc. Cit.

14

kondisi nuklir dunia maka penulis kemudian membagi batasan dan rumusan masalah dari

karya tulis ini menjadi dua, yaitu:

1. Apakah arti penting New START bagi Amerika Serikat dan Rusia?

2. Bagaimana peluang dan tantangan implentasi New START bagi Amerika Serikat

dan Rusia di masa depan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui arti penting New START bagi Amerika Serikat dan Rusia.

2. Mengetahui peluang dan tantangan implementasi New START bagi Amerika

Serikat dan Rusia di masa depan.

2. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai data dan informasi di masa yang akan datang, khususnya dalam

pengembangan studi hubungan internasional di bidang keamanan dan

diplomasi nuklir.

2. Sebagai masukan dan data tambahan dalam melakukan penelitian dan

pengkajian lebih lanjut terkait masalah perjalanan perjanjian non-profilerasi

nuklir Amerika Serikat dan Rusia.

D. Kerangka Konseptual

David Clinton mengatakan, “national interest in this way comprised a system of

restraint on states’ actions as effective as the rules of international law or the traditions of

diplomatic practice.”25 Dari penjelasannya dapat dipahami kemudian bahwa kepentingan

25David Clinton, National Interest: Rhetoric, Leadership, and Policy, Boston: University Press of America,1988, hal. 47-48.

15

nasional adalah konsep kunci dalam politik luar negeri. Konsep tersebut dapat diorientasikan

pada ideologi suatu negara ataupun pada sistem nilai sebagai pedoman prilaku negara

tersebut. Artinya bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri bisa didasarkan pada

pertimbangan-pertimbangan ideologis ataupun dapat terjadi atas dasar pertimbangan

kepentingan. Atas dasar itulah dalam setiap pembuatan kebijakan menjadi hal yang penting

untuk mampu menentukan strategi yang cakap ketika menghadapi sistem internasional yang

anarkis.26

Lingkungan internasional adalah sebuah dunia yang anarkis. Setiap negara akan

mengedepankan kepentingan nasional masing-masing, entah melalui diplomasi dan

kerjasama, atau hard power seperti tekanan internasional, embargo, atau perang. Berbagai

ancaman akan muncul dan menguji langkah strategis setiap negara dalam menghadapinya.

Konsep dalam defensive structural realism menawarkan jalan bagi negara untuk menghadapi

ancaman dengan menggunakan pemahaman kekuatan untuk bertahan, bukan menyerang.

Kekhawatiran akan tejadinya tindakan serupa dari negara lain yang berbuntut pada arms race

dan security dilemma, adalah alasan yang cukup jelas untuk memperhatikan tawaran para

defensive realist. Hal ini dalam pengaplikasiannya dapat didasarkan pada perhitungan

matematis dan rasional menggunakan offense-defense balance dengan matriks-matriks dari

game theory.27

Game theory bisa dikatakan sebagai sebuah alat ukur, atau menggunakan istilah

Thomas C. Schelling adalah sebuah ‘permainan strategi’ yang akan membantu negarawan dan

pembuat kebijakan di lingkungan internasional. Dengan menjadikan hubungan interasional

bagaikan permainan dengan hitungan matematis dan logis, game theory mencoba menyusun

analisa atas hubungan dua atau lebih aktor, membantu ahli teori hubungan internasional

26Sumpena Prawira Saputra, Politik Luar Negeri Indonesia, Jakarta: Remaja Karya Offset, 1985, hal. 24.27John J. Mearsheimer, Structural Realism, Oxford: Oxford University Press, 2006, hal. 75-78.

16

menjelaskan interaksi aktor di dalamnya, dan membantu para praktisi dalam mempengaruhi

interaksi tersebut demi membela aktor yang sedang diwakili.28

E. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Dari beberapa rumusan yang diambil oleh penulis, maka penulisan dalam penelitian

ini menggunakan metode prediktif. Dalam penelitian ini, penulis mencoba

memberikan gambaran umum nuklir di Amerika Serikat dan Rusia sebelum akhinya

prediksi bagaimana penerapan New STARTpada keberadaan nuklir di Amerika Serikat

dan Rusia.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah telaah

pustaka (library research) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang

berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian

menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, dan situs-

situs internet atau laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan

penulis teliti. Mengingat data yang dibutuhkan dalam penulisan laporan ini telah

tersedia dalam bentuk laporan yang bisa ditemukan di dunia maya dan buku-buku

yang didapatkan penulis maka pengumpulan data di beberapa lembaga hanya sebagai

pelengkap. Data yang diperoleh dari beberapa tempat yang terkait yaitu:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar

b. Perpustakaan Fisip Universitas Hasanuddin di Makassar

28Hector Correa, “Game Theory as an Instrument for the Analysis of Internastional Relations” (diakses melaluihttp://www.ritsumei.ac.jp/acd/cg/ir/college/bulletin/vol14-2/14-2hector.pdf tanggal 29 September 2011) danJames E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff Jr., Contending Theories of Internationl Relations, J. B. LipincottCompany, 1971, hal. 347.

17

c. Perpustakaan Himahi Universitas Hasanuddin di Makassar

3. Jenis Data

Dalam penulisan ini, peneliti menggunakan data sekunder dari berbagai literatur

terkait. Data-data tersebut antara lain: buku, jurnal, data internet. Adapun data

sekunder yang dibutuhkan adalah data mengenai perjalanan diplomasi nuklir Amerika

Serikat dan Rusia serta pengesahan New START dan dampak-dampak yang telah dan

akan ditimbulkannya bagi Amerika Serikat dan Rusia.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis

data kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada

kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya, kemudian

ditarik sebuah kesimpulan.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang akan digunakan dalam karya tulis ini adalah deduktif, yaitu

penggambaran masalah akan dilakukan secara umum melalui garis-garis besarnya

sebelum akhirnya membahasnya secara khusus dan lebih detail. Yang dimaksud

bersifat umum dalam persoalan ini adalah perjalanan nuklir sebagai sebuah aspek

penting dalam diplomasi dan strategi antara kedua negara, Amerika Serikat dan Rusia

pada masa Perang Dingin hingga kini. Hal-hal yang kemudian lebih bersifat khusus

yang selanjutnya akan dibahas adalah perjanjian non-profilerasi nuklir antara kedua

negara khususnya kesepakatan New START dan implementasi serta implikasinya bagi

kedua negara bagi masa kini dan dimasa yang akan datang.

18

BAB III

GAMBARAN UMUM

Penggunaan bom atom untuk pertama kalinya di Hiroshima telah menjadi sebuah

batas sejarah penting dunia. Batas yang memisahkan akhir dari Perang Dunia II dan awal dari

politik dunia yang segera akan dibayangi oleh senjata nuklir. Berbagai spekulasi kemudian

muncul pasca serangan ini. Ada anggapan bahwa serangan ini bagi parapasukan negara sekutu

adalah bentuk diplomasimasa perang. Ada juga anggapan serangan ini terkait dengan

kekhawatiran Amerika Serikat atas keinginan Uni Soviet untuk ikut dalam Teater Pasifik,

karena saat itu Uni Soviet baru saja memenangkan Teater Eropa dengan berhasil menguasai

Berlin. Pendapat ini dikuatkan ketika perang berakhir saat Uni Soviet meminta agar Jepang

ikut dibagi dalam zonasi seperti Jerman dan Uni Soviet juga mendapat bagian. Anggapan

berikutnya bahwa serangan ini sebenarnya semata-mata keinginan para elit politik, militer,

dan ilmuwan Amerika Serikat untuk menunjukkan superioritas Amerika Serikat pada dunia.29

Masa yang bagi sebagian ahli disebut “era nuklir” melahirkan berbagai penyesuaian

konsep kepentingan nasional dengan kebijakan luar negeri saat itu. Demi mengatasi

kemunculan teknologi ini, negara membutuhkan langkah-langkah strategis dan tepat sasaran,

mengingat betapa berbahayanya senjata nuklir. Termasuk dua dari negara pemenang Perang

Dunia II, AS dan Uni Soviet dengan berbagai kebijakan luar negerinya yang membawa

anarkisme hubungan internasional pada tingkatan yang lebih jauh dan membagi dunia ke

dalam blok barat dan blok timur.30 Oleh karena itu pembahasan berikutnya akan dimulai

dengan gambaran umum strategi nuklir kedua negara saat itu sebelum akhirnya beralih

29Ian Clark, Nuclear Past, Nuclear Pesent, Colorado: Westview Press, Inc., 1984, hal. 1; Joseph S. Nye, Jr.,Understanding International Conflicts, Harvard University: Pearson Longman, 2009, hal. 122.30Ian Clark, Op.Cit., hal. 19-22; P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Nuclear Strategy, ArmsControl, and The Future, Colorado: Westview Press, Inc., 1985, hal. 7-18;General Sir John Hackett, The ThirdWorld War: The Untold Story, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1985, hal. 1-6.

19

kepada bentuk-bentuk diplomasi nuklir yang telah dijalankan kedua negara hingga sampai

kepada perjanjian terbaru, New START.

A. Strategi Nuklir Amerika Serikat dan Rusia

Perang Dingin tidak hanya mengacu kepada suatu rentang waktu dalam sejarah

internasional, tapi juga menjelaskan keseluruhan hubungan antara Amerika Serikat dan Uni

Soviet saat itu. Perang Dingin adalah sebuah pertikaian atas kekuasaan antara negara

superpower saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet.31 Tradisionalis, revisionis, dan

postrevisionis, tiga pendekatan yang digunakan saat itu untuk mengetahui sebab Perang

Dingin juga mengakui hal yang serupa.32 Kata ‘perang’ menggambarkan ketegangan yang

terjadi, konflik bersenjata, hubungan zero-sum kedua negara, sementara kata ‘dingin’

mengacu kepada adanya faktor-faktor yang menahan pertentangan ini sehingga tidak menjadi

‘panas’ atau perang terbuka.33 Sehingga didefiniskan bahwa Perang Dingin adalah pertikaian

ketegangan tingkat tinggi antara Timur dan Barat yang berujung pada ancaman penggunaan

senjata nuklir.34

Pertempuran memang terjadi dalam Perang Dingin tapi hanya pada sekitar kedua

negara superpower. Pertikaian yang terjadi muncul dalam dua ranah, yaitu politik dan militer.

Dalam politik misalnya penyebaran paham komunis yang menghasilkan konsep efek domino,

marshall plan, atau kebijakan containment. Dalam militer misalnya peran kedua negara

langsung maupun tidak langsung di Vietnam, Korea, atau Afghanistan. Hal ini sesuai dengan

penjelasan tiga pendekatan bahwa ketika Amerika Serikat berusaha mengejar pengaruh untuk

31 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, Op.Cit., hal. 35.32Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts, Op.Cit. hal. 118-119.33Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, Op.Cit., hal. 36.34Ibid.

20

menguasai sistem internasional, Uni Soviet melakukannya melalui penguasaan teritori

sebelum ikut juga memperluas pengaruh komunisme-nya.35

Dalam Understanding International Conflicts Joseph S. Nye membagi awal mula

Perang Dingin ke dalam tiga fase, yaitu Tahap Permulaan (1945-1947), Deklarasi Perang

Dingin (1947-1949), dan Puncak Perang Dingin (1950-1962). Lebih jauh Joseph S. Nye

kemudian menyebutkan bahwa ada enam isu yang menjadikan strategi Amerika Serikat saat

itu berubah dan ikut mendorong dimulainya Perang Dingin. Salah satu isu tersebut adalah

bom atom. Presiden Roosevelt menolak membagi rahasia pembuatan bom atom kepada Uni

Soviet pasca Perang Dunia II. Para ahli setuju ketika Presiden Truman menggunakan bom

atom semata-mata hanya untuk segera mengakhiri perang, bukannya untuk mengintimidasi

Uni Soviet seperti pendapat para revisionis, meskipun disadari Presiden Truman bahwa bom

ini akan mendapat efek politis.36

Pada pertemuan Postdam tahun 1945, Truman baru memberitahu kepada Stalin bahwa

Amerika Serikat punya bom atom. Stalin tentu saja telah mengetahuinya melalui mata-

matanya. Amerika Serikat mengajukan Baruch Plan pada tahun 1946 kepada PBB yang baru

saja terbentuk, yang isinya adalah untuk mengatur penggunaan senjata nuklir. Stalin

menolaknya dengan anggapan bahwa meskipun dibawah kontrol internasional bom atom tetap

saja milik Amerika Serikat. Karena hanya mereka yang memilikinya dan tahu cara

membuatnya. Stalin percaya bahwa akan lebih baik jika Uni Soviet punya bom atom sendiri

demi menjaga keamanan mereka.37

Uni Soviet mulai serius mengembangkan program nuklirnya pada tahun 1943, itupun

setelah mendapatkan informasi program nuklir Amerika Serikat dan Inggris. Perlu diketahui

35Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts, Op.Cit., hal. 116-138; Martin Griffiths dan TerryO’Callaghan, Op.Cit., hal. 35-38.36Joseph S. Nye, Jr., Understanding International Conflicts, Op.Cit., hal. 122-124.37Ibid.

21

sebenarnya Uni Soviet termasuk negara yang telah memulai penelitian soal fission terhadap

uranium dan reaktornya sebelum Perang Dunia II dimulai. Program yang saat itu murni

penelitian ilmiah dan akademis terpaksa dihentikan saat Perang Dunia II dimulai karena Uni

Soviet fokus membangun kekuatan perang konvensionalnya.38

Uni Soviet berusaha melanjutkan penelitiannya, apalagi setelah keberhasilan Amerika

Serikat meledakkan bom atomnya di Jepang, dengan membentuk Komite Spesial untuk

mendorong akselerasi penuh program nuklir Uni Soviet. Komite yang langsung berada di

bawah Politburo ini berhasil meledakkan bom yang mirip dengan Fat Man (salah satu bom

atom yang diledakkan Amerika Serikat) di Semipalatinsk. Kesejajaran secara strategis dengan

Amerika Serikat dicapai Uni Soviet melalui ICBM (inter-continental ballistic missiles) R-36

dan UR-100, kemudian Project 667A yang menyamai sistem Polaris Amerika Serikat.

Kesejajaran secara kuantitatif bahkan melampaui Amerika Serikat dicapai pada tahun 1978.39

“The hope of civilization lies in international arrangements looking, if possible, to the

renunciation of the use and development of the atomic bomb”, pesan Presiden Truman kepada

Kongres AS pada Oktober 1945. Pesan yang dimaksudkan agar dunia menghentikan

pengejaran kekuatan bom ini adalah bukti ketakutan Truman saat itu, ketakutan yang ikut

dirasakan oleh para ilmuwan di Manhattan Project. James Franck, seorang fisikawan yang

ikut membuat bom atom, memandang ke depan tentang bagaimana setelah bom ini selesai

dibuat mengingat Nazi telah kalah di bulan Juni. Franck kemudian membentuk komite untuk

menimbang dampak dari bom ini kelak. Selain Franck, komite ini beranggotakan Eugene

Rabinowitch penyusun naskah laporan komite ini (yang kemudian akan menjadi pendiri

38Pavel Podvig, Russian Strategic Nucelar Forces, Cambridge, Massachusets: MIT Press, 2001, hal. 1-8.39Ibid.; Robert S. Norris dan Hans M. Kristensen, Bulletin of the Atomic Scientist:Global nuclear weaponinventories, 1945-2010, 2010, hal 81-82.

22

Bulletin of the Atomic Scientist), dan Leo Szilard yang menolak penggunaan bom ini di

Jepang.40

Franck, Rabinowitch, dan Szilard mengkhawatirkan penyebaran tidak terkendali

energi atom kelak dan moralitas penggunaannya. Para ilmuwan ini memperingatkan Amerika

Serikat agar tidak mengandalkan kelebihan yang dimilikinya dalam senjata atom. Senjata

nuklir tidak akan menjadi monopoli Amerika selamanya karena kerahasiaannya sendiri cepat

atau lambat akan terbongkar.41 Terdepan dalam produksi senjata ini merupakan sumber

keamanan yang salah, seperti yang dikutip dalam Report of the Committee on Political and

Social Problems, “quantitative advantage in reserves of bottled destructive power will not

make us safe from sudden attack”.42 Mereka kemudian menyimpulkan jika setelah peledakan

pertama tidak ada perjanjian internasional terkait senjata ini maka ‘perlombaan senjata tanpa

batas akan dimulai’. 43

James Franck juga menuliskan dalam Report of the Committee on Political and Social

Problems bahwa:

“it will be very difficult to persuade the world that a nation which was capableof secretly preparing and suddenly releasing a weapon, as indiscriminate asthe rocket bomb and a thousand times more destructive, is to be trusted in itsproclaimed desire of having such weapons abolished by internationalagreement.44”

Komite ini sadar bahwa keinginan non-profilerasi haruslah solusi politik yang diterima secara

universal dan akan sulit bagi negara yang menggunakan kekuatan ini untuk mendapatkan

kepercayaan negara lain sebagai negara yang dengan sukarela menghilangkan kekuatan

nuklirnya begitu saja. Penyebaran teknologi nuklir tidak akan bisa dibendung. Dalam

40Joseph Cirincione, Op.Cit., hal. 14-16.41Ibid.42Report of the Committee on Political and Social Problems, Manhattan Project Metallurgical Laboratory,University of Chicago, 11 Juni 1945.43Ibid.44Ibid.

23

laporannnya mereka menuliskan desakan mereka agar tidak melihat kekuatan ini sebagai

keuntungan militeristik saja tapi juga dalam kerangka kebijakan nasional jangka panjang:

“we urge that the use of nuclear bombs in this war be considered as a problemof long-range national policy rather than military expediency, and that thispolicy be directed primarily to the achievement of an agreement permitting aneffective international control of the means of nuclear warfare.”45

Ketakutan Truman, Franck, Rabinowitch, dan Szilard akhirnya menjadi kenyataan ketika

penolakan Baruch Plan oleh Stalin disusul keberhasilan ledakan nuklir pertama Uni Soviet

pada tanggal 29 Agustus 1949 di Semipalatinsk.46

Tidak seperti Perang Dunia I, banyak anggapan bahwa dalam berjalannya Perang

Dunia II dinilai lebih mementingkan nilai kemanusiaan dan keadilan. Perbedaan ini terlihat

bahwa dalam Perang Dunia I negara-negara pesertanya tidak sekedar terlibat dalam

pembantaian pasukan mereka dengan menggunakan strategi parit dan bergerak dalam barisan.

Hampir seluruh negara peserta Perang Dunia II kembali mengutamakan strategi militer yang

mengutamakan hidup prajuritnya dibandingkan pada masa Perang Dunia I. Meskipun

demikian, semua hal ini terancam dengan kehadiran senjata nuklir. Jika dibandingkan dengan

Perang Dunia I, daya hancur senjata nuklir jauh lebih destruktif dengan keunggulan efisiensi

waktu dan efektifitas dampaknya. Menurut Departemen Pertahanan AS hal ini sangat disadari,

bahwa jika terjadi ledakan beberapa nuklir sekaligus pada bumi belahan utara maka akan

terjadi “nuclear winter”. “Nuclear winter” atau musim salju nuklir adalah kondisi ketika abu

dan asap dari serangan nuklir akan mampu menutupi awan dan langit dan sinar matahari tidak

dapat menembus bumi hingga udara menjadi dingin bahkan membeku. Berbagai bentuk

kehidupan akan rusak termasuk seluruh wilayah di dunia yang menghasilkan makanan.

45Ibid.46Joseph Cirincione, Op.Cit., hal. 6.

24

Sebuah gambaran yang mengancam 3 milyar penduduk sementara sisanya akan hidup dengan

berbagai penyakit.47

Amerika Serikat dan Uni Soviet memiliki sejarah buruk dengan serangan mendadak.

Amerika Serikat pernah diserang secara mendadak oleh Jepang pada tanggal 7 Desember

1941,48 sementara Uni Soviet oleh Jerman pada 22 Juni 1941.49 Peristiwa tersebut ternyata

menjadi salah satu pendorong dan alasan psikologis dua negara ini memacu produksi hulu

ledak serta ICBM mereka. Sekelompok spesialis melakukan wawancara kepada 22 perwira

senior militer yang bekerja di Soviet General Staff dan Strategic Rocket Force antara tahun

1989 hingga 1994. Para peneliti menemukan ternyata sejak awal 1970an kepemimpinan

militer Uni Soviet telah menyadari mereka tidak akan bisa menang dalam perang nuklir. Oleh

karena itu, mereka menyiasatinya dengan penambahan jumlah kekuatan militer yang

signifikan dan menggunakan prinsip deterrence. Laporan Pavel Podvig menambahkan bahwa

sejak tahun 1970an hingga 1980an para pemimpin Amerika Serikat melihat kekuatan nuklir

Uni Soviet tidak hanya bertambah dalam jumlah saja tapi juga akurasi ICBM mereka. Hal

inilah yang membuat deterrence berjalan dengan baik saat itu dan berujung pada sikap kedua

negara untuk bersiap dengan segala kemungkinan: pencegahan, peluncuran singkat, dan

serangan balasan.50

“The massive proliferation of nuclear weapons in the United States, the SovietUnion, and elsewhere has radically challenged traditional approaches to warand strategy and the uses of military force for rational purposes. Efforts tocreate an acceptable and viable strategy for the management of this dangerousmilitary power in an adversarial superpower relationship have been anythingbut easy and reassuring”.51

47 P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Nuclear Strategy, Arms Control, and The Future,Colorado: Westview Press, Inc., 1985. hal. 2-7; Susan Willett, Cost of Disarmament-Disarming the Costs,Geneva: UNIDIR, 2003, hal. 11-12.48Howard Cincotta, Garis Besar Sejarah Amerika, Departemen Luar Negeri Amerika, 2004, hal.302.49P. K. Ojong, Perang Eropa Jilid I, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hal. 358.50Robert S. Norris dan Hans M. Kristensen, Bulletin of the Atomic Scientist:Nuclear U.S. and Soviet/RussianIntercontinental Ballistic Missiles1959-2008, 2009, hal 63-64.51Roman Kolkowicz, Dilemmas of Nuclear Strategy, London: Frank Cass. 1987, hal. 3.

25

Kalimat yang ditulis oleh Roman Kolkowicz dalam Dilemmas of Nuclear Strategy ini

menggambarkan bagaimana senjata nuklir telah mengubah susunan strategi, manajemen, dan

pendekatan dalam menaksir bahaya sebuah peperangan.

Politik luar negeri suatu negara dilakukan dengan dua alat yaitu persuasion dan

coercion, atau jika meminjam istilah Raymond Aron, diplomasi dan strategi. Batasan dari

persuasion adalah ketika meminta sebuah negara untuk melakukan sesuatu dan akan

memberikan imbalan dalam penyelesaiannya. Namun ketika dimasukkan unsur ancaman jika

negara yang diinginkan membantah atau tidak memperdulikan maka akan masuk ke dalam

bentuk coercion. Dalam batasan pilihan ini, pemimpin negara akan menggunakan rencana

atau langkah-langkah yang sesuai demi mencapai tujuannya. Jika rencana yang dipilih

melibatkan unsur coercion maka rencana tersebut menjadi strategi. Sehingga dapat diartikan

bahwa strategi adalah menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan militer

demi mencapai kepentingan nasional.52

Menurut para pemikir realis, perang memang telah menjadi kecenderungan bertahun-

tahun dalam kehidupan alami manusia dan tidak akan dapat dirubah atau dikendalikan melalui

hukum atau pendekatan moral. Bahkan, menurut mereka rasa takut atas hukuman besar atau

pembalasan (ide utama deterrence), atau sikap hati-hati ketika menghadapi biaya-biaya yang

mustahil dan hasil yang tidak terprediksi, akan menekan negarawan untuk bertindak agresif.53

Deterrence atau pencegahan berkembang pasca 1945 ketika Amerika Serikat berusaha

bergulat dengan perubahan yang akibat senjata nuklir. Menurut Bernard Brodie seorang ahli

52 P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Op.Cit., hal. 2-7.53Richard Devetak, Anthony Burke, Jim George, An Introduction to International Relations: AustralianPerspectives, New York:Cambridge University Press, 2007, hal. 147.

26

strategi, “thus far the chief purpose of a military establishment has been to win wars. From

now on its chief purpose must be to avert them.”54

Menurut Alan Dupont, makna keamanan yang diperluas tidak terpisah dari seorang

realis tradisional memahami dilema keamanan dalam militer. Pasca Perang Dingin tercipta

ancaman dan tantangan keamanan yang lebih luas bagi negara, misalnya terorisme, gerakan

radikal, kejahatan transnasional, penyakit, atau degradasi lingkungan. Ancaman ini tidak

datang dari negara atau pasukan bersenjata, tapi tetap mempengaruhi nilai-nilai dasar dan

kesejahteraan masyarakat.

Penggunaan ancaman atau politik luar negeri dengan kesan coercion sangatlah penting

pada masa nuklir ketika Perang Dingin sebagai inti dari strategi deterrence. Dengan kekuatan

nuklir yang sangat destrukif, ancaman untuk meledakkannya demi mencegah agresi menjadi

lebih krusial dibandingkan dengan penggunaan senjata dan pasukan konvensional. Terdapat

dua fakor utama dalam strategi deterrence yaitu kemampuan dan keinginan. Ketika

dihadapkan pada pilihan untuk menggunakan kekuatan, sebuah negara harus memiliki

kemampuan atau misalnya jumlah pasukan dan kekuatan serangan yang memadai yang

berfungsi dengan baik sebagai ancaman. Negara kemudian harus terlihat betul-betul memiliki

keinginan untuk menggunakan kekuatan tersebut sehingga negara lawan akan merasakan

ancaman tersebut. Jika dalam pengaplikasian faktor kemampuan dan keinginan ini gagal,

bahkan salah satunya saja, atau negara lawan tidak merasa tertekan atau terancam maka

strategi deterrence tersebut berkurang kekuatannya. Dapat dipahami kemudian bahwa tujuan

utama dari deterrence adalah meningkatkan skala destruktif dibandingkan hasil yang akan

dicapai jika perang telah berakhir.55

54Ibid.,hal. 148.55 P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Op.Cit., hal. 2-7.

27

Demi menjaga suasana deterrence tetap tercipta, kedua negara berusaha melakukan

berbagai langkah untuk memperkuat pemikiran lawannya bahwa ketika serangan terjadi

mereka tidak akan segan menggunakan nuklir. Hal ini dilakukan dengan menambah jumlah

hulu ledak, mengurangi ukurannya, dan meningkatkan akurasinya. Selain itu, baik Amerika

Serikat dan Uni Soviet menjaga agar ICBM mereka mustahil untuk ditembus dengan

menyimpan nuklir mereka didalam silo yang terbuat dari beton dan terkubur jauh di bawah

tanah. Atau diletakkan di dalam kapal selam sehingga sulit terdeteksi dan dapat diluncurkan

langsung dari dalam air, yang disebut juga submarine-launched ballistic missile atau SLBM.

Bahkan seperti Amerika Serikat yang meletakkannya di dalam pesawat pengebom agar daat

dibawa kemana-mana. Kedua negara kemudian mengembangkan sistem rudal anti-ballistic

missile atau ABM pada awal tahun 1960-an, kemudian dilanjutkan lagi pada awal tahun 1970-

an. Tujuannya sebagai pertahanan untuk menembak jatuh rudal berhulu ledak nuklir sebelum

memasuki batas negara masing-masing.56

Skala kekuatan kedua negara baik dari segi kekatan serang, seperti jumlah hulu ledak,

ICBM, SLBM, dan bomber, maupun kemampuan bertahan, seperti ABM dan penempatannya

mulai dirasakan perlu mendapat batasan. ABM Treaty dan SALT I kemudian menjadi awal

solusi kedua negara dan kerjasama dalam pembatasan senjata masing-masing,57 walaupun

sebenarnya perjanjian ini bukan kerjasama pertama Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam

urusan nuklir.

B. Diplomasi Nuklir selama Perang Dingin

Kronologi diplomasi nuklir Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet selama Perang

Dingin) pertama kali diketahui berasal dari Baruch Plan pada tahun 1946.58 Situs resmi

56 P. Edward Haley, David M. Keithley, and Jack Merritt, Op.Cit.,hal. 2-7.57Pavel Podvig, Russian Strategic Nucelar Forces, Cambridge, Massachusets: MIT Press, 2001, hal. 8.58 Jennifer A. Hurley, Weapons of Mass Destruction: Opposing Viewpoint, California: Greenhaven Press, Inc.,1999. hal. 159.

28

Departemen Luar Negeri menjelaskan bahwa Baruch Plan adalah proposal Amerika Serikat

kepada PBB untuk mendorong penghapusan pengembangan nuklir sebagai senjata dan

mendirikan organisasi internasional yang berperan aktif dalam mengawasi dan mengatur

penggunaan kekuatan nuklir pasca kejadian Hiroshima-Nagasaki sehingga tidak digunakan

selain demi tujuan damai. Ditambahkan juga bahwa Baruch Plan akan menghapus hak veto

Dewan Keamanan PBB. Sebagai gantinya Amerika Serikat akan menghentikan aktifitas

nuklirnya dan menghancurkan semua senjata nuklir yang dimilikinya saat itu setelah Baruch

Plan diterima oleh PBB.59

Uni Soviet saat itu tentu saja menolak dengan tegas Baruch Plan dengan alasan bahwa

ketika proposal ini disahkan maka Amerika Serikat akan memiliki masa menjadi negara yang

memonopoli semua kemampuan nuklir. Menyerahkan fungsi pengawasan kepada PBB juga

adalah tindakan tidak tepat, mengingat PBB didominasi oleh sekutu Amerika Serikat.

Penghapusan kemampuan hak veto juga dipandang sebagai pelemahan bagi Uni Soviet,

mengingat tanpa hak veto Uni Soviet akan sendirian menghadapi Amerika Serikat dan sekutu-

sekutunya. Uni Soviet sendiri sebenarnya mengajukan syarat tandingan agar Amerika Serikat

terlebih dahulu menghapus kemampuan nuklirnya sebelum proposal ini diterima.60

Baruch Plan menjadi yang pertama dari berbagai diplomasi dan perjanjian nuklir

negara-negara di dunia termasuk Amerika Serikat dan Uni Soviet. Baruch Plan tahun 1946

hingga New START tahun 2010 dihubungkan oleh 23 perjanjian yang 18 diantaranya berada

dalam era Perang Dingin. Berikut adalah perjanjian-perjanjian tersebut dari situs

http://www.atomicarchive.com/Treaties/ yang diakses pada 10 Agustus 2011 :

1. Antarctic Treaty (1959)

59http://history.state.gov/milestones/1945-1952/BaruchPlans (diakses pada 10 April 2010).60Ibid.

29

Perjanjian pembatasan senjata pertama pasca Perang Dunia II ini diikuti oleh

Argentina, Australia, Belgia, Cili, Perancis, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Afrika

Selatan, Uni Soviet, Inggris Raya., dan Amerika Serikat. Perjanjian yang diikuti oleh 12

negara ini menginginkan menjaga status aman dan damai di benua antartika. Larangan-

larangan yang disepakati adalah (1) pendirian markas militer, (2) kegiatan militer, (3)

tempat penyimpanan ataupun pengujian senjata apapun, (4) peledakan nuklir, dan (5)

tempat pembuangan sampah radioaktif. Perjanjian ini dianggap penting karena mengingat

benua Antartika yang begitu luas, penuh dengan sumber daya alam, dan tidak berpenghuni

menjadi alasan sederhana adanya ancaman perebutan wilayah ini, termasuk jika ingin

dijadikan tempat uji coba senjata.

Salah satu alasan utama perjanjian ini begitu mudah diterima adalah ketertarikan

akan ilmu pengetahuan cenderung lebih besar dibandingkan ketertarikan politik, militer

ataupun ekonomi pasca perang. Hal ini dapat dibuktikan dengan hubungan ilmuwan

Amerika Serikat dan Uni Soviet yang berlangsung baik di Antartica. Pada tahun 1956 dan

1957 misalnya, meteorologis Amerika Serikat diizinkan berkunjung ke pos penelitian

Soviet, Mirny dan meteorologis Uni Soviet bekunjung ke Little America.

Melalui Konferensi Washington untuk Antartika 15 Oktober hingga 1 Desember

1959, diskusi berlangsung lancar. Negosiasi ditandatangani pada tanggal 1 Desember

1959, disetujui oleh Senat Amerika Serikat dengan ratifikasi pada tanggal 18 Agustus

1960. Perjanjian ini aktif mulai pada tanggal 23 Juni 1961.

2. Hot Line Agreement (1963)

Pembahasan dalam perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet ini

menekankan pentingnya sebuah jalur komunikasi langsung antara kedua kepala negara

dalam keadaan darurat dan penuh tekanan internasional demi mencegah berbagai

kesalahpahaman, kecelakaan, ataupun serangan tiba-tiba yang mampu memicu perang

30

nuklir. Resiko yang muncul dari keadaan dunia yang baru saja memasuki era nuklir. Uni

Soviet merupakan negara pertama yang mengajukan jenis pengamanan dan langkah-

langkah mengurangi resiko perang nuklir, tepatnya pada tahun 1954. Hal ini dilandasi

kekhawatiran jika perang sampai terjadi hanya karena kecelakaan yang tidak disengaja.

Tanggal 25 September 1961 Presiden Kennedy mengajukan “Program for

General and Complete Disarmament in a Peaceful World” kepada Majelis Umum PBB

yang isinya mengenai langkah-langkah demi mengurangi resiko terjadinya perang.

Beberapa hal yang diajukan antara lain sistem pemberitahuan tingkat lanjut bagi manuver

dan kegiatan militer, pos pengamatan di pusat transportasi dan pangkalan udara, dan

berbagai inspeksi dan kunjungan. Selain itu diperlukan komisi yang akan mempelajari

berbagai langkah-langkah lain yang diperlukan, termasuk resiko adanya kegagalan

komunikasi. Amerika Serikat menambahkan perlunya pertukaran misi militer bersama

demi meningkatkan komunikasi dan pemahaman dan didirikannya sistem komunikasi

cepat dan terpercaya antar para kepala negara dan Sekertaris Jenderal PBB dalam

konsepnya ke Eighteen Nation Disarmament Committee (ENDC) pada tanggal 1 April

1962.

Menyadari konsep yang diajukan pada tanggal 15 Maret 1962 masih dirasa

kurang, Uni Soviet kemudian kembali mengajukan amandemen bagi konsepnya dengan

menambahkan (1) larangan kegiatan gabungan antar pasukan dari dua negara atau lebih

dan sistem pemberitahuan tingkat lanjut pergerakan besar pasukan suatu negara, (2)

pertukaran misi militer, (3) peningkatan kemampuan komunikasi antar kepala negara dan

Sekjen PBB. Krisis Misil Kuba pada Oktober 1962 menjadi pendorong utama betapa

pentingnya sebuah sistem komunikasi antar kepala negara sebagai sebuah langkah

pencegahan dan mengurangi resiko perang. Amerika Serikat kemudian menyerahkan

31

laporan kepada ENDC pada tanggal 12 Desember 1962 yang menekankan pentingnya

sebuah jaringan komunikasi dalam keadaan darurat.

Pertemuan tanggal 20 Juni 1963 di Jenewa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet

yang diwakili dalam ENDC kemudian berhasil menyelesaikan negosiasi dan

menandatangani “Memorandum of Understanding Between the United States of America

and the Union of Soviet Socialist Republics Regarding the Establishment of a Direct

Communications Link.” Isinya antara lain adalah agar masing-masing pemerintah

bertanggungjawab dalam mengatur jaringannya dalam wilayah masing-masing, termasuk

soal keberlanjutan fungsinya secara terus-menerus dan kecepatan pengiriman pesan ke

kepala negara masing-masing.

Hot Line Agreement menjadi perjanjian bilateral pertama Uni Soviet dan Amerika

Serikat yang memperlihatkan kesadaran kedua negara akan bahaya dalam masa senjata

nuklir modern. Salah satu contoh kesuksesan perjanjian ini misalnya dalam perang Arab-

Israel tahun 1967, ketika armada Amerika Serikat memasuki Mediterania namun tanpa

menimbulkan kesalahpahaman dengan Uni Soviet. Seiring perkembangan sistem

komunikasi, penggunaan sistem radio dan telegram diganti dengan satelit.

3. Limited Test Ban Treaty (1963)

Sesuai dengan namanya, perjanjian ini berisi larangan bagi melakukan uji coba

nuklir pada tempat-tempat “terbuka”, seperti di atmosfir, luar angkasa, dan bawah laut.

Meskipun tidak melarang uji coba di dalam tanah, tapi dengan syarat serpihan radioaktif

tidak melewati wilayah negara sendiri. Tujuan sederhana perjanjian ini adalah agar tidak

ada lingkungan hidup manusia yang terkontaminasi radioaktif. Perjalanan hingga akhirnya

perjanjian ini disepakati berlangsung selama delapan tahun. Kendalanya ada pada

kerumitan masalah teknis dalam perbedaan masing-masing negara dalam memahami

32

garis-garis pembatasan senjata dan keamanan mereka. Selain itu kondisi politik yang tidak

stabil antara Timur dan Barat selama Perang Dingin ikut menjadi hambatan.

Uji coba senjata nuklir menjadi sebuah masalah penting setelah adanya

kekhawatiran akan bahaya serpihan dan gas paparan radioaktif. Misalnya saja pada kasus

uji coba di Bikini Atoll oleh Amerika Serikat pada Maret 1954 yang meledakkan kekuatan

nuklir hingga 15 megaton. Kapal nelayan Jepang secara tidak sengaja terkontaminasi

radioaktif, menyebabkan seluruh awak menjadi sakit. Atau ketika sisa uji coba bom

hidrogen Uni Soviet menjadi hujan radioaktif yang jatuh di Jepang. Bahaya dari radioaktif

adalah dapat menyebabkan kerusakan genetis bagi manusia dan mencemari lingkungan.

Usaha untuk menegosiasikan perjanjian internasional demi mengakhiri uji coba

nuklir dimulai pada bulan Mei 1955 oleh Subcommittee of Five dari Komisi Pengurangan

Senjata PBB, yaitu Inggris Raya, Amerika Serikat, Kanada, Perancis, dan Uni Soviet,

tepatnya ketika Uni Soviet memasukkan kondisi untuk menghentikan percobaan senjata

dalam proposalnya. Kepentingan publik ikut berperan aktif dalam mendorong kesepakatan

ini. Melalui proposal, pernyataan pribadi, maupun pertemuan internasional, pemerintah

terus berupaya mendorong larangan ini. Setelah puluhan resolusi yang ditawarkan, ketiga

negara pemilik senjata nuklir saat itu, Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Inggris memulai

pertemuan selama 10 hari. Dimulai pada 15 Juli hingga 25 Juli 1963 dan akhirnya

perjanjian berhasil ditandatangani di Moskow pada 5 Agustus 1963. Perjanjian ini

diratifikasi oleh 116 negara termasuk mereka yang berpotensi senjata nuklir (Argentina,

Brazil, India, Israel, Pakistan, dan Afrika Selatan), kecuali China dan Perancis.

4. Outer Space Treaty (1967)

Perkembangan dunia roket pada tahun 1957 mendorong Amerika Serikat untuk

mengusulkan verifikasi internasional terhadap uji coba benda angkasa, sebagai bagian dari

usulan negara-negara Barat dalam upaya proses pengurangan senjata yang menginginkan

33

adanya sistem pemeriksaan di luar angkasa. Sekali lagi Uni Soviet menolak usulan ini

karena disaat yang bersamaan mereka sedang bersiap-siap menguji coba ICBM dan

meluncurkan satelit pertama bumi. Antara tahun 1959 hingga 1962 negara barat terus

berupaya mengusulkan agar proyek militer luar angkasa memiliki batasan-batasan. Salah

satu usulan utama mereka adalah adanya larangan penempatan dan pengorbitan senjata

pemusnah massal di luar angkasa. Bahkan pada tanggal 22 September 1960 Presiden

Eisenhower mengusulkan kepada Sekjen Majelis Umum adanya perluasan Antarctic

Treaty untuk ikut mengatur luar angkasa dan benda-benda angkasa.

Keinginan Uni Soviet tidak jauh berbeda dengan keinginan Amerika Serikat

namun dengan beberapa tambahan syarat, antara lain agar Amerika Serikat melucuti

pangkalan-pangkalan militer luar negerinya dari peluru kendali jarak dekat dan jarak

menengah. Uni Soviet berpendapat agar tidak ada pembedaan isu pelarangan senjata di

luar angkasa dengan penempatan senjata di pangkalan-pangkalan militer luar negeri.

Negara barat menolak dengan alasan ketakutan akan berubahnya keseimbangan dunia dan

ikut melemahkan keamanan negara-negara barat.

Pasca aktifnya Limited Test Ban Treaty (LTBT) pada tanggal 10 Oktober 1963,

Uni Soviet mengubah pandangannya dan menerima bahwa senjata di luar angkasa dan di

pengkalan militer negara lain adalah hal yang berbeda. Kedua negara kemudian sepakat

bahwa tidak boleh ada kekuatan nuklir yang diorbitkan ke ruang angkasa. Amerika Serikat

dan Uni Soviet mengajukan rancangan tambahan masing-masing pada tanggal 16 Juni

1966. Usulan Amerika Serikat hanya melingkupi benda-benda angkasa, sementara Uni

Soviet melingkupi seluruh lingkungan dan aspek di luar angkasa. Amerika Serikat setuju

dengan rancangan Uni Soviet yang kemudian disahkan oleh Sekjen PBB pada tanggal 19

September 1966.

34

Konsep dari perjanjian ini tidaklah jauh berbeda dengan Antarctic Treaty yang

berusaha mencegah kehadiran bentuk kompetisi kolonialisme yang baru dan kerusakan

yang diakibatkan dari eksploitasi individu negara tertentu. Amerika Serikat, Uni Soviet,

dan Inggris meratifikasi perjanjian ini sebelum akhirnya ikut diratifikasi oleh 95 negara.

Inti dari perjanian ini adalah larangan untuk (1) penempatan senjata nuklir atau senjata

pemusnah massal di garis orbit sekitar bumi, (2) pemasangan senjata nuklir atau senjata

pemusnah massal di bulan, benda-benda angkasa lainnya, atau di luar angkasa, dan (3)

penggunaan bulam atau benda-benda angkasa lainnya untuk tujuan militer, termasuk

percobaan senjata apapun.

5. Latin America Nuclear Free Zone Treaty (1967)

Perjanjian ini lebih dikenal dengan sebutan Treaty of Tlatelolco karena

ditandatangani di Tlatelolco, sebuah distrik di Mexico City pada 14 Februari 1967.

Perjanjian ini melarang negara Amerika Latin untuk mendapatkan atau memiliki senjata

nuklir, termasuk menyimpan atau memasangnya di wilayah mereka untuk negara lain.

Selain perjanjian bagi negara-negara Amerika Latin, terdapat dua tambahan protokol bagi

negara non Amerika Latin. Protokol I untuk negara non Amerika Latin yang memiliki

wilayah di zona bebas nuklir. Protokol II bagi negara-negara yang memiliki senjata nuklir.

Amerika Serikat masuk ke dalam kedua protokol, sementara Uni Soviet hanya pada

Protokol II.

Amerika Serikat memang menginginkan adanya wilayah bebas senjata nuklir

dimana terdapat pembatasan penyebaran senjata nuklir, tidak akan mengganggu perjanjian

keamanan yang telah ada, ketentuannya memungkinkan untuk diverifikasi, inisiatif

pendiriannya berasal dari wilayah itu sendiri, dan semua negara di wilayah terebut turut

serta. Gambaran ini didapatkan dari usulan Uni Soviet bagi wilayah Eropa Tengah dan

wilayah lainnya yang tidak memenuhi kriteria ini, sehingga ditolak Amerika Serikat.

35

Walaupun sejak awal Amerika Serkat mendukung sekaligus mendorong negara Amerika

Latin dalam perjanjian ini.

6. Nuclear Non-Proliferation Treaty (1968)

Nuclear Non-Proliferation Treaty atau yang lebih sering disebut NPT merupakan

salah satu perjanjian internasional terpenting yang membatasi nuklir. Tujuan NPT adalah

untuk mencegah penyebaran senjata nuklir dan teknologi mempersenjatainya,

mempromosikan kerjasama demi penggunaan nuklir yang bertujuan damai, dan mencapai

pelucutan senjata nuklir secara utuh dan menyeluruh. NPT mengikat negara-negara nuklir

yang diakui dalam bentuk perjanjian multilateral. Perundingan yang dimulai sejak tahun

1968 mulai diberlakukan pada tahun 1970. NPT adalah salah satu perjanjian pembatasan

senjata yang paling banyak diratifikasi, hingga 187 negara.

Perjanjian yang ditandatangani awalnya oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, dan

Inggris ini mengakui Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Perancis dan China sebagai

negara nuklir, dan kelima negara tersebut bersedia untuk membatasi penyebaran

kemampuan nuklir mereka sambil terus mengupayakan pengurangan kekuatan nuklir

mereka secara signifikan.. Sementara bagi negara-negara non-nuklir mereka setuju untuk

tidak memiliki senjata nuklir. Negara yang menggunakan nuklir bukan sebagai senjata

harus bersedia untuk menerima inspeksi International Atomic Energy Agency (IAEA) dari

PBB ke fasilitas nuklir mereka. Negara-negara juga diperbolehkan untuk mengadakan

pertukaran nuklir untuk tujuan damai. India, Pakistan, Israel, dan Kuba adalah negara

yang tidak ikut meratifikasi perjanjian ini.

7. Seabed Treaty (1971)

Seperti halnya Antarctic Treaty dan Outer Space Treaty, Seabed Treaty bertujuan

untuk menjauhkan konflik internasional dan senjata nuklir dari daerah yang belum

terganggu oleh keberadaan mereka. Hal ini dimulai dengan kemajuan teknologi

36

oseanografi yang meningkatkan ketertarikan kepada sumber daya alam baru yang masih

belum terjemah di laut dalam. Seiring dengan ketertarikan tersebut dikhawatirkan akan

muncul berbagai konflik akibat tidak adanya peraturan dan hukum yang begitu jelas.

Ketakutan juga muncul jika ada negara yang menggunakan laut dalam sebagai instalasi

militer, apalagi jika ada unsur senjata nuklir didalamnnya.

Melalui proposal yang diajukan Duta Besar Pardo dari Malta ke Sekjen PBB pada

Agustus 1967, Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1967 mengesahkan komite

ad hoc untuk mempelajari cara menjaga laut dalam demi tujuan damai, sesuai dengan

yang tertuang dalam Piagam PBB. Dalam pesannya pada 18 Maret 1969, Presiden Nixon

meminta agar delegasi Amerika berusaha mencari faktor-faktor yang dibutuhkan agar

perjanjian internasional dapat melarang penempatan senjata pemusnah massal di laut

dalam dan dasar laut demi mencegah dimulainya perlombaan senjata.

Perjanjian multilateral antara Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Inggris yang

diikuti oleh 84 negara lain ini melarang penempatan senjata nuklir atau senjata pemusnah

massal lainnya di dasar laut dengan batasan 12 mil laut. Para negara penandatangan

perjanjian ini memiliki hak mengamati semua aktifitas di laut dalam negara

penandatangan lainnya. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 11 Februari 1971 dan

mulai diberlakukan pada tanggal 18 Mei 1972.

8. Strategic Arms Limitation Treaty I (1972)

SALT I adalah bagian pertama dari Strategic Arms Limitation Talk yang dimulai

dari November 1966 hingga Mei 1972. Selama masa ini Amerika Serikat dan Uni Soviet

menegosiasikan pembatasan dan pengendalian beberapa persenjataan utama masing-

masing negara. Negosiasi ini menghasilkan dua dokumen yakni Anti-Ballistic Missile

Treaty dan Interim Agreement on The Limitation of Strategic Offensive Arms. Keduanya

ditandatangani pada tanggal 26 Mei 1972.

37

Dalam Treaty on the Limitation of Anti-Ballistic Missile Systems, dibahas soal

bagaimana mengakhiri persaingan sistem pertahanan kedua negara yang perlahan telah

berubah konsep menjadi sistem penyerangan. Sementara dalam Interim Agreement on

Certain Measures With Respect to the Limitation of Strategic Offensive Arms, kedua

negara sepakat untuk saling mengetahui kekuatan kemampuan senjata nuklir bawah tanah

dan laut dalam mereka.

Dalam pertemuan di Moskow akhirnya babak pertama SALT berhasil diselesaikan

pada tanggal 26 Mei 1972, tepatnya dua setengah tahun setelah dimualinya negosiasi.

Dihasilkan kesepakatan dalam bentuk ABM Treaty dan Interim Agreement on Strategic

Offensive Arms. Isi dari kesepakatan sementara ini adalah tidak melakukan lagi

penambahan peluru kendali balistik yang jumlahnya sama sejak tahun 1972. Penambahan

silo ICBM juga dilarang, kecuali peluncurnya yang boleh diperbaharui selama dalam

spesifikasi dimensi yang disepakati. Perjanjian ini ditandatangani oleh Presiden Nixon dan

Sekjen Brezhnev.

9. Anti-Ballistic Missile Treaty (1972)

Dalam Treaty on the Limitation of Anti-Ballistic Missile Systems, Amerika Serikat

dan Uni Soviet menyepakati agar hanya ada dua wilayah yang menjadi tempat peluncuran

ABM. Tempatnya harus saling berjauhan sehingga tidak mampu melindungi seluruh

wilayah negara atau menjadi pusat peluncuran mandiri. Pada akhirnya kedua negara

berada dalam kondisi yang sama, terancam terkena serangan balasan jika memulai

serangan.

Perjanjian ini hanya mengijinkan setiap negara memiliki satu sistem ABM untuk

melindungi ibukota negara masing-masing dan satu lagi untuk melindungi lokasi

peluncuran ICBM. Kedua lokasi yang dilindungi harus berjarak tidak kurang dari 1.300

km. yang tujuannya agar tidak ada yang memiliki sistem pertahanan yang betul-betul

38

efektif mampu melindungi seluruh wilayah. Diberikan juga batasan bagi jumlah dan

kemampuan roket ABM yang boleh disediakan. Dalam setiap lokasi tidak boleh memiliki

lebih dari 100 roket penghadang termasuk peluncurnya. Penyediaan radar pengintai

termasuk karakteristiknya juga dibahas dan menjadi salah satu pembahasan teknis paling

rumit. Semuanya tercantum jelas dalam perjanjian ini, dan berbagai tambahan susulan

akan dikeluarkan oleh persetujuan masing-masing negara.

Kedua negara setuju untuk membatasi pengembangan kualitatif teknologi ABM

mereka melalui larangan pengembangan, uji coba, atau peletakan peluncur roket yang

mampu meluncurkan lebih dari satu roket termasuk modifikasi untuk memiliki

kemampuan tersebut. Penambahan kecepatan sistem pengisian ulang peluncur roket dan

penambahan kemampuan roket untuk menembak beberapa target sekaligus juga dilarang.

Akibat kekhawatiran atas kemungkinan roket anti udara (surfate-to-air missiles atau

SAMs) akan dimodifikasi untuk mampu menghalau ICBM ataupun SLBM, maka

perjanjian ini juga ikut melarangnya. Namun, untuk pengembangan kemampuan radar

tidak dilarang selama radar ditempatkan di wilayah terluar masing-masing negara.

Kedua negara pada akhirnya menyepakati agar tidak diperbolehkannya ada

pengembangan, uji coba, atau pemasangan sistem ABM dasar laut, udara, luar angkasa,

dan kendaraan angkut beserta seluruh komponennya. Jika kelak di masa depan teknologi

mengharuskan sistem ABM yang baru maka akan dibahas kemudian sesuai dengan

kesepakatan awal dalam perjanjian. Pengawasan perjanjian yang mulai aktif pada tanggal

3 Oktober 1972 ini akan dilakukan oleh Standing Consultative Commission. Namun, pada

13 Desember 2001 Presiden George W. Bush mengajukan pengunduran dari perjanjian

ini. Pengunduran diri Amerika Serikat secara formal terjadi pada tanggal 13 Juni 2002

yang disusul dengan uji coba ABM di Delta Junction, Alaska.

10. Threshold Test Ban Treaty (1974)

39

The Treaty on the Limitation of Underground Nuclear Weapon Tests, atau juga

dikenal sebagai Threshold Test Ban Treaty (TTBT) ditandatangani pada bulan Juli 1974.

Perjanjian ini membahas ambang batas uji coba kekuatan nuklir yang diperbolehkan.

Hasil kekuatan ledakan tidak boleh lebih dari 150 kiloton atau sekitar 150.000 ledakan

TNT. Selama tahun 1960, kedua negara sangat aktif melakukan uji coba nuklir yang daya

ledaknya melebihi 150 kiloton. Pelarangan ini akan mencegah uji coba kekuatan nuklir

dengan kekuatan berlebihan yang turut menghilangkan keberanian salah satu negara

melakukan serangan pertama.

Proposal pertama untuk menghentikan uji coba senjata nuklir dibuat pada tahun

1955, namun negosiasi yang efektif membahas pengaturan uji coba nuklir baru terjadi

pada tahun 1958 di Jenewa. Hal ini diperkuat dengan turut sertanya Inggris. The

Conference on the Discontinuance of Nuclear Weapon Tests tidak menghasilkan

kesepakatan apapun. Salah satu masalah utamanya adalah saat itu sulit mencari prosedur

verifikasi yang tepat untuk memastikan negara-negara anggota patuh terhadap larangan uji

coba senjata nuklir dimanapun tempatnya. Prosedur yang menurut Amerika Serikat dan

Inggris diperlukan tapi tidak bagi Uni Soviet.

Amerika Serikat dan Uni Soviet setuju untuk melanjutkan pembahasan lanjutan

soal larangan uji coba nuklir pada tahun 1974. Maka diutuslah kelompok ahli dari

Amerika Serikat ke Moskow untuk membicarakan hal-hal teknis. Kesepakatan dicapai

pada bulan Juli 1974 dalam pertemuan di Moskow. Perjanjian ini mencakup protokol yang

menjelaskan data teknis secara detail yang boleh dipertukarkan dan keterangan soal

bentuk senjata dan lokasi uji coba untuk mempermudah verifikasi. Data-data yang

dipertukarkan antara lain informasi batas geografis dan geologi lokasi uji coba, sehingga

akan mempermudah dalam pengukuran sinyal seismik atau getaran ledakan di bawah

tanah.

40

Kesepakatan untuk bertukar data secara mendetail menggambarkan kerjasama

langsung kedua negara dalam mengendalikan kekuatan nuklir. Ini menjadi yang pertama

kalinya bagi kedua negara sepakat untuk menunjukkan data uji coba senjata nuklir

masing-masing. Salah satu masalah teknis yang kemungkinan akan terjadi kemudian

dikemukakan oleh Uni Soviet pada tahun 1974. Kekhawatiran jika misalnya terjadi

kesalahan kecil, sebuah ketidaksengajaan dalam kalkulasi yang menyebabkan ledakan

melebihi perkiraan dan ambang batas yang ditetapkan. Kedua negara kemudian

menyepakati dua hal, yaitu satu atau dua ketidaksengajaan dari kalkulasi yang meleset

dalam satu tahun tidak akan dianggap sebagai pelanggaran dan jika sampai terjadi hal

demikian maka salah satu pihak boleh menuntut untuk dilakukan konsultasi dua arah.

Meskipun TTBT ditandatangani pada tahun 1974, namun baru dikirimkan ke Senat

Amerika Serikat untuk diberi saran dan pandangan sebelum diratifikasi pada bulan Juli

1976. Alasan terkatung-katungnya perjanjian ini karena juga ditunggunya Peaceful

Nuclear Explosion Treaty (PNET) yang pembahasannya juga selesai di tahun yang sama.

Harus diketahui bahwa Amerika Serikat dan Uni Soviet pada akhirnya tidak pernah

selesai meratifikasi perjanjian ini, walaupun pada tahun yang sama kedua negara masing-

masing mengumumkan keinginan untuk membahas ulang ambang batas 150 kiloton.

Negosiasi dilanjutkan kembali pada November 1987 untuk mencapai kesepakatan

beberapa verifikasi tambahan yang memungkinkan Amerika Serikat untuk meratifikasinya

kini. Semua verifikasi tambahan, protocol baru, dan tambahan lainnya akhirnya disepakati

pada bulan Juni 1990. TTBT dan PNE Treaty yang diselesaikan bersamaan akhirnya

mulai berlaku pada tanggal 11 Desember 1990. Dicapai kesepakatan toleransi kelebihan

ledakan hingga 50 kiloton, sesuai dengan yang tercatat secara seismic dan kelebihan 35

kiloton dalam inspeksi langsung.

41

11. Pernyataan bersama Amerika Serikat-Uni Soviet, 24 November 1974 (Kesepakatan

Vladivostok)

Dalam rapat kerja di wilayah Vladivostok pada tanggal 23-24 November 1974,

Sekertaris Jenderal Komite Pusat Partai Komunis Uni Soviet L. I. Brezhnev dan Presiden

Amerika Serikat Gerald R. Ford membahas secara detail masalah untuk membatasi senjata

strategis secara lebih lanjut. Mereka menegaskan pentingnya agar kedua negara terikat

dalam pembatasan ini. Keyakinan yang dilandasi pemahaman bahwa kesepakatan jangka

panjang akan memperbaiki hubungan kedua negara yang ikut mengurangi ketegangan

bahaya perang dan mendorong perdamaian dunia.

Sekjen Brezhnev dan Presiden Ford merasa pentingnya perjanjian semacam ini

ditambah kesepakatan-kesepakatan pendahulunya (Interim Agreement 26 Mei 1972),

maka mereka menyimpulkan keinginan untuk pembatasan dalam jangka yang panjang

hingga tahun 1985. Kedua pemimpin ini kemudian menyepakati akan dilakukan negosiasi

lanjutan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Perjanjian baru akan disatukan dengan Interim Agreement yang aktif hingga oktober

1977.

b. Perjanjian baru akan melingkupi Oktober 1977 hingga 31 Desember 1985.

c. Batasan yang akan disepakati adalah jumlah kendaraan angkut strategis dan ICBM dan

SLBM yang dilengkapi hulu ledak independen.

d. Perjanjian baru akan mencakup ketentuan untuk negosiasi lebih lanjut yang dimulai

selambat-lambatnya tahun 1980-1981 soal pembahasan pembatasan dan pengurangan

senjata strategis pasca periode 1985.

e. Negosiasi antar delegasi Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk membahas perjanjian

baru yang akan melanjutkan perjanjian sebelumnya akan dilaksanakan di Jenewa pada

Januari 1975.

42

12. Peaceful Nuclear Explosions Treaty (1976)

Selama mempersiapkan Threshold Test Ban Treaty pada bulan Juli 1974, Amerika

Serikat dan Uni Soviet menyadari diperlukannya kesepakatan yang sesuai untuk

menetapkan ledakan nuklir bawah tanah untuk tujuan damai. Meskipun tidak terdapat

perbedaan penting antara teknologi peledakan nuklir untuk senjata dan untuk tujuan

damai. Negosiasi kesepakatan Peaceful Nuklir Explosions yang akan diatur dalam Article

III Treshold Test Ban Treaty dibahas mulai 7 Oktober 1974 di Moskow. Setelah 6 sesi

negosiasi yang berbeda dalam kurun 18 bulan akhirnya dihasilkan Treaty on Underground

Nuclear Explosions for Peaceful Purposes pada bulan April 1976. Isi dari kesepakatan ini

mengandung sebuah perjanjian, protokol detail untuk perjajian tersebut, dan kesepakatan

bersama dalam menentukan apakah sebuah aktifitas nuklir bertujuan damai seperti yang

tercantum dalam perjanjian atau tidak.

Perjanjian ini mengatur segala bentuk ledakan nuklir yang terjadi di luar tempat uji

coba yang telah disepakati dalam TTBT. Kedua negara melalui perjanjian ini secara garis

besar sepakat untuk tidak melakukan ledakan nuklir tersendiri yang kekuatannya melebihi

150 kiloton, tidak melakukan ledakan nuklir berkelompok atau kumpulan dari ledakan

nuklir tersendiri yang berurutan melebihi 1.500 kiloton, tidak melakukan ledakan

berkelompok dengan kekuatan melebihi 150 kiloton kecuali dapat diukur dan

diidentifikasi oleh prosedur verifikasi yang disepakati, dan melaksanakan kewajiban

sesuai dengan yang tercantum dalam LTBT 1963. Kedua negara juga berhak melakukan

uji coba ledakan nuklir dalam tujuan damai di wilayah negara lain jika diharuskan, selama

mematuhi batasan ledakan dan ketetapan dalam PNE Treaty dan NPT.

PNE Treaty dan TTBT seperti yang telah dijelaskan sebelumnya memasuki Senat

pada 28 Juni 1990 yang disusul persetujuan Senat. Pertukaran instrument ratifikasi kedua

negara dilakukan sebelum akhirnya perjanian ini aktif pada 11 Desember 1990. Komisi

43

Konsultasi Bersama didirikan untuk mendiskusikan berbagai pertanyaan demi

mengembangkan detail yang dibutuhkan dalam inspeksi dan untuk memfasilitasi

kerjasama di berbagai wilayah yang saling menguntungkan.

13. Environmental Modification Convention (1977)

Dalam pertemuan tingkat tinggi di Moskow pada bulan Juli 1974, Presiden Nixon

dan Sekjen Brezhnev setuju untuk mengadakan diskusi bilateral untuk membahas

langkah-langkah yang diperlukan dalam mencegah teknik modifikasi lingkungan untuk

tujuan militer. Tiga kali pertemuan diadakan pada tahun 1974 dan 1975 yang

menghasilkan kesepahaman dalam masalah ini. Tindak lanjutnya adalah pada bulan

Agustus 1975, ketika perwakilan Amerika Serikat dan Uni Soviet di Konferensi

Committee on Disarmament (CCD) bertemu dan diajukan rancangan teks dari Convention

on the Prohibition of Military or any Other Hostile Use of Environmental Modification

Techniques (Konvensi Pelarangan Penggunaan Kekuatan Militer atau Kekuatan

Berbahaya Lain dari Teknik Modifikasi Lingkungan). Konvensi ini kemudian

mendefinisikan bahwa teknik modifikasi lingkungan adalah mengubah (melalui

manipulasi proses alami yang disengaja) dinamika, komposisi, atau struktur dari bumi,

termasuk biota, litosfer, hidrosfer, dan atmosfer, atau luar angkasa. Perubahan cuaca atau

pola iklim pada ombak lautan, atau lapisan ozon dan ionosfer, atau pengacauan

keseimbangan ekologis pada suatu wilayah yang diakibatkan dari teknik modifikasi

lingkungan.

Negosiasi terus dilaksanakan di CCD hingga pertengahan tahun 1976 yang

menghasilkan naskah yang diperbaharui dengan penjelasan empat artikel didalamnya.

Perjanjian ini kemudian dikirmkan kepada Sekjen PBB untuk dijadikan pertimbangan.

Artikel I menjelaskan komitmen dasar bahwa, “setiap negara peserta Konvensi ini

diwajibkan tidak terlibat dalam penggunaan kekuatan militer atau kekuatan berbahaya

44

lainnya dari teknik modifikasi lingkungan dengan dampak yang parah, dalam jangka

waktu panjang dan tersebar luas yang dimaksudkan untuk merusak, merugikan atau

melukai negara peserta lain”. Sehubungan dengan penggunaan untuk tujuan damai teknik

modifikasi lingkungan, Konvensi memberi hak bagi para pesertanya untuk ikut berperan

dalam pertukaran informasi keilmuan dan teknologi.

Pada sesi musim gugur tahun 1976, Majelis Umum PBB mengadakan perdebatan

rancangan Konvensi yang dikaitkan dengan beberapa resolusi. Akhirnya dicapai

kesepakatan agar hasil Konvensi dibuka dan Sekjen PBB mempersilahkan negara-negara

untuk ikut memberi pandangan, menandatangani dan meratifikasi. Sekjen PBB

meresmikannya dalam sebuah upacara di Jenewa pada 18 Mei 1978. Amerika Serikat

beserta 33 negara menandatangani Konvensi ini yang akan aktif pada 5 Oktober 1978,

ketika 20 negara telah memasukkan instrument ratifikasi mereka. Khusus bagi Amerika

Serikat, Konvensi ini harus melalui senat sehingga baru diratifikasi oleh Presiden Carter

pada 13 November 1979. Amerika Serikat menjalankan isi Konvensi ini pada 17 Januari

1980 setelah menmasukkan instrument ratifikasi ke PBB.

14. Strategic Arms Limitation Treaty II (1979)

Tujuan utama dari SALT II adalah untuk menggantikan Interim Agreement dengan

perjanjian komprehensif yang jangka waktunya lebih panjang dan menyediakan batasan

lebih luas bagi sistem persenjataan strategis. Tujuan yang terpenting bagi Amerika Serikat

ketika dimulainya SALT II adalah menyediakan bagi kedua negara jumlah kendaraan

pengangkut senjata yang setara sebelum akhirnya dimulai proses pengurangannya.

Kemudian selanjutnya dilakukan pelarangan pengembangan secara kualitatif yang dapat

mengancam stabilitas masa depan. Pada diskusi awal Amerika Serikat dan Uni Soviet

difokuskan kepada pembahasan sistem senjata, menyediakan faktor yang mendukung

kesetaraan jumlah kendaraan pengangkut nuklir, perbedaan mendasar kekuatan kedua

45

negara, pelarangan sistem senjata baru, memberi batasan kualitatif, dan tawaran Uni

Soviet untuk ikut dalam sistem markas militer luar negeri Amerika Serikat. Posisi kedua

negara memiliki perbedaan sangat jauh dalam isu-isu ini.

Pencapaian besar terjadi dalam pertemuan di Vladivostok, November 1974.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya akhirnya pertemuan ini menjadi kerangka dasar

bagi kesepakatan SALT II. Dalam Aide-Memoire yang ikut merekam kesepakatan ini

berisi:

a. 2.400, batasan jumlah agregat kendaraan pengangkut nuklir kedua negara, termasuk

ICBM, SLBM, dan pesawat pengebom)

b. 1.320, batasan jumlah agregat sistem MIRV

c. Larangan pembangunan peluncur ICBM baru

d. Batas pemasangan senjata strategis baru

e. Unsur penting Interim Aggrement akan dimasukkan ke dalam perjanjian baru ini.

Sebagai tambahan, Aide-Memoire menyatakan durasi perjanjian baru ini akan melewati

tahun 1985.

Kesepakatan SALT II yang telah rampung ditandatangani oleh Presiden Carter dan

Sekjen Brazhnev di Vienna pada tanggal 18 Juni 1979. Presiden Carter kemudian

mengirimkannya ke Senat pada tanggal 22 Juni untuk dipertimbangkan. Namun pada

tanggal 30 Januari 1980 Presiden Carter meminta agar perjanjian tersebut ditunda

pertimbangannya karena invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Perjanjian ini memang belum

diratifikasi, tapi kedua negara telah terikat dalam hukum internasional untuk tidak

melakukan tindakan-tindakan yang akan mengacaukan tujuan dari perjanjian ini. Kecuali

kedua negara sepakat untuk tidak menjadi anggota lagi dalam perjanjian ini.

Presiden Carter mengumumkan pada tahun 1980 bahwa Amerika Serikat akan

menaati isi perjanjian selama Uni Soviet juga melakukan hal yang sama. Sekjen Brezhnev

46

juga melakukan hal yang sama soal keinginan Uni Soviet. Kemudian hal yang sama

terjadi lagi pada bulan Mei 1982 ketika Presiden Reagan mengatakan tidak akan

merendahkan perjanjian ini jika Uni Soviet tetap membatasi dirinya. Uni Soviet sendiri

tetap mematuhi perjanjian yang belum diratfikasi ini. Hingga akhirnya tahun 1984 dan

1985 Presiden Reagan mengumumkan bahwa Uni Soviet telah melanggar komitmen

politiknya untuk menghormati SALT II. Namun, Presiden Reagan tetap menganggap

bahwa hubungan antar kedua negara dalam perjanjian ini masih sejalan dengan

kepentingan Amerika Serikat. Maka pada bulan Juni 1985, Presiden Reagan

mengumumkan akan tetap menjaga perjanjian ini selama Uni Soviet tetap melakukan

pengendalian yang sebanding dan dengan ketentuan bahwa Uni Soviet ikut aktif dalam

perjanjian pengurangan senjata pada Nuclear and Space Talks di Jenewa .

Presiden Reagan pada 26 Mei 1986 menjelaskan bahwa Uni Soviet sama sekali

tidak memenuhi komitmen politiknya untuk menghormati perjanjian-perjanjian SALT.

Uni Soviet juga tidak memperlihatkan kesiapannya dalam kerangka kerjasama. Presiden

Reagan menganggap tidak ada peningkatan berarti dalam senjata strategis Amerika

Serikat, dengan asumsi ancaman tidak akan bertambah lagi maka tidak diperlukannya lagi

pertambahan jumlah senjata dan jumlah peluncur maupun pengangkutnya. Namun

Amerika Serikat akan terus melakukan pengendalian sambil tetap menjaga kondisi

strategis deterrence dan meminta agar Uni Soviet ikut dalam pembahasan kerangka

kerjanya. Maka dengan ini Amerika Serikat meninggalkan komitmen politiknya dalam

SALT II.

15. South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (1985)

Ditandatangani pada tanggal 6 Agustus 1985 di pulau Rarotonga, Cook Islands,

maka perjanjian ini juga disebut sebagai Treaty of Rarotonga. Perjanjian ini termasuk

jenis perjanjian multilateral seperti Treaty of Tlatelolco yang disepakati oleh negara-

47

negara Pasifik Selatan yang intinya melarang uji coba, pengembangan, dan penempatan

nuklir, dan pembuangan sampah nuklir di wilayah ini. Luas wilayah ini meliputi pantai

barat Australia hingga wilayah bebas nuklir Amerika Selatan, 60 derajat dari khatulistiwa.

Tiga hal utama yang dibahas dalam perjanjian ini mencakup 3 protokol, yaitu:

a. Meminta agar negara yang memiliki wilayah di Pasifik Selatan agar tidak

mengembangkan, menyimpan, atau pun menguji coba nuklir di wilayah ini

b. Meminta agar 5 negara nuklir tidak menggunakan ancaman untuk menggunakan

kekuatan nuklir kepada negara anggota perjanjian wilayah ini.

c. Meminta 5 negara nuklir agar tidak menguji coba ledakan nuklir dalam wilayah ini.

Pada tahun 1996, Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat menandatangani

perjanjian ini yang disusul ratifikasi Perancis dan Inggris. Amerika Serikat telah

memasukkannya sebagai pertimbangan pada senat tapi belum diratifikasi hingga kini.

China dan Uni Soviet hanya meratifikasi Protokol II dan III.

16. Intermediate-Range nuclear Forces Treaty – INF (1987)

Perjanjian ini adalah perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet

untuk memusnahkan peluru kendali jarak jauh dan jarak dekat yang diluncurkan dari darat

dan juga rudal jelajah dengan kemampuan jarak mencapai 500 hingga 5.500 km. Selain

itu, seluruh peluncur dan bangunan serta perlengkapan yang mendukungnya juga harus

dimusnahkan dalam waktu 3 tahun setelah perjanjian mulai berlaku. Perjanjian ini

merupakan perjanjian pertama yang benar-benar mengurangi senjata nuklir, bukannya

membatasi saja.

Uni Soviet pada pertengahan tahun 1970an Uni Soviet telah berhasil mencapai

keseimbangan strategis yang masih kasar soal jumlah nuklirnya dengan Amerika Serikat.

Tidak menunggu lama Uni Soviet kemudian mulai mengganti peluru kendali jarak

menengah SS-4 dengan SS-5 yang baru. Selain itu, kehadiran SS-20 memberi ancaman

48

keamanan bagi Eropa. SS-20 adalah peluru kendali yang memiliki mobilitas tinggi, akurat

dan dapat disembunyika dan dipasang kembali dengan cepat. Peluru kendali ini dapat

mengangkut hingga 3 hulu ledak independen dan memiliki jarak tempuh hingga 5.000 km

atau bisa menjangkau Eropa Barat, Afrika Utara, Timur Tengah. Jika diluncurkan dari

markasnya di wilayah timur Uni Soviet maka dapat menjangkau hampir seluruh Asia,

Asia Tenggara, dan Alaska.

Perjanjian INF ditandatangani oleh Presiden Reagan dan Sekjen Brazhnev pada

tanggal 8 Desember 1987 dalam pertemuan di Washington. Pada saat

penandatanganannya, perjanjian ini merupakan perjanjian dengan verifikasi paling detail

dan keras dalam sejarah pengendalian senjata nuklir, yang didesain untuk menghancurkan

semua sistem INF dalam tiga tahun dan menjamin kepatuhan dalam pelarangan total

kepemilikan dan penggunaa peluru kendali ini. Perjanjian ini dinilai berhasil ketika

Amerika Serikat pada akhir April dan awal Mei 1991 menghancurkan peluru kendali dan

rudal jelajahnya yang ikut di dalam pejanjian ini. Uni Soviet sendiri menghancurkan SS-

20 terakhirnya pada tanggal 11 Mei 1991. Total 2.692 peluru kendali yang dimusnahkan

semenjak perjanjian ini diberlakukan.

Amerika Serikat mendorong perjanjian ini menjadi perjanjian multilateral pada

tanggal 25 Desember 1991, atau ketika Uni Soviet bubar. Targetnya adalah 12 negara-

negara bekas Uni Soviet. Belarusia, Kazakhstan, Rusia, Turkmenistan, Ukraina, dan

Uzbekistan adalah negara yang diketahui memiliki fasilitas INF di wilayahnya. Dari enam

negara ini, Belarusia, Kazakhstan, Russia, dan Ukraina menjadi negara yang ikut aktif

dalam menjalankan perjanjian ini.

17. Ballistic Missile Launch Notification Agreement (1988)

Kesepakatan Pemberitahuan Peluncuran ICBM dan SLBM ditandatangani pada

Pertemuan Moskow tahun 1988. Perjanjian ini menggambarkan keinginan kedua negara

49

dalam mengurangi resiko perang nuklir akibat salah informasi, salah perhitungan, atau

hanya karena kecelakaan. Sejumlah kesepakatan sebelumnya telah membahas soal

pemberitahuan peluncuran senjata balistik, misalnya:

a. Accidents Measures Agrement tahun 1971 yang meminta agar kedua negara

memberitahukan negara lain jika ada peluru kendali yang harus melewati wilayah

masing-masing.

b. Incidents at Sea Agreement tahun 1972 yang meminta agar dilakukan pemberitahuan

kepada penerbang atau marinir jika terjadi terjadi kondisi berbahaya bagi navigasi atau

penerbangan pesawat. Ketika melakukan peluncuran senjata ke wilayah internasional

yang diketahu berbahaya dan masuk ke dalam perjanjian ini maka harus dikeluarkan

pemberitahuan sebelumnya agar wilayah tersebut dijauhi.

c. Atikel XVI dari SALT II, yang tidak pernah diratifikasi sebenarnya akan membuat

masing-masing negara untuk saling memberitahukan sebelum melakukan peluncuran

ICBM yang melewati wilayah negara masing-masing. Tapi tidak menjadi kewajiban

jika dilakukan di dalam wilayah masing-masing. Penjelasan soal peluncuran SLBM

juga tidak ada dalam SALT II.

Dari semua perjanjian yang telah disebutkan tidak ada yang betul-betul melingkupi

seluruh peluncuran senjata strategis ICBM dan SLBM. Presiden Reagan mengusulkan

pada tahun 1982 agar dilakukan langkah-langkah untuk membahas pembangunan

kepercayaan pada pembahasan START. Diantara usulan ini adalah pemberitahuan awal

peluncuran ICBM dan SLBM. Selama negosiasi START kedua negara memberi catatan

soal prosedur pemberitahuan peluncuran yang akan dimasukkan dalam konsep bersama

naskah perjanjian START.

50

Sebagai langkah dalam membangun kepercayaan, pada bulan Mei 1988 Amerika

Serikat mengusulkan kepada Uni Soviet untuk menyimpulakn perjanjian terpisah yang

menuntut pemberitahuan tingkat lanjutan dalam peluncuran SLBM dan ICBM. Uni Soviet

menyetujui ide Amerika Serikat yang ditindaklanjuti dengan peandatanganan Agreement

on Notifications of ICBM and SLBM Launches pada 31 Mei 1988 di Moskow.

Penandatanganan dilakukan oleh Menlu Amerika Serikat George P. Schultz dan Menlu

Uni Soviet Eduard Shevardnadze. Kesepakatan ini menetapkan bahwa pemberitahuan

dilakukan kurang dari 24 jam sebelumnya, dengan data perencanaan, wilayah peluncuran,

dan wilayah yang akan dijatuhi uji coba ICBM dan SLBM. Ditambahkan juga soal

pemberitahuan harus melalui Pusat Pengurangan Resiko Nuklir.

Setelah INF Treaty, START I ditandatangani pada tahun 1991. Perjanjian ini berisi

kewajiban untuk memberitahu semua jenis peluncuran ICBM dan SLBM, termasuk yang

digunakan untuk peluncuran ke atmosfer atau luar angkasa. Sebagai tambahan dalam isi

perjanjian INF Treaty soal pemberian data lengkap, START I menuntut kedua negara

menyebutkan frekuensi siaran telemetri yang digunakan, jenis modulasi dan apakah

peluncuran menggunakan kode tertentu (enkapsulasi dan enkripsi).

18. Strategic Arms Reduction Treaty (1991)

START merupakan perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet

yang jika diratifikasi maka akan membatasi kedua negara hanya boleh memiliki 1.600

kendaraan angkut nuklir dan 6.000 hulu ledak. Perjanjian ini berhasil mengurangi jumlah

hulu ledak nuklir jarak jauh Amerika Serikat hingga 15% dan Uni Soviet hingga 25%.

Kedua negara diizinkan untuk melanjutkan rencana modernisasi, dan akibatnya jumlah

hulu ledak yang diproyeksikan ternyata meningkat selama tahun 1990an di bawah

perjanjian ini.

51

Segera setelah penandatanganan perjanjian ini, Uni Soviet bubar. Empat negara

hasil pecahannya, Rusia, Belarusia, Kazakhstan, dan Ukraina yang memiliki nuklir

mendukung perjanjian ini dengan ikut menandatangani Protokol START I. Sebagai akibat

dari ikutnya Ukraina dalam NPT, maka perjanjian ini mulai berlaku pada bula Desember

1994. Belarusia, Kazakhstan, dan Ukraina secara resmi bebas dari kekuatan nuklir pada

tahun 2001.

C. Diplomasi Nuklir Pasca Perang Dingin

Bubarnya Uni Soviet membawa perubahan besar dalam bentuk diplomasi nuklir

setelahnya. Selama Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet menjadi aktor utama

dalam setiap pertemuan nuklir akibat politik bipolar. Maka pasca Perang Dingin kepemilikan

nuklir menjadi kurang terkendali, menuntut perjanjian menjadi perjanjian multilateral. Hal ini

utamanya diakibatkan oleh negara-negara bekas Uni Soviet ternyata juga memiliki nuklir,

yang kemudian disusul dengan bertambahnya negara pemilik nuklir melalui perjanjian

internasional atau secara rahasia. Berikut adalah 6 diplomasi nuklir yang mengikutsertakan

Amerika Serikat dan Rusia sebagai pesertanya hingga ke perjanjian nuklir terbaru yang juga

sekaligus akan menjadi pembahasan utama tulisan ini, New START:

1. Strategic Arms Reduction Treaty II (1993)

START II adalah perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Rusia yang

ditandatangani oleh Presiden dan Yeltsin pada 3 Januari 1993. Perjanjian ini akan

mengurangi kendaraan pengangkut nuklir (peluru kendali balistik dan pesawat bomber)

dan jumlah hulu ledaknya. Secara umum kekuatan yang akan dikurangi adalah 5.000 hulu

ledak, sebagai tambahan dari 9.000 hulu ledak yang dikurangi dibawah START I.

Amerika Serikat dan Rusia harus mengurangi jumlah hulu ledaknya hingga tidak

melebihi 4.250 hulu ledak pada tanggal 4 Desember 2001. Hulu ledak yang harus

52

dimusnahkan termasuk diantaranya hulu ledak di ICBM, SLBM, dan pesawat bomber.

Hulu ledak yang dipasang pada ICBM di MIRV tidak boleh lebih dari 1.200 hulu ledak,

pada SLBM tidak boleh lebih dari 2.160 hulu ledak, dan pada ICBM tidak boleh lebih dari

650 hulu ledak.

Tahapan selanjutnya, pada 31 Desember 2002 kedua negara harus mengurangi

jumlah hulu ledaknya tidak melebihi 3.500 hulu ledak. Seperti sebelumnya, termasuk

seluruh hulu ledak yang ditempatkan di berbagai kendaraan pengangkut nuklir.

Ditambahkan bahkan tidak boleh lagi ada hulu ledak ICBM pada MIRV setelah tahap

kedua. Hulu ledak SLBM tidak boleh melebihi 1.750 hulu ledak, tapi tidak ada larangan

pada SLBM di MIRV.

Rusia secara formal menarik diri dari START II pada 14 Juni 2002 dengan alasan

perjanjian ini sudah berakhir dengan berakhirnya masa perjanjian ABM. Kongres

Amerika Serikat meratifikasi perjanjian ini pada tahun 1996 yang diikuti parlemen Rusia

pada tahun 2002, tapi anggota parlemen Rusia mengaitkan START II dengan keberadaan

ABM Treaty 1972.

2. African-Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (1996)

Perjanjian yang juga dikenal sebagai Treaty of Pelindaba ini merupakan perjanjian

multilateral yang ditandatangani oleh 49 dari 53 negara anggota Organisasi Uni Afrika.

Penandatangan perjanian ini berjanji untuk (1) tidak melakukan penelitian,

pengembangan, uji coba, atau penyimpanan senjata nuklir, (2) melarang penempatan

senjata nuklir di wilayah ini, (3) memelihara standar tinggi dalam menjaga materi nuklir,

fasilitas nuklir, dan perlengkapa nuklir, dan (4) melarang pembuangan sampah radioaktif.

Perjanjian ini diadakan oleh Komisi Energi Nuklir Afrika.

Kelima negara nuklir ikut menandatangani Protokol I dan Protokol II dari 3

protokol yang ikut dalam perjanjian ini, yaitu:

53

a. Dalam Protokol I Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia, dan RRC agar turut serta

untuk tidak menggunakan atau mengancam menggunakan kekuatan nuklir bagi

negara-negara anggota perjanjian ini atau mereka yang ada dalam wilayah ini sesuai

dengan Protokol III

b. Dalam Protokol II Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia, dan RRC agar turut serta

untuk tidak menuji coba atau membantu atau mendorong uji coba nuklir di wilayah

ini.

c. Protokol III hanya terbuka untuk negara dengan wilayah yang dependen di Afrika dan

meminta mereka untuk menjaga dan menghormati beberapa ketentuan dalam

perjanjian ini. Hanya Spanyol dan Perancis yang berhak untuk masalah ini.

Perjanjian ini penandatanganannya dimulai sejak 11 April 1996 dan mulai berlaku

setelah mendapatkan 28 ratifikasi, yaitu pada tanggal 15 Juli 2009. Amerika Serikat dan

Rusia menandatangani perjanjian ini pada tahun 1996 tapi belum meratifikasinya. Hillary

Clinton pada bulan Mei 2010 mengumumkan bahwa Pemerintahan Obama akan

memasukkan perjanjian ini ke Senat. Rusia belum meratifikasinya karena belum jelasnya

status Diego Garcia, sebuah pulau di Samudera Hindia. Pulau ini adalah milik Inggris

yang dijadikan pangkalan militer oleh Amerika Serikat. Diego Garcia adalah bagian dari

Afrika tapi tidak diakui oleh Inggris dan Amerika Serikat.

3. Comprehensive Test Ban Treaty (1996)

Secara sederhana, perjanjian ini adalah perjanjian multilateral yang ditandatangani

oleh kelima negara nuklir dan 90 negara non nuklir. Perjanjian ini akan melarang semua

bentuk uji coba nuklir, besar atau kecil, di atas maupun di bawah permukaan bumi.

Perjanjian ini akan mengikutsertakan sistem pemantauan di seluruh dunia, dengan 170

stasiun getaran seismik untuk memeriksa kondisi udara, air dan tanah jika telah terjadi

ledakan nuklir.

54

Dalam penandatanganan dan ratifikasi perjanjian ini terdapat dua kelompok

pembagian negara-negara menurut PBB, yaitu Annex 1 yang isinya adalah semua negara

angota PBB, negara Cook Islands, Tahta Suci, dan negara Niue dan Annex 2 yang isinya

adalah negara-negara yang hadir dalam Conference of Disarmament tahun 1996 dan

memiliki kemampuan atau sedang melakukan penelitian reaktor saat itu. Perbedaan dua

kelompok ini adalah, negara-negara Annex 1 bisa mengajukan diri menjadi anggota

Dewan Eksekutif yang bertugas menjaga, mengambil keputusan dan mengawasi

perjanjian ini. Negara-negara ini terikat pada isi perjanjian tapi ratifikasi mereka tidak

menentukan berlaku tidaknya perjanjian ini. Sementara Annex 2 adalah negara yang

dibutuhkan ratifikasinya sebelum perjanjian ini boleh berlaku.

Total 44 negara yang menjadi Annex 2, yaitu Afrika Selatan, Aljazair, Amerika

Serikat, Argentina, Australia, Austria, Banglades, Belanda, Belgia, Brazil, Bulgaria, Cili,

Cina, Finlandia, Hungaria, India, Indonesia, Inggris, Iran, Israel, Italia, Jepang, Jerman,

Kanada, Kolombia, Kongo, Korea Utara, Mesir, Meksiko, Norwegia, Pakistan, Perancis,

Peru, Polandia, Romania, Rusia, Slovakia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki,

Ukraina, dan Vietnam. Tapi hingga sekarang hanya 3 negara yang tidak menandatangani

dan meratifikasi perjanjian ini yaitu India, Pakistan, dan Korea Utara.

4. Strategic Offensive Reductions Treaty (2002)

SORT atau juga dikenal sebagai Treaty of Moscow adalah perjanjian bilateral

antara Amerika Serikat dan Rusia dalam pengurangan senjata strategis. Perjanjian ini

ditandatangani di Moskow pada 24 Mei 2002 dan aktif setelah ratifikasi sejak 1 Juni 2003

hingga Februari 2011 dan akan kadaluarsa pada 31 Desember 2012 jika tidak digantikan

oleh New START. Lima hal utama yang dibahas dalam perjanjian ini adalah:

a. Amerika Serikat dan Rusia akan membatasi jumlah hulu ledak nuklir antara 1.700

hingga 2.200 hulu ledak

55

b. Batasan ini harus terpenuhi pada tahun 2012

c. Masing-masing negara dapat mundur dari perjanjian ini dalam tiga bulan dengan

mengutip kepentingan nasional utama negara

d. Prosedur verifikasi pada START I, seperti inspeksi langsung akan berlaku bagi

perjanjian ini meskipun tidak terbahasakan dalam isi perjanjian. Akan dibentuk komisi

bersama untuk membahas pengimplementasiannya.

e. Perjanjian ini membolehkan kedua negara untuk bebas melakukan apa yang akan

terjadi dengan hulu ledak mereka. Hulu ledak tersebut tidak harus dihancurkan.

5. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism (2005)

Konvensi ini merupakan kesepakatan internasional melawan terorisme nuklir yang

diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada April 2005. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk

megembangkan kerangka kerja global yang legal dalam menghadapi ancaman teroris.

Perjanjian ini penandatanganannya dimulai sejak September 2005. Berdasarkan instrumen

yang awalnya dikirim oleh Rusia pada tahun 1998, konvensi ini menyediakan definisi bagi

tindakan terorisme nuklir dan melingkupi batasan luas yang memungkinkan menjadi

target, misalnya saja mereka yang menolak keberadaan pembangkit listrik nuklir atau

reaktor nuklir.

Berdasarkan ketentuan, mereka yang terbukti melanggar dapat di ekstradisi atau

dihukum di tempat. Konvensi ini juga mendorong negara-negara bekerjasama melawan

serangan teroris melalui pembagian informasi dan bantuan dalam jaringan investigasi dan

ekstradisi kriminal. Perjanjian ini mensyaratkan agar setiap material nuklir atau radioaktif

yang tertangkap dapat berhubungan dengan IAEA agar sesuai dengan standar kesehatan,

keamanan, dan keselamatan fisik.

56

6. New Strategic Arms Reduction Treaty (New START) (2010)

Measures for the Further Reduction and Limitation of Strategic Offensive Arms

adalah nama resmi perjanjian ini. Ditandatangani pada 8 April 2010 di Prague membuat

perjanjian ini juga dikenal dengan istilah Treaty of Prague. Penyebutan New START

sebenarnya mengacu kepada penamaan beberapa perjanjian-perjanjian yang

mendahuluinya, seperti SALT I dan II dan START I, II, III. Perjanjian ini termasuk

perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Rusia yang membahas pengurangan

senjata strategis, seperti nuklir dan kendaraan pengangkutnya. Setelah mendapatkan

ratifikasi masing-masing negara, New START memasuki aktif pada 5 Februari 2011.

Terdapat tiga pembatasan utama dalam perjanjian ini, yaitu:

a. Hulu ledak yang terpasang di ICBM ataupun SLBM masing-masing negara harus

berjumlah 1.550 hulu ledak dalam waktu 7 tahun setelah perjanjian diratifikasi.

b. Kendaraan peluncur nuklir, baik dengan nuklir yang masih terpasang atau belum,

masing-masing negara harus berjumlah 800 unit.

c. Kendaraan peluncur dengan nuklir yang telah terpasang di masing-masing negara

harus berjumlah 700 unit.

Perjanjian ini tidak hanya membahas batasan jumlah bagi senjata nuklir, tapi juga

pembahasan tambahan bahwa setiap negara memiliki fleksibilitas dalam menentukan

struktur kekuatan strategis negaranya selama sesuai dengan jumlah agregat dalam

perjanjian ini. Hal lain yang tidak disinggung dalam perjanjian ini adalah larangan uji

coba, pengembangan atau pemasangan program pertahanan peluru kendali Amerika

Serikat.

57

Perjanjian ini memiliki kronologi verifikasi yang mendetail yang menggabungkan tata

cara seperti pada START 1991 dengan tambahan-tambahan. Langkah-langkah tersebut

misalnya inspeksi langsung dan pameran perlengkapan, pertukaran data dan pemberitahuan

senjata strategis dan fasilitasnya, dan ketentuan untuk menggunakan kekuatan teknis nasional

untuk mengawasi perjanjian ini. Pertukaran telemetri juga dilakukan demi meningkatkan

kepercayaan dan trasparansi. Dalam waktu 10 tahun perjanjian ini akan habis masa

berlakunya jika semua dalam keadaan lancar. Bahkan dalam batasan-batasan perjanjian nuklir

disepakati bahwa tidak menutup kemungkinan akan terdapat penambahan jangka waktu

hingga 5 tahun jika kedua negara menyetujuinya.

58

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Amerika Serikat dan Rusia adalah dua negara besar yang berhasil mempertahankan

pengaruhnya sebagai negara pemilik kekuatan nuklir terbesar dunia. Hal ini sesuai dengan

tujuan hegemoni kedua negara ini dalam lingkungan internasional. Kepemilikan nuklir telah

membuat kedua negara ini menjadi pusat dari penyusunan kebijakan negara-negara pemilik

nuklir maupun yang bukan. Kedua negara yang menyadari hal itu kemudian melalui

pemimpinnya menyusun kepentingan nasional dan kebijakan luar negerinya untuk mewadahi

pengaruh ini.

Amerika Serikat melalui National Security Strategy-nya dan Rusia melalui

СТРАТЕГИЯ atau Strategi Pertahanan Nasional memberikan ruang khusus dalam penjelasan

kepentingan nasional mereka untuk membahas terkait nuklir dan berbagai variabel ancaman

dan kerjasama yang mengikutinya. Amerika Serikat menekankan pentingnya posisi mereka

sebagai pemimpin dunia dalam kebijakan nuklir internasional. Rusia menjelaskan kekuatan

mereka sebagai pemain utama dunia, khususnya di kawasan perbatasan dengan negara lain.

Penandatangan perjanjian New START adalah implementasi kebijakan luar negeri,

terkait nuklir kedua negara untuk bersama-sama mengurangi ancaman nuklir dari pihak-pihak

non-pemerintah, seperti teroris. Perjanjian ini juga menjadi pintu bagi kedua negara untuk

mempelajari kekuatan dan kelemahan nuklir masing-masing. Tidak dapat dinafikan bahwa

kedua negara juga menggunakan perjanjian ini untuk memodernisasi kekuatan nuklir mereka

agar lebih efisien dan efektif. Meskipun demikian, hal ini masih dapat ditolerir mengingat

yang penting sekarang adalah bagaimana mengurangi jumlahnya dulu agar tidak menjadi

ancaman bagi negara lain atau yang terburuk jatuh ke tangan pihak non-negara. Ketakutan

59

kedua negara terhadap terorisme nuklir beralasan setelah terbongkarnya jaringan bawah tanah

penyelundupan besar-besaran nuklir ke Libya dan Korea Utara oleh A. Q. Khan. Ini jugalah

yang menjadi alasan kedua negara secara khusus memasukkan ini sebagai bagian dari

pertahanan nasional mereka.

Perjanjian New START bukanlah perjanjian pertama yang membatasi dan mengurangi

persenjataan kedua negara. Selain SALT juga terdapat START yang berhasil mereduksi

jumlah nuklir masing-masing negara. Belajar dari pengalaman diplomasi nuklir kedua negara,

Amerika Serikat dan Rusia memiliki pengalaman yang cukup untuk menyiapkan dan

menciptakan sistem pengawasan dan inspeksi yang baik. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

kesalahan pendataan dan miskomunikasi yang bisa saja berdampak seperti tidak terdatanya

beberapa nuklir sisa Perang Dingin.

Jumlah nuklir yang melebihi kebutuhan memberikan dampak negatif dari segi

ekonomi, khususnya efisiensi pertahanan suatu negara. Nuklir adalah senjata yang terus

dirawat sejak diciptakan dalam Perang Dingin, namun tidak pernah sekalipun digunakan

dalam perang konvensional. Tidak heran pengeluaran Amerika Serikat dalam bidang

pertahanan tersedot cukup banyak untuk anggaran perawatan senjata nuklir mereka.

Sementara Rusia, beberapa ahli berpendapat nuklir mereka ikut menjadi faktor kebangkrutan

ekonomi Uni Soviet. Kondisi-kondisi inilah yang menjadi tantangan sekaligus peluang bagi

perjanjian ini.

B. Saran

New START menjadi salah satu perjanjian yang berhasil mempengaruhi jumlah

persenjataan nuklir Amerika Serikat dan Rusia. Selain dari dalam negeri, diperlukan

ketegasan dari pihak-pihak luar untuk ikut membantu dan menekan agar perjanjian ini tidak

melenceng dari tujuan awalnya. New START juga telah berhasil membuka data jumlah

persenjataan nuklir Rusia yang diharapkan bisa terus terbuka seperti halnya Amerika Serikat.

60

Sehingga negara-negara dan pihak-pihak lain dapat membantu dalam memonitor jumlah dan

pergerakan senjata nuklir ini. Berkurangnya jumlah senjata nuklir yang beredar, ikutnya

negara-negara dan pihak non-pemerintah dalam memonitor, dan kekuatan negara besar yang

akan menjaga nuklir untuk tidak digunakan secara salah oleh pihak-pihak tertentu.

Diharapakan terikatnya kedua negara dalam perjanjian ini akan ikut mempengaruhi

negara-negara lain untuk menghilangkan hasratnya memiliki kekuatan nuklir selain untuk

tujuan damai, dan bagi negara-negara yang telah memiliki nuklir agar ikut mengurangi

kepemilikan mereka, sehingga ancaman dari senjata nuklir akan terus berkurang. Ditambah

dengan konsistensi kedua negara, bukan tidak mungkin perjanjian ini akan dilanjutkan atau

bahkan akan ada perjanjian-perjanjian lainnya yang mengatur kepemilikan senjata nuklir.

Maka pada akhirnya dunia akan hidup dalam kondisi kerjasama bukan lagi ancaman.