bab i pendahuluan 1.1 latar...

30
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tuturnya. Seperti yang dikatakan oleh Dardjowidjojo (2005:16) bahwa: Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer, yakni bahasa digunakan dalam keseharian dengan memegang paham bahwa bahasa bersifat seenaknya yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama. Manusia menggunakan bahasa dalam komunikasi untuk menyampaikan maksud dan kemauan kepada mitra tuturnya. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia, menghubungkan manusia satu dengan manusia lain dalam peristiwa sosial tertentu. Peran penting bahasa selain alat komunikasi juga memiliki fungsi yang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa fungsi bahasa sudah didefinisikan oleh para ahli, diantaranya berupa fungsi personal, instrumental, interaksional, dan fungsi bahasa lainnya. Bahasa lisan merupakan salah satu alat komunikasi yang terus berkembang di masyarakat. Bahasa lisan pada kalangan masyarakat Jawa merupakan salah satu alat komunikasi yang dinilai efektif dalam menyampaikan maksud dan dan tujuan kepada mitra tuturnya. Bahasa lisan yang terus berkembang dalam masyarakat Jawa juga tidak menuntup kemungkinan untuk digunakannya bahasa Jawa yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa dengan variasi bahasa Jawa yang lainnya.

Upload: phungkhanh

Post on 28-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang paling efektif yang

digunakan oleh manusia untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra

tuturnya. Seperti yang dikatakan oleh Dardjowidjojo (2005:16) bahwa:

Bahasa adalah suatu sistem simbol lisan yang arbitrer, yakni bahasa digunakan

dalam keseharian dengan memegang paham bahwa bahasa bersifat seenaknya

yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi

antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.

Manusia menggunakan bahasa dalam komunikasi untuk menyampaikan

maksud dan kemauan kepada mitra tuturnya. Selain sebagai alat komunikasi,

bahasa juga memiliki tugas untuk memenuhi salah satu kebutuhan sosial manusia,

menghubungkan manusia satu dengan manusia lain dalam peristiwa sosial

tertentu. Peran penting bahasa selain alat komunikasi juga memiliki fungsi yang

lain dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa fungsi bahasa sudah didefinisikan

oleh para ahli, diantaranya berupa fungsi personal, instrumental, interaksional,

dan fungsi bahasa lainnya.

Bahasa lisan merupakan salah satu alat komunikasi yang terus

berkembang di masyarakat. Bahasa lisan pada kalangan masyarakat Jawa

merupakan salah satu alat komunikasi yang dinilai efektif dalam menyampaikan

maksud dan dan tujuan kepada mitra tuturnya. Bahasa lisan yang terus

berkembang dalam masyarakat Jawa juga tidak menuntup kemungkinan untuk

digunakannya bahasa Jawa yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia atau

bahasa Jawa dengan variasi bahasa Jawa yang lainnya.

2

Alwasilah (1985:9) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses

informasi antar individual ditukarkan melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah

laku yang umum. Informasi dalam masyarakat terjalin dalam suatu komunikasi

yang terus berkembang. Komunikasi yang terus berkembang di masyarakat adalah

komunikasi lisan. Komunikasi lisan yang terus berkembang dalam masyarakat

akan memunculkan variasi-variasi bahasa. Variasi bahasa merupakan sistem yang

berkaitan dengan peristiwa berbicara, penutur bahasa, tempat bicara dan media

bahasa. Variasi bahasa pada suatu kelompok masyarakat terjadi akibat faktor

linguistik dan nonlinguistik di dalamnya. Faktor linguistik meliputi tata urutan

dalam kata, struktur kalimat, dan wacana. Sedangkan faktor nonlinguistik yang

mempengaruhi variasi bahasa meliputi faktor sosial, usia, jenis kelamin,

kemampuan ekonomi, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Perkembangan

bahasa dalam masyarakat lebih dominan dipengaruhi oleh adanya faktor

nonlinguistik dan faktor situasional. Suwito (1982:3) mengemukakan bahwa

variasi bahasa juga disebabkan oleh faktor situasional, yang meliputi siapa yang

berbicara, siapa lawan bicaranya, di mana, kapan, mengenai apa, dan

menggunakan bahasa apa.

Kajian bahasa terkait dengan faktor sosial merupakan salah satu kajian

yang sangat menarik untuk diteliti di era sekarang ini. Semakin berkembangnya

masyarakat maka bahasa yang digunakannya akan semakin berkembang pula.

Perkembangan bahasa masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor sosial baik secara

langsung ataupun tidak. Penelitian bahasa yang dihubungkan dengan faktor sosial

merupakan salah satu perkembangan dari suatu studi linguistik yakni penelitian

3

sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan

linguistik, dua bidang ilmu yang memiliki hubungan erat dalam pokok kajiannya.

Sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam

kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat (Chaer, 2010:2).

Pandangan lebih luasnya dikemukana oleh Kridalaksana (2008:225)

mendefinisikan sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari

hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial.

Penelitian terkait dengan hubungan perilaku bahasa dan perilaku sosial ini

menjadi salah satu daya tarik yang membuat peneliti untuk melakukan suatu

penelitian. Kelompok masyarakat yang memiliki daya tarik untuk diteliti adalah

kelompok mahasiswa Cilacap yang berada di Yogyakarta. Kabupaten Cilacap

adalah Kabupaten terluas yang masuk dalam wilayah propinsi Jawa Tengah, yakni

terdiri dari 24 kecamatan. Masyarakat Cilacap yang tersebar luas mulai dari timur

ke barat menjadikan masyarakatnya memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda.

Masyarakat Cilacap dikenal memiliki 4 kelompok wilayah yang di dalamnya

menggunakan bahasa yang berbeda, yakni bahasa Sunda, bahasa Jawa standar,

bahasa Indonesia, dan bahasa Jawa ngapak atau Bahasa Jawa Dialek

Banyumasan (BJDB).

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan melihat kecenderungan

bahasa mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam HIMACITA. Mahasiswa yang

berasal dari Kabupaten Cilacap dan bertempat tinggal di luar wilayah tutur

(Yogyakarta) apakah masih menggunakan bahasa dialeknya sendiri yang dikenal

dengan dialek ngapak. Bahasa yang mereka gunakan sama atau tidak dengan

4

bahasa yang digunakan ketika berada di daerah yakni Kabupaten Cilacap. Atas

dasar ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan

bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta (Himacita) pertama kali

terbentuk di gedung rektorat lama Universitas Negeri Yogyakarta (IKIP

Karangmalang) pada tahun 1998. Semenjak tahun 2004 hingga sekarang Himacita

beralamat di Jalan Amarta Raya no.05 Sariharjo, Ngaglik Sleman Yogyakarta.

Mahasiswa yang tergabung dalam komunitas ini adalah mahasiswa Cilacap yang

menempuh studi di beberapa universitas di Yogyakarta. Komunikasi sehari-hari

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta menggunakan bahasa lebih dari satu bahasa

atau masuk dalam kelompok masyarakat bilingual.

Kridalaksana (2008:36) mendefinisikan bilingualisme atau kedwibahasaan

sebagai suatu penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu

masyarakat. Masyarakat yang berada dalam kelompok bilingual ini akan

menimbulkan suatu variasi bahasa yang digunakannya, sebab dalam komunikasi

mereka akan menggunakan bahasa tertentu yang tepat ketika berkomunikasi

dengan mitra tutur yang bukan berasal dari wilayah kelompok mereka. Dalam hal

ini kelompok masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat mahasiswa

Cilacap yang tergabung dalam Himacita.

Berikut merupakan contoh tuturan bahasa mahasiswa Cilacap di

Yogyakarta yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di

Yogyakarta.

5

KONTEKS: PERCAKAPAN TERJADI DI HALL REKTORAT UNY

MEMPERBINCANGKAN MASALAH KEPULANGAN DARI

SULAWESI.

(1) P1 : Kang, Rika balik sekang Sulawesi kapan koh? Endhi oleh-olehe?.

„Mas, kamu pulang dari Sulawesi kapan? Mana oleh-olehnya?‟.

„Mas, kamu pulang dari Sulawesi kapan? Mana oleh-olehnya?‟.

(2) P2 : Wingi tanggal wolulas. Oleh-olehe ya kesel.

„Kemarin tanggal delapan belas. Oleh-olehnya ya cape‟.

„Kemarin tanggal delapan belas. Oleh-olehnya ya cape‟.

(3) P3 : Mas Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa?

Geneng boten ajak-ajak koh.

„Mz Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa?

Kenapa tidak ajak-ajak kok.‟

„Mz Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK UGM apa? Kok

tidak ajak-ajak.‟

(4) P2 : Iya melu sing UGM, Kiwil ya melu.

„Iya ikut yang UGM, Kriwil juga ikut‟.

„Iya ikut yang UGM, Kriwil juga ikut‟.

(5) P4 : Ngenjang terose badhe nderek sing teng UI nggih Yang?

„Besok katanya mau ikut yang di UI ya Yang?‟.

„Besok katanya mau ikut yang di UI ya Yang?‟.

(6) P2 : Nggih, Insyaallah, tapikan Mas wisudha riin Bun.

„Iya, Insyaallah tapikan Mas wisuda dulu Bun‟.

„Iya, Insyaallah tapikan Mas wisuda dulu Bun‟.

Dari cuplikan data di atas, tampak bahwa dalam komunikasi antara P1 dan

P2 tampak jelas bahasa yang digunakan adalah BJ yakni BJDB. Analisis dari

cuplikan data di atas akan difokuskan pada pemilihan bahasa yang digunakan oleh

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta, bentuk alih kode bahasa yang digunakan, serta

fungsi bahasa dibalik alih kode yang dilakukan. Pada percakapan P1, P2, P3, dan

P4 masing-masing penutur memiliki bentuk bahasa yang berbeda. P1 cenderung

menggunakan BJDB yang ditandai dengan digunakannya kata rika serta bahasa

Jawa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko. Apabila dilihat dari situasi tutur

P1 dan P2 memiliki hubungan yang sudah dekat. Usia P1 dan P2 tidak terpaut

jauh. Tuturan P2 sama dengan tuturan yang digunakan oleh P1 yakni

6

menggunakan bahasa Jawa TTN. Sebab P2 diantara peserta tutur yang lain

usianya lebih tua. Sehingga P2 lebih leluasa menggunakan BJ TTN. Peserta tutur

P3 berbeda dengan peserta tutur yang lain, sebab P3 menggunakan BI yang

kemudian diikuti BJ TTK dalam komunikasi dengan peserta tutur lain. Tuturan P3

merupakan salah satu contoh yang ditemukan bahwa mahasiswa Cilacap di

Yogyakarta juga mengalami suatu bentuk alih kode, yakni alih kode berupa alih

kode bahasa. Penggunaan alih kode bahasa P3 dipengaruhi oleh hubungan antara

P1, P2, dan P4 yang belum akrab. Sehingga cenderung memilih menggunakan BI

dan BJ. Temuan alih kode lain adalah pada data (6) yakni P2 yang semula

menggunakan BJ kemudian dia menggunakan kata Insyaallah yang merupakan

BArb. Sedangkan pemilihan bahasa P4 justru menggunakan BJ TTK secara

keseluruhan. Penggunaan BJ TTK oleh P4 kepada P2 dipengaruhi oleh faktor usia

P2 yang usianya di atas P4, jenis kelamin P4 adalah perempuan yang memang

dalam kelompok masyarakat akan menggunakan bahasa yang sopan kepada laki-

laki, kemudian faktor status pendidikan P2 adalah alumni program pascasarjana

UIN Yogyakarta, serta faktor hubungan antara P2 dan P4 menjadikan bahasa yang

digunakan berbeda dengan bahasa yang digunakan secara umum oleh mahasiswa

Cilacap di Yogyakarta.

Fungsi alih kode yang ditemukan dalam contoh data temuan di atas adalah

alih kode yang dilakukan oleh P3 (3) yang semula menggunakan BI kemudian

beralih kode ke dalam BJ TTK „Mas Umam katanya ikut proyek penelitian PSKK

UGM apa? Geneng mboten ajak-ajak koh. „Mz Umam katanya ikut proyek

penelitian PSKK UGM apa? Kok tidak ajak-ajak‟. Ternyata apabila kita melihat

7

pola peralihan bahasanya P3 yang awalnya menggunakan BI kemudian beralih BJ

TTK bertujuan untuk memberikan rasa lebih hormat kepada P2. Sehingga fungsi

alih kode yang dilakukan oleh P3 adalah untuk lebih menghormati P2. Sebab,

pada kelompok mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himacita apabila ada

anggota baru maka bahasa yang digunakan biasanya BJ TTK untuk memberikan

rasa hormat dan menandakan bahwa hubungan mereka masih berjarak. Namun,

berbeda dengan alih kode yang dilakukan oleh P2 (6) yang semula menggunakan

TTN kemudian beralih kode menggunakan TTK nggih, Insyaallah, tapikan mas

wisuda riin bun. „iya, Insyaallah tapikan mas wisuda dulu bun‟. Ternyata

fenomena kebahasan ini berbeda dengan fungsi alih kode yang sebelumnya.

Fungsi alih kode yang dilakukan oleh P2 justru P2 (6) ingin menunjukan bahwa

P2 dan P4 memiliki hubungan yang khusus sebab BJ yang digunakan walaupun

sama-sama BJ TTK namun, ditemukan kosakata yang menunjukan bahwa P2 dan

P4 memiliki hubungan yang khusus. Kosakata tersebut adalah Yang „sayang‟ dan

Bun „bunda‟. Kedua kata tersebut ternyata adalah panggilan khusus untuk mereka

berdua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa alih kode yang dilakukan oleh P3

berfungsi untuk menunjukan rasa hormat, sedangkan alih kode yang dilakukan

oleh P2 berfungsi untuk menunjukan adanya hubungan khusus yakni hubungan

kekasih dengan lawan tuturnya, dalam hal ini P4.

Berdasarkan uraian latarbelakang di atas, muncul suatu masalah yang

menarik untuk diteliti dari kelompok mahasiswa Cilacap di Yogyakarta yakni

fokus pada empat poin penting yaitu bahasa yang digunakan ketika berkomunikasi

antar mahasiswa Cilacap, komunikasi mahasiswa Cilacap dengan orang luar

8

Kabupaten Cilacap, komunikasi antara mahasiswa Cilacap dengan Penutur

Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap, dan wujud alih kode

serta fungsi alih kode yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap

dengan sesama mahasiswa Cilacap di Yogyakarta?

2. Bagaimana pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap

dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap?

3. Bagaimana pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap

dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap?

4. Bagaimana wujud alih kode dan fungsi alih kode yang digunakan oleh

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di

Yogyakarta?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas. Maka tujuan

dari penelitian ini adalah untuk.

1. Mendekripsikan pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa

Cilacap dengan sesama mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap

dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap.

9

3. Mendeskripsikan pola pemilihan bahasa yang digunakan oleh mahasiswa

Cilacap dengan Penutur Berstatus Sosial Lebih Tinggi yang Berasal dari

Cilacap

4. Mendeskripsikan wujud alih kode dan fungsi alih kode yang digunakan oleh

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di

Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam penelitian yang dilakukan dengan judul „Pola

Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan

Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta‟ ini meliputi manfaat teoretis dan manfaat

praktis.

1.4.1 Manfaar Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini memiliki manfaat bagi ilmu pengetahuan

khususnya pengetahuan bahasa. Penelitian terkait pemilihan bahasa yang

digunakan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta diharapkan akan dapat

memberikan kontribusi dalam penelitian terkait dengan bahasa Jawa. Penelitian

ini diharapkan akan dapat memberikan suatu informasi bahwa bahasa yang

digunakan oleh penutur dialek ketika berada di daerah asing ternyata masih

ditemukan adanya dialek yang sama ketika mereka berkomunikasi di daerah

asalnya. Penutur dialek tetap mempertahankan dialeknya meskipun disekitarnya

penutur menggunakan bahasa Jawa Standar (BJS). Kecenderungan orang dari

dialek tertentu yang masih menggunakan dialeknya di daerah asing. Serta dapat

10

memberi konstribusi bagi penelitian selanjutnya dan memberikan kontribusi ilmu

pengetahuan dalam bidang linguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk bahan masukan dalam

mengadakan penelitian lanjutan terkait dengan bahasa Jawa ataupun penelitian

sejenis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan oleh Kunjana Rahardi (2001) dengan Judul “Sosiolinguistik, Kode dan

Alih Kode”. Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahardi subjeknya adalah

penjual dan pembeli di pasar Beringharjo Yogyakarta. Penelitian tersebut

membahas tentang kode dan alih kode penjual dan pembeli di Pasar Beringharjo.

Hasil Penelitian tersebut adalah digunakannya tingkat tutur sebagai salah satu

Jenis Kode, serta kode serta alih kode tuturan penjual dan pembeli di Pasar

Beringharjo.

Selain itu, Endang Nurhayati (2009) dalam penelitian Tesis yang

dibukukan berjudul “Sosiolinguistik: Kajian Kode Tutur dalam Wayang Kulit”

yang memfokuskan penelitian pada kode tutur dalam pewayangan. Dalam

penelitian tersebut, penulis mendeskripsikan kode tutur bahasa dalam pewayangan

yang meliputi kode tutur jenis bahasa, kode tutur jenis ragam, kode tutur jenis

idiolek, kode tutur jenis dialek, kode tutur jenis tingkat tutur, dan kode tutur jenis

register.

11

Niken Widya Kusumastuti tahun 2012 dalam tesisnya yang berjudul “Alih

kode dalam percakapan jual beli pakaian di toko Rahayu Pasar Sambilegi

Yogyakarta”. Dalam penelitian tesisnya dirumuskan empat rumusan masalah

yakni (1) Jenis kode yang digunakan dalam komunikasi jual beli pakaian, (2)

wujud alih kode yang digunakan, (3) faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih

kode, (4) fungsi kode yang dimiliki dalam wacana komunikasi jual beli. Hasil dari

penelitian tesisnya Niken menyebutkan bahwa (1) jenis kode yang digunakan

dalam komunikasi jual beli pakaian meliputi kode yang berwujud bahasa: (i) BI,

(ii) BJ, (iii) BS, dan (iv) BA. Kode yang berwujud ragam: (i) ragam formal, (ii)

ragam informal, (iii) ragam slang, dan (iv) ragam ringkas. Kemudian kode yang

berwujud tingkat tutur terbagi menjadi tiga tingkat yakni (i) ngoko, (ii) madya dan

(iii) krama.

Pada analisis alih kode dalam tesisnya Niken menemukan (i) alih kode

yang berwujud bahasa, (ii) alih kode yang berwujud ragam, dan (iii) alih kode

yang berwujud alih tingkat tutur. (3) faktor yang mempengaruhi pemilihan bahasa

dalam percakapan jual beli pakaian di Toko Rahayu Sambilegi, yakni (i) peserta

tutur yang terlibat dalam percakapan, (ii) situasi tutur, (iii) tujuan tuturan, (iv)

pokok tuturan, dan (v) norma tutur. Serta temuan yang ke (4) adalah fungsi alih

kode dalam percakapan jual-beli pakaian di Toko Rahayu Pasar Sambilegi, yakni

(i) fungsi alih kode untuk bergurau, (ii) fungsi alih kode untuk menegaskan

maksud tertentu, (iii) fungsi alih kode untuk menunjukan identitas diri, (iv) untuk

menunjukan ekspresi, (v) mengalihkan topik pembicaraan, (vi) membangun

12

suasana akrab, (vii) kemudahan komunikasi, (viii) untuk meyakinkan, dan (ix)

alih kode untuk bergaya.

Berdasarkan ketiga tinjaun pustaka pada penelitian terdahulu, dapat

dijadikan acuan oleh peneliti pada penelitian yang akan dilaksanakan saat ini

dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta”.

Kesamaan antara ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan

sekarang adalah sama-sama meneliti terkait dengan pemilihan bahasa yang

digunakan dalam berkomunikasi. Namun, pada penelitian kali ini akan

memfokuskan pola pemilihan bahasa mahasiswa Cilacap yang berada di

Yogyakarta yang memfokuskan pada empat rumusan masalah yakni pemakaian

bahasa mahasiswa Cilacap dengan sesama mahasiswa Cilacap, mahasiswa

Cilacap ketika berkomunikasi dengan orang luar Kabupaten Cilacap, dan yang

ketiga adalah komunikasi mahasiswa Cilacap dengan orang dari instansi

pemerintahan. Kemudian pada bab empat selanjutnya akan mendeskripsikan

wujud alih kode dan fungsi dari dilakukannya alih kode dalam percakapan

mahasiswa Cilacap. Oleh sebab itu, adanya perbedaan analisis pada penelitian ini

akan dapat menjadikan penelitian sosiolinguistik menjadi lebih kaya dan

penelitian ini dapat dijadikan sumber acuan penelitian berikutnya.

1.6 Landasan Teori

Penelitian dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa Oleh Mahasiswa Cilacap

di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta” merupakan

penelitian yang akan memfokuskan penggunaan bahasa pada kelompok

13

masyarakat mahasiswa yang berasal dari Cilacap di Yogyakarta dengan

menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Berikut akan dipaparkan teori yang

menjadi landasan dalam melakukan analisis data.

1.6.1 Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan

kondisi kemasyarakatan. Sosiolinguistik adalah ilmu interdisipliner. Istilah

sosiolinguistik menunjukan bahwa ia terdiri atas bidang kajian sosiologi dan

linguistik. Ilmu yang merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan linguistik

ini juga sering disebut sebagai linguistik plus kemasyarakatan. Kunjana (2001:12)

mendefinisikan sosiolinguistik ilmu yang mengkaji bahasa dengan

memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya

masyarakat penutur bahasa. Sosiolinguistik dapat didefinisikan sebagai cabang

lingustik yang mempelajari variasi-variasi bahasa yang berhubungan dengan

struktur masyarakat yang beranekaragam. Hubungan linguistik dengan kajian

sosiologi sangatlah tampak, karena pada kajian sosiolinguistik akan mengkaji

bahasa masyarakat. Bahasa atau kajian linguistik yang ada pada kelompok

masyarakat. Pada kajian sosiolinguistik dengan judul “Pola Pemakaian Bahasa

oleh Mahasiswa Cilacap dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta

(Kajian Sosiolinguistik)” tampak jelas bahwa yang dikaji di dalamnya adalah

bahasa masyarakat kelompok mahasiswa Cilacap yang berada di Yogyakarta.

Menurut Chaer (2010: 61), sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin

yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu di

masyarakat. Nababan (1993:2) menjelaskan sosiolinguistik ialah studi bahasa

14

yang berhubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat, atau

mempelajari aspek-aspek kemasyarakatan bahasa yang berkaitan dengan faktor-

faktor kemasyarakatan atau sosial. Selanjutnya ia menambahkan bahwa

sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam konteks sosial kebudayaan,

menghubungkan faktor-faktor budaya, serta mengkaji fungsi sosial dan

pemakaian bahasa dalam masyarakat. Sosiolinguistik kadang diistilahkan

sosiologi bahasa. Sosiolinguistik terdiri atas 2 unsur, yaitu sosiologi dan

linguistik. Sosiologi berarti ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan

proses-proses sosial serta gejala masyarakat dan linguistik adalah cabang ilmu

yang mempelajari tentang bahasa lisan atau tulisan dan gejala pembentukan

bahasa (Nurhayati, 2009: 3). Penelitian bahasa dengan tinjuan sosiolinguistik

senantiasa memperhitungkan bagaimana pemakainya di dalam masyarakat yang

dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial tertentu. Faktor-faktor sosial itu antara lain:

status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, agama, jenis kelamin,

dan lain-lain. Selain itu, bentuk bahasanya juga dipengaruhi oleh faktor

situasional, misalnya: siapa yang berbicara, bagaimana bentuk bahasanya, kepada

siapa, di mana, kapan, dan mengenai masalah apa.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

sosiolinguistik adalah ilmu interdisipliner yang mengkaji masalah pemakaian

bahasa pada masyarakat yang berkaitan dengan struktur sosial, situasional, dan

budaya. Bahasa dalam studi sosiolinguistik tidak hanya dipandang sebagai

struktur saja, tetapi juga dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi, dan

bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu.

15

1.6.2 Kedwibahasaan

Mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang pada umumnya

menguasai dan mengenal lebih sari satu bahasa, meskipun tidak semua bahasa

yang dikenal akan dapat dikuasai keseluruhan. Chaer, (2010:84) Istilah

bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Secara harfiah

istilah bilingualisme dapat dipahami sebagai suatu yang berkenaan dengan

penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Menurut Aslinda dan Leni

Syafyahya (2010:8) mendefinisikan kedwibahasaan sebagai suatu kemampuan

atau kebiasaan yang dimiliki oleh penutur dalam menggunakan dua bahasa. Dua

bahasa yang dikuasai oleh penutur bilingual disimbolkan sebagai B1 yang

maksudnya adalah bahasa pertama yakni bahasa ibunya, B2 adalah bahasa lain

yang diterima dan digunakan dalam komunikasi selain bahasa ibu (B1).

Kridalaksana (2008:36) mendefinisikan bilingualisme atau kedwibahasaan

sebagai suatu penggunaan dua bahasa atau lebih oleh seseorang atau oleh suatu

masyarakat.

Berdasarkan definisi kedwibahasaan yang telah dikemukan oleh para ahli

di atas, dapat disimpulkan bahwa kedwibahasaan adalah suatu kemampuan

seseorang dalam menguasai dua bahasa atau lebih. Penutur bahasa disebut

bilingual sebab penutur tersebut dapat menguasai dua bahasa yang diakibatkan

kedua bahasa penutur saling bersinggungan.

16

1.6.3 Alih Kode

1.6.3.1 Pengertian Kode

Sebelum menuju ke pengertian alih kode, kita pahami dulu apa definisi

dari kode itu sendiri. Kode didefinisikan sebagai (1) lambang atau sistem

ungkapan yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu. Bahasa manusia

adalah sejenis kode; (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat; (3) variasi tertentu

dalam suatu bahasa Kridalaksana (2008:127). Kode bahasa mengacu kepada suatu

sistem tutur yang memiliki ciri khas sesuai dengan latarbelakang penutur, mitra

tutur, serta faktor situasi tuturan. Poedjosoedarmo, 1978:31-32 menyatakan bahwa

kode sebenarnya adalah variasi bahasa atau bahasa yang memiliki bentuk tertentu

dan makna tertentu pula. Poedjosoedarmo menyebutkan bahwa variasi bahasa

yang dimaksud di dalamnya adalah dialek, undha usuk, dan ragam.

Dialek dapat dibagi menjadi dialek geografi, sosial, usia, jenis kelamin.

Sedangkan undha usuk menurut Poedjosoedarmo (1979) dibagi menjadi tiga

yakni tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, dan tingkat tutur krama.

Sedangkan ragam menurut Martin Joss (dalam Chaedar Alwasilah, 1993:45)

membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalannya menjadi lima macam

ragam atau gaya. Yakni ragam beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan

ragam akrab. Wardhaugh (1986) menyebut kode sebagai suatu lambang pada

sebuah sistem yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua penutur atau yang

berupa sebuah dialek atau bahasa tertentu.

Wujud kode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi kode yang

berupa kode bahasa dan kode berupa tingkat tutur. Kode yang berwujud bahasa

17

meliputi kode BJ, BS, dan BI. Serta wujud kode tingkat tutur yang dimaksudkan

adalah berupa kode ngoko, madya, dan krama.

1.6.3.2 Pengertian Alih Kode

Rene Appel (dalam Pateda 1992:85) mendefinisikan alih kode sebagai

peralihan pembicaraan dari masalah satu ke persoalan lain. Kode-kode bahasa

tersebut dapat beralih dari variasi satu ke variasi yang lainnya. Sehingga pada

masyarakat yang dalam penelitian ini adalah masyarakat mahasiswa Cilacap di

Yogyakarta dalam Himacita yang merupakan penutur bilingual maka tidak

menutup menutup suatu kemungkinan untuk berganti dari satu kode ke kode lain.

Jadi, Alih kode didefinisikan sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa

karena berubahnya situasi Appel (1976:79) via Chaer, 2010: 107. Hymes (1875:

103) dalam buku yang sama menyebutkan bahwa alih kode bukan hanya terjadi

antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang

terdapat dalam satu bahasa. Kridalaksana (2008:9) mendefinisikan alih kode

sebagai penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa

bahasa sebagai setrategi untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain,

atau karena adanya partisipan lain.

Penggunaan alih kode dilakukan oleh penutur disebabkan karena beberapa

faktor yang menurut Chaer, 2010:108 disebutkan bahwa penyebab alih kode

disebabkan oleh (1) pembicara atau penutur, (2) pendengar atau lawan tutur, (3)

perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (4) perubahan dari formal ke

informal atau sebaliknya, (5) perubahan topik pembicaraan.

18

Berdasarkan definisi alih kode di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode

merupakan suatu peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Alih kode dalam

penelitian ini terbagi atas alih kode bahasa dan alih kode tingkat tutur.

1.6.3.3 Macam-Macam Alih Kode

Suwito (1985:81) membagi alih kode menjadi dua macam, yaitu alih kode

intern dan alih kode ekstrn.

a. Alih Kode Intern

Adalah alih kode yang terjadi antarbahasa-bahasa daerah dalam satu

bahasa nasional, atau antar dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antara

beberapa ragam atau gaya yang terdapat dalam satu dialek. Apabila kita

contohkan adanya alih bahasa, seperti dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa

Indonesia.

Contoh:

(7) P1 : Yu, rika mengko bengi bisa teka ring Asrama?.

„Mba, kamu nanti malam bisa datang ke Asrama?‟.

„Mba, kamu nanti malam bisa datang ke Asrama?‟.

(8) P2 : Tak usahakna ya.

„Saya usahakan ya‟.

„Aku usahakan ya‟.

(9) P1 : Temenan luh ya Yu, penting banget koh mengko bengi.

„Sungguh lo ya Mba, penting sekali kok nanti malam‟.

„Bener lo ya Mba, penting banget nanti malam‟.

(10) P2 : Iya, saya usahakan datang

Pada cuplikan contoh tuturan diatas, terjadi peristiwa alih kode intern yang

dilakukan oleh P2 (8) dari BJ tak usahakna ya „saya usahakan ya‟ ke dalam BI P2

(10) „Iya, saya usahakan datang‟. Berdasarkan fenomena kebahasaan yang terjadi

19

di atas, peristiwa arah alih kode yang muncul adalah alih kode BJ dalam TTN ke

dalam BI.

b. Alih Kode Ekstern

Adalah peristiwa alih kode yang terjadi antara bahasa asli (bahasa sendiri)

dengan bahasa asing.

1.6.3.4 Fungsi Alih Kode

Alih Kode yakni suatu peristiwa peralihan kode dari satu kode ke kode

yang lain. Kemudian fungsi dari alih kode tersebut, menurut Anwar (1984:44)

penutur yang melakukan peralihan kode ketika terjadinya komunikasi dengan

mitra tuturnya, mengandung maksud atau tujuan sebagai berikut, yakni untuk

memperlihatkan kuasa dan wibawanya, mengakrabkan atau merenggangkan suatu

hubungan, menimbulkan kesan bahwa si penutur ingin meyakinkan atau

menegaskan bahwa diantara mereka memiliki banyak kesamaan.

Tingkat tutur (undha-usuk) didefinisikan oleh Poedjosoedarmo (1975)

dalam (Poedjosoedarmo, 1979:3) adalah variasi-variasi bahasa yang perbedaan

antara satu dan lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri

pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2). Tingkat tutur juga didefinisikan

sebagai hasil suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan

terkecil dalam interaksi bahasa. Tingkat tutur dapat berwujud pernyataan,

pertanyaan, atau perintah.

1.6.4 Tingkat Tutur

20

Bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang selama ini dikenal secara luas

oleh masyarakat Jawa adalah bentuk ngoko, krama dan madya. Menurut

Poedjosoedarmo (1979: 14-15) tingkat tutur dalam bahasa Jawa dikelompokan

menjadi tiga tingkat tutur. Berikut definisi tingkat tutur bahasa Jawa.

1. Tingkat tutur Ngoko

Tingkat tutur ngoko merupakan suatu hubungan komunikasi antara O1 dan

O2 yang mencerminkan hubungan tak berjarak antara peserta tuturnya.

Bentuk tingkat tutur ngoko biasanya O1 tidak memiliki rasa segan dengan O2

yang mana akan menciptakan keakraban. Hubungan antara O1 dan O2

menjadi tidak berjarak.

2. Tingkat tutur Krama

Tingkat tutur krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan

santun. Bentuk tingkat tutur ini biasanya menandakan adanya perasaan segan

(pekewuh) O1 terhadap O2, karena O2 dapat dikategorikan sebagai orang

yang belum dikenal oleh O1, O2 berpangkat, atau berwibawa, atau usia O2

lebih tua.

3. Tingkat tutur Madya

Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah antara krama dengan

ngoko. O1 menunjukan perasaan sopan, sedang-sedang saja. Bentuk kosa kata

yang digunakan dalam tingkat tutur madya ini sebenarnya berupa kosa kata

krama yang mengalami penghilangan atau merupakan bentuk alegro dari

kata-kata krama. Seperti halnya kata dhateng (kr) yang apabila diutarakan

dengan tingkat tutur madya menjadi teng (md).

21

Menurut Sasangka (2009: 92) disebutkan bahwa unggah-ungguh bahasa

Jawa yang secara jelas dapat dibedakan pada prinsipnya hanya ada dua macam,

yaitu unggah- ungguh yang berbentuk ngoko dan yang berbentuk krama. Kedua

unggah-ungguh itu dibedakan secara jelas karena leksikon (kosakata) yang

dirangkaikan menjadi sebuah kalimat dalam kedua unggah-ungguh itu dapat

dikontraskan satu sama lain secara tegas.

Penelitian ini juga di dalamnya menganalisis tingkat tutur yang digunakan

oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta ketika berkomunikasi. Acuan analisis yang

digunakan adalah menggunakan teori yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo

(1979) yakni tingkat tutur bahasa Jawa dipilah menjadi tiga, yakni tingkat tutur

krama, tingkat tutur ngoko, dan tingkat tutur madya. Penetuan jenis tingkat tutur

yang digunakan dalam komunikasi mahasiswa Cilacap di Yogyakarta berdasarkan

akan dua hal yakni tingkat formalitas hubungan (tingkat keakraban, tingkat

keangkeran, dan umur) antara O1 dan O2, serta status sosial O2 (Poedjosoedarmo,

1979: 16).

1.6.5 Komponen Tutur

Komponen tutur menurut Poedjosoedarmo (1983:1) adalah butir-butir

penentu bentuk linguistik. Sumarsono (2008: 325-37) mengutip pendapat Dell

Hymes dalam merumuskan konsep peristiwa tutur menjadi enam belas komponen.

Namun setelah itu Hymes mengelompokan komponen menjadi delapan dengan

menggabungkan istilah yang berdekatan menjadi satu komponen. Untuk

memudahkan penghafalan akan komponen tutur itu, Hymes memberikan model

hafalan dengan akronim SPEAKING, yaitu S (Setting and scene), P

22

(Participants), E (End), A (Act sequences), K (Key), I (Instrumentalities), N

(Norms), dan G (Genres). Berikut ini penjelasan singkat mengenai komponen

tutur.

S : Setting and scenes (tempat dan suasana tuturan). Setting and scenes

dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah

tuturan. Misalnya, tuturan terjadi di Asrama Nusakambangan pada pukul

08.00.

P : Participant (peserta tutur). Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada

minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu

sama penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan

situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari

dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga. Misalnya, P1(Mahasiswa asal

Cilacap), P2 (Mahasiswa asal Pasuruan).

E : End (tujuan). Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk

menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk

membujuk, merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Suatu tuturan

mungkin juga ditujukan untuk mengubah perilaku dari seseorang dalam

masyarakat. Tujuan dalam tuturan ini khususnya tujuan digunakannya

alih kode.

A : Act sequence (pokok tuturan). Pokok tuturan merupakan bagian dari

komponen tutur yang akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok

tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan pokok itu mempengaruhi

bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur.

23

K : Keys (nada tutur). Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi

suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat

dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam suatu

bahasa. Nada itu dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang

dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan

sebagainya.

I : Instrumentalities (sarana tutur). Sarana tutur menunjuk kepada saluran

tutur (chanel) dan bentu tutur (form of speech). Yang dimaksud dengan

saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat dimunculkan oleh penutur

dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat

berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa sandi-

sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa,

yakni bahasa sebagai sistem mandiri, dialek, atau variasi-variasi bahasa

yang lainnya.

N : Norms (norma tutur). Norma tutur dibedakan menjadi dua, yaitu norma

interaksi (interaction norms) dan norma interpretasi (interpretation

norms). Norma interaksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu

dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping

itu, irama interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat

dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur

khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari

komunitas tutur yang berbeda.

G : Genres (jenis tutur). Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori

24

kebahasaan yang sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut

kategori wacana, misalnya percakapan, cerita, pidato, dan sebagainya.

Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula kode yang dipakai

dalam bertutur.

Teori komponen tutur tersebut dalam penelitian “Pola Pemilihan Bahasa

Mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan Mahasiswa/i Cilacap di

Yogyakarta (Kajian Sosiolinguistik)” digunakan untuk bahan pertimbangan dalam

menentukan fungsi alih kode bahasa yang digunakan oleh mahasiswa Cilacap di

Yogyakarta dalam HIMACITA. Dari kedelapan komponen tutur yang ada yang

mempengaruhi pemakaian alih kode bahasa Jawa yang digunakan, yaitu setting

and scene (tempat dan suasana tuturan), norm (norma tutur), key (nada tutur), dan

participant (peserta tutur). Pada analisis pola pemilihan bahasanya yang perlu

diperhatikan komponen tutur setting and scene (tempat dan suasana tuturan), key

(nada tutur), end (tujuan), act sequence (pokok tuturan), norm (norma tuturan),

dan participant (peserta tutur).

1.7 Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini terbagi atas dua kelompok jenis data, yakni data

primer dan data sekunder. Data primer berasal dari percakapan mahasiswa Cilacap

di Yogyakarta berupa percakapan lisan. Pengambilan data lisan dilakukan dalam

waktu 6 minggu.

Data sekunder adalah data tambahan yang digunakan untuk menganalisis

data, data sekunder ini berasal dari percakapan tertulis (pesan singkat), catatan

25

langsung peneliti, serta kamus Dialek Banyumas-Indonesia karya Ahmad Tohari

sebagai data tambahan.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskripstif. Penelitian ini

menggunakan dua pendekatan, penedekatan pertama adalah pendekatan teoretis

yang menggunakan teori Sosiolinguistik sebagai acuan keilmuan. Yang kedua

pendekatan metodologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research)

adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian suatu keadaan

sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti (Ronny Kountur,

2009: 108).

1.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data di dalam penelitian ini meliputi dua macam.

Sudaryanto (1993:132) menyebutkan dua macam metode dalam pemerolehan

data, yaitu dengan menggunakan metode simak dan metode cakap. Peneliti

menggunakan kedua metode tersebut dalam pengumpulan data.

Teknik pengumpulan data dilakukan melaui metode simak dan metode

cakap. Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data

dengan cara peneliti melakukan penyimakan pengguna bahasa. Metode ini

memiliki teknik dasar yaitu teknik sadap. Dikatakan teknik sadap karena pada

praktik penelitian sesungguhnya penyimakan itu dilakukan dengan cara menyadap

26

pembicaraan mahasiswa Cilacap di Yogyakarta (Mahsun, 2012: 243). Penyadapan

dilakukan dengan menggunakan alat perekam (recorder) dan dilakukan

pencatatan berupa informasi tambahan yang tidak diperoleh melaui kegiatan

perekaman. Teknik sadap ini memiliki dua teknik lanjutan yaitu teknik simak

bebas libat cakap (SBLC) dan teknik simak libat cakap.

Teknik simak bebas libat cakap (SBLC) meniadakan keterlibatan peneliti

secara langsung pada saat melakukan penyadapan. Dalam hal ini peneliti berperan

sebagai pengamat. Tenik ini digunakan guna menjaga perilaku berbahasa

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta untuk dapat berlangsung pada situasi dan

konteks yang sebenarnya, sehingga perilaku cakap dapat dipahami sebagai

keadaan yang sesungguhnya. Maka data yang diperoleh adalah data pemakai

bahasa yang alamiah terjadi dan bukan kesengajaan yang dibuat oleh partisipan

setelah tau peristiwa tuturnya tengah direkam. Selanjutnya mengenai teknik simak

libat cakap, yaitu upaya penyadapan peristiwa tutur dengan cara peneliti turut

terlibat dalam peristiwa tutur tersebut. Peneliti tidak hanya menjadi pengamat

tetapi ikut menyatu atau manunggal dengan partisipan yang hendak disimak

perilaku tuturnya (Mahsun, 2012: 243). Teknik yang demikian ini memungkinkan

peneliti dapat menstimulus percakapan pada peserta tutur sehinggga munculnya

data-data yang diharapkan, sehingga pemerolehan data akan lebih lengkap.

Metode cakap atau dalam penelitian ilmu sosial dikenal dengan nama

metode wawancara atau interview merupakan salah satu metode yang digunakan

dalam tahap penyediaan data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan

percakapan atau kontak dengan penutur selaku narasumber (Mahsun, 2012: 250).

27

Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara semuka, wawancara semuka

yang berarti peneliti melakukan percakapan dengan cara berhadapan langsung

disuatu tempat dengan informannya (Mahsun, 2012: 250). Pada pelaksanaan

metode wawancara diikuti dengan teknik rekam dan teknik catat.

1.8.3 Teknik Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah menggunakan metode kontekstual.

Metode konstekstual adalah menguraikan konteks yang mempengaruhi

penggunaan bahasa. Konteks merupakan sesuatu yang tidak tampak dalam bahasa

yang digunakan. Metode kontekstual ini mengandalkan konteks sebagai unsur

yang mempengaruhi corak penggunaan bahasa dalam berkomunikasi antara

pengirim pesan, pesan dan penerima pesan.

Langkah metode kontekstual dalam analisis data pada penelitian ini adalah

1. Tahap pertama mentranskrip hasil percakapan yang di dapat selama proses

pengambilan data yang digabungkan dengan catatan harian berisi konteks

yang tidak dapat diperoleh dari penggunaan bahasa. Transkripsi yang

dilakukan peneliti adalah dengan menggunakan model transkripsi sesuai

dengan data rekam yang peneliti peroleh.

2. Identifikasi data, maksudnya adalah peneliti mengidentifikasikan data yang

sudah terkumpul.

3. Setelah selesai pengidentifikasian dan klasifikasi data, langkah selanjutnya

adalah melakukan reduksi data.

28

4. Langkah terakhir adalah dengan menguji kevalidan. Menguji data yang kita

dapat valid atau tidak dengan melakukan uji validitas, uji validitas dalam

penelitian ini adalah uji validitas semantik.

1.9 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian laporan penelitian ini dilakukan dengan membagi

menjadi enam bab yakni:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan dasar dari penelitian yang dilakukan. Pada bab ini

berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, jenis dan sumber data, metode

penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap dengan Sesama Mahasiswa

Cilacap di Yogyakarta

Wujud bahasa mahasiswa Cilacap ketika berkomunikasi dengan sesama

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta akan dijabarkan mengenai kode-kode Bahasa

dalam percakapan antar mahasiswa Cilacap di Yogyakarta dalam Himpunan

Mahasiswa/i Cilacap di Yogyakarta, yang meliputi kode yang berwujud bahasa

dan kode yang berwujud tingkat tutur. Kemudian kecenderungan bahasa yang

digunakan, dan yang terakhir adalah kekhasan bahasa mahasiswa Cilacap di

Yogyakarta.

29

Bab III Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap dengan Orang dari Luar

Kabupaten Cilacap

Pada bab ini akan diuraikan mengenai wujud kode bahasa mahasiswa

Cilacap dengan orang dari luar Kabupaten Cilacap. Pembahasan pada bab ini

berbeda dengan bab II. Pembahasan dalam bab III meliputi sikap

mempertahankan Bahasa Jawa Dialek Banyumasan (BJDB) dalam

berkomunikasi, mengikuti bahasa mitra tuturnya (mahasiswa Cilacap mengikuti

bahasa mitra tuturnya dan mahasiswa luar Cilacap yang mengikuti bahasa

mahasiswa Cilacap), mahasiswa Cilacap menggunakan bahasa Indonesia dalam

berkomunikasi, dan yang terakhir adalah faktor yang mempengaruhi pemakaian

bahasa oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Bab IV Wujud Bahasa Mahasiswa Cilacap Dengan Penutur Berstatus Sosial

Lebih Tinggi yang Berasal dari Cilacap

Bab ini akan membahas mengenai wujud kode yang digunakan ketika

berkomunikasi dengan penutur dengan status sosial lebih tinggi yang berasal dari

Cilacap. Penutur yang dimaksud dalam penelitian ini terbatas pada Ketua Partai

Politik, Dosen PAI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Anggota DPR-RI 2009-

2014.

Bab V Wujud Alih Kode Dan Fungsi Alih Kode Bahasa Mahasiswa Cilacap

Di Yogyakarta

Pada bab V ini akan dideskripsikan terkait wujud alih kode bahasa

mahasiswa Cilacap di Yogyakarta. Alih kode yang dimaksudkan meliputi dua alih

30

kode yakni alih kode bahasa dan alih kode tingkat tutur. Serta uraian fungsi alih

kode yang dilakukan oleh mahasiswa Cilacap di Yogyakarta.

Bab VI Penutup

Bab VI merupakan bab terakhir dalam penyajian laporan ini. Bab ini berisi

mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran yang

berisi masukan kepada peneliti lanjutan terkait dengan penelitian yang telah

dilakukan.