bab i pendahuluan 1.1 latar...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran serta aktivitas manusia dengan lingkungan. Peran manusia dalam permasalahan lingkungan tersebut diantaranya dapat mengubah keadaan atmosfer bumi. Atmosfer bumi mengalami perubahan dikarenakan tiga faktor utama yaitu aktivitas manusia mengubah sifat permukaan bumi, menambah energi ke dalam atmosfer bumi dari sumber buatan dan menambahkan zat kedalamnya. Perubahan permukaan bumi berpengaruh pada cara sinar matahari diserap dan dipancarkan kembali ke atmosfer, dan mengubah tahanan gesek terhdap angin (Neiburger, 1995). Faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu sifat permukaan bumi yang berubah dikarenakan perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Karena kebutuhan manusia yang begitu mendesak, banyak terjadi perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh, meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga berperan dalam menggeser fungsi lahan. Ada tiga hal bagaimana teknologi mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi

Upload: vudung

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini tidak lepas dari peran serta

aktivitas manusia dengan lingkungan. Peran manusia dalam permasalahan

lingkungan tersebut diantaranya dapat mengubah keadaan atmosfer bumi.

Atmosfer bumi mengalami perubahan dikarenakan tiga faktor utama yaitu

aktivitas manusia mengubah sifat permukaan bumi, menambah energi ke dalam

atmosfer bumi dari sumber buatan dan menambahkan zat kedalamnya. Perubahan

permukaan bumi berpengaruh pada cara sinar matahari diserap dan dipancarkan

kembali ke atmosfer, dan mengubah tahanan gesek terhdap angin (Neiburger,

1995). Faktor utama yang sangat berpengaruh yaitu sifat permukaan bumi yang

berubah dikarenakan perubahan penggunaan lahan.

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan

(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya

baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Karena kebutuhan manusia yang

begitu mendesak, banyak terjadi perubahan penggunaan lahan terutama dari lahan

pertanian ke non pertanian. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan

pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal,

pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin

meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan

mutu kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya pertumbuhan ekonomi, perubahan pendapatan dan konsumsi

juga merupakan faktor penyebab perubahan penggunaan lahan. Sebagai contoh,

meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat

rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan. Teknologi juga

berperan dalam menggeser fungsi lahan. Ada tiga hal bagaimana teknologi

mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertama, perubahan teknologi telah

membawa perubahan dalam bidang pertanian melalui peningkatan produktivitas

lahan pertanian dan produktivitas tenaga kerja. Kedua, perubahan teknologi

2

transportasi meningkatkan efisiensi tenaga kerja, memberikan peluang dalam

meningkatkan urbanisasi daerah perkotaan. Ketiga, teknologi transportasi dapat

meningkatkan aksesibilitas pada suatu daerah. Perubahan penggunan lahan di

suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan

mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan

berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya.

Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun

menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat

menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas

lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang

intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan

lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan

dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka

bervegetasi.

Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan

aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini

ditunjukan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

seiring dengan semakin tinggi tingkat pertumbuhan penduduk baik secara alami

maupun migrasi, dan beragamnya tuntutan kebutuhan akan sarana dan prasarana.

Disisi lain luas lahan dan potensi lahan adalah tetap (statis) yang dibatasi oleh

wilayah kepemilikan baik secara administratif maupun fungsional, yang

sebenarnya tidak semua bagian wilayah tersebut dapat dimanfaatkan secara ideal

sebagai lahan terbangun.

Intervensi penggunaan lahan kawasan pada kawasan lain yang dilakukan

tanpa pertimbangan atau perencanaan yang baik akan mengganggu atau

mengurangi keseimbangan kegiatan sektor-sektor pembangunan secara

keseluruhan. Keterbatasan luas lahan yang ada di kota menyebabkan kota akan

mengalami perkembangan ke daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota

merupakan daerah yang mengalami dinamika dalam perkembangannya, terutama

dinamika dalam penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan

3

kebutuhan lahan untuk permukiman dan menampung fungsi-fungsi atau prasarana

kegiatan yang ada.

Perkembangan fisik kota mengandung dua macam konsekuensi, yaitu

adanya intensifikasi penggunaan tanah dalam kota dan ekstensifikasi penggunaan

lahan ke pinggiran kota (Sujarto, 1976). Laju perkembangan fisik kota yang

terjadi saat ini, sangat dipengaruhi oleh laju perkembangan kota yang mengalami

proses pergeseran penggunaan lahan dari pusat ke pinggiran. Hal tersebut timbul

sebagai akibat dari keterbatasan lahan dan tingkat kompetisi penggunaan lahan di

pusat kota. Sehingga mengakibatkan bergesernya penggunaan lahan permukiman

ke daerah pinggiran. Dilihat dari morfologi kota, penampakan perkotaan tersebut

dapat teridentifikasi melalui perubahan penggunaan lahan dari non terbangun

menjadi terbangun, terintegrasinya bangunan-bangunan (architectural building)

dan pola jaringan jalan (Smailes dan Conzen dalam Yunus, 2004).

Fakta di lapangan menunjukan bahwa laju perubahan penggunaan lahan

di daerah pinggiran telah memunculkan kantong-kantong aktivitas baru yang

sebelumnya tidak dijabarkan atau diantisipasi dalam Rencana Umum Tata Ruang

Kota. Kondisi demikian menyebabkan pembangunan fisik di daerah pinggiran

kota terbangun secara sporadis dan mengalami perluasan areal perkotaan atau

urban sprawl (Yunus, 1982).

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan lingkungan hidup di kota begitu kompleks. Permasalahan

tidak terbatas pada kondisi sosialnya, namun juga pada komponen lingkungan

lainnya. Permasalahan yang ada mulai dari ketersedian air bersih, sanitasi, polusi,

kemacetan, sampai kepada berkurangnya ruang terbuka hijau. Daerah perkotaan

dengan jumlah penduduk yang padat menyebabkan berkurangnya lahan untuk

vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan

industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota.

Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu

udara kota. Suhu udara rata-rata tahunan di Kota Yogyakarta meningkat dari

4

26,2°C pada tahun 2000 menjadi 26,6°C pada tahun 2006 (Dinas Perhubungan

DIY 2006, dalam BPS, 2007). Bahan bangunan seperti aspal, semen dan beton

menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Kenaikan suhu udara juga

diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang

menggunakan bahan CO, Nox, Sox, dan HC yang menimbulkan efek rumah kaca.

Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dengan

identitas dan daya tariknya sebagai kota pendidikan dan kota parawisata membuat

aktivitas penduduk semakin padat sehingga aktivitas penduduk yang padat ini

menyebabkan proses perubahan yang cepat dalam struktur penggunaan lahan.

Aktivitas penduduk ini bisa mencakup aktivitas pekerjaan seperti di bidang

pemerintahan, industri, perdagangan dan lainnya yang menyebabkan kebutuhan

terhadap fasilitas publik meningkat.Aktivitas penduduk yang tinggi ini

dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah penduduk terutama dari tahun 1980

hingga tahun 2002.

Tahun 2003 hingga 2010 jumlah penduduk Kota Yogyakarta mengalami

fluktuasi dikarenakan Kota Yogyakarta perlahan serasa ditinggal penghuninya

tidak lain adalah bencana alam yang melanda kota ini. Mulai dari gempa bumi

hingga gunung merapi yang meletus. Karakteristik kota yang sudah jenuh ini akan

menyebabkan sulitnya kenaikan jumlah penduduk, sehingga kecenderungan yang

terjadi adalah penurunan jumlah penduduk. Selain itu faktor lapangan usaha yang

dirasa sudah sangat banyak di kota ini dianggap sebagai salah satu faktor yang

membuat beberapa orang berpikir untuk mencari lapangan usaha di daerah lain.

Meski begitu, tingkat kepadatan penduduk Yogyakarta masih sangat tinggi, yakni

mencapai rata-rata 11.941 penduduk setiap satu kilometer persegi.

Tabel berikut menunjukkan jumlah penduduk Kota Yogyakarta mulai

tahun 1981 sampai dengan tahun 2010. Data yang disajikan adalah data sensus

pada tahun 1990, 2000 dan 2010 sedangkan yang lainnya merupakan data jumlah

penduduk yang didapat dari perhitungan BPS dalam Kota Yogyakarta dalam

angka. Data jumlah penduduk merupakan perhitungan jumlah penduduk (menurut

komposisis umur dan jenis kelamin) yang dipengaruhi oleh aktivitas keluar

masuknya penduduk dalam suatu tempat yaitu kelahiran, kematian, imigrasi

5

maupun emigrasi. Kota Yogyakarta merupakan daerah yang cukup mempunyai

nilai fluktuasi penduduk yang bervariasi dikarenakan salah satu faktor penariknya

yaitu merupakan kota pelajar yaitu banyak pendatang yang berimigrasi tetapi

tidak menjadi penduduk tetap, sedangkan untuk penduduk aslinya sebagian besar

memanfaatnya areanya untuk disewakan dan mereka memilih tinggal bukan di

kota melainkan pedesaan.

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta.

Tahun Jumlah

Penduduk Tahun

Jumlah

Penduduk Tahun

Jumlah

Penduduk

1981 380.548 1991 448.808 2001 503.954

1982 395.916 1992 452.866 2002 510.909

1983 404.250 1993 459.417 2003 392.239

1984 412.280 1994 464.946 2004 398.004

1985 416.549 1995 469.193 2005 435.236

1986 426.342 1996 474.461 2006 443.118

1987 432.410 1997 478.752 2007 391821

1988 430.066 1998 483.760 2008 390782

1989 435.061 1999 490.433 2009 389682

1990 439.528 2000 497.699 2010 387.086

Sumber: BPS : Kota Yogyakarta dalam Angka & Sensus Penduduk

Padatnya aktivitas penduduk ini berkorelasi positif dengan peningkatan

kendaraan bermotor, terutama kendaraan bus dan sepeda motor. Berdasarkan data

tahun 2000-2006, terjadi peningkatan jumlah bus dan sepeda motor masing-

masing sebesar 45,7 persen dan 50,7 persen (Kota Yogyakarta dalam Angka

Tahun 2007). Tabel 1.2 menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun kebutuhan

aktivitas manusia terhadap transportasi juga meningkat. Peningkatan suhu udara

di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun sebagai hasil dari proses

urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang

hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah

sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island.

6

Tabel 1.2 Jumlah Kendaraan di Kota Yogyakarta

Jenis Kendaraan 1991 1992 1993 1994

Sedan dan Station 16724 17977 19349 21792

Truck 8205 8676 9751 10104

Bus 1706 1706 1646 1354

Sepeda Motor 83429 103259 106908 111787

Jumlah 110064 131618 137654 145037

Jenis Kendaraan 1999 2000 2001 2002

Sedan dan Station 29091 29797 30284 30234

Truck 10385 11441 11638 11992

Bus 1178 959 932 1272

Sepeda Motor 152800 159259 168468 179813

Jumlah 193454 201456 211322 223311

Jenis Kendaraan 2006 2007 2008 2009

Sedan dan Station 32332 32667 32873 33056

Truck 12730 12827 12701 12831

Bus 5329 6528 8266 9572

Sepeda Motor 240075 256224 273538 288619

Jumlah 290466 308246 327378 344078

Sumber : Samsat Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta dalam Angka

Tahun 1994, 2002 dan 2009

Efek pulau bahang ini juga disebabkan adanya perubahan penggunaan

lahan dari penggunaan lahan vegetasi menjadi penggunaan lahan non vegetasi.

Penggunaan lahan vegetasi di Kota Yogyakarta pada tahun 1994 sebanyak 8,34

persen dari bagian wilayah Kota Yogyakarta dan pada tahun 2009 tersisa 2,8

persen. Kurun tersebut perubahan penggunaan lahan dari lahan vegetasi menjadi

lahan non vegetasi sebesar 5,54 persen. Tabel berikut menunjukkan adanya

pengurangan penggunaan lahan vegetasi kurun waktu 1994-2009.

Tabel 1.3 Tabel Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1994-2009

Penggunaan

Lahan

1994 2002 2009 Perubahan

Lahan

Ha % Ha % Ha % Ha %

Sawah Irigasi 254 8% 138 4.25% 87 3% -167 -5%

Tegalan & Kebun 17 1% 4 0.12% 4 0% -13 0%

Lahan Terbangun 2663 82% 2792 85.91% 2872 88% 209 6%

Lain-Lain 316 10% 316 9.72% 287 9% -29 -1%

Jumlah 3250 100% 3250 1 3250 1

Sumber : Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 1994,2002 dan 2009

7

Unsur iklim mikro udara merupakan elemen utama yang mempengaruhi

iklim mikro perkotaan. Perubahan penggunaan lahan inilah yang menjadi salah

satu faktor utama meningkatnya suhu permukaan di Kota Yogyakarta.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah diatas, maka dihasilkan tiga

pertanyaan penelitian yang akan dijawab dari hasil penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana pola persebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta?

2. Bagaimana pola pesebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta?

3. Bagaimana hubungan antara kerapatan vegetasi dengan suhu permukaan

sesaat di Kota Yogyakarta?

Oleh karena itu, pada penelitian ini diajukan judul berupa “Hubungan

Penggunaan Lahan Terhadap Pengaruh Iklim Mikro Kota Yogyakarta”.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, penelitian ini dilaksanakan dengan

tujuan sebagai berikut :

1. Mengkaji sebaran penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009.

2. Mengkaji sebaran suhu permukaan sesaat di Kota Yogyakarta pada tahun

2009.

3. Mengkaji hubungan variabel kerapatan vegetasi dengan ikllim mikro yaitu

suhu permukaan sesaat pada tahun 2009.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Memberikan data tentang distribusi penggunaan lahan dan suhu permukaan

di Kota Yogyakarta.

2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk pembangunan penggunaan

lahan di Kota Yogyakarta.

8

1.5 Tinjuan Pustaka

Dalam uraian tinjauan pustaka ini dibagi menjadi tinjauan teoritis dan

kajian empiris. Dalam paparannya lebih lanjut tinjauan teoritis lebih menekankan

kepada teori-teori yang terkait dengan tema dan kajian penelitian. Sedangkan

kajian empiris lebih menekankan kepada aplikasi dari teori-teori tersebut yang

diwujudkan dengan penelitian-penelitian sejenis. Berikut uraian dari kedua

tinjauan tersebut :

1.5.1 Tinjauan Teoritis

1.5.1.1 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan

(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya

baik material maupun spiritual (Vink, 1975). Beberapa pengertian mengenai

penggunaan lahan pada dasarnya sama, yakni mengenai kegiatan manusia di muka

bumi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa definisi penggunaan lahan

ditunjukkan sebagai berikut : Penggunaan lahan adalah suatu bentuk atau

alternatif kegiatan usaha atau pemanfaatan lahan (contoh pertanian, perkebunan,

padang rumput). Penggunaan lahan adalah usaha manusia memanfaatkan

lingkungan alamnya. Penggunaan lahan adalah interaksi manusiadan

lingkungannya, dimana fokus lingkungan adalah lahan, sedangkan sikap dan

tanggapan kebijakan manusia terhadap lahan akan membentuk langkah-langkah

aktivitasnya, sehingga akan menginggalkan bekas di atas sebagai bentuk

penggunaan lahan.

Penggunaan lahan pada umumnya digunakan untuk mengacu

pemanfaatan lahan masa kini, karena aktivitas manusia bersifat dinamis, sehingga

perhatian kajian sering kali diarahkan pada perubahan-perubahan penggunaan

lahan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) atau segala yang berpengaruh

pada lahan. Penggunaan lahan merupakan salah satu perwujudan lingkungan

binaan, yang merupakan hasil hubungan komponen lingkungan budaya (manusia)

dengan komponen lingkungan alami. Oleh karena itu, prinsip pendekatan

9

inventarisasi adalah pendekatan secara terpadu, yang bertitik tolak dari sudut

pandang pengamata tunggal terhadap lingkungan, karena segala sesuatu di

lingkungan pada tingkat tertentu saling bergantung antara satu dengan yang lain.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pendekatan untuk inventariasi dan

analisis data harus memungkinkan untuk memberikan gambaran tentang

sumberdaya dalam kurun satu waktu dan ruang waktu dengan cara yang

mencerminkan adanya daya saling mempengaruhi (interaksi) atau memungkinkan

untuk menaksir hasil-hasil dari adanya interaksi-interaksi tersebut. Di dalam

hubungan seperti ini, penggunaan lahan menjadi pusat perhatian yang penting.

Penggunaan lahan di Indonesia secara umum merupakan akibat nyata

dari suatu proses yang lama dari adanya interaksi yang tetap keseimbangan dan

dinamis, antara aktivitas-aktivitas penduduk di atas lahan, dan keterbatasan-

keterbatasan di dalam lingkungan tempat hidup mereka. Proses penyelarasan

antara kebutuhan-kebutuhan manusia dengan potensi alam untuk memenuhinya

telah berakibat pada sistem-sistem yang lebih kurang stabil. Berbagai perubahan

di dalam hubungan antara berbagai unsur dari sistem alami biasanya berjalan

lambat, sehingga dapat memberikan waktu bagi berbagai komponen untuk

mengadakan penyesuaian. Oleh karena itu dengan sendirinya terbentuk suatu

keseimbangan baru tanpa menimbulkan gangguan yang berarti.

Proses inventarisasi data penggunaan lahan, perlu dibedakan antara

penggunaan lahan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan. Hal ini mengingat

adanya perbedaan prinsip, dari aspek jenis kegiatan di pedesaan lebih sedikit

sehingga jumlah penggunaan lahan lebih sedikit. Lain halnya dengan perkotaan

jumlah jenis kegiatan lebih banyak dibandingkan pedesaan, sehingga jumlah

bentuk penggunaan lahan sebagai tempat aktivitas lebih banyak. Untuk memenuhi

kebutuhan dasar dari bidang cocok tanam di pedesaan, paling sedikit diperlukan

lahan pertanian seluas satu hektar untuk satu keluarga dengan jumlah anak tiga

jiwa, dengan bentuk penggunaan lahan paling banyak dua jenis yaitu sawah atau

tegal. Sebaliknya tanah seluas satu hektar di daerah perkotaan mampu

menampung berbagai jenis kegiatan non pertanian, memungkinkan bentuk-bentuk

10

penggunaan lahan lebih dari dua jenis, lahan tempat tinggal, lahan jasa, lahan

industri, lahan perdagangan dan lahan lain non pertanian.

Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak

dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya

keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat

jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu

kehidupan yang lebih baik. Pola perubahan penggunaan lahan ini disebabkan

karena pertumbuhan penduduk, kebijakan pemerintah pada sektor pertanian dan

transmigrasi serta faktor sosial ekonomi lainnya. Akibatnya, lahan basah yang

sangat penting dalam fungsi hidrologis dan ekologis semakin berkurang yang

pada akhirnya meningkatkan peningkatan erosi tanah dan kerusakan lingkungan

lainnya. Konsekwensi lainnya adalah berpengaruh terhadap ketahanan pangan

yang berimplikasi semakin banyaknya penduduk yang miskin.

Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan

upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan

penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi

lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan

dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro,

pencemaran, dampak terhadap vegetasi (flora dan fauna), dampak terhadap

kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri

pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan

sumberdaya alam yang ada.

Perubahan penggunaan lahan ini berpengaruh pada setiap komponen

iklim mikro yaitu yaitu suhu udara, kelembaban udara, suhu permukaan,

kecepatan angin dan sebaran keawanan serta curah hujan. Iklim mikro adalah

iklim yang mempunyai ukuran terkecil, untuk jarak horizontal 14 meter dan jarak

vertikal 14 meter di permukaan bumi (Linarce, 1992). Perubahan yang terjadi

dalam penggunaan lahan berarti juga telah terjadi perubahan pada manusia dalam

hal yang berhubungan dengan lahan. Untuk melihat intensitas perubahan

penggunaan lahan digunakan rumus :

11

Intensitas perubahan=(A1 (akhir)- A1 (awal)Ha)/(Luas Wilayah (Ha)) x 100%

dimana :

A1 = luas tiap jenis penggunaan lahan pada suatu wilayah pada tahun

(periode) berbeda.

1.5.1.2 Klasifikasi Lahan

Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam

proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra

penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang

sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan

lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun

berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya

buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi

kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,

1978).

Pengelompokan objek-objek ke dalam klas-klas berdasarkan persamaan

dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.

Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek

kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem

pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan

kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan

dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan

citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi

yang sederhana dan mudah dipahami.

Sistem klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi penggunaan lahan

menurut Malingreau dan Christiani, 1981. Contoh klasifikasi adalah sebagai

berikut:

12

Tabel 1.4 Klasifikasi Liputan Lahan/ Penggunaan Lahan Menurut Malingreau

Jenjang I Jenjang II Jenjang III Jenjang IV Simbol

1. Daerah Bervegetasi

A. Daerah Pertanian 1. Sawah Irigasi Si

2. Sawah Tadah Hujan St

3. Sawah Lebak Sl

4. Sawah pasang surut Sp

5. Ladang/Tegal L

6. Perkebunan - Cengkeh C

- Coklat Co

- Karet K

- Kelapa Ke

- Kelapa Sawit Ks

- Kopi Ko

- Panili P

- Tebu T

- Teh Te

- Tembakau Tm

7. Perkebunaan Campuran Kc

8. Tanaman Campuran Te

B. Bukan Daerah Pertanian

1. Huatan lahan kering - Hutan bambu Hb

- Hutan campuran Hc

- Hutan jati Hj

- Hutan pinus Hp

- Hutan lainnya Hl

2. Hutan lahan basah - Hutan bakau Hm

- Hutan campuran Hc

- Hutan nipah Hn

- Hutan sagu Hs

3. Belukar B

4. Semak S

5. Padang Rumput Pr

6. Savana Sa

7. Padang alang-alang Pa

8. Rumput rawa Rr

II. Daerah tak

bervegetasi

C. Bukan daerah

pertanian

1. Lahan terbuka Lb

2. Lahar dan Lava Ll

3. Beting Pantai Bp

4. Gosong sungai Gs

5. Gumuk pasir Gp

III. Permukiman dan

lahan bukan

pertanian

D. Daerah tanpa

liputan vegetasi

1. Permukiman Kp

2. Industri In

3. Jaringan jalan

4. Jaringan jalan KA

5. Jaringan listrik tegangan tinggi

6. Pelabuhan udara

7. Pelabuhan laut

IV. Perairan E. Tubuh perairan 1. Danau D

2. Waduk W

3. Tambak ikan Ti

4. Tambak garam Tg

5. Rawa R

6. Sungai

7. Anjir pelayaran

8. Saluran irigasi

9. Terumbu karang

10. Gosong pantai

Sumber: Malingreau, J.P. Rosalia Christiani, 1981 (A Land Cover; Land

Use Classification for Indonesia

13

1.5.1.3 Iklim Mikro

Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai unsur-unsur

cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di suatu tempat

atau pada suatu wilayah. Sintesis tersebut dapat diartikan pula sebagai nilai

statistik yang meliputi nilai rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi kejadian

nilai unsur cuaca tertentu dan penyimpangannya. Iklim di Indonesia mempunyai

arti yang cukup luas,meliputi unsur-unsur. (1) hujan dan air, (2) suhu udara dan

sinar matahari, (3) angin, (4) kelembaban udara. Daerah-daerah yang mempunyai

hujan banyak, dan lebat dengan musim kering yang pendek ditandai dengan

hutan-hutan lebat dan tanah yang kurus.

Kondisi iklim di perkotaan dapat berubah total akibat kegiatan

pembangunan yang demikian pesat dan penduduk yang padat, seperti :

bergantinya lahan pertanian menjadi gedung-gedung bertingkat, pabrik, industri,

perumahan, jalan raya dan lain-lain yang dapat mengubah albedo permukaan.

Jumlah penduduk serta aktivitas penduduk kota akan menghasilkan bahang,

sehingga suhu udara di perkotaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di

pinggiran kota. Selain itu, adanya larian air yang cepat akibat permukaan tanah

tertutup oleh bangunan/beton, menyebabkan terjadinya penurunan kelembaban

nisbi (relatif) udara. Polutian yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang intensif,

akan menambah partikel higroskopis di atmosfer. Akibatnya jumlah dan hari

hujan meningkat, terutama di pusat-pusat kota (industri). Keberadaan bangunan

fisik (buatan manusia) dan benda-benda alami pada suatu lingkungan juga

berpengaruh pada unsur iklim setempat, misalnya : suhu udara, kecepatan dan

arah angin, intensitas lama penyinaran yang diterima oleh suatu permukaan, dan

kelembaban udara. Bangunan-bangunan di perkotaan mengakibatkan terjadinya

perubahan kekasapan permukaan, sehingga kecepatan dan arah angin di pusat kota

menurun dan berubah. Modifikasi iklim dilakukan dengan tujuan untuk

menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi manusia atau untuk menciptakan

lingkungan yang lebih optimal.

Cuaca dan iklim mikro dikendalikan oleh fluktuasi dan transformasi

energi radiasi di atas permukaan bumi. Besarnya fluktuasi dan transformasi energi

14

bergantung pada perubahan energi yang datang, kejernihan udara di atas

permukaan, jenis permukaan serta faktor-faktor lain yang tidak termasuk faktor

udara dan permukaan. Energi radiasi yang datang dari matahari menuju ke

permukaan bumi sebagian digunakan untuk penguapan, sebagian untuk gerakan

udara, sebagian dipantulkan kembali, sebagian diserap oleh bumi dan udara, dan

untuk pemanasan bumi dan udara. Landsberg (1981) menyatakan bahwa menurut

hukum keseimbangan, seluruh jumlah energi tersebut harus tetap, sesuai dengan

persamaan berikut ini :

QN = QS↓– QS↑ ± QH ± QE ± QP

di mana :

QN = energi netto

QS↓ = energi yang masuk

QS↑ = energi yang keluar

QH = energi yang digunakan untuk pemanasan /pendinginan bumi

QE = energi yang digunakan untuk perubahan fase (penguapan,

kondensasi, sublimasi dan lain sebagainya)

QP = energi yang langsung dimasukkan atau dihilangkan oleh manusia,

misalnya : pembakaran AC, metabolisme, dan lain sebagainya.

Persamaan di atas disebut neraca energi, mengandung pengertian bahwa

perubahan dari salah satu unsur memberikan konsekuensi terjadinya perubahan

unsur-unsur yang lain. Corak cuaca dan iklim ditentukan oleh besarnya masing-

masing unsur tersebut. Sebagai contoh, perubahan permukaan dari permukaan

hutan menjadi permukaan beraspal. Permukaan hutan mempunyai albedo yang

besar, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Akan tetapi hutan dapat

menyimpan energi, sehingga suhu di permukaan tidak terlalu besar. Apabila

permukaan diubah menjadi beraspal yang mempunyai sifat banyak menyerap

energi dari radiasi matahari yang jatuh padanya menimbulkan terjadinya suhu

yang tinggi di atasnya pada siang hari. Sebaliknya pada malam hari, permukaan

ini memancarkan banyak energi, sehingga suhu di atas permukaan tersebut turun

dengan cepat.

15

1.5.1.4 Suhu Udara

Suhu didefinisikan sebagai tingkatan gerakan molekul benda, makin

cepat gerakan molekul maka makin tinggi suhunya. Suhu dapat didefinisikan juga

sebagai tingkat panas suatu benda. Panas bergerak dari benda yang mempunyai

suhu tinggi ke benda yang mempunya suhu rendah. (Tjasjono, 1999) Suhu udara

dipengaruhi oleh radiasi matahari, tinggi tempat, curah hujan, dan jarak dari laut.

Semakin rendah tingginya dan dekat jaraknya dari laut, suhu udara relatif lebih

tinggi, dan fluktuasi suhu hariannya semakin kecil. Suhu udara berfluktuasi

dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat

dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Pada siang hari,

sebagian dari radiasi matahari akan diserap oleh gas-gas atmosfer dan partikel-

partikel pada yang melayang di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan

menyebabkan suhu udara meningkat. Di daerah tropika, fluktuasi suhu udara rata-

rata harian relatif konstan sepanjang tahun (Lakitan, 1994).

Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek,

demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi

yang dikandung suatu obyek dapat diwakili oleh suhu. Sebagai contoh adalah

energi panas laten udara. Suhu udara hanya menunjukkan kondisi atau manifestasi

dari panas terasa. Energi panas terasa tergantung dari perbedaan suhu permukaan

dan suhu udara, kerapatan udara, kapasitas panas udara, dan hambatan tahanan

aerodinamisnya. Hal ini menggambarkan bahwa besarnya suhu udara dipengaruhi

oleh beberapa hal tersebut. Suhu permukaan akan ditransfer ke udara dengan

proses konveksi melalui media yang bernama udara. Jumlah energi yang

ditransfer dipengaruhi oleh media yang dilaluinya.

Sifat fisik permukaan suatu obyek menentukan keadaan suhu permukaan

dan suhu udara diatasnya, sehingga jenis tanah dan penggunaan lahan akan sangat

mempengaruhi nilainya. Demikian juga jika pada kedua jenis lahan tersebut

mengalami perubahan tutupan lahan, maka respon perubahannya juga akan

berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan sifat fisik dari lahan dalam

penerimaan radiasi matahari, dan kemampuan untuk melepaskan panas yang

diterimanya dari radiasi matahari tersebut. kondisi suhu di wilayah tersebut

16

dengan proporsi dan interaksi yang berbeda. Biasanya perbedaan suhu adalah

fungsi dari jumlah populasi. Semakin besar populasi, maka tingkat perbedaan

suhu akan semakin besar (Landsberg, 1981).

1.5.1.5 UHI (Urban Heat Island)

Urban Heat Island yaitu fenomena dimana suatu kota bersuhu lebih

panas dari kondisi daerah sekitarnya atau dikelilingi oleh daerah pedesaan yang

bersuhu lebih rendah. (Neiburger, 1995) Wilayah perkotaan sering disebut sebagai

pulau panas (heat island), karena suhu udara di perkotaan lebih tinggi dari

wilayah di sekitarnya. Penggunaan istilah pulau panas ini dilandaskan atas adanya

garis kontur suhu (garis isotherm) yang melingkar pada daerah perkotaan dengan

titik suhu tertinggi terletak di tengah lingkaran tersebut. Jika dalam suatu sistem

pola cuaca yang sama terdapat garis kontur suhu yang melingkar, maka daerah di

dalam lingkaran kontur suhu ini disebut pulau panas (heat island). Lakitan (1994)

Menurut Tursilowati (2008) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan

beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan

penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang

menghasilkan buangan panas. Pada siang hari energi itu dengan gampangnya

mengenai jalan, dinding dan atap-atap gedung. Karena sebagian besar air hujan

masuk ke parit-parit, dan karena di kawasan perkotaan umumnya tidak banyak

vegetasi, maka unsur evaorasi dalam persamaan bujet energi tersbut biasanya

kecil. Jadi sebagian besar energi yang diterima pada siang hari dikonduksikan ke

permukaan atau digunakan untuk memanaskan udara. Pada malam hari, panas

yang tersimpan di jalan atau gedung-gedung dikonduksikan ke permukaan dan

sebagai hasilnya, pendinginan pada malam hari sangat kurang. Selanjutnya, panas

dalam jumlah besar juga ditimbulkan oleh kendaraan yang lalu lalang, oleh

industri, serta oleh sistem-sistem pemanasan komersial maupun rumah-rumah

penduduk.

17

1.5.1.6 Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk

mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara

menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan langsung

dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand dan Kiefer,

1994) Pengumpulan data penginderaan jauh dapat dilakukan dalam berbagai

bentuk sesuai dengan tenaga yang digunakan. Tenaga yang digunakan dapat

berupa variasi distribusi daya, distribusi gelombang bunyi atau distribusi energi

elektromagnetik (Purwadhi, 2001).

Penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang

elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan

tetapi gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah

sinar matahari. Banyak sensor menggunakan energi pantulan sinar matahari

sebagai sumber gelombang elektromagnetik, akan tetapi ada beberapa sensor

penginderaan jauh yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh bumi dan

yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri. Sensor yang memanfaatkan energi dari

pantulan cahaya matahari atau energi bumi dinamakan sensor pasif, sedangkan

yang memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri dinamakan sensor aktif.

Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta

tematik, data statistik dan data lapangan. Hasil nalisa yang diperoleh berupa

informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi

sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan

untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan

daerah tersebut. Keseluruhan proses pmulai dari pengambilan data, analisis data

hingga penggunaan data tersebut disebut Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi,

2001)

Penginderaan jauh merupakan aktivitas penyadapan informasi tentang

obyek atau gejala di permukaan bumi (atau permukaan bumi) tanpa melalui

kontak langsung. Karena tanpa kontak langsung, diperlukan media supaya obyek

atau gejala tersebut dapat diamati dan ‘didekati’ oleh si penafsir. Media ini berupa

citra (image atau gambar). Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek (biasanya

18

berupa gambaran pada foto) yang dibuahkan dengan cara optik, elektro-optik,

optik mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi

elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak

langsung direkam pada film.

Pengenalan pola spektral obyek dapat menjadi pemandu yang sangat

bermanfaat dalam upaya mengenali obyek pada citra. Secara garis besar dapat di

katakan bahwa air jernih cenderung memberikan pantulan yang lebih rendah dari

pada air keruh pada semua wilayah panjang gelombang. Vegetasi memberikan

pantulan yang sangat rendah pada spectrum biru, meningkat agak tinggi pada

spektrum hijau (oleh karena itu daun tampak hijau di mata manusia), menurun lagi

di spectrum merah (karena serapan kuat oleh pigmen daun), dan meningkat sangat

tajam di spectrum Inframerah dekat, sebagai akibat dari pantulan oleh ruang antar

sel pada jaringan spongi daun. Vegetasi kembali memberikan pantulan yang

rendah pada saluran inframerah tengah I dan inframerah II karena pengaruh

kandungan lengas (kelembaban) yang tinggi. Tanah bertekstur relatif kasar

(pasiran) ataupun relatif lembab memberikan pantulan yang cenderung meningkat

dari sprektrum biru ke inframerah dekat, kemudian sedikit turun pada spectrum

inframerah tengah I dan II karena pengaruh serapan oleh lengas tanah. Tanah

bertekstur relatif halus ataupun yang berona cerah di lapangan dan sangat tipis

cenderung memberikan pantulan yang tinggi pada semua spectra. Dedaunan yang

kering akan memberikan pantulan yang terus meningkat seiring dengan

meningkatnya panjang gelombang. Meskipun demikian gejala ini cenderung ideal

pada laboraturium, sedangkan kombinasi berbagai faktor di lapangan kadang-

kadang mengaburkan pola teoritis semacam ini.

Lillesand dan Kiefer (1994) menyebutkan 8 unsur interpretasi yang di

gunakan secara konvergen untuk dapat mengenali suatu obyek yang ada pada

citra, kedelapan unsur tersebut ialah warna/rona, bentuk, ukuran, bayangan,

tekstur, pola, situs dan asosiasi. Diantara ke delapan unsur tersebut, warna/rona

merupakan hal yang paling dominan dan langsung mempengaruhi pengguna citra

dalam memulai interpretasi. Sebenarnya seluruh unsur interpretasi ini dapat di

kelompokkan ke dalam 3 jenjang dalam piramida unsur-unsur interpretasi. Pada

19

jenjang paling bawah terdapat unsur-unsur elementer yang dengan mudah dapat

dikenali pada citra, yaitu warna/rona, bentuk, dan bayangan. Pada jenjang

berikutnya terletak ukuran, tekstur dan pola, yang membutuhkan pemahaman

lebih mendalam tentang konfigurasi obyek dalam ruang. Pada jenjang paling atas

terdapat situs dan asosiasi, yang merupakan unsur-unsur pengenal utama dan

seringkali menjadi faktor kunci dalam interpretasi, namun sekaligus paling sulit

untuk dideskripsikan.

1.5.1.7 Landsat ETM+

Kenampakan bumi disediakan dalam misi satelit berawak dan pada

awalnya satelit meteorology mendorong perkembangan program Satelit teknologi

sumber-daya bumi atau ERTS (Earth Resources Technology Satellites). Program

ini dikembangkan oleh NASA di Amerika, dan secara resmi diubah menjadi

program Landsat pada tahun 1975 untuk membedakannya dari program satelit

kelautan Seasat. Landsat merupakan satelit tak berawak pertama yang dirancang

secara spesifik untuk memperoleh data sumber daya bumi dalam basis yang

sistematik dan berulang. Landsat 7 dikontrol oleh USGS, yang telah mengambil

alih dari EOSAT.

Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 Desember 1998. Landsat 7

dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus. Satelit Landsat 7

diluncurkan dengan ketinggian orbit 705 km. Orbit yang rendah ini dipilih untuk

membuat satelit secara potensial dapat dicari oleh pesawat ruang angkasa dan

untuk meningkatkan resolusi tanah pada sensor. Setiap orbit membutuhkan kira-

kira 99 menit dengan lebih dari 14,5 orbit dilengkapi setiap hari. Orbit ini

menghasilkan putaran berulang selama 16 hari, yang berarti suatu lokasi di

permukaan bumi bisa direkam setiap 16 hari. Landsat 7 tidak memiliki

kenampakan off-nadir sehingga tidak bisa menghasilkan cakupan yang meliputi

seluruh dunia secara harian. Citra Landsat 7 ETM+ tampak sama seperti data

Landsat TM, yang keduanya memiliki resolusi 25 meter. Satu layar penuh

mencakup luasan 185 km2, sehingga sensor dapat mencakup daerah yang besar di

permukaan bumi.

20

Citra Landsat TM dan Landsat ETM+ memiliki persamaan, dimana

keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 25 meter. Bagaimanapun juga citra

Landsat ETM+ memiliki band pankromatik yang mampu menghasilkan citra

pankromatik dengan resolusi 12,5 meter. Hal ini memungkinkan untuk

menghasilkan citra multispektral pankromatik yang dipertajam (citra gabungan

pankromatik dan multispektral dengan resolusi spectral 7 band dan resolusi

spasial 12,5 meter) tanpa merektifikasi citra yang satu ke citra lainnya. Hal ini

disebabkan citra pankromatik dan multispektral direkam dengan sensor yang sama

sehingga bisa diregister secara otomatis. Citra Landsat 7 juga memiliki band

thermal yang dipertajam. Sensor ETM+ menggunakan panjang gelombang dari

spectrum tampak mata sampai spectrum infra merah. Secara radiometric, sensor

ETM+ memiliki 256 angka digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan

terhadap perubahan kecil pada besaran radiometric dan peka terhadap perubahan

hubungan antar band.

Band-band ETM+ berguna untuk mengkaji air, pemilihan jenis vegetasi,

pengukuran kelembaban tanah dan tanaman, pembedaan awan, salju, dan es, serta

mengidentifikasi jenis batuan. Sama dengan Landsat TM, Landsat ETM+ bisa

digunakan untuk penerapan daerah perkotaan, akan tetapi dengan resolusi spektral

yang tinggi akan lebih sesuai jika digunakan untuk membuat karakteristik alami

suatu bentang alam. Spesifikasi Teknis ETM+ dirancang untuk mengumpulkan,

menyaring, dan mendeteksi radiasi dari bumi dalam petak seluas 185 km yang

melewatinya. Viewing swan dihasilkan oleh rata-rata system oscillating mirror

yang menyapu melewati jalur sebagaimana bidang pandang sensor bergerak maju

sepanjang jalur yang disebabkan pergerakan satelit. Data dari ETM+ merupakan

output dalam dua channel yang masing-masing pada 75 Mbps. Setiap channel

berisi data dari beberapa detector bersama-sama dengan data koreksi satelit

(Payload Correction Data/PCD), time stamp, dan status instrument. Data tiap

channel berisi : Channel 1 = band 1-3 (visible), band 4 (VNIR), Band 5 (SWIR),

Band 6 (LWIR), waktu, PCD, data status. Channel 2 = band 6 (LWIR), band 7

(SWIR) dan band 8 (pankromatik), waktu, PCD, data status. Data dari tiap band

bisa dipilih untuk menghasilkan output yang lebih tinggi atau lebih rendah, com-

21

mandable setting untuk mengatur tegangan referensi mul-tiplexor. Band 6 muncul

dikedua channel, dengan data di channel 1 berada dalam high gain dan data di

channel 2 berada dalam low gain.

Ciri khas dari citra Landsat 7 dengan sensor ETM+ adalah jumlah band

yang terdiri dari delapan band. Band-band yang terdapat pada sensor ETM+

mempunyai kemampuan dan karakteristik yang berbeda-beda dalam menangkap

gelombang elektromagnetik dan dipancarkan oleh obyek di permukaan bumi

seperti pada tabel. Masih banyak kegunaan lainnya dari penggunaan Landsat 7

seperti pada tabel. Tiap band pada Landsat 7 ETM + memiliki ukuran tersendiri.

Tapi Landsat 7 ETM+ milik Amerika Serikat ini mengalami kerusakan sejak

2003. Sistem sensor mengalami kerusakan berupa kegagalan pengoreksi baris

pemindai (scan line corecction, SLC). Akibat kegagalan ini, data hasil pemindaian

pun banyak data yang hilang. Melalui operasi sistem sensor yang menggunakan

metode SLC-off ini, diperoleh citra digital yang menampakkan baris-baris

pemindaian yang melompat-lompat. Tim gabungan NASA dan USGS mencoba

memperbaiki hal ini dengan cara mengisi baris-baris yang kosong melalui proses

akuisi data yang berurutan. Meskipun upaya ini telah banyak membantu dalam

akuisi data, bagaimanapun sering terlihat adanya hasil yang menganggu

pengamatan visual, terutama ketika data yang digunakan untuk mengompensasi

baris-baris kosong pada tanggal perekaman sebelumnya berbeda dalam hal posisi

dan persentase liputan awan (Danoedoro, 2012)

1.5.1.8 NDVI

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah suatu algoritma

yang diterapkan pada citra multisaluran untuk mengidentifikasikan kerapatan

vegetasi. (Iswanto, 2008). NDVI biasanya diaplikasikan untuk

mengetahuikerapatan vegetasi, kapasitas fotosintesis, absorpsi energi oleh kanopi

tumbuhan dan lain-lain. Rasional pemakain NDVI untuk mengetahui kerapatan

vegetasi dalah sebgai berikut. NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi

vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa

besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Nilai

22

NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal

cahaya tampak (merah). Untuk menghitung NDVI digunakan persamaan :

NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS)

Keterangan :

NIR = Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (Band 4)

VIS = Reflektansi kanal cahaya tampak/ infrared (Band 3)

1.5.1.9 Derivasi Suhu Permukaan

Suhu Permukaan Tanah didefinisikan sebagai suhu di permukaan bumi

yang masih terpengaruh oleh atmosfer sehingga ada variabel-variabel

meteorologi, hidrologi dan siklus energi yang mempengaruhi interaksi antara

permukaan bumi dan atmosfer (Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010). Suhu

permukaan ditangkap sebagai sistem thermal dalam penginderaan jauh, suhu

pancaran yang berasal dari objek di permukaan bumi dan mencapai sensor thermal

direkam oleh sensor tersebut.

Setiap objek di permukaan bumi akan menyerap energi, suhu objek akan

meningkat dan meradiasikan REM (Radiasi Elektromagnetik) gelombang panjang

ke atmosfer. Landsat dapat mengangkap gambar inframerah gelombang panjang

dapat mengukur energi objek dan merekamnya dalam nilai digital. Sesmua zat

pada temperatur yang lebih besar dari 0 absolut (0 Kelvin, -273,15ºC, atau -

459,69ºF), mengeluarkan REM secara terus menerus (Iswanto, 2008)

Pengukuran suhu permukaan dan udara dapat dilakukan secara langsung

dan dapat diduga dari citra satelit. Pemanfaatan data pengideraan jauh untuk

mendeteksi suhu permukaan wilayah perkotaan telah dilakukan di banyak tempat

dan wilayah. Dasar utama pemanfaatan data penginderaan jauh adalah

kemampuannya dalam menyediakan data suhu permukaan lahan (land surface

temperature) untuk wilayah yang luas dan dengan tingkat kerapan data yang

tinggi (1200 m2). Keadaan ini hanya dapat dilakukan oleh data penginderaan jauh.

Akan tetapi yang dideteksi oleh data penginderaan jauh adalah suhu permukaan

lahan (objek yang ada dipermukaan lahan) dan bukan suhu udara di permukaan

(As-syakur, 2012).

23

1.5.2 Tinjauan Empiris

Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya akan

memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan albedo,

dan perubahan iklim itu sendiri. Cuaca dan iklim bisa saja berubah secara drastis

dikarenakan perubahan kecil yang mempengaruhi komponen-komponen yang ada

di atmosfer. Konversi lahan dari ekosistem alami ke penggunaan lahan lainnya

akan memberikan efek yang besar dengan adanya emisi gas rumah kaca dan

albedo, dan perubahan iklim itu sendiri. Dari beberapa penelitian di lapangan,

dengan analisis komputasi menggunakan model sirkulasi yang umum

menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi iklim

secara global. (Charney et al 1977)

Setelah penelitian-penelitian tersebut, pemanfaatan data penginderaan

jauh untuk pemetaan wilayah UHI terus berkembang. Dengan adanya data-data

penginderaan jauh dengan resolusi spasial yang lebih detail seperti Landsat dan

Aster menyebabkan pendeteksian wilayah UHI semakin detail. Liu and Zhang

(2011) menggunakan Landsat dan Aster untuk melihat UHI di Hongkong,

Streutker (2002) hanya memanfaatkan NOAA Advanced Very High Resolution

Radiometer (AVHRR) dalam mempelajari UHI di Houston, Texas; dan Chen et

al. (2006) memanfaatkan data Landsat 5 dan Landsat ETM+ untuk mendeteksi

efek perubahan penggunaan lahan terhadap UHI dengan mengkorelasikannya

dengan indeks-indeks penginderaan jauh. Di Indonesia, Tusilowati (2005)

mencoba mengkaji perubahan penggunaan lahan dengan perubahan suhu

perkotaan di Bandung dan Bogor. Selain itu, Tursilowati (2007) juga mengkaji

UHI di tiga kota besar lainnya yaitu Bandung, Semarang dan Surabaya.

Nurjani (1999) melakukan pengukuran suhu udara dan kelembaban untuk

mengetahui intensitas pulau bahan (urban heat island) di Kota Yogyakarta. Hasil

pengukuran menunjukkan terdapat perbedaan suhu di dua lokasi pengukuran yaitu

di daerah pinggiran dan di daerah pusat kota berkisar 2,5-6ºC. Puncak perbedaan

terjadi pulau bahang ideal pada malam hari yang tidak berawan dan tidak berangin

serta selama musim kemarau.

24

Irma (2003) melakuakan penelitian mengkaji pengaruh struktur vegetasi

kota terhadap iklim mikro (suhu udara kelembaban udara dan angin). Ardiansyah

(2004) melakukan penelitian mengkaji variasi spasial dan temporal dari unsur

iklim mikro yaitu suhu udara, kelembaban udara dan suhu permukaan. Hasil

pengukuran memperlihatkan terlihat variasi spasial dan temporal dari suhu udara,

kelembaban udara dan suhu udara antara pusat kota Yogyakarta dan daerah di

pinggiran kota. Fenomena urban heat island telah terjadi di kota Yogyakarta saat

malam hari, dengan suhu rata-rata pada bulan Februari 2004 (pada musim

penghujan) sebesar 30ºC dengan intensitas heat island berkisar 2-6ºC, sedangkan

pada bulan April 2004 (awal muslim kemarau) berkisar 30-32ºC dengan intersitas

heat island rata-rata 3ºC.

Lestiana (2006) melakukan penelitian perubahan lahan dan Ppngaruhnya

pada Iklim Mikro di Kota Bandung dengan analisis perubahan lahan citra satelit

Landsat MSS akuisisi 1976 dan citra satelit Landsat TM 2001. Analisis perubahan

dan prediksi iklim dengan analisis data meteorologi secara observasi dari tahun

1971-2000. Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan antara konversi lahan

dengan kecendrungan perubahan elemen iklim (antara lain kecenderungan

kenaikan suhu rata-rata, suhu maksimum, suhu minimum dan jumlah hari hujan

serta kecenderungan penurunan radiasi matahari, kelembaban, jumlah curah hujan

dan intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam kurun waktu 30 tahun, maka

disimpulkan bahwa konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di Kota Bandung.

Penelitian di luar negeri lainnya sangat banyak yang menggunakan metode

penginderaan jauh untuk mengetahui korelasi atau hubungan pengaruh variabel

penggunaan lahan dengan parameter iklim mikro terutama suhu permukaan,

karena metode penginderaan jauh ini memudahkan peneliti untung mengestimasi

nilai suhu permukaan dengan mempertimbangkan faktor posisi matahari pada

tanggal pengambilan Landsat, jarak bumi dan matahari pada saat tanggal

pengambilan Landsat dan faktor signifikan lainnya yang bisa mempengaruhi nilai

suhu permukaan sesaat tersebut. Berikut tabel yang berisi hasil penelitian yang

hubungan antara penutup lahan dan iklim yang telah dilakukan oleh peneliti-

peneliti sebelumnya.

25

Tabel.1.5 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

1. Pengaruh Perubahan Penutup

Lahan terhadap Iklim Mikro (Studi

Kasus Kecamatan Cangkringan

Sleman)

Dwi Nowo Martono (1996)

Analisis deskriptif

parameter iklim (temperatur

maksimum, rata-rata

kelengasan udara nisbi

(RH), Curah hujan total

(CH), Prosentase sinar

matahari (SM), dan

kecepatan angin (KA) tahun

1985 dan 1990

Kecamatan

Cangkringan,

Sleman

Berdasarkan analisis deskriptif dan uji

signifikansi terhadap perubahan parameter iklim,

menunjukkan bahwa perubahan penutup

lahan,semak belukar dan tegalan menjadi taman

rekreasi di daerah penelitian mempunyai

pengaruh berarti terhadap kondisi klimatologis.

Pengaruh ini akan semakin nyata sejalan dengan

perkembangan deaerah, kepadatan penduduk dan

sarana transportasi yang mempunyai andil cukup

besar terhadap kondisi klimatologis.

2. Remote Sensing Image-Analysis of

the Relationship Between Urban

Heat Island and Land Use/Land

Changes

Xiao-Ling Chen, Hong-Mei Zhao,

Ping-Xiang Li, dan Zhi-Yong Yin

(2005)

Interpretasi citra Landsat

TM dan ETM+ dari tahun

1990 hingga tahun 2000 dan

pendekatan kuantitatif untuk

mengeksplorasi hubungan

antara temperatur dan

NDVI.

Pearl River Delda

di Provinsi

Guangdong, Cina

bagian Selatan

Distribusi spasial pulau-pulau panas telah

menyebar dengan berbagai penggunaan lahan

dari penggunaan lahan campuran,lahan kosong,

lahan semi-urban dan tanah ini lebih tinggi

dibandingkan penggunaan lahan lainnya. Selain

itu ditemukan bahwa ada korelasi negatif antara

NDVI (Normalized Difference Vegetation

Index), NDWI (Normalized Difference Water

Index), NDBaI (Normalized Difference Bareness

Index) dan suhu dan korelasi positif ditunjukkan

antara NDBI (Normalized Difference Built-up

Index) dan suhu.

26

Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

3 Perubahan Iklim Mikro Akibat

Perubahan Fungsi Lahan di Sekitar

Stasiun Klimatologi Kayuwatu

Manado

Rolles N. Palilingan, Martina

Pungus, Jeane Rende dan, Arnold

Turang. (2005)

Penelitian menggunakan

metode deskripsi dan

eksperimental. Metode

deskripsi untuk

membandingkan data suhu

dan kelembaban sebelum

dan setelah perubahan

fungsi lahan dan metode

eksperimental digunakan

untuk membandingkan suhu

dan kelembaban di

pemukiman dan di hutan.

Kota Manado Nilai rata-rata suhu udara menunjukkan tidak ada

perbedaan yang signifikan antara suhu udara

permukaan pada saat belum terjadi perombakan

hutan/daerah perkebunan (tahun 2001) dengan

suhu udara pada saat telah terjadi perombakan

hutan (tahun 2004), tetapi sebagaimana deskripsi

data yang telah dikemukakan bahwa berubahnya

fungsi lahan di sekitar stasiun klimatologi

Kayuwatu-Paniki Manado telah menyebabkan

adanya perubahan pola perubahan suhu udara

permukaan, dan perbedaan dalam nilai rata-rata

kelembaban udara.

4 Perubahan Lahan dan Pengaruhnya

pada Iklim Mikro di Kota Bandung

Hilda Lestiana (2006)

Analisis perubahan lahan

citra satelit Landsat MSS

akuisisi 1976 dan citra

satelit Landsat TM 2001.

Analisis perubahan dan

prediksi iklim dengan

analisis data meteorologi

secara observasi dari tahun

1971-2000.

Kota Bandung Berdasarkan hasil penelitian yaitu perbandingan

antara konversi lahan dengan kecendrungan

perubahan elemen iklim (antara lain

kecenderungan kenaikan suhu rata-rata, suhu

maksimum, suhu minimum dan jumlah hari

hujan serta kecenderungan penurunan radiasi

matahari, kelembaban, jumlah curah hujan dan

intensitas curah hujan) di Kota Bandung dalam

kurun waktu 30 tahun, maka disimpulkan bahwa

konversi lahan mempengaruhi kondisi iklim di

Kota Bandung.

27

Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

5 Studi Pengaruh Kualitas Vegetasi

pada Lingkungan Termal Kawasan

Kota di Bandung Menggunakan

Data Citra Satelit

Surjamanto Wonorahardjo,

Suwardi Tedja dan Benedictus

Edward (2007)

Penelitian menggunakan

data satelit Landsat ETM

yang mengambil citranya

dalam 7 band termasuk di

dalamnya citra termal.

Pendataan suhu udara

lingkungan juga dilakukan

dengan pengukuran

lapangan untuk pembanding

data citra satelit tersebut.

Kota Bandung Sebagai hasil penelitian didapatkan bahwa

vegetasi berupa pohon sangat berpengaruh

positif terhadap lingkungan termalnya dalam hal

laju penurunan temperatur udara dan Prediction

Profiler. Semakin besar volume pohon di

kawasan, rata-rata temperatur udara juga

semakin rendah. Pohon juga mempengaruhi laju

naik dan turun. Sedangkan penutup tanah seperti

jalan aspal berperan negatif terhadap temperatur

udara, dengan pengertian bahwa semakin besar

luas jalan.

6 Urban Heat Island dan

Kontribusinya Pada Perubahan

Iklim Dan Hubungannya Dengan

Perubahan Lahan

Laras Tursilowati (2008)

Menghitung neraca energi

dan membuat Peta

Persebaran UHI di Kota

Bandung, Kota Semarang

dan Kota Surabaya.

Kota Bandung,

Kota Semarang

dan Kota

Surabaya

Penelitian tentang UHI di beberapa kota besar di

Indonesia dengan data satelit menunjukkan

adanya perubahan temperatur yang merupakan

salah satu indikasi adanya perubahan iklim, hal

ini ada hubungannya dengan perubahan lahan

yang terjadi akibat urbanisasi. Di Bandung

teramati perluasan UHI (daerah dengan suhu

tinggi 30-35ºC yang terletak pada kawasan

terbangun di pusat kota per tahun kira-kira

12606 ha atau 4.47%, di Semarang 12174 ha

atau 8,4%, di Surabaya 1512 ha atau 4,8%.

Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per

tahun kurang lebih 1029 ha (0,36%), Semarang

1200 ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha

(1,69%). Daerah Penyebaran Urban Heat Island

28

terletak di pusat kota Bandung, Surabaya

maupun Surabaya. Urban Heat Island di pusat

Kota Bandung (2001), Surabaya (2002) maupun

Surabaya (2002) semakin melebar dibandingkan

dengan tahun 1994. Tingginya laju urbanisasi

yang ditandai dengan meningkatnya lahan

terbangun (pemukiman dan industri) menjadi

salah satu penyebab meluasnya Urban Heat

Island yaitu bertambah luasnya area yang

bersuhu tinggi (diatas 30ºC) .

29

Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

7 Analysis of Land Surface

Temperature and Land Use / Land

Cover Types Using Remote

Sensing Imagery - A Case in

Chennai City, India.

Lilly Rose A, Monsingh D dan

Devadas (2009)

Analisis perubahan

penggunaan lahan dan

penutup lahan dengan

membandingkan Landsat

TM dan Landsat ETM +

data tahun 1991 dan 2000.

Kota Chennai,

India

Berdasarkan hasil klasifikasi Landsar TM dan

ETM+ pada tahun 1991 dan 2000, area dengan

kepadatan tinggi dan area dengan kepadatan

sedang mengalami peningkatan yang sangat

drastis dan tinggi. Sehingga Penggunaan Lahan

sangat berpengaruh pada Suhu Permukaan di

Chennai, India.

8 Pengembangan Ruang Terbuka

Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu

Permukaan di Kabupaten Bandung

Siti Badriyah Rushayati, Hadi S.

Alikodra, Endes N. Dahlan,

dan Herry Purnomo (2011)

Analisis penutup lahan

dengan menggunakan citra

Landsat tahun 2003 dan

tahun 2008 dengan

membuat peta distribusi

suhu tahun 2003 dan tahun

2008.

Kabupaten

Bandung

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini

adalah suhu udara tinggi dipengaruhi oleh jenis

penutupan lahan berupa lahan terbangun,

sedangkan suhu udara rendah dipengaruhi oleh

ruang terbuka hijau. Semakin tinggi persentase

lahan terbangun di suatu area, maka akan

semakin tinggi juga suhu udara di area tersebut.

Sebaliknya semakin tinggi persentase ruang

terbuka hijau, maka semakin rendah suhu

udaranya. Pengembangan dan pembangunan

ruang terbuka hijau akan efisien dan efektif jika

dilakukan di area dengan suhu udara tinggi.

30

Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

9 Urban Heat Island Analysis Using

the Landsat TM Data and ASTER

Data : A Case Study in Hongkong

Lin Liu dan Yuanzhi Zhang (2011)

Analisis Landsat TM dan

ASTER tahun 2005

Hong Kong Penelitian ini menggunakan data hasil

interpretasi Landsat TM dan ASTER. Dari

perolehan data suhu menunjukkan nilai tertinggi

dari UHI (Urban Heat Island) terdapat di 3

lokasi yaitu Kowloon, Hongkong bagian utara

dan Bandara Internasional Hongkong.

Ditemukan korelasi negatif antara suhu

permukaan dengan NDVI (Normalized

Difference Vegetation Index) dan korelasi positif

dengan NDBI (Normalized Difference Build-up

Index). NDVI yang tinggi bisa mengurangi UHI

sedangkan NDBI dapat memperbesar UHI.

10 Estimating Temporal Land Surface

Temperature Using Remote

Sensing : A Study of Vadodara

Urban Area, Gujarat

Janak P, Joshidan Bindu Batt

(2012)

Interpretasi Landsat TM 5

tahun 1990-2009 dan

pembuatan Peta Suhu

Permukaan

Gujarat, India Hasil interpretasi Citra Landsat TM 5 tahun 1990

hingga tahun 2009 menunjukkan perbedaan nilai

suhu permukaan terutama di daerah perkotaan

dan daerah pinggiran yang dapat dilihat dari

adanya efek UHI. Terlihat peningkatan suhu

permukaan yang signifikan dari tahun 1990

hingga 2009. Penelitian ini membuktikan bahwa

perubahaan penggunaan lahan sangat

memberikan pengaruh dalam perubahan suhu

permukaan terutama berubahnya lahan vegetasi

menjadi lahan terbangun. Zona dengan suhu

permukaan yang tinggi terdapat lahan terbangun.

31

Lanjutan Tabel.1.4 Keaslian Penelitian

NO Judul dan Peneliti Metode Lokasi Hasil Penelitian

11 Land Surface Temperature

Analysis in an Urbanising

Landscape through Multi-

Resolution data

Ramachandra T.V , Bharath H.

Aithal dan Durgappa Sanna D.

(2012)

Interpretasi Landsat TM

tahun 1989, Landsat ETM

tahun 2000 dan Landsat

ETM+ tahun 2005 dengan

membuat Peta NDVI dan

Peta Suhu Permukaan

Himachal

Pradesh, India

Analisis Peta Perubahan Penggunaan Lahan

tahun 1989-2000 menunjukkan bahwa terjadi

perubahan sebanyak 55% yaitu penggunaan

lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun,

pada tahun 2000-2005 terjadi perubahan 39%

dari vegetasi menjadi lahan terbangun dan pada

tahun 2006-2006 terjadi perubahan 18,92%.

Nilai suhu minimun dan suhu maksimum yang

paling ekstrem yaitu -2ºC dan 31ºC. Terjadi

peningkatan suhu rata-rata 3ºC hingga 4ºC

rentang waktu tahun 1989 hingga 2010.

32

1.6 Kerangka Pemikiran

Perubahan penggunaan lahan di kota dan meningkatnya penggunaan

lahan non-vegetasi akan mempengaruhi kondisi iklim mikro. Jenis penggunaan

lahan akan menentukan besarnya kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin

dan indikator iklim mikro lainnya, karena jenis-jenis penggunaan lahan ini akan

memberikan efek keseimbangan energi yang berbeda pula. Perubahan penggunaan

lahan yang paling berpengaruh yaitu lahan yang awalnya merupakan lahan

vegetasi menjadi lahan non vegetasi. Perubahan penggunaan lahan ini secara tidak

langsung mempengaruhi iklim mikro daerah setempat terutama suhu dan

berimplikasi terjadinya pulau bahang kota atau Urban Heat Island (Rushayati,

dkk. 2011).

Daerah pedesaan merupakan daerah yang penggunaan lahannya masih

banyak terdiri dari vegetasi sehingga memiliki nilai albedo yang besar. Albedo

yang besar maka besar radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali akan

lebih banyak. Dengan demikian akan mengurangi simpanan panas di daerah ini.

Semakin tinggi nilai albedo berarti semakin banyak radiasi yang dipantulkan.

Sebaliknya semakin tinggi penyerapan radiasi maka semakin tinggi radiasi yang

dipancarkan kembali ke atmosfer sehingga akan terjadi pemanasan udara dan

peningkatan suhu udara (Rushayati, dkk. 2011).

Meningkatnya aktivitas manusia di lingkungan perkotaan seperti

tingginya tingkat imigrasi atau banyaknya penduduk yang datang, bertambahnya

jumlah kendaraan bermitir, menyebabkan meningkat pula kebutuhan terhadap

fasilitas publik. Kebutuhan terhadap fasilitas publik inlah yang menyebabkan

terjadinya perubahan penggunaan lahan vegetasi menjadi non-vegetasi.

Penggunaan lahan vegetasi berupa sawah irigasi, tegalan dan tanaman campuran

sedangkan non-vegetasi berupa lahan terbangun dan lahan kosong. Untuk

mengetahui korelasi apakah perubahan penggunaan lahan mempengaruhi iklim

mikro terutama suhu permukaan sesaat dilakukan interpretasi citra sehingga bisa

dihasilkan nilai suhu permukaan (land surface temperature) dan NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index). Karena sebaran vegetasi merupakan

salah satu faktor utama tinggi dan rendahnya suhu permukaan di suatu daerah.

33

Gambar 1.1 Diagram Alir Pemikiran

Aktivitas Penduduk

Meningkat

Kebutuhan terhadap Lahan

Meningkat

Luas Wilayah Kota

Penggunaan Lahan

Non-Vegetasi

Terjadi Perubahan

Iklim Mikro

Rekomendasi

Perubahan Penggunaan

Lahan

Penggunaan Lahan

Vegetasi

34

1.7 Batasan Operasional

Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk campur tangan

(intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidupnya baik material maupun spiritual (Vink, 1975).

Iklim Mikro

Iklim mikro merupakan gambaran akhir dari kondisi akhir pada suatu

ruangan yang terbatas dan terjadi karena hubungan timbal balik antara

faktor-faktor ekosistem (Lakitan, 1994 ; Wisnubroto, 1978).

Penginderaan Jauh

Penginderaan Jauh (remote sensing) adalah Ilmu, teknik dan seni untuk

mendapatkan informasi tentang obyek, wilayah atau gejala dengan cara

menganalisis data yang diperoleh dari suatu alat tanpa berhubungan

langsung dengan obyek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji (Lillesand

dan Kiefer, 1994)

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

Normalized Difference Vegetation Index didefinisikan suatu algoritma

yang diterapkan pada citra multi saluran untuk mengidentifikasikan

kerapatan vegetasi. (Iswanto, 2008)

Suhu Permukaan

Suhu Permukaan Tanah (Land Surface Temperature) didefinisikan

sebagai suhu di permukaan bumi yang masih terpengaruh oleh atmosfer

sehingga ada variabel-variabel meteorologi, hidrologi dan siklus energi

yang mempengaruhi interaksi antara permukaan bumi dan atmosfer

(Niclòs et al, 2009 di Valiente et al, 2010).