bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id i.pdf · 6 aminuddin ilmar, 2004, hukum...

35
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua negara membutuhkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi luar negeri. Menurut Blomstron dan Hettne, tanpa investasi daerah akan mengalami stagnasi perekonomian yang berakibat pada mandegnya akselarasi kesejahteraan riil masyarakat 1 . Adanya investasi dapat memberikan pendapatan yang kemudian dijadikan modal oleh negara untuk melaksanakan kepentingannya. Modal menjadi sumber enegi untuk meningkatkan kekayaan suatu negara dan mensejahterakan rakyat 2 . Menurut kamus istilah keuangan dan investasi, pengertian investasi adalah penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal 3 . Investasi, khususnya investasi asing sampai hari ini merupakan faktor penting untuk menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi 4 . Harapan masuknya investasi asing dalam kenyataannya sudah mulai terlihat stabil. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Secara umum bentuk investasi yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 yaitu investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langung (indirect investment 5 ). Investasi langsung adalah suatu bentuk investasi yang dilakukan oleh investor yang secara langsung investor terlibat dalam 1 Indra Ismawan, 2002, Otonomi Ranjau-Ranjau, Pondok Edukasi, Solo, hal. 122 2 Lusiana, 2012, Usaha Penanaman Modal Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 10 3 Hendrik Budi Untung, 2010, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1 4 Syprianus Aristeus, 2007, Penelitian Hukum Tentang Peranan Hukum Investasi Di Indonesia Dalam Era Globalisasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 129 5 Ibid, hal. 12

Upload: buiminh

Post on 11-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Semua negara membutuhkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi luar

negeri. Menurut Blomstron dan Hettne, tanpa investasi daerah akan mengalami stagnasi

perekonomian yang berakibat pada mandegnya akselarasi kesejahteraan riil masyarakat1. Adanya

investasi dapat memberikan pendapatan yang kemudian dijadikan modal oleh negara untuk

melaksanakan kepentingannya. Modal menjadi sumber enegi untuk meningkatkan kekayaan

suatu negara dan mensejahterakan rakyat2. Menurut kamus istilah keuangan dan investasi,

pengertian investasi adalah penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana

yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang

dirancang untuk mendapatkan modal3. Investasi, khususnya investasi asing sampai hari ini

merupakan faktor penting untuk menggerakkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi4.

Harapan masuknya investasi asing dalam kenyataannya sudah mulai terlihat stabil. Hal ini dapat

dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Secara

umum bentuk investasi yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 yaitu investasi langsung

(direct investment) dan investasi tidak langung (indirect investment5). Investasi langsung adalah

suatu bentuk investasi yang dilakukan oleh investor yang secara langsung investor terlibat dalam

1 Indra Ismawan, 2002, Otonomi Ranjau-Ranjau, Pondok Edukasi, Solo, hal. 122

2 Lusiana, 2012, Usaha Penanaman Modal Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 10

3Hendrik Budi Untung, 2010, Hukum Investasi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1

4 Syprianus Aristeus, 2007, Penelitian Hukum Tentang Peranan Hukum Investasi Di Indonesia Dalam Era

Globalisasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 129

5 Ibid, hal. 12

kegiatan usaha ditempat usahanya didirikan. Di Indonesia banyak investasi langsung baik oleh

investor dalam negeri maupun investor luar negeri. Salah satu contoh investasi langsung oleh

investor asing adalah PT Freeport Indonesia.

Bentuk investasi lain yang ada di Indonesia adalah investasi tidak langsung. Investasi

tidak langsung adalah suatu bentuk investasi yang dilakukan oleh investor dengan tanpa

mendirikan suatu badan usaha dan kegiatan usahanya hanya melalui pasar modal baik dengan

membeli saham-saham, obligasi maupun surat berharga. Jika dilihat dari pengertiannya maka

terlihat jelas perbedaan antara investasi langsung dan investasi tidak langsung. Secara sederhana

keuntungan dari investasi tidak langsung (indirect investment) adalah sebagai berikut :

a) Lebih efisien karena investor tidak perlu membangun badan usaha dan investor

dapat melakukan kegiatan usaha kapanpun dan dimanapun,

b) Waktu yang dibutuhkan untuk meraup keuntungan relatif cepat,

c) Tidak terkendala oleh proses perizinan dan tarif pajak yang tinggi,

Pengertian investasi yang secara yuridis dikenal dengan istilah penanaman modal

kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman

Modal (selanjutnya disebut UU Penanaman Modal) yaitu :

“Segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri

maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik

Indonesia”.

Sebelum disahkannya UU Penanaman Modal, investasi yang beredar di Indonesia

dibedakan menjadi 2 yaitu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Hal ini

mengalami pro dan kontra khususnya terkait melemahnya aliran investasi asing ke Indonesia

sebagai akibat dari pembedaan tersebut6. Seiring berkembangnya zaman, teknologi semakin

membantu manusia termasuk dalam hal investasi. Investasi yang dulunya terhambat oleh

infrastruktur kini telah dipermudah dengan dibukanya jalur investasi tidak langsung (indirect

investment)7. Investasi tidak langsung ini dapat dilakukan yaitu melalui pasar modal. Investasi di

pasar modal sangatlah berbeda dengan investasi langsung karena investasi di pasar modal

investor tidak perlu mengururs ijin-ijin, pajak, tidak perlu menggaji karyawan dan lain

sebagainya.

Banyak pihak yang terlibat dalam pasar modal akan tetapi pihak yang memiliki peran

terpenting di pasar modal adalah sebagai berikut:

1. Emiten, adalah perusahaan-perusahaan yang akan melakukan penjualan surat-surat

berharga atau melakukan emisi di bursa saham. Dalam melakukan emisi, para emiten

memilik berbagai tujuan dan hal ini biasanya sudah tertuang dalam rapat umum

pemengang saham (RUPS),

2. Perusahaan efek, adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin

emisi efek, perantara pedagang efek dan atau manager investasi.

3. Lembaga penunjang, fungsi lembaga penunjang ini antara lain turut serta mendukung

beroprasinya pasar modal, sehingga mempermudah baik emiten maupun investor dalam

melakukan berbagai kegiatan dengan pasar modal.

Lembaga penunjang yang memiliki peranan penting di dalam mekanisme pasar modal

adalah sebagai berikut:

6 Aminuddin Ilmar, 2004, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 49

7 An An Candrawulan, 2011, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan

Internasional dan Hukum Penanaman Modal, Alumni, Bandung, hal. 42

a) Kustodian, adalah pihak yang menyediakan jasa penitipan efek, jasa penerimaan

dividen, mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

b) Biro administrasi efek adalah, pihak yang berdasarkan kontrak melakukan pencatatan

pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek.

c) Wali amanat, adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat

utang.8

Pasar modal dibedakan menjadi 2 yaitu pasar perdana dan pasar sekunder :

1. Pasar perdana (primary market )

Pasar perdana adalah penawaran saham pertama kali yang dilakukan oleh emiten kepada

para pemodal. Harga saham di pasar perdana ditentukan oleh penjamin emisi

(underwriter) dan emiten berdasarkan analisis fundamental perusahaan yang

bersangkutan.

2. Pasar sekunder (secondary market)

Pasar sekunder adalah tempat terjadinya transaksi jual-beli saham diantara pemodal.

Harga saham pasar sekunder berfluktuasi sesuai dengan ekspektasi pasar, pihak yang

melakukan transaksi adalah pialang, adanya beban komisi untuk penjualan dan

pembelian, pemesanannya dilakukan melalui anggota bursa, jangka waktunya tidak

terbatas9.

8 Munir Fuady, 2001, Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 38.

9 Ibid.

Setiap orang yang ingin melakukan investasi dengan memasuki pasar modal dan menjual

saham-saham maupun surat berharga lainnya melalui pasar modal haruslah terlebih dahulu

membentuk badan hukum. Badan hukum pada umumnya dianggap dapat bertindak dalam hukum

dan mempunyai hak dan kewajiban serta kepentingan-kepentingan hukum terhadap orang lain

atau terhadap badan hukum. Satu-satunya badan hukum yang dapat beroperasi di pasar modal

adalah Perseroan Terbatas (PT). Pengertian perusahaan dulunya dirumuskan dalam pasal 1 huruf

b Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan :

“Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang

bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan di dalam

Wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.”

Pengertian Perseroan Terbatas kemudian dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 (selanjutnya disebut UUPT), yang mengatur bahwa :

“Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi

dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta

peraturan pelaksanaannya”.

Dari pengertiannya dapat dilihat PT adalah badan hukum yang menurut undang-undang

dapat menjadi subjek hukum. maka dari itu PT dapat melakukan segala tindakan/perbuatan

hukum yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana mestinya. Pengertian PT menurut UUPT

memberikan makna bahwa untuk dapat disebut sebagai PT menurut UUPT harus memenuhi

unsur-unsur :

a) Berbentuk badan hukum, yg merupakan persekutuan modal;

b) Didirikan berdasarkan perjanjian;

c) Melakukan kegiatan usaha;

d) Modalnya terbagi atas saham-saham;

e) Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan

persyaratan materiil pendirian perseroan terbatas

Perseroan didirikan oleh 2 orang atau lebih dengan persekutuan modal yang dibagikan

dalam bentuk saham. Keseluruhan modal dalam pendirian perseroan disebut dengan modal

dasar. Selain modal dasar, dalam perseroan terbatas juga terdapat modal yang ditempatkan, dan

modal yang disetorkan. Tidak semua modal yang terkumpul tersebut dimasukkan ke perusahaan

karena biasanya modal tersebut disimpan dan hanya digunakan ketika perusahaan membutuhkan

bantuan dana. Modal yang disetor merupakan modal yang dimasukkan dalam perusahaan. Modal

yang disetor inilah yang kemudian dihitung berdasarkan satuan tertentu sehingga akhirnya modal

tersebut terbagi dalam bentuk saham yang dimiliki oleh para pemegang saham. Biasanya satu

saham memiliki nilainya tersendiri yang dibandingkan nilainya dengan uang yang disetorkan

oleh para pemegang saham. Berapa jumlahnya itulah kepemilikan saham yang dimiliki oleh para

pemegang saham.

Dalam perseroan terbatas selain kekayaan perusahaan dan kekayaan pemilik modal

terpisah juga ada pemisahan antara pemilik perusahaan dan pengelola perusahaan. Pengelolaan

perusahaan dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga ahli dalam bidangnya (profesional). Struktur

organisasi perseroan terbatas terdiri dari pemegang saham, direksi, dan komisaris. Dalam PT,

para pemegang saham melimpahkan wewenangnya kepada direksi untuk menjalankan dan

mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha perusahaan sebagai mana

tertuang dalam anggaran dasar perseroan. Dalam kaitan dengan tugas tersebut, direksi

berwenang untuk mewakili perusahaan, mengadakan perjanjian dan kontrak, dan sebagainya.

Apabila terjadi kerugian yang amat besar (diatas 50 %) maka direksi harus melaporkannya ke

para pemegang saham dan pihak ketiga, untuk kemudian dirapatkan.

Komisaris memiliki fungsi sebagai pengawas kinerja jajaran direksi perusahaan.

Komisaris bisa memeriksa pembukuan, menegur direksi, memberi petunjuk, bahkan bila perlu

memberhentikan direksi dengan menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya

disebut RUPS). Dalam RUPS, semua pemegang saham sebesar/sekecil apapun sahamnya

memiliki hak untuk mengeluarkan suaranya. Dalam RUPS sendiri dibahas masalah-masalah

yang berkaitan dengan evaluasi kinerja dan kebijakan perusahaan yang harus dilaksanakan.

Isi RUPS biasanya terdiri dari :

1) Laporan keuangan,

2) Laporan mengenai kegiatan perseroan,

3) Laporan pelaksanaan tanggungjawab sosial dan lingkungan,

4) Rincian permasalahan yang mempengaruhi kegiatan usaha perseroan,

5) Laporan mengenai tugas pengawasan yang dilakukan oleh komisaris,

6) Nama-nama anggota direksi dan anggota dewan komisaris,

7) Mengumumkan pembagian gaji, tunjangan dan laba (dividen) bagi organ PT10

10 Sujud Margono, 2008, Hukum Perusahaan Indonesia, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, hal. 61-62

Dalam perkembangannya perseroan terbatas melakukan kegiatan usaha terkadang

memerlukan modal yang lebih besar. Penambahan modal bisa terjadi karena semakin besarnya

daya konsumsi terhadap produk dari perseroan tersebut sehingga dibutuhkan biaya produksi

yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Penambahan modal perseroan

biasanya akan dibicarakan pada RUPS, atau jika bersifat mendesak bisa dilaksanakan Rapat

Umum Pemegang Saham Luar Biasa (selanjutnya disebut RUPS LB). Setelah disepakati organ

perseroan maka penambahan/peningkatan modal bisa dilaksanakan tentunya dengan melakukan

perubahan anggaran dasar yang disertai dengan penambahan modal langsung dari para

pemegang saham. Setelah dilakukan proses tersebut anggaran dasar perseroan yang baru harus

memperoleh kembali persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Penambahan modal semacam ini dapat dilakukan sepanjang para pemegang saham mampu untuk

melakukannya. Seiring dengan kemajuan suatu perseroan maka semakin besar modal yang

dibutuhkan namun tidak serta merta pada kemampuan pemegang saham untuk melakukan

penambahan modal, oleh karena itulah pemerintah memfasilitasi hal tersebut. Pemerintah

memberikan kesempatan bagi perseroan yang membutuhkan lebih banyak modal untuk menjual

sahamnya kepada publik. Dalam konteks perusahaan hal ini disebut go public.

Seperti yang telah diketahui, di Indonesia dikenal ada dua jenis perseroan terbatas yaitu

PT. Tertutup dan PT. Terbuka. Perseroan Tertutup adalah perseroan terbatas yang saham-saham

yang secara langsung ditempatkan dalam perseroan tersebut dan kepemilikannya jelas tertuang

dalam anggaran dasar serta tidak diperjualbelikan kepada pihak umum. Perseroan Terbuka

adalah perseroan yang nilai sahamnya bersifat fluktuatif dan dapat diperjualbelikan kepada pihak

umum. PT. Terbuka inilah yang memasarkan saham-sahamnya di pasar modal tentunya setelah

melalui proses go pubic. Pengaturan mengenai mekanisme pasar modal diatur dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UUPM). Berkaitan

dengan itu perseroan tetaplah harus menjalani proses sebagaimana ditentukan UUPT seperti

halnya RUPS meskipun kepemilikan saham tersebar di seluruh daerah maupun luar negeri.

Dalam kaitannya dengan go public, setiap organ perseroan berhak memberikan pendapat

dalam RUPS maupun RUPS LB, namun seringkali pendapat tersebut tidak diperhatikan karena

yang dilakukan untuk memperoleh keputusan adalah dengan jalan voting (pengambilan

keputusan berdasarkan suara terbanyak). Bagi pemegang saham mayoritas ini tentu hal yang

menguntungkan karena keputusan yang dikehendaki akan selalu terpenuhi, sedangkan untuk

pemegang saham minoritas akan selalu menuruti kehendak pemegang saham mayoritas. Dalam

setiap pengambilan keputusan, pasti ada konsekuensi yang diterima. Di saat konsekuensinya

berdampak positif, maka hal ini tidak menimbulkan permasalahan, akan tetapi jika konsekuensi

tersebut berdampak negatif bagi perseroan maka pemegang saham minoritas akan mengalami

kerugian padahal dalam kenyataannya sesungguhnya pemegang saham minoritas tidak

menghendaki keputusan yang akhirnya merugikan perseroan tersebut. Di dalam UUPM yang

seharusnya menjadi dasar hukum utama (lex spesialis) dari perseroan go public pada

kenyataannya tidak mengatur satupun tentang mekanisme perlindungan hukum terhadap

pemegang saham minoritas. Dengan tidak diaturnya perlindungan hukum terhadap pemegang

saham minoritas dalam perseroan go public dalam UUPM maka yang menjadi acuan adalah

dasar hukum yang bersifat umum yaitu UUPT. Dalam UUPT, dijelaskan untuk mempertahankan

hak-haknya, pemegang saham minoritas dapat melakukan gugatan derivatif (derivative action).

Gugatan derivatif dapat diajukan di pengadilan negeri tempat kedudukan perseroan

tersebut setelah syarat-syarat terpenuhi. Berkaitan dengan perseroan go public, maka pemegang

saham minoritas kesulitan dalam mengajukan gugatan derivatif mengingat bahwa perseroan -

perseroan go public dihuni oleh pemegang saham yang belum tentu berkedudukan ditempat yang

sama dengan perseroan tersebut. Hal ini menimbulkan kerugian pula bagi pemegang saham

minoritas karena pengajuannya hanya pada pengadilan negeri dimana tempat kedudukan

perseroan tersebut. Sejauh ini undang – undang pun belum mengakomodir pengajuan gugatan

derivatif yang dapat dilakukan oleh pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.

Selain itu sekalipun gugatan derivatif itu dilakukan oleh para pemegang saham minoritas, potensi

kerugian bagi para pemegang saham minoritas tetap tidak dapat dihindari karena proses

pengajuan gugatan derivatif tergolong panjang dan membutuhkan banyak biaya.

Pengajuan gugatan derivatif haruslah dilakukan secara bersama-sama oleh para

pemegang saham sehingga para pemegang saham yang notabene terdiri dari pihak-pihak yang

berkedudukan di daerah yang berbeda-beda harus berkumpul terlebih dahulu, kemudian secara

bersama-sama membuat gugatan kemudian mengajukannya di pengadilan negeri tempat

kedudukan perusahaan terkait dan tentunya hal ini tentu saja hal ini membutuhkan banyak biaya.

Berbagai kelemahan gugatan derivatif tersebut menghadirkan keraguan akan aspek kemanfaatan

dari sebuah produk hukum tersebut terhadap pemegang saham minoritas. Jika dikaji lebih dalam

sesungguhnya gugatan derivatif tersebut merupakan solusi yang bersifat represif artinya hanya

bisa digunakan ketika telah terjadi suatu permasalahan. Mengacu pada hasil Komnas Good

Corporate Governance (GCG) yang tertuang dalam Ref. tanggal 31 Maret 2001, secara umum

pemegang saham memiliki hak-hak sebagai berikut :

a) Hak untuk menghadiri dan memberikan suara dalam RUPS

b) Hak untuk memperoleh informasi yang material mengenai perseroan secara tepat

waktu dan teratur agar memungkinkan pemegang saham dapat mengambil

keputusan penanaman modalnya berdasarkan informasi yang dimilikinya.

c) Hak untuk menerima sebagian keuntungan perseroan sebanding dengan jumlah

saham yang dimilikinya.

d) Hak pemegang saham untuk mendapatkan indormasi yang lengkap dan akurat

dalam rangka penyelenggaraan RUPS.

e) Hak pemegang saham untuk mendapatkan perlakuan setara berdasarkan

klasifikasi bahwa setiap pemegang saham mempunyai kedudukan yang sama.

Di Indonesia, kegiatan pasar modal diawasi oleh lembaga yang dulunya disebut dengan

Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), namun menurut kebijakan pemerintah BAPEPAM

diganti sehingga saat ini yang berwenang mengawasi pasar modal adalah Otoritas Jasa Keuangan

(OJK). Lembaga tersebut berwenang untuk mengawasi dan melakukan tindakan hukum untuk

menjaga stabilitas kegiatan pasar modal termasuk membuat peraturan terkait mekanisme tertentu

di pasar modal. Dalam kaitannya dengan pemegang saham minoritas, BAPEPAM maupun OJK

telah mengeluarkan regulasi yang bermaksud melindungi pemegang saham minoritas. Beberapa

regulasi tersebut adalah sebagai berikut :

a) Peraturan BAPEPAM Nomor IX.E.1 Tentang Benturan Kepentingan (Conflict Of

Interest) yang kemudian diganti dengan Lampiran Keputusan BAPEPAM LK

Nomor Kep-412/BL/2009 Tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan

Transaksi Tertentu. Secara umum regulasi ini memberikan perlindungan terhadap

pemegang saham minoritas ketika terjadi transaksi benturan kepentingan yang

dilakukan oleh direksi yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Peraturan

tersebut ditujukan untuk meminimalisir kemungkinan dirugikannya perseroan

oleh direksi sehingga kepentingan dan hak pemegang saham minoritas

terlindungi.

b) Peraturan BAPEPAM LK Nomor Kep-431/BL/2012 Tentang Penyampaian

Laporan Tahunan Emiten Atau Perusahaan Publik. Peraturan ini ditujukan untuk

menghadirkan keterbukaan informasi dalam pengelolaan perseroan khususnya

pemegang saham pengendali karena pemegang saham pengendali memiliki andil

besar dalam pengelolaan perseroan sehingga diperlukan keterbukaan agar tidak

terjadi hal yang tidak diinginkan seperti transaksi afiliasi, perdagangan orang

dalam (insider trading) dan lain sebagainya.

c) Peraturan OJK Nomor 32/POJK.04/2014 Tentang Rencana dan Penyelenggaraan

RUPS Perusahaan Terbuka. Dalam pasal 25 ayat (1) dinyatakan bahwa keputusan

RUPS diambil berdasarkan musyawarah mufakat. Selanjutnya dalam ayat (2)

pasal yang sama menyatakan keputusan RUPS diambil dengan pemungutan suara

apabila musyawarah gagal.

d) Peraturan OJK Nomor 31/POJK.04/2015 Tentang Keterbukaan Atas Informasi

Atau Fakta Material Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik. Peraturan ini memiliki

tujuan untuk menghadirkan keterbukaan informasi sehingga para pemegang

saham dapat mengetahui pengelolaan perseroan secara transaparan.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat dilihat sesungguhnya sedikit demi sedikit

pemerintah mulai mampu mewujudkan prinsip GCG khususnya dalam aspek keterbukaan

(transparency) dan pertanggungjawaban (responsibility), akan tetapi ketentuan tersebut belum

cukup mampu melindungi pemegang saham minoritas. Sebagaimana yang telah dipaparkan

diatas bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan pemungutan suara apabila musyawarah

mufakat gagal. Hal ini menimbulkan celah permasalahan karena bagi pemegang saham

mayoritas yang berkepentingan, akan sangat mudah menekan pemegang saham minoritas untuk

melakukan pemungutan suara dalam RUPS sehingga kepentingannya akan selalu terpenuhi.

Mekanismenya adalah pemegang saham mayoritas dengan caranya tersendiri menggagalkan

musyawarah mufakat sehingga selanjutnya pengambilan keputusan adalah dilakukan dengan

pemungutan suara. Dengan demikian kehendak pemegang saham mayoritas akan selalu

terpenuhi sementara pemegang saham minoritas hanya mengikuti kehendak pemegang saham

mayoritas. Demikian pula dalam penggunaan hak pre-emptive pemegang saham minoritas yang

diatur pada pasal 43 UUPT sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan pasal 87 ayat (2)

UUPT tersebut. Sekiranya pemerintah Indonesia menyediakan atau memberikan perlindungan

secara preventif bagi para pemegang saham minoritas untuk menjamin hak-haknya.

Setelah melakukan kajian mendalam terhadap UUPM, ternyata tidak ada pengaturan

mengenai perlindungan hukum yang dapat menegaskan kedudukan pemegang saham minoritas

dalam perseroan go public. Dalam UUPT pun hanya memberikan perlindungan hukum yang

bersifat represif dan terkesan “terlambat” karena pada titik itu pemegang saham minoritas telah

mengalami kerugian yang besar. Dalam perspektif lainnya, pemegang saham minoritas

sesungguhnya memiliki peran penting dalam suatu perseroan. Tanpa memandang jumlah saham

yang dimilikinya pemegang saham minoritas tetaplah bagian dari perseroan yang turut berjasa

hingga perseroan tersebut berkembang.

Dapat dilihat bahwa pemegang saham minoritas memiliki kedudukan yang sangat lemah

dalam perseroan khususnya perseroan go public. Berdasarkan kajian tersebut maka dapat

ditentukan bahwa permasalahan tersebut berawal dari sebuah kekosongan hukum (vacoom norm)

dan konflik norma (conflict of norm) yang seharusnya segera diselesaikan. Permasalahan inilah

yang menjadi dasar pemikiran untuk dilakukannya penelitian yang berjudul “Kedudukan

Hukum Pemegang Saham Minoritas Dalam Perseroan Go Public”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka diambil beberapa

permasalahan antara lain :

1.2.1 Bagaimana pengaturan hak-hak pemegang saham minoritas dalam perseroan go public ?

1.2.2 Bagaimana kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam perseroan go public?

1.3 Orisinalitas Penelitian

Permasalahan yang terjadi terkait pemegang saham minoritas merupakan suatu bentuk

nyata suatu peraturan haruslah bersifat dinamis. Dinamis dalam artian mampu berkembang

mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat. Berbagai masalah lain akan timbul apabila

masalah seperti yang diuraikan diatas tidak segera diselesaikan. Untuk membuktikan bahwa

tulisan ini original atau asli maka dibawah ini disajikan maupun dipaparkan secara singkat

beberapa karya tulis yang ada kaitannya dengan perseroan terbatas.

1. Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Kepada Pemegang Saham Minoritas Dalam

Perusahaan Joint Venture Di Indonesia” oleh Albertus Banunaek, Universitas Indonesia

Jakarta, tahun 2012, menggunakan metode penelitian hukum normative dengan rumusan

masalah sebagai berikut :

I. Bagaimanakah kedudukan pemegang saham minoritas pada Perseroan Terbatas

yang melakukan Joint Venture?

II. Bagaimanakah perlindungan hukum menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas

Nomor 40 Tahun 2007, terhadap pemegang saham minoritas pada perseroan

terbatas yang melakukan joint venture?

III. Bagaimana perlindungan yang diberikan terhadap keseimbangan kepentingan

antara investor asing dan kepentingan nasional?

Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :

I. UU Nomor 25 Tahun 2007 Penanaman Modal memiliki arti strategis dalam

proses investasi di Indonesia namun UU tersebut hanya mengatur hal-hal prinsip

dan pokok sehingga masih menyimpan sejumlah pasal yang isinya harus

disesuaikan dan disinkronisasikan dengan sejumlah undang-undang lain. Dalam

pelaksanaannya pemerintah harus merespon perkembangan bisnisyang terjadi,

akibat tidak ada batas antar negara dalam perkembangan bisnis yhang

mengglobal.

II. Peran pengusaha nasional atau penanam modal dalam negeri yang umumnya

merupakan pemegang saham minoritas, dalam sebuah perusahaan joint venture

antara Perusahaan Modal Asing (PMA) dan Perusahaan Modal Dalam Negeri

(PMDN) dapat dilindungi dengan hak-hak yang diberikan oleh Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yaitu berdasarkan pasal 114

ayat (6) UUPT, pasal 61 ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

III. Suatu Perseroan Terbatas (PT) termasuk PT Joint Venture antara PMA dengan

PMDN pada dasarnya didirikan dan dijalankan berdasarkan anggaran dasar yang

dibuat diantara para pemegang saham yang sepakat untuk mendirikan PT tersebut.

Dengan demikian, segal hak dan kewajiban antar para pemegang saham yang ada

didalamnya harus dituangkan sejelas mungkin di dalam anggaran dasar (AD) PT

tersebut. Anggaran Dasar inilah yang dapat dikatakan sebagai “Perjanjian”

diantara mereka.

2. Tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Investor Publik Dalam Penghapusan

Pencatatan (Delisting) Saham Pada Kegiatan Pasar Modal Indonesia” oleh Mukhti,

Universitas Sumatera Utara, tahun 2008, menggunakan metode penelitian hukum normatif,

dengan rumusan masalah sebagai berikut :

I. Bagaimana aspek hukum dalam pelaksanaan penghapusan pencatatan (delisting)

pada kegiatan pasar modal Indonesia?

II. Bagaimana mekanisme perlindungan hukum yang dilakukan oleh Bapepam bagi

investor publik dalam proses penghapusan pencatatan (delisting) saham pada

kegiatan pasar modal Indonesia?

III. Apakah ketentuan di bidang pasar modal yang ada telah memberikan

perlindungan hukum bagi investor publik manakala terjadi penghapusan

pencatatan (delisting) saham pada kegiatan pasar modal Indonesia?

Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :

I. Langkah-langkah yang dilakukan untuk melaksanakan proses go private suatu

perusahaan publik adalah :

a. Delisting

b. Persetujuan Bapepam untuk go private. Kedua tahapan tersebut tentunya harus

disetujui oleh pemegang saham independen di dalam RUPS. Langkah pertama

adalah delisting saham dan bursa efek dimana perusahaan publik tersebut tercatat.

Dengan dilakukannya delisting, maka saham-saham perseroan tersebut sudah

tidak dapat diperdagangkan lagi di bursa efek. Selanjutnya melalui persetujuan

BAPEPAM, pemegang saham mayoritas harus membeli kembali saham-saham

yang dimiliki oleh publik dengan harga yang wajar. Bagi perusahaan yang akan

melakukan voluntary delisting atau go private diwajibkan oleh BAPEPAM untuk

melakukan Rapat Umum Pemegang Saham Independen, dimana hal tersebut

wajib dilakukan guna melindungi kepentingan pemegang saham publik atau

minoritas.

II. BAPEPAM menetapkan kriteria penentuan harga saham untuk memberikan

perlindungan mengenai kewajaran harga saham. Faktor lain selain kewajaran

harga saham adalah harga yang menarik minat pemegang saham publik untuk

melepaskan atau menjual sahamnya dalam penawaran tender. Perlindungan

hukum yang dilakukan oleh BAPEPAM kepada pemegang saham publik yang

tidak setuju dengan rencana emiten atau perusahaan publik yang melakukan go

private atau tidak mau menjual sahamnya kepada pihak yang melakukan

penawaran tender, adalah saham publik tersebut wajib dibeli oleh perseroan

dengan harga sebagaimana ditetapkan dalam penawaran tender yang telah

dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 55 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal dan telah diubah menjadi

pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas.

III. Kendala-kendala yang dihadapi dalam rangka pelindungan investor tersebut

antara lain pengawasan terhadap kepatuhan perseroan setelah go private apakah

perseroan tersebut tetap akan mematuhi surat Ketua Bapepam tersebut berkaitan

dengan kewajaran harga saham bagi pemegang saham publik yang pada saat

penawaran tender tidak mau menjual sahamnya yaitu karena dia memberikan

suara tidak setuju pada saat RUPS Independen. Ketentuan di bidang pasar modal

yang ada telah cukup memadai memberikan perlindungan hukum bagi investor

publik, antara lain dengan memperbesar korum kehadiran pemegang saham

independen dianggap lebih memberikan perlindungan kepada pemegang saham

independen itu sendiri. Kedua karya ilmiah yang diuraikan diatas sudah tentu

berbeda penulisannya dengan tesis ini dimana dalam penelitian ini menekankan

pada kajian mengenai kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam

proses perseroan go public.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini agar memiliki suatu maksud yang jelas, dan mencapai

target yang diinginkan maka tujuannya dapat digolongkan menjadi dua yaitu :

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian atas suatu permasalahan di atas dalam kerangka pengembangan

ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses),

dimana dengan paradigma ini artinya ilmu tidak akan pernah berhenti (final) dalam

penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Oleh karena itu secara umum

penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengembangkan aspek pembahasan ilmu hukum terutama hukum perusahaan,

dan hukum pasar modal;

1.4.2 Tujuan Khusus

Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum sebagaimana yang telah

diuraikan tersebut di atas juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai

sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak-hak pemegang saham minoritas

dalam perseroan go public;

b) Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bagaimana kedudukan hukum

pemegang saham minoritas dalam perseroan go public;

1.5 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan diharapkan memberikan suatu manfaat, baik manfaat

teoritis maupun secara praktis untuk membantu pengembangan suatu ilmu pengetahuan.

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai

berikut :

a) Untuk memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran maupun pendapat-pendapat

khususnya dalam penemuan asas-asas, konsep-konsep, dan teori-teori yang

berhubungan dengan permasalahan ini.

b) Untuk menambah ruang lingkup ilmu pengetahuan hukum secara umumnya, dan

secara khususnya hukum perusahaan mengenai aspek-aspek terkait perseroan

yang selama ini telah banyak mengalami perkembangan.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut

:

a) Memberikan informasi dan konstribusi yang dapat dijadikan masukan bagi

pemerintah dalam rangka melaksanakan amanat Undang – Undang Nomor 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas serta Undang – Undang Nomor 8 Tahun

1995 Tentang Pasar Modal terutama untuk menegaskan kedudukan hukum

pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan khususnya perseroan go public.

b) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi terhadap perusahaan –

perusahaan dan masyarakat serta notaris (dalam hal ini notaris pasar modal)

sebagai sumbangan pemikiran atau lebih baik lagi sebagai pemecahan suatu

masalah hukum bagi masyarakat khususnya mengenai kedudukan hukum

pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.

1.6 Landasan Teoritis/Kerangka Pemikiran

1.6.1 Landasan Teoritis

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih atau pengaturan

fakta dengan cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada

umumnya dapat diuji secara empiris11

. Menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono, teori adalah :

seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan

saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena

yang digambarkan oleh suatu variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar

variable tersebut12

.

Selanjutnya menurut pendapat Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang

terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan

fenomena yang diamati13

. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada

metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori. Kerangka teori

merupakan dasar fundamental dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau

memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah

kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau

tidak disetujui, oleh karena itu dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep –

konsep dan asas - asas yang berhasil diidentifikasi dan dikemukakan untuk mendukung

penelitian yang sedang dilakukan maka semakin tinggi pula derajat kebenaran yang bisa dicapai.

11 Burhan Ashofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 19

12 Netti, 2011, “Analisis Yuridis Pernikahan Sirri Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 11, mengutip dari Maria

S. W. Sumardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Peneltian, PT. Gramedia, Yogyakarta, hal. 19,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33701/5/Chapter% 20I.pdf, diakses pada tanggal 16 Februari 2016

13 Mohammad Birowo Karnan, 2012, “Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah

Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 14, mengutip dari Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, 2002,

Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 34-35,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32619/4/Chapter% 20I.pdf, diakses pada tanggal 30 November 2015

Setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena

itu ada hubungan timbal balik yang sangat erat antara teori dengan kegiatan pengolahan data,

analisa serta konstruksi data. Dalam menganalisa bahan hukum dalam penelitian ini akan

digunakan teori perlindungan hukum, teori keadilan, dan teori kepastian hukum.

1.6.1.1 Teori Perlindungan Hukum

Awal mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum

alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan

Zeno (pendiri aliran Stoic)14

. Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum

Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan

terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai

kepentingan di lain pihak15

. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan

manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia

yang perlu diatur dan dilindungi16

. Secara gramatikal perlindungan artinya sesuatu yang dapat

melindungi sesuatu lainnya. Menurut Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, rumusan pengertian

teori perlindungan hukum adalah teori yang mengkaji dan menganalisis tentang wujud atau

bentuk atau tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi serta objek perlindungan yang

diberikan oleh hukum kepada subjeknya17

.

14 Larisa Muchdani Batubara, 2012, “Perlindungan Hukum Terhadap Lembaga Perbankan Untuk Menjadi

Kreditur Dalam Menerima Hak Jaminan Resi Gudang” Tesis Universitas Sumatera Utara, hal. 12,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34365/4/Chapter%25201.pdf, diakses pada tanggal 30 November

2015

15 Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 53

16

Ibid, hal. 69

17

Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 263

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari

konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia karena menurut sejarah

dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi

manusia ditujukan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan

pemerintah. Aspek dominan dalam konsep barat tentang hak asasi manusia mengutamakan

eksistensi hak dan kebebasan yang melekat pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu,

hak tersebut berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan bersifat mutlak

sehingga tidak dapat diganggu gugat. Mengacu pada konsep ini, maka sering kali dilontarkan

kritik bahwa konsep barat tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik.

Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi serta hak kultural, terdapat

kecenderungan mulai melunturnya sifat indivudualistik dari konsep barat tersebut.

Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia, landasannya

adalah Pancasila yang merupakan ideologi dan falsafah negara. Konsepsi perlindungan hukum

bagi rakyat di barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”.

Perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat

dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila18

. Prinsip perlindungan hukum terhadap

tindak pemerintah sejatinya mengacu dan bersumber dari konsep pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi menusia secara tidak langsung

mengarah pada pembatasan-pembatasan dan perumusan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

18 Setiono, 2004, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas

Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu

ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada

dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingan masyarakat. Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan

itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum19

.

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang

mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan

diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,

termasuk penanganannya di lembaga peradilan20

.

Dalam perlindungan hukum preventif, subyek hukum memiliki kesempatan untuk

mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah memperoleh

bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum

preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan

bertindak. Perlindungan hukum yang represif memiliki fungsi untuk menyelesaikan sengketa.

Penanganan perlindungan hukum oleh pengadilan umum dan peradilan administrasi di Indonesia

termasuk dalam kategori perlindungan hukum represif. Prinsip perlindungan hukum terhadap

tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

19 Ibid, hal. 54

20

Maria Alfons, 2010, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal

Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal. 18

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep

tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia ditujukan kepada

pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari

perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan

dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan yang utama dan dapat dikaitkan

dengan tujuan dari negara hukum.

Hukum Indonesia yang berlandaskan pancasila sesungguhnya memiliki tujuan untuk

memberikan perlindungan kepada seluruh warga negara termasuk didalamnya pemegang saham

minoritas. Secara umum konsep perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas

terpaku pada gugatan derivatif yang merupakan wujud dari perlindungan hukum represif. Tidak

adanya perlindungan hukum preventif dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan

pincangnya perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Teori perlindungan

hukum ini ditujukan untuk mengupas kedua permasalahan dalam penelitian ini.

1.6.1.2 Teori Keadilan

Keadilan merupakan sebuah konklusi yang ingin dicapai oleh setiap penyelesaian suatu

permasalahan. Semua negara di dunia ini pasti menginginkan masyarakatnya memperoleh

kehidupan yang sejahtera tentunya hal ini diperoleh dengan menegakan keadilan yaitu dengan

hukum. Dalam penegakannya, hukum seringkali melahirkan berbagai pandangan yang

menyebabkan perbedaan persepsi akan keadilan. Hal itulah yang melahirkan keadilan substantif

dan keadilan prosedural.

Keadilan substantif ini menolak pandangan legalisme, yaitu pandangan yang

menganggap hukum yang diciptakan adalah sempurna dalam artian apa yang dikatakan oleh

hukum maka itulah keadilan. Keadilan substantif menganggap bahwa legalisme yang

sesungguhnya tidaklah mungkin, karena semua penerapan kaidah-kaidah hukum yang umum dan

abstrak pada perkara-perkara konkret merupakan suatu ciptaan hukum baru. Putusan seorang

hakim tidak dapat diturunkan secara serta merta dari peraturan-peraturan yang berlaku, karena

peraturan itu dibuat oleh manusia, mungkin juga salah atau kurang tepat, sehingga dapat

menimbulkan ketidakadilan. Keadilan substanif disini merupakan upaya untuk mencari keadilan

dalam arti yang sesungguhnya dengan mengesampingkan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Sesungguhnya keadilan substantif ini cukup sulit diperoleh karena Indonesia adalah

negara hukum yang segala keputusannya harus mengacu pada norma tertulis. Sedikit harapan

untuk mendapatkan keadilan substantif adalah melalui azas rechtfinding hakim yaitu hakim

diberikan kebebasan untuk menemukan dan menentukan hukum baru namun hal ini sulit

diimplementasikan.

Keadilan prosedural adalah suatu bentuk pandangan akan keadilan dimana keadilan

tersebut hanya mengacu pada suatu kaidah hukum. Keadilan prosedural ini merupakan

implementasi hukum sejati yang selalu mengacu pada norma-norma tertulis. Di Indonesia segala

permasalahan yang diselesaikan melalui jalur litigasi selalu berakhir dengan putusan pengadilan

yang mengacu pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat sejalan dengan konsep

negara hukum yang dianut oleh Indonesia. Jika mengacu kembali pada konstitusi khususnya sila

kedua yang berbunyi “kemanusiaan yang adil dan beradab”, secara sederhana hal ini berarti

masyarakat Indonesia harus hidup dengan dinaungi oleh keadilan dan cara memperoleh keadilan

tersebut adalah dengan membangun hukum yang baik. Seluruh masyarakat Indonesia harus

memperoleh keadilan tidak terkecuali pemegang saham minoritas. Dalam suatu perseroan

berlaku sistem one share one vote yaitu satu saham satu suara. Hal ini melemahkan posisi

pemegang saham minoritas karena dengan seperti itu maka kepemilikan saham para pemegang

saham minoritas yang notabene sedikit pasti akan dikalahkan oleh para pemegang saham

mayoritas yang memiliki banyak saham. Hal ini sering terjadi tatkala suatu perseroan ingin

mengambil suatu keputusan terkait perseroan tersebut.

Mengacu pada permasalahan tersebut sesungguhnya pemegang saham minoritas tidak

memperoleh keadilan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa ada 2 macam keadilan yaitu

keadilan substantif dan keadilan prosedural, maka dapat dilihat bahwa pemegang saham

minoritas tidak memperoleh keadilan sama sekali. Didalam UUPT, dijelaskan bahwa pemegang

saham minoritas dapat mempertahankan haknya hanya dengan melakukan gugatan derivatif,

begitu juga undang-undang tersebut tidak mengatur tentang tata cara pengambilan keputusan

dalam suatu RUPS secara musyawarah mufakat. Hal ini berarti undang-undang tersebut

menggiring perseroan di Indonesia untuk melaksanakan sebuah sistem yang akhirnya

melemahkan posisi pemegang saham minoritas.

UUPT tidak dapat mengimplementasikan nilai keadilan procedural bagi pemegang saham

minoritas karena regulasinya hanya mengacu pada penyelesaian melalui jalur litigasi yaitu

gugatan derivatif tanpa memberikan solusi preventif yang dapat mengurangi potensi kerugian

bagi para pemegang saham minoritas. Tentunya untuk dapat memberikan keadilan procedural

bagi para pemegang saham minoritas perlu sebuah konstruksi hukum dalam UUPT tersebut agar

para pemegang saham minoritas dapat dilindungi haknya melalui norma tertulis yang dapat

dijadikan acuan bagi pengadilan karena jika tidak ada norma tertulis yang mengatur maka tidak

akan diperoleh keadilan prosedural, jadi jika keadilan procedural saja tidak dapat diperoleh maka

keadilan substantif yang merupakan esensi dari keadilan tidak akan mungkin terpenuhi.

Menurut John Rawls, teori keadilan memiliki inti sebagai berikut:

1. Memaksimalkan kemerdekaan.

2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun

kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”).

3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan.

Untuk meberikan jawaban atas hal tersebut, Rawls melahirkan 3 (tiga) prinsip kedilan, yang

sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:

1. Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle)

2. Prinsip perbedaan (differences principle)

3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle21

).

Berdasarkan prinsip yang dikemukakan Rawls maka jelas disini untuk memperoleh

keadilan haruslah memperhatikan persamaan kesempatan. Dalam konteks pemegang saham

minoritas dalam perseroan go public, maka sejatinya pemegang saham minoritas juga memiliki

hak untuk menjabat dalam suatu perseroan karena berdasarkan prinsip persamaan kesempatan

tersebut. Teori ini sangat berkorelasi dengan teori keadilan Antonio D’Amato yang

mengemukakan bahwa “keadilan hanya dapat diperoleh dari ketidakadilan”. Teori ini

memberikan makna bahwa ketidakadilan yang dirasakan oleh pemegang saham minoritas akan

menghadirkan keadilan bagi pemegang saham minoritas di masa depan. Tentunya ketidakadilan

yang dirasakan pemegang saham minoritas tersebut segera dituntaskan, sehingga akan

menghadirkan suatu hukum baru yang mampu memberi keadilan bagi pemegang saham

minoritas. Teori keadilan disini dapat dijadikan acuan untuk mengupas permasalahan khususnya

21 Bur Rasuanto, 2005, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas; Dua Teori Filsafat

Politik Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 78

permasalahan pertama yang bertujuan untuk mencari solusi yang dapat dilakukan oleh pemegang

saham minoritas untuk mempertahankan haknya.

1.6.1.3 Teori Kepastian Hukum

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah sebuah pernyataan

yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan

tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk manusia yang bersifat memaksa.

Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu

bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat

dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan

pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum22

.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 nilai dasar, yaitu sebagai berikut

:

1. Kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis.

2. Keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan

adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan

3. Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau utility23

).

22

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 158.

23

Riduan Syahrani, 2012, “Aspek Hukum Sita Material Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan”, Tesis Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 20,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33623/4/Chapter%25201.pdf, diakses pada tanggal 30 November

2015

Ketiga nilai dasar tersebut merupakan ide dasar hukum sehingga dapat dipersamakan

dengan asas hukum24

. Ketiga nilai dasar tersebut yang mendekati realistis adalah kepastian

hukum dan kemanfaatan hukum. Seperti yang dikemukakan bahwa “summum ius, summa

injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali

keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan

tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan25

.

Kepastian hukum merupakan tonggak awal untuk membangun suatu negara negara

hukum. Mengkonstruksikan sebuah undang-undang merupakan konsekuensi dari konsep negara

hukum. Di Indonesia telah banyak undang-undang yang digunakan untuk menata kehidupan di

masyarakat. Hadirnya suatu undang-undang menjadi penting ketika terjadi suatu permasalahan.

Adanya undang-undang atau norma lain akan menghadirkan sebuah jawaban atas permasalahan

yang timbul, oleh karena itu untuk mewujudkan tujuan negara hukum yang dicita-citakan

tersebut, maka hukum yang dikonstruksikan haruslah sesuai dan mampu mengakomodir segala

aspek. Kepastian hukum dapat dikatakan terpenuhi ketika suatu peraturan dibuat dan

diundangkan secara pasti telah mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan

keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian saling berkorelasi antara norma yang satu

dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang

ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku

manusia baik individu, kelompok maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang

sudah digariskan oleh aturan hukum.

24 Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk

Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana, Jakarta, hal. 288

25

Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,

Yogyakarta, hal.59

Dalam hukum perseroan kepastian hukum ini seakan telah terpenuhi dengan adanya

UUPT, namun apabila kita telisik lebih dalam ternyata didalam UUPT ini tersirat kelemahan

yaitu menyangkut perlindungan hukum terhadap pemegang saham minoritas. Sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya, kepastian hukum dalam UUPT hanya menyangkut upaya represif

bagi pemegang saham minoritas untuk mempertahankan haknya yaitu dengan melakukan

gugatan derivatif. Gugatan derivatif merupakan upaya awal sekaligus upaya akhir yang dapat

dilakukan pemegang saham minoritas dalam mempertahankan haknya. Dibutuhkan sebuah

konstruksi norma untuk mengakomodir dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Teori

kepastian hukum sangat relevan digunakan karena penelitian ini beranjak dari kekosongan

hukum sehingga dapat digunakan untuk mengupas kedua permasalahan dalam karya ilmiah ini.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum

normatif mengingat bahwa permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tepatnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan

hukum (vacuum norm). Metode Penelitian Hukum Normatif merupakan metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

yang ada26

.

Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum

sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai azas –

azas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal.13

(pendapat para ahli)27

. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu

proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun doktrin –

doktrin hukum (pendapat para ahli) untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi28

.

Menurut pendapat saya metode penelitian hukum normatif adalah sebuah metode penelitian

hukum yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum terkait dogmatika hukum

dengan memanfaatkan bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier.

1.7.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum normatif, ada 7 jenis pendekatan yang dapat digunakan untuk

mengupas permasalahan dalam penelitian hukum yaitu pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical & conceptual approach),

pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta

(fact approach), pendekatan frasa ( words & phrase approach),dan pendekatan perbandingan

(comparative approach), akan tetapi secara khusus untuk penelitian atas permasalahan seperti

yang telah dipaparkan diatas dapat digunakan 2 jenis pendekatan antara lain :

1.7.2.1 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute

approach), dimana analisis dalam penelitian ini didasarkan pada norma hukum positif yang

berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer, terutama Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan beberapa peraturan perundang-undangan

yang memiliki relevansi dengan rumusan permasalahan. Pendekatan perundang-undangan ini

27 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, hal.34

28

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal.35

digunakan karena perlu dilakukan kajian terhadap undang-undang terkait untuk menganalisa

permasalahan khususnya pada rumusan masalah pertama untuk melihat sejauh mana norma

tersebut memberikan manfaat terhadap masyarakat khususnya berkaitan dengan hak-hak

pemegang saham minoritas dalam perseroan go public.

1.7.2.2 Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Legal Analitical & Conseptual Approach)

Dalam penelitian ini juga digunakan pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical

& conseptual approach) terkait kedudukan hukum pemegang saham minoritas dalam perseroan

go public sebagai pedoman dalam menyelesaikan rumusan permasalahan yang kedua karena

setiap pengambilan keputusan dalam suatu perseroan sebaiknya melalui proses persesuaian

kehendak/musyawarah mufakat sebagaimana pada saat mendirikan perseroan tersebut.

Mengingat bahwa penelitian yang dilakukan beranjak dari kekosongan hukum, maka sangat

relevan menggunakan pendekatan analisis konsep hukum (legal analitical & conseptual

approach) untuk memecah permasalahan sehingga memberikan dampak positif bagi Perseroan

Terbatas di Indonesia khususnya bagi pemegang saham minoritas.

1.7.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa sumber dalam pengumpulan bahan

hukum untuk menunjang penelitian antara lain :

a) Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum pokok yang bersifat

mengikat. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah

peraturan perundang-undangan, maupun peraturan-peraturan lainya yang ada

kaitannya dengan permasalahan tersebut, antara lain :

- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

b) Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan sebuah

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang

digunakan dalam penelitian ini adalah buku teks hukum (legal text book), Jurnal

hukum, karya tulis hukum terkait yang memuat pandangan/pendapat para ahli

hukum baik dalam bentuk buku maupun yang dimuat dalam media masa dan

media elektronik yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c) Bahan hukum tersier adalah data yang memberikan petunjuk serta penjelasan

yang menunjang data primer dan data sekunder, antara lain : kamus hukum,

ensiklopedia hukum.

Dalam penelitian ini dimuat pula beberapa bahan hukum yang diperoleh dari media

internet yang berkembang dengan pesat dewasa ini seperti misalnya definisi-definisi terkait

permasalahan yang diteliti.

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum adalah teknik bola salju atau

yang lebih sering disebut dengan Snow Ball Technique, yaitu mencari/mengumpulkan bahan

hukum dari bahan hukum yang ada dan begitu seterusnya. Seperti yang diketahui bahan hukum

primer yang fundamental dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal.

Kedua undang-undang inilah yang menjadi kunci untuk menemukan sumber/bahan hukum

lainnya. Selanjutnya bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku, jurnal hukum dan karya

ilmiah lainnya ditemukan secara berkelanjutan. Pencarian bahan hukum sekunder melalui snow

ball technique sangat efektif mengingat bahwa sebuah sumber utama/kunci sangat banyak

memuat daftar pustaka buku-buku yang memiliki relevansi untuk membedah permasalahan

dalam penelitian ini. Buku-buku yang relevan sebagaimana yang tertera dalam daftar pustaka

tersebut kemudian dicari dan digunakan sebagai referensi dalam melengkapi sumber bacaan

dalam penelitian ini. Proses tersebut terus berlanjut hingga sumber bacaan yang ditetapkan telah

terpenuhi.

1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian ini teknik analisis bahan hukum yang

digunakan adalah sebagai berikut :

a) Teknik Deskripsi, adalah teknik dasar analisis dengan memaparkan secara apa

adanya suatu kondisi, peristiwa, pendapat-pendapat maupun proposisi-proposi

terkait permasalahan yang diteliti.

b) Teknik Konstruksi, adalah teknik analisis yang bertujuan membangun semacam

konstruksi yuridis dengan melakukan analogi (perbandingan kesamaan) maupun

pembalikan proposisi (acontrario).