bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id dessy...pengembangan ekonomi global.pada...

49
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia, menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia, dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia. 1 Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan hidup mandiri. 1 Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170

Upload: tranquynh

Post on 19-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setelah Perang Dunia II berakhir, konsentrasi masyarakat telah berpusat pada

pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah

menunjukkan pengembangan ekonomi yang cukup pesat, namun juga membawa

suatu permasalahan baru yang serius yaitu kesenjangan ekonomi yang semakin tajam

antara kesejahteraan dan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara maju dengan

negara-negara berkembang. Negara maju terdiri dari 20 persen penduduk dunia,

menikmati sekitar ⅔ penghasilan dunia. Sementara negara-negara berkembang yang

berpopulasi 50 persen dari penduduk dunia, menikmati sekitar ⅛ pendapatan dunia,

dan negara-negara miskin yang berpenduduk sekitar 30 persen dari penduduk dunia

hanya menikmati 3 persen dari pendapatan dunia.1

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, berdasarkan penjelasan di

atas hanya menikmati ⅛ dari pendapatan dunia. Ketimpangan ini membuat

Pemerintah Indonesia termotifasi untuk semakin menggiatkan perekonomian

Indonesia. Salah satu cara untuk menggiatkan perekonomian tersebut adalah dengan

menunjang kaum yang ekonominya lemah agar dapat memperbaiki ekonominya dan

hidup mandiri.

1 Bulajic, Milan, 1998, Principles of International Development Law, Martinus Niijhoff

Publishers, The Netherlands, page. 20-23, dikutip dari Lili Rasjidi, Wyasa Putra, 2003, Hukum

Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, Hal.170

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

2

Koperasi didirikan untuk melakukan usaha perbaikan tingkat kehidupan

ekonomi dari orang-orang yang berasal dari kelompok pekerja atau orang-orang yang

jatuh miskin sebagai akibat pelaksanaan sistem kapitalisme.2 Koperasi dipandang

sebagai usaha yang dapat membantu perbaikan tingkat kehidupan ekonomi

dikarenakan pada hakikatnya Koperasi membantu berdasakan asas tolong menolong.

Dikemukakan oleh Mohammad Hatta dalam bukunya The Cooperative Movement in

Indonesia bahwa:

koperasi adalah melambangkan harapan bagi kaum yang lemah ekonominya

berdasarkan self-help dan tolong menolong di antara anggota-anggotanya yang

melahirkan di antara mereka rasa percaya pada diri sendiri dan persaudaraan.

Koperasi menyatakan semangat baru untuk menolong diri sendiri yang didorong

oleh keinginan member jasa kepada kawan berdasarkan kebersamaan.3

Secara etimologi, koperasi berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu

cooperatives: merupakan gabungan kata co dan operation. Dalam bahasa Belanda

disebut cooperatie, yang artinya adalah kerja bersama. Dalam bahasa Indonesia

dilafalkan menjadi koperasi.4

Sedangkan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian memberikan definisi koperasi sebagai badan usaha yang

beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

2Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Banemay, 2005, Hukum Koperasi

Indonesia; Pemahaman, Regulasi, Pendirian dan Modal Usaha, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, Hal. 14 3Ibid, hal. 19 4Ibid, hal. 15

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

3

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat

yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.

Gerakan ekonomi kerakyatan yang berdasarkan atas asas kekeluargaan ini

juga dicantumkan dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945 yaitu:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan;

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat

hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

(3) Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Asas kekeluargaan menjadi faktor yang penting dalam membangun

perekonomian bagi masyarakat karena mementingkan kepercayaan yang diberikan

sesama anggota dalam memberikan modal usaha sehingga dapat membantu

pengembangan perekonomiannya.

Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan

Pengembangan Perkoperasian dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia pada

saat itu untuk mempermudah perijinan pendirian Koperasi. Dikeluarkannya Inpres

Nomor 18 Tahun 1998 ini berdampak terhadap banyaknya jumlah koperasi yang ada

di Indonesia. Inpres Nomor 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan

wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas

usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah.5

5Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, 2002, Perkoperasian Sejarah, Teori dan Praktek,

Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.109

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

4

Koperasi, khususnya Koperasi Simpan Pinjam (yang selanjutnya disebut

KSP) merupakan jenis koperasi yang hampir menyerupai bank. Hal ini dikarenakan

KSP juga menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam

bagi para anggota koperasi yang berangkutan serta kepada koperasi lain dan

anggotanya Untuk dapat melakukan kegiatan tersebut tentunya KSP juga harus

mengikuti persyaratan-persyaratan yang ada untuk mendirikan suatu koperasi dan

apabila nantinya KSP tersebut akan melakukan kegiatan perbankan, maka koperasi

tersebut haruslah mendapat ijin/persetujuan dari Pimpinan Bank Indonesia terelebih

dahulu.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak koperasi yang tidak menjalankan

usahanya dengan menggunakan asas kekeluargaan. Koperasi yang mengusung

membantu perekonomian masyarakat miskin malah bergerak hanya untuk mencari

keuntungan saja dan melupakan tujuan untuk mensejahterakan seluruh anggota

koperasi. Dalam prakteknya banyak terdapat koperasi, khususnya koperasi simpan

pinjam di Indonesia yang anggotanya hanya mendaftarkan KTP-nya saja dan tidak

menyetor seluruh simpanan yang diwajibkan. Atau dengan kata lain, KTP tersebut

hanya formalitas dibalik pemodal utama yang merupakan aktor dibelakang layar yang

mengendalikan koperasi. Koperasi Simpan Pinjam juga dinilai sebagai korporasi di

mana koperasi terkadang hanya mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan

tidak jarang pula mencari keuntungan tersebut dengan cara yang tidak sesuai dengan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

5

AD/ART Perkoperasian. Dan tidak jarang koperasi tersebut juga menyimpan dana

pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat

Contoh diatas menunjukkan salah satu tindak pidana yang dapat dilakukan

oleh koperasi yaitu tindak pidana perbankan terkait perijinan yang jelas-jelas

melanggar Pasal 1 ayat 2 UU No.7/1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan yang

menerangkan bahwa hanya insitintusi perbankan yang diperbolehkan untuk

menyimpan dana pihak ketiga dan menyalurkan kredit ke masyarakat.6

UU No.7/ 1992 jo.UU No. 10/1998 tentang Perbankan menguraikan jenis-

jenis atau bentuk-bentuk tindak pidana perbankan yang diklasifikasikan ke dalam 13

jenis tindak pidana dengan unsur dan penerapan yang berbeda satu dengan yang

lainnya. Dari ketiga belas jenis tindak pidana perbankan tersebut, pada dasarnya

dapat dikelompokkan kembali menjadi 5 kelompok utama, yaitu sebagai berikut:

1. Tindak Pidana yang berkaitan dengan perizinan

2. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank

3. Tindak pidana yang berkaitan dengan sikap dan/atau tindakan yang dilakukan

oleh pengurus bank, pegawai bank, pihak terafiliasi, dan pemegang saham

bank.

4. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan bank

5. Tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia bank7

Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan ini diatur dengan tegas dan

jelas dalam UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan pada Pasal 16,

6 I Gede Hartadi Kurniawan, 2013, Tindakan Koperasi Simpan Pinjam yang Mengakibatkan

Perbuatan Tindak Pidana, dikutip dari http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Lex/article/view/348,

diakses pada tanggal 26 Januari 2015 7Kristian, dan Yopi Gunawan, 2013, Tindak Pidana Perbankan, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung,

Hal.44

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

6

Pasal 18, dan Pasal 20. Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992

tentang Perbankan disebutkan bahwa “setiap pihak yang melakukan kegiatan

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu

memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari

Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari

masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sedangkan tindak

pidana yang berkaitan dengan pendirian bank tanpa izin (bank gelap) dapat

ditemukan dalam Pasal 46 UU No. 10/1998 jo. UU No.7/ 1992 tentang Perbankan

menyatakan bahwa:

(1) Barangsiapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa

izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal

16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau

koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik

terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang

bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Penjabaran Pasal 46 UU No. 7/1992 jo. UU N. 10/1998 tentang Perbankan tersebut

menjelaskan bahwa Koperasi juga dapat dikatakan melakukan tindak pidana

perbankan terkait perizinan dan yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah bagi

mereka yang memberi perintah maupun yang bertindak sebagai pimpinan. Sehingga

dalam pasal ini secara tersirat menjabarkan bahwa Koperasi merupakan bagian dari

Korporasi dan juga sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

7

Berbeda halnya dengan UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, koperasi

masih belum dapat dikatakan sebagai subyek hukum yang dapat dikenakan pidana.

Hal ini dikarenakan dalam UU No.25/1992 tentang Perkoperasian tidak mengatur

mengenai sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada koperasi apabila melakukan

suatu tindak pidana. Koperasi hanya dikenakan sanksi administratif yaitu pembubaran

sesuai dengan ketentuan Pasal 46-56 UU No.25/1992 tentang Perkoperasian. Dimana

dalam Pasal 47 ayat (1) UU No.25/1992 tentang Perkoperasian disebutkan bahwa:

(1) Keputusan pembubaran oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 huruf b dilakukan apabila:

a. Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak memenuhi

ketentuan Undang-undang ini;

b. Kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;

c. Kelangsungan hidupnya tidak dapat lagi diharapkan.

Penjelasan pasal tersebut menunjukkan bahwa menurut UU No.25/1992 tentang

Perkoperasian, Koperasi tidak dipandang sebagai subyek hukum pidana sehingga

tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana khususnya kepada pihak-

pihak individu yang menggerakkan koperasi. Jadi apabila koperasi melakukan suatu

tindak pidana maka UU Perkoperasian hanya dapat memberikan sanksi administratif

saja yaitu pembubaran koperasi sebagai badan hukum.

Koperasi sebagai badan hukum/ korporasi juga masih menuai pro dan kontra.

Terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa koperasi berbeda dengan korporasi. Hal

ini sering disebutkan dalam berbagai literatur dikarenakan koperasi memiliki cara

kerja serta interaksi internal dan eksternal yang khusus dan berbeda dengan badan

usaha lainnya. Namun pada kenyataanya Koperasi saat ini juga sering dipandang

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

8

sebagai suatu Korporasi. Hal ini dikarenakan dalam UU No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian dinyatakan bahwa Koperasi merupakan badan usaha yang

beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat

yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Sedangkan Korporasi menurut Pasal 1 UU

No. 31/1999 jo UU No.20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

adalah kumpulan orang dan/ kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum serta dalam Pasal 1 butir 13 UU No. 5/1997

tentang Psikotropika menyebutkan pengertian korporasi adalah kumpulan yang

terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun

bukan. Apabila dilihat dari unsur-usur yang terdapat dalam pengertian Koperasi dan

Korporasi yang telah disebutkan di atas, maka akan terlihat persamaan yaitu pada

unsur sekumpulan orang atau badan hukum.

Seperti yang tercantum dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan, dalam Pasal 46 ayat (2) disebutkan bahwa “badan hukum yang berbentuk

perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi”, kalimat tersebut

menyiratkan bahwa koperasi pun merupakan korporasi dan dapat melakukan

pertanggungjawaban sebagai korporasi sehingga tindak pidana yang dilakukan oleh

Koperasi dianggap sebagai tindak pidana korporasi pula. Pertanggung Jawaban

Pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana pada

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

9

seseorang pembuat tindak pidana.8 Hal seperti itu juga diatur dalam Pasal 46 UU

No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang Perbankan, dimana subyek hukum yang

dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya terkait tindak pidana perbankan

berkaitan dengan perizinan adalah bagi mereka yang memberi perintah atau yang

bertindak sebagai pempimpin dalam melakukan perbuatan menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpananan tanpa izin Pimpinan Bank Indonesia. Bilamana

koperasi adalah korporasi maka koperasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

apabila koperasi tersebut melakukan tindak pidana.

Sayangnya, dalam menjatuhkan pidana bagi Kopersi Simpan Pinjam yang

melakukan tindak pidana perbankan akan mengalami kesulitan karena adanya

perbedaan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian dengan UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, koperasi yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan

kegiatannya bertentangan dengan ketertiban umum maka koperasi tersebut hanya

dikenakan sanksi administratif berupa pembubaran. Hal ini sangat jauh berbeda

dengan sanksi yang dicantumkan dalam UU No.7/ 1992 jo. UU No. 10/1998 tentang

Perbankan yang memberikan sanksi pidana kepada Pengurus/Pemimpin

Perusahaan/Koperasi yang dalam hal ini kalau koperasi yang melakukan tidak pidana

perbankan maka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak

8 Chairul Huda, 2006,Dari‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.64

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

10

sebagai pimpinan dalam perbuatan atau terhadap kedua-duanya harus bertanggung

jawab. Konflik norma ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam

memberiakan keadilan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat apabila terdapat

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal inilah membuat penulis

tertarik untuk mengkaji dan meneliti lebih lanjut mengenai “Pertanggungjawaban

Pidana Koperasi Dalam Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin”

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana

perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi?

2. Siapakah yang bertanggungjawab bilamana koperasi melakukan tindak pidana

perbankan tanpa ijin?

1.3.Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi hanya pada dalam hal

pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin

yang dilakukan oleh koperasi, serta siapa yang bertanggungjawab dalam hal

koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin.

1.4.Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

11

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis siapakah yang

bertanggungjawab dalah hal koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa

ijin.

1.4.2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum di atas dan dengan menekankan pada aspek

normatifnya, maka tujuan khusus dari penelitian ini sesuai dengan permasalahan

yang dibahas yakni:

1. Untuk menganalisis dan mendeskripsikan pertanggungjawaban pidana

bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan

oleh koperasi,

2. Untuk menganalisis dan mengkritisi, siapa pihak yang

bertanggungjawab dalam hal koperasi melakukan kegiatan tindak

pidana perbankan tanpa ijin.

1.5.Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia

akademis,yaitu dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam Hukum

Pidana yang berkaitan dengan pengisian hukum dan penegakan hukum

terhadap pertanggungjawaban pidana bilamana terjadi tindak pidana

perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

12

1.5.2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

kepada Pemerintah, maupun peneliti sendiri. Dimana hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan rekomendasi bagi seluruh

pihak-pihak yang berkepentingan untuk konsisten terhadap komitmen dalam

menjaga dan memberikan solusi yang tepat dan adil dalam penanganan

koperasi yang melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin. Hal ini ditujukan

agar kedepannya tidak ada konflik norma antara peraturan perundang-

undangan yang ada sehingga Hakim kedepannya dapat memberikan

keputusan yang seadil-adilnya bagi semua pihak yang mencari keadilan.

Selain itu diperlukannya suatu peraturan yang jelas mengenai Koperasi yang

melakukan tindak pidana perbankan agar kedepannya tidak ada lagi

kerancuan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.

1.6.Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan dan beberapa studi empiris yang

ada kaitannya dengan permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Koperasi Dalam

Tindak Pidana Melakukan Kegiatan Perbankan Tanpa Ijin, belum pernah dilakukan

oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Akan tetapi permasalahan mengenai

pertanggungjawaban pidana korporasi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,

antara lain

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

13

Pertama, penelitian Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anggota

Penyimpan Dana Pada Koperasi Credit Union Khatulistiwa Bakti Pontianak oleh

Blasius Andjioepada Program Magister Hukum Universitas Tanjungpura pada Tahun

2013. Tesis ini mengkaji tentang bagaiamana hubungan hukum antara anggota

penyimpan dana dengan Koperasi CU Khatulistiwa Bakti Pontianak dihubungkan

dengan perlindungan hukum terhadap anggota penyimpan dana pada Koperasi CU

Khatulistiwa Bakti serta bagaimana pelaksanaan sistem pengaturan aktivitas usaha

simpan pinjam pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti. Penelitian dalam Tesis ini

berpusat pada Koperasi CU Khatulistiwa Bakti, dimana Koperasi ini merupakan salah

satu Koperasi Simpan Pinjam yang ada di Kalimanatan Barat, dan dalam kenyataanya

Koperasi ini menawarkan berbagai bentuk simpanan dan pinjaman bagi para

anggotanya sehingga dapat dilihat bahwa Koperasi CU Khatulistiwa Bakti secara

tidak langsung melakukan kegiatan Perbankan. Namun Blasius mengkaji lebih dalam

mengenai bagaimana perlindungan bagi nasabah yang menyimpan uangnya di

Koperasi CU Khatulistiwa Bakti karena takut dikemudian hari dana yang mereka

simpan tersebut akan hilang yang salah satunya dikarenakan adanya penipuan dari

koperasi simpan pinjam tersebut.

Kedua adalah Tesis oleh Orpa Ganefo Manuain, Universitas Diponegoro

Semarang, Tahun 2005, yang menganalisis tentang Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi. Penelitian ini mengarah pada pengkajian

mengenai sistem hukum pidana yang dianut oleh KUHP Indonesia tidak mengenal

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

14

korporasi sebagai subyek hukum. namun dalam perkembangannya ternyata bahwa

hukum pidana yang tersebar di luar KUHP sudah menerima korporasi sebagai subyek

hukum. di Indonesia hal ini diawali dengan lahirnya UU No 7/Drt/1995 tentang

Tindak Pidana Ekonomi yang kemudian disusul oleh peraturan pidana khusus lainnya

seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 31 Tahun 1999 jo UU No

20 Tahun 2001).

Adapun berdasarkan hal tersebut, dalam tesis ini permasalahan yang diangkat

adalah: bagaiamana formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)

korporasi dalam tindak pidana korupsi, dan bagaimana sebaiknya formulasinya di

masa yang akan datang.

Perbedaan signifikan antara tesis diatas dengan penelitian yang dibuat oleh

peneliti adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.

Tesis ini mengangkat mengenai apakah korporasi dapat dipertanggungjawabkan sama

dengan manusia dalam hal tindak pidana korupsi. Dimana dalam penelitiannya

ditemukan bahwa formulasi aturan pemidanaan (pertanggungjawaban pidana)

korporasi dalam tindak pidana korupsi terdapat kelemahan-kelemahan sebagai

berikut: dalam merumuskan kapan korporasi melakukan tindak pidana korupsi tidak

dijelaskan pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”, tidak diatur pemberatan

pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam

Pasal 2 ayat (2); tidak diatur pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh

korporasi. Selain itu juga terdapat kelemahan umum dari UUPTPK yang berpengaruh

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

15

terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu: tidak diaturnya pengertian

pemufakatan jahat menurut UUPTPK, dan syarat-syarat pengulangan tindak pidana

korupsi (residive) menurut UUPTPK. Berdasarkan hal tersebut maka dalam tesis ini

juga menjelaskan bahwa untuk prospeknya di masa yang akan datang, UUPTPK

harus memformulasikan: pengertian “hubungan kerja” dan “hubungan lain”,

pemberatan pidana untuk korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana

diatur dalam Pasal 2 ayat (2); pidana pengganti denda yang tidak dibayar oleh

korporasi; pengertian pemufakatan jahat; dan syarat-syarat pengulangan tindak

pidana korupsi.

Ketiga, Tesis mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam

Penyelesaian Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh M. Yusufidli

Adhyaksana,SH pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, Tahun 2008.

Dalam penelitian ini permasalahan yang diangkat adalah bagaiamana pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana penyelesaian kasus BLBI dan

penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Perbedaan yang jelas dalam tesis ini dengan penelitian yang dibuat oleh peneliti

adalah dalam penelitiandiatas menjelaskan bahwa hukum positif di Indonesia yang

berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang relevan dengan kasus

BLBI, pada saat itu tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi. Oleh

karena itu, semua kasus BLBI yang menggunakan proses peradilan pidana,

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

16

didasarkan pada pertanggungjawaban perorangan, yang pada umumnya adalah para

pengurus atau pemegang saham atau orang yang memegang peranan penting dalam

beroperasinya korporasi debitur BLBI tersebut. Dengan demikian konstruksi

penyidikan dan penuntutan perkara BLBI didasarkan pada perbuatan Individu, dan

tidak berorientasi pada pertanggungjawaban pidana korporasi itu sendiri. Selain itu

dalam penelitian ini juga dibahas mengenai perbandingan KUHP Indonesia dengan

KUHP di Perancis, Firlandia, Norwegia, dan Australia, dimana dalam KUHP negara-

negara tersebut telah diatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi,

sehingga selain pegurus atau pejabat korporasi lannya dapat dipidana, terhadap

korporasi itu sendiri akan dikenakan pertanggungjawaban pidana korporasi.

Berdasarkan penjabaran singkat dari tesis-tesis tersebut di atas, maka dapat dilihat

bahwa penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak pidana

melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin belum pernah dilakukan sehingga penelitian

ini dapat dilakukan oleh peneliti.

1.7.Landasan Teoritis

1.7.1. Landasan Teoritis

Ada asumsi yang menyatakan, bahwa bagi suatu penelitian, maka teori

mempunyai beberapa kegunaan yaitu sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih

mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

17

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-

definsi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut obek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh

karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan

mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa

mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan

pada pengetahuan peneliti.9

Maka berdasarkan kegunaan tersebut teori sangat diperlukan dalam suatu

penelitian agar dicapainya kesimpulan yang kongkrit dan baik. Landasan teori

merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu permasalahan

(problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin

disetujui ataupun tidak disetujui.10 Adapun dalam penelitian ini tidak hanya teori

yang digunakan untuk mencari kesimpulan yang sebaik-baiknya,terdapat pula

asas-asas, konsep-konsep hukum, serta doktrin yang memiliki korelasi yang erat

dengan permasalahan yang dibahas yaitu Pertanggungjawaban Pidana Koperasi

Dalam Tindak Pidana Perbankan Tanpa Ijin.

Dalam penelitian ini digunakan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Apabila

membicarakan pertanggungjawaban pidana korporasi maka asas yang paling erat

kaitannya adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan (Green Straf Zonder Schuld

atau Nulla Poena Sine Culpa). Kesalahan merupakan asas yang fundamental

9 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, Hal.121 10 Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h.

81.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

18

dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan

menggema dalam hampir semua ajaran dalam hukum pidana.11Menurut Sudarto,

dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi

seseorang yang melakukan suatu kesalahan yang melanggar rumusan delik yang

ada atau ketentuan perundang-undangan tidaklah dikatakan cukup untuk dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jadi meskipun pelakunya memenuhi

rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan (anobjective breach

of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk

menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang

yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective

guild). Permasalahan pertanggungjawaban koperasi sebagai korporasi pelaku

tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat pelaku tindak

pidana adalah korporasi atau badan hukum. Mens rea sebagai unsur yang sulit

dibuktikan dari korporasi yang dianggap melakukan tindak pidana mengingat

korporasi hanya bisa melakukan tindakan melalui organ direksi. Korporasi bisa

dianggap melakukan tindak pidana berdasarkan perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang mengontrol pengurusan korporasi.12 Apabila pengurus korporasi

11 Muladi dan Dwidja Priyanto, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Prenada Media,

Jakarta, Hal.99-100

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

19

melakukan suatu kesalahan atau bersalah dengan mengatasnamakan perbuatannya

sebagai perbuatan dari korporasi maka korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana.

Untuk menyelesaikan konflik norma yang terjadi dalam UU Perkoperasian

dan UU Perbankan, maka diperlukan asas-asas lainnya seperti asas lex specialis

derograt legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya mengalahkan

peraturan yang lebih umum) dan asas lex posteriori derograt legi priori

(peraturan perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-

undangan yang lama) juga terkait dalam penelitian ini.

UU Perkoperasian sebagai peraturan yang khusus dipandang sebagai

acuan utama dalam berjalannya suatu koperasi, namun apabila koperasi tersebut

telah melakukan tindak pidana perbankan maka UU Perbankan sebagai peraturan

yang lebih khusus, apalagi dalam UU tersebut telah diatur mengenai koperasi

yang dapat melakukan kegiatan perbankan maka UU Perbankan dapat dikatakan

lebih khusus dalam menangani permasalahan ini.

Sama halnya dengan asas lex posteriori derograt legi priori (peraturan

perundang-undangan yang baru mengalahkan peraturan perundang-undangan

yang lama), UU No.25/1992 tentang Perkoperasian, saat ini belum mengalami

perubahan. Sedangkan kehidupan sosial di masyarakat terus mengalami

perubahan menyebabkan terkadang suatu peraturan perundang-undangan tidak

dapat mengikuti perubahan yang cepat tersebut. Lain halnya dengan UU

12 Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

PT Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 263

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

20

No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang Perbankan yang telah mengalami

perubahan. UU Perbankan ini lebih mampu mengikuti perkembangan yang terjadi

di dalam masyarakat khususnya mengenai tindak pidana perbankan tanpa ijin

yang dilakukan oleh koperasi. Sebagai peraturan yang lebih baru, tentu saja UU

Perbankan akan dirasa lebih mampu untuk menyelesaikan tindak pidana

perbankan yang dilakukan oleh Koperasi saat ini.

Mengarah pada Konsep-konsep hukum yang digunakan dan relevan dalam

penelitian ini karena memiliki hubungan dengan permasalahan yang dibahas

adalah adalah Konsep Tindak Pidana dan Konsep White Collar Crime (Kejahatan

Kerah Putih). Konsep tindak pidana ini telah dirumuskan oleh banyak ahli hukum

pidana. Moeljatno mengartikan tindak pidana sebagai: Perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum larangan mana disetai ancaman (sanksi) yang berupa

pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar hukum tersebut.13 Selain itu,

beliau juga mengungkapkan dengan substansi yang sama bahwa tindak pidana

adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa

melanggar larangan tersebut.14

Sedangkan sering sekali dalam berbagai literatur disebutkan bahwa

kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk dari kejahatan kerah putih

(white collar crime). Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah

“kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial

13 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, Hal. 59 14 Moeljatno, 1983, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bina Akasara, Jakarta,

Hal.11

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

21

yang tingi dalam menjalankan jabatannya”.15 Definisi dari Sutherland ini

memfokuskan kepada dua hal yakni, pelaku kejahatan dan status sosial yang

tinggi dari pelaku kejahatan. Konsep ini berkaitan dengan pertanggungjawaban

pidana koperasi karena tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh

koperasi dikarakteristikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam

kapasitasnya sebagai orang yang dipandang terhormat dan dipercaya dalam

memimpin suatu perkumpulan/ badan hukum tersebut.

J Kelly Strader mengemukakan bahwa terdapat tiga parameter untuk

menentukan apakah kejahatan tertentu dikategorikan sebagai kejahatan kerah

putih atau tidak, yaitu pertama status sosial pelaku, dimana pelaku kejahatan

kerah putih bukanlah orang-orang dengan status ekonomi sosial rendah.

Contohnya seperti manager suatu perusahaan, dimana orang tersebut memiliki

status sosial yang tinggi serta kemampuan ekonomi yang tinggi pula. Kedua sifat

dari perbuatan. Sifat yang dimaksudkan adalah sifat sang pelaku kejahatan kerah

putih haruslah memiliki kemampuan teknis dan pengetahuan yang professional.

Ketiga pertimbangan pertimbangan praktis dimana kejahatan kerah putih ini tidak

terkait dengan penggunaan kekerasan, bukanlah kejahatan langsung yang

ditujukan kepada pemilik barang, berbeda dengan kejahatan terorganisir, serta

tidak terkait dengan wilayah kebijakan tertentu seperti imigrasi, hak-hak sipil

15 Ellen S. Podgor, 2007, “The Challenge of White Collar Sentencing”, Journal of Criminal Law

and Criminology, Vol.9, Page 735, dikutip dari Mahrus Ali,2013, Asas-Asas Hukum Pidana

Korporasi, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, Hal. 22

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

22

warga negara serta keamanan nasional.16 White collar crime digambarkan sebagai

tindakan illegal yang mengarah pada hal-hal yang tidak tampak atau tipu

muslihat, untuk mengeruk keuntungan atau kekayaan dalam usaha atau bisnis.

Hal-hal ini dapat dilihat pada koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan

khususnya tindak pidana perbankan terkait perijinan.

Doktrin yang dipergunakan adalah doktrin respondeat superior, yaitu

suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri tidak dapat melakukan

kesalahan. Dalam hal ini, hanya orang-orang korporasi yang dapat melakukan

kesalahan, yakni mereka yang bertindak atas nama korporasi. Oleh sebab itu

orang-orang yang bertindak atas nama korporasi saja yang dapat melakukan

kesalahan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.17

Penelitian ini juga menggunakan putusan hakim/ yurisprudensi yang

terkait pertanggungjawaban koperasi dalam tindak pidana perbankan tanpa ijin.

Adapun yurisprudensi tersebut adalah Putusan Nomor: 31/PID.B/2013/PN.MTR

Pengadilan Negeri Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana,SE.,

mengenai kasus tindak pidana perbankan terkait perijinan yang dilakukan oleh

Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati. Dalam Putusan Pengadilan ini,

Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan menyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan dan dihukum

dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar

16Ibid, Hal 24-25 17 Kristian, 2014, Hukum Pidana Korporasi; Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, CV. Nuansa Aulia, Bandung hal.54

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

23

Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Terdakwa terbukti bersalah karana

terbukti melanggar Pasal 46 ayat (1) UU No.7/1992 jo. UU No.10/1998 tentang

Perbankan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP.

Selain menilik pada asas, konsep, doktrin para sarjana, serta yurisprudensi

dalam mengupas permasalahan dalam penelitian ini digunakan beberapa teori,

antara lain Teori Hukum Progresif, Teori Harmonisasi Hukum, Teori

Pertanggungjawaban Pidana (direct corporate criminal liability, strict liability,

dan vicarious liability), serta Teori Badan Hukum. Teori Badan Hukum dan Teori

Harmonisasi Hukum, Teori Pertanggungjawaban Pidana digunakan dalam

memecahkan permasalahan dalam hal bagaimana pertanggungjawaban pidana

bilamana terjadi tindak pidana perbankan tanpa ijin yang dilakukan oleh koperasi.

Sedangkan dalam permasalahan pihak yang bertangggungjawab bilamana

koperasi melakukan tindak pidana perbankan tanpa ijin dengan Teori

Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Hukum Progresif.

1. Teori Harmonisasi Hukum

Harmonisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan

sebagai upaya mencari keselarasan18. Kata harmonisasi sendiri berasal dari

kata harmoni yang dalam bahasa Indonesia berarti pernyataan rasa, aksi,

gagasan, dan minat: keselarasan, keserasian. Sedangkan dalam Bahasa

18 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.64

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

24

Inggris, harmoni dapat diartikan dengan harmonize, dalam bahasa Perancis

disebut dengan Harmonie, dan dalam bahasa yunani disebut Harmonia.

Harmonize dalam buku Jean.L diartikan sebagai “a fitting together,

agreement, to exist in peace and friendship as individuals or families (1)

combination of parts into an orderly or proportionate whole (2) agreement

in feeling, idea, action,interest, etc.19 Berdasarkan penjabaran diatas ditarik

kesimpulan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah

upaya untuk menselaraskan peraturan perundang-undangan agar menjadi

proposional dan bermanfaat bagi kepentingan bersama atau masyarakat.

Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam buku yang disusun oleh

Moh. Hasan Wargakusumah dan kawan-kawan, menyatakan bahwa

harmonisasi hukum adalah kegiatan ilmiah untuk menuju proses

pengharmonisan tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis,

sosiologis, ekonomis, maupun yuridis.20 Nilai filosofis adalah ketika suatu

kaedah hukum sudah sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif

yang tertinggi. Nilai yuridis adalah apabila persyaratan formal

terbentuknya peraturan perundang-undangan telah terpenuhi. Nilai

sosiologis yaitu efektivitas atau hasil guna peraturan perundang-undangan

19 Jean L. McKechnie, 1983, Websters New Twentieth Century Dictionary Unabridge, Second

Edition, Page. 828

20 Moh. Hasan Wargakusumah, dkk, 1996, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodelogi

Harmonisasi Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia RI, Jakarta, Hal.2

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

25

dalam kehidupan masyarakat.21 Dan nilai ekonomi yaitu substansi

peraturan perundang-undangan hendaknya disusun dengan memperhatikan

efisiensi dalam pelaksanaan ketentuan dalam peraturan perundang-

undangan.

Dalam negara hukum, UUD 1945 harus menjadi acuan dalam

penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini maka

sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum

untuk membingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun

menjadi sebuah sistem. Setiap norma hukum dalam sistem ini tidak boleh

mengesampingkan atau bahkan bertentang dengan norma hukum lainnya.

Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya harus tersusun

secara hierarki dan tidak boleh salin bertentangan di antara norma-norma

hukumnya baik secara vertikal maupun horizontal. Sehingga, apabila

terjadi konflik norma maka acuannya akan tetap tunduk pada norma

logisnya yaitu norma-norma yang dasar yang ada dalam konstitusi.

Karektiristik dari norma yang bersumber pada norma dasar itu

meliputi prinsip konsistensi dan legitimasi. Di mana suatu norma hukum

tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai masa belakunya

diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau

digantikan norma lain yang diberlakukan oleh suatu sitem hukum itu

21 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

Hal.109

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

26

sendiri. Maka dalam karakteristik tersebut berlaku asas-asas/ prinsip-

prinsip lex posteriori derograte legi priori (peraturan perundang-undangan

yang baru mengesampingkan peraturan perundangan-undangan yang

terdahulu), lex superior derograte legi inferiori (peraturan yang lebih

tinggi tingkatanya mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), dan lex

specialis derograte legi generali (peraturan yang lebih khusus sifatnya

mengalahkan peraturan yang lebih umum).

Dalam kaitan harmonisasi hukum, menurut UU No.10/20014

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah memberikan

pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal

18 ayat (2) disebutkan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan

pemantapan konsepsi rencangan undang-undang yang berasal dari presiden

dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang

peraturan perundang-undangan. Adapun menteri yang dimaksud dalam

Pasal 18 ayat (2) tersebut adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut maka dapat dilihat

secara jelas bahwa harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini bertujuan agar norma-

norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan

secara vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

27

lain. Harmonisasi hukum ini juga sangat diperlukan agar meminimalisir

judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

2. Teori Badan Hukum

Selain manusia, badan hukum juga dipandang sebagai subyek hukum.

Badan hukum adalah segala sesuatu yang berdasarkan kebutuhan

masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban,

yang memiliki status personel seperti manusia. Status ini yang

menentukan hak dan kewajibannya, termasuk keberadaan dan berakhirnya

badan hukum itu. Jadi yang termasuk orang menurut hukum adalah

manusia dan badan hukum.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, badan hukum adalah suatu badan

yang disamping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam

hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan perhubungan

hukum terhadap orang lain atau badan lain.22Sedangkan Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang

bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta

kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).23

Menurut Von Savigny, meskipun syarat-syarat dalam peraturan hukum

yang melekat pada manusia tidak ada pada badan hukum, namun badan

22 P.N.H Simanjuntak, 2009, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, Hal.

28-29 23Ibid

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

28

hukum boleh dianggap seolah-olah manusia.24Hal ini terdapat dalam

pandangan penganut teori fiksi, dimana badan hukum disamakan dengan

manusia hanya saja sebagai perumpamaan (fiksi) saja. Sehingga perbuatan

hukum yang dalam pelaksanaannya memerlukan jiwa manusia, seperti

ketakutan dalam suatu paksaan tidak berlaku bagi badan hukum. Negara-

negara, korporasi-korporsi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat

menjadi subyek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah

badan-badan itu manusia.25

Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal

(natuurlijkpersoon) timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam

pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Manusia selain mempunyai

kepentingan perseorangan juga mempunyai kepentingan bersama dan

tujuan bersama yang harus diperjuangkan pula, karenanya mereka

berkumpul untuk bersatu dalam suatu organisasi dan memilih

pengurusnya untuk memimpin mereka. Mereka juga memasukkan harta

kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan

peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku di kalangan mereka

anggota organisasi tersebut.

24 Komariah, 2002, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, Hal. 23-24 25 Hamzah Hatrik, 1996, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strick

Liability dan Vicarious Liability), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hal. 30

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

29

H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu

badan hukum dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar

suatu badan dapat dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:

1) Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang

terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan

itu. Tegasnya ada pemisahan kekayaan perusahaan dengan

kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;

2) Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama;

3) Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.26

Ketiga unsur tersebut merupakan unsur material (substansif) bagi suatu

badan hukum. Kemudian persyaratan lainnya adalah persyaratan yang

bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu

badan adalah badan hukum.

Selain teori fiksi yang telah disebutkan diatas, terdapat pula teori

kekayaan bertujuan, teori organ, teori kekayaan bersama, dan teori

kekayaan yuridis. Teori kekayaan bertujuan adalah teoriyang mana hanya

manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum. Namun ada kekayaan

(vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan

itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyai dan

terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum.

26H.M.N Purwosutjipto, 1982, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2, Djambatan,

Jakarta, Hal.63 dalam Ridwan Khairandy, 2009, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-

Undangan, dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, Hal.10

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

30

Teori organ ini dikemukakan oleh sarjana Jerman, Otto von Gierke

(1948-1921). Menurut teori ini badan hukum itu seperti manusia, menjadi

penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum yaitu ‘eine

leiblichgeistige lebensein heit’. Badan hukum itu menjadi suatu

‘verbandpersoblich keit’ yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya

dengan perantaran alat-alat atau organ-organ badan tersebut misalnya

anggota-anggotanya atau pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan

kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan

tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang mereka

putuskan, adalah kehendak dari badan hukum. Dengan demikian, menurut

teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-

benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak

bersubyek, tetapi badan hukum itu suatu organisme yang riil, yang hidup

dan bekerja seperti manusia biasa.

Lain halnya dengan teori organ, menurut teori kekayaan bersama hak

dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban

para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah milik

bersama seluruh anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut

merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan

badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi

yuridis saja. Pada hakikatnya badan hukum itu sesuatu yang abstrak. Teori

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

31

ini berpendapat bahwa yang dapat menjadi subyek-subyek hak badan

hukum adalah manusia-manusia yang secara nyata ada dibelakangnya,

anggota-anggota badan hukum, dan mereka yang mendapat keuntungan

dari suatu yayasan.

Terakhir, teori kenyataan yuridis, badan hukum itu merupakan suatu

realitas, konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi

suatu kenyataan yuridis. Dengan kata lain, badan hukum dipersamakan

cdengan manusia adalah suatu realita yuridis, yaitu suatu fakta yang

diciptakan oleh hukum. Jadi adanya badan hukum itu karena ditentukan

oleh hukum sedemikian rupa. Sebagai contoh, koperasi merupakan

kumpulan yang diberi kedudukan sebagai badan hukum setelah memenuhi

persyaratan tertentu, tetapi firma bukan merupakan badan hukum, karena

hukum di Indonesia menuntukan demikian (vide Pasal 18 KUH Dagang)

3. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban atau yang di kenal dengan konsep “liability”

dalam segi falsafah hukum, seorang filosof besar abad ke-20, Roscoe

Pound menyatakan bahwa : I…Use simple word “liability” for the

situation whereby one may exact legally and other is legally subjeced to

the exaction.”27 Pertangungjawaban pidana di artikan Pound adalah

27Roscoe Pound, “ introduction to the phlisophy of law” dikutip dari Romli Atmasasmita,2000,

Perbandingan Hukum Pidana.Cet.II, Mandar Maju, Bandung, Hal.65

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

32

sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima

pelaku dari seseorang yang telah dirugikan,28 menurutnya juga bahwa

pertanggungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut

masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai

moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Pertanggungjawaban Pidana dalam berbagai peraturan perundanng-

undangan hanya dikenakan kepada orang/manusia. Hal ini dikarenakan

adanya pandangan hanya manusia alamiah sebagai subyek hukum pidana

yang dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan

hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.29

Pertanggungjawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai

“toereken-baarheid,” “criminal reponsibilty,” “criminal liability,”

pertanggungjawaban pidana disini di maksudkan untuk menentukan

apakah seseorang tersebut dapat di pertanggungjawabkan atasnya pidana

atau tidak terhadap tindakan yang dilakukanya itu. 30

Perbuatan pidana menurut Roeslan Saleh mengatakan, orang yang

melakukan perbuatan pidana dan memang mempunyai kesalahan

merupakan dasar adanya pertanggungjawaban pidana. Asas yang tidak

28Ibid

29 Dwidja Priyatno dan Muladi, dikutip dari Kristian, Op.Cit, Hal.40

30 S.R Sianturi . 1996, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni,

Jakarta, Hal.245

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

33

tertulis mengatakan, “tidak di ada pidana jika tidak ada kesalahan,”

merupakan dasar dari pada di pidananya si pembuat.31

Mengenai kemampuan bertanggungjawab sebenarnya tidak secara

terperinci di tegaskan oleh pasal 44 KUHP. Hanya di temukan beberapa

pandangan para sarjana, misalnya Van Hammel yang mengatakan, orang

yang mampu bertanggungjawab harus memenuhi setidaknya 3 (tiga)

syarat, yaitu :

1. Dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam alam

kejahatan,

2. Dapat menginsafi bahwa perbuatanya di pandang tidak patut

dalam pergaulan masyarakat,

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap

perbuatan tadi.32

Sementara itu secara lebih tegas, Simons mengatakan bahwa

mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan

hukumnya perbuatan dan sesuai dengan ke insafan itu menentukan

kehendaknya.33Adapun menurut Sutrisna, untuk adanya kemampuan

beranggungjawab maka harus ada dua unsur yaitu :

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang

baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan

hukum;

31 Djoko Prakoso, 1987, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Pertama, Liberty

Yogyakarta, Hal.75

32 Sutrisna, I Gusti Bagus,“Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana ( Tijauan terhadap

pasal 44 KUHP),” dikutip dari Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana

,Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal. 79 33Ibid

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

34

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut

keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.34

Kemampuan bertanggungjawab dengan kata lain berkaitan dengan

dua faktor terpenting, yakni pertama faktor akal untuk membedakan

antara perbuatan yang di perbolehkan dan yang di larang atau melanggar

hukum, dan kedua faktor perasaan atau kehendak yang menetukan

kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh

kesadaran.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa khususnya untuk

pertanggungjawaban dari badan hukum (Korporasi), asas kesalahan tidak

mutlak berlaku.35 Dalam kejahatan tindak pidana perbankan, dikenal tiga

model pertanggungjawaban pidana Korporasi, yaitu Identification Theory,

strict liability, dan vicarious liability.

Direct Corporate Liability atau Identification Theory membenarkan

bahwa suatu korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana, baik

sebagai pembuat atau peserta untuk setiap delik, meskipun diisyaratkan

adanya mens rea dengan menggunakan asas identifikasi. Menurut teori

ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui

pimpinan dan diidentifikasikan sebagai perbuatan dari perusahaan atau

badan hukum atau korporasi itu sendiri, dengan demikian maka perbuatan

34Ibid, Hal. 83 35 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2007, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, Hal.

140

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

35

pimpinan tersebut dipandang sebagai perbuatan korporasi. Jadi apabila

suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana makan orang

yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasikan

terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru dapat benar-benar

dibebankan kepada orang yang dapat disebut sebagai “directing mind”

dari korporasi tersebut.

Dalam teori identifikasi, perbuatan pidana atau tindak pidana yang

dilakukan oleh pimpinan suatu perusahaan atau korporasi

diidentifikasikan sebagai perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Teori ini disebut juga sebagai teori atau doktrin “alter ego” yang dapat

diartikan sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi yaitu hanya

perbuatan pejabat senior atau otak korporasi yang dapat

dipertanggungjawabkan kepada korporasi.36 Hal ini dikarenakan hanya

pejabat senior atau ketua, dalam halnya koperasi, yang dapat

mengendalikan suatu perusahaan atau korporasi secara sendiri atau

bersama-sama yang dalam hal ini dipandang sebagai pengendali

perusahaan atau korporasi.

Berbeda halnya dengan Identification theory, Strict Liability dalam

prinsipnya menyatakan pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan

tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak

36 Barda Nawawi Arief, 2010, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Hal. 246

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

36

pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa Strict Liability

atau Absolute Liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan

tetapi meniadakan asas kesalahan.37

Hamzah Hatrik mendefinisikan bahwa Strict Liability adalah

pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang

dalam hal ini sim pembuat sudah dapat dipidana jika ia telah

melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah

dirumuskan secara tegas dalam undang-undang tanpa melihat lebih

jauh sikap batin si pembuat.38

Terakhir, Vicarious Liability didasarkan pada prinsip employment

principle. Yang dimaksud dengan employment principle dalam hal ini

bahwa majikan (employer) adalah penaggungjawab utama dari perbuatan

para buruh atau karyawannya. Sutan Remy Sjahdeini selaras dengan apa

yang dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief yang mengistilahkan

konsep pertanggungjawaban ini dengan istilah “pertanggungjawaban

pengganti”. Ia juga menyatakan bahwa ajaran “vicarious liability”, atau

yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah

“pertanggungjawaban vikarius atau pertanggungjawaban pengganti”,

adalah pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,

misalnya oleh A ke B.39

Selanjutnya dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari

teori tersebut yaitu Direct Corporate Liability/ Identification Theory dan

37Kristian S.H, Op.Cit, Hal.58 38Ibid, Hal.61 39 Sutan Remi Sjahdeini, 2006, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, Hal.

84

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

37

Vicarious Liability. Hal ini dikarenakan Koperasi sebagai salah satu

badan hukum, dapat melakukan pertanggungjawaban pidana dikarenakan

adanya struktur kepengurusan yang mengatur jalannya koperasi.

4. Teori Hukum Progresif

Secara etimologi, kata “progresif” berasal dari kata progress dari

Bahasa Inggris yang berarti kemajuan. Jika kata ‘hukum’ dan kata

‘progresi’ digabung, maka dapat diartikan bahwa hukum hendaknya

mampu mengikuti perkembangan zaman agar mampu melayani

kepentingan masyarakat berdasarkan aspek moralitas sumber daya para

penegak hukum. Sedangkan apabila hukum progresif dihubungkan

dengan penafsiran hukum, maka dapat diartikan bahwa penafsiran

progresif memahami proses hukum sebagai proses pembebasan terhadap

suatu konsep kuno yang tidak dapat digunakan dalam melayani

kehidupan masa kini.40 Kekuatan hukum progresif (penafsiran) adalah

ketentuan untuk menolak dan mematahkan keadaan status quo.41

Hukum tertulis saat ini tidak dapat mengikuti perkembangan yang

terjadi di kehidupan masyarakat karena hukum tertulis bersifat kaku

sedangkan perkembangan dalam masyarakat terjadi sangat cepat.

40Sajipto Rahardjo, 2009, Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Press,

Yogyakarta, Hal.128 41I Gede Wiranata, ed.et.al, 2006, Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas Media Nusantara,

Jakarta, Hal.114

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

38

Disinilah pentingnya peran hakim untuk mengisi kekosongan hukum

akibat ketertinggalan hukum dari perubahan masyarakat, karena kalau

tidak akan mengakibatkan adanya ketegangan.42

Dalam menghadapi problematika ini, Satjipto Rahardjo

memunculkan gagasan hukum progresif. Progresif berasal dari kata

progress yang berarti kemajuan. Gagasan hukum progresif bertolak dari

pandangan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu ilmu. Oleh

karenanya hukum tidak hanya dianggap selesai setelah tersusun sebagai

peraturan perundang-undangan dengan kalimat-kalimat yang sangat rapi

dan sistematis, namun hukum harus selalu mengalami proses pemaknaan

sebagai sebuah pendewasaan atau pematangan.43

Sebagaimana prinsip-prinsip hukum yang terkandung dalam

berbagai teori hukum atau aliran hukum, hukum progresif juga memiliki

prinsip utama, yaitu ‘hukum adalah untuk manusia dan bukan

sebaliknya,...dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan

untuk suatu yang lebih luas, yaitu,...untuk harga diri manusia,

kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia’44.

Karena hukum mengabdi untuk manusia bukan mengabdi pada

hukum itu sendiri, maka karakter hukum progresif sebagai berikut.

42Soerjono Soekanto, 2006, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Hal. 21-23 43 Mahrus Ali, 2013, Membumikan Hukum Progresif, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, Hal. 7 44I Gede Wiranata, Op.Cit, Hal. 154

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

39

Pertama, hukum progresif mengantarkan masyarakat pada sebuah

paradigma bahwa hukum ditujukan untuk manusia. Hukum bukan

merupakan pusat dalam berhukum, melainkan manusia yang berada di

titik pusat perputaran hukum.45 Kedua hukum progresif tidak menerapkan

status quo dalam berhukum. Konsekuensi penerapan status quo dalam

berhukum yakni hukum menjadi tolak ukur dalam segala aspek dan

manusia adalah untuk hukum. Peranan manusia disini merupakan

konsekuensi terhadap pilihan untuk tidah berpegangan secara mutlak

kepada teks formal suatu peraturan. Cara berhukum yang penting untuk

mengatasi suatu stagnasi adalah dengan membebaskan diri dari dominasi

yang membuta kepada teks undang-undang. Cara seperti ini bisa

dilakukan, apabila unsur manusia atau perbuatan manusia dilibatkan

dalam berhukum.

Ketiga, hukum progresif berpihak terhadap keadilan yang pro

rakyat. Prinsip keadilan yang pro rakyat ini dapat dijadikan ukuran untuk

menghindari agar progresivitas yang terkandung dalam hukum progresif

tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal

negatif lainnya,46 sehingga hukum progresif dapat mengantarkan

masyarakat kepada keadilan dan kesejahteraan. Keempat, hukum

progresif berasumsi bahwa hukm tidak bersifat final, dengan kata lain

45Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Kompas, Jakarta, Hal.139 46Shidarta, 2010, Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat

Hukum (Sebuah Diagnosis Awal), Jakarta, Hal.4

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

40

hukum selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the

making). Dengan demikian, hukum progresif peka dan tanggap dalam

setiap perubahan di tengah masyarakat yang bersifat dinamis (dynamic

society) sehingga hukum progresf siap menghadapi perubahan tersebut

tanpa melakukan kewajibannya yakni melindungi rakyat menuju ideal

humu.

Kelima, Hukum progresif berusaha membangun negara hukum

yang berhati nurani dengan kecerdasan spritual. Cara menghukum dengan

nurani tidak hanya berdasarkan logika tetapi diiringi dengan modalitas

kenuranian seperti empati, kejujuran, komitmen, dan keberanian.47

Hukum progresif dijalankan dengan kecerdasan spritual yang tidak

dibatasi suatu patokan tertentu (rule bound) dan hanya bersifat

kontekstual, tetapi lebih bersifat out of the box dari situasi yang ada dalam

usaha mencari kebenaran makna atau nilai yang lebih dalam.

Hakim yang berpikir progresif berani untuk mengambil inisiasi rule

breaking jika hukum normatif sudah tidak bisa menciptakan keadilan.

Menurut Satjipto Rahardjo, ada tiga cara untuk melakukan rule breaking,

yaitu:

1. Mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari

keterpurukan hukum

2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru

dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum.

47Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif..., Op.Cit, Hal.18

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

41

3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika

saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan keterlibatan

(compassion) kepada kelompok yang lemah.48

1.7.2. Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka

berpikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Berpikir Penelitian

48Yusriyadi, dikutip oleh Suteki, Rekam Jejak Pemikiran Hukum Progresif Prof. Dr. Satjipto

Rahardjo, SH, diambil darihttp://mitrahukum.orgdiakses tanggal 12 Juli 2014

Pertanggungjawaban Pidana Koperasi dalam Tindak Pidana Perbankan

Tanpa Ijin

Maraknya tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh koperasi menjadi suatu

permasalahan yang mendalam mengingat semakin hilangnya asas kekeluargaan

dalam koperasi di Indonesia saat ini. Namun dalam pertanggungjawabannya

pidana koperasi saat ini terdapat konflik norma yaitu dalam Pasal 46 UU

Perbankan yang memberikan sanksi pidana bagi pengurus koperasi dan Pasal

47 UU Perkoperasian yang hanya memberikan sanksi administratif kepada

koperasi dan tidak memberikan sanksi kepada pengurus koperasi.

Bagaimana pertanggungjawaban

pidana bilamana terjadi tindak

pidana perbankan tanpa ijin yang

dilakukan oleh koperasi

Siapakah yang bertanggungjawab

bilamana koperasi melakukan

tindak pidana perbankan tanpa ijin

Teori Pertanggungjawaban Pidana,

Teori Hukum Progresif Teori Badan Hukum, Teori

Pertanggungjawaban Pidana, Teori

Harmonisasi Hukum

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

42

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

‘Metode’ itu dalam arti harafiahnya berarti ‘cara’. Sedangkan

Penelitian adalah suatu kegiatan bersengaja dan bertujuan serta pula

berprosedur alias bermetode. Dengan demikian apa yang disebut ‘metode

penelitian’ ini tak lain daripada ‘cara mencari (dan menemukan

pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu

masalah)’.49

Morin L. Cohen dan Kent memberikan definisi tentang penelitian

hukum sebagai berikut:

"legal research is an essential component of legal practice. It is proses

of finding the law that thefoverns an actifity and materials that explain or

analys that law. The Resources give the lawyer the knowledge with wich

orovide accurate and insightful advise to draft effective document or

devent their client right in court"50

Artinya:

49 Sulistowati Irianto dan Shidarta, 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Hal 96-97 50 Morin L. Cohen and Kent C. Olson; 2000, "Legal Research", 7 ed, West Group, St. Paul Minn.

Virginia, Page 1

Hasil Penelitian :

Pertanggungjawaban pidana koperasi bilamana terjadi tindak pidana perbankan

tanpa ijin dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban pidana korporasi sehingga

pihak yang dapat bertanggungjawab adalah pengurus/pimpinan koperasi yang

bertindak atas nama koperasi dan menggerakan koperasi tersebut. Dalam

pertanggungjawaban pidana koperasi sebagai korporasi masih terdapat konflik

norma dalam UU Perkoperasian dengan UU Perbankan yang dapat diselesaikan

dengan asas lex posteriori derograt legi priori, sehingga UU Perbankan sebagai

UU yang lebih baru dapat digunakan sebagai landasarn hukum dalam mengadili

koperasi yang melakukan tindak pidana perbankan terkait perijinan.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

43

Penelitian hukum adalah salah satu komponen dari praktek hukum

yang meliputi proses penemuan hukum dan yang menentukan suatu

kegiatan dan menjelaskan substansi atau analisis hukum. Dalam hal ini

penelitian hukum memberikan sumber pengetahuan kepada praktisi

hukum untuk memberikan ketepatan informasi yang cukup untuk

membuatu suatu dokumen atau pembelaan terhadap hak-hak kliennya di

pengadilan.

Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran

tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu dan beberapa gejala

hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.51

Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa

penelitian hukum normatif merupakan suatu proses untuk menemukan

suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.52 Amiruddin

dan H. Zinal Asikin berpandangan bahwa penelitian hukum normatif

disebut juga penelitian hukum doctrinal karena dikonsepkan sebagai apa

yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (Law in

51 Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 18 52 Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.

35

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

44

books).53Sedangkan penelitian hokum empiris menurut Mukti Fajar dan

Yulianto Ahmad adalah penelitian hukum yang pada kenyataannya dibuat

dan diterapkan oleh manusia yang hidup dalam masyarakat.54Penelitian

hukum empiris ini berpusat pada peranan masyarakat disekitarnya,

keadaan sosial masyarakat dan perilaku masyarakat yang terkait dengan

lembaga hukum.

Dalam penelitian pertanggungjawaban pidana koperasi dalam tindak

pidana melakukan kegiatan perbankan tanpa ijin, tipe penelitian yang

digunakan adalah penelitian hukum normatifatau penelitian hukum

dogmatik (dogmatic law research) atau penelitian doktrinal. Hal ini

dikarenakan dalam penelitian ini diinginkan suatu kesimpulan yang

mengarah pada penemuan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum

yang dihadapi.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan bagian

pokok dari penegakan hukum. Oleh karena itu, pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan yang berorientasi pada pendekatan kasus

53 Amiruddin & H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta, Hal. 118. 54 Fajar Mukti & Yulianto Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil Komunika,

Yogyakarta, Hal. 32.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

45

(case approach), pendekatan historis (historical approach) dan

perundang-undangan (statute approach). Pendekatan kasus didasarkan

pada semakin bermunculannya tindak pidana perbankan yang dapat

dilakukan oleh koperasi yang melanggar peraturan perundang-undangan

(UU Koperasi dan UU Perbankan). Selain itu pendekatan perundang-

undangan juga digunakan karena dalam penelitian ini akan dikaji secara

detail dan jelas mengenai perundangan-undangan yang terkait dengan

penyelesaian permasalahan tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh

koperasi.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang

memiliki kekuatan mengikat.55 Adapun bahan hukum tersebut berupa

Peraturan Perundang-Undangan seperti:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

55 H. Salim & Erlies Septiana Nurnani, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan

Disertasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 16

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

46

4. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil,

dan Menengah

5. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 7/PER/M.KUKM/IX/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman

Pengembangan Koperasi Skala Besar.

6. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 21/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman

Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam

Koperasi

7. Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Nomor 20/PER/M.KUKM/XI/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman

Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan

Pinjam Koperasi.

8. Putusan Nomor: 31/ PID.B/2013/PN.MTR Pengadilan Negeri Kelas

IA Mataram, dengan terdakwa Ida Bagus Gede Wiradnyana, SE

mengenai kasus tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh

Koperasi Simpan Pinjam Karya Mandiri Sejati.

Bahan hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum yang dapat

memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder

yang dipergunakan dalam penelitian ini seperti hasil penelitian, hasil karya

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

47

para pakar dibidang hukum baik dalam buku-buku maupun literatur, tesis,

disertasi, jurnal, makalah, majalah dan Koran.

Bahan hukum tersier juga digunakan dalam penelitian ini seperti

ensikopledia dan kamus hukum yang dapat menunjang dan memperjelas

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan bahan hukum

berupa studi kepustakaanyang merupakan bahan hukum utama penelitian

yang dikumpulkan melalui metode sistematis dengan dicatat melalui sistem

kartu (card system) guna untuk lebih memudahkan analisis permasalahan.

Adapun bahan-bahan tersebut yang dicatat dalam kartu antara lain

permasalahannya, asas-asas, argumentasi, implementasi yang ditempuh,

alternatif pemecahannya dan lain sebagainya. Kemudian mengenai

kepustakaan yang dominan dipergunakan adalah kepustakaan dalam bidang

hukum pidana khususnya Hukum Pidana Khusus dan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana

koperasi dalam tindapk pidana melakukan kegiatan perbankan terkait

perijinan.

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

48

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul,

penelitian ini menggunakan teknik analisis deskripsi, teknik argumentasi, dan

teknik analisis interpretasi. Teknik deskripsi yaitu penggambaran/uraian apa

adanya tehadap suatu kondisi atau posisi dari proposi-proposi hukum atau non

hukum. Dalam teknik argumentasi diberikan penilaian terhadap bahan hukum

dari hasil penelitian untuk selanjutnya ditemukan kesimpulannya. Sedangkan

teknik interprestasi digunakan sebagai penafsiran dalam ilmu hukum baik

dalam penelitian ini digunakan penafsiran secara sistematis dengan menelaah

apakah penjelasan dalam UU Perbankan dapat menyelesaikan kasus tindak

pidana perbankan yang dilakukan oleh Koperasi, serta penafsiran ekstensif

dimana yang dimaksud adalah penafsiran memperluas, yaitu memperluas

pengertian atau istilah yang ada dalam suatu undang-undang.56 Dalam hal ini

khusunya UU Perbankan dan UU Perkoperasian.

56 Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit, Hal.166

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - sinta.unud.ac.id DESSY...pengembangan ekonomi global.Pada Tahun 1970-an masyarakat Internasional telah ... kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

49