bab i pendahuluan 1.1 latar belakang penulisan103.56.207.239/56/2/bab i - bab iv.pdf · 2020. 10....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Dewasa ini problem-problem hidup berkeluarga terutama perceraian dan
anulasi perkawinan atau pembatalan perkawinan, masih terus dialami oleh
keluarga-keluarga, khususnya oleh suami-istri yang telah menikah secara resmi
dalam Gereja Katolik. Hal ini dapat dibuktikan dengan melonjaknya angka kasus
gugatan cerai yang dialami oleh pasangan yang telah menikah dan melonjaknya
kasus pembatalan perkawinan yang ditangani langsung oleh Tribunal Keuskupan.
Tentang perceraian misalnya, Pengadilan Agama Kupang sejak 7
November 2016 hingga 26 Februari 2019, menangani lebih kurang 340 kasus
gugatan cerai. Kasus gugatan cerai ini disertai oleh berbagai macam alasan yang
berbeda-beda mulai dari tekanan sosial, krisis ekonomi keluarga, penyakit yang
dialami pasangan, perselingkuhan dan sebagainya.1
Sedangkan menyangkut kasus anulasi perkawinan atau pembatalan
perkawinan itu sendiri misalnya, Tribunal Keuskupan Maumere selama proses
persidangan dari tahun 2008-2017 menangani lebih kurang 82 permohonan
pembatalan perkawinan dengan alasan-alasan yang beranekaragam mulai dari
pembatalan pernikahan karena paksaan, kekerasan, hingga impotensi, dan
sebagainya. Dari 82 permohonan pembatalan perkawinan ini, hanya 46 kasus
yang berhasil disidangkan hingga diumumkan secara resmi pembatalannya.2
Berhadapan dengan kasus perceraian dan anulasi perkawinan yang masih
saja terjadi lebih kurang dalam konteks masyarakat Nusa Tenggara Timur ini,
dapat dikatakan bahwa pemaknaan terhadap penghayatan hidup perkawinan
sedang mengalami dekandesi moral yang serius. Dalam hubungan dengan
perceraian misalnya, muncul anggapan yang berkembang dalam masyarakat
1 Pengadilan Negeri Kupang, “Sistem Informasi Penelusuran Perkara”, Sip.pn kupang.go.id/list_
perkara/page/1, diakses pada 27 Februari 2019. 2 Paskalis Lina, “Pendampingan Keluarga” (ms), Bahan Seminar (Keuskupan Maumere: Vikaris
Yudisial, 2017), hlm. 6-7.
2
bahwa perceraian merupakan alternatif terbaik atau solusi terbaik yang perlu
dilakukan apabila kehidupan perkawinan tidak lagi berjalan sebagaimana
mestinya akibat berbagai konflik yang melanda kehidupan keluarga. Padahal
nyatanya perceraian itu sendiri tidak menyelesaikan persoalan yang dialami tetapi
justru sebaliknya menjadi masalah baru yang melahirkan berbagai dampak yang
lebih buruk setelah terjadinya perceraian. Dampak-dampak itu tidak hanya
dialami oleh pasangan yang memilih untuk bercerai tetapi juga oleh anak-anak
dan keluarga besar yang terdampak oleh kasus perceraian yang terjadi.
Berbagai konflik yang terjadi dalam keluarga disebabkan karena, setiap
pasangan suami-istri tidak memikirkan dampak yang timbul akibat perceraian dan
lebih dari pada itu tidak memahami dan menghayati secara serius dan mendalam
hakikat perkawinan Kristiani itu sendiri. Akibatnya pasangan-pasangan Kristiani
yang bercerai akhirnya merasa sah-sah saja jika melakukan perceraian sipil dan
hidup berpisah dengan pasangannya padahal perceraian jelas melanggar aturan
Gereja dalam perkawinan Kristiani yang pada hakikatnya bersifat unitas dan
indisolubilitas, atau satu dan tak terceraikan.
Dengan hakikatnya, satu dan tak terceraikan ini, Gereja menghendaki agar
pasangan yang sudah sepakat untuk menikah tidak dengan semena-mena
memutuskan perkawinannya. Pasalnya ketika pasangan itu telah sepakat untuk
menikah secara resmi dalam Gereja Katolik maka pernikahan itu harus tetap
dipertahankan seumur hidup. Untuk memperjelas hakikat perkawinan itu, Kitab
Hukum Kanonik No. 1056 misalnya, menulis:
Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan
indissolubilitas (sifat tak dapat diputuskan), yang dalam perkawinan
Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen. Ciri-ciri
hakiki yang menjadi ciri khas setiap perkawinan ini adalah: kesatuan
(unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Kesatuan menunjuk unsur
unitif dan monogami perkawinan. Unsur unitif yang dimaksudkan
sebagai unsur yang menyatukan suami istri secara lahir dan batin.
Sedangkan unsur monogami menyatakan bahwa perkawinan hanya sah
jika dilaksanakan hanya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan tak terceraikan adalah bahwa
perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan
3
hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak dapat diceraikan atau
diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian.3
Selain itu dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1096 ditegaskan bahwa “agar
dapat ada kesepakatan nikah, perlu mempelai sedikit mengetahui bahwa
perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara pria dan wanita yang terarah
pada kelahiran anak, dengan sesuatu kerja sama seksual.”4 Hakikat perkawinan
Kristen yang ditekankan baik dalam kanon 1056 maupun dalam kanon 1096
menunjukan tidak hanya menyangkut sikap Gereja terhadap perkawinan tetapi
juga terhadap perceraian.
Menjadi soal adalah mengapa hakikat perkawinan Kristiani yang satu dan
tak terceraikan ini, tidak mampu membendung berbagai fakta perceraian yang
terjadi? Berhadapan dengan pertanyaan tersebut jelas ada berbagai alasan yang
melatari berbagai perceraian yang terjadi. Namun satu hal yang tidak dapat
ditampik adalah bahwa perceraian secara terang-benderang menunjukkan
kurangnya pemahaman akan arti dan makna perkawinan oleh pasangan suami-istri
yang telah menikah secara resmi.
Berbagai kasus gugatan cerai yang terjadi menunjukkan bahwa pasangan
suami-istri begitu mudah bercerai dan memandang perceraian sebagai
konsekuensi hidup perkawinan yang mestinya diterima secara sah oleh Gereja.
Konsekuensinya, jika perceraian dipandang seolah-olah telah diakui Gereja, maka
orang serentak menyamakan perceraian dengan anulasi perkawinan. Padahal
perceraian dan anulasi perkawinan pada hakikatnya berbeda. Dalam perkawinan
Kristen, Gereja tidak mengakui perceraian. Gereja hanya mengakui anulasi
perkawinan.
Tidak seperti perceraian, anulasi umumnya bersifat retroaktif, yang berarti
bahwa suatu perkawinan yang dianulasi dianggap tidak valid sejak awal dan
dilihat seolah-olah tidak pernah terjadi.5 Atau dengan kata lain, anulasi adalah
pembatalan sakramen perkawinan yang pernah diterima pasangan, sehingga
membuat perkawinan yang telah terjadi dengan sendirinya menjadi tidak sah
3 Robertus Rubiyatmoko, Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2011), hlm. 20-21. 4 Kitab Hukum Kanonik, penerj. V. Katrosiswoyo et.al. Cet. III (Jakarta: Obor, 1991), hlm. 313. 5 https://id.m.wikipedia.org/wiki/ pembatalan_perkawinan, diakses pada 20 April 2020.
4
serentak tidak pernah terjadi. Bila perceraian tetap terjadi misalnya secara sipil,
maka hal itu tidak berarti Gereja dengan sendirinya menerima perceraian.
Ketika hukum sipil memutuskan bahwa pasangan telah secara resmi
bercerai maka perkawinan baru yang akan dilaksanakan pun hanya mengikuti
koridor yang ditetapkan oleh hukum sipil dan bukannya oleh hukum Gereja. Pada
titik ini, hukum sipil yang melegalkan perceraian memiliki kesamaan dengan
hukum perceraian yang ditemukan misalnya dalam hukum perkawinan Islam.
Dalam Hukum perkawinan Islam perceraian atau biasa disebut dengan
talak diperbolehkan. Memang pada hukum perkawinan Islam, pernikahan yang
telah dilangsungkan diharapkan dapat berlangsung seumur hidup. Namun
faktanya Islam pun masih mentolerir perceraian. 6 Dalam toleransi terhadap
perceraian ini, hukum Islam memberikan kewenangan yang besar kepada laki-laki
untuk memutuskan tali perkawinan yang telah diikat. Lebih dari itu, hanya laki-
laki yang mempunyai hak untuk menjatuhkan talak atau perceraian dan bukannya
perempuan.7
Dengan melihat kesamaan dan perbedaan antara hukum perkawinan
Kristiani dan hukum sipil yang identik dengan hukum Islam ini, dapat
disimpulkan bahwa sekalipun hukum sipil dan hukum Islam mengizinkan
terjadinya perceraian, Gereja Katolik sendiri dengan sangat tegas menolak
perceraian. Penolakan Gereja terhadap perceraian terjadi karena Gereja masih
menghormati sifat perkawinan yang monogami dan tak terceraikan. Penekanan
pada kedua sifat perkawinan ini sebenarnya mau menegaskan sikap Gereja yang
menghendaki agar suami-istri hidup dalam kesetiaan satu terhadap yang lain
seumur hidup dan tak terceraikan.8
Lebih dari itu, Gereja memahami perkawinan dalam dirinya sendiri
bersifat sakral, sehingga tidak dapat diputuskan oleh hukum-hukum duniawi
apapun bahkan ketika suami-istri menghadapi persoalan dan tantangan hidup tak
tertahankan dalam membangun keutuhan hidup berkeluarga. Pasalnya, bagi
Gereja, sakralitas perkawinan itu telah menerima dukungan rahmat ilahi. Dengan
6 C. Mass, Teologi Moral Perkawinan (Ende: Nusa Indah, 1997), hlm. 103. 7 Ibid. 8 Le Saint, Ancient Cristian Writers; The works of the Father in Translated (London: Longmas
Green and Co, 1951), hlm. 32.
5
dukungan daya ilahi, Gereja yakin dan percaya bahwa perkawinan akan berjalan
baik sesuai kehendak Tuhan.9
Berdasarkan latar belakang persoalan yang telah diangkat ini, penulis
merasa tertarik untuk mengkaji perceraian dan anulasi perkawinan dalam terang
moral Kristiani secara lebih komprehensif dengan judul “Perceraian dan Anulasi
Perkawinan dalam Perspektif Moral Kristiani”.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis melalui penulisan
skripsi ini yakni: pertama, skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang
harus dipenuhi penulis guna memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Sekolah
Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere.
Kedua, penulis ingin memberikan gambaran mengenai perkawinan agar
dapat membantu para pembaca untuk memahami konsep perkawinan dalam terang
Kristiani secara benar dan tepat. Dengan memiliki pemahaman yang luas, benar
dan tepat tentang perkawinan, setiap orang khususnya pasangan suami-istri yang
telah menikah secara resmi dalam Gereja Katolik dapat memaknai perkawinan
secara benar demi membangun kehidupan perkawinan yang lebih baik dari hari ke
hari.
Ketiga, penulis ingin menjelaskan fenomena perceraian yang menodai
sakralitas perkawinan Kristiani dan menjelaskan anulasi perkawinan dalam Gereja
Katolik yang tidak memiliki kandungan makna yang sama. Hal ini selain
dimaksudkan agar perceraian dan anulasi perkawinan dapat dibedakan secara
tegas juga hendak memperjelas posisi Gereja terhadap perceraian dan anulasi
perkawinan. Pada puncaknya akan ditemukan bahwa Gereja secara tegas menolak
perceraian dan hanya mengakui anulasi perkawinan.
1.3 Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah
metode studi kepustakaan. Dalam hal ini, penulis menggunakan buku-buku,
literatur-literatur dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan tema yang
diangkat sebagai sumber utama penulisan skripsi ini. Dengan menggunakan
9 John Willis, The Theacing of the Church Fathers (San Fransisco: Ignatius Press, 1966), hlm. 438.
6
sumber-sumber yang membahas tema yang diangkat, penulis hendak
mendeskripsikan kembali hakikat perkawinan Kristen, perceraian, dan anulasi
dalam Gereja Katolik, berikutnya posisi Gereja terhadap perceraian dan anulasi
tersebut.
1.4 Sistematika Penulisan
Skripsi ini ditulis dalam empat bab dengan perincian sebagai berikut: Bab
I sebagai bab Pendahuluan. Dalam bab ini penulis menguraikan secara sepintas
lalu persoalan mengenai perihal hidup berkeluarga teristimewa menyangkut
perceraian dan anulasi perkawinan yang masih saja terjadi dalam kehidupan
keluarga Kristen dan pentingnya memahami hakikat perkawinan. Pembahasan ini
sekaligus menjadi latar belakang bagi penulisan skripsi ini. Selain latar belakang
penulisan, bab ini juga berisi tentang tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II, Hakikat Perkawinan Kristiani. Bab ini berisi uraian penulis
mengenai gagasan-gagasan tentang hakikat perkawinan Kristiani yang bersifat
monogami dan tak terceraikan berdasarkan isi teks Kitab Suci Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48
dan 49, Kitab Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057, hingga Katekismus Gereja
Katolik No.1603 dan 1604. Hakikat perkawinan Kristiani dengan sifatnya yang
monogami dan tak terceraikan yang diangkat dari berbagai perspektif itu serentak
menjadi dasar bagi Gereja untuk menentang perceraian.
Bab III penulis menguraikan tentang problematika perceraian dan anulasi
perkawinan dalam perspektif moral Kristiani yang di dalamnya mengandung
uraian tentang pengertian perceraian, sebab-sebab perceraian dan dampak
perceraian, anulasi sebagai pembatalan perkawinan serta argumentasi penolakan
Gereja terhadap percerian hingga pengakuan dan penerimaan Gereja terhadap
anulasi.
Bab IV merupakan bab Penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini, penulis
merangkum kembali pokok-pokok pikiran yang telah penulis uraikan pada bab-
bab sebelumnya serentak memberikan beberapa kesimpulan, usul, dan saran
penulis.
7
BAB II
HAKIKAT PERKAWINAN KRISTIANI
Perkawinan merupakan persekutuan hidup bersama seorang pria dan
seorang wanita yang telah disatukan secara lahir-batin. Atas dasar persetujuan
bebas, seorang pria dan seorang wanita bersepakat untuk membentuk suatu
keluarga: mempunyai rumah bersama, memiliki harta dan uang bersama,
mempunyai nama keluarga yang sama, mempunyai anak bersama, saling pasrah
diri jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus.10
Lebih dari itu, keluarga merupakan sel pertama dan utama dari masyarakat
(the family is the first and vital cell of society).11 Dari keluargalah masyarakat
menerima pelayanan yang perlu bagi kelangsungan hidupnya. Misalnya dari
keluarga lahirlah generasi baru yang juga akan menjadi anggota masyarakat. Oleh
karena itu perkawinan menjadi perwujudan pertama dari pembentukan sebuah
keluarga di tengah hubungannya dengan masyarakat luas. Agar keluarga dapat
berjalan baik dan perceraian yang memecah belah kehidupan keluarga dan
masyarakat dapat dihindari maka pertama-pertama, hakikat perkawinan
dengannya setiap keluarga bersepakat untuk membangun hidup berkeluarga harus
dipahami secara baik.
Untuk itu, dalam bab ini, penulis akan menguraikan secara khusus
gagasan-gagasan mengenai hakikat perkawinan Kristiani yang bersifat monogami
dan tak terceraikan berdasarkan isi teks Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, Dokumen Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48 dan 49, Kitab
Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057, hingga Katekismus Gereja Katolik No.1603
dan 1604. Penjelasan tentang hakikat perkawinan Kristiani dengan sifatnya yang
monogami dan tak terceraikan yang diangkat dari berbagai perspektif ini, selain
dimaksudkan untuk menegaskan kembali sakralitas perkawinan Kristiani dan
10 T. Gilarso (ed.), Membangun Keluarga Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 9. 11 Thomas Rausch, Katolisisme, Teologi Bagi Kaum Awam, terj. Agus M. Hardjana (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 258.
8
pentingnya hidup berkeluarga juga bermaksud untuk menunjukkan sikap Gereja
terhadap perceraian.
2.1 Perkawinan Kristiani Menurut Kitab Suci
Kitab Suci merupakan tulisan-tulisan suci yang diilhami oleh Allah dan
mengungkapkan iman Kristiani secara normatif untuk segala zaman.12 Sebagai
sumber autentik iman Kristen, Kitab Suci juga berbicara tentang perkawinan
sebagai persekutuan hidup bersama pasangan suami-istri yang sudah menikah
yang pada dirinya sendiri bersifat sakral.
Selain berbicara tentang perkawinan yang bersifat sakral ini, Kitab Suci
juga mengulas tentang perceraian. Namun pembicaraan tentang perceraian ini
tidak berarti Kitab Suci dan tentunya otoritas Gereja menerima setiap perceraian.
Sebaliknya melalui Kitab Suci, Gereja sesungguhnya menolak perceraian dan
memperjelas posisinya berhadapan dengan persolan menyangkut perkawinan dan
perceraian dalam hidup bersama pasangan.
2.1.1 Kitab Suci Perjanjian Lama
Tulisan-tulisan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama memberikan beberapa
pandangan atau penjelasan tentang perkawinan sebagai persekutuan hidup yang
bersifat sakral. Kitab Kejadian secara khusus menegaskan bahwa sudah sejak awal
penciptaan, perkawinan merupakan persekutuan hidup bersama yang tidak dapat
diceraikan. Allah sendiri menciptakan pria dan wanita untuk saling melengkapi
dan hidup berdasarkan cinta kasih. Dengan cinta kasih, suami-istri dipersatukan
lebih erat satu sama lain,13 dan menjadi satu daging. “Sebab itu seorang laki-laki
akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga
keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24).
Panggilan untuk hidup bersama menjadi satu daging atau hidup bersama
memang menolak perceraian dan poligami. Namun dalam kenyataannya
perceraian terkadang diizinkan oleh hukum tertentu. Hukum Yahudi misalnya,
menerima perceraian sebagai sesuatu yang sah. Perceraian diizinkan jika pasangan
12 Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Surharyo. Pr (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 145. 13 Paul Klein, Pedoman Awal Keluarga Kristen-Seri Buku Pastoralia, No. 1X/1 (Ende: Nusa
Indah, 1883), hlm. 104.
9
tertentu merasa tidak lagi memiliki alasan untuk tetap bersatu, misalnya, karena
istri tidak mampu memberikan keturunan atau karena perzinahan.
“Apabila seorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya,
dan kemudian jika ia tidak menyukainya lagi perempuan itu sebab
didapatinya yang tidak senonoh padanya lalu ia menulis surat cerai dan
menyerahkannya kepada perempuan itu, sesudah itu ia menyuruh
perempuan itu pergi dari rumahnya” (Ul 2: 11).14
Bunyi teks Kitab Ulangan di atas terutama menunjukkan bahwa perceraian
boleh terjadi bila terdapat alasan “yang tidak senonoh”. Kendati demikian, alasan
ini bukanlah alasan yang mudah dipahami, karena pada dirinya sendiri alasan itu
tidak diterangkan secara jelas. Ketidakjelasan alasan ini tentu menimbulkan
banyak diskusi yang melahirkan berbagai kontroversi pandangan.
Pada masa itu ada dua aliran yang memberikan penafsiran dengan
interpretasi yang berbeda-beda tentang alasan perceraian tersebut. Pertama, oleh
sekolah Rabi Syamai. Menurut sekolah ini, hanya pelanggaran besar seperti zinah
dianggap sebagai perbuatan yang tidak senonoh dan menjadi alasan bagi
perceraian. Kedua, sekolah Hillel yang menganggap persoalan kecil saja sudah
cukup menjadi alasan bagi suami untuk menceraikan istrinya.15
Dalam terang pemikiran tradisional, zinah dipandang bukan sebagai
percabulan, melainkan sebagai pelanggaran atas hak milik orang lain. Seorang
pria tidak dapat disebut berbuat zinah selain dengan istri orang lain. Pria
mempunyai hak atas badan istrinya untuk memberikan keturunan baginya. Jika
seorang wanita diketahui mandul maka terbuka kemungkinan untuk terjadinya
perceraian dan poligami.
Namun pandangan ini hanya menguntungkan pihak laki-laki sehingga
keberadaan dan hak-hak perempuan diabaikan. Berhadapan dengan realitas
perceraian ini, para nabi dihadapkan pada dilema. Pada satu sisi para nabi
menunjukkan sikap penerimaan terhadap perceraian. Sebaliknya pada sisi lain,
mereka menolak perceraian. Penolakan terhadap perceraian terutama karena para
nabi melihat bahwa perceraian bukanlah sifat yang ideal bagi perkawinan
sedangkan sifat tak terceraikan sebaliknya sebagai ideal dalam perkawinan. Sifat
14 Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, cet. VIII (Jakarta: Lembaga Alkitab
Indonesia, 2000), hlm. 205. 15 Henry Peschke, Cristian Ethics, Vol. II (Manila: Theological Publications, 1978), hlm. 449.
10
tak terceraikan dihubungkan dengan sifat setia Allah dalam relasi-Nya dengan
umat Israel.
Allah sendiri menghendaki agar suami-istri saling setia satu terhadap yang
lain dan tidak menghendaki terjadinya perceraian (bdk. Mal 2: 14-16). Dengan
demikian perceraian dilarang keras oleh Allah sendiri. Larangan ini lebih tegas
setelah pengungsian di Babilonia. Terhadap perceraian, terdapat kecaman yang
serius kepada orang Yahudi yang menceraikan istrinya dan kawin lagi dengan
putri-putri kafir untuk mendapatkan kedudukan.
Problema menyangkut perceraian ini mendorong penulis untuk mengambil
dua teks dari Kitab Kejadian sebagai dasar pijak untuk menerangkan realitas
perceraian serentak menunjukkan posisi penulis, yang sejatinya menolak
perceraian. Dua teks tersebut adalah Kejadian 1:27-28 dan 2:18, 20.
2.1.1.1 Kejadian 1:27-28
Bunyi teks Kejadian 1:27-28 adalah sebagai berikut:
27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut
gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-
Nya mereka. 28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
‘beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah
itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas segala binatang yang merayap di bumi.’16
Kejadian 1:27-28 menunjukkan secara jelas bahwa setelah Allah
menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan sesuai gambar dan rupa-Nya, Ia
sendiri pulalah yang memerintahkan agar laki-laki dan perempuan beranak cucu
dan bertambah banyak. Teks kitab suci ini menunjukkan bahwa sejak awal mula
penciptaan manusia, Allah telah memanggil perempuan dan laki-laki untuk hidup
bersama dan membangun keluarga. Oleh karena itu Allah menjadi dasar bagi
hidup bersama.
Lebih dari itu, sejak manusia pertama, Adam dan Hawa ini, Allah
sebenarnya tidak menciptakan manusia seorang diri, tetapi berpasangan. Selain itu
Allah pun tidak memanggil manusia untuk hidup sendirian tetapi lebih dari itu
untuk hidup bersama. Panggilan untuk hidup bersama ini sedemikian penting
16 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 1-2.
11
karena hanya dalam hidup bersama, laki-laki dan perempuan dapat beranak cucu
dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan berkuasa atas segala makhluk ciptaan
lainnya.
Dengan demikian, Allah, setelah menciptakan mereka menurut gambar
dan rupa-Nya, berkata kepada mereka, ‘beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah muka bumi dan taklukanlah dunia. Oleh karena berkat dan perintah
yang diberikan Allah inilah, umat manusia masih tetap ada, dan seiring keturunan
yang satu pergi, keturunan yang lain datang.
2.1.1.2 Kejadian 2:18, 20
Teks Kejadian 2:18, 20 berbunyi:
18 Tuhan Allah berfirman: “tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia.” 20 Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-
burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri
ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.17
Teks tersebut di atas secara tidak langsung mau mengungkapkan kodrat
manusia yang tidak dapat hidup sendirian. Penciptaan seorang penolong
menunjukkan secara jelas kodrat manusia yang hanya dapat hidup dalam
kebersamaan dengan manusia lain. Selain agar manusia dapat hidup secara
manusiawi, penciptaan seorang penolong yang sepadan dimaksudkan agar
kekurangan dalam hidup dapat diatasi.
Penciptaan seorang penolong ini pada hakikatnya memanggil manusia
untuk membangun persekutuan dalam hidupnya. Persekutuan hidup ini
dimaksudkan agar manusia dapat menikmati hidup sepenuhnya dan saling bekerja
sama, berbagi kasih, kepercayaan, dan pengabdian dalam lingkungan keluarga.
Oleh karena itu sudah sejak awal mula Sang Pencipta telah menyediakan seorang
teman yang akan memenuhi kerinduan hati seorang manusia.
Ketika Allah menciptakan pria dan wanita, Kitab Suci menyatakan bahwa
pria dan wanita itu bersifat sepadan. Allah menciptakan wanita itu untuk menjadi
“penolong yang sepadan” bagi pria. Pengertian kata “sepadan” bukanlah setara
17 Ibid., hlm. 2.
12
atau sama melainkan mengandung pengertian yang saling melengkapi dan
menutup kekurangan satu sama lain.18
Kitab Suci memaparkan bahwa Tuhan sendiri melihat tidak baik jika
Adam hanya hidup seorang diri. Adam perlu membutuhkan seorang penolong
yang sepadan dengan dia (Kej. 2:18). Dalam kesepadanan ini, keduanya saling
mengerti, saling memahami, dan saling melengkapi.
Dalam Kejadian 2:18, kata “penolong” menarik untuk direnungkan. Istilah
Ibrani untuk kata “penolong” adalah kata “ezer”. Kata ini lebih kurang memenuhi
dua pengertian yakni: pertama, Tuhan memberi seorang penolong kepada laki-
laki sebab Allah melihat bahwa laki-laki itu belum lengkap tanpa satu penolong.
Kedua, kata “penolong” dapat diartikan sebagai penolong ilahi yang
menyelamatkan laki-laki dari kesepian.
Sangat jelas di sini bahwa Allah menciptakan pernikahan untuk kebaikan
manusia. Penyatuan dua pribadi yang berbeda dan setara ini hendak mengajarkan
kepada manusia bahwa laki-laki memberi hidup bagi wanita dan wanita memberi
hidup bagi laki-laki dan menjadi satu ibu bagi semua umat manusia. 19 Jadi
keduanya, baik laki-laki maupun perempuan saling membutuhkan dalam segala
hal.
2.1.1.3 Menurut Para Nabi
Kitab Nabi Hosea 1-3, secara tegas berkisah tentang perkawinan antara
Hosea dan istrinya yang secara konkret menjadi simbol perkawinan antara Yahwe
dan umat-Nya, Israel. Sebagaimana istri Hosea tidak setia kepada Hosea,
begitupula Israel, tidak setia kepada Yahwe. Kendati istri Hosea tidak setia
kepadanya, Hosea mendapat perintah dari Yahwe untuk tetap menerima istrinya
kembali kepadanya, sebagaimana Yahwe pun selalu bersedia menerima kembali
Israel, “Istri”-Nya yang tidak setia.
Kitab Hosea 1-3 dengan jelas menunjukkan kesetiaan sebagai ciri
perkawinan. Ketidaksetiaan istri tidak boleh mendorong suami untuk bersikap
yang sama. Dalam keadaan apapun, suami hendaknya tetap setia kepada istrinya
18 Sutjipto Subeno, Indahnya Pernikahan Kristen (Surabaya: Momentum, 2008), hlm. 33. 19 Marulak Pasaribu, Pernikahan dan Keluarga Kristen (Jawa Timur: Depertemen Literatur YPPII,
2001), hlm. 15-16.
13
seperti Allah juga setia kepada Israel. Dalam perkawinan bersama istrinya, Hosea
selalu mau setia kepada istrinya. Hal itu tentu sangat menarik perhatian banyak
orang dan menantang semua orang yang menyetujui adanya praktik perceraian
yang terjadi karena perzinahan, atau alasan lainnya pada masa itu.20
Perkawinan nabi Hosea, sesungguhnya mewartakan pesan tertentu kepada
orang Israel, terutama tentang kesetiaan Yahwe terhadap Israel. Mengikuti
kesetiaan Yahwe itu, Hosea mau mengambil Gomer sebagai istrinya lagi, setelah
istrinya itu jatuh dalam pelukan laki-laki lain (Bdk. Hos 3: 1-5 dalam
hubungannya dengan Hos 2: 18-25). Tindakan Hosea ini layak dipuji, apalagi bila
hukum perceraian sebagaimana terumus dalam Kitab Ulangan 24: 1-5 masih
berlaku di dalam masyarakat Israel pada waktu Hosea berkarya.21
Ketidaksetiaan Gomer kepada Hosea mengingatkan orang Israel akan
ketidaksetiaannya kepada Yahwe. Israel mengkhianati ikatan perjanjian yang
dibuat bersama dengan “Suami”-nya yang sah yakni Yahwe dan berzinah dengan
Baal. Ketiadaksetiaan Israel kepada Yahwe membawa akibat yang serius. Yahwe
yang biasanya tinggal dan merawatnya, menjadi seolah-olah membiarkannya
terlantar dan menderita dengan dukacita yang mendalam.
Namun Yahwe tidak tega membiarkan Israel hidup menderita terlalu lama,
karena rasa belas kasih-Nya. Ia kembali bersatu dengan Israel dan membuat
mereka kembali menikmati kedamaian (Hos 2: 16-23). Perkawinan dengan
sendirinya “terjadi lagi” antara Yahwe dan Israel (Hos 2: 19-20). Pernikahan
tersebut membuahkan kebaikan, kasih sayang, belas kasih, dan pemeliharaan dari
Yahwe secara terus-menerus (Hos 2: 19-20). Karena itu, Hosea menunjukan
bahwa kesetiaan dalam perkawinan sangat penting untuk dijaga sampai akhir
hidup.
Selain Hosea, Kitab Maleaki 2: 10-16 menegaskan juga bahwa Allah tidak
berkenan atas praktik kawin campur agama. Kawin campur agama dinilai merusak
perjanjian antara Yahwe dan Israel. Perkawinan orang Israel mempunyai kaitan
20 Herbert Haag, Pada Awal Mula, terj. Ardi Handoko dan A. Widyamartaya BA (Yogyakarta:
Kanisius, 1978), hlm. 49. 21 Hukum sebagaimana terumus dalam Kitab Ulangan 24: 1-5 adalah hukum tentang perceraian
yang mengatakan bahwa wanita yang telah diceraikan secara resmi oleh suaminya, dan
kemudian menikah lagi dengan laki-laki lain ia tidak boleh menikah kembali dengan suaminya
yang pertama. Hal ini sesuai juga dengan hukum dalam Kitab Imamat 21: 7.
14
dengan perjanjian antara Yahwe dan Israel. Maka perkawinan yang dilakukan
antara orang Israel dan orang kafir dipandang merusak hubungan antara Israel dan
Yahwe.
Selain itu, Allah tidak menghendaki adanya perceraian. Perceraian
dianggap merusak perjanjian suci antara pria dan wanita, yang telah melibatkan
Allah sebagai saksi. Perceraian yang dilakukan oleh pria Israel terhadap istrinya
dianggap tidak menghormati Allah sebagai saksi perkawinan mereka. Bagi pria
Israel yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan wanita kafir, nabi Maleaki
mengingatkan mereka tentang janji perkawinan mereka di hadapan Allah yang
menghendaki agar kesatuan suami-istri itu berlaku seumur hidup. Dengan kata
lain, para suami harus setia seumur hidup dengan istrinya dan tidak menghendaki
adanya perceraian sebab Allah telah menjadi saksi dari perkawinan mereka, sebab
hubungan perkawinan suami-istri adalah hubungan yang tak terceraikan di
hadapan Allah.
Dalam kitab Tobit bab 6-8 terdapat kisah yang berkaitan dengan
perkawinan yaitu kisah Tobiah yang didorong oleh malaikat untuk mengawini
Sarah putri Raguel (Tob 6: 12-13). Terhadap dorongan itu, Tobiah merasa
ketakutan untuk mengawini Sarah karena sudah ada tujuh suami sebelumnya yang
meninggal karena mengawini Sarah. Cobaan yang diterimanya silih berganti
berdatangan namun cinta mereka yang begitu kuat dituangkan melalui tindakan
dan bahasa serta secara khusus dalam doa, sehingga mengalahkan semua hal yang
menghalangi mereka.22
Dorongan yang terjadi pada Tobiah untuk menikahi Sarah adalah
dorongan Allah sendiri yang hendak menyatuhkan pria dan wanita melalui
perkawinan. Penulis Kitab Tobit, dengan mengutip kisah penciptaan dalam
Kejadian 2: 18, menegaskan bahwa istri bukanlah bawahan tetapi pendamping
yang sepadan. Tobiah mengambil Sarah, bukan karena nafsu, tetapi karena
“kesucian”. Maka dengan menikahi Sarah sebagai istrinya, Tobiah
memperlihatkan kebenaran, melaksanakan kewajiban untuk menikah dalam satu
suku sesuai dengan kehendak Allah. Karena itu pesta perayaan upacara
22 Paskalis Lina, Sakramentalitas Perkawinan dan Penegasan atas Humanae Vitae (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 63.
15
pernikahan dilihat sebagai syarat penyempurnaan perkawinan mereka. Pesta
pernikahan juga mengungkapkan unsur kemenangan, yakni kemenangan Tobiah
dan Sarah atas setan sehingga mereka berdua menerima hak sebagai suami-istri
yang turut memberikan kegembiraan besar bagi keluarga Israel.
Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa ketiga bacaan ini, mau
menekankan keutuhan perkawinan dan kemenangan terhadap setan yang merusak
perkawinan dengan adanya perceraian. Nabi Hosea dan Maleaki sangat
menekankan persatuan yang disatukan oleh Allah dan Allah sendiri menjadi saksi
dalam perkawinan. Oleh karena itu menjaga keutuhan perkawinan sangat penting
dalam kehidupan bersama. Kitab Tobit sendiri menjelaskan tentang persatuan
yang mengalahkan setan karena itu teruslah menjaga kesatuan dalam perkawinan,
maka kemenangan akan setan pastinya terlaksana seperti yang terjadi pada Tobiah
dan Sarah yang menang dengan menjaga keutuhan berdasarkan kehendak Allah.
2.1.2 Kitab Suci Perjanjian Baru
Kitab Suci Perjanjian Baru juga berbicara tentang perkawinan yang
monogami dan tak terceraikan, secara khusus melalui sikap Yesus terhadap
perceraian. Yesus dalam diskusi-Nya dengan kaum Farisi dihadapkan dengan
pertanyaan; apakah diperbolehkan, orang menceraikan istrinya dengan alasan apa
saja? (Mat 19: 3).
Berhadapan dengan pertanyaan tersebut, Yesus dihadapkan pada
kontroversi antara dua aliran interpretasi. Terhadap kontroversi ini, Yesus secara
tegas menolak perceraian. Ia juga menolak izin yang diberikan Musa, yang pada
masanya, mengizinkan perceraian karena ketegaran hati umatnya. Sikap Yesus ini
bertentangan dengan Perjanjian Lama, baik terhadap praktek perkawinan orang
Yahudi maupun bukan Yahudi. Yesus pada prinsipnya menegaskan bahwa “apa
yang dipersatukan Allah tak dapat diceraikan oleh manusia” (Mat 19: 6).23
Dalam argumentasi melawan dispensasi Musa, Yesus mengutip teks
Perjanjian Lama untuk menekankan persamaan martabat antara pria dan wanita
karena manusia diciptakan Allah menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1: 27)
sehingga mereka dapat menjadi satu daging (Kej 2: 24). Oleh karena itu, suami-
istri sungguh-sungguh bersatu sehingga perceraian tidak diperkenankan. 23 C. Maas, loc. cit., hlm. 106.
16
Larangan perceraian berkaitan erat dengan bentuk hubungan suami-istri
sebagai hubungan partner dan bukannya hubungan subyek-obyek dengannya
wanita menjadi obyek kepuasan dan napsu laki-laki. Laki-laki dan perempuan,
dengan demikian, mempunyai martabat yang sama dan diciptakan sebagai teman
dalam hidup. Yesus dalam argumen-Nya mengenai perceraian menekankan
persamaan martabat pria dan wanita dalam perkawinan, yaitu bahwa pria dan
wanita mempunyai derajat yang sama, hak dan kewajiban yang sama meskipun
terdapat perbedaan fungsi di antara keduanya.24
Larangan ini juga berhubungan dengan kedudukan suami-istri sebagai
gambaran yang melambangkan hubungan kasih Kristus dengan Gereja-Nya.
Kristus sendiri telah mengasihi umat-Nya secara total dengan menyerahkan
nyawa-Nya, sehingga suami-istri hendaknya mengasihi satu sama lain secara utuh
(bdk. Yoh 15: 12-23).
Untuk menerangkan persoalan ini lebih jauh, penulis akan mengambil
referensi dari Injil Matius 19:5-6 dan beberapa Surat Rasul Paulus yang
memberikan penjelasan berkaitan dengan perkawinan yang dilihat sebagai sesuatu
yang kudus dan tak terceraikan, khususnya dalam 1 Korintus 6:19-20, 1 Korintus
7:7, 1 Korintus 11:3, Efesus 5:22-33 dan 1 Tesalonika 4:3-5. Berlandas pada teks-
teks ini penulis akan mengkaji pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru yang juga
berbicara tentang dua sifat dasar perkawinan yaitu monogami dan tak terceraikan
yang menjadi dasar penolakan Gereja terhadap perceraian.
2.1.2.1 Matius 19:5-6
Teks Matius 19:5-6 berbunyi demikian:
5Dan firman-Nya: sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa
yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.25
Bunyi teks ini hendak menggambarkan panggilan hidup bersama dengan
titik tolak dari panggilan Tuhan terhadap manusia untuk terlebih dahulu
meninggalkan orang tua agar dapat bersatu dengan pasangan dalam sebuah
keluarga baru. Meninggalkan dan bersatu, dengan demikian, merupakan sebuah
24 Ibid., hlm. 101. 25 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 26.
17
pesan Tuhan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan sebagai dasar
membangun sebuah keluarga. Oleh karena itu, maksud yang terkandung dalam
Injil Matius 19:5-6 merupakan rancangan Allah bagi manusia dalam membentuk
sebuah keluarga. Tujuan Allah akan keluarga baru terwujud ketika pria dan wanita
dapat menerapkan konsep meninggalkan dan bersatu demi membangun keluarga
baru.26
Kata “meninggalkan” merujuk pada suatu tindakan secara hukum dan
terbuka yang harus dilaksanakan agar suatu perkawinan menjadi sah.
Meninggalkan ayah dan ibu, menjadi suatu tuntutan menuju kebahagiaan. Harus
ada pemisahan yang jelas dan tegas. Sebagaimana satu bayi yang masih “merah”
takkan bisah tumbuh selama tali pusatnya belum dipotong, demikian pula suatu
perkawinan tidak bisa bertumbuh dan berkembang selama tidak ada perpisahan
dan pemisahan dari keluarga.27
Meninggalkan orang tua memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar
berpisah secara fisik. Di sini, terkandung pula maksud perpisahan secara
emosional. Jika salah satu dari pihak pasangan suami atau istri tetap memiliki
ketergantungan yang besar terhadap keluarga asalnya, maka sulit baginya
membentuk keluarga yang mandiri. Ketika salah satu pihak membawa terlalu
banyak karakteristik dan sistem keluarga asalnya ke dalam keluarganya yang baru,
maka proses “bersatu” akan sulit terjalin. 28 Unsur meninggalkan, dengan
demikian, tidak hanya meminta kesediaan untuk melepaskan, melainkan juga
kesanggupan untuk meninggalkan, khususnya pada pihak anak laki-laki.29
Pada titik ini dapat ditegaskan bahwa hubungan dasar yang utama dalam
keluarga bukanlah hubungan orang tua dan anak, melainkan hubungan suami-istri.
Di dalam Matius 19:5-6, Allah menekankan bahwa seorang laki-laki harus
meninggalkan ayahnya dan ibunya. Hubungan ini harus disahkan secara tepat
(bukan sama sekali dihapuskan secara tepat) sehingga hubungan yang mula-mula,
ketika seorang anak masih tinggal di rumah orang tuanya, tidak akan berlanjut.
26 http://hikmat pembaharuan.wordpress.com/18 April 2012, Dasar-dasar dalam Pernikahan,
diakses pada 3 Oktober 2019. 27 Walter Trobisch, Jodohku, terj. D. Susilaradeya (Malang: Gandum Mas, 1973), hlm. 22. 28 Dave Jackson, Memulai dan Membangun Keluarga Bersama, terj. Lukas Tjanda (Malang:
Departemen Literatur SAAT, 2002), hlm. 14. 29 Volkhard dan Gerlinde Scheunemann, Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah, terj. Sri Supadmi
Murtiadji (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 2001), hlm. 22.
18
Pasalnya, dia akan menjadi kepala bagi keluarganya dan menjadi teladan bagi istri
dan anak-anaknya.30
Perintah ini sudah Tuhan tetapkan di dalam firman-Nya, sehingga setiap
pasangan yang mau menikah harus siap untuk meninggalkan orang tua mereka.
Meninggalkan orang tua itu berarti bahwa hubungan dengan orang tua harus
diubah dengan hubungan terhadap pasangan. Adapun hal yang harus diubah
tersebut antara lain, pertama, harus lebih memperhatikan pendapat, pandangan
serta kebiasaan-kebiasaan pasangan sendiri dari pada pendapat serta kebiasaan-
kebiasaan orang tua. Kedua, tidak terlalu mengantungkan diri kepada orang tua
dalam hal kasih sayang, persetujuan, bantuan dan nasihat.31 Dengan demikian,
pasangan suami-istri dapat hidup bersama-sama di dalam keluarga yang akan
mereka bangun.
Perhatian terhadap pasangan ini menunjukkan relasi ketertarikan di antara
laki-laki dan perempuan yang hendak membangun hidup bersama sebab keduanya
telah diciptakan untuk menjadi satu daging. Laki-laki akan meninggalkan ayah
dan ibunya dan hidup bersatu dengan perempuannya. Dalam persatuan ini,
keduanya akan menjadi satu dan tak terceraikan; “demikianlah mereka bukan lagi
dua, melaikan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh
diceraikan manusia” (Mat 19:6).
Pengertian menjadi satu mempunyai arti yang sangat mendasar tentang
maksud Tuhan dalam pernikahan. Telah disebutkan bahwa hakikat pernikahan
adalah penyatuan pribadi yang berbeda. Kedua pribadi yang berbeda ini disatukan
Allah sehingga keduanya menjadi satu daging, sehingga mereka bukan lagi dua
melainkan satu; dalam seluruh area kehidupan, dalam kesatuan hubungan seksual,
dan pernikahan yang menjadi sumber kehidupan.
Menjadi satu daging mempunyai pengertian lebih dalam dari sekadar
bersatu secara jasmani. Arti yang lebih dalam itu ialah bahwa dua orang saling
membagi segala yang mereka miliki, bukan hanya tubuhnya, bukan hanya harta
bendanya, tetapi juga segala pikiran dan perasaan, segala sukacita dan pahit
30 Jay E. Adams, Masalah dalam Rumah Tangga Kristen, terj. Richardus Eko Indrajit (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001), hlm. 71. 31 Wayne A. Mack, Kesatuan yang Kudus, terj. Yakob Tomatala (Surabaya: Yakin Ganteng Besar,
1977), hlm. 10.
19
gentirnya kehidupan, segala harapan dan kekuatiran, keberhasilan dan
kegagalannya. Menjadi satu daging berarti bahwa dua orang melebur menjadi satu
tubuh, jiwa dan roh, tetapi masing-masing tetap memiliki kepribadiannya.32
2.1.2.2 1 Korintus 6:19-20
Teks 1 Korintus 6:19-20 berbunyi demikian:
19Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang
diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan
bahwa kamu bukan milik kamu sendiri? 20Sebab kamu telah dibeli dengan harganya telah lunas dibayar: Karena
itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!33
Paulus mengajarkan bahwa tubuh manusia itu kudus, “Bait Roh Kudus”.
Sebagai bait Roh Kudus manusia bersatu dengan pribadi Tritunggal Mahakudus.
Dalam persatuan dengan Roh Kudus ini, pasangan suami-istri sepatutnya
menggunakan tubuh mereka demi tujuan sakral.
Paulus mendasarkan komentarnya pada martabat seksualitas dalam
kebangkitan dan dalam pengantarnya mengenai gambaran tubuh untuk
melukiskan persatuan Kristus dengan orang beriman. Ia mengidentikkan pribadi
atau diri manusia dengan tubuh. Tubuh dalam konteks ini dapat diartikan sebagai
tubuh yang bernilai sakral atau kudus.
Sebagai orang Kristen, tubuh adalah tempat tinggal Roh Kudus. Roh itu
tinggal di dalam diri sehingga orang Kristen menjadi milik Allah. Sebagai milik
Allah, tubuh sama sekali tidak boleh dicemarkan oleh kenajisan atau kejahatan
apapun, baik oleh pikiran, keinginan dan tindakan. Oleh karena itu manusia yang
bertubuhkan Roh Kudus, harus hidup sedemikian rupa sehingga menghormati dan
memuliakan Allah dengan tubuhnya.
Dalam persatuan hidup dengan Roh Kudus ini perkawinan berciri
sakramental. Atau dengan kata lain, Allah mengangkat perkawinan sebagai
sebuah sakramen. Dalam bentuknya sebagai sebuah sakramen ini perkawinan
menjadi pemenuhan janji manusia untuk hidup bersama Allah selamanya. Oleh
karena itu, perkawinan menjadi suatu komitmen yang berlangsung seumur hidup
32 Pasaribu, op. cit., hlm. 34. 33 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 218.
20
di mana suami-istri saling memberi diri dan saling mencintai karena keduanya
telah dipersatukan Allah sendiri melalui sakramen.34
Dalam sakramen perkawinan, hanya seorang laki-laki dan perempuan yang
telah disatukan Allah dalam ikatan perkawinan saja yang boleh melakukan
hubungan seks karena mereka bukan lagi dua melainkan satu. Dalam pengertian
ini ikatan perkawinan bersifat eksklusif, dalam arti bahwa ikatan perkawinan ini
hanya terjadi atau terbangun antara seorang suami dan seorang istri yang telah
berjanji untuk hidup bersama. 35 Tubuh perempuan hanya diperuntukkan bagi
suaminya dan sebaliknya tubuh laki-laki hanya untuk istrinya.
Paulus menekankan bahwa tubuh adalah sesuatu yang kudus dan tidak
boleh digunakan hanya untuk memamerkan keindahan demi memperoleh
kepuasan semata. Tubuh yang adalah Bait Kudus, dengan demikian, harus
diperlakukan secara baik dan benar sesuai perintah Allah.
2.1.2.3 1 Korintus 7:2-5
Teks 1 Korintus 7:2-5 berbunyi demikian:
2Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki
mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya
sendiri. 3Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian
pula isteri terhadap suaminya. 4Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian
pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya. 5Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama
untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk
berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama,
supaya iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.36
Rasul Paulus menjelaskan satu hal penting mengenai pernikahan.
Menurutnya, pernikahan merupakan media untuk memberi, menyerahkan, atau
menaklukkan diri kepada pasangan. Dengan demikian, menikah berarti membuat
komitmen untuk memberi yang seharusnya kepada pasangan, bukan sebaliknya
meminta yang seharusnya dari pasangan.37
34 Bernard Raho, Keluarga Berziarah Lintas Zaman (Ende: Nusa Indah, 2003), hlm. 84. 35 Rubiyatmoko, op. cit., hlm. 147. 36 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 218-219. 37 Arliyanus Larosa, Kunci Sukses Karir Pernikahan (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2009),
hlm. 56.
21
Lebih dari itu Rasul Paulus menekankan bahwa perkawinan, serta
penghiburan dan kepuasan darinya, ditetapkan oleh kebijaksanaan ilahi untuk
mencegah percabulan. Untuk mencegahnya “baiklah setiap laki-laki mempunyai
istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri”. Hal ini
berarti laki-laki dipanggil untuk menikah dan setia terhadap pasangan mereka
sendiri. Jika mereka sudah menikah, hendaklah mereka saling memenuhi
kewajibannya, memperhatikan perasaan dan kepentingan satu terhadap yang lain,
dan saling melaksanakan kewajiban sebagai suami-istri. Sebab seperti
dikemukakan oleh Rasul Paulus bahwa dalam perkawinan, orang tidak berkuasa
atas tubuhnya sendiri, tetapi sudah menyerahkannya kepada kuasa pasangannya;
tubuh istri diserahkan kepada kuasa suami, begitu juga sebaliknya tubuh suami
kepada kuasa istrinya.
Poligami atau kawin dengan lebih dari satu orang, seperti halnya
perzinaan, sudah pasti merupakan pelanggaran terhadap janji perkawinan dan hak-
hak pasangan. Oleh karena itu, pasangan tidak boleh berbuat curang satu terhadap
yang lain dalam menggunakan tubuh mereka, ataupun dalam kenikmatan-
kenikmatan lain ketika hidup sebagai suami-istri. Pasalnya Allah telah
menetapkan agar pasangan dapat memelihara hidup di dalam pengudusan dan
penghormatan dan mencegah segala nafsu cemar.
Hal tersebut di atas tentu berbeda kalau itu dilakukan atas dasar
“persetujuan bersama dan hanya untuk sementara waktu”, dengan maksud
menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang khusus, atau memberi diri untuk
berpuasa dan berdoa. Akan datang masanya untuk merendahkan diri sedalam-
dalamnya, maka yang harus dilakukan adalah berpantang dari kesenangan-
kesenangan yang halal. Namun keterpisahan suami-istri semacam ini tidak boleh
terus berlanjut, supaya mereka jangan membuka diri pada godaan-godaan iblis,
karena mereka tidak mampu atau tidak sanggup menahan diri.
Orang membuka diri pada bahaya besar bila mencoba melakukan apa yang
melampaui kekuatan mereka, serentak pada saat yang sama tidak mengikat diri
pada hukum Allah. Sekalipun mereka berpantang dari kenikmatan-kenikmatan
yang halal, bisa jadi mereka malah terjerat oleh kenikmatan-kenikmatan yang
22
haram. Obat-obat penawar yang telah disediakan Allah untuk melawan
kecenderungan-kecenderungan dosa pastilah obat penawar yang terbaik.
2.1.2.4 Efesus 5:22-33
Adapun bunyi teks Efesus 5:22-33 adalah sebagai berikut:
22Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, 23karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala
jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. 24Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian
jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. 25Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi
jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya 26untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan
memandikannya dengan air dan firman, 27supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya
dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi
supaya jemaat kudus dan tidak bercela. 28Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya
sendiri: siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. 29Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi
mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, 30karena kita adalah anggota tubuh-Nya. 31Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 32Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus
dan jemaat. 33Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah
isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati
suaminya.38
Dalam teks Efesus 5: 22-33, Rasul Paulus berbicara tentang kewajiban
suami dan istri. Ia membicarakan hal ini sesuai dengan tata aturan kristen, dengan
menempatkan jemaat sebagai contoh ketaatan istri, dan Kristus sebagai teladan
kasih bagi suami. Ada tiga komponen peting yaitu: pertama, istri-istri, tunduklah
kepada suamimu, sama seperti kepada Tuhan karena suami dianggap sebagai
kepala rumah tangga seperti Kristus adalah kepala Gereja. Kedua, sebagaimana
Gereja tunduk kepada Kristus, maka istri juga harus tunduk kepada suaminya.
Ketiga, para suami, kasihilah istrimu, sama seperti Kristus mengasihi Gereja dan
memberikan diri-Nya bagi dia.39
38 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 253-254. 39 Paskalis Lina, loc. cit., hlm. 9.
23
Ketiga komponen tersebut di atas, memiliki makna yang sebenarnya saling
berkaitan dan tidak dapat dilepaspisahkan satu dari yang lain. Penekanan dari
setiap komponen yang disampaikan oleh Paulus ini lebih tertuju pada sikap saling
menghargai di antara suami dan istri agar keutuhan perkawinan tetap terjaga.
Ketiga hal tersebut di atas juga mau menekankan bahwa istri harus mempercayai
suami sebagai kepala baginya dan menjadikan suaminya sebagai kekuatan
tumpuannya.
Hal ini selanjutnya bukan berarti memberikan kebebasan bagi para suami
untuk bertindak semena-mena terhadap istrinya, melainkan dimaksudkan agar
keduanya saling menghargai dan mengasihi sebagai suami dan istri. Kekuasaan
suami diidentikkan dengan Kristus dan ketaatan istri diidentikkan dengan Gereja.
Yesus begitu mengasihi Gereja-Nya, dan tidak pernah berdusta ataupun berpaling
dari Gereja yang Ia kasihi. Begitu juga dengan para suami harus mengasihi para
istrinya sebagaimana ditekankan oleh Rasul Paulus.
Keluarga Kristen juga harus dapat menghadirkan Kerajaan Allah di dalam
hidup berkeluarga. Jadi, pernikahan yang digambarkan dalam hubungan Kristus
dengan jemaat-Nya direfleksikan di dalam kehidupan berkeluarga sebab keluarga
yang dibentuk oleh Allah mencerminkan kasih Kristus kepada jemaat-Nya. Paulus
menggambarkan Gereja sebagai mempelai perempuan Kristus yang
mempersiapkan dirinya untuk tinggal dalam kerajaan yang kekal (Ef. 5: 23).
Gambaran ini mengarisbawahi kebenaran bahwa pernikahan harus menjadi
hubungan kasih dan kesetiaan yang abadi. Para suami harus mengasihi istri
mereka sebagaimana Kristus mengasihi mempelai yang telah ditebus-Nya,
demikian juga para istrinya tunduk kepada suami mereka, sebagaimana mereka
tunduk kepada Kristus.40
Teks Efesus 5: 25-27 mau menggambarkan bahwa Kristus mengasihi
Gereja, memberikan diri-Nya sendiri baginya, untuk menguduskan Gereja dengan
air dan sabda, untuk menghadirkan Gereja di hadapan-Nya dalam kebenaran,
kekudusan dan tak bercacat. Kasih Kristus memiliki daya pengudusan sesuai
dengan maksud-Nya. Pokok pengudusan itu adalah pembaptisan, yang mengalir
40 J.I. Packer, Ensiklopedi Fakta Alkitab Vol. 2, terj. Budi Hardiman dkk (Jawa Timur: Gandum
Mas, 2001), hlm. 892.
24
dari pemberian diri Kristus sendiri dalam cinta yang menyelamatkan, sehingga
melalui cinta yang sama itu diperoleh sebuah karakter relasi perkawinan.41
Kristus mau menunjukkan kepada manusia bahwa perkawinan berlandas
pada cinta kasih, seperti telah Ia berikan kepada Gereja. Cinta kasih menjadi kunci
utama kebahagiaan dalam hidup berkeluarga. Paulus menekankan bahwa tanpa
cinta kasih akan terjadi keruntuhan dalam hidup perkawinan. Oleh karena itu,
suami dan istri harus terus memupuk cinta kasih dalam hubungan berkeluarga
karena landasan yang Tuhan berikan dalam hidup berkeluarga ialah cinta kasih.
Jika hidup berkeluarga tanpa didasari cinta kasih maka yang akan terjadi adalah
tindakan kekerasan, ketidaksukaan bahkan kehancuran dalam hidup berkeluarga.
Paulus menegaskan bahwa: “sebab itu laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging.” Kemudian ia melanjutkan pesan itu dan berkata, rahasia ini benar, tetapi
yang sebenarnya dimaksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat (Ef. 5:31-32).42
Dengan demikian, setiap pernikahan Kristen dimaksudkan sebagai pantulan atau
gambaran hubungan antara Kristus dan Gereja-Nya sehingga apa yang sudah
dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Dengan kata lain,
pasangan suami-istri dituntut menerapkan hubungan keluarga mereka berdasarkan
semangat cinta Kristus terhadap jemaat-Nya.
Dalam Efesus 5: 32, Paulus menjelaskan bahwa dengan menikah, orang
Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yaitu
menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan
komunikasi suami-istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.
Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak
agar kelak menjadi suami atau istri dan atau menjadi orangtua. Rasul Paulus
membandingkan pernikahan Kristen dengan persekutuan antara Kristus dengan
umat-Nya atau Gereja (Ef. 5: 22-33).
Kasih Kristus adalah teladan cinta yang harus dimiliki setiap pasangan
suami-istri, seperti kasih memberi diri, kasih yang tak bergantung pada bagaimana
pasangan suami-istri atau apa yang dilakukan pasangan suami-istri, kasih yang
41 Ibid., hlm. 13. 42 Jaliaman Sinaga, Tujuh Pilar Pernikahan (Jakarta: Divisi Pengajaran Unit Seminar, 2004), hlm.
88.
25
betul-betul tanpa syarat, kasih yang tidak menuntut ganjaran apapun.43 Karena itu
pasangan suami-istri harus saling mengasihi, sehingga rumah tangga yang sudah
dibangun tetap kokoh dan langgeng sebab kasih Kristus yang akan selalu
mempersatukan pasangan suami-istri, sekalipun terdapat banyaknya masalah yang
terjadi dalam keluarga.
2.1.2.5 1 Tesalonika 4:3-5
Teks 1 Tesalonika 4:3-5 berbunyi demikian:
3Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu yaitu supaya kamu
menjauhi percabulan, 4supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi
isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, 5bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-
orang yang tidak mengenal Allah.44
Dalam teks tersebut di atas, Rasul Paulus mengingatkan jemaat di
Tesalonika mengenai kenajisan, yang merupakan dosa yang bertentangan
langsung dengan pengudusan. Peringatan ini terkandung dalam ayat 3, yaitu
“supaya kamu menjauhi pencabulan”, yang harus diartikan sebagai semua rupa
kenajisan, baik dalam keadaan sudah menikah maupun tidak menikah. Memang
untuk tujuan inilah mereka mendapat pencerahan dan tidak melawan kehendak
Allah yang menginginkan mereka untuk tidak berbuat zinah.45
Perzinahan tentu termasuk di dalamnya, meskipun yang terutama
disebutkan di sini percabulan. Lebih dari itu, segala jenis kenajisan lainnya juga
dilarang. Semua itu bertentangan dengan kemurnian dalam hati, perkataan dan
perbuatan, dan bertentangan dengan perintah Allah sehingga Ia menghendaki agar
manusia selalu sadar dan kembali berbuat benar sesuai dengan kehendak-Nya.
Kesadaran menjadi titik penting dalam menjalankan sebuah hubungan.46 Dengan
adanya kesadaran ini manusia menyadari kelemahan-kelemahannya dan terus-
menerus memperbaiki diri untuk mencapai hidup yang diinginkan oleh Allah
sendiri.
43 Bill Ameiss dan Jane Grave, Cinta, Seks & Allah, terj. Julia Suleman Chandra (Yogyakarta:
Yayasan Andi, 1998), hlm. 109. 44 Lembaga Alkitab Indonesia, op. cit., hlm. 265. 45 Carl Gustav Jung, Diri yang Belum Ditemukan, terj. Agus Cremers SVD dan Martin Warus
(Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm. 74. 46 Ibid., hlm. 90.
26
2.2 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Dokumen Konsili Vatikan II
Gaudium et Spes
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II khususnya dalam Gaudium et Spes
No. 48 dan 49 penulis akan mengulas pandangan Gereja tentang perkawinan
Kristiani.
2.2.1 Gaudium et Spes No. 48
Ihwal perkawinan, Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48
menulis:
Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh
Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh
janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali.
Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri
dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah suatu lembaga
yang mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan
ketetapan ilahi. Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak
maupun masyarakat itu, tidak tergantung dari manusiawi semata-mata.
Allah sendirilah Pencipta perkawinan, yang mencakup berbagai nilai dan
tujuan.47
Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 48 menjelaskan bahwa
ikatan perjanjian yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan untuk bersatu
dalam sakramen perkawinan melibatkan satu hubungan interpersonal yang
bersifat total. Hal ini berarti bahwa pasangan dituntut untuk saling memberikan
seluruh dirinya supaya mengarah pada pembentukan satu komunitas seluruh
hidup.48
Perkawinan menuntut kesetiaan yang tidak boleh diganggu gugat oleh
siapapun. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari penyerahan diri antara suami
dan istri. Seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerakan dirinya
serta memperhatikan kesejahteraan anak-anak mereka sebab Allah adalah
pencipta perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu, mereka yang telah menerima
sakramen perkawinan harus menyadari hal tersebut agar kehidupan perkawinan
mereka selalu berlandaskan kasih Allah.
47 Konsili Vatikan II, Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, terj. R. Hardawirayana SJ,
cetakan VI (Jakarta: Obor, 2002), hlm. 583. 48 Philip Ola Daen, Manajemen Penyelidikan Pra Nikah (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
2010), hlm. 24.
27
Kasih Allah itu merupakan landasan komitmen bagi setiap pasangan itu
untuk tetap membangun rumah tangga dengan penuh cinta. Pasalnya, komitmen-
komitmen permanen justru memberi motivasi kepada pasangan untuk
memperteguh kasih mereka di tengah kesukaran. 49 Dalam hidup berkeluarga
memang akan selalu terdapat tantangan dan rintangan selama pasangan berjuang
untuk mempertahankan komitmen mereka dalam menjaga keutuhan perkawinan.
Pada titik ini, keterbukaan antara suami-istri agar kekurangan yang dimiliki oleh
suami dapat dipenuhi oleh istri begitupun sebaliknya kekurangan istri bisa
dipenuhi oleh suami, sangat diperlukan. Keterbukaan menjadi kunci dalam
menjaga keutuhan dalam perkawinan.
2.2.2 Gaudium et Spes No. 49
Tentang perkawinan, Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes No. 49
menulis:
Seringkali para mempelai dan suami-isteri diundang oleh Sabda Ilahi,
untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka dengan cinta yang
murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak terbagi. Cukup
banyak orang zaman sekarang amat menghargai pula cinta kasih sejati
antara suami dan isteri, yang diungkapkan menurut adat-istiadat para
bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Cinta kasih itu, karena
sifatnya sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari
pribadi menuju kepada pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi;
maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan jiwa maupun raga
dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya dengan unsur
dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami-isteri.50
Hal yang ditekankan dalam Gaudium et Spes No. 49 adalah kasih. Kasih
menjadi prioritas utama dalam perkawinan. Kasih merupakan unsur hakiki dalam
sebuah ikatan perkawinan. Dapat juga dikatakan bahwa kasih merupakan
kekuatan yang harus dimiliki oleh suami dan istri, seperti yang bertumbuh dari
kasih akan diri sendiri, kasih terhadap Allah dan manusia, kasih terhadap
persekutuan manusia serta terhadap pribadi tertentu yang menjadi kekuatan dalam
kehidupan keluarga.51
49 Alfred Mcbride, Pendalaman Iman Katolik (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hlm. 50. 50 Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, op. cit., hlm. 585-586. 51 Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, terj. Alex
Armanjaya. Yosef M. Florisan dan G. Kirchberger (Maumere: Penerbit Ledalero, 2003), hlm.
81.
28
Hal ini menunjukkan bahwa kasih harus diberikan lebih kepada seseorang
pribadi tertentu, yaitu suami atau istri sehingga kasih suami harus lebih kepada
istri begitu juga sebaliknya kasih istri kepada suami. Ikatan perkawinan suami-
istri Kristiani merupakan ikatan sakramental, yaitu ikatan yang menjadi simbol
yang menghadirkan kasih dan kesetiaan Allah sendiri kepada umat-Nya.
Perkawinan yang dilakukan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan bebas dan
penuh dari kedua calon pengantin.52
Dalam persetujuan bebas tanpa paksaan, cinta lahir dengan tulus. Cinta
kasih itulah yang menyatukan setiap pribadi dalam hidup berkeluarga. Cinta kasih
tidak hanya menyatukan, tetapi mendasari keluarga dan menjiwai kehidupan
berkeluarga. Persekutuan pribadi berdasarkan kasih dalam keluarga, terungkap
nyata dalam hidup perkawinan suami-istri. Oleh karena itu, cinta kasih menjadi
dasar dalam hidup berkeluarga, dan menjadi pegangan dalam menjaga keutuhan
perkawinan itu sendiri.
2.3 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Kitab Hukum Kanonik
Berikut, penulis akan mengulas pandangan mengenai perkawinan Kristiani
yang dibahas dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1055 dan 1057.
2.3.1 Kitab Hukum Kanonik No. 1055
Dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1055 tertulis:
1. Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara
mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu
terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan
anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang
dibaptis diangkat ke martabat sakramen.
2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak
perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan sakramen.53
Kanon 1055 tersebut di atas merupakan kanon doktrinal yang mengartikan
perkawinan sebagai sebuah perjanjian antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.54 Janji antara seorang
laki-laki dan seorang perempuan inilah yang menjadi dasar bagi terwujudnya
52 Mukadimah, Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Tahun 1966, ed. Frans
Ceunfin (Maumere: Penerbit Ledalero, 2007), hlm. 49. 53 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 303-304. 54 Robertus Rubiyatmoko, op. cit., hlm 17-18.
29
perkawinan. Tanpa janji maka perkawinan tidak ada. Janji kasih yang sudah
dibangun sejak masa-masa pacaran dan juga selama masa persiapan perkawinan,
perlahan-lahan mulai mewujudkan dirinya dalam perkawinan. Dalam kesempatan
perkawinan, kasih yang mereka hayati dinyatakan secara resmi.
Sebuah perkawinan yang berhasil dan mempunyai dasar pijak yang kuat,
selain dibangun di atas dasar saling mencintai, harus pula dibangun di atas
kesediaan kedua belah pihak untuk mengosongkan diri dan menyangkal dirinya,
meninggalkan egoismenya untuk menjadi satu dengan dia yang dicintainya.55 Hal
ini perlu menjadi penekanan bagi semua pasangan agar dalam perjalanan hidup
berumahtangga, perkawinan mereka dapat berjalan dengan baik.
Kanon 1055 juga menekankan perkawinan sebagai kesepakatan untuk
senasib dan sepenanggungan dalam seluruh aspek kehidupan. Gagasan ini
memang memiliki makna yang begitu luas dan tidak selalu mudah untuk
diwujudkan. Atau dengan perkataan lain, mengungkapkan perkataan senasib
sepenanggungan dalam segala aspek memang sangatlah mudah tetapi menjadi
tidak mudah ketika hendak diwujudkan dalam kehidupan perkawinan selanjutnya.
Hal tersebut hanya dapat tercapai jika ada semangat kerendahan hati, keterbukaan
dan saling berkorban antara laki-laki dan perempuan dalam memelihara keutuhan
perkawinan tersebut.
Perkawinan yang telah terbangun ini tentunya terarah juga pada kelahiran
dan pendidikan anak. Memiliki anak, karena itu, menjadi bagian penting dan
mendasar dari tujuan perkawinan. Ungkapan kasih dalam perkawinan menemukan
realisasinya melalui persetubuhan antara suami-istri menuju kelahiran hidup baru.
Namun perlu diingat juga bahwa kelahiran anak merupakan anugerah Tuhan, yang
tak boleh dimutlakkan atau menjadi satu-satunya hakikat perkawinan. Oleh karena
itu, apabila Tuhan tidak memberikan anak, hal itu sama sekali tidak berarti
perkawinan kehilangan artinya. Tanpa kelahiran anak pun perkawinan tetap tidak
kehilangan artinya. 56 Dengan demikian ketidakhadiran anak dalam sebuah
keluarga, tidak dapat dijadikan sebagai alasan bagi suami dan istri untuk bercerai
dan meninggalkan perkawinan sakramental yang telah dibangun.
55 A. Tefa Sau, Mencari Baju Kebahagiaan (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 7. 56 T. Gilarso, loc. cit.
30
2.3.2 Kitab Hukum Kanonik No. 1057
Dalam Kitab Hukum Kanonik No. 1057 tertulis:
1. Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan
yang dinyatakan secara legitim membuat perkawinan; kesepakatan itu
tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi mana pun.
2. Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan
wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk
perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.57
Sebagaimana tertulis dalam kanon 1057 di atas, kesepakatan menjadi satu-
satunya unsur yang membentuk perkawinan. Kesepakatan itu harus muncul hanya
dari pasangan suami-istri dan bukan karena hasil desakan orang lain. Kanon 1057
bagian 1 dengan tegas mengatakan bahwa “kesepakatan itu tidak dapat diganti
oleh kuasa manusia manapun”. Secara yuridis penegasan ini berarti bahwa
kesepakatan nikah harus lahir di atas dasar kebebasan. Lebih dari itu kesepakatan
harus diungkapkan atau dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma
hukum.58 Oleh karena itu, kesepakatan nikah tidak hanya merupakan tindakan
internal batiniah semata tetapi lebih dari itu merupakan sebuah tindakan yuridis
eksternal.
Kanon 1057 bagian 2, selain memberikan definisi tentang kesepakatan,
juga menegaskan objek kesepakatan itu sendiri. Objek kesepakatan tersebut
adalah hak eksklusif dan tetap terhadap tubuh pasangannya dengan tujuan utama
yaitu untuk mendapatkan keturunan. Namun, perlu diketahui bahwa hak atas
tubuh hanyalah salah satu aspek dari kesepakatan nikah. Objek kesepakatan nikah
justru lebih terarah pada kebersamaan seluruh hidup yang terarah kepada
kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak. Di sini, perlu diingat
bahwa cinta kasih bukan merupakan objek kesepakatan karena cinta kasih
dibedakan dari “kehendak untuk membentuk perjanjian nikah”.59 Oleh karena itu,
cinta kasih tidak dapat dijadikan landasan untuk menentukan sah tidaknya
kesepakatan.
57 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 58 Robertus Rubiyatmoko, op. cit., hlm. 23. 59 Ibid., hlm. 26-27.
31
2.4 Perkawinan Kristiani dalam Perspektif Katekismus Gereja
Berdasarkan Katekismus Gereja Katolik penulis akan mengulas
pandangan Katekismus Gereja Katolik N.o 1603 dan 1604 tentang perkawinan
Kristiani.
2.4.1 Katekismus Gereja Katolik No. 1603
Dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1603 tertulis:
“Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra….. Diadakan oleh
Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya. … Allah
sendirilah pencipta perkawinan” (GS 48, 1). Panggilan untuk perkawinan
sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita, sebagaimana mereka muncul
dari tangan pencipta. Perkawinan bukan merupakan satu institusi
manusiawi semata-mata, walaupun dalam peredaran sejarah ia sudah
mengalami berbagai macam perubahan sesuai dengan kebudayaan,
struktur masyarakat, dan sikap mental yang berbeda-beda. Perbedaan-
perbedaan ini tidak boleh membuat kita melupakan ciri-ciri yang tetap
dan umum. Walaupun martabat institusi ini tidak tampil sama di mana-
mana, namun di semua kebudayaan ada satu pengertian tertentu tentang
keagungan persatuan perkawinan, karena “keselamatan pribadi maupun
masyarakat manusiawi dan Kristiani erat berhubungan dengan
kesejahteraan rukun perkawinan dan keluarga” (GS 47, 1).60
Salah satu janji perkawinan adalah mengikatkan diri pada Kristus. Dengan
perkataan lain, pasangan suami-istri bersekutu mesra dengan Allah ketika mereka
mengikatkan diri pada Kristus dan beriman kepada-Nya. Panggilan untuk
perkawinan yang sudah terletak dalam kodrat pria dan wanita dengan sendirinya
merupakan panggilan dari Allah. Sebagai panggilan yang datang dari Allah,
suami-istri harus menjaga panggilan itu dengan baik dan berjanji untuk tetap setia
dalam hidup bersama dan membangun rumah tangga.
Kesetiaan sebagai komitmen perkawinan menggambarkan bahwa
kesediaan untuk tetap setia kepada pasangan dan tanggung jawab kepada
kehidupan anak adalah buah dari hubungan seksual itu sendiri.61 Keluarga sebagai
satu-satunya institusi yang mengesahkan hubungan seksual antara pria dan
wanita,62 karena itu tidak melegitimasi hubungan di luar pernikahan. Hubungan di
luar pernikahan jelas secara tegas dilarang oleh Gereja Katolik. Hubungan seksual
60 Kongregasi Ajaran Iman, Katekismus Gereja Katolik, terj. Herman Embuiru (Ende: Nusa Indah,
1995), hlm. 403. 61 Paskalis Lina, Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya (Maumere: Penerbit
Ledalero, 2017), hlm. 187. 62 Bernard Raho, Sosiologi (Maumere: Penerbit Ledalero, 2014), hlm. 268.
32
yang patut dikatakan sah hanyalah hubungan seksual di antara pasangan yang
sudah dikukuhkan dalam perkawinan. Pasalnya, dalam perkawinan Kristiani,
Allah adalah perkawinan itu sendiri sehingga bagi siapa yang merusak
perkawinan dengan sendirinya ia menyangkal Allah yang ada dalam hidupnya.
Oleh sebab itu, Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup
antara pria dan wanita yang telah dibaptis memiliki sifatnya yang khas dan hanya
terarah kepada kesejahteraan suami dan istri.
2.4.2 Katekismus Gereja Katolik No. 1604
Dalam Katekismus Gereja Katolik No. 1604 tertulis:
Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia
untuk mencintai, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia.
Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendiri adalah cinta.
Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka
cinta di antara mereka menjadi gambaran dari cinta yang tak
tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia.
Cinta ini di mata pencipta adalah baik, malahan sangat baik. Cinta
perkawinan diberkati oleh Allah dan ditentukan supaya menjadi subur
dan terlaksana dalam karya bersama demi tanggung jawab untuk ciptaan:
“Allah memberkati mereka dan berkata kepada mereka: Beranakcuculah
dan bertambah banyaklah; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasa
atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi” (Kej. 1: 28).63
Bunyi katekismus ini menggambarkan secara jelas bahwa Allah adalah
cinta. Sebagai cinta, Allah karena itu menuntut manusia untuk hidup dalam cinta.
Tuntutan dalam menjawabi cinta Allah ini, karena itu, secara efektif akan
terpenuhi jika manusia saling mencintai.64 Di atas dasar Allah sebagai cinta ini,
perkawinan secara khusus, hanya dapat bertahan bila pasangan yang telah hidup
bersama pun saling mencintai. Suami harus mencintai istrinya dan begitupun
sebaliknya istri harus mencintai suaminya.
Relasi cinta antara suami-istri menunjukkan secara jelas cinta Allah
kepada Yesus Kristus dan menjadi dasar bagi persekutuan hidup bersama.
Perempuan adalah ladang yang menerima dan menumbuhkan benih, laki-laki
adalah penanam benih, laki-laki menyediakan bentuk, sedangkan perempuan
63 Kongregasi Ajaran Iman, op. cit., hlm. 403-404. 64 Servulus Isaak, Mencari Keadilan (Ende: Nusa Indah, 1985), hlm.38.
33
memberikan substansi. 65 Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan saling
membutuhkan. Oleh karena itu, cinta harus tumbuh dalam kehidupan seksualitas
dan juga dalam kehidupan berkeluarga.
Selain itu, cinta juga menuntut adanya compassio. Compassio adalah
sebuah sikap untuk turut mengambil bagian dalam penderitaan orang lain atau
berpartisipasi dengan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Kepekaan untuk
menerima penderitaan orang lain hanya bisa dilakukan dengan melepaskan diri
dari konsentrasi pada diri sendiri.66 Dalam semangat compassio ini, relasi cinta
antara suami-istri dimulai dengan adanya kesediaan untuk saling menerima
kekurangan dan pengalaman pahit yang dialami oleh pasangan. Dengan semangat
ini, segala kelemahan dan keterbatasan diterima secara total. Justru pada titik
inilah keutuhan perkawinan menemukan dirinya yang paling hakiki.
2.5 Perkawinan Kristiani Bersifat Monogami dan Tak Terceraikan
Perkawinan Kristiani memiliki dua sifat penting yakni monogami dan tak
terceraikan. Dua sifat perkawinan ini akan diuraikan penulis sesuai perspektif
Kitab Suci Perjanjian Lama, Kitab Suci perjanjian Perjanjian Baru, dan juga
menurut perspektif kitab hukum kanonik.
2.5.1 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama Tentang Monogami dan Tak
Terceraikan
Perkawinan Kristiani yang dilandasi cinta kasih timbal balik dan total serta
yang telah diangkat menjadi sakramen tidak dapat terjadi antara seorang pria
dengan beberapa wanita (poligami) atau sebaliknya seorang wanita dengan lebih
dari seorang pria (polandri). Kendati demikian, misalnya, struktur serta pola
patriarkat yang berlaku di tengah bangsa Israel serta adanya hukum yang
mengizinkan poligami walaupun tidak dianjurkan, poligami masih memasuki
lingkungan hidup orang beriman.
Kitab-kitab Perjanjian Lama menyajikan banyak kisah mengenai persoalan
seputar poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Perjanjian Lama; misalnya
kisah Abraham yang dikenal sebagai Bapa Bangsa melakukan praktek poligami
65 Fredy Sebho, Estetika Tubuh (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 67. 66 Fredy Sebho, Moral Samaritan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 147.
34
dengan mengawini Hagar hamba Sara (Kej 12: 5; 16: 1-2); kisah Daud yang
mempunyai beberapa istri (2 Sam 3: 2-5; 13 dan 15: 16); Salomo raja Israel yang
memiliki banyak istri (1 Raj 11: 1-8), dan sebagainya. Praktik poligami yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh Perjanjian Lama ini tentu melawan hakikat
perkawinan Kristiani yang bersifat monogami sebagai “persatuan hidup kekal (life
long) antara seorang suami dan seorang istri”.67
Tokoh-tokoh Perjanjian Lama meskipun terjebak dalam gaya hidup
poligami, praktik poligami ini tidak pernah memberi legitimasi kepada umat
pilihan Allah untuk mempertahankan model perkawinan tersebut.68 Atau dengan
perkataan lain, walaupun pada kenyataannya poligami banyak dipraktekkan,
Perjanjian Lama tidak memandang model perkawinan tersebut sebagai gejala
yang normal dan wajar sesuai ukuran kesusilaan. Pasalnya, bila kitab-kitab ini
diteliti secara lebih jauh, akan ditemukan cita-cita perkawinan monogami, serta
kritik terhadap praktik hidup poligami.
Kritik dan kecaman terhadap praktek permaduan paling keras disuarakan
oleh para nabi. Para nabi seperti Nabi Natan, Nabi Elia, Nabi Amos, Nabi Hosea
dan Nabi Yeremia,69 dengan tegas dan tanpa kompromi membela hak kaum lemah
dan tertindas, golongan marginal termasuk wanita janda dan yatim piatu yang
hidup di bawah kungkungan budaya patriarki. Sehubungan dengan perkawinan,
kaum wanita dibela karena mereka terkungkung oleh sistem patriarki yang
berlaku dan suasana sosial-kultural yang membebankan.
Nabi Natan misalnya, menegur Daud karena ia membunuh bawahannya
Uria agar istri Uria dijadikan miliki kepunyaannya. Nabi Elia menentang raja
Ahab. Nabi Amos menentang dosa nasional yang berhubungan dengan
persundalan. Nabi Hosea yang hampir sezaman dengan Nabi Amos mencela dosa
rakyat karena persundalan dan pemerkosaan (Hos 4: 2; 4: 14). Dengan pedasnya
Nabi Yeremia mengancam zinah (Yer 5: 8).70
67 John Macquarrie, A dictionary of Cristian Ethics (London: SCM Press LTD, 1967), hlm. 217. 68 Piet Go dan Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan (Malang: Analekta
Keuskupan Malang, 1990), hlm. 2. 69 G.N. Vollebrecht, Kitab Suci Tentang Perkawinan, terj. F. Hartono, Pr (Yogyakarta: Kanisius,
1966), hlm. 36-37. 70 Ibid.
35
Berbagai kritik yang dilakukan oleh para nabi ini tentu dibangun di atas
cita-cita perkawinan yang bersifat monogami. Cita-cita para nabi akan perkawinan
di antara suami-istri ini dihubungkan dengan relasi Allah dan bangsa Israel
sendiri. Ketika Israel murtad dan menyembah dewa-dewi lain, mereka dinilai
berzinah. Namun ketidaksetiaan Israel ini tidak menghapus kesetiaan Allah
terhadap mereka. Relasi suami istri ini dengan demikian bagi para nabi
melambangkan relasi Yahwe dengan umat-Nya Israel. Hal ini digambarkan
dengan jelas misalnya, oleh Nabi Hosea.
Nabi Hosea memandang kesetiaan kepada Yahwe sebagai dasar yang
teguh bagi kesetiaan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam perkawinan
(Hos 2: 1, 6, 13). Di dalam perjanjian-Nya, Tuhan mengarahkan diri sepenuhnya
kepada Israel. Kesetiaan terhadap umat-Nya Israel ini tentu menuntut kesetiaan
serupa dari Israel sebagai balasan terhadap cinta Yahwe. Berhubungan dengan
kesetiaan timbal balik antara Yahwe dan Israel, Tuhan pun menghendaki agar
perjanjian nikah antara seorang wanita dan pria di dalam perkawinan tidak
terbagi.71
Kesadaran serta cita-cita Perjanjian Lama akan perkawinan tunggal tidak
meluluh ditemukan lewat kecaman-kecaman terhadap permaduan. Selain kritik
dan kecaman, terdapat pula panggilan positif ke arah monogami, 72 misalnya
melalui ungkapan-ungkapan puitis dan melalui syair-syair. Kidung Agung adalah
salah satu contoh pujian berbentuk syair untuk memuji-muji monogami. Kitab ini
menggarisbawahi sumber kesetiaan mereka yang berakar pada cinta kasih timbal
balik. Cinta kasih membuat masing-masing pasangan menemukan diri yang lain
sebagai diri yang unggul (Kid 2: 2-3). Selain kitab Kidung Agung, Kitab Amsal
(Ams 5: 15-18), kitab Pengkotbah (Pkh 4: 9), Sirakh (Sir 26: 1-4) berturut-turut
menyajikan gambaran perkawinan yang dicita-citakan mesti bersifat monogami.
Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa penulis-penulis kitab suci
Perjanjian Lama dengan jelas menolak perceraian sebagaimana penolakan
terhadap poligami. Pendirian mereka sangat nyata menjunjung tinggi perkawinan
tunggal dan tak terputuskan. Kitab Kejadian bab 1 dan 2 sebagai kitab yang
ditempatkan paling awal dalam deretan kitab Suci Perjanjian Lama telah lebih
71 J. Verkuyl, Etika Kristen Seksual, Soegiarto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1957), hlm. 60. 72 Ibid.
36
dahulu mencita-citakan kesetiaan seumur hidup dalam perkawinan. Pasalnya,
perceraian maupun pengingkaran terhadap kesetiaan perkawinan berarti berdosa
terhadap Allah sendiri yang menghendaki persekutuan suami-istri (Kej 1: 26-28;
2: 24).
Persekutuan hidup suami istri ini misalnya ditunjukkan dalam teks-teks
Kitab Suci misalnya dalam Tobit, Maleaki, dan Hosea. Kerinduan kitab Tobit
akan perkawinan yang tak terceraikan ditunjukan lewat doa Tobias dan Sarah
istrinya. Dalam doa, Tobias dan Sarah memohon bantuan Tuhan bagi
kebersamaan dan kebahagiaan mereka seumur hidup (Tob 8: 5-7). Selain Tobit,
Kitab Maleaki pun menolak perceraian. Bagi penulis Kitab ini, setiap perceraian
mengabaikan penghormatan terhadap Allah yang telah menjadi saksi perkawinan
(Mal 2: 14-16). Pria Yahudi yang menikahi wanita kafir dan karena itu
menceraikan istrinya, menjadi sasaran kecaman penulis Kitab ini.73
Nabi Hosea sendiri, seorang tokoh penentang ketidakadilan bagi kaum
lemah, dalam hubungan dengan perkawinan mempunyai sikap serupa dengan nabi
lainnya seperti disebut sebelumnya. Kesetiaan yang ditunjukkannya di tengah
ketidaksetiaan istrinya dalam perkawinan mereka membenarkan cita-cita maupun
pendiriannya tentang perkawinan yang tak terceraikan. Kesetian Nabi Hosea
melambangkan juga kesetiaan tanpa batas dari Yahwe di tengah ketidaksetiaan
umat-Nya (Hos 1-3). 74 Dengan cara ini penulis Kitab Hosea hendak
menyampaikan kepada semua pasangan suami-istri bahwa ketidaksetiaan salah
satu pihak tidak menjadi alasan yang memungkinkan perceraian.
2.5.2 Pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru Tentang Monogami dan Tak
Terceraikan
Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, persoalan seputar poligami terutama
merujuk pada sikap Yesus terhadap pentingnya perkawinan yang bersifat
monogami. Yesus sendiri menolak bentuk perkawinan poligami, menentang
perceraian, dan menerima perkawinan yang bersifat monogami. Markus 10:11-12,
misalnya menampilkan ketegasan sikap Yesus berhubungan dengan perkawinan.
75 Al. Purwa Hardiwardoyo, Perkawinan Menurut Islam dan Katolik (Yoyagkarta: Kanisius,
1990), hlm. 36. 74 Ibid.
37
Yesus mengatakan bahwa: “barangsiapa menceraikan istrinya lalu kawin dengan
perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Dan jika istri
menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Mrk
10: 11-12).
Tuduhan zinah terhadap suami-istri yang bercerai mengandaikan bahwa
Yesus menghendaki persatuan yang tetap dan tak terbagi antara pasangan suami-
istri. Kehendak Yesus terhadap hal ini, selain terdapat dalam Markus, juga
terdapat dalam injil lain, misalnya dalam Matius 5: 31-32; 19: 4-6; dan Lukas 16:
18. Semua nas ini pada intinya menegaskan bahwa ikatan perkawinan hanya
didasarkan pada Allah pencipta dan karena-Nya, manusia tidak dapat memutuskan
untuk bercerai dan kawin lagi agar mereka tidak dapat berbuat zinah. Oleh karena
itu, semua kitab ini menjunjung tinggi perkawinan yang bersifat monogami.75
Selain injil, Paulus juga menuliskan ajarannya tentang perkawinan Kristen
dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika. Dokumen ini merupakan yang
tertua, tersedia antara tahun 49 dan 50 sesudah masehi yang ditulis untuk jemaat
Kristen Tesalonika, sebuah kota pelabuhan yang besar dengan mayoritas
penduduknya orang Yunani. Heterogenitas penduduk di sana menyebabkan hidup
perkawinan menjadi sangat rapuh.76
Dalam situasi heterogenitas seperti itu Paulus menulis surat sebagai
sebuah paranese misalnya terdapat dalam 1 Tesalonika 4: 3-8. Dalam teks ini
Paulus menasehati jemaat agar menjauhkan diri dari percabulan serta hawa nafsu
tak teratur. Larangan terhadap libertinisme seksual yang lazim dipraktekkan
jemaat Tesalonika ini didasarkan pada alasan bahwa tubuh manusia merupakan
bait Roh Kudus, tempat tinggal yang tetap bagi daya Ilahi yang menghadirkan
Allah (1 Kor 3: 16-17; 2 Kor 16: 16). Oleh karena itu, setiap orang yang
melakukan percabulan terhadap tubuhnya sendiri dengan sendirinya akan
memotivasi orang lain untuk melakukan hubungan seksual secara bebas. Dengan
demikian larangan terhadap percabulan yang dilakukan secara privat serentak
merupakan larangan terhadap libertinisme seksual.77
75 Vollebrecht, op. cit., hlm. 69. 76 C. Groenen, Perkawinan Sakramental, Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Pastoral,
terj. J. Hardiwikarta (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 91. 77 Ibid., hlm. 92-95.
38
Paulus menegaskan bahwa setiap perkawinan dilindungi oleh Allah. Allah
dalam Roh Kudus-Nya hadir dalam perkawinan orang beriman. Tubuh orang
beriman pun merupakan Bait Roh Kudus. Setiap bentuk percabulan merusak citra
diri manusia sebagai kenisah Allah. Dari tulisannya yang bersifat paranetis
tersebut, rupanya tampak cita-cita Paulus untuk menghormati serta menjaga
kesetiaan perkawinan. Orang beriman yang telah menyerahkan diri satu sama lain
dalam perkawinan telah melebur menjadi satu sehingga ketidaksetiaan satu
terhadap yang lain berlawanan dengan kehendak Allah. Penegasan tentang
perkawinan yang monogami dan larangan terhadap poligami, menghadirkan bagi
kita sikap Kitab Suci Perjanjian Baru yang membela ketakterceraikan perkawinan
sebagai satu sifat utama perkawinan Katolik.
Ucapan Yesus tentang boleh tidaknya perceraian yang ditemukan dalam
Markus 10: 1-12, ditempatkan Markus dalam rangka pertikaian Yesus dengan
orang Farisi. Pada permulaan pekerjaan-Nya di Yudea, kaum Farisi menanyai Dia
perihal talak, yaitu kemungkinan seorang suami menceraikan istrinya. Mereka
hendak mengetahui bagaimana pendapat Yesus dengan mengutip nas Perjanjian
Lama yaitu Kitab Ulangan 24: 1-4. Dalam kitab ini Musa mengizinkan perceraian
dengan menulis surat talak.
Pertanyaan kaum Farisi dijawab Yesus dengan mengatakan bahwa talak
yang diizinkan Musa merupakan ketegaran hati umat Israel. Kekerasan hati yang
dimaksudkan oleh Markus adalah ketertutupan hati akan Sabda Allah sehingga
tidak mampu memahami kehendak Allah yang sebenarnya. Karena itu Yesus
mengutip Firman Allah dalam Kejadian 1: 27 dan 2: 24. Dengan mengutip nas ini
Yesus hendak menunjukkan aspek kebaruan ajaran-Nya serta membatalkan izinan
Musa dan menegaskan kembali maksud Allah yang sebenarnya, seperti termaktub
dalam Kejadian 1 dan 2, dan yang terpenuhi di dalam diri-Nya, yakni perkawinan
tunggal dan tak terceraikan.78
Sama seperti Markus, Matius pun mengatakan sikap penolakan Yesus atas
perceraian. Sikap Yesus terhadap perceraian ini dapat ditemukan dalam Matius 5:
31-32. Ungkapan tetang perceraian digabungkan dengan ucapan tentang berzinah
serta ditulis dalam rangkaian melawan hukum lama yang dimengerti orang-orang
78 Vollebrecht, op. cit., hlm. 70-71.
39
Yahudi dengan petunjuk Yesus sendiri. Petunjuk Yesus menonjolkan ajaran-Nya
yang melampaui sekaligus menyempurnakan yang lama (Mat 5: 17-18). Yesus
mendasari ucapan-Nya pada hukum serta adat Yahudi yang mentolerir perceraian
tetapi dengannya orang berzinah (Ul 24:1). Dengan latar belakang ini, Yesus
menegaskan bahwa suami yang menjatuhkan talak untuk istrinya dan menikahi
istri yang ditalaki oleh suaminya yang lama, dia berbuat zinah. Dengan demikian
kitab Ulangan 24: 1 dibatalkan.
Bagi Yesus perceraian sama sekali tidak diperbolehkan. Penekanan pada
aspek baru ajaran Yesus maupun pembatalan hukum lama tentang perceraian
ditemukan juga dalam Matius 19: 1-12. Sebagaimana tulisan Markus, izinan
perceraian yang diberikan Musa merupakan suatu tindakan yang dibuat secara
terpaksa karena ketegaran hati orang-orang Israel. Namun sebenarnya setiap
perceraian sebenarnya berlawanan dengan kehendak Allah, sebab Allah sendirilah
yang menghendaki persatuan mereka (Kej 1:27; 2: 24).79
Pendirian Lukas tentang larangan mengenai perceraian misalnya dapat
ditemukan dalam Lukas 16: 18. Dalam teks ini, terlihat adanya kesamaan antara
Lukas dengan penginjil terdahulu perihal pendirian Yesus terhadap hukum taurat.
Bila suami menceraikan istrinya dan menikah lagi dengan perempuan lain, ia
berbuat zinah. Talak tidak memutuskan perceraian. Perceraian yang disusul
dengan perkawinan baru tidak mungkin terjadi dalam pandangan Yesus.80
Paulus juga menulis bahwa perkawinan Kristen tidak boleh diceraikan.
Seandainya mereka terpaksa berpisah oleh sebab halangan-halangan serius,
mereka tidak bebas untuk menikah lagi (1 Kor 7: 10-11). Bagi Paulus perceraian
untuk orang kristen secara mutlak dilarang. Hanya kematian yang dapat
memisahkan mereka. 81 Lebih dari itu, Paulus melihat perkawinan sebagai
hubungan agung yang disejajarkan dengan hubungan antara Kristus dengan
Gereja-Nya. Oleh karena itu, kasih antara Kristus terhadap Gereja menjadi model
persatuan suami-istri.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan kini bahawa Perjanjian
Baru secara tegas menolak perceraian. Semua penulis injil dalam nas-nas tentang
79 Ibid., hlm. 72-73. 80 Groenen, op. cit., hlm. 116. 81 Lembaga Biblika Indonesia, Surat-Surat Paulus II (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 43.
40
perkawinan menegaskan bahwa Kristus sebagai pemenuhan segala hukum
termasuk hukum taurat, menampilkan aspek baru dalam segala ajaran-Nya serta
menyempurnakan Perjanjian Lama termasuk pandangan tentang perkawinan.
Martabat perkawinan Kristen yang disejajarkan dengan hubungan antara Kristus
dan Gereja dan diangkatnya perkawinan pada tingkatnya sebagai sakramen
memperkuat sifat tak terceraikannya perkawinan Kristen itu.
2.5.3 Pandangan Kitab Hukum Kanonik Tentang Monogami dan Tak
Terceraikan
Kitab Hukum Kanonik menegaskan monogami sebagai sifat hakiki
perkawinan yang melahirkan eksklusivitas perkawinan sebagai kebersamaan
senasib seluruh hidup. Kanon 1056 menyatakan sifat-sifat hakiki perkawinan
sebagai kesatuan serta ikatan yang tak terputuskan antara suami-istri. Perkawinan
yang diangkat menjadi sakramen harus memiliki sifat-sifat hakiki ini. Kedua sifat
hakiki ini menjadikan perkawinan bersifat eksklusif. Ini berarti di dalam
perkawinan terjadi penyerahan diri timbal balik antara keduanya (Kan. 1067, ay.
2).82
Hak atas perkawinan termasuk hubungan eksklusif tidak dapat diberikan
kepada orang ketiga. Hubungan intim dengan pihak ketiga sangat ditentang oleh
sifat eksklusif perkawinan. Gagasan-gagasan tersebut dapat dimengerti bila
dikaitkan dengan paham perkawinan sebagai kebersamaan, senasib seumur hidup
yang tidak hanya bersifat kuantitatif sebagai kebersamaan antara dua orang tetapi
lebih dari itu bersifat kualitatif; menyangkut manusia seutuhnya dengan segala
aspek kepribadian yang dimiliki.
Kanon 1056 juga menyatakan bahwa tak terceraikannya perkawinan
merupakan salah satu sifat hakiki perkawinan. Kanon tersebut berbunyi: “sifat-
sifat hakiki perkawinan ialah monogami dan tak terceraikan, yang dalam
perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan atas dasar sakramen”.83 Pernyataan
ini dipertegas dalam kanon 1134 yang menyatakan bahwa berdasarkan
perkawinan yang sah antara suami-istri timbullah ikatan yang bersifat tetap serta
82 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 83 Ibid.
41
eksklusif. Hubungan yang tetap dan eksklusif tersebut diperkuat oleh status
perkawinan sebagai sakramen.84
Pernyataan kedua kanon tersebut menunjukkan bahwa hukum Gereja
menjunjung tinggi kesetiaan perkawinan sepanjang hidup tanpa mengindahkan
perceraian. Kendati demikian dan walaupun dalam kanon yang sama dinyatakan
bahwa paham tak terceraikannya perkawinan sakramental tidak membuat
perceraian sebagai sesuatu yang tak mungkin, perkawinan yang ratum et non
consummatum masih dapat diceraikan. Maksud perkawinan ratum et
consummatum adalah perkawinan yang dilakukan secara sah antara pasangan
hidup yang dipermandikan dan disempurnakan lewat persetubuhan.85 Oleh karena
itu kesempurnaan ini dengan sendirinya tidak dapat membuat pasangan suami-
istri untuk mengambil keputusan untuk berpisah satu dengan yang lain.
Perkawinan Kristiani sudah menegaskan dengan sangat jelas bahwa dalam
perkawinan Kristiani sesungguhnya tidak adanya istilah perceraian. Penolakan ini
didasarkan pada alasan bahwa perceraian merupakan tindakan yang hanya
menodai kesakralan makna perkawinan yang sesungguhnya berlandas pada
ketentuan Allah. Oleh karena itu Gereja menolak dengan keras dan tegas adanya
perceraian antara suami dan istri yang telah dipersatukan oleh Allah sendiri.
2.5.4 Ajaran Sosial Gereja Tentang Monogami dan Tak Terceraikan
Kesatuan atau monogami dalam perkawinan menunjukkan suatu kebaruan
dalam hidup suami-istri karena hanya melalui perkawinan mereka telah menjadi
satu manusia baru. Suami hidup dalam istrinya dan istri hidup dalam suaminya.
Kesatuan ini bukan hanya kesatuan badan melainkan kesatuan seluruh jiwa dan
raga. Kesatuan ini merupakan kesatuan yang eksklusif. Disebut eksklusif karena
kesatuan itu menunjukan kesatuan cinta suami dan istri yang tak terbagikan
kepada orang lain.86
Gereja mengajarkan monogami sebagai satu-satunya bentuk perkawinan
yang halal bagi orang Katolik. Gereja mengakui serta mengajarkan bahwa
persatuan hidup suami-istri diciptakan Allah sendiri atas persetujuan bebas
84 Ibid., hlm. 465. 85 Ibid., hlm. 467. 86 Catur A. Raharso, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma, 2006),
hlm. 86.
42
keduanya. 87 Cinta kasih suami-istri dilengkapi serta diberkati Kristus dalam
pemberian diri-Nya yang total terhadap Gereja.
Paus Yohanes Paulus II dalam amanat Apostolik “Familiaris Consortio”
No. 19 menulis bahwa setiap pasangan suami-istri berkat bantuan Roh Kudus
akan senantiasa sanggup menunjukan kesetiaan satu terhadap yang lain. Dengan
kesaksian hidup mereka, mereka menyatakan kepada Gereja dan dunia tentang
persatuan cinta kasih yang baru, yang telah diberikan oleh rahmat Kristus.88
Penyerahan diri dalam cinta kasih yang total dan eksklusif ini dengan
sendirinya tidak membenarkan praktek poligami. Pasalnya, poligami secara
langsung menyangkal rencana Allah yang sejak awal mula menghendaki
persatuan utuh antara pria dan wanita dalam perkawinan. Setiap wanita dan pria
sejak mengucapkan janji perkawinan, mereka bukan lagi dua melainkan satu.
Paus Paulus VI dalam ensiklik Humanae Vitae juga menyatakan bahwa
cinta kasih suami-istri berciri setia dan eksklusif sampai akhir hidup. Ciri ini
hendaknya disadari oleh para mempelai pada saat mereka dengan bebas dan tulus
mengikatkan diri satu sama lain dalam perjanjian nikah.89
Selain bersifat monogami, Gereja juga mengajarkan bahwa perkawinan
Katolik bersifat tak terceraikan. Hal tak terceraikan ini menekankan pentingnya
nilai kesetiaan dalam kehidupan perkawinan. Dasar perkawinan Katolik adalah
cinta kasih yang total antara suami-istri yang bersumber pada cinta Tuhan sendiri.
Dari dasar ini lahirlah sifat hakiki perkawinan yaitu setia seumur hidup. Kesetiaan
seumur hidup menunjukkan bahwa perkawinan pada dasarnya bersifat tak
terceraikan. Oleh karena sifat tak terceraikan ini, semua orang Kristen yang
mewujudkan perkawinan diarahkan untuk sampai pada cita-cita ini.
Melalui Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, Gereja menyatakan bahwa
persatuan suami-istri bukan hanya kesetiaan yang menuntut monogami melainkan
juga kesetiaan yang menyangkut seluruh hidup tanpa adanya perceraian. Sebagai
pemberian diri timbal balik yang total dan eksklusif, setiap pasangan suami-istri
87 Karl Rahner, Teological Investigasion, Vol. X, No. 1 (Turku: Argicola-Gesellschaft, 1955), hlm.
6. 88 Paus Yohanes Paulus II, Amanat Apostolk Familiaris Consortio 19, dalam A. Widyamartaya
(penerj), Keluarga Kristen Dalam Dunia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 43. 89 Paus Paulus VI, Ensiklik Humanae Vitae, No. 9 (edisi Indonesia-Inggris) (Yogyakarta: Kanisius,
1968), hlm. 13.
43
wajib menjaga kesetiaan utuh serta menuntut kesatuan yang tidak terpisah.90 Hal
yang mendasari perjuangan bagi kesetiaan satu terhadap yang lain dalam seluruh
hidup adalah kesetiaan dan kasih Allah kepada manusia di dalam Kristus. Lewat
pemberian diri yang menyeluruh antara keduanya, sifat tak terceraikannya
perkawinan menemukan kebenaran tertinggi dalam rencana yang dinyatakan
Allah melalui pewahyuan diri-Nya. Lebih dari itu, melalui perkawinan, suami-istri
mengambil bagian dalam cinta Kristus yang tidak terhapuskan. Sebagaimana
Kristus menunjukkan kesetiaan kepada umat-Nya, demikian pula suami–istri
dipanggil untuk mengambil bagian dalam sifat tak terceraikannya ikatan Kristus
dengan Gereja.
2.6 Kesimpulan
Seperti telah dipaparkan di atas, perkawinan Kristiani bersifat monogami
dan tak terceraikan. Dengan kedua sifat ini, Gereja berkewajiban untuk
mengajarkan kepada anggota-anggotanya betapa luhurnya perkawinan dan betapa
indahnya hidup dalam kesetiaan sampai akhir hayat. Perkawinan yang dijaga
keutuhannya ini merupakan simbol kehadiran cinta Kristus terhadap Gereja-Nya.
Memang sering muncul kesan bahwa Gereja mengatur perkawinan
anggota-anggotanya. Namun mengajarkan tentang menjaga keutuhan perkawinan
bukan berarti Gereja mengatur dan mengendalikan perkawinan.91 Gereja hanya
menghendaki anggota-anggotanya menghayati luhurnya martabat hidup
perkawinan. Pada titik ini kebebasan pasangan tidak ditolak. Suami-istri bisa saja
secara bebas mengakhiri perziarahan sebagai suami-istri.
Namun Gereja pada dasarnya tidak menyetujui berakhirnya perziarahan
kehidupan perkawinan anggota-anggotanya. Melalui amanat Kristus seperti
tersebut dalam kitab-kitab suci, Gereja menekankan pentingnya perkawinan
dengan sifatnya yang tak terceraikan dan monogami tersebut dan menolak
berbagai perceraian dengan berbagai alasan yang mendasarinya.
Berdasarkan dua sifat ini maka Gereja menolak pereraian dan hanya
menerima anulasi. Tentang anulasi dalam hubungannya dengan perceraian ini
90 Kosili Vatikan II, Gaudium et Spes 49, op. cit., hlm. 530-531. 91 James Burtchaell, Dalam Untung dan Malang; Ikatan Janji Perjanjian, terj. H. J. Suhardiyanto
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 23.
44
akan dibahas pada bab selanjutnya. Pada bab selanjutnya itu, penulis akan
mengkaji problematika perceraian dan juga anulasi sebagai pembatalan
perkawinan serta membuat argumentasi tentang alasaan penolakan Gereja
terhadap perceraian dan hanya menerima anulasi dalam kehidupan perkawinan
Kristiani.
45
BAB III
PROBLEMATIKA PERCERAIAN DAN ANULASI PERKAWINAN
DALAM PERSPEKTIF MORAL KRISTIANI
Pada bab ini, penulis akan mengkaji tentang problematika perceraian dan
anulasi serta argumentasi penulis tentang penolakan Gereja Katolik terhadap
perceraian dan menerima anulasi dalam hukum perkawinan Kristiani.
3.1 Pengertian Perceraian
Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan perceraian
sebagai perpisahan, perihal bercerai atau perbuatan menceraikan. 92 Perceraian
dilihat sebagai suatu problem dalam rumah tangga yang membuat suami dan istri
harus memutuskan hubungan mereka sebagai sumi-istri dan memilih untuk
berpisah. Perceraian terjadi karena salah satu pasangan baik suami maupun istri
atau kedua-duanya memutuskan hubungan perkawinan mereka.
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir-batin
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa. 93 Jadi perceraian menunjukkan putusnya ikatan lahir batin antara
suami dan istri yang pada akhirnya mengakibatkan berakhirnya hubungan
keluarga antara suami dan istri tersebut. Dengan demikian mereka tidak lagi
terikat satu terhadap yang lain.
3.1.1 Pengertian Perceraian Menurut Hukum dan Undang-Undang
Secara yuridis, pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974, melukiskan bahwa
“perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan
92 Pusat Bahasa Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta:
Penerbit Balai Pustaka, 1991), hlm. 185. 93 Ibid., hlm. 18.
46
pengadilan.” 94 Undang-undang ini merupakan aturan hukum positif yang
mengatur perceraian. Melalui undang-undang ini ditunjukkan bahwa terdapat
legitimasi hukum yang mengatur sengketa perceraian antara suami atau istri. Oleh
karena itu keputusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan berakibat pada
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri.95
Selanjutnya dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 termuat ketentuan
imperatif bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan, setelah
pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak.96 Di
hadapan pengadilan, perceraian sebagai hal yang bersifat pribadi ini memerlukan
campur tangan pemerintah sebagai pihak ketiga. Hal ini bertujuan agar perceraian
tidak diputuskan secara sewenang-wenang tetapi harus melalui prosedural hukum
yang jelas. Oleh karena itu, perceraian harus diputuskan melalui saluran lembaga
peradilan.97
Lebih dari itu, perceraian sebagai putusnya perkawinan dan putusnya
ikatan lahir batin ini memuat alasan-alasan hukum seperti termuat dalam pasal 39
ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang telah dijabarkan dalam pasal 19 PP No. 9
Tahun 1975 yakni:
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
6. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.98
Berdasarkan alasan-alasan ini maka pihak hukum akan mengambil
tindakan tegas dan pasti bahwa perkawinan yang sudah sah ini dapat diputuskan.
94 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian (Jakarta
Timur: Sinar Grafika, 2019), hlm. 15. 95 Ibid., hlm. 16. 96 Ibid., hlm. 19. 97 Wahyu Ernaningsih dan Putu Sumawati, Hukum Perkawinan Indonesia (Palembang: PT.
Rambang Palembang, 2006), hlm. 110-111. 98 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm. 183.
47
Hal ini berarti bahwa perkawinan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan
perceraian secara hukum pun terjadi sesuai dengan kehendak dari salah satu pihak
dalam keluarga yang mengajukan permohonan perceraian tersebut baik suami
maupun istri.
3.1.2 Pengertian Perceraian Menurut Doktrin Hukum Perkawinan
Perceraian menurut Subekti adalah “penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan”. 99 Jadi
pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan, baik
dengan putusan hakim atau tuntutan suami maupun istri. Dengan adanya
perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri dengan sendirinya dihapus.
Namun Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai
penghapusan perkawinan itu dengan kematian atau yang biasa disebut dengan
istilah “cerai mati”. Jadi pengertian perceraian menurut Subekti lebih sempit dari
pada pengertian perceraian menurut Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 sebagaimana
telah diulas di atas.
Dalam hukum adat, perceraian merupakan peristiwa luar biasa, suatu
problema sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah. Karena itu
perceraian menurut hukum adat ialah perbuatan yang meskipun dibolehkan karena
faktor tertentu tetapi perlu dihindarkan, karena tiap-tiap keluarga, kerabat dan
persekutuan hukum adat menghendaki pranata dan lembaga perkawinan yang
sudah dilaksanakan dalam bentuk keluarga itu dipertahankan selama hidup.
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan
pria tetapi juga orang tua kedua belah pihak, bahkan keluarga besar mereka
masing-masing. Hubungan suami dan istri setelah dilangsungkannya perkawinan
bukanlah suatu hubungan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi
merupakan paguyuban. 100 Oleh karena itu keputusan untuk menceraiakan istri
atau suami perlu dipertimbangkan secara baik dan matang sehingga tidak menjadi
suatu keputusan yang akhirnya juga merugikan banyak pihak termasuk diri sendiri
dan keluarga besar dalam paguyuban tersebut.
99 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: PT. Internusa, 1985), hlm. 42. 100 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm. 25.
48
Berhadapan dengan makna perkawinan menurut hukum adat tersebut,
dapat dipahami bahwa perceraian meskipun diperbolehkan, ia juga perlu dihindari
karena perceraian dapat memutus hubungan perkawinan yang seharusnya
dipertahankan oleh suami dan istri. Putusnya hubungan perkawinan karena
perceraian dalam hukum adat tidak hanya dipahami sebagai bentuk pemutusan
hubungan lahir batin antara suami dan istri, tetapi juga pemutusan hubungan lahir
dan batin dengan paguyuban dalam keluarga dan masyarakat yang di dalamnya
suami dan istri itu menjadi anggota keluarga dan warga masyarakatnya.101
3.1.3 Pengertian Perceraian Menurut Agama Islam
Putusnya perkawinan adalah berakhirnya hubungan dan ikatan antara
suami dan istri. Putusnya perkawinan dalam Islam secara umum disebabkan oleh
empat hal, yaitu:
1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT melalui takdirnya, di
mana salah satu pasangan meninggal dunia.
2. Putusnya perkawinan karena kehendak suami dan adanya alasan-
alasan tertentu. Hal ini biasa disebut dengan talak.
3. Putusnya perkawinan karena kemauan dari seorang istri. Hal ini bisa
disebabkan oleh intervensi keluarga, keberatan sang istri dalam
menjalankan rumah tangga bersama suami atau alasan-alasan yang
dibenarkan oleh syarak. Cara ini biasa disebut dengan khulu.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim. Sebagai pihak ketiga
yang melihat permasalahan antara istri dan suami yang membuat
suatu perkawinan tidak dapat dilanjutkan. Hal ini biasa disebut
dengan fasakh.102
Berdasarkan pemahaman di atas, pada prinsipnya, perkawinan Islam
dibangun demi kebahagiaan pasangan suami dan istri. Apabila salah satu pihak
tidak dapat melaksanakan kewajibannya masing-masing dengan baik dan salah
satu pihak tidak dapat menerimanya, maka perceraian diperbolehkan.
Pada dasarnya hukum perkawinan Islam tidak melarang penganutnya
untuk melakukan perceraian jika terjadi problem seperti sudah dipaparkan di atas.
Hal ini mempertegas perbedaan dalam hukum perkawinan Islam dan Katolik.
Hukum perkawinan Islam mengizinkan perceraian sedangkan hukum perkawinan
Katolik tidak mengizinkan terjadinya perceraian.
101 Ibid., hlm. 26. 102 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm. 197.
49
3.2 Macam-Macam Perceraian
Ada beberapa macam perceraian yaitu perceraian tak sakramental,
perceraian talak dan perceraian khulu’. Macam-macam perceraian ini yang sering
terjadi dalam perkawinan hidup pasangan suami-istri. Perceraian talak dan khulu’
merupakan perceraian Islam yang mengizinkan penganutnya untuk melakukan
perceraian dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh hukum agama
Islam.
3.2.1 Perceraian Tak Sakramental
Perceraian perkawinan tak sakramental ialah perceraian yang terjadi pada
pasangan yang belum menerima atau tidak menerima sakramen perkawinan.
Perceraian ini tidak berhubungan dengan aspek sakramental perkawinan.
Perceraian perkawinan ini, dapat ditemukan dalam perceraian suami-istri yang
terjadi dalam penganut agama lain.
Namun dalam tulisan ini, term perceraian tak sakramental ini lebih
ditujukan kepada pasangan suami-istri Katolik yang belum menerima sakramen
perkawinan kemudian memutuskan untuk bercerai. Gereja tidak bersikap terbuka
kepada mereka yang kawin dan membentuk kehidupan keluarga di luar
perkawinan yang sah. Dalam persoalan seperti ini, Gereja selalu mengandaikan
adanya dosa berat sehingga tradisi moral Gereja yakin bahwa hanya dalam
perkawinan yang sah, pertumbuhan dapat dipertanggungjawabkan.103 Perceraian
tak sakramental dengan demikian pada prinsipnya tidak dibenarkan sehingga
ditolak oleh Gereja. Pasalnya setiap perkawinan yang serius bukan untuk
sementara waktu, melainkan bersifat tetap dan tak terceraikan.104
3.2.2 Perceraian Talak
Talak berasal dari kata bahasa Arab “ithlaq” yang berarti melepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah Fikih, talak berarti pelepasan ikatan perkawinan atau
perceraian antara suami dan istri.105 Hal menjatuhkan talak dalam Islam berada di
tangan suami dengan pertimbangan bahwa pada umumnya suami lebih
103 Josef Konigsmann, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Ende: Nusah Indah, 1987),
hlm. 113. 104 C. Maas, op. cit., hlm. 113. 105 Baqir Al Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 181.
50
mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu dari pada istri yang
biasanya bertindak atas dasar emosi.106 Namun dalam menjatuhkan talak suami
tidak bersikap sewenang-wenang. Hal ini karena suami telah berjanji untuk hidup
bersama dengan istrinya sehingga tidak secara tiba-tiba meninggalkan dan
menceraikan istrinya tanpa alasan yang jelas. Alasan suami menjatuhkan talak
terdiri atas:
1. Akat nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari
pihak istri waktu dilaksanakan akad nikah.
2. Suami wajib membayar mahar kepada istrinya waktu akad nikah dan
dianjurkan membayar uang mut’ah (pemberian sukarela dari suami
kepada istri) setelah mentalak istrinya.
3. Suami wajib memberi nafkah istrinya pada masa perkawinannya dan
pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
4. Perintah-perintah mentalak dalam Alquran dan Hadis banyak
ditujukan pada suami.107
Dalam talak, secara esensial, hak suami untuk menceraikan istrinya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu dan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan
oleh hukum Islam yang berakibat pada putusnya perkawinan antara suami dan
istri.
3.2.3 Perceraian Khulu’
Khulu’ terdiri dari lafaz kha-la-‘a yang secara etimologis berarti
menanggalkan atau membuka pakaian. Kata khulu’ dihubungkan dengan
perkawinan, karena dalam Alquran Surah Al-Baqarah [2] ayat 187, disebutkan
suami itu sebagai pakaian bagi istrinya dan istri merupakan pakaian bagi
suaminya.108 Berkaitan dengan perceraian, khulu’ merujuk pada sikap istri (yang
diidentikan dengan pakaian itu sendiri) yang berusaha melepaskan pakaian dari
suaminya.
Perceraian khulu’ terjadi karena dikehendaki oleh istri. Istri dapat
memutuskan perkawinan dengan suaminya jika ia merasa tidak bisa menjalankan
hukum-hukum Allah, seperti tertera dalam QS. Al-Baqarah [2]: 229, yang artinya:
“jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
106 Muhammad Syaifuddin, op. cit., hlm.188. 107 Ibid. 108 Ibid., hlm. 130.
51
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.109 Dengan demikian sang istri dapat
membebaskan perjanjian perkawinan dengan membayar kembali jumlah tebusan
yang pernah diterimanya dalam perkawinan sebelumnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perceraian khulu’
adalah solusi yang diberikan oleh hukum Islam kepada istri yang hendak bercerai
dari suaminya. Hal ini bertujuan agar istri dapat menghindar dari kekerasan yang
terjadi dalam kehidupan rumah tangga.
3.3 Sebab-Sebab Perceraian
Lebih kurang terdapat dua sebab perceraian yakni sebab internal dan sebab
eksternal. Sebab-sebab ini dapat membawa dampak yang tidak baik dalam
kehidupam perkawinan dan merupakan racun penghancur yang dapat menghantar
suami dan istri memutuskan untuk tidak hidup bersama lagi sebagai satu keluarga
3.3.1 Sebab Internal
Sebab internal merupakan penyebab yang muncul dari dalam rumah
tangga. Penyebab yang muncul ini sangat mempengaruhi keutuhan perkawinan
dan menjadi alasan utama berakhirnya hubungan mereka.
3.3.1.1 Minimnya Komunikasi Antara Suami dan Istri
Sebagai makluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan orang lain.
Dalam kebersamaan ini, kemampuan untuk berkomunikasi secara baik menjadi
sangat penting. Kemampuan untuk berkomunikasi secara baik ini, karena itu,
membutuhkan bahasa yang baik dan benar sebagai medium untuk berkomunikasi
agar relasi yang hendak dibangun pun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu
komunikasi tidak dapat dilepaspisahkan dari bahasa. Pasalnya, melalui bahasa,
manusia dapat saling mengenal dan dapat mengungkapkan apa yang dirasakan
pada sesamanya.110
Dalam konteks kehidupan keluarga pun komunikasi menjadi sangat
penting. Kehidupan keluarga akan berjalan dengan harmonis bila terdapat
komunikasi yang baik dan benar di antara para anggotanya. Sebaliknya bila
109 Ibid., hlm. 132. 110 Wahyu Nugroho, Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga, http/amp/s/communicateur.
Wordpress.com, di akses pada tanggal 13 Februari 2020.
52
komunikasi tidak berjalan dengan baik maka para anggota yang terdapat di
dalamnya tidak saling memahami. Ketidaksalingpemahaman ini justru dapat
menyebabkan perpecahan. Oleh karena itu dalam komunitas kecil seperti keluarga
ini sikap komunikatif perlu dibangun. Sikap komunikatif berkaitan dengan
keterbukaan dari setiap orang untuk mampu menerima kelebihan dan kekurangan
masing-masing serentak mau membuka diri demi mengatasi berbagai persoalan
yang silih berganti berdatangan.
Dalam keluarga kerapkali komunikasi tidak berjalan dengan baik karena
kebutuhan dan keinginan setiap orang tidak diperhatikan, tidak didengarkan,
berikutnya masing-masing orang tertutup dan tidak membuka diri dalam
membicarakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. Bila hal
ini tidak diperhatikan maka tidak salah jika suami atau istri atau anak-anak mulai
mencari kenyamanan di luar rumah. Pada puncaknya bila kenyamanan di luar
rumah terjamin, berbagai bentuk kekerasan dalam rumah dapat dilegalkan. Suami
misalnya akan mencari alasan bahwa kehidupan dalam rumah tangga tidak lagi
berjalan dengan baik. Dengan alasan ini ia dapat membenarkan diri dan mencari
cara untuk tidak lagi hidup bersama istrinya karena telah menemukan suatu
kenyamanan yang lebih baik di luar lingkup keluarganya.111
Komunikasi yang tidak mampu dibangun dengan baik tentu dapat
melenyapkan setiap upaya untuk mempertahankan keutuhan sakramen
perkawinan yang telah dikukuhkan di hadapan Allah dan Gereja. Oleh karena itu,
komunikasi yang baik dalam kehidupan keluarga menjadi sangat penting karena
komunikasi yang baik dan benar akan menghadirkan suasana yang hangat dalam
keluarga. Melalui komunikasi yang baik suami-istri akan saling terbuka dan siap
menerima setiap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dan berbagai beban
hidup keluarga yang dialami dapat diatasi secara bersama agar keutuhan rumah
tangga yang telah dibangun dapat tetap dipertahankan.
3.3.1.2 Keadaan Ekonomi
Tidak dapat disangkal bahwa kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar
manusia yang sangat penting. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak manusia
111 Alex Sila, “Dialog Sebagai Perbuatan Orang Beriman”, Jurnal Ledalero, Volume 8, No. 2
(Ledalero: Desember 2009), hlm. 160.
53
sibuk berpikir dan berjuang demi memenuhi kebutuhan dalam kehidupannya. Ada
berbagai profesi yang membuat setiap orang berjuang demi memenuhi kebutuhan
hidup. Profesi-profesi itu seperti ada yang sibuk di laut sebagai nelayan, di kebun
sebagai petani, dan sebagian lagi sibuk di kantor sebagai pegawai dan masih
banyak lagi profesi-profesi lainnya dengan kesibukannya masing-masing. Salah
satu tujuan penting yang hendak dicapai dari pekerjaan yang ada ialah memenuhi
kebutuhan pokok keluarga dalam bidang pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang.112
Perekonomian merupakan aspek penting di dalam keluarga. Sebagai
sesuatu yang penting dalam kehidupan keluarga, perekonomian keluarga harus
diperhatikan sebaik mungkin. Ada keluarga yang perekonomiannya sungguh
sangat memperihatinkan sehingga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok
keluarga sangat sulit. Persoalan ekonomi juga bukan hanya terjadi pada mereka
yang perekonomiannya lemah, tetapi terjadi juga pada mereka yang sudah mapan.
Hal ini terjadi karena faktor ketidaktahuan dalam mengatur keuangan dalam
keluarga.
Meskipun kebahagiaan hidup keluarga tidak selalu bergantung pada
tingkat perekonomian, bagaimanapun juga perekonomian keluarga tetaplah
menjadi salah satu aspek yang sangat penting. Jika perekonomian keluarga morat-
marit, maka kebahagiaan keluarga pun akan terancam. Aspek cinta yang pada
mulanya hangat dan mesra, dengan demikian, akan segera merana dan diganti
dengan perselisihan bila tidak ada uang yang cukup untuk membeli makanan,
pakaian, perabotan rumah dan pembiayaan pendidikan anak.113
Persoalan yang sering terjadi dalam keluarga berkaitan dengan urusan
ekonomi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara pemasukan dan
pengeluaran. Hal ini tentu menjadi persoalan pada hampir setiap keluarga. Ketika
penghasilan kecil tidak sebanding dengan kebutuhan yang begitu banyak maka
keluarga tidak dapat bertahan dalam berbagai situasi. Selain membahayakan
keutuhan perkawinan, penghasilan yang tidak memadai membuat keluarga tidak
mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lebih dari itu bila penghasilan
112 Albertus Sujoko, Moral Keluarga (Pineleng: STF-SP, 2002), hlm. 88. 113 Paul Klein, op. cit., hlm. 82.
54
mencukupi tidak didukung oleh pengatur ekonomi yang mumpuni, hal ini dapat
meruntuhkan ekonomi keluarga dan hubungan perkawinan itu sendiri.114
Persoalan ini walaupun sukar, perlu diatasi secepat mungkin agar tidak
menghancurkan kehidupan keluarga. Hal terpenting dan harus dilakukan adalah
keterbukaan antara suami dan istri dalam mengatur tatanan ekonomi keluarga
mereka. Mereka harus merancang secara bersama-sama pengeluaran untuk
kebutuhan hidup setiap hari sesuai penghasilan yang diperoleh. Oleh karena itu,
sangat perlu untuk mengatur dengan baik kebutuhan keluarga yang mesti
disesuaikan dengan pendapatan dalam keluarga agar tidak menjadi beban,
menimbulkan konflik, hingga menelurkan perceraian.
3.3.1.3 Perselingkuhan
Selingkuh merupakan persoalan yang kerapkali terjadi dalam perkawinan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh, secara etimologis diartikan
sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan
sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur dan curang.115 Terjadinya perselingkuhan
membuat hubungan antara suami dan istri menjadi rapuh. Ada berbagai macam
persoalan yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan itu, seperti tidak memiliki
keturunan, ketidakharmonisan dalam keluarga dan lain-lain. 116 Persoalan-
persoalan tersebut inilah yang juga menganggu kehidupan perkawinan setiap
pasangan Kristiani.
Perkawinan Kristiani pada dasarnya tidak menginginkan terjadinya
perselingkuhan dalam kehidupan perkawinan Kristiani bersifat monogami dan tak
terceraikan. Dengan kedua sifat ini, perkawinan menuntut suatu kesetiaan yang
utuh dan penyerahan diri yang total atas dasar cinta kasih yang hanya dicurahkan
kepada partnernya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang berhak atas
tubuh suami hanyalah istrinya dan yang berhak atas tubuh istri hanyalah
suaminya.
Kesetiaan total ini baru menemukan arti yang sesungguhnya jika suami
hanya menyerakan diri kepada istri dan istri hanya menyerakan diri kepada
114 T. Gilarso, op. cit., hlm 137 115 Pusat Bahasa Pendidikan Nasional, op. cit., hlm. 900. 116 Anthony Christie, Langkah Tepat Ketika Menghadapi Kasus Perkawinan, terj. Rachel S.
Wahjudi (Yogyakarta: Charissa Publisher, 2013), hlm. 26.
55
suaminya. Di luar itu, kesetiaan suami-istri hanyalah kebohongan belaka. Namun
yang menjadi persoalan yang mesti dijawab adalah sampai kapankah kesetiaan
total ini dapat bertahan? Lebih dari itu apakah kesetiaan total ini tetap teguh dan
tak berubah sepanjang waktu?
Pada zaman yang serba canggih dan penuh dengan perubahan ini, ada
sebuah ungkapan yang berbunyi “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi”.
Selain itu ada juga ungkapan “tua di rumah, muda di jalan”. Ungkapan-ungkapan
ini sekadar mengambarkan keadaan beberapa suami-istri di masa kini. Ada trend
untuk mengulangi masa muda dan bertindak seolah-olah mereka belum hidup
berkeluarga.
Ada yang jatuh dalam sikap seperti ini lantaran situasi rumah yang tidak
aman dan kondusif. Mereka tidak mengalami kebahagiaan. Suasana rumah yang
ramah dan penuh kemesraan sama sekali jauh dari realitas hidup berkeluarga.
Kepuasan hubungan seksual pun tidak pernah dialami. Pada akhirnya yang bisa
dibuat hanyalah berlari dan menghindari diri dari kenyataan hidup yang tidak
menyenangkan ini.
Berhadapan dengan kenyataan perubahan ini, tidak dapat disangkal pula
bahwa ada orang yang kawin lagi dengan laki-laki atau perempuan lain, hanya
untuk melampiaskan hawa nafsu yang tak terkendalikan. Perbuatan ini tentu
memicu terjadinya kehancuran dalam rumah tangga. Seandainya perselingkuhan
yang dilakukan oleh suami maupun istri diketahui oleh pasangannya, maka
stabilitas rumah tangga pasti akan tergoncang. Cinta dan kesetiaan yang total
kepada partnernya pada akhirnya dapat runtuh.
Secara terminologis, perselingkuhan menurut Blow dan Hartnett adalah
kegiatan seksual atau emosional yang dilakukan oleh salah satu atau kedua
individu untuk hidup bersama tetapi dianggap melanggar kepercayaan atau
norma-norma yang berhubungan dengan eksklusivitas emosional atau seksual.117
Dalam pelanggaran terhadap norma-norma yang berhubungan dengan ekslusivitas
emosional dan seksual ini, biasanya keretakan keluarga akan semakin mudah
terjadi. Aspek kepercayaan antara kedua partner itu pun hilang. Kalau keadaan
117 Blow dan Hartnett, “Perselingkuhan sebagai Kenikmatan Menyesatkan”, dalam Anwar Bastian,
Jurnal Psikologi Perkembangan, Volume 8, No. 2 (Universitas Indonesia: Juni 2012), hlm. 19.
56
semakin parah, maka tidak mustahil bila ikatan perkawinan terpaksa berakhir
dengan perceraian.
Hal lain juga yang menyebabkan terjadinya perselingkuhan ialah karena
kebutuhan ekonomi rumah tangga yang tidak berkecukupan. Di tengah ekonomi
keluarga yang tidak berkecukupan ini, perselingkuhan akan mudah terjadi.
Perselingkuhan pada titik ini dilihat sebagai alasan bagi seseorang untuk
berselingkuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri meskipun membawa
dampak yang buruk bagi kehidupan perkawinannya. 118 Orang mengganggap
bahwa dengan melakukan perselingkuhan mereka akan menyelesaikan kebutuhan
ekonomi dalam keluarga. Namun nyatanya solusi ini hanyalah solusi yang semu
dan tidak tepat, sehingga dapat menimbulkan masalah baru yang berakibat pada
perpecahan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.119
3.3.1.4 Tidak Memperoleh Anak
Perkawinan adalah satu-satunya lembaga yang sah untuk memenuhi
tuntutan mempunyai anak.120 Setiap orang yang sudah berkeluarga mempunyai
kerinduan yang besar untuk memperoleh anak. Dalam lingkungan budaya
tertentu, kehadiran seorang anak terlebih anak laki-laki dipandang sebagai simbol
kehidupan yang berguna bagi masa depan keturunan tersebut. Hal ini menegaskan
pentingnya memiliki anak yang akan menjadi penerus dan pemegang harta
warisan orang tua.
Dalam konteks ini, kehadiran anak dilihat sebagai suatu simbol yang hidup
dan efektif dari persatuan masa lampau (para leluhur) dengan kesuburan dan
keharmonisan alam semesta serta dengan yang ilahi “Bapa” segala kesuburan.121
Oleh karena itu, bisa dibayangkan saja betapa kecewanya orang tua dan juga
keluarga besar dari kedua pihak terlebih keluarga laki-laki kalau tidak dikaruniai
anak.
Di samping itu, masih ada pihak yang terpengaruh dengan konsep
tradisional yang melihat anak sebagai sumber rezeki; semakin banyak anak, maka
118 http://Www.Batamnews.Co.Id/Berita-34192-Ini-Bedanya-Selingkuh-Pria-Dan-Wanita-Jangan
Salah-Paham.Html, diakses pada 13 Februari 2020. 119 Mohammad Surya, Bina Keluarga (Bandung: Graha Ilmu, 2019), hlm. 412. 120 T. Gilarso, op. cit., hlm. 11. 121 C. Maas, op. cit., hlm. 150.
57
semakin banyak pula rezeki yang diperoleh. Sebaliknya, tidak memiliki anak
berarti tidak memperoleh rezeki. Hal ini membuat keluarga-keluarga berlomba-
lomba memperoleh anak agar memperoleh rezeki sehingga kehadiran anak adalah
suatu kebahagiaan tersendiri bagi keluarga.
Anak atau keturunan menjadi salah satu tujuan pokok perkawinan. Dalam
semua proses peneguhan perkawinan menurut adat, terdapat upacara yang jelas
memperlihatkan harapan akan anak atau keturunan. Bahkan diperkirakan anak
atau keturunan menjadi tujuan perkawinan paling pokok. Hal ini tampak dari
kenyataan bahwa tiadanya anak atau keturunan, dapat dijadikan alasan untuk
bercerai dan mengambil istri atau suami baru.
Berdasarkan pemahaman ini, semua orang teristimewa pasangan suami-
istri Kristiani sungguh memiliki kerinduan akan kehadiran anak sebagai buah
cintanya sendiri. Kerinduan ini akan terasa amat besar lagi kalau selama bertahun-
tahun sesudah menikah, mereka belum juga memperoleh anak. Pada titik ini dapat
dipahami kalau ternyata banyak keluarga kemudian menjadi kecewa dan putus asa
kalau tidak memperoleh anak. Bahkan ada pasangan yang merasa sangat kesepian
dan merasa iri hati dengan keluarga lain yang sudah memiliki anak sehingga tanpa
anak, keluarga mulai hilang kebahagiaan.
Semua ini menunjukkan bahwa tidak memperoleh anak dapat berdampak
pada perceraian. Memang ada keluarga yang bisa mempertahankan
perkawinannya, kendati pun tidak memperoleh anak. Lebih dari itu tidak sedikit
pula pasangan suami-istri yang mengambil keputusan untuk bercerai karena faktor
ini. Namun perlu diingat, khususnya bagi pasangan suami-istri Kristiani, bahwa
anak itu anugerah Tuhan, yang tak boleh dimutlakkan. Maka bila Tuhan tidak
memberikan anak, perkawinan tidak kehilangan artinya. 122 Karena itu, tidak
memiliki anak bukan memjadi solusi untuk mengakhiri hubungan perkawinan
tersebut.
3.3.2 Sebab Eksternal
Penyebab eksternal merupakan penyebab yang terjadi dari luar kehidupan
rumah tangga. Faktor-faktor penyebab eksternal ini dapat berupa perbedaan
122 T. Gilarso, loc. cit.
58
keyakinan, paksaan dari keluarga, dan sebagainya. Berikut akan diuraikan dua
penyebab eksternal yang dapat menyebabkan hancurnya hubungan perkawinan.
3.3.2.1 Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama atau perkawinan campur sering terjadi dalam
kehidupan ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan masyarakat yang
semakin terbuka, komunikasi yang semakin lancar dan juga perkembangan
teknologi komunikasi yang semakin canggih yang membuat siapa saja dapat
berinteraksi satu dengan yang lain.
Berbagai perkembangan ini tentu bisa berdampak pada terjadinya
perkawinan campur beda agama yang dapat menyebabkan keruntuhan hubungan
keluarga. Dalam perkawinan beda agama ini, kebebasan agama kedua belah pihak
dapat saja dilangar. Salah satu pasangan bisa saja mengubah keyakinannya karena
tekanan dari pasangannya.123
Terhadap persoalan perkawinan beda agama ini, Gereja biasanya
mengizinkan perkawinan hanya karena terdesak. Kebanyakan izinan diberikan
karena pasangan sudah agak jauh melangkah dalam ikatan cinta. Gereja
menyadari banyaknya kesulitan dan bahaya yang bakal dialami dalam hidup
perkawinan campur, terutama menyangkut perbedaan iman dan kebebasan
beragama. Hal ini akhirnya membuat Gereja melihat bahwa perkawinan campur
atau perkawinan beda agama dapat menjadi suatu halangan bagi pernikahan.
Perkawinan campur yang dapat menjadi halangan bagi pernikahan ini,
dengan demikian, menunjukkan sikap Gereja yang sangat menjunjung tinggi
penghargaannya terhadap perkawinan sebagai sakramen, yang ada dalam
perkawinan orang terbaptis. Iman dan penghayatan perkawinan diandaikan lebih
dapat diharapkan, bila ada dasar iman yang sama.124
Lebih dari itu, perbedaan agama ini dapat memicu munculnya kontroversi
dalam keluarga besar, karena perbedaan agama mengandaikan pula terdapat
perbedaan paham dan keyakinan. Pada puncaknya, perkawinan campur beda
agama dapat menyebabkan iman pasangan Katolik misalnya, mulai memudar dan
suami-istri mulai acuh tak acuh terhadap agama mereka masing-masing.
123 Al. P. Hardiwardoyo, Moral dan Masalahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 26. 124 P. Go, Kawin Campur-Beda Agama dan Beda-Gereja (Malang: Dioma, 1994), hlm. 78.
59
Akibatnya, sakramen permandian dan pendidikan anak diterlantarkan, dan pintu
menuju kehancuran cinta dalam perkawinan terbuka semakin lebar.
3.3.2.2 Penyakit Berat
Salah satu ciri perkawinan Kristiani adalah kesetiaan total antara suami-
istri. Kesetiaan total ini berarti bahwa suami dan istri harus selalu hidup bagi
partnernya dalam segala situasi baik suka maupun duka. Kesetiaan suami-istri
tidak boleh luntur, sekalipun terjadi perubahan dalam diri partnernya. Perubahan
itu misalnya bertambah umur atau semakin tua, sakit, menderita penyakit berat
maupun karena gangguan kejiwaan.125
Pada awal terbentuknya keluarga, biasanya yang tampak adalah hubungan
dan relasi yang indah dan menyenangkan saja. Termasuk kesehatan kedua belah
pihak. Tidak ada tanda lahiriah yang patut dicurigai bahwa pasangannya itu
menderita penyakit berat. Situasi awal selalu menarik dan indah. Menjadi soal
adalah kesehatan yang kekal adalah suatu kemustahilan. Kesehatan sukar
dipertahankan. Banyak suami-istri yang kemudian menderita penyakit berat dan
ada lagi yang mengalami gangguan kejiwaan.
Berhadapan dengan fakta penyakit yang dialami, kerapkali kehidupan
rumah tangga dapat menjadi taruhan. Syukur kalau penyakit ini bisa
disembuhkan. Seandainya tidak, perceraian menjadi lebih besar terjadi dalam
kehidupan mereka. Tidak mudah mempertahankan kesetiaan, bila patnernya
menderita penyakit berat atau gangguan kejiwaan yang tak bisa disembuhkan lagi.
Mungkin sekali mereka menjadi kecewa, putus asa dan bosan terhadap
partnernya. Sebab yang mereka saksikan pada awal pernikahan bukanlah
demikian. Karena itu, bukan mustahil kalau situasi seperti ini bisa mengantar
mereka menuju perceraian.
3.4 Akibat Perceraian
Patut dikatakan di sini bahwa perceraian bukanlah solusi yang baik bagi
kehidupan berumah tangga. Perceraian justru lebih banyak mendatangkan
masalah baru yang lebih riskan dari pada sebelumnya. Oleh karena itu dampak
yang ditimbulkannya penting untuk dijelaskan karena tanpa melihat dampak
125 Paul Klein, op. cit., hlm. 103.
60
perceraian orang akan mengganggap perceraian menjadi solusi paling bijak ketika
perkawinan telah dilihat sebagai masalah. Beberapa dampak perceraian antara
lain:
3.4.1 Bagi Suami dan Istri
Individu yang telah berupaya sungguh-sungguh dalam menjalankan
kehidupan pernikahan dan harus berakhir dengan perceraian, akan merasakan
dampak psikologi yang tidak stabil. Ketidakstabilan psikologis ini ditandai dengan
kesedihan, kekecewaan, frustasi, perasaan tidak nyaman, tidak tenteram, tidak
bahagia, stres, depresi, takut, dan sebagainya. Akibatnya, orang akan memiliki
sifat benci, dendam, marah, mempersalahkan diri sendiri, atau mantan
pasangannya. Selain itu, seringkali individu yang telah bercerai tidak dapat tidur,
sulit konsentrasi dalam melakukan pekerjaan, tidak berdaya, dan putus asa. Kalau
kondisi psikis tersebut tidak diatasi dengan baik, hal ini akan mengakibatkan
gangguan psikosomatis, bunuh diri atau gangguan psikologi lainnya.126
Dampak dari perceraian ini tidak hanya dirasakan oleh istri, tetapi juga
dialami oleh suami. Dengan perceraian yang dialami, seorang suami dapat
terjerumus ke dalam lembah kesedihan, rasa duka yang mendalam, dan perasaan
traumatis yang berkepanjangan. Trauma bisa menghalangi atau minimal
mempersulit pasangan untuk mendapatkan pasangan yang serasi sebagai suami
atau istri dikemudian hari. Lebih dari itu, perceraian dapat mengorbankan
kehidupan anak-anak dan masa depan mereka. Anak-anak jelas menjadi korban
dari perbuatan suami-istri. Mereka pastinya akan kehilangan ayah atau ibu
kandung mereka.127
Perceraian, tidak hanya mengakibatkan kerugian material tetapi juga
berdampak pada gangguan mental dan emosional. Lebih dari itu, perceraian antara
suami-istri jika tidak dilenyapkan akan mendatangkan perseteruan yang tidak
hanya dalam keluarga inti tetapi juga dengan keluarga besar.
Tidak dapat ditampik fakta bahwa perceraian dapat melahirkan aneka
gangguan dan ketidakstabilan psikologis. Ketidakstabilan psikologis ditandai
dengan munculnya perasaan-perasan seperti tidak nyaman, tidak tenteram,
126 Agoes Darriyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda (Jakarta: Grasindo, 2003), hlm. 168. 127 Abu Umar Basyier, Mengapa Harus Bercerai (Surabaya: Shafa Publika, 2012), hlm. 307.
61
gelisah, resah, tidak bahagia, merasa gagal, mempersalahkan diri sendiri, kecewa,
sedih, takut, khawatir, marah, dan sebagainya. Berhadapan dengan ketidakstabilan
psikologis ini, pasangan yang bercerai ini juga pada akhirnya kerapkali tidak
dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Pasalnya, terdapat korelasi antara
ketidakstabilan psikologis dan ketidaknyamanan dalam kehidupan kerja.128
Berhadapan dengan hal ini sebuah contoh dapat diangkat. Misalnya, jika
sebelum bercerai, suami merupakan pencari nafkah dalam keluarga maka setelah
bercerai istri tidak lagi memiliki pendapatan sama sekali dari hasil jeri payah
suaminya. Lebih parah jika mantan pasangan tidak memberikan tunjangan, atau
jika pemasukan berasal dari istri dan suami maka setelah bercerai, pemasukan
uang tentunya akan berkurang. Terlebih bagi mereka yang mendapatkan hak asuh
anak, berarti juga harus bertanggung jawab untuk menanggung biaya hidup anak.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa walaupun perceraian adalah
keputusan yang diambil bersama oleh pasangan yang bercerai, perceraian tetap
saja menimbulkan dampak psikologis bagi istri maupun suami. Mungkin hal ini
tidak dirasakan pada saat awal bercerai tetapi setelah keduanya merasa kehilangan
sesuatu yang dulu pernah mereka miliki pada saat sebelum terjadinya,
ketidakstabilan kehidupan akan muncul dikemudian hari.
3.4.2 Derita Pada Anak
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak-anak untuk
melihat dan mengenal dunia. Situasi keluarga, menjadi penentu utama bagi hidup
dan perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Kalau situasi keluarga baik,
damai, dan harmonis maka hidup dan perkembangan kepribadian anak berjalan
baik. Namun sebaliknya, jika suasana keluarga tidak harmonis maka kepribadian
anak akan menjadi tidak baik.
Ketidakharmonisan hubungan dalam keluarga dapat disebabkan oleh dua
faktor yakni kematian dan perceraian. Namun berbeda dari kematian, keluarga
yang pecah karena perceraian mempunyai dampak yang lebih besar. Sekurang-
kurangnya ada dua alasan yakni: pertama, periode penyesuaian anak lebih lama
128 Agoes Dariyo, op. cit., hlm. 168.
62
dan sulit dari pada karena kematian dan kedua, perceraian cenderung membuat
anak dinilai berbeda oleh kelompok temannya.129
Dewasa ini, perceraian merupakan persoalan yang kerapkali terjadi. Di
hadapan perceraian ini, pasangan yang bercerai menyangka bahwa kesulitan-
kesulitan yang dialami dalam keluarga dapat diatasi sehingga mereka melihat
perceraian sebagai bagian dari solusi. Namun hal ini hanyalah suatu solusi
semu.130 Perceraian malah menambah kesulitan baru yang lebih besar dan rumit
dari pada kesulitan sebelumnya.
Pasalnya, hampir tidak ditemukan pengakuan bahwa perceraian
mendatangkan kebahagiaan bagi pasangan dan menjadi solusi bagi persoalan
hidup yang dialami selama membangun kehidupan rumah tangga. Malahan
sebaliknya, perceraian membawa derita dan kesulitan yang jauh lebih besar lagi,
teristimewa bagi hidup dan perkembangan anak-anak. Anak-anak tentu akan
mengalami luka batin yang amat dalam dan sulit diobati sehingga membawa
pengaruh yang amat buruk bagi perkembangan kepribadian mereka selanjutnya.
Lebih dari itu, anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua yang telah bercerai
akan hidup dalam berbagai macam kesulitan dalam hidup baik dalam bidang
pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, kehidupan rohani, dan sebagainya.
3.4.3 Kehancuran Suasana Keluarga
Salah satu aspek yang harus dibangun dalam kehidupan keluarga adalah
suasana keluarga yang harmonis dan komunikatif. Suasana yang demikian
sangatlah bermanfaat bagi tercapainya kehidupan keluarga yang bahagia. Namun
yang sering terjadi adalah banyak sekali muncul masalah rumah tangga hingga
berujung pada perceraian. Perceraian yang terjadi ini tentu karena alasan sifat
buruk yang masih dilakukan oleh pasangan,131 sehingga sangat menghancurkan
makna perkawinan itu sendiri.
129 Elizabeth B. Hurlock, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, terj. Suprajitno
(Jakarta: Elangga, 1990), hlm. 216. 130 St. Darmawijaya, Mengarungi Hidup Berkeluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 89. 131 Banu Garawiyan, Memahami Gejolak Emosi Anak (Bogor: Cahaya, 2003), hlm. 8.
63
3.4.4 Pelecehan Martabat Luhur Sakramen Perkawinan
Kanon 1055 poin 1 menegaskan bahwa:
Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka
kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah
pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh
Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis
diangkat ke martabat sakramen.132
Sekurang-kurangnya ada dua elemen penting yang disebut dalam kanon
ini: Pertama, menyangkut perjanjian perkawinan. Kedua, menyangkut martabat
perkawinan sebagai sakramen.133 Justru karena martabat sebagai sakramen inilah,
perkawinan Kristiani menjadi jauh lebih mulia dari pada perkawinan bukan
Kristen.134
Seperti sakramen lainnya, sakramen perkawinan bertindak sebagai tanda
yang menghadirkan Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam sakramen perkawinan,
Allah datang melalui Yesus Kristus menemui manusia dan membawa manusia
menuju keselamatan. Allah datang lebih dekat lagi kepada suami-istri dan
memberikan kekuatan untuk menjalankan apa yang mereka ikrarkan bersama.135
Di dalam sakramen perkawinan, suami-istri memang memperoleh rahmat
yang memberi kekuatan. Namun penerimaan rahmat bukanlah menonaktifkan
segala daya upaya suami-istri untuk berjuang mempertahankan dan melestarikan
perkawinan mereka. Rahmat dalam sakramen perkawinan hanyalah bersifat
membantu serta menguatkan, bukannya mengerjakan segala-galanya tanpa
partisipasi dan perjuangan suami-istri. Keutuhan sakramen menuntut pula
partisipasi dan perjuangan suami-istri untuk memelihara dan melestarikan
perkawinan mereka.
Berhadapan dengan kenyataan penghargaan terhadap keluhuran martabat
sakramen perkawinan, perlu diakui bahwa tidak semua pasangan nikah memiliki
penghargaan yang sama terhadap martabat sakramen perkawinan. Juga tidak
semua pasangan nikah yang sungguh-sungguh berjuang memelihara dan
melestarikan perkawinan mereka. Peristiwa hidup yang pahit dan membosankan,
132 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 441. 133 Kletus Hekong, “Hukum Perkawinan” (ms), Bahan Kuliah (STFK Ledalero, 1997), hlm. 4. 134 Paul Klein, op. cit., hlm. 96. 135 Ibid., hlm. 99.
64
kadang ditemukan munculnya sikap acuh tak acuh. Pasangan yang telah menikah
kadang membiarkan kesulitan terus bergulir, tanpa mencari alternatif pemecahan.
Apa bila kesulitan ini tidak diatasi maka relasi yang dibangun akan semakin
buruk. Dalam situasi seperti ini peluang untuk bercerai tentu akan meningkat.
Pada puncaknya perceraian yang terjadi, dengan sendirinya melecehkan sakramen
perkawinan.
3.5 Anulasi Sebagai Pembatalan Perkawinan
Kata anulasi diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan kata, annulment
yang berarti prosedur hukum yang menyatakan bahwa suatu perkawinan atau
pernikahan batal atau tidak perna terjadi. Tidak seperti perceraian, anulasi
umumnya bersifat retroaktif, yang berarti bahwa suatu perkawinan yang dianulasi
dianggap tidak valid sejak awal seolah-olah tidak pernah terjadi. 136 Anulasi
dengan demikian, merupakan proses pembatalan perkawinan, yang berarti bahwa
perkawinan itu tidak pernah terjadi.
Dalam kehidupan Kristiani, anulasi diatur dalam hukum Gereja khususnya
dalam Kitab Hukum Kanonik. Kitab Hukum Kanonik merupakan kitab yang
mengatur segala macam aturan hidup bagi semua kaum Katolik termasuk, di sini
aturan hukum tentang anulasi terutama dalam kaitannya dengan aturan kanonik
yang berhubungan dengan perkawinan Katolik. Lebih khusus lagi, aturan yang
memuat perkawinan Katolik terdapat dalam buku IV yang berjudul Gereja
menguduskan.137
Dalam buku IV ini, hal-hal yang dibahas adalah segala persoalan
perkawinan mulai dari persiapan memasuki perkawinan sampai pada pembatalan
perkawinan atau anulasi. Anulasi sendiri diatur dalam Kitab Hukum Kanonik,
khususnya pada kanon 1676-1691. Menurut kanon ini, lebih kurang terdapat tiga
alasan mendasar yang dapat menyebabkan terjadinya anulasi yakni: pertama,
karena halangan yang menggagalkan, kedua, karena cacat atau ketiadaan tata
peneguhan kanonik dan ketiga, karena cacat dalam kesepakatan perkawinan.
136 Wikipedia, loc. cit. 137 Philip Ola Daen, Pelayanan Tribunal Perkawinan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm.
11.
65
Persoalan karena halangan yang menggagalkan ini bisa terjadi karena pada
kedua belah pihak terdapat cacat atau terdapat salah satu dari 12 halangan nikah
yang menggagalkan sebagaimana dicantumkan dalam kanon 1083-1094.
Sedangkan, Persoalan karena cacat atau ketiadaan tata peneguhan kanonik terjadi
karena perkawinan yang disangkakan telah terjadi antara pasangan suami-istri itu,
belum dikukuhkan atau belum memiliki kepastian hukum.
Sedangkan Persoalan karena cacat dalam kesepakatan perkawinan terjadi
karena perkawinan yang dilangsungkan itu didasarkan pada adanya keterpaksaan,
penipuan, atau pun karena ancaman. 138 Dalam situasi semacam ini, kedua
pasangan tidak dengan kemauan bebas memberikan diri satu dengan yang lain
untuk menikah. Sebaliknya mereka menikah karena adanya paksaan, ancaman
atau penipuan dari salah satu pasangan.
3.5.1 Anulasi atau Pembatalan Perkawinan Menurut Kitab Hukum Kanonik
Menurut Kitab Hukum Kanonik, pembatalan perkawinan dikenal dengan
tiga istilah yaitu: pertama, pernyataan tidak sahnya perkawinan (Proses Anulasi);
kedua, pemutusan ikatan perkawinan (Ratum non Consummatum); dan ketiga,
pemutusan ikatan perkawinan demi iman (in Favorem Fidei). Selain itu telah
diterbitkan juga instruksi dignitas Connubii (Martabat Mempelai) yang
dikeluarkan Paus sehubungan dengan anulasi perkawinan. Pernyataan tidak
sahnya perkawinan (proses anulasi) diatur oleh lembaga yang berhak yaitu
Tribunal.
Ada tiga tingkatan Tribunal dalam Gereja Katolik, yaitu Tribunal tingkat
pertama berkedudukan di Keuskupan (Tribunal Kolega, Tribunal Hakim Tunggal,
dan Personalia lainnya), Tribunal tingkat kedua berkedudukan di Tribunal Uskup
Metropolit dan Tribunal ini adalah Tribunal banding bagi Tribunal tingkat
pertama, dan Tribunal Takhta Apostolik berkedudukan di Roma, yaitu Rota
Romana dan Mahkamah Agung Signatura Apostolik. Jadi dapat disimpulkan
bahwa lembaga yang berwenang dalam menangani kasus-kasus anulasi
perkawinan adalah Uskup, Vikaris Yudisial, dan Paus sebagai pemimpin tertinggi.
138 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 311.
66
Atau dengan kata lain, yang berhak membatalkan perkawinan atau mensahkan
anulasi perkawinan adalah Tribunal perkawinan gerejawi.139
Kitab Hukum Kanonik juga berbicara tentang beberapa halangan yang
menyebabkan terjadinya anulasi. Halangan-halangan itu adalah sebagai berikut:
3.5.1.1 Halangan Umur
Kanon 1083 berbicara tentang syarat umur yang menentukan sah tidaknya
sebuah perkawinan. Kanon itu berbunyi:
1. Pria sebelum berumur genap enambelas tahun, dan wanita sebelum
berumur genap empatbelas tahun, tidak dapat melangsungkan
perkawinan yang sah.
2. Konferensi Wali Gereja berwenang penuh untuk menetapkan usia
yang lebih tinggi untuk merayakan perkawinan secara licit.140
Berdasarkan kanon tersebut di atas, perkawinan yang dilangsungkan akan
dinyatakan invalid atau tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan
apabila pria masih berumur di bawah enambelas tahun atau wanita berumur di
bawah empatbelas tahun. Ketentuan-ketentuan pernikahan berdasarkan usia ini
bersifat eklesikal, sehingga berlaku bagi pasangan-pasangan calon nikah non
Katolik.
Namun dalam perkawinan seorang Katolik degan seorang bukan Katolik,
ketentuan batas umur tetap berlaku bagi keduanya. 141 Ordinaris wilayah
mempunyai otoritas untuk menetapkan ketentuan umur yang lebih tinggi dari
ketentuan kanonik dan jika ada problem yang terjadi maka mereka harus meminta
izinan dari Ordinaris wilayah seperti yang dinyatakan dalam kanon 1071 ayat 1.142
3.5.1.2 Halangan Impotensi
Kanon 1084 berbicara tentang halangan impotensi. Kanon ini berbunyi:
1. Impotensi untuk melakukan persetubuhan yang ada sejak sebelum
nikah dan bersifat tetap, entah dari pihak pria atau pun dari pihak
wanita, entah bersifat mutlak ataupun relatif, menyebabkan
perkawinan tidak sah dari kodratnya sendiri.
139 F. X. Purwaharsato, “Pedoman Perangkat Pelayanan Kasus Perkawinan Gerejawi”,
Instrimentarum Tribunalis (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 23. 140 Konferensi Wali Gereja Indonesia, op. cit., hlm. 310. 141 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 12. 142 Catur A. Raharso, Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik (Malang: Dioma,
2011), hlm. 93.
67
2. Jika halangan impotensi itu diragukan, entah karena keraguan hukum
atau pun keraguan fakta, perkawinan tidak boleh dihalangi, dan
sementara dalam keraguan, perkawinan tidak boleh dinyatakan batal.
3. Kemandulan tidak melarang atau pun menggagalkan perkawinan,
dengan tetap berlaku ketentuan kanon 1098.143
Ada dua jenis impotensi, yaitu impotentia coeundi dan impotentia
generandi. Impotentia coeundi adalah inkapabilitas untuk melakukan hubungan
seksual. Sementara itu, impotentia generandi adalah inkapabilitas untuk
memberikan keturunan atau sterilitas. Impotentia generandi ini dalam dirinya
sendiri tidak menginvalidasi konsensus perkawinan, kecuali jika salah satu dari
pasangan calon nikah menipu pasangannya tentang hal itu.
Selain dua impotensi itu, para kanonist juga masih membedakan lagi dua
jenis impotensi, yaitu impotensi organis dan fungsional. Impotensi organis adalah
impotensi yang terjadi sebagai akibat dari ketiadaan, kelainan atau
ketidaknormalan perkembangan organ-organ seks. Sedangkan impotensi
fungsional adalah impotensi yang diakibatkan oleh kondisi psikologis. Kondisi
seperti ini membuat orang tidak dapat melakukan hubungan seksual sekalipun
organ-organ genitalnya lengkap.
Anulasi dalam kaitan dengan impotensi dapat terjadi jika impotensi itu
bersifat perpetual dan antecedens. Impotensi seperti itu bisa bersifat absolut
maupun relatif. 144 Impotensi yang terjadi tersebut mencegah suami dan istri
mewujudkan kepenuhan persatuan heteroseksual sebab persatuan suami-istri dan
penyempurnaan hubungan hanya dapat terjadi melalui hubungan seksual yang
wajar. Bila dalam perjalanan waktu impotensi pada salah satu pihak diketahui
maka anulasi dapat dilakukan berdasarkan jalur hukum yang sudah ditetapkan
oleh Gereja.
3.5.1.3 Halangan Ligamen
Halangan ini dibicarakan dalam kanon 1085 yang menegaskan bahwa
tidak akan adanya perkawinan ulang bagi orang yang masih terikat dengan
perkawinannya. Dengan ketetapan ilahi, ikatan perkawinan yang tedahulu menjadi
halangan yang dapat menggagalkan. 145 Hukum ini diyakini berasal dari natural-
143 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 144 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 14-15. 145 Catur A. Raharso, op. cit., hlm. 102.
68
ilahi, sehingga tidak dapat didispensasi. Pada prinsipnya, perkawinan itu dapat
berakhir jika salah satu pasangan meninggal dunia dan bukti dari kematian harus
ditetapkan berdasarkan dokumen-dokumen publik baik dokumen eklesial maupun
sipil, keterangan para saksi, dan presumsi kematian yang meyakinkan. Dalam
kasus ini, sebelum Ordinaris lokal menetapkan satu keputusan final sehubungan
dengan presumsi kematian, kepastian moral untuk kasus ini mau tidak mau harus
terpenuhi.146
3.5.1.4 Halangan Perkawinan Beda Agama
Kanon 1086 berbicara tentang halangan perkawinan beda agama yang
menegaskan bahwa perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang yang tidak
dibaptis adalah invalid, kecuali sudah ada dispensasi yang diberikan oleh otoritas
yang berwenang. Halangan perkawinan beda agama terbuka terhadap dispensasi
dengan mempertimbangkan tidak hanya hak asasi orang untuk menikah tetapi
juga mempertimbangkan hak beragama. Selain itu, dispensasi yang diberikan
harus juga memenuhi syarat yang sudah ditentukan yaitu harus adanya justifikasi
tentang alasan doktrinal maupun pastoral dan yang hendaknya juga dipahami
dalam terang sirkumstansi-sirkumstansi. Lebih dari itu harus ada deklarasi dari
pihak Katolik akan obligasinya untuk melindungi dan menjaga imannya dan
berjanji untuk berusaha semampu mungkin supaya semua anak yang dilahirkan
dari persekutuan hidup mereka sebagai suami-istri harusnya dibaptis dan dididik
dalam iman Katolik dan pasangan yang tidak dibaptis harus secara terbuka
diinformasikan sebelum peneguhan perkawinan tentang janji-janji yang dibuat
oleh pasangan yang Katolik.147
3.5.1.5 Halangan Tahbisan Suci
Kanon 1087 berbicara tentang tidak sahnya perkawinan yang
dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tabisan suci. Kaum klerus tidak
dapat menikah, karena mereka sudah melepaskan penggunaan haknya untuk
menikah dengan penerimaan tabisan-tabisan suci. Kitab Hukum Kanonik secara
146 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 16. 147 Ibid., hlm. 18-19
69
jelas menyatakan bahwa, “adalah tidak sah perkawinan yang coba dilangsungkan
oleh mereka yang telah menerima tabisan suci.”148
Halangan tabisan-tabisan suci ini secara umum dipahami berasal dari
hukum Gereja, sehingga dapat diberi dispensasi. Namun para uskup tidak dapat
memberi dispensasi dari tabisan-tabisan suci kepada kaum klerus dalam
sirkumstansi apa pun, juga tidak dalam situasi bahaya mati. Hanya takhta
Apostolik yang mempunyai hak untuk mendispensasi halangan ini sesuai norma-
norma untuk dispensasi yang dikeluarkan oleh Sacred Congregation for the
Doctrine of the faith pada tanggal 14 Oktober 1980.149
3.5.1.6 Halangan Kaul Kemurnian Publik dan Kekal
Kanon 1088 berbicara tentang halangan kaul kemurnian publik dan kekal.
Dinyatakan dalam kanon tersebut bahwa tidak sahlah perkawinan yang dicoba
dilangsungkan jika salah satu pasangan masih terikat oleh kaul kekal publik
kemunian dalam sebuah tarekat religius. 150 Halangan ini akan membatalkan
perkawinan yang ingin dilangsungkan oleh mereka yang terikat kaul kemurnian
yang bersifat publik dan kekal dalam sebuah tarekat religius.
Halangan ini secara umum diterima dari hukum Gereja sehingga ia bisa
diberi dispensasi. Dalam situasi normal, dispensasi dari kaul kekal yang dibuat di
dalam institusi yang berada di bawah keuskupan didispensasi oleh Ordinaris lokal.
Tetapi dalam bahaya mati, Ordinaris lokal boleh memberikan dispensasi dari kaul
kekal yang dibuat baik di dalam institusi yang berada di bawah kuasa kepausan
maupun institusi yang berada di bawah kuasa keuskupan; juga pastor paroki,
pelayan tertahbis dan imam atau diakon yang didelegasi secara resmi yang
membantu meneguhkan perkawinan; dapat juga memberikan dispensasi dalam
keadaan bahaya mati jika Ordinarius lokal tidak dapat dihubungi.151
3.5.1.7 Halangan Penculikan dan Penahanan
Kanon 1089 berbicara tentang halangan penculikan dan juga penahanan
yang dilakukan oleh salah satu pihak dan memaksa pihak lainnya untuk menikah.
148 Ibid., hlm. 20. 149 Ibid., hlm. 21. 150 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 151 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 22.
70
Paksaan seperti ini menyebabkan perkawinan dinyatakan tidak sah sehingga dapat
dianulasikan. Kanon 1089 berbunyi:
Antara laki-laki dan perempuan yang diculik atau sekurang-kurangnya
ditahan dengan maksud untuk dinikahi, tidak dapat ada perkawinan,
kecuali bila kemudian setelah perempuan itu dipisahkan dari penculiknya
serta berada di tempat yang aman dan merdeka, dengan kemauannya
sendiri memilih perkawinan itu.152
Kanon ini menegaskan bahwa tak ada perkawinan yang valid yang
dilangsungkan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dipaksakan
oleh laki-laki dengan maksud mau menikah. Apabila perempuan diculik atau
sekurang-kurangnya ditahan dengan maksud untuk dinikahi, maka pernikahan itu
tidak dibenarkan, kecuali perempuan tersebut dipisahkan dari penculiknya dan
berada di tempat yang nyaman dan damai, dan dengan kemauannya sendiri
memutuskan untuk menikah barulah pernikahan itu dinyatakan sah. Atau dalam
perkataan lain, akan dinyatakan tidak sah jika perempuan tersebut setuju untuk
menikah karena keadaannya sedang diculik atau ditahan.153
3.5.1.8 Halangan Kejahatan
Kanon 1090 berbicara tentang halangan kejahatan yang menyebabkan
terjadinya anulasi. Kanon 1090 berbunyi:
1. Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh orang yang
dengan maksud untuk menikahi orang tertentu melakukan
pembunuhan terhadap pasangan orang itu atau terhadap pasangannya
sendiri.
2. Juga tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan antara
mereka yang dengan kerja sama fisik atau moril melakukan
pembunuhan terhadap salah satu dari pasangan itu.154
Kanon 1090 menekankan bahwa adalah kesalahan besar jika seseorang
yang ingin menikah, membunuh kekasih pasangannya agar ia dapat menikahinya.
Bila hal ini terjadi maka pernikahan itu dinyatakan tidak sah karena kejahatan
yang dilakukan demi memenuhi keinginan dengan membunuh seseorang
merupakan sebuah kejahatan yang amat bengis. Untuk itu, hukum menetapkan
tiga kategori atau jenis kejahatan, yaitu pembunuhan terhadap pasangannya
152 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 153 Catur A. Raharso, op. cit., hlm 192. 154 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit.
71
sendiri dengan maksud untuk menikahi seseorang yang lain; pembunuhan
terhadap pasangan dari seseorang dengan maksud untuk menikahi pasangannya
kelak; dan pembunuhan terhadap satu pasangan melalui konspirasi moral atau
fisikal dari pasangan yang lain atau seseorang yang lain.155
Keputusan ini secara umum diterima oleh hukum Gereja, dan hal ini bisa
didispensasi, tetapi yang berhak memberikan dispensasi jika kasus ini terjadi
hanyalah Paus sendiri. Selain Paus, tidak ada otoritas lain yang memiliki hak
untuk memberikan dispensasi. Namun bila sedang dalam situasi bahaya mati
Ordinaris lokal memiliki hak untuk memberi dispensasi. Jika ordinaris lokal
berhalangan maka pastor paroki, imam atau diakon memiki hak untuk
memberikan dispensasi demi kepentingan salus animarum.156
3.5.1.9 Halangan Persaudaraan (Konsangunitas)
Kanon 1091 berbicara tentang halangan pernikahan karena hubungan
persaudaraan. Kanon ini berbunyi:
1. Tidak sahlah perkawinan antara mereka semua yang mempunyai
hubungan darah dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah, baik
yang sah maupun yang natural.
2. Dalam garis keturunan menyamping, perkawinan tidak sah sampai
dengan tingkat keempat.
3. Halangan hubungan darah tidak dilipatgandakan.
4. Perkawinan tidak pernah diizinkan, jika ada keraguan apakah pihak-
pihak yang bersangkutan masih berhubungan darah dalam salah satu
garis lurus atau dalam garis menyamping tingkat kedua.157
Alasan untuk halangan ini adalah bahwa perkawinan antara mereka yang
berhubungan darah, sangat bertentangan dengan hukum kodrati. Selain itu hukum
Gereja juga melarang perkawinan di tingkat lain dalam garis menyamping, sebab
melakukan perkawinan di antara mereka yang mempunyai hubungan darah itu
bertentangan dengan kebahagiaan sosial dan moral suami-istri itu sendiri dan
kesehatan fisik dan mental anak-anak mereka.158
Garis keturunan adalah hubungan-hubungan pribadi secara individual
yang dihubungkan satu sama lain melalui satu nenek moyang yang sama. Ada dua
155 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 25. 156 Ibid. 157 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 311-312. 158 Catur A. Raharso, loc. cit.
72
garis keturunan yang dinyatakan dalam Kitab Hukum Kanonik yaitu garis lurus
dan juga garis menyamping. Garis lurus berarti anak-bapak, nenek-cucu
perempuan yang disebut dengan kandung. Sedangkan garis menyamping ikatan
dekat dari bapak dan juga mama yang biasa dikenal dengan sebutan sepupu.
Hubungan darah dalam tingkatan atau garis apapun tidak disetujui oleh hukum
Gereja sehingga Gereja akan menolak jika terjadi hal ini. Kasus seperti ini, jika
terjadi maka anulasi pun akan terjadi sesuai dengan hukum Gereja yang sudah
ditetapkan dalam kanon 1091.159
3.5.1.10 Halangan Hubungan Semenda (Afinitas)
Kanon 1092 berbicara tentang hubungan semenda yang dilarang oleh
hukum Gereja. Kanon ini berbunyi: hubungan semenda dalam garis lurus
menggagalkan perkawinan dalam tingkat mana pun. 160 Kesemendaan adalah
hubungan yang timbul akibat dari perkawinan sah entah hanya ratum atau ratum
consummatum. Kesemendaan yang timbul dari perkawinan sah antara orang yang
tidak terbaptis akan menjadi halangan bagi pihak yang mempunyai hubungan
kesemendaan setelah pembaptisan dari salah satu atau kedua orang itu.
Menurut hukum Gereja hubungan kesemendaan muncul hanya antara
suami dengan saudari-saudari dari istri dan antara istri dengan saudara-saudara
suami. Saudara-saudara suami tidak mempunyai kesemendaan dengan saudari-
saudari istri dan sebaliknya. Menurut kodeks baru 1983 hubungan kesemendaan
yang membuat perkawinan tidak sah hanya dalam garis lurus dalam semua
tingkatan.161 Sebagai contoh, seorang laki-laki tidak dapat menikahi secara valid
ibu mertua atau putri dari istrinya (sebagai buah dari perkawinan dengan
suaminya yang terdahulu) atau sebaliknya.
3.5.1.11 Halangan Kelayakan Publik
Kanon 1093 berbicara tentang halangan kelayakan publik yang pada
dasarnya ditolak oleh Gereja. Bila terdapat halangan karena kelayakan publik
maka akan terjadi anulasi perkawinan sesuai dengan ketetapan yang terdapat
dalam kanon 1093. Kanon ini:
159 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 28. 160 Kitab Hukum Kanonik, op. cit., hlm. 312. 161 Catur A.Raharso, op. cit., hlm. 201.
73
Halangan kelayakan publik timbul dari perkawinan tidak-sah setelah
terjadi hidup bersama atau dari konkubinat yang diketahui umum atau
publik, dan menggagalkan perkawinan dalam garis lurus tingkat pertama
antara pria dengan orang yang berhubungan darah dengan pihak wanita,
dan sebaliknya.162
Halangan kelayakan publik ini timbul dari kenyataan bahwa satu pasangan
hidup bersama tanpa pernikahan antara seorang laki-laki dengan orang yang
berhubungan darah dengan pihak perempuan dan perempuan dengan orang yang
berhubungan darah dengan pihak laki-laki dalam garis lurus tingkat pertama. Itu
berarti bahwa halangan ini timbul dari satu perkawinan yang invalid sesudah
hidup bersama sudah dibangun. Pasalnya, ada asumsi bahwa kohabitasi sudah
berlangsung dan juga halangan itu timbul dari kokubinat publik, sebab secara
umum kurang lebih sudah ada kohabitasi yang tetap dari seorang laki-laki dan
perempuan atau setidak-tidaknya harus ada komitmen tertentu terhadap sesuatu
status hidup yang berketentuan jelas dan barangkali juga stabil.163
Konkubinat adalah seorang laki-laki dan perempuan yang hidup bersama
tanpa perkawinan atau sekurang-kurangnya memiliki hubungan tetap untuk
melakukan persetubuhan kendati tidak hidup bersama dalam satu rumah. 164
Halangan ini diterima oleh hukum Gereja sehingga konkubinat dapat diberikan
dispensasi oleh pihak yang berwenang.
3.5.1.12 Halangan Adopsi – Hubungan Legal
Kanon 1094 berbicara tentang halangan adopsi. Kanon itu berbunyi: “tidak
dapat menikah satu sama lain dengan sah mereka yang mempunyai pertalian
hukum yang timbul dari adopsi dalam garis lurus atau garis menyamping tingkat
kedua.” 165 Halangan ini secara umum diterima berasal dari hukum Gereja,
sehingga halangan ini bisa diberi dispensasi oleh Ordinaris lokal dengan alasan
proporsional.
Premis dari kanon ini ditemukan dalam kanon 110 yang secara lugas
mengatakan bahwa “anak yang diangkat menurut norma hukum sipil, dianggap
162 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit. 163 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 31. 164 Catur A. Raharso, op. cit., hlm. 205. 165 Kitab Hukum Kanonik, loc. cit.
74
sebagai anak dari orang atau orang-orang yang mengangkatnya.”166 Di sini semua
tuntutan sipil hendaknya dilengkapi untuk menunjukan legalitas dari status anak
itu sendiri. Oleh karena itu, tak ada perkawinan yang valid yang dilangsungkan
antara yang mengadopsi dan yang diadopsi, yang diadopsi dengan orang yang
mempunyai hubungan darah dengan yang mengadopsi dalam garis lurus, dan
yang diadopsi dengan anak dari yang mengadopsi.167
Itulah beberapa halangan yang dapat membuat orang-orang beragama
Katolik melakukan proses pembatalan perkawinan atau mengajukan anulasi
perkawinan. Pengetahuan yang benar akan halangan ini bertujuan untuk
mengigatkan kaum Kristen bahwa ada jalan keluar yang sudah disetujui dan
disediakan oleh hukum Gereja tentang persoalan-persoalan dalam kehidupan
perkawinan Katolik.
3.6 Argumentasi Penolakan Gereja Terhadap Perceraian dan Pengakuan
Gereja Terhadap Anulasi.
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Pernikahan yang berakhir
ini terjadi saat kedua pasangan tidak menginginkan lagi untuk melanjutkan
kehidupan pernikahannya sehingga mereka bisa meminta pemerintah atau pihak
yang berwenang untuk memisahkan mereka. Selama perceraian, pasangan
tersebut harus memutuskan bagaimana membagi harta mereka yang diperoleh
selama pernikahan seperti rumah, mobil, perabotan atau kontrak, dan juga harus
menentukan siapa yang berhak atas anak dan memperhatikan segala kebutuhan
anak tersebut.
Perceraian juga dilihat sebagai pemisahan antara suami dan istri sebagai
akibat dari kegagalan mereka menjalankan perjanjian yang telah mereka lakukan
dan juga peran mereka masing-masing. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai
akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan di mana pasangan suami-istri
kemudian hidup terpisah. Hal ini memang secara resmi diakui oleh hukum dan
semua orang tetapi dalam kehidupan sehari-hari suami dan istri yang bercerai
tetap mendapat gelar sebagai mantan istri dan juga mantan suami.
166 Ibid. 167 Philip Ola Daen, op. cit., hlm. 32.
75
Namun dalam agama Katolik perceraian sebenarnya ditolak. Perceraian
atau perpisahan tetap atau selamanya dalam suatu ikatan pernikahan, memang
tidak diperbolehkan dalam ajaran Gereja Katolik berdasarkan Sabda Allah yang
tertera dalam Kitab Suci (Mat 19:9; Mrk 10:9). Karena Sabda Allah merupakan
dasar kehidupan umat Katolik, maka tidak ada alasan apapun bagi pasangan untuk
mengadakan perceraian.
Selain itu, Gereja juga menolak perceraian karena dalam perkawinan
Kristiani terdapat dua sifat hakiki yaitu monogami dan tak terceraikan seperti
yang sudah dibicarakan di bab sebelumnya. Lebih dari itu perceraian ditolak
karena perceraian dilihat Gereja melecehkan martabat sakramen perkawinan.
Berdasarkan alasan itu Gereja mengambil tindakan tegas menolak kehadiran
perceraian dalam kehidupan perkawinan Kristiani.
Berdasarkan argumen-argumen penolakan Gereja terhadap perceraian
membuat Gereja Katolik juga tidak menutup mata terhadap persoalan-persoalan
perkawinan yang dihadapi oleh umatnya, maka Gereja menyediakan jalan keluar
yang bagi Gereja lebih baik dan bisa diterima sesuai dengan ajaran Gereja tanpa
menodai makna perkawinan Kristiani yaitu anulasi. Anulasi merupakan prosedur
hukum yang menyatakan bahwa suatu perkawinan atau pernikahan batal atau
tidak perna terjadi. Tidak seperti perceraian, anulasi umumnya bersifat retroaktif,
yang berarti bahwa suatu perkawinan yang dianulasi dianggap tidak valid sejak
awal seolah-olah tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, pihak Gereja mengambil
anulasi sebagai jalan terakhir untuk menyelesaikan problem dalam perkawinan
yang diatur dalam hukum kanonik seperti sudah dijelaskan di atas.
Gereja menerima anulasi dan menolak perceraian karena pemahaman
Gereja tentang anulasi sebagai berikut:
1. Bahwa perkawinan antara kedua mempelai dianggap tidak pernah terjadi
karena perkawinan yang diciptakan antara mereka memiliki cacat secara
hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu cacat pada tata peneguhan,
cacat kesepakatan, dan cacat karena halangan yang menggagalkan.
2. Bahwa anak-anak yang sudah dilahirkan dari perkawinan yang telah
dianulasikan harus tetap diperhatikan dan dihidupi oleh kedua belah pihak
karena anak adalah anugerah dari Tuhan dan tidak memiliki sangkut paut
76
dengan persoalan yang dialami oleh pasangan suami-istri dan hal ini
ditegaskan dalam hukum kanon 1154 yang dengan jelas mengatur tentang hal
ini.
3. Bahwa pihak-pihak yang telah dianulasikan perkawinannya ini sudah bisa
melangsungkan perkawinan dengan orang lain dengan tetap mengikuti
ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik. Hal ini perlu
dimengerti bahwa anulasi pada prinsipnya menegaskan bahwa tidak pernah
terjadi perkawinan antara pasangan yang telah dianulasikan perkawinannya.
Jika terjadi perkawinan sesudah anulasi ini, maka perkawinan ini bukan
merupakan perkawinan kedua, melainkan tetap menjadi perkawinan yang
pertama.
4. Bahwa perkawinan yang dilakukan atau dikukuhkan oleh Gereja merupakan
persatuan yang dikehendaki oleh Allah karena itu, apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia. Berdasarkan pemahaman ini,
maka Gereja melihat perceraian tak dapat diterima karena dalam perceraian
perkawinan sebelumnya tetap ada. Karena itu Gereja menerima anulasi
sebagai hukum perkawinannya atas dasar bahwa anulasi merupakan proses
pembatalan yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak pernah terjadi
dan tidak pernah ada sebelumnya, sehingga terpenuhilah nubuat Tuhan bahwa
apa yang telah dipersatukan Allah tak dapat diceraikan oleh manusia.
Berdasarkan pemahaman ini Gereja dengan tegas mengambil keputusan
bahwa dalam perkawinan Kristiani perceraian tidak diterima dalam hukum
perkawinan Gereja dan hanya anulasi yang diterima oleh hukum perkawinan
Gereja.
3.3 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dibuat penulis, dapat dikatakan
bahwa perceraian merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh dua orang yang
telah terikat oleh perkawinan tetapi kemudian memilih untuk memutuskan ikatan
perkawinan tersebut. Perceraian ini terjadi karena berbagai persoalan yang terjadi
dalam kehidupan rumah tangga membuat salah satu pasangan tidak lagi merasa
nyaman dengan kehidupan perkawinannya serentak memutuskan untuk bercerai.
77
Agama lain seperti Islam memang mengizinkan penganutnya untuk
bercerai jika terjadi sebab-sebab seperti yang sudah dijelaskan. Namun agama
Katolik melalui berbagai aturan perkawinan Gereja, dengan tegas menolak
perceraian. Gereja hanya menerima anulasi sebagai solusi untuk mengurus
persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Kristiani.
Anulasi diterima Gereja karena perkawinan yang telah terjadi dipenuhi
oleh berbagai halangan-halangan yang diatur oleh Gereja sehingga perkawinan
tersebut tidak pernah terjadi. Berbeda dengan anulasi yang tidak melecehkan
martabat luhur sakramen, perceraian sendiri dilihat sebagai penodaan terhadap
martabat luhur sakramen. Berdasarkan pemahaman semacam ini, Gereja menolak
perceraian dan hanya menerima anulasi.
78
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perkawinan Kristiani merupakan persekutuan hidup umat beriman yang
luhur dan mulia. Sebagai persekutuan hidup yang luhur dan mulia, perkawinan
Kristiani tidak hanya merupakan suatu realitas sosio-antropologis tetapi juga
merupakan suatu realitas transenden. Sebagai suatu realitas transenden,
perkawinan Kristiani tak bisa dilepaspisahkan dari campur tangan Allah yang
adalah cinta.
Hal ini secara nyata ditegaskan dalam seluruh Kitab Suci baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru yang menjadi dasar bagi dokumen dan ajaran
Gereja yang berbicara tentang arti dan makna perkawinan. Kitab Suci Perjanjian
Lama maupun Kitab Suci Perjanjian Baru seperti telah dijelaskan pada bab
sebelumnya menegaskan bahwa perkawinan adalah persekutuan hidup umat
beriman yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Allah yang dalam diri-Nya sendiri
adalah Cinta memanggil manusia pria dan wanita untuk bersatu dalam komunitas
cinta yang disebut sebagai perkawinan (Kej 2: 24; Mat 9:1-12).
Dalam konteks hubungan perkawinan ini, Allah yang telah menunjukkan
cinta dan kesetiaan-Nya tanpa batas melalui Kristus, mengharapkan agar pasangan
suami-istri juga mampu meneladani sikap Allah tersebut dalam cintanya terhadap
pasangannya. Dengan meneladani sikap Allah terhadap Kristus dan sikap Kristus
terhadap Gereja, perkawinan Kristen kini mendapat arti baru yang lebih istimewa
dan sempurna.
Kesempurnaan cinta suami-istri ini dipenuhi dalam ikatan perkawinan
yang telah diangkat Kristus pada martabatnya sebagai sakramen. Sebagai sebuah
sakramen, persekutuan hidup bersama pasangan suami-istri melambangkan
hubungan cinta yang paripurna antara Kristus dengan Gereja-Nya. Oleh karena
79
itu, Kristus yang telah mencintai Gereja-Nya tak terbatas waktu, menuntut pula
dari pasangan suami-istri untuk saling mencintai seumur hidup. Dalam sakramen
perkawinan, Kristus sendiri menghadirkan rahmat-Nya kepada suami-istri untuk
terus menyempurnakan cinta mereka agar mereka sanggup menjalankan setiap
aktivitas hidup membangun keluarga menjadi keluarga yang bahagia, matang dan
harmonis dengan kelahiran anak, pendidikan anak, dan kesejahteraan hidup suami
istri menjadi tujuan ultima perkawinan Kristiani.
Sering kebanyakan orang keliru menginterpretasi tujuan perkawinan. Ada
yang berpikir, misalnya, bahwa perkawinan baru dikatakan berhasil kalau semua
tujuan perkawinan, dalam hal ini, kesejahteraan serta kelahiran dan pendidikan
anak terpenuhi. Jika salah satu tujuan perkawinan seperti kelahiran anak tidak
terpenuhi, maka perkawinan dinilai gagal. Anggapan semacam ini kerapkali
menjadi halangan bagi perkawinan. Akhirnya bila kelahiran anak tak terjadi,
pasangan lalu berpikir bahwa perkawinan mereka telah gagal. Pada puncaknya
dan di hadapan kegagalan ini lalu muncullah niat untuk mengakhiri hubungan
melalui perceraian.
Padahal kesuksesan dan kegagalan hidup perkawinan tak bisa dinilai
hanya sebatas pada kelahiran anak. Bila tujuan perkawinan hanyalah kelahiran
anak maka perkawinan dapat dikatakan gagal. Namun dalam perkawinan Kristen
kelahiran anak hanyalah salah satu tujuan perkawinan. Dengan demikian apabila
pasangan suami-istri tidak memperoleh anak hal itu hanya berarti pasangan
suami-istri telah gagal memperoleh anak, tapi bukan gagal dalam hidup
perkawinan. Atau dengan kata lain gagal memperoleh anak tidak identik dengan
gagalnya hidup perkawinan.
Perceraian yang dipilih oleh pasangan yang memutuskan untuk bercerai
pada dasarnya tidak diterima oleh Gereja Katolik karena perkawinan itu sendiri
melecehkan hakikat perkawinan yang bersifat monogami dan tak terceraikan.
Dalam sifatnya yang monogami dan tak terceraikan ini, tuntutan untuk
membangun kehidupan bersama seumur hidup menjadi keniscayaan yang tidak
dapat diganggu gugat.
Berbeda dengan perceraian, Gereja sendiri hanya menerima anulasi
perkawinan atau pembatalan perkawinan. Anulasi diterima dalam Gereja Katolik
80
karena proses anulasi yang terjadi menyatakan bahwa kedua pasangan tersebut
tidak pernah melangsungkan perkawinan dan perkawinan yang pernah terjadi
dinyatakan tidak sah dan tidak pernah terjadi. Ketidaksahnya perkawinan ini
diukur dan ditetapkan berdasarkan halangan-halangan yang menyebabkan
martabat perkawinan dilecehkan sehingga tujuan perkawinan itu sendiri tidak
mampu diraih. Anulasi dengan demikian dimaksudkan untuk membatalkan
perkawinan yang telah terjadi agar hakikat perkawinan dan tujuan perkawinan itu
sendiri tidak disalahgunakan sebagai ajang untuk meraih kepuasan dan
kepentingan pribadi salah satu pasangan.
Berhadapan dengan persoalan perceraian dan anulasi tersebut, Gereja kini
mau tidak mau berkewajiban untuk mengajarkan anggota-anggotanya tentang
luhurnya perkawinan dan betapa indahnya hidup dalam kesetiaan sampai akhir
sebagai pasangan suami-istri. Dalam ikatan kebersamaan seperti ini, cinta Yesus
terhadap Gereja-Nya atas cara tertentu dihadirkan secara eksklusif. Ekslusivitas
cinta Yesus terhadap Gereja yang dimulai dalam keluarga menjadi jembatan bagi
keluarga untuk membagi cinta itu kepada orang lain, kepada keluarga lain dalam
kehidupan masyarakat yang lebih luas.
4.2 Usul-Saran
Berpijak pada keseluruhan pembahasan mengenai “Perceraian dan Anulasi
Perkawinan dalam Perspektif Moral Kristiani” tersebut penulis pada bagian ini
hendak mengusulkan beberapa saran yang perlu diperhatikan dan mungkin
berguna bagi karya pastoral Gereja berhadapan dengan dunia dewasa ini yang
dipenuhi oleh berbagai tantangan yang dapat menghancurkan sakralitas
perkawinan. Atau dengan perkataan lain, segala usul ini dimaksudkan agar Gereja
melalui gembala umat dan pasangan suami-istri yang telah menikah dan yang
hendak menikah agar memahami kembali hakikat perkawinan agar kehidupan
perkawinan umat Katolik tidak dilecehkan. Lebih dari itu, usulan ini dimaksudkan
agar keluarga-keluarga Kristen mampu membangun kehidupan keluarga mereka
menjadi lebih baik dari waktu ke waktu tanpa takut terhadap tantangan-tantangan
yang sekali waktu datang menghampiri.
Adapun beberap usulan penulis yakni: pertama, untuk para petugas
pastoral. Para petugas pastoral harus terlebih dahulu membekali diri dan
81
memahami hakikat perkawinan Kristiani sebelum membuat pendampingan
terhadap pasangan yang akan menikah. Hal ini sangat penting agar pendampingan
terhadap keluarga Kristen dilakukan secara sungguh-sungguh. Dengan
pemahaman yang baik dan benar terhadap hakikat perkawinan Kristen dan
larangan terhadap perceraian serta keistimewaan anulasi, petugas pastoral dapat
mempersiapkan pasangan yang akan menikah dengan sebaik mungkin dan
mengarahkan mereka menuju pemahaman yang lebih baik dan mendalam
mengenai arti dan tujuan perkawinan itu sendiri.
Kedua, bagi pasangan suami-istri. Sebelum melangkah ke jenjang
perkawinan dan persatuan hidup bersama, pasangan suami-istri dituntut untuk
memikirkan berbagai alasan di balik panggilan untuk hidup bersama. Bila alasan
untuk hidup bersama sudah dipikirkan secara matang dan mendalam maka sudah
menjadi suatu keniscayaan bagi pasangan untuk saling mempelajari berbagai
kelebihan dan kekurangan masing-masing sebelum melangkah ke jenjang
perkawinan.
Proses mengenal pasangan dengan segala kekurangan dan kelebihan ini
merupakan tuntutan urgen dan sangat penting yang harus diketahui dan dipahami
secara baik. Pasalnya, kekurangan-kekurangan pribadi yang tidak dikenal dari
awal dapat menjadi hambatan terbesar bagi perkawinan. Oleh karena itu sebelum
pasangan suami-istri memutuskan untuk masuk ke tahap perkawinan dan menikah
secara resmi dalam Gereja Katolik, komunikasi interpersonal yang intensif mesti
dibangun.
Keterbukaan untuk mengakui kekurangan sangat penting di sini. Dengan
adanya pengetahuan yang memadai tentang kekurangan dan kelebihan masing-
masing, pasangan belajar untuk saling memahami satu sama lain dan belajar untuk
saling melengkapi. Lebih dari itu proses komunikasi ini pun tidak hanya
dilangsungkan sebelum perkawinan tetapi hendaknya terus berjalan seumur hidup
selama keduanya hidup bersama. Dengan adanya komunikasi yang intensif segala
kekurangan yang dialami dalam keluarga tidak hanya menjadi tanggungjawab
keluarga inti. Ketika pasangan mengalami tantangan dalam hidup berkeluarga,
keterbukaan untuk meminta masukan dari keluarga besar dan gembala umat
menjadi penting. Dengan keterbukaan membagi kekurangan dalam keluarga,
82
segala beban dalam keluarga dapat diatasi secara bersama. Hal ini pun
dimaksudkan agar putusan untuk bercerai dapat dibendung.
Keempat, perlu disadari bahwa dewasa ini, panggilan untuk hidup
berkeluarga menjadi tidak mudah. Berbagai tantangan dari luar akibat globalisasi
senantiasi menghadang. Setiap individu yang ingin menikah dan hidup bersama
membentuk keluarga dengan demikian akan dipenuhi oleh berbagai tantangan
yang menghadang di depan mata. Oleh karena itu penting bagi masing-masing
orang yang ingin menikah untuk menyadari kembali tantangan yang ada sebagai
dasar refleksi bila memilih untuk berkeluarga. Dengan melihat tantangan-
tantangan ini, tuntutan untuk mempelajari berbagai hal menyangkut hakikat
perkawinan, perceraian, anulasi dan berbagai dampaknya menjadi suatu
keniscayaan agar kelak, hidup berkeluarga tidak lagi dianggap sebagai kutuk
melainkan sebagai berkat yang patut disyukuri.
83
DAFTAR PUSTAKA
I. DOKUMEN GEREJA DAN KAMUS
Konsili Vatikan II. Dokumen Konsili Vatika II. Terj. Hardawirayana. Cetakan VI.
Jakarta: Obor, 2002.
Kitab Hukum Kanonik. Terj. V. Katrosiswoyo et.al. Cet. III. Jakarta: Obor, 1991.
Kongregasi Ajaran Iman. Katekismus Gereja Katolik. Terj. Herman Embuiru.
Ende: Nusa Indah, 1995.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Deuterokanonika. Cet. VIII Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2000.
Lembaga Biblika Indonesia. Surat-Surat Paulus II. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Macquarrie, John. A dictionary of Cristian Ethics. London: SCM Press LTD,
1967.
O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Terj. I. Surharyo.
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Paus Yohanes Paulus II. Amanat Apostolik Familiaris Consortio. Terj.
Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Paus Paulus VI. Ensiklik Humanae Vitae. Edisi Indonesia-Inggris. Yogyakarta:
Kanisius, 1968.
Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II.
Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1991.
Packer, J. I. Ensiklopedi Fakta Alkitab. Vol. 2, terj. Budi Hardiman. Jawa Timur:
Gandum Mas, 2001.
II. BUKU-BUKU
Ameis, Bill dan Jane Grave. Cinta, Seks & Allah. Terj. Julia Suleiman Chandra.
Yogyakarta: Yayasan Andi, 1998.
84
Adams, Jay E. Masalah dalam Rumah Tangga Kristen. Terj. Richardus Eko
Indrajit. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Burtchaell, James. Dalam Untung dan Malang; Ikatan Janji Perkawinan. Terj. H.
J. Suhardiyanto. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Christie, Anthony. Langkah Tepat Ketika Menghadapi Kasus Perkawinan. Terj.
Rachel S. Wahjudi. Yogyakarta: Charissa Publisher, 2013.
Darriyo, Agoes. Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo,
2003.
Darmawijaya, St. Mengarungi Hidup Berkeluarga. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Ernaningsih, Wahyu dan Putu Sumawati, Hukum Perkawinan Indonesia
Palembang: PT. Rambang Palembang, 2006.
Go, Piet dan Maramis, Kesetiaan Suami Istri dan Soal Penyelewengan. Malang:
Analekta Keuskupan Malang, 1990.
Go, Piet. Kawin Campur Beda Agama dan Beda-Gereja. Malang: Dioma, 1994.
Gustav Jung, Carl. Diri yang Belum Ditemukan. Terj. Agus Cremes dan Martin
Warus. Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Garawiyan, Banu. Memahami Gejolak Emosi Anak. Bogor: Cahaya, 2003.
Groenen, C. Perkawinan Sakramental, Antropologi dan Sejarah Teologi,
Sistematik, Pastoral. Terj. J. Hardiwikarta. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Gilarso, T, ed. Membangun Keluarga Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Hardiwardoyo, Purwa Al. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
------------------------------. Perkawinan Menurut Islam dan Katolik. Yoyagkarta:
Kanisius, 1990.
Habsyi, Baqir Al. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2002.
Hurlock, Elizabeth B. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terj.
Suprajitno. Jakarta: Elangga, 1990.
Haag, Herbert. Pada Awal Mula. Terj. Ardi Handoko dan A. Widyamartaya.
Yogyakarta: Kanisius, 1978.
Isaak, Servulus. Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah, 1985.
85
Jackson, Dave. Memulai dan Membangun Keluarga Bersama. Terj. Lukas
Tjandra. Malang: Departemen Literatur SAAT, 2002.
Konigsmann, Josef. Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik. Ende: Nusah
Indah, 1987.
Lina, Paskalis. Moral Pribadi: Pribadi Manusia dan Seksualitasnya. Maumere:
Penerbit Ledalero, 2017.
------------------. Sakramentalitas Perkawinan dan Penegasan atas Humanae
Vitae. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Larosa, Arliyanus. Kunci Sukses Karir Pernikahan. Bandung: Yayasan Kalam
Hidup, 2009.
Mcbride, Alfred. Pendalaman Iman Katolik. Jakarta: Penerbit Obor, 2004.
Mack, Wayne A. Kesatuan yang Kudus. Terj. Yakob Tomatala. Surabaya: Yakin
Ganteng Besar, 1977.
Maas, C. Teologi Moral Perkawinan. Ende: Nusa Indah, 1997.
Ola Daen, Philip. Manajemen Penyelidikan Pra Nikah. Yogyakarta: Yayasan
Pustaka Nusatama, 2010.
--------------------. Pelayanan Tribunal Perkawinan. Maumere: Penerbit Ledalero,
2019.
Peschke, Karl Heinz. Etika Kristiani Jilid III Kewajiban Moral dalam Hidup
Pribadi. Terj. Alex Armanjaya, Yosef M. Florison dan G. Kirchberger.
Maumere: Penerbit Ledalero, 2003.
Peschke, Henry. Cristian Ethics. Vol. II. Manila: Theological Publications, 1978.
Pasaribu, Marulak. Pernikahan dan Keluarga Kristen. Jawa Timur: Departemen
Literatur YPPII, 2001.
Rausch, Thomas. Katolisisme, Teologi Bagi Kaum Awam. Terj. Agus M.
Hardjana. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Catur, Raharso. Alf. Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik. Malang:
Dioma, 2006.
-------------------------. Halangan-halangan Nikah Menurut Hukum Gereja Katolik.
Malang: Dioma, 2011.
Raho, Bernard. Keluarga Berziarah Lintas Zaman. Ende: Nusa Indah, 2003.
86
-----------------. Sosiologi. Maumere: Penerbit Ledalero, 2014.
Rubiyatmoko, Robertus. Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2011.
Rahner, Karl. Teological Investigasion. Vol. X. No. 1. Turku: Argicola-
Gesellschaft, 1955.
Surya, Mohammad. Bina Keluarga. Bandung: Graha Ilmu, 2019.
Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan. Hukum
Perceraian. Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2019.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata Jakarta: PT. Internusa, 1985.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006.
Sau, A. Tefa. Mencari Baju Kebahagiaan. Ende: Nusa Indah, 1998.
Sebho, Fredy. Estetika Tubuh. Maumere: Penerbit Ledalero, 2017.
---------------. Moral Samaritan. Maumere: Penerbit Ledalero, 2018.
Sinaga, Jaliaman. Tujuh Pilar Pernikahan. Jakarta: Divisi Pengajaran Unit
Seminar, 2004.
Subeno, Sutjipto. Indahnya Pernikahan Kristen. Surabaya: Momentum, 2008.
Saint, Le. Ancient Cristian Writers; The works of the Father in Translated.
London: Longmas Green and Co, 1951.
Trobisch, Walter. Jodohku. Terj. D. Susilaradeya. Malang: Gandum Mas, 1973.
Umar Basyier, Abu. Mengapa Harus Bercerai. Surabaya: Shafa Publika, 2012.
Vollebrecht, G. N. Kitab Suci Tentang Perkawinan. Terj. F. Hartono. Yogyakarta:
Kanisius, 1966.
Verkuyl, J. Etika Kristen Seksual. Terj. Soegiarto. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1957.
Volkhard dan Gerlinde Scheunemann. Hidup Sebelum dan Sesudah Nikah. Terj.
Sri Supadmi Murtiadji. Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia, 2001.
87
Willis, John. The Theacing of the Church Fathers. San Fransisco: Ignatius Press,
1966.
III. MANUSKRIP DAN ARTIKEL
Blow dan Hartnett. “Perselingkuhan Sebagai Kenikmatan Menyesatkan”. Dalam
Anwar Bastian. Jurnal Psikologi Perkembangan, Vol 8, No. 2. Universitas
Indonesia, Juni 2012.
Hekong, Kletus. “Hukum Perkawinan” Bahan Kuliah. STFK Ledalero, 1997.
Lina, Paskalis. “Bahan Seminar Pendampingan Keluarga” Bahan Seminar.
Keuskupan Maumere: Vikaris Yudisial, 2017.
Klein, Paul. Pedoman Awal Keluarga Kristen-Seri Buku Pastoralia. No. IX/1.
Ende: Nusa Indah, 1883.
Mukadimah. Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Tahun
1966. Ed. Frans Ceunfin. Maumere: Penerbit Ledalero, 2007.
Purwaharsato, F. X. “Pedoman Perangkat Pelayanan Kasus Perkawinan
Gerejawi”. Instrimentarum Tribunalis. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Sila, Alex. “Dialog Sebagai Perbuatan Orang Beriman”. Jurnal Ledalero, Vol. 8,
No. 2, Desember 2009.
Sujoko, Albertus. Moral Keluarga. Pineleng: STF-SP, 2002.
VI. INTERNET
https://id.m.wikipedia.org/wiki, pembatalan_perkawinan.com.
http://hikmat pembaharuan. Wordpress. Com / 18 April 2012, Dasar-dasar dalam
Pernikahan.
http://www.batamnews.co.id/berita-34192-ini-bedanya-selingkuh-pria-dan-
wanita-jangan-salah-paham.html.
Pengadilan Negeri Kupang, “Sistem Informasi Penelusuran Perkara”, Sip.pn-
kupang.go.id/list_perkara/page/1.
Wahyu Nugroho, Pentingnya Komunikasi dalam Keluarga,
http/amp/s/communicateur. wordpress.com