bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdf · ... sektor pertanian, ... kebudayaan menjadi...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mengandalkan pariwisata sebagai
objek mata pencaharian. Kebudayaan merupakan faktor utama ketertarikan wisatawan
mancanegara datang ke Bali sehingga mendatangkan berbagai kesempatan mencari penghasilan
pada sektor pariwisata. Produktifitas bisnis pariwisata budaya memicu pergerakan ekonomi di
bidang perdagangan, sektor pertanian, hingga beragam pekerjaan bidang jasa. Keberadaan,
keberlangsungan, dan keberlanjutan perekonomian Bali untuk selanjutnya terus menerus
bergantung pada hal yang berkaitan dengan kebudayaan, sebab Bali memang hanya mempunyai
sebagian kecil sumberdaya alam (fisik) yang dapat dikelola. Kebudayaan menjadi tonggak utama
karena memiliki keberagaman jenis sehingga para wisatawan tidak pernah merasa bosan untuk
menyaksikannya. Kebudayaan tersebut tidak saja terbatas pada sistem ritual dan keagamaan,
namun juga mencangkup seluruh sendi kehidupan masyarakat Bali seperti; sistem tata ruang dan
lingkungan hidup, sistem arsitektur ruang dan bangunan, sistem sosial kemasyarakatan, sistem
irigasi dan pertanian, serta berbagai sub-sistem lainnya yang membangun satu kesatuan identitas
budaya.
Hal yang paling mendasar dan merupakan awal mula pembentuk kesatuan identitas dari
sistem-sistem tersebut merupakan sistem sosial kemasyarakatan masyarakat Bali yang dikenal
dengan nama desa pakraman. Desa Pakraman merupakan istilah lain dari desa adat seperti yang
tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas
1
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Pada pasal 1
angka (4) disebutkan bahwa :
Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai
satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun
temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.
Pada pasal 3 Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 disebutkan bahwa desa adat
mempunyai kewenangan berdasarkan hak asal-usul yang meliputi:
a. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. Pengaturan dan pengurusan ulayat/wilayah adat;
c. Pelestarian nilai sosial budaya;
d. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat;
e. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat;
f. Pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat sesuai hukum adat;
g. Pengembangan kehidupan hukum adat.
Luasnya kewenangan yang diberikan kepada desa adat atau desa pakraman sebagaimana
disebut di Bali, merupakan bentuk pengakuan yang konkret terhadap eksistensi adat dan budaya
Bali. Selama ini pengakuan tersebut hanya tertuang dalam ketentuan Pasal 18b Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut menentukan bahwa:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat, serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur undang-
undang.
Penyelenggaraan pemerintahan desa pakraman akan dapat terlaksana secara maksimal
apabila desa pakraman memiliki kapasitas keuangan yang mandiri sehingga segala bentuk
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya akan berjalan dengan baik.
Salah satu bentuk kekayaan desa pakraman yang memiliki ciri khas dan mampu mendorong
perekonomian karena mempunyai fungsi selayaknya lembaga keuangan pada umumnya adalah
Lembaga Perkreditan Desa (LPD). LPD di Bali yang saat ini berjumlah 1.423 memiliki total aset
sebesar Rp 14,6 triliun atau dua kali lipat dari aset BPR di Bali. LPD yang memiliki aset diatas
Rp 100 milyar hingga tahun 2016 mencapai 29 unit. Jumlah aset yang sangat besar ini adalah
salah satu indikator betapa strategisnya LPD sebagai penghimpun dana masyarakat yang harus
dilindungi keberadaannya. Jika LPD dapat terus eksis dan berkembang tentu dampaknya dalam
mendorong perekonomian masyarakat desa pakraman sangatlah luar biasa. Dari 1.423 LPD di
Bali, hanya 10% (sepuluh persen) yang dinyatakan tidak sehat. Ini menunjukkan bahwa LPD
mampu dan eksis bersaing dengan lembaga keuangan lain yang sejenis.
Pengertian LPD termuat dalam Pasal 1 Angka 11 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun
2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, yaitu:
Lembaga Perkreditan Desa yang selanjutnya disebut LPD adalah lembaga keuangan
milik Desa Pakraman yang bertempat di wilayah Desa Pakraman.
LPD memiliki kekhususan tersendiri, akan tetapi sistem pengelolaannya secara teknis
hampir sama dengan lembaga keuangan mikro dan lembaga perbankan konvensional. Salah satu
sifat kekhususan LPD adalah LPD wajib melakukan fungsi intermediasi, yakni menghimpun
dana (funding) hanya dari masyarakat desa pakraman dan menyalurkannya kembali dalam
bentuk kredit (lending) hanya kepada masyarakat desa pakraman. Kewajiban ini tertuang dalam
Pasal 2 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa, yaitu:
LPD merupakan badan usaha keuangan milik Desa yang melaksanakan kegiatan usaha
dilingkungan Desa dan untuk Krama Desa.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa juga
mengatur tentang ijin pendirian LPD, modal LPD, pengawasan LPD, dana perlindungan dan
penjaminan LPD, kepengurusan, hingga sanksi terkait pengelolaan LPD. Peraturan Daerah ini
ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur Bali Nomor 11 Tahun 2013 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga
Perkreditan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah
Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8
Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Peraturan Gubernur Bali tersebut berisikan
mekanisme pengelolaan LPD yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian pengelolaan LPD,
pengurus dan pengawas internal LPD, badan kerjasama LPD, lembaga pemberdayaan LPD, dana
pembinaan LPD, skim dana penjaminan simpanan nasabah LPD, hingga penyetoran dan
penggunaan keuntungan bersih LPD.
Pembentukan LPD didorong karena mendesak dan menguatnya kebutuhan keuangan
desa pakraman dalam menyelenggarakan berbagai fungsi peradaban yang sangat berat dan tidak
pernah dipikirkan atau dikerjakan oleh lembaga keuangan umum atau bank manapun juga. Sifat
khas LPD juga dibedakan oleh instrumen pengelolanya, yaitu dengan menggunakan instrumen
komunikasi dan sosial budaya, seperti awig-awig, pesangkepan, dan terutama tujuannya yaitu
keberadaan LPD, lebih dimaksudkan untuk membangun kemampuan keuangan masyarakat desa
pakraman, dalam rangka menunjang misi mereka untuk memelihara, menyangga, dan
mengembangkan peradaban budaya Bali. Peradaban budaya Bali yang menjadi landasan LPD
menjadikan karakteristik LPD juga bersifat sosial, komunal, religius (tidak hanya tanggungjawab
secara fisik/sekala namun juga secara nonfisik/niskala).
Kekhususan LPD terutama dalam hal hak dan kewajiban seperti yang telah disebutkan di
atas, membuat pemerintah mengecualikan keberadaan LPD dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Undang-Undang LKM).
Posisi LPD dan lembaga keuangan sejenis, misalnya, Lumbung Pitih Nagari di Sumatera
Selatan, dianggap tidak termasuk dalam Lembaga Keuangan Mikro dan dibebaskan dari segala
aturan yang mengikat Lembaga Keuangan Mikro serta dinyatakan diakui keberadaannya
berdasarkan hukum adat. LPD hanya terdapat di Bali, untuk itu LPD hanya tunduk pada hukum
adat yang di Bali, pengaturan tentang LPD ini wajib terdapat dalam awig-awig pada masing-
masing desa pakraman.
Pengecualian ini menimbulkan kekosongan hukum mengingat seperti yang telah
dipaparkan di atas, selama ini status dan kedudukan LPD hanya diatur dalam Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa. Belum ada tindak lanjut dari
pemerintah Provinsi Bali didalam menyikapi Undang-Undang LKM dengan melakukan revisi
Peraturan Daerah tersebut agar pengaturan dan tata kelola LPD disesuaikan dengan hukum adat.
Namun demikian, Majelis Desa Pakraman Bali telah melaksanakan Paruman Agung Tanggal 8
Agustus 2014 yang menghasilkan Keputusan Paruman Agung III MDP Bali No. 007/SK-PA
III/MDP Bali/VIII/2014 tentang Pararem LPD Bali, sebagai upaya untuk mengamankan
keberadaan LPD agar sesuai dengan amanat Undang-Undang LKM.
LPD dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat desa pakraman juga mensyaratkan
adanya jaminan yang diikuti dengan pengikatan jaminan demi keamanan LPD apabila ada
peminjam yang melakukan wanprestasi. Oleh sebab itu, untuk saat ini, karena belum adanya
pengaturan lebih lanjut mengenai LPD termasuk dalam melakukan pengikatan jaminan dalam
transaksi kredit, Notaris/PPAT masih mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan
berdasarkan hukum negara (misalnya ; untuk pengikatan jaminan berupa benda tetap mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah serta untuk pengikatan jaminan berupa benda
bergerak tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia). Kondisi ini disebabkan karena LPD dalam Peraturan Daerah disebut sebagai Badan
Usaha Keuangan Milik Desa yang mengacu kepada pengertian Badan Usaha Milik Desa sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Ini juga disebabkan
dalam pengaturan dan tata kelola LPD (baik oleh Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur)
tidak ada ketentuan mengenai pengikatan jaminan kredit di LPD.
Hal ini menimbulkan polemik karena melihat pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan, jika dilihat dari aspek pemegang haknya, Pasal 9 Undang-
Undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa yang berhak memegang hak tanggungan adalah
perseorangan dan badan usaha. Demikian pula apabila memperhatikan Pasal 1 angka 6 Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa pemegang hak
atau penerima fidusia adalah korporasi maupun perseorangan. LPD dalam karakteristik dan
kekhususannya yang diamanatkan untuk tunduk pada hukum adat seperti saat ini, dianggap tidak
dapat dipersamakan dengan badan hukum, korporasi, maupun perseorangan seperti yang ada di
Indonesia saat ini.
Dari berbagai uraian latar belakang permasalahan di atas, maka secara sistematis
permasalahan pokok dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM yang
mengecualikan keberadaan LPD, maka kedudukan LPD tidak lagi dapat dipersamakan
dengan Bank Pekreditan Rakyat, Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro, maupun lembaga
keuangan lain, sehingga peraturan-peraturan yang mengikat Lembaga Keuangan Mikro
tidak dapat diterapkan pada LPD.
2. LPD hanya ada di Bali. Oleh karena itu, LPD tunduk pada hukum adat Bali dalam hal ini
awig-awig yang ada pada masing-masing desa pakraman, sehingga pemerintah harus
melakukan revisi untuk melakukan penyesuaian status dan kedudukan hukum LPD agar
sesuai dengan amanat Undang-Undang LKM.
3. Belum adanya tindak lanjut dari pemerintah terkait amanat status dan kedudukan hukum
LPD, baik itu berupa perubahan, penggantian, maupun pencabutan Peraturan Daerah
menyebabkan timbulnya kekosongan hukum baik dalam status dan kedudukan hukum
LPD maupun dalam pengikatan jaminan kredit di LPD.
Dari uraian di atas maka dapat ditarik suatu isu hukum yang berkaitan dengan adanya
kekosongan hukum berkaitan dengan status dan kedudukan hukum LPD dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang berpotensi menimbulkan polemik terkait keabsahan
pengikatan jaminan kredit di LPD , karena belum adanya aturan hukum adat maupun
perubahan/penggantian/pencabutan Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa LPD tunduk pada
hukum adat. Padahal pengikatan jaminan dalam transaksi kredit amatlah penting demi
memberikan rasa aman bagi LPD, ketika si peminjam melakukan wanprestasi karena memiliki
kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang jaminan.
Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian
sebelumnya yang juga membahas tentang masalah perkreditan di LPD. Adapun penelitian yang
mirip dengan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Rumbiani dalam rangka menyelesaikan
program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana (2013) yang
berjudul “Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Atas Tanah pada Lembaga
Perkreditan Desa di Kabupaten Gianyar”. Rumusan masalah yang terdapat dalam
penelitian ini adalah :
a). Persyaratan apakah yang harus dipenuhi oleh bukan krama desa (krama
tamiu) dalam mengajukan permohonan kredit di Lembaga Perkreditan Desa
Kabupaten Gianyar dengan jaminan hak atas tanah?
b) Bagaimanakah tanggungjawab serta upaya hukum yang dilakukan oleh
Lembaga Perkreditan Desa di kabupaten Gianyar apabila debitur
wanprestasi?
Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian tersebut adalah :
a). Hasil penelitian menunjukkan persyaratan yang harus ditempuh debitur Lembaga
Perkreditan Desa yang bukan krama desa/krama tamiu dalam mengajukan kredit
dengan jaminan hak milik atas tanah untuk memperoleh kredit pada Lembaga
Perkreditan Desa di Kabupaten Gianyar adalah adanya penanggung jawab atau
penjamin dari krama desa. Untuk kredit di atas Rp 25 juta, krama tamiu juga
diwajibkan menyerahkan jaminan sertipikat hak milik atas tanah atas nama
peminjam kredit. Sertipikat Hak Milik tersebut kemudian dibuatkan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).
b). Apabila debitur wanprestasi, tanggungjawab dan langkah yang diambil oleh
Lembaga Perkreditan Desa adalah melakukan pendekatan secara kekeluargaan
dengan memperpanjang jangka waktu pengembalian kredit sehingga debitur bisa
mencicil sesuai kemampuannya.
2. Penelitian ini ditulis oleh Jeanne Wiryadani Ratnaningrum yang dalam rangka
menyelesaikan program Pascasarjana di Magister Kenotariatan Universitas Udayana
(2015). Tesis ini menganalisis mengenai “Wewenang Lembaga Perkreditan Desa
sebagai Subjek Hak Tanggungan”. Rumusan masalah yang diangkat pada tesis ini ada
dua, pertama apakah Lembaga Perkreditan Desa berwenang sebagai subjek hukum hak
tanggungan dan yang kedua bagaimana akibat hukum dari perjanjian yang dibuat oleh
LPD sebagai debitur dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan. Kesimpulan yang
didapat adalah, pertama LPD tidak dapat menjadi subjek hukum hak tanggungan
karena LPD adalah duwe desa pakraman. Akibat hukum dari perjanjian LPD adalah
tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 ayat (4)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus dari pada
kajian penelitian ini adalah lebih kepada kekosongan hukum berkaitan dengan status dan
kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro yang berpengaruh terhadap pengikatan jaminan
di LPD, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian
tentang kajian yuridis pengikatan jaminan di LPD merupakan isu hukum yang penting demi
terjaganya keamanan lembaga keuangan khusus milik desa pakraman yang hanya satu-satunya
di Bali, untuk itu berdasarkan hal inilah yang melatarbelakangi penulis tertarik mengangkat
penelitian ini dengan judul: “Status dan Kedudukan Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
terkait Pengikatan Jaminan dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1.2.1 Bagaimanakah status dan kedudukan hukum Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro?
1.2.2 Bagaimanakah pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan permasalahan-permasalahan perkreditan di Lembaga Perkreditan Desa di
Provinsi Bali, agar dikemudian hari tidak terjadi keragu-raguan dan para pihak yang bersengketa
dapat memiliki kepastian hukum.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui status dan kedudukan hukum Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro.
b. Untuk mengetahui pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan
Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya dalam bidang hukum adat dan hukum jaminan. Penelitian ini
dapat membantu untuk lebih memperhatikan dan berusaha untuk memberikan sumbangan
pemikiran sesuai dengan kejadian dan fakta di lapangan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu
pengetahuan dalam bidang hukum adat serta agar para pihak mengerti akan tuntutan dan
menyadari pentingnya perlindungan hukum terhadap hak-hak lembaga adat yang belum
sepenuhnya terakomodasi oleh pemerintah.
1.5 Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum atau teori
hukum khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma, dan lain-
lain, yang akan dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Landasan teoritis
terdiri atas pemikiran-pemikiran teoritis yaitu pengertian tentang hukum, konsep-konsep hukum,
dan teori-teori hukum yang digunakan dalam setiap penelitian disebabkan terdapat hubungan
yang erat antara teori dengan kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian tersebut. Landasan
teoritis tersebut akan menuntun penelitian ke arah yang lebih jelas.
Teori yang akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai
pengaturan hukum pengikatan jaminan Hak Tanggungan pada LPD setelah berlakunya Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro adalah Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
dan Teori Badan Hukum. Sedangkan teori Transplantasi Hukum akan digunakan untuk
menjawab rumusan masalah kedua.
a. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Pada mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal mengenai teori
jenjang hukum (Stufentheorie) yang merupakan pendapat dari Hans Kelsen. Hans Kelsen
menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hirarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar (grundnorm).1
Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma yang tidak lagi dibentuk
oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh
masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di
bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.2
Norma dasar sendiri berarti kaidah-kaidah yang paling fundamental tentang kehidupan
manusia di mana di atas norma dasar tersebut dibuatlah kaidah-kaidah hukum lain yang lebih
konkret dan lebih khusus. Biasanya, norma dasar yang berlaku dalam suatu negara ditulis dalam
konstitusi negara tersebut. Suatu norma dasar tidak dengan sendirinya mengikat tanpa kehadiran
suatu aturan hukum yang lebih konkret berupa norma hukum yang valid. Harus ada hukum
positif untuk itu, baik dalam bentuk aturan tertulis, yurisprudensi, maupun hanya berupa hukum
1 Trevor. J. Saunders, 2005, The Laws, Penguin Books, New York.
2Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010,Ilmu Perundang-Undangan : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Kanisius, Yogyakarta, hal. 41.
kebiasaan yang mengikat secara hukum yang menyatakan bahwa manusia tersebut memiliki
suatu kewajiban terhadap suatu hal tertentu.3
Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma
yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi
norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hirarki sistem norma, norma yang
tertinggi (norma dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga
apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.4
Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori tentang jenjang
norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky menyatakan bahwa suatu norma
hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.5 Hans
Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma
hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum
dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain:
1. Kelompok I: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara);
2. Kelompok II: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
3. Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-Undang ”Formal”);
4. Kelompok IV: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana).6
Hans Nawiasky memaparkan, isi staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan
dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara
3Ibid, hal. 138
4Ibid, hal 42
5Astim Riyanto, 2000, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, hal. 56
6Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safaat, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal.171.
(staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar.
Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.7 Selanjutnya Hans
Nawiasky melanjutkan bahwa norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma
dasar (basic norm) dalam suatu negara seharusnya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm
melainkan staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai
kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu negara norma
fundamental negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan
sebagainya.8
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam pembentukan peraturan
perundangan-undangan perlu memperhatikan asas-asas peraturan perundang-undangan antara
lain9:
1. Undang-Undang tidak dapat berlaku surut;
2. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
3. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
tinggi pula (Lex superiori derogat legi inferiori);
4. Undang-Undang yang bersifat khusus akan mengesampingkan atau melumpuhkan
undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat legi generalis);
5. Undang-Undang yang baru mengalahkan atau melumpuhkan undang-undang yang lama
(Lex posteriori derogat legi priori);
7Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1993, Perihal Kaidah Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 88.
9 Purnadi Purbacanaka & M. Chidir Ali, 1990, Disiplin Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 58
6. Undang-Undang merupakan sarana terbaik untuk keseimbangan spiritual masyarakat
maupun individu, melalui proses pembaharuan atau pelestarian.10
Dalam sistem perundang-undangan dikenal adanya hirarki peraturan perundang-
undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada
yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam proses penerapan suatu peraturan tidak cukup hanya dengan peraturan yang baik
(pro-masyarakat) dan dilaksanakan oleh aparatur pemerintah yang baik (bukan hanya sebagai
corong undang-undang), akan tetapi wajib pula dilengkapi dengan budaya hukum masyarakat
yang berkeinginan kuat mematuhi aturan tersebut. Budaya hukum suatu masyarakat ditentukan
oleh nilai-nilai tertentu yang hidup pada masyarakat serta dijadikan sebagai acuan dalam
membuat suatu aturan. Artinya, ketika suatu undang-undang dibuat harus terlebih dahulu melihat
budaya hukum masyarakat yang akan diaturnya.
Dalam upaya mengetahui budaya hukum tersebut, salah satu caranya adalah dengan
melakukan studi ilmiah terhadap suatu peraturan yang akan dibuat yaitu biasanya dikenal dengan
naskah akademik suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Suatu naskah akademik harus
memiliki kajian ilmiah tentang keadaan sosiologis masyarakat terhadap aturan-aturan yang akan
10
Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, 2010, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, hal. 73
dibuat. Oleh sebab itu, keberadaan naskah akademik tersebut harus ada dalam setiap rancangan
peraturan perundang-undangan.
Naskah akademik mempunyai 7 (tujuh) indikator dan/atau faktor yang harus ada, yang
dikenal dengan istilah ROCCIPI (Rules, Opportunity, Capacity, Communication, Interest,
Procces dan Ideology). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ROCCIPI yang sangat
diperlukan dalam pembuatan naskah akademik.11
Dari tujuh indikator tersebut dibagi menjadi indikator subjektif dan indikator objektif.
Termasuk dalam indikator dan/atau faktor subjektif ini adalah Interest dan Ideology.12
1. Interest terkait dengan pandangan tentang manfaat bagi pelaku peran (pembuat undang-
undang maupun yang terkena atau masyarakat yang diaturnya);
2. Ideology terkait dengan masalah yang lebih luas cakupannya yakni nilai, sikap, selera,
bahkan mitos-mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, agama, kepercayaan, politik,
sosial, ekonomi.
Sedangkan yang termasuk indikator dan/atau faktor objektif adalah Rules, Opportunity,
Capacity, Communication dan Procces.13
1. Rules adalah faktor bahwa orang berperilaku tidak hanya dalam satu peraturan, tetapi
dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang sering saling terkait. Oleh sebab itu,
pembuatannya harus selalu mengingat peraturan perundang-undangan lain yang mungkin
ada kaitannya baik secara vertikal maupun horizontal. Kalau ini diabaikan maka bisa
timbul penolakan bahkan digugat secara hukum untuk dibatalkan melalui judicial review;
11
Aan Seidman, Robert B. Seidmann, & Nalin Abeyserkere, 2001, Penyusunan Rancangan Undang-
Undang dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis, sebuah Panduan untuk Pembuat Rancangan Undang-
Undang, ELIPS, Jakarta, hal. 21 12
Local Government Support Program, 2007, Legal Drafting Penyusunan Peraturan Daerah Buku
Pegangan untuk DPRD, The United States Agency for International Development (USAID), Jakarta, hal. 17 13
Ibid, hal. 18
2. Opportunity adalah faktor lingkungan (eksternal) dari pihak-pihak yang akan dituju yang
juga harus diketahui secara jelas sehingga memungkinkan mereka berperilaku sesuai
dengan perintah atau larangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Faktor
ini menuntut pembuat peraturan perundang-undangan memahami tentang konfigurasi dan
keadaan riil masyarakat yang akan dikenakan peraturan yang akan dibuat sebab hukum
yang tak berpijak pada realitas sosial tak akan dapat bekerja secara efektif;
3. Capacity adalah faktor yang terkait dengan ciri-ciri pelaku (internal) yang mungkin
punya masalah yang bisa mendorong mereka atau menyulitkan mereka atau tidak
memungkinkan mereka untuk menaati peraturan perundang-undangan;
4. Communication adalah faktor peran pihak yang berwenang atau aparat dalam mengambil
langkah-langkah, apakah sudah memadai atau belum, untuk mengomunikasikan
peraturan perundang-undangan kepada pihak yang dituju. Pihak yang dituju untuk
berlakunya peraturan perundang-undangan itu, harus mendapat informasi yang jelas juga,
bukan hanya kita yang harus mendapat informasi tentang mereka, tetapi juga mereka
harus mendapat infomasi dari kita tentang peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat. Oleh sebab itu, komunikasi dan publikasi melalui media massa menjadi sangat
penting;
5. Procces adalah prosedur bagi pelaku peran untuk memutuskan akan memenuhi
(mematuhi) atau tidak akan mematuhi terhadap peraturan perundang-undangan. Dari
faktor ini terkandung juga keharusan agar pembentukan peraturan perundang-undangan
harus melalui prosedur dan mekanisme yang berlaku untuk itu yang jika tidak
diperhatikan produknya dapat terkena pengujian yudisial (yudicial review) secara formal.
Setidaknya, dengan adanya tujuh indikator dan/atau faktor tersebut terdapat dalam naskah
akademik rancangan peraturan perundang-undangan, maka masyarakat akan dapat
melaksanakannya dengan suka rela dan bertanggungjawab.
b. Teori Badan Hukum
Teori Badan Hukum pertama kali berkembang di Inggris pada masa revolusi industri.
Istilah Teori Badan Hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris yaitu The Intity Theory.14
Sementara itu dalam bahasa Belanda disebut dengan Rechtpersoon Theorie. Badan Hukum atau
Rechtpersoon adalah himpunan orang sebagai perkumpulan, perkumpulan diadakan atau diakui
oleh pejabat umum, maupun perkumpulan itu didirikan untuk maksud tertentu yang tidak
berkentangan dengan undang-undang dan kesusilaan.15
Menurut Munir Fuady beberapa prinsip
hukum tentang badan hukum khususnya badan hukum bisnis, yang berkembang sejak revolusi
industri sebagai berikut :
1. Pengakuan kepada perkumpulan-perkumpulan bisnis sebagai badan hukum;
2. Sebagai badan hukum, perusahaan adalah pemangku hak dan kewajiban;
3. Tanggung jawab yang terpisah antara pribadi pemilik perusahaan dengan tanggung jawab
perusahaannya sendiri;
4. Berlaku prinsip kebebasan mengalihkan saham (free transfer ability of share / interest);
5. Sebagai badan hukum perusahaan dapat memiliki harta benda sendiri;
6. Sebagai badan hukum, perusahaan memiliki manajemen selaku kaki tangan
penyelenggara perusahaan;
7. Berlaku prnsip kebebasan untuk mendirikan perusahaan (freedom on incorporation);
8. Perusahaan berwenang untuk membuat kontrak dan melakukan berbagai perbuatan
hukum lainnya, kecuali terhadap perbuatan hukum yang tidak sesuai dengan kodrat badan
hukum.16
Teori badan hukum dipelopori oleh sarjana Jerman, Friedrich Carl von Savigny (1779 –
1861), tokoh utama aliran atau mazhab sejarah pada permulaan abad ke – 19.17
Teori ini dianut
14
Chidir Ali, 2011, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 29 15
HS Salim, 2010, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal.25 16
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, hal.157 17
HS Salim, loc.cit
di beberapa Negara, antara lain di negeri Belanda dianut oleh Opmozer, Diephuis, Land dan
Houwing serta Langemayer.18
Menurut Von Savigny bahwa hanya manusia saja yang
mempunyai kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi,
bukan merupakan suatu hal yang konkrit.19
Jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak
mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada
yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Orang
bersikap seolah-olah ada subjek hukum, tetapi wujud yang tidak riil itu dapat melakukan
perbuatan-perbuatan sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakil-wakilnya. Teori
Badan Hukum terdiri atas beberapa pembagian antara lain : Teori Fiksi, Teori Organ, Teori Leer
van het ambtelijk vermogen, Teori Kekayaan Bersama, Teori Kekayaan Bertujuan, Teori
Kenyataan Yuridis, dan Teori dari Leon Duguit. Diantara tujuh pembagian Teori Badan Hukum
yang dipaparkan di atas, teori yang dipergunakan adalah Teori Fiksi.
Teori Fiksi menjelaskan badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau
negara. “Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada
tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal”.20
Dengan
kata lain Von Savigny berpendapat badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Menurut
alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, badan hukum itu hanya suatu fiksi, tetapi
orang menciptakan dalam bayangan suatu pelaku hukum (badan hukum) sebagai subjek hukum
diperhitungkan sama dengan manusia.21
c. Teori Transplantasi Hukum
18
Munir Fuady, loc.cit 19
Munir Fuady, loc.cit 20
Chidir Ali, op.cit, hal. 31- hal. 32 21
Ali Rido, 2012, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, hal.7
Teori Transplantasi Hukum akan digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua
berkaitan dengan pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD)
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
Studi mengenai “Transplantasi Hukum” memang merupakan studi yang terbatas
jumlahnya. Konsep ini sendiri oleh berbagai ahli diberikan pengertian yang berbeda-beda. Salah
satu definisi dikemukakan oleh Alan Watson bahwa Transplantasi Hukum merupakan “the
borrowing and transmissibility of rules from one society or sistem to another”. Definisi
semacam ini bisa disebut sebagai definisi yang luas, yang mempertimbangkan bukan saja
pembentukan hukum sebagai hubungan antar negara melainkan pula pengaruh dari tradisi hukum
antar masyarakat.22
Legal transplants atau legal borrowing, atau legal adoption demikian istilah yang
diperkenalkan oleh Alan Watson, untuk menyebutkan suatu proses meminjam atau mengambil
alih atau memindahkan hukum dari satu tempat atau dari satu negara atau dari satu bangsa ke
tempat, negara atau bangsa lain kemudian hukum itu diterapkan di tempat yang baru bersama-
sama dengan hukum yang sudah ada sebelumnya.23
Definisi lainnya yang dikemukakan oleh Black’s law dictionary menyangkut legal
reception memiliki makna dimana keberadaan suatu wilayah hukum tertentu bisa memberikan
pengaruh pada pembentukan hukum di wilayah hukum lainnya. Ditemukan pula pendapat dari
sudut pandang ahli pemerintahan seperti Frederick Schauer yang memberi pengertian legal
22
Budiyoni, Tri, 2009, Transplantasi Hukum Harmonisasi dan Potensi Benturan Studi Transplantasi
Doktrin Yang Dikembangkan dari Tradisi Common Law pada UU PT, Griya Media, Salatiga, hal 9
23Ibid, hal. 10
transplantation sebagai “…the process by which laws and legal institutions developed in one
country are then adopted by another.”24
Menurut Tri Budiyono, Transplantasi Hukum25
adalah pengambilalihan aturan hukum
(legal rule), ajaran hukum (doctrine), struktur (structure), atau institusi hukum (legal institution)
dari suatu sistem hukum yang lain atau dari wilayah hukum ke wilayah hukum yang lain.
Transplantasi hukum dapat menimbulkan harmonisasi hukum apabila terjadi kebersesuaian yang
meliputi aturan hukumnya, ajaran hukumnya, struktur hukumnya, atau institusi hukumnya.
Semuanya bergantung dari substansi yang ditransplantasikan.
Transplantasi Hukum selalu terkait dengan tradisi hukum. Tradisi hukum yang ada bukan
saja menyangkut Civil Law, tetapi juga di Indonesia, terdapat hukum adat dan hukum Islam.
Dalam situasi dimana tradisi-tradisi hukum yang ada saling berkompetisi (contoh: menempatkan
sistem perbankan Syariah dalam sistem hukum perbankan nasional yang notabene “barat”) maka
Transplantasi Hukum mungkin saja tidak akan selesai dalam waktu singkat, melainkan akan
memerlukan usaha harmonisasi hukum yang menjadi agenda nasional. Hal di atas kini dialami
pula oleh sebuah negara baru, Timor Leste, yang harus melakukan harmonisasi terhadap produk-
produk bentukan hukum Indonesia, hukum Portugis, hukum adat, dan hukum dari wilayah
Amerika latin, mulai dari isi konstitusinya sampai dengan prosedur berperkara di pengadilan.26
Pilihan politik Transplantasi Hukum dalam kebijakan pembangunan hukum nasional
yang sesuai dengan jiwa dan roh hukum Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia, dasar
ideologis-filosofis Pancasila yang merupakan the original paradicmatic value of Indonesian
24
Frederick Schauer. The Politics and Incentives of Legal Transplantations. CID (Center for International
Development at Harvard University) Working Paper No. 44. April 2000. 25
Budiyono, Tri, 2002, “Menggagas Sintesa Global-Lokal dalam Membangun Hukum Ekonomi, Jurnal
Ilmu Hukum, Edisi April-Oktober 2002, hal. 1 26
Duarte Tilman Soares.Perbandingan Penerapan Hukum Nasional Timor Leste dengan Hukum yang
berlaku di Indonesia. Makalah seminar di fakultas hukum uksw, tanggal 18 Februari 2003.
culture and society, adalah pilihan politik dalam aktivitas pembuatan norma hukum konkrit
(basic policy) tanpa harus mengabaikan posisi dan keberadaan Indonesia ditengah-tengah
pergaulan internasional. Dengan demikian hukum yang dilahirkan adalah hukum yang commit
nationally, think globaly and act locally.27
Transplantasi saat ini dan ke depan akan terus menjadi pilihan politik hukum di negeri
ini. Kebijakan membuat undang-undang (basic policy) yang memadukan unsur yang bersumber
dari hukum asing dengan hukum yang bersumber dari the original paradicmatic values of
Indonesian culture and society haruslah dilakukan secara cermat dan penuh perhitungan, agar
hukum yang akan diberlakukan di negeri ini tidak tercerabut dari akar ideologis-filosofis negara
dan bangsa Indonesia.28
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang pada dasarnya
merupakan metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu maka diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian yang ditimbulkan
di dalam gejala yang bersangkutan. Jenis penelitian ini adalah penelitian yang berbasis kepada
ilmu hukum normatif, dan mengacu kepada norma-norma hukum positif yang terdapat didalam
peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya29
.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif karena, sebagaimana tergambar pada
uraian latar belakang masalah, penelitian ini berusaha mencari jawaban atas terjadinya adanya
27
Evaristus Hartoko W, 2002, “Good Corporate Governance in Indonesia”, Griffin’s View on International
and Comparative Law”, Volume 3 Number 1, Januari 2002, hal. 103 28
Ibid, hal 109 29
Ibrahim Johni, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayu Media Publishing,
hal. 336.
kekosongan hukum berkaitan dengan status dan kedudukan hukum LPD dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 yang berpotensi menimbulkan polemik terkait keabsahan
pengikatan jaminan kredit di LPD, karena belum adanya aturan hukum adat maupun
perubahan/penggantian/pencabutan Peraturan Daerah yang menyatakan bahwa LPD tunduk pada
hukum adat. Padahal pengikatan jaminan dalam transaksi kredit amatlah penting demi
memberikan rasa aman bagi LPD, ketika si peminjam melakukan wanprestasi karena memiliki
kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang jaminan.
Dalam penelitian hukum normatif seringkali dikonsepkan apa saja yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang diharapkan untuk
memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti.
Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis
secara cermat bagaimana menjawab permasalahan.
Penelitian ini meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum,
peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan beberapa buku mengenai
Lembaga Perkreditan Desa dan jaminan yang ada untuk mengetahui secara jelas mengenai
kedudukan dan status LPD.
1.6.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum normatif umumnya mengenal 7 (tujuh) jenis pendekatan
yakni; Pendekatan Kasus ( The Case Approach), Pendekatan Perundang-Undangan (The
Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), Pendekatan Analisis Konsep
Hukum (Analytical and Conceptual Approach), Pendekatan Futuristik (Futuristic
approach), dan Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Dalam penelitian ini
akan digunakan jenis pendekatan:30
1. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach);
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Fidusia),
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (Undang-Undang Hak
Tanggungan), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Undang-
Undang Desa), dan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Lembaga
Perkreditan Desa yang akan berkaitan erat dengan kewajiban Lembaga
Perkreditan Desa dalam melakukan pengikatan jaminan terhadap jaminan kredit
yang diajukan oleh debiturnya.
2. Pendekatan Futuristik (Futuristic approach);
Pada pendekatan futuristik maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan
yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode
ini dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan
berpedoman pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai
kekuatan hukum, Contohnya pada saat undang- undang tentang pemberantasan tindak
subversi yang pada saat itu sedang di bahas di DPR akan mencabut berlakunya
undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan interpretasi futuristik,
menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik berdasarkan undang-undang
30
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, hal. 133
pemberantasan tindak pidana subversi. Hakim apabila menghadapi suatu kasus,
dimana kasus tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi
Hakim mengetahui bahwa untuk kasus tersebut telah mempunyai rancangan dan pasti
akan disahkan oleh DPR, maka hakim dapat menggunakan rancangan tersebut untuk
melakukan penemuan hukum.
3. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analytical and Conceptual Approach);
Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti harus mencari suatu
mengenai kecocokan penerapan konsep pengikatan jaminan Hak Tanggungan
dan Fidusia berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan dan Undang-Undang
Fidusia dengan konsep LPD sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang
Lembaga Keuangan Mikro. Pendekatan ini merupakan dasar analisis terhadap
konsep dari suatu norma.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi
kepustakaan. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sumber bahan hukum primer antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
c. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889);
d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3632);
e. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
f. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125);
g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491);
h. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5495);
i. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman;
j. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa
sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir diubah dengan Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Provinsi
Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa;
k. Surat Keputusan Gubernur Nomor 972 Tahun 1984 tentang Lembaga Perkreditan
Desa;
l. Pararem Lembaga Perkreditan Desa.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu, bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.31
3. Bahan hukum tertier, yaitu, bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk
dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet, serta makalah-
makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum yang dipergunakan dalam penulisan penelitian
ini ialah dengan melakukan pencatatan secara sistematis dari bahan-bahan yang diperoleh
melalui studi kepustakaan beserta dialog yang dilakukan kepada tokoh-tokoh di bidang
hukum.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Berdasarkan bahan hukum yang telah diperoleh melalui studi kepustakaan dan dialog,
maka bahan-bahan hukum tersebut diolah secara kualitatif. Terhadap bahan-bahan hukum yang
diperoleh ini dilakukan pengklasifikasian untuk mempermudah di dalam mendukung penulisan
secara menyeluruh. Selanjutnya dari data-data tersebut dilakukan penyajian secara deskriptif
analisis dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis. Adapun teknik analisis bahan hukum yang
digunakan yaitu deskripsi, sistematisasi, evaluasi, interpretasi, dan argumentasi, yang dipaparkan
sebagai berikut:32
1. Teknik deskripsi
31
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hal. 24.
Teknik deskripsi adalah memaparkan situasi atau peristiwa. Pada teknik ini tidak mencari
atau menjelaskan hubungan, tidak adanya hubungan, tidak menguji hipotesis, atau
membuat prediksi.33
Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Jadi, dalam tesis ini yang
dideskripsikan adalah pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan
Desa (LPD) dengan berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.
2. Teknik sistematisasi
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum
atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat dan tidak
sederajat. Dalam tesis ini akan dibahas apakah LPD merupakan badan usaha sesuai
dengan pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan pengaturan hukum pengikatan jaminan pada LPD mengingat
kedudukannya yang telah dibedakan dari jenis lembaga-lembaga keuangan mikro yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro, namun dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang
Lembaga Perkreditan Desa, LPD masih dikategorikan sebagai Badan Usaha Milik Desa.
3. Teknik evaluasi
Adapun penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,
sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi pernyataan rumusan
norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun badan hukum
sekunder. Dalam tesis ini, LPD sebagai kreditur yang dapat menjadi penerima hak
tanggungan dan fidusia karena merupakan suatu badan usaha milik desa harus ditujukkan
33
M. Hariwijaya, 2007, Metodelogi dan Teknik Penulisan Skripsi Tesis dan Disertasi, Azza Grafika,
Yogyakarta, hal. 48
dasar hukumnya dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro.
4. Teknis interpretasi
Berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis,
kontektual, dan lain-lain. LPD dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro kedudukannya sudah dikecualikan, sehingga LPD seharusnya
diberikan status dan kedudukan yang sesuai dengan jiwa hukum adat mengingat
kedudukannya yang sangat khusus yang tunduk pada hukum adat.
5. Teknik argumentasi
Tidak dapat dipisahkan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam tesis ini nantinya akan ada temuan
hukum yaitu pengaturan hukum pengikatan jaminan pada Lembaga Perkreditan Desa
(LPD) setelah berlakunya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro dan penjelasan
mengenai status kedudukan Lembaga Perkreditan Desa dengan berlakunya Undang-
Undang Lembaga Keuangan Mikro yang sesuai dengan karakteristiknya selaku lembaga
keuangan milik desa adat.