bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - wisuda.unud.ac.id i.pdf · cita-cita bangsa indonesia...

22
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik atau seperti keadaan yang normal. 1 Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta pengingkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk dan terkadang akan berakhir dengan kematian. Kasus malpraktek di bidang medis yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya merupakan beberapa kasus yang menguap, kasus ini dapat disebut seperti gunung es (iceberg). Salah satu contoh kasus malpraktek di bidang medis yaitu kematian 1 Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran,Cet.1, Mandar Maju, Bandung, h. 35.

Upload: buinguyet

Post on 10-May-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan,

papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam

keadaan sakit, manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari

dengan baik atau seperti keadaan yang normal.1 Kesehatan merupakan hak asasi

manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan

cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam

upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif

dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,

serta pengingkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.

Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan

terlihat jelas masih sangat kurang. Terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi

terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang

terburuk dan terkadang akan berakhir dengan kematian. Kasus malpraktek di

bidang medis yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya

merupakan beberapa kasus yang menguap, kasus ini dapat disebut seperti gunung

es (iceberg). Salah satu contoh kasus malpraktek di bidang medis yaitu kematian

1Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran,Cet.1, Mandar Maju, Bandung, h. 35.

bayi pasangan kembar putra dari ayah Fadli dan Fika yakni Fadhaln dan Fayyadh

disebabkan karena kelalaian pihak rumah sakit. Luka semacam luka bakar

dipunggungnya bukanlah disebabkan oleh inkubator melainkan karena virus yang

ada pada popok bayi sehingga punggungnya seperti melepuh. Itu bisa terjadi

karena pihak rumah sakit kurang kontrol terhadap penggantian baju atau popok

bayi.2

Menguapnya kasus-kasus malpraktek tersebut juga merupakan suatu

pertanda kemajuan dalam masyarakat, atas kesadarannya akan hak-haknya yang

berkenaan dengan kesehatan dan pelayanan medis sekaligus kesadaran akan hak-

haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama di bidang kesehatan.

Permasalahan malpraktek di bidang kesehatan selama ini terus menerus

menjadi pembahasan dan hal ini tidak terlepas dari korban yang ditimbulkan.

Permasalahan tindak pidana tidak hanya berkaitan dengan pelaku tindak pidana

namun juga berkaitan dengan pembahasan terhadap korban tindak pidana tersebut.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Quinney sebagaimana dikutip

dalam bukunya Arief Amrullah dinyatakan bahwa : “semua tindak pidana pasti

menimbulkan korban, suatu perbuatan tertentu dikatakan jahat, karena seseorang

dianggap telah menjadi korban.3

2Dewi Agustina, 2014,http://www.tribunnews.com/regional/2014/11/26/bidan-rsia-bunda-jadi

tersangka-kasus-bayi-terpanggang-inkubator, diakses pada tanggal 06 Oktober 2015.

3Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, h. 130.

Kasus-kasus yang terjadi di bidang kesehatan menggambarkan sikap

kurang hati-hati, kurang teliti, kesembronoan, dan kecerobohan dari tenaga medis

baik yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga medis rumah sakit yang

seringkali dikenal dengan istilah malpraktek medis. Pasal 11 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut

UU Tenaga Kesehatan) dinyatakan “ bahwa yang termasuk dalam kelompok

tenaga medis terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi

spesialis”. Tindakan malpraktek medis menimbulkan kerugian baik materiil

maupun immateriil di pihak pasien atau keluarga pasien sebagai korban. Kasus

malpraktek medis yang ada seringkali berujung kepada penderitaan pasien.

Kiranya perlu dikaji bagaimana upaya untuk memberikan perlindungan hukum

bagi pasien, terutama yang menyangkut masalah hubungan hukum pasien dengan

rumah sakit, hak dan kewajiban para pihak, pertanggungjawaban dan aspek

penegakan hukumnya.

Malpraktek medis dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan

seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan

ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang

cedera menurut ukuran di lingkungan yang sama.4

Masyarakat sekarang ini banyak yang menyoroti kinerja tenaga medis,

baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

sebagai induk organisasi para dokter maupun yang disiarkan melalui media cetak

4Hanafiah, M. Yusuf dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,

Kedokteran EGC, Jakarta, h. 96.

maupun media elektronik. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa

sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan tenaga medis yang dapat

mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi

fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati

nasehat dokter. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis (yang

terbaik sekali pun) menjadi tidak berarti apa-apa. Tidaklah salah jika kemudian

dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian

(uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.5

Pengertian dari pasien menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-

Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut dengan

UU Rumah Sakit) adalah : “setiap orang yang melakukan konsultasi masalah

kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik

secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.”

Tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Pengaturan di dalam KUHP

lebih kepada menekankan pada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut. Di atur

dalam Pasal 360 ayat (1) dan (2) KUHP . Isi dari Pasal 360 KUHP Ayat (1)

berbunyi : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat

dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan

selama-lamanya satu tahun”. Sedangkan isi dari Pasal 360 KUHP Ayat (2)

berbunyi :

5S. Sutrisno, Tanggungjawab Dokter di Bidang Hukum Perdata, Segi-Segi Hukum

Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, Semarang, 29 Juni 1991, h. 22.

“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian

rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat

menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan

hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan

selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya

Rp.4.500,-“.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

(selanjutnya disebut dengan UU Praktik Kedokteran) tidak mengatur mengenai

ketentuan tentang ganti rugi yang dapat diberikan kepada pasien apabila terjadi

tindak pidana di bidang medis atau malpraktek kedokteran. Menurut ketentuan

yang diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran berbunyi : “setiap

orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam

menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.”

Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran mengandung aturan mengenai

kesalahan yang terjadi pada praktik kedokteran, namun tidak ada ketentuan yang

secara spesifik mengatur mengenai penuntutan ganti rugi yang dapat diajukan

oleh pasien maupun keluarga pasien korban malpraktek di bidang medis. Pasal ini

hanya menentukan dasar hukum untuk melaporkan dokter kepada organisasi

profesinya apabila terindikasi melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian

bagi pasiennya.

Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut

adanya perhatian untuk kesehatan di Indonesia. Gangguan kesehatan akan

menimbulkan kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan

masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan

kesehatan tersebut harus berdasarkan pengetahuan yang luas tentang kesehatan

demi peningkatan kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan

perkembangan zaman aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak sesuai lagi dengan

perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum, maka dibentuklah Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan)

yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini. Menurut ketentuan yang

diatur dalam Pasal 29 UU Kesehatan mengatur mengenai kelalaian yang

dilakukan tenaga kesehatan yaitu : “Dalam hal tenaga kesehatan diduga

melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus

diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.” Dalam penjelasan pasal ini

dinyatakan bahwa : “mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga

kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima

pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.” Pasal ini juga

tidak mengatur mengenai pemberian ganti kerugian bagi pihak pasien.

Hukum kedokteran di Indonesia hingga saat ini belum dapat merumuskan

secara mandiri batasan-batasan mengenai malpraktek sehingga isi, pengertian dan

batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam tergantung dari sisi mana

orang memandangnya.6 Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 46 UU

Rumah Sakit menyatakan bahwa : “Rumah Sakit bertanggungjawab atas semua

kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

6Crisdiono M. Achdiat, 2004, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan

Zaman, Buku Kedokteran, Jakarta, h. 21.

rumah sakit.” Ditetapkannya undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi

pihak pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meminta tanggung

jawab dari pihak rumah sakit atas kerugian yang dideritanya akibat dari tindakan

medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut.

Bidang pengobatan, dokter dan pasien menyadari bahwa tidak mungkin

dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai dengan keinginan

pasien atau keluarganya. Dokter hanya berupaya secara maksimal secara hati-hati

dan cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani

penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan penyakit pasiennya.

Sedangkan, Pasien mempunyai kewajiban memeriksakan diri sedini mungkin

tentang penyakit yang dideritanya dengan memberikan informasi yang benar dan

lengkap berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga wajib mematuhi petunjuk dan

nasehat yang dianjurkan dokter berkaitan dengan makan, minum maupun istirahat

yang cukup. Selain itu pasien harus merasa yakin kalau dokter akan berupaya

maksimal dalam mengobati penyakitnya sehingga pasien harus kooperatif dan

tidak menolak apabila diperiksa dokter. Pasien rumah sakit sebagai konsumen

juga berhak mendapatkan perlindungan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan

Konsumen). Undang-undang ini, memberikan upaya hukum bagi pasien yang

menjadi korban sebagai pengguna jasa atas tindak pidana di bidang medis untuk

menuntut keadilan bagi mereka baik melalui pengadilan maupun luar pengadilan.

Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa kerugian yang

diderita korban malpraktek sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang

dilakukan oleh dokter sebagi pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah

ganti rugi. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban malpraktek menurut

Pasal 19 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang

penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan

kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Aborsi merupakan perbuatan yang dilarang, aborsi juga merupakan suatu

malpraktek karena merupakan praktek kedokteran yang salah, tidak tepat,

menyalahi undang-undang atau kode etik. Ketentuan mengenai aborsi menjadi di

legalkan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014

tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi).

Terjadi pertentangan di kalangan masyarakat dan juga dari Ikatan Dokter

Indonesia. Peraturan Pemerintah ini disahkan demi melaksanakan ketentuan Pasal

74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (3) dan Pasal 127 ayat (2) UU

Kesehatan.

Permasalahan timbul karena Pasal 31 ayat (2) PP Kesehatan Reproduksi

mengatur mengenai kebolehan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan

memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan, sesuai materi Pasal

75 UU Kesehatan. Indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang

mengamcam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin, termasuk yang menderita

penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki

sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, sedangkan aborsi

akibat perkosaan dibolehkan dengan alasan dapat menimbulkan trauma psikologis

bagi korban. Hal ini bertentangan dengan Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Tahun

2002 dan Sumpah Dokter butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1960,

tindakan aborsi untuk indikasi selain medis jelas bertentangan dengan Sumpah

Dokter dan Kode Etik Kedokteran.

Tujuan PP Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk pelayanan kesehatan

yang bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan. PP Kesehatan

Reproduksi mengatur pengecualian tindakan aborsi dengan syarat dan ketentuan

yang sangat ketat. Dengan demikian selain Ibu, dan Bayi, dokter sebagai pemberi

layanan kesehatan justru akan terlindungi dengan adanya PP Kesehatan

Reproduksi ini.7

Keberadaan UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dan UU Rumah

Sakit belum memberikan batasan-batasan yang jelas atas tindak pidana

malpraktek di bidang medis, pemberian ganti kerugian yang dialami oleh pihak

pasien juga belum ada yang mengatur secara spesifik. Tidak jelasnya aturan dan

terperinci mengenai tindak pidana (malpraktek) di bidang medis merupakan

kelemahan dari sistem hukum di Indonesia, yang menimbulkan adanya kekaburan

norma pada penelitian ini.

Ketentuan mengenai kompensasi bagi korban tercantum dalam ketentuan

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

yang berbunyi : “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara

7Anjarisme, 2014, Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi di PP Kesehatan

Reproduksi, http://anjaris.me/category/malpraktik/, diakses pada 5 September 2015.

karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi

tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya.” Namun dalam ketentuan

UU Perlindungan Saksi dan Korban ini juga tidak mengatur secara spesifik

mengenai perlindungan bagi korban tindak pidana malpraktek di bidang

medis.Permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, menarik untuk dibahas lebih

lanjut dalam skripsi ini dengan judul “KEBIJAKAN PEMBERIAN GANTI

KERUGIAN KEPADA KORBAN MALPRAKTEK MEDIS SEBAGAI

BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

permasalahan yang hendak diangkat dalam penulisan skripsi ini yaitu:

1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam pengaturan korban

malpraktek di bidang medis?

2. Perlindungan hukum apakah yang dapat diberikan bagi korban

malpraktek di bidang medis dalam pemberian ganti rugi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghindari agar pembahasan dalam skripsi ini tidak keluar atau

melenceng dari pokok permasalahan, maka diperlukan adanya batasan-batasan

terhadap permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut:

Pada permasalahan pertama dibahas mengenai kebijakan hukum pidana

dalam pengaturan korban malpraktek di bidang medis dan pada permasalahan

kedua membahas mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi

korban malpraktek di bidang medis dalam pemberian ganti rugi.

1.4 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka

pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process

(ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam

penggaliannya atas kebenaran dalam bidang hukum viktimologi yakni ganti

kerugian terhadap korban malpraktek, berupa kompensasi maupun restitusi

khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Kepada

Korban Malpraktek Medis Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pidana.

b. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini

yaitu sebagai berikut:

1. Untuk memahami lebih lanjut mengenai kebijakan hukum pidana

dalam pengaturan korban malpraktek di bidang medis.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa lebih lanjut mengenai

perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi korban malpraktek di

bidang medis dalam pemberian ganti rugi.

1.5 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat

positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang Hukum Pidana

terutama yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang medis.

b. Manfaat Praktis

Manfaat praktis bagi masyarakat yakni hasil penelitian ini diharapkan

dapat menambah referensi bagi masyarakat pada umumnya agar mengetahui dasar

hukum apabila hendak melakukan penuntutan ganti rugi baik kepada pihak rumah

sakit maupun pihak dokter dan tenaga medis yang bersangkutan yang diduga telah

melakukan malpraktek di bidang medis yang merugikan pihak keluarga maupun

pasien itu sendiri.

1.6 Landasan teoritis

Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah suatu

penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu

fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena

menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.8 Untuk meneliti mengenai suatu

permasalahan hukum, maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji

menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum.

8Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris,

Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 134.

Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan

pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab

permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.9 Teori hukum adalah

cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar

menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu

hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak

hanya menggunakan metode sinskripsi saja. Dikatakan secara kritis karena

pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup dijawab

secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau

penalaran.10

Landasan Teoritis atau Kerangka Teori adalah upaya untuk

mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-

asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai

landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Untuk membahas

permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini maka digunakan beberapa teori

hukum, diantaranya yaitu:

a. Teori Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Usaha dan kebijakan untuk

9Salim H.S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 54.

10

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (edisi revisi), Cahaya Atma Pusaka,

Yogjakarta,h. 87.

membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat

dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik

hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum

pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan

hukum pidana". Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait

antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional,

pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada

nilai.11

Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses

yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :

a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan

perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan

oleh badan pembuat undang-undang;

b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh

aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan;

c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana

secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.12

Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada

hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan

menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal,

tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material. Dalam arti sempit/formal,

penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana

menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam

11

Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, Penerbit: Universitas Diponegoro Semarang, (selanjutnya disebut Barda Nawawi

Arief I) h. 61.

12

Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pemngembangan

Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 30.

arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan

hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan,

sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh

aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan

hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/ proses/

kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan

kebijakan legislatif yang integral.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini jika dikaitkan dengan teori

kebijakan hukum pidana, maka akan menjawab rumusan permasalahan pertama

dari penulisan ini. Kebijakan hukum pidana disini berkaitan dengan kebijakan

formulatif yaitu dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan

malpraktek di bidang medis, kemudian kebijakan aplikatif dimana peranan aparat

penegak hukum dalam menerapkan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan

oleh undang-undang, baik itu penegakan hukum maupun penjatuhan sanksi nya,

hingga kebijakan administratif yaitu pelaksanaan dari aturan-aturan perundang-

undangan dan juga penerapan atas sanksi-sanksi yang telah dijatuhkan apabila

terbukti terjadi pelanggaran tindak pidana di bidang medis (malpraktek).

b. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum pada awal mulanya bersumber dari teori

hukum alam atau aliran hukum alam yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles

(murid Plato) dan Zeno.

Menurut pendapat Fitzgerald, menyatakan bahwa: “teori pelindungan

hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan

dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan

terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi

berbagai kepentingan di lain pihak.”13

Upaya untuk mendapatkan perlindungan

hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan

antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum

serta keadilan hukum. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan

manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan

kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.

Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam

hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh

hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang

dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama

manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan

kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.14

Menurut pendapat Satjipto

Rahardjo, “perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak

asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan

kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.”15

13

Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 53.

14

C.S.T Kansil, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, h. 23.

15

Satjipto Rahardjo, Op.cit,h. 54.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini jika dikaitkan dengan teori

perlindungan hukum, maka akan menjawab rumusan permasalahan kedua yaitu

mengenai perlindungan hukum dalam hal pemberian ganti kerugian baik bagi

pasien maupun keluarga pasien yang menjadi korban dari dugaan terjadinya

malpraktek di bidang medis yang diduga telah dilakukan baik oleh dokter maupun

tenaga medis yang menangani pasien tersebut.

1.7 Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini

dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Hukum normatif dapat dibagi

menjadi norma kabur, norma kosong dan norma konflik.Adapun penelitian hukum

normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap

taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan

hukum.16

Tidak jelasnya aturan dan terperinci mengenai tindak pidana

(malpraktek) di bidang medis merupakan kelemahan dari sistem hukum di

Indonesia, yang menimbulkan adanya kekaburan norma. Penelitian hukum

normatif dalam skripsi ini berangkat dari norma kabur yang tidak menerangkan

secara spesifik mengenai ganti kerugian yang berhak diperoleh oleh pihak pasien

apabila menjadi korban dari malpraktek di bidang medis. Adanya kekaburan

norma dirasa perlu untuk dikaji kembali mengenai aturan-aturan serta sanksi-

sanksi yang dapat dijatuhkan.

16

Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, h. 51.

b. Jenis Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut

pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis.

Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan

bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan, norma-

norma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana malpraktek

sebagai dasar awal melakukan analisis. Peraturan perundang-undangan

yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan skripsi ini

antara lain adalah:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

f) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

h) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban

i) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

j) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi.

2. Pendekatan analitis konsep hukum (Analytical & Conseptual Approach ),

pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah

hukum yang terdapat didalam perundang-undangan berupa aspek hukum

malpraktek di bidang medis dengan begitu peneliti memperoleh pengertian

atau makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya

secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.

3. Pendekatan kasus (case Approach), pendekatan kasus dalam penelitian

hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum

yang dilakukan dalam praktik hukum.17

c. Sumber Bahan Hukum

Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini

merupakan hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).18

Adapun bahan hukum yang dimaksudkan terdiri dari :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

17

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, h. 185-190.

18

Ronny Hanitiyo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,

h. 24.

perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai

bahan hukum dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

f) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

h) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban

i) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

j) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Reproduksi.

2. Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.19

Bahan hukum sekunder sebagai

pendukung yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis

para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang

memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.

19

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13-14.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,

ensiklopedi dan seterusnya.20

Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus

Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait.

d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian

ini adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui

penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya

secara mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang

dikaji baik langsung maupun tidak langsung. 21

Dalam pengumpulan bahan-bahan

hukum dipergunakan teknik studi dokumen, yaitu menelaah peraturan-peraturan

yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana

dan hasilnya dicatat dengan sistem kartu.

e. Teknik Analisis Bahan Hukum

Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian

ini diawali dengan pengumpulan dan sitematisir bahan-bahan hukum yang

diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk

menyelesaikan permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang

20

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.

21

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58.

menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji

permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan

argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai

persoalan yang dibahas pada penelitian ini.