bab i. pendahuluan 1.1. latar belakang - repository.ipb.ac.id i... · dari sisi penawaran (supply...

13
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya mineral bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain. Ketika sumberdaya ini diekstraksi, konsekuensinya pada suatu masa tertentu pasti akan habis (Wibowo, 2005). Namun demikian, sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan terhadap struktur perekonomian di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di Indonesia bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sembilan sektor yang diukur kinerjanya. Melihat performa tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau yang dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa Barat NTB sebagai wilayah studi penelitian ini, sektor pertambangan sangat dominan terhadap PDRB Kabupaten tersebut sejak 2000-2006 dengan rata-rata sebesar 94,00 %, sedangkan sektor pertanian hanya 2,36 %, sisanya terbagi pada tujuh sektor lainnya yakni industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa hanya sebesar 3,64 %. Menurut data PDRB, nilai tambah total produksi Batu Hijau PTNNT mencapai puncaknya 2005 sebesar 95,26% dengan nilai nominal sebesar Rp. 7,581 triliun, nilai tersebut menempati urutan tertinggi dari sembilan Kab/Kota di Propinsi NTB. (BPS, 2006 diolah). Kondisi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat tidak jauh berbeda dengan performa daerah penghasil sumberdaya mineral lainnya di Indonesia sepanjang 2000-2006 misalnya PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang beroperasi di Kab. Mimika mendominasi struktur perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut rata-rata sebesar 96,05 %. Demikian pula dengan operasi PT. International Nikel (PTINCO) di Kabupaten Luwu Timur rata- rata 79,08 % dan PT. Kaltim Prima Coal (PT KPC) di Kab. Kutai Timur rata-rata 81,67 % (BPS 2006, diolah). Dominannya sektor pertambangan yang tidak diikuti berkembangnya sektor lain merupakan fenomena yang sering disebut Dutch Disease 1 . Hal ini diperkuat dengan 1 Dutch Disease adalah fenomena yang terjadi tahun 1970-an, Belanda mengalami masalah ini, menyusul penemuan gas alam di Laut Utara, Belanda tiba-tiba menyadari bahwa sektor manufaktur mereka tiba-tiba berkinerja lebih buruk dari yang sudah diantisipasi (Humphreys et al dalam Escaping The Resource Curse, 2007 hal 6)

Upload: trinhhanh

Post on 07-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sumberdaya mineral bersifat tidak terbarukan (unrenewable resources) maknanya

sumberdaya tersebut tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana

halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain. Ketika sumberdaya ini

diekstraksi, konsekuensinya pada suatu masa tertentu pasti akan habis (Wibowo, 2005).

Namun demikian, sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan

terhadap struktur perekonomian di daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di

Indonesia bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sembilan sektor

yang diukur kinerjanya. Melihat performa tambang tembaga dan emas Proyek Batu Hijau

yang dioperasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa

Barat NTB sebagai wilayah studi penelitian ini, sektor pertambangan sangat dominan

terhadap PDRB Kabupaten tersebut sejak 2000-2006 dengan rata-rata sebesar 94,00 %,

sedangkan sektor pertanian hanya 2,36 %, sisanya terbagi pada tujuh sektor lainnya yakni

industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran,

pengangkutan dan komunikasi, keuangan persewaan dan jasa perusahaan serta jasa-jasa

hanya sebesar 3,64 %. Menurut data PDRB, nilai tambah total produksi Batu Hijau

PTNNT mencapai puncaknya 2005 sebesar 95,26% dengan nilai nominal sebesar Rp.

7,581 triliun, nilai tersebut menempati urutan tertinggi dari sembilan Kab/Kota di Propinsi

NTB. (BPS, 2006 diolah).

Kondisi yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Barat tidak jauh berbeda dengan

performa daerah penghasil sumberdaya mineral lainnya di Indonesia sepanjang 2000-2006

misalnya PT. Freeport Indonesia (PTFI) yang beroperasi di Kab. Mimika mendominasi

struktur perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut rata-rata sebesar 96,05 %. Demikian

pula dengan operasi PT. International Nikel (PTINCO) di Kabupaten Luwu Timur rata-

rata 79,08 % dan PT. Kaltim Prima Coal (PT KPC) di Kab. Kutai Timur rata-rata 81,67 %

(BPS 2006, diolah).

Dominannya sektor pertambangan yang tidak diikuti berkembangnya sektor lain

merupakan fenomena yang sering disebut Dutch Disease1. Hal ini diperkuat dengan

1 Dutch Disease adalah fenomena yang terjadi tahun 1970-an, Belanda mengalami masalah ini, menyusul penemuan gas alam di Laut Utara, Belanda tiba-tiba menyadari bahwa sektor manufaktur mereka tiba-tiba berkinerja lebih buruk dari yang sudah diantisipasi (Humphreys et al dalam Escaping The Resource Curse, 2007 hal 6)

pandangan Humpreys et al (2007), yang menyatakan bahwa penyakit Belanda (Dutch

Disease) dalam kasus Belanda yang memburuk kinerjanya adalah sektor manufaktur,

sedangkan di negara-negara berkembang yang dirugikan adalah sektor pertanian.

Pertambangan di Sumbawa Barat yang dioperasikan oleh PTNNT termasuk salah

satu tambang skala besar di Indonesia sehingga dominasinya tidak hanya terhadap

perekonomian (PDRB) Kabupaten tersebut namun juga berdampak secara regional bagi

Propinsi NTB. Performa proyek Batu Hijau PTNNT juga terlihat dominan pada 1)

komposisi kepemilikan saham perusahaan 80% dikuasai perusahan asing (Newmont

Indonesia Ltd dan Nusa Tenggara Mining Corp) dan 20% dikuasai oleh perusahan swasta

nasional (PT. Fukuafu Indah). Didalam Kontrak Karya proyek Batu Hijau PTNNT pasal

24 ayat 4 mewajibkan perusahaan tersebut melakukan divestasi saham hingga 51% (2010)

untuk promosi kepentingan nasional (Kontrak Karya RI dan PTNNT, 1986) 2) peluang

usaha selama masa operasi menurut kinerja departemen kontrak (2005) dimanfaatkan oleh

nasional (92%), Propinsi Nusa Tenggara Barat (5%) dan Sumbawa Barat (3%) (PTNNT,

2005) 3) kontribusi proyek tersebut terhadap kapasitas fiskal (APBD) Kabupaten

Sumbawa Barat 2005 sebesar Rp. 80,98 Milyar dengan perincian dana bagi hasil

sumberdaya alam Rp. 56,17 Milyar, dana bagi hasil pajak Rp. 24,39 Milyar, pendapatan

asli daerah Rp. 0,31 Milyar, dana alokasi umum Rp, 0,09 Milyar dan dana alokasi khusus

Rp. 0,01 (LPEM UI, 2006) 4) sedangkan komposisi tenaga kerja adalah Sumbawa Barat

(33%) dan non Sumbawa Barat (67%) (PTNNT, 2007)

Industri ekstraktif tidak dihasilkan dari proses produksi dan bisa didapatkan tanpa

terkait dengan proses ekonomi lainnya sehingga yang kerap muncul adalah terbentuknya

kawasan tersendiri yang terpisah/terisolasi (enclave) (Humpreys, 2007). Karena ekstraksi

sumberdaya mineral memiliki keterkaitan yang lemah bahkan nol dengan komoditi

tertentu atau sektor ekonomi lainnya, menyebabkan sektor selain pertambangan melemah

atau tidak berkembang di daerah setempat sehingga dalam proses produksi harus

mengambil sumberdaya dari daerah lain dengan cara mengimport tenaga kerja, mesin,

peralatan dan lain-lain. Sebagai konsekuensinya daerah setempat mengalami efek

pencucian/pengurasan (backwash effect) atau terjadinya kebocoran regional (regional

leakages) yang sangat besar (Malanuang, 2002).

Pengelolaan industri pertambangan di berbagai belahan dunia lebih banyak menuai

kegagalan daripada keberhasilan. Bagi negara-negara yang gagal mengambil manfaat dari

berkah kekayaan yang mereka miliki disebut dengan istilah kutukan sumberdaya alam

2

(resource curse)2. Menurut (Auty, 1993 dan Humpreys, 2007) negara-negara yang

berkelimpahan dengan sumberdaya alam seperti minyak dan gas, performa pembangunan

ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk

dibandingkan negara-negara yang sumberdaya alamnya lebih kecil.

Norwegia dapat dikatagorikan sebagai negara yang berhasil mengelola sumberdaya

yang bersifat tidak terbarukan yakni minyak dan gas di negara tersebut. Norwegia

merupakan contoh bagi praktek-praktek terbaik yang berhasil menghindarkan diri dari

munculnya kutukan sumberdaya alam (Karl, 2007). Norwegia menempati ranking pertama

dunia dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia3 (IPM 2006) PBB dengan nilai

(0,956), mendekati sempurna. Sebaliknya survey UNDP tahun tersebut menunjukkan

bahwa hampir seluruh negara penghasil minyak memiliki angka IPM dari rendah hingga

sedang, fenomena ini disebut paradok berkelimpahan (paradox of plenty).

1.1.1. Performa Kabupaten Sumbawa Barat

Sebagai Kabupaten yang baru berdiri tahun 2003, Kabupaten Sumbawa Barat

(KSB) menghadapi permasalahan yang sangat fundamental diantaranya pertama, KSB

termasuk dalam 199 Kabupaten dengan katagori tertinggal menurut Kementerian

Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (2005). Kedua, menurut hasil penelitian BPS

(2004) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB berada pada urutan ke 33 (terbawah)

dari 33 Propinsi di Indonesia dengan skor 60,6 (katagori sedang). Sedangkan IPM KSB

berada pada urutan ke 5 dengan skor 61,9 (katagori sedang) dari 9 kabupaten/kota di NTB.

Ketiga, jumlah penduduk miskin di KSB persentasenya cukup signifikan baik sebelum

adanya pertambangan (1998) maupun setelah pertambangan beroperasi (2006) (Tabel 1).

Keempat, tingginya nilai PDRB sangat kontras dengan kemampuan fiskal Kabupaten

Sumbawa Barat yang rendah, hal ini tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja

daerah (APBD) Kabupaten tersebut. Dari sembilan Kabupaten/Kota di Propinsi NTB

APBD Kabupaten Sumbawa Barat menduduki peringkat terendah 2006 (Tabel 2).

2 Kutukan sumberdaya alam merujuk pada fakta bahwa negara-negara kaya sumberdaya alam memiliki pertumbuhan yang lebih rendah (Sachs dan Warner 2000), lembaga-lembaga buruk (Karl 1997), dan lebih banyak konflik dbandingkan dengan negara-negara miskin sumberdaya alam (Collier dan Hoeffler 2004) 3 Indeks Pembangunan Manusia adalah indeks komposit yang disusun dari tiga indikator : lama hidup yang diukur dengan angka harapan hidup ketika lahir, pendidikan yang diukur berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas ; dan standar hidup yang diukur dengan pengeluaran per kapita (PPP rupiah). Nilai indeks berkisar antara 0-100

3

Tabel 1. Persentase Penduduk Miskin di Sumbawa Barat sejak 1998- 2006

No Kecamatan 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 1. Sekongkang 0 0 0 13,45 16,58 14,7 13,44 13,01 13,912. Jereweh 10,31 10,84 14,41 8,99 8,86 9,4 9,62 4,49 9,573. Taliwang 5,01 7,08 8,59 8,46 9,45 8,9 9,41 5,24 8,974. Brang Rea 0 0 0 6,01 9,00 9,5 8,67 4,88 9,215. Seteluk 6,38 7,03 12,48 11,01 13,62 15,3 13,32 5,00 8,94 Jumlah 21,68 24,95 35,48 48,01 57,51 57,72 54,45 32,61 50,61Sumber : Sumbawa Barat dalam angka 1998-2006 dan Podes 2005

Tabel 2. APBD Kabupaten, Kota se–Provinsi Nusa Tenggara Barat 2006 (dalam juta rupiah)

No Kab/Kota ABPD 1. Kabupaten Bima 450.374,302. Kota Bima 242.718,163. Kabupaten Dompu 295.645,134. Kabupaten Sumbawa 362.577,315. Kabupaten Sumbawa Barat 224.705,506. Kota Mataram 345.105,597. Lombok Barat 469.986,048. Lombok Timur NA9. Lombok Tengah 478.158,40

Sumber : Depkue, 2007 1.1.2. Performa Tambang Tembaga dan Emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont

Nusa Tenggara

Selama masa operasi proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara 2000-2009

penggunaan/pembelian barang dan jasa dari input lokal Sumbawa Barat sangat kecil

disebabkan karena iklim usaha yang belum berkembang. Hal ini mengindikasikan bahwa

penggunaan barang dan jasa dari produk import baik nasional (domestik) maupun

internasional tergolong tinggi. Dalam perspektif pembangunan wilayah fenomena ini

merupakan kebocoran regional (regional leakeges) bagi Kabupaten setempat.

Dari diskripsi sebelumnya bahwa kinerja departemen kontrak per Desember 2005

menunjukkan bahwa contracted services 2005 adalah sebagai berikut; national Rp. 80,43

milyar (92%), NTB Rp. 4,53 milyar (5%), KSB Rp. 2,18 milyar (3%) (Gambar 1).

Pekerjaan yang berkaitan dengan pelayanan alat-alat berat, akomodasi dan catering, klinik,

eksplosif, security, freight, penerbangan, laboratorium, pembangkit tenaga listrik dan

pelayanan pengeboran masih didominasi oleh kontraktor besar. Selebihnya, penyediaan

tenaga kerja, perbaikan-perbaikan kecil dan tenaga kerja manual dikerjakan oleh

4

kontraktor kecil dan menengah (PTNNT, 2006). Dari data diatas angka kebocoran regional

bagi Kabupaten Sumbawa Barat 2005 mencapai 97 %.

Contracted Services 2005

KSB, 2,184,461 , 3%

National, 80,434,767 , 92%

NTB, 4,529,827 , 5%

Gambar 1. Kinerja Departemen Kontrak PTNNT, 2005 Sumber : PTNNT, 2005 Menurut Malanuang (2002), performa proyek Batu Hijau PTNTT untuk

mendorong sektor ekonomi lokal dari sisi permintaan (demand driven) sangat lemah. Hal

ini ditunjukkan dengan rendahnya indeks keterkaitan kebelakang sebesar 0.12802

peringkat 35 berdasarkan analisis input–output NTB 59 sektor (Tabel 3) atau berada diatas

nilai nasional sebesar 0,1137 (Tabel 4). Karena output pertambangan berupa konsentrat

tembaga, emas beserta mineral ikutannya sebagian besar di eksport untuk diolah pada

smelter Eropa dan Jepang, maka kinerja proyek ini untuk mendorong sektor ekonomi lokal

dari sisi penawaran (supply driven) adalah nol. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis yang

menunjukkan bahwa indeks keterkaitan kedepan proyek ini besarnya juga nol, sedangkan

indeks nasional untuk keterkaitan kedepan 2000 sebesar 0,8801. Demikian pula dengan

pengganda pendapatan 2000 sebesar 1,04107, lebih kecil dari pengganda pendapatan

nasional pada tahun yang sama sebesar 1,1756 (LPEM UI dalam IMA, 2006)

Tabel 3. Hasil Analisis Input–Output NTB 2000 (59 sektor)

No Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi

Nilai Rangking

1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 0.12802 35 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 0 57 3. Multiplier Output 1.08229 40 4. Multiplier Pendapatan 1,04107 54

Sumber : Malanuang, 2002

NNoottee :: kkeebbooccoorraann wwiillaayyaahh KKSSBB 9977%%

5

Tabel 4. Hasil Perhitungan Angka Pengganda dan Keterkaitan Sektor Pertambangan dan Penggalian di Indonesia dengan Negara–Negara Pembanding

Indonesia Australia Canada Pertambangan dan Penggalian

1990 1995 2000 1997 1990 Multiplier Pendapatan 1.2722 1.2085 1.1756 14.9393 12.344 Initial Outlays 1 1 1 1 1 Direct Backward Linkage 0.0931 0.1240 0.1137 0.3920 0.4210 Indirect Backward Lingkage 0.0474 0.0597 0.0358 0.02955 0.3010 Total (Output Multiplier) 1.1404 1.1837 1.1494 1.6875 1.7220 Rank 17 18 18 Initial Outlays 1 1 1 1 1 Direct Forward Lingkage 0.6273 0.6336 0.8801 0.1600 1.5820 Indirect Forward Lingkage 0.4202 0.3187 0.3916 0.1162 1.6480 Total (Input Multiplier) 2.0475 1.9523 2.2717 1.2762 4.2300 Rank 2 3 3 Sumber : Road Map Pertambangan LPEM UI (IMA, 2006)

Studi LPEM UI (2006) menggunakan analisis input-output NTB 59 sektor 2004

untuk proyek Batu Hijau PTNNT memberikan hasil yang hampir sama dengan studi

sebelumnya yakni indeks keterkaitan kebelakang 0,91 tetap pada peringkat 35 sedangkan

pengganda pendapatan terjadi peningkatan sebesar 1,569 rangking 38 dari 59 sektor.

Ringkasan hasil analisis I-O NTB 2004 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Input–Output NTB 2004 (59 sektor)

No Indeks Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi

Nilai Rangking

1. Indeks Keterkaitan ke Belakang 0,91 35 2. Indeks Keterkaitan ke Depan 0,461 57 3. Multiplier Output 1,955 35 4. Multiplier Pendapatan 1,569 38

Sumber : LPEM UI, 2006

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian akan di fokuskan pada:

1. Menganalisis transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya

lokal terbarukan

2. Menganalisi keterkaitan antara pola penganggaran (APBD) dengan kinerja

pembangunan pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan pengaruh spasial kinerja

pembangunan antar daerah.

6

3. Identifikasi permasalahan investasi pertambangan dan perubahan kebijakan yang

diperlukan ditingkat pusat hingga daerah penelitian dan peluang perubahan

kebijakan.

1.3. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah Pusat. Hasil penelitian ini dalam jangka pendek, menengah dan

jangka panjang dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pertambangan

selama empat dasawarsa terakhir yang sentralistik sektoral serta menimbulkan

berbagai permasalahan antara perusahaan pertambangan, pemerintah daerah dan

masyarakat setempat pada daerah-daerah yang kaya sumberdaya mineral di

Indonesia. Selanjutnya dari hasil penelitian ini pemerintah diharapkan dapat

merumuskan paradigma baru pertambangan dengan pendekatan kewilayahan

seiring dengan terjadinya transformasi pertambangan ke sumberdaya lokal

terbarukan strategis sehingga terselenggaranya pembangunan berkelanjutan.

2. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil penelitian ini dalam

jangka menengah (2011-2015) dapat digunakan untuk merumuskan berbagai

kebijakan pembangunan melalui pengalokasian pengganggaran, ketersedian

infrastruktur, membangkitkan sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources)

yang memiliki keterkaitan dan aksessibilitas yang kuat dengan masa produksi

Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di Sumbawa-Barat. Sedangkan dalam jangka panjang

(2011-2025) hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk merumuskan

kebijakan pembangunan berkelanjutan dalam prespektif pembangunan wilayah

Kabupaten Sumbawa-Barat sehingga dapat meminimalisir terjadinya kabupaten

hantu (ghost regency) ketika deposit sumberdaya mineral proyek Batu Hijau habis

pada tahun 2027.

3. Bagi PT. Newmont Nusa Tenggara. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

merumuskan berbagai kebijakan eksternal perusahaan khususnya program

pengembangan masyarakat (community development) selama berlangsungnya masa

produksi proyek Batu Hijau untuk mempercepat transformasi sumberdaya mineral

ke sektor stategis selain pertambangan.

4. Bagi masyarakat Kabupaten Sumbawa-Barat NTB di delapan Kecamatan (Seteluk,

Poto Tano, Taliwang, Brang Rea, Brang Ene, Maluk, Jereweh dan Sekongkang)

7

khususnya kecamatan Jereweh, Maluk dan Sekongkang sebagai lokasi proyek,

hasil penelitian ini berguna untuk meningkatkan kinerja dan partisipasi mereka

untuk terlibat secara aktif baik langsung maupun tidak langsung agar memiliki

aksessibilitas dan proaktif menggerakkan sektor-sektor terbarukan (pertanian

dalam arti luas) dan sektor yang dibutuhkan selama masa operasi proyek Batu

Hijau PTNNT untuk meningkatkan kesejahteraannya. Disamping itu diharapkan

munculnya kesadaran pada masyarakat akan sifat sumberdaya mineral yang tidak

dapat pulih sehingga masyarakat tidak mengalami shock ketika sumberdaya

mineral tersebut habis. Dengan demikian akan muncul kesadaran dalam

masyarakat untuk membangkitkan sektor-sektor dapat pulih seperti pertanian,

peternakan, perikanan, perkebunan dsbnya sehingga terjamin pembangunan

berkelanjutan ketika cadangan sumberdaya mineral habis.

1.4. Kerangka Pemikiran

Menurut (Amin et al., 2003) pembangunan berkelanjutan dalam konteks usaha

pertambangan adalah transformasi sumberdaya tidak terbarukan (non renewable

resources) menjadi sumberdaya pembangunan terbarukan (renewable resources),

peningkatan nilai tambah pertambangan harus berbasis sumberdaya setempat atau nasional

(local resource based), berbasis masyarakat (community based), dan berkelanjutan

(sustainable). Sedangkan menurut agenda 21 sektor pertambangan, (2001) inti dari azas

pembangunan berkelanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya mineral adalah

mengupayakan agar sumberdaya mineral dapat memberikan kemanfaatan secara optimal

bagi manusia pada masa kini tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang.

Dari prespektif perencanaan pembangunan wilayah, Kabupaten Sumbawa Barat

sangat lemah dalam menangkap permasalahan dan tantangan pembangunan dalam jangka

pendek, menengah dan panjang. Hal ini terlihat dari dokumen-dokumen perencanaan yang

tertuang dalam Visi Misi Bupati, APBD tahunan, Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJMD) 2005-2010 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Daerah (RPJPD) 2005-2025. Dokumen tersebut belum memuat langkah-langkah untuk

mereduksi dan mengantisipasi ketergantungan Kabupaten Sumbawa Barat yang tinggi

terhadap satu sektor yakni pertambangan dan sifat sumberdaya mineral yang tidak dapat

diperbaharui (unrenewable resources) serta pengembangan dan diversifikasi sektor-sektor

di luar pertambangan.

8

Dengan argumentasi bahwa cadangan sumberdaya mineral suatu saat pasti akan

habis, maka perlu dicarikan sektor alternatif yang dapat dijadikan sebagai basis

perekonomian di masa depan. Menurut Margo (2005), struktur ekonomi akan berubah

secara signifikan jika dilakukan perubahan mendasar tentang keterkaitan antar sektor-

sektor dalam sistem perekonomian. Dengan kata lain melalui keterkaitan hulu hilir (pohon

industri) perubahan struktur ekonomi akan berjalan jauh lebih cepat menuju struktur

ekonomi yang seimbang bila dibandingkan dengan kondisi awal (tanpa dilakukan

transformasi). Menciptakan keterkaitan ekonomi antara sektor hulu dan hilir menjadi

prasyarat agar basis industri menjadi kuat dan efisien sehingga industri yang berkembang

dapat menjadi pendorong tumbuh kembangnya kegiatan ekonomi lokal sehingga pada

akhirnya daerah akan dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.

Dalam perspektif pembangunan wilayah Kabupaten Sumbawa Barat transformasi

struktur ekonomi berbasis pertambangan ke pengembangan sumberdaya lokal terbarukan

berdasarkan potensi sumberdaya alam setempat dan sektor non tambang lainnya dapat

mengganti dominasi pertambangan yang mengarah pada keberlanjutan pembangunan

Kabupaten tersebut secara bertahap, terencana dalam jangka pendek, menengah dan

panjang. Kegagalan dalam transformasi struktur ekonomi akan mengakibatkan

pembangunan daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan saat tambang habis.

Transformasi struktur perlu pula ditopang oleh pola penganggaran yang tepat baik

untuk daerah sendiri maupun interaksi dengan daerah sekitarnya. Soenarto (2007)

menerangkan kaitan antara pola pengalokasian anggaran dengan interaksi spasial. Pola

pengalokasian anggaran suatu daerah yang tepat akan memberi pengaruh terhadap kinerja

pembangunan yang baik untuk daerah yang bersangkutan dan diharapkan juga memberi

pengaruh terhadap kinerja pembangunan di daerah sekitarnya. Begitu pula kinerja

pembangunan di suatu daerah tidak hanya dipengaruhi oleh pola pengalokasian anggaran

pada daerah yang bersangkutan, tetapi mendapat pengaruh dari daerah di sekitarnya.

Pengalokasian anggaran belanja yang baik disuatu daerah akan memberi dampak terhadap

daerah-daerah lainnya. Atau dapat dikatakan, dengan tercapainya kinerja pembangunan

yang baik maka daerah-daerah sekitarnya akan menerima manfaat.

Identifikasi permasalah pertambangan juga dilakukan dengan menganalisis

kebijakan peraturan perundang undangan dan perubahan kebijakan yang diperlukan untuk

mendukung transformasi struktur ekonomi tersebut.

9

Dari penelitian ini diharapkan dapat tercapainya tujuan utama penelitian yaitu

membangun Model Pembangunan Daerah Berkelanjutan Melalui Transformasi Struktur

Ekonomi Berbasis Pertambangan ke Sumberdaya Lokal Terbarukan (Studi kasus tambang

tembang dan emas Proyek Batu Hijau PT. Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa Barat,

NTB). Diskripsi kerangka pemikiran penelitian diatas dapat diilustrasikan pada Gambar 2

di bawah ini.

Dominasi

Pertambangan

Transformasi Struktur Ekonomi

disertasi

Pembangunan Daerah Sumbawa Barat Berkelanjutan

Masukan bagi : Pemda KSB Pempus PT. Newmont Nusa Tenggara dan Masyarakat

Pengembangan sektor terbarukan dan sektor non tambang lainnya

Pembangunan Daerah Sumbawa Barat tidak berkelanjutan

tambang habis direduksi

direduksi

berhasil

masukan

ya

gagal

bertahap, terencana dalam jangka pendek menengah dan panjang

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.5. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diskripsikan pada bagian sebelumnya bahwa Kabupaten

Sumbawa Barat sangat tergantung pada satu sektor yakni pertambangan yang tercermin

dalam PDRB Kabupaten tersebut dengan rata-rata sebesar 94,00 % sejak 2000-2006.

Apabila pertambangan di dikeluarkan dari perhitungan PDRB maka nilai total PDRB

Sumbawa Barat 2006 hanya sebesar Rp. 498,380 Milyar. Secara berurutan sektor yang

dominan tanpa tambang menurut rangking adalah pertanian Rp. 175,644 Milyar (35,24

%), perdagangan, hotel dan restoran Rp. 111,752 Milyar (22,42 %), pengangkutan dan

komunikasi Rp. 68,958 Milyar (13,84 %), bangunan Rp. 62,704 Milyar (12,58 %), jasa-

jasa Rp. 48,074 Milyar (9,65 %), keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Rp. 14,973

10

Milyar (3 %), industri pengolahan Rp. 14,370 Milyar (2,88 %) serta listrik, gas dan air

bersih Rp. 1,897 Milyar (0,38). (Gambar 3)

Gambar 3. Grafik PDRB Sumbawa Barat tanpa Tambang 2006

Sumber : PDRB diolah, 2009

Bergantung pada sumberdaya alam yang tidak terbarukan semata bukanlah basis

pembangunan yang berkelanjutan (Karl, 2007). Dari perspektif pembangunan wilayah

ketergantugan pada satu sektor yakni pertambangan akan memberi pengaruh signifikan

bagi pembangunan wilayah Kabupaten tersebut dalam jangka pendek, menengah dan

panjang. Kinerja pembangunan Kabupaten tersebut akan turun secara drastis seiring

dengan habisnya proyek Batu Hijau PTNNT dengan alasan bahwa 1) cadangan mineral

terus mengalami penipisan seiring dengan laju eksploitasi 2) sifat sumberdaya mineral

yang tidak terbarukan. Situasi demikian membuat umur tambang tembaga dan emas

Proyek Batu Hijau PTNNT sangat singkat.

Apabila situasi ini berjalan normal (bisnis as usual) seperti apa adanya saat ini,

tanpa transformasi struktur ekonomi, penentuan arah dan prioritas pembangunan serta

perubahan kebijakan pada sektor-sektor selain pertambangan maka performa

pembangunan Sumbawa Barat akan mengalami situasi yang sama ketika tambang timah di

Kabupaten Dabo Singkep Kabupaten Linggau Kepulauan Riau habis 1992 yakni

perekonomian lumpuh, aktifitas ekonomi terhenti dan hilangnya lapangan pekerjaan bagi

masyarakat.

Berdasarkan rencana perluasan tambang Proyek Batu Hijau PTNNT tahun 2005,

umur penggalian mineral berkadar tinggi (high grade) akan berakhir pada tahun 2016,

1,897.04 (0,38 %)

14,370.11 (2,88 %)

14,973.67 (3,0 %)

48,079.00 (9,65 %)

62,704.77 (12,58 %)

68,958.98 (13,84 %)

111,752.01 (22,42 %)

175,644.51 (35,24 %)

0.00 20,000.00 40,000.00 60,000.00 80,000.00 100,000.00 120,000.00 140,000.00 160,000.00 180,000.00 200,000.00

 4. LISTRIK, GAS & AIR BERSIH

 3. INDUSTRI PENGOLAHAN

 8. KEU. PERSEWAAN, & JASA PERUSAHAAN

 9. JASA‐JASA

 5. BANGUNAN

 7. PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 

 6. PERDAG., HOTEL & RESTORAN

 1. PERTANIAN

11

dilanjutkan dengan pengolahan mineral berkadar sedang (medium grade) dan rendah (low

grade) yang akan berlangsung hingga tahun 2027. Penutupan tambang direncanakan 2027

dan setelah 2027 adalah masa pasca tambang (Tabel 6)

Tabel 6. Umur Tambang Proyek Batu Hijau PTNNT (Mine life time Batu Hijau Project PTNNT)

Pra Tambang

Masa Tambang saat ini (Current Situation)

Penutupan Tambang

Pasca Tambang

Siklus Proyek Batu Hijau

PTNNT Sebelum - 1995

1996-1997

1997-1999

1999-2006

2009-2016

2016 – 2027

2027 Setelah 2027

Eksplorasi

Pra-Konstruksi (AMDAL)

Konstruksi

Produksi 1

Produksi 2

Produksi 3

Penutupan Tambang

Pasca Tambang

Sumber : PT. NNT 2006

Sebagai langkah antisipasi habisnya pertambangan, pemerintah Kabupaten

Sumbawa Barat perlu melalukan transformasi struktur ekonomi dengan membangkitkan sumberdaya strategis diluar tambang khususnya komoditi yang bersifat terbarukan (pertanian dalam arti luas), serta sektor non tambang lainnya. Transformasi struktur harus pula didukung oleh pola penganggaran yang tepat karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumbawa Barat merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Menurut Saefulhakim (2009) kesalahan dalam memilih fokus pengalokasian penganggaran menyebabkan pembangunan tidak efisien, pemborosan sumberdaya sehingga sasaran yang akan dicapai tidak dapat terwujud dengan optimal yang pada akhirnya kinerja pembangunan memburuk.

Upaya melakukan transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya lokal perlu didukung oleh 1) pola pengalokasian anggaran yang tepat sasaran 2) kebijakan perencanaan pembangunan daerah dan, 3) dukungan pemangku kepentingan (stakeholder) didaearah kearah perubahan kebijakan transformasi dalam perspektif pembangunan daerah Kabupaten Sumbawa Barat kearah berkelanjutan. Transformasi

12

struktur merupakan salahsatu pilihan bagi pembangunan wilayah kabupaten tersebut jika tidak ingin terperangkap dalam fenomena Kabupaten hantu (ghost regency)4 atau Ghost City ketika tambang habis.

1.6. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah transformasi struktur ekonomi berbasis pertambangan ke sumberdaya

lokal terbarukan dapat dilakukan?

2. Apakah transformasi struktur ekonomi didukung oleh pola penganggaran untuk

memperbaiki kinerja pembanguan di masa depan?

3. Apakah transformasi pertambangan didukung oleh peraturan perundangan dan

kesiapan stakeholder di Sumbawa Barat?

1.7. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah terbentuknya pemahaman dan paradigma

baru pembangunan daerah berkelanjutan pada sektor pertambangan yang bersifat tidak

terbarukan (unrenewable resources) dengan melakukan transformasi struktur ekonomi ke

sumberdaya lokal terbarukan (renewable resources) dalam hal ini pertanian dalam arti luas

serta sektor strategis lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah. Keberhasilan proses

transformasi struktur ekonomi perlu didukung oleh peran penganggaran yang optimal

untuk memperbaiki kinerja pembangunan serta perubahan kebijakan pengelolaan

pertambangan di Indonesia dari pusat hingga daerah dengan tujuan meminimalisir

fenomena penyakit Belanda (Dutch Disease) selama masa operasi pertambangan dan

terhindarnya suasana Kabupaten hantu (ghost regency) ketika tambang tembaga, emas

serta mineral ikutannya habis tahun 2027 di Sumbawa Barat.

4 Ghost Regency atau Ghost City merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan daerah yang mengalami kegagalan dalam mengelola pertambangan, saat tambang habis. Misalnya pertambangan timah selama 120 tahun di Dabo-Singkep kabupaten Lingga kepulauan Riau, demikian pula dengan gagalnya penambangan fospat selama 70 tahun di Republik Nauru yang menjadikan negara tersebut sebagai negara hantu (ghost state).

13