bab i pendahuluan 1.1 latar belakang -...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan adalah suatu bentuk layanan kesehatan professional yang merupakan
bagian integral dari layanan kesehatan berbasis ilmu dan kiat keperawatan, yang
berbentuk bio-psiko-sosial-spiritual yang ditujukan bagi individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat baik sehat maupun sakit, yang mencakup keseluruhan
proses kehidupan manusia (Lokakarya Keperawatan Nasional, 2003).
Keperawatan turut menentukan mutu pelayanan kesehatan, untuk mewujudkan
pelayanan kesehatan yang bermutu tersebut, perlu didukung dengan pengetahuan
tenaga kesehatan yang terus ditingkatkan.
Mengingat dengan perkembangan teknologi dan informasi, maka tuntutan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih baik akan semakin meningkat.
Sarana pelayanan kesehatan akan terus dikembangkan seiring dengan tuntutan
masyarakat akan pelayanan yang lebih baik. Pelayanan keperawatan dapat
memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan,
seperti kita ketahui perawat merawat pasien 24 jam dan menjadi kunci untuk
kualitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu pengetahuan dan keterampilannya
harus ditingkatkan terus menerus supaya asuhan kepada pasien bisa diberikan
secara professional.
Pada tahun 2000 telah dilakukan penelitian tentang pelayanan keperawatan dan
kebidanan oleh Direktorat Pelayanan Keperawatan Departemen Kesehatan
Indonesia bekerjasama dengan WHO yang dilakukan di Sumatera Utara, Sulawesi
1
2
Utara, Jawa Barat dan DKI Jakarta menunjukkan gambaran sebagai berikut: 1).
70,9% perawat dan bidan selama tiga tahun tidak pernah mengikuti pelatihan
manajemen, 2). 39,8% perawat dan bidan banyak melakukan tugas-tugas non
keperawatan, 3). 47,4% perawat dan bidan tidak memiliki uraian tugas secara
tertulis, 4). belum dikembangkannya sistem monitoring dan evaluasi kinerja
(Kepmenkes nomor 836/MENKES/SK/VI/2005).
Berdasarkan hasil kajian tersebut, pada tahun 2001 Direktorat Pelayanan
Keperawatan Departemen Kesehatan bersama WHO mengembangkan suatu
model peningkatan kinerja perawat dan bidan yang kemudian dikenal sebagai
Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) perawat dan bidan (Kepmenkes
NO.836/MENKES/VI/2005). Model ini telah diterapkan di lima wilayah dan di
evaluasi pada tahun 2003 yang kemudian dikembangkan di seluruh Indonesia,
yang kemudian menjadi kebijakan nasional untuk peningkatan mutu pelayanan
keperawatan. Salah satu faktor yang menentukan mutu pelayanan keperawatan
adalah peningkatan dan pengembangan sumber daya manusia atau tenaga
kesehatan (quality of care), karena sumber daya manusia merupakan asset yang
bernilai tinggi yang mempunyai potensi untuk terus berubah ( Ilyas, 2003).
Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) adalah suatu upaya peningkatan
kemampuan manajerial dan kinerja perawat dan bidan dalam memberikan
pelayanan keperawatan dan kebidanan di sarana pelayanan kesehatan untuk
mencapai pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes RI, 2005). Pengembangan
Manajemen Kinerja memfasilitasi terciptanya budaya kerja perawat dan bidan
yang mengarah kepada upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan dan
3
kebidanan yang didasarkan pada profesionalisme, IPTEK, aspek legal,
berlandaskan etika untuk mendukung sistem pelayanan kesehatan secara
komprehensif (Depkes RI, 2005).
Salah satu komponen PMK adalah Diskusi Refleksi Kasus (DRK), salah satu
tujuan dari DRK adalah untuk mengembangkan profesionalisme perawat dan
bidan, meningkatkan aktualisasi diri dan membangkitkan motivasi belajar.
Kegiatan DRK bila dilaksanakan secara rutin dan konsisten akan dapat
mendorong perawat lebih memahami hubungan standar dengan kegiatan
pelayanan yang dilakukan sehari-hari. Kesadaran akan kebutuhan untuk
berkembang adalah menjadi salah satu tanggung jawab perawat terhadap dirinya
sendiri dan profesinya. Motivasi melalui DRK akan meningkatkan kinerja
perawat sesuai dengan standar dalam memberikan pelayanan yang bermutu untuk
memenuhi harapan masyarakat. Tenaga perawat sebagai ujung tombak pelayanan
kesehatan dengan jumlah yang cukup besar (40%) dari seluruh kategori tenaga
kesehatan mempunyai kedudukan penting dalam menghasilkan pelayanan
kesehatan yang bermutu (Depkes, 2005). Untuk memberikan pelayanan
keperawatan yang bermutu, diperlukan proses belajar yang berkesinambungan
dalam meningkatkan kemampuan berfikir serta keterampilan perawat.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Uno, 2003). Belajar
dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor psikologis dikatakan memiliki peranan
penting yang dapat dipandang sebagai cara-cara berfungsinya pikiran dalam
4
hubungannya dengan pemahaman bahan pelajaran. Salah satu faktor psikologis
adalah motivasi, seseorang akan berhasil belajar kalau pada dirinya sendiri ada
keinginan untuk belajar (Sardiman, 2012). Menurut Mc. Donald (dalam Sardiman,
2012) motivasi adalah perubahan energy dalam diri seseorang yang ditandai
dengan munculnya perasaan dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya
tujuan. Winkel (1983: 270) mendefinisikan bahwa motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan serta
memberi arah pada kegiatan belajar.
Untuk meningkatkan motivasi belajar perawat, dalam hal ini pengertian motivasi
belajar tidak hanya dibatasi pada keinginan untuk melanjutkan pendidikan di
bangku kuliah, tapi lebih pada kemauan untuk mengembangkan wawasan dan
konsep berfikir, salah satunya perawat agar mau membuka serta membaca buku-
buku tentang tentang keperawatan, sehingga diharapkan perawat tidak ketinggalan
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) keperawatan itu sendiri
(Santoso, 2008).
Era globalisasi, peningkatan pengetahuan masyarakat dan pengembangan
informasi yang cepat pula maka mengharuskan sarana pelayanan kesehatan untuk
mengembangkan diri secara terus menerus dan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan sangat berkaitan dengan mutu pelayanan
keperawatan. Mutu pelayanan keperawatan sendiri sangat bergatung pada
pengetahuan dan keterampilan seorang perawat. Salah satu upaya untuk
meningkatkan pengetahuan staf adalah dengan DRK. Diskusi Refleksi Kasus
sangat efektif dalam pengembangan mutu keperawatan (Ayuningsih, 2008). Issue-
5
issue yang muncul dalam DRK dapat menambah pengetahuan peserta dan dapat
dijadikan bahan pertimbangan dalam perbaikan suatu SPO (Standar Prosedur
Operasi) atau membuat yang baru jika diperlukan.
Mutu pelayanan keperawatan harus dicapai sesuai standar operasional, dimana
SPO sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan. Untuk melihat sejauh
mana SPO digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan maka
dilakukan evaluasi yaitu KPI (Key Performance Indicator). Key Performance
Indicator atau Indikator Kinerja Utama adalah sekumpulan indikator yang dapat
dianggap sebagai indikator kinerja kunci, baik yang bersifat financial maupun non
financial untuk melaksanakan operasional pada unit bisnis (Moeheriono, 2012).
Hasil survey pendahuluan didapatkan data KPI di IRNA C RSUP Sanglah
Denpasar dari tahun 2010 sampai tahun 2012 adalah perawatan traksi 80,26%,
memandikan pasien 80,82%, memberikan obat mata 86,4%, dan timbang terima
pasien 88,90%, memberikan obat oral 89,78%. Berdasarkan data tersebut bisa
berdampak pada keamanan dan keselamatan pasien selama dirawat (patient
safety). Pada tahun 2012, menurut data laporan patient safety RSUP Sanglah
Denpasar didapatkan data KPC (Kondisi Potensial Cedera) sebanyak 158 insiden,
KNC (Kejadian Nyaris Cedera) sebanyak 936 insiden, KTC (Kejadian Tidak
Cedera) sebanyak 60 insiden, KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) sebanyak 224
insiden, Sentinel Event sebanyak 2 insiden.
Upaya yang sudah dilakukan di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar adalah
melaksanakan DRK, dimulai tahun 2011, setiap bulan pada setiap hari Jumat
minggu ke-1. Berdasarkan studi pendahuluan di IRNA C dari 84 perawat hanya
6
40% yang mengetahui tentang DRK, hal ini disebabkan karena perawat tersebut
telah mendapat penjelasan tentang DRK. Diskusi Refleksi Kasus dapat
meningkatkan motivasi belajar dan selalu berfikir tentang standar setiap akan
melakukan kegiatan, sehingga amatlah sangat pentingnya DRK untuk dilakukan,
maka dengan DRK standar dapat menyatu di dalam diri seorang perawat agar
terhindar dari jeratan hukum.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik ingin meneliti tentang
hubungan kegiatan DRK dengan motivasi belajar perawat di IRNA C RSUP
Sanglah Denpasar. Motivasi pada kesempatan ini lebih ditekankan pada
pelaksanaan prosedur pelayanan keperawatan sesuai dengan standar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka penulis mengangkat
rumusan masalah adalah ”Apakah ada hubungan antara kegiatan DRK dengan
motivasi belajar perawat di IRNA C RSUP Sanglah Denpasar?”.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
kegiatan Diskusi Refleksi Kasus (DRK) dapat memotivasi belajar perawat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Beberapa tujuan khusus yang dapat disusun adalah sebagaii berikut :
7
a. Mengidentifikasi pelaksanaan kegiatan Diskusi Refleksi Kasus (DRK).
b. Mengidentifikasi motivasi belajar perawat setelah mengikuti kegiatan Diskusi
Refleksi Kasus (DRK).
c. Menganalisa hubungan kegiatan Diskusi Refleksi Kasus (DRK) dengan
motivasi belajar perawat setelah mengikuti kegiatan Diskusi Refleksi Kasus
(DRK).
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat sebagai pedoman dan memperkuat teori keperawatan
tentang pengembangan manajemen kinerja klinik terutama berkaitan dengan
kegiatan DRK dan motivasi belajar profesi perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi pihak rumah sakit mengenai pelaksanaan kegiatan
DRK dengan motivasi belajar profesi perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan.
1.5 Keaslian Penelitian
1.5.1 Ayuningsih (2008) dengan judul penelitian ”Efektifitas Kegiatan Refleksi
Diskusi Kasus Dalam Upaya Pengembangan Mutu Keperawatan di IRNA C
RSUP Sanglah Denpasar”. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa kegiatan
8
Refleksi Diskusi Kasus (RDK) efektif dalam upaya pengembangan mutu
keperawatan di IRNA C RSUP SanglahDenpasar dengan p-value 0,000 (p 0,05)
dengan = 0,486. Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik
dan jumlah sampel 30 orang , dengan menggunakan uji statistik Paired Sample t-
Test. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilaksanakan oleh peneliti adalah
terletak pada jenis penelitian yang digunakan observasional analitik dengan
desain non-eksperiment studi korelasi dan pada variabel terikatnya.
1.5.2 Santoso (2008) dalam penelitiannya berjudul ”Hubungan Kemampuan
Melakukan Refleksi Diskusi Kasus Dengan Motivasi Belajar Perawat Di
Puskesmas Kabupaten Magelang” Hasil penelitian didapatkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kemampuan melakukan Refleksi Diskusi Kasus
(RDK) dengan motivasi belajar perawat di Puskesmas Kabupaten Magelang
dengan p-value 0,001 (p 0,635) dengan =0,635. Rancangan penelitian yang
digunakan dan jumlah sampel tidak disebutkan dalam penelitian ini. Perbedaan
dengan penelitian ini pada kemampuan melakukan Refleksi Diskusi Kasus. Jadi
persamaannya terletak pada variabel terikatnya yaitu motivasi belajar.
9