bab i pendahuluan 1.1 latar belakang penelitianrepository.upi.edu/31350/4/fpeb_s_eki_1300722_chapter...
TRANSCRIPT
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Ekonomi Islam menjadi bagian dari keseluruhan ajaran Islam yang salah
satunya memberikan jaminan terwujudnya kesejahteraan. Pandangan ekonomi
Islam bahwa kesejahteraan bukan semata-mata hanya permasalahan distribusi
ekonomi secara material, namun ada hal lainnya yaitu spiritual (Purwana, 2014).
Selain itu menurut Hikmat (2010) menyebutkan bahwa kesejahteraan material dan
spiritual merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam proses pembangunan.
Adapun kesejahteraan menurut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulum Al-Din
yaitu tercapainya kemaslahatan yang akan terwujud apabila terpeliharanya tujuan
syara’ (Maqashid al-Shari’ah) (Karim, 2014). Oleh karena itu maka negara
memiliki peranan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya baik secara
material maupun spiritual.
Kesejahteraan biasanya selalu dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan
dalam menilai keberhasilan pembangunan di suatu negara. Indonesia saat ini
sedang dihadapkan pada persoalan kemiskinan yang relatif tinggi. Kemiskinan di
Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan seperti sandang, pendidikan, perumahan, dan kesehatan.
Gambar 1.1
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Indonesia
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)
Berdasarkan Gambar 1.1 data BPS pada September 2016 jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 27 juta jiwa dengan persentase 11,68 persen
28280030 28592790
28005410
28553930
27727780
28513570
27764320
2013 2014 2015 2016
Semester 1 (Maret) Semester 2 (September)
2
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
terhadap total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk miskin ini meskipun
mengalami penurunan sebesar 241,1 ribu jiwa pada Maret 2016, namun
persentase penurunan tersebut belum terlihat signifikan yaitu hanya 0,86 persen.
Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat 27,76 juta penduduk Indonesia yang
berada di bawah garis kemiskinan dengan rata-rata penghasilan sebesar Rp.
354.386 per kapita per bulan (BPS, 2016). Selain itu berdasarkan data tersebut
bahwa tingkat persentase kemiskinan di Indonesia relatif tinggi dan masih berada
di atas target pemerintah yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2015-2019 yang ditargetkan pada kisaran 6 – 8 persen (BPPN,
2014).
Gambar 1.2
Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, Jawa Barat memiliki jumlah
penduduk terbesar di Indonesia yaitu mencapai 43 juta jiwa atau sekitar 18 persen
dari total penduduk di Indonesia. Namun prihatin jika melihat jumlah penduduk
miskin di Jawa Barat yang cukup tinggi. Berdasarkan Gambar 1.2 jumlah
penduduk miskin Jawa Barat pada September 2016 sebesar 4,17 juta jiwa atau
sebesar 9,68 persen terhadap total penduduk Jawa Barat, sedangkan apabila
dibandingkan pada Maret 2016 jumlahnya 4,22 juta jiwa. Jumlah penduduk
miskin ini meskipun mengalami penurunan sebesar 56,21 ribu jiwa, namun
persentase penurunan ini belum terlihat signifikan yaitu hanya sebesar 1,33
persen. Adapun Garis Kemiskinan Jawa Barat pada September 2016 sebesar Rp.
332.119,- per kapita per bulan (BPS, 2016).
4477500
4297038 4327070
4435700
4224320
4421500 4382650
4238960
4485650
4168110
2012 2013 2014 2015 2016
Semester 1 (Maret) Semester 2 (September)
3
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Selain itu kesejahteraan juga selalu dikaitkan dengan kualitas hidup yang
tercermin dalam Human Development Index (HDI). Pada dasarnya penduduk
merupakan suatu aset besar yang dimiliki oleh suatu daerah dalam proses
pembangunan. Lain halnya ketika kualitasnya rendah maka akan menambah
beban suatu daerah melalui meningkatnya tingkat kemiskinan. Indeks
Pembangunan Manusia Manusia (IPM) merupakan indikator yang penting dalam
mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia atau
sebagai alat ukur untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Adapun
beberapa indikator IPM diantaranya dapat dilihat dari dibidang kesehatan,
pendidikan, dan pendapatan masyarakat.
Tabel 1.1
IPM Metode Baru Menurut Provinsi Tahun 2015
Peringkat Provinsi IPM Peringkat Provinsi IPM
1 DKI Jakarta 78,99 11 Jawa Barat 69,50
2 Daerah Istimewa
Yogyakarta 77,59 12 Jawa Tengah 69,49
3 Kalimantan Timur 74,17 13 Aceh 69,45
4 Kepulauan Riau 73,75 14 Sulawesi Selatan 69,15
5 Bali 73,27 15 Kep. Bangka
Belitung 69,05
6 Riau 70,84 16 Jawa Timur 68,95
7 Sulawesi Utara 70,39 17 Jambi 68,89
8 Banten 70,27 18 Kalimantan Utara 68,76
9 Sumatera Barat 69,98 19 Sulawesi Tenggara 68,75
10 Sumatera Utara 69,51 20 Bengkulu 68,59
Sumber: Badan Pusat Statistik (2016)
Selain permasalahan kemiskinan Jawa Barat yang cukup tinggi, Jawa Barat
masih dihadapkan pada permasalahan pembangunan manusianya. Di sisi lain
walaupun jumlah penduduk Jawa Barat terhitung tinggi, namun jika melihat Tabel
1.1 IPM Jawa Barat pada tahun 2015 masih cukup rendah dan hanya menempati
posisi ke-11 diantara provinsi lain di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2014)
IPM Jawa Barat yang terdiri dari Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 80,35,
indeks pendidikan yang terdiri dari Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata
Lama Sekolah (RLS) sebesar 59,26 yang masih tergolong rendah, serta
pengeluaran sebesar 68,40 (BPS, 2016).
Kesejahteraan memiliki kaitan yang erat dengan permasalahan kemiskinan
dan kualitas hidup seseorang yang tercermin dalam IPM. Lain halnya berdasarkan
4
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
QS. An-Nisa: 9 bahwa ketakwaan kepada Allah memiliki kaitan yang erat dengan
kesejahteraan, karena Allah SWT telah memberikan jaminan kesejahteraan berupa
kecukupan rezeki, kelapangan setiap urusan, dan diberikannya keberkahan dari
langit dan bumi, serta ampunan bagi orang yang bertakwa kepada Allah SWT.
قوا فا خافوا عليهم فليت ة ضع ي وليخش ٱلذين لو تركوا من خلفهم ذر وليقولوا قول سديدا ٩ٱلل
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa: 9)
Selanjutnya berdasarkan QS. An-Nisa: 9 bahwa ketakwaan seseorang akan
menghantarkan kepada kesejahteraan atau kebahagian di dunia dan di akhirat
kelak. Peningkatan kesejahteraan ummat manusia termasuk salah satu tujuan
utama dalam Islam sebagai Rahmatan lil alamin. Hal ini dijelaskan dalam konsep
maqashid syariah yang memiliki tujuan untuk menjamin peningkatan
kesejahteraan dan kemaslahatan di tengah masyarakat. Dengan demikian maka
kesejahteraan dalam perspektif Islam bersifat multiaspek, yang tidak hanya
melihat aspek material namun aspek spiritual juga diperhatikan.
Sementara itu menurut al-Ghazali bahwa kesejahteraan suatu masyarakat
tergantung kepada pemeliharaan agama (diin), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan
(nasl), dan harta (maal), yang tujuan akhirnya untuk mencapai kebaikan dunia dan
akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) (Karim, 2014). Sehubungan dengan
kesejahteraan yang erat kaitannya dengan permasalahan kemiskinan ini maka
Islam telah mengatur mekanismenya melalui instrumen keuangan publik Islam
yaitu zakat yang telah disebutkan oleh Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 60.
ما ت ۞إن دق كين للفقراء و ٱلص ملين و ٱلمس قلوبهم ٱلمؤلفة عليها و ٱلعقاب وفي رمين و ٱلر بيل ٱبن و ٱلل وفي سبيل ٱلغ ن ٱلس ه فريضة م ٱلل
و ٠٦عليم حكيم ٱلل
Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu´allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam
5
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Berdasarkan QS. At-Taubah: 60 bahwa Allah telah mengatur orang-orang
yang berhak menerima zakat, karena zakat bersumber dari harta yang jelas dan
mempunyai sasaran yang jelas serta prinsip-prinsip zakat telah diatur dalam al-
Quran dan Hadist. Selain itu menurut Beik (dikutip dalam Indonesia
Magnificence of Zakat, 2011) bahwa zakat memiliki sejumlah fungsi dan dimensi
penting baik spiritual personal, sosial, maupun dimensi ekonomi. Oleh karena itu
maka menurut Effendi & Wirawan (2013) upaya pengentasan kemiskinan tersebut
dapat melalui pengembangan kapasitas kelompok miskin melalui kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemandirian ummat.
Berkaitan dengan permasalahan kemiskinan dan pembangunan ekonomi,
maka salah satu peranan zakat yaitu untuk mengembangkan sumber pendanaan
pembangunan bagi kesejahteraan ummat. Kesejahteraan dalam hal pemenuhan
kebutuhan primer dalam jangka pendek, sementara untuk jangka panjang dalam
daya tahan dan kemandirian dapat meningkat. Selain itu, kesejahteraan dalam
pemenuhan kebutuhan spiritual seperti sholat, puasa, dan aspek spiritual lainnya.
Dengan demikian keberadaan zakat dalam permasalahan ini menjadi salah satu
pilar penting dalam Religious Financial Sector yang memiliki strategi nasional
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan,
pengentasan kemiskinan, serta stabilisasi sistem keuangan (BAZNAS, 2016).
Gambar 1.3
Penghimpunan Zakat Nasional
Gambar 1.4
Pertumbuhan Zakat Nasional
Sumber: BAZNAS (2016)
373,17 740 920
1200 1500
1729 2200 2700
3300 3700
Jumlah Penghimpunan Zakat Nasional
(Milyar Rupiah)
26,28
98,3
24,32
30,43 25
15,3
27,24 22,73
22,22 21,21
Pertumbuhan Zakat Nasional
(persen)
6
Risa Sari Pertiwi, 2017
IMPLIKASI PEDAYAGUNAAN ZAKAT PRODUKTIF TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK
BERDASARKAN MAQASHID SYARIAH (SURVEI PADA MUSTAHIK DI MISYKAT DPU DT BANDUNG)
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Berdasarkan penelitian BAZNAS (2016) bahwa potensi zakat nasional pada
tahun 2015 mencapai Rp. 286 triliun. Adapun realisasi dari penghimpunan zakat,
infak, dan sedekah (ZIS) oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) resmi pada tahun
2015 baru mencapai Rp. 3,7 triliun atau kurang dari 1,3 persen dari potensinya.
Selain itu berdasarkan Gambar 1.3 dan 1.4 bahwa penghimpunan zakat nasional
mengalami peningkatan pada setiap tahunnya. Adapun persentase pertumbuhan
penghimpunan zakat nasional dari tahun 2006 hingga 2016 mengalami fluktuasi
pada setiap tahunnya. Pertumbuhan zakat terbesar yaitu pada tahun 2007
mencapai 98,30 persen dan pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya berkisar
antara 20 hingga 30 persen.
Tabel 1.2
Potensi Zakat Terbesar dan Terkecil Menurut Provinsi
No Keterangan Nama Provinsi Potensi Zakat
1 Provinsi dengan potensi
Zakat tertinggi
Jawa Barat Rp. 17, 67 triliun
Jawa Timur Rp. 15, 49 triliun
Jawa Tengah Rp. 13, 28 triliun
2 Provinsi dengan potensi
Zakat terendah
Bali Rp. 126, 25 miliar
Papua Rp. 117, 44 miliar
Papua Barat Rp. 111, 68 miliar
Sumber: BAZNAS dan FEM IPB (2011)
Berdasarkan Tabel 1.2 melihat potensi zakat Jawa Barat mencapai Rp. 17,67
triliun yang merupakan hasil penelitian BAZNAS Provinsi Jawa Barat bekerja
sama dengan FE IPB. Adapun realisasi dari pengumpulan zakat Jawa Barat pada
tahun 2012 hingga 2016 secara umum mengalami peningkatan, tetapi pada tahun
2013 mengalami penurunan sebesar 47 persen. Berdasarkan data pengumpulan
zakat di Jawa Barat menunjukan adanya kesenjangan yang cukup tinggi antara
potensi zakat dengan realisasi penghimpunan zakat. Hal ini dapat dilihat dari data
aktual penghimpunan ZIS berdasarkan provinsi bahwa Jawa Barat pada tahun
2016 baru mencapai Rp. 71,71 miliar atau sebesar 0,4 persen dari potensinya
(BAZNAS, 2016).
Permasalahan lainnya yaitu dalam hal rasio efektivitas penyerapan dana
zakat atau disebut Allocation to Collection Ratio (ACR). Rasio ini dapat
mengukur kemampuan sebuah lembaga zakat dalam menyalurkan dana zakatnya
dengan cara membagi total dana penyaluran dengan total dana penghimpunan
(Zakat Core Principles, 2015). Berdasarkan data BAZNAS (2016) bahwa
7
penghimpunan zakat Jawa Barat sebesar 71,71 miliar sedangkan penyaluran
zakatnya sebesar 27,26 miliar. Data tersebut menunjukan bahwa Jawa Barat saat
ini memiliki ACR sebesar 38,01 persen dan termasuk kategori Below Expectation.
Kategori Below
Expectation ini menunjukan bahwa total dana zakat yang disalurkan masih lebih
sedikit dibandingkan dana zakat yang dihimpun (BAZNAS, 2016).
Pendistribusian dana zakat dapat disalurkan melalui program konsumtif
yang bersifat jangka pendek dan program produktif yang bersifat jangka panjang
guna memberdayakan mustahik secara produktif. Pendistribusian zakat melalui
program produktif diharapkan akan memiliki daya tahan sosial ekonomi pada
jangka panjang, seperti bantuan pendanaan usaha mikro mustahik (Beik &
Arsyianti, 2015). Adapun menurut Adnan (2013) menyebutkan bahwa bantuan
pendanaan mikro melalui dana zakat ini merupakan aplikasi maqashid syariah
dalam pendistribusian dana zakat. Hal ini diperkuat dengan hasil kajian riset
bahwa adanya korelasi positif antara modal usaha dari zakat produktif yang
disalurkan terhadap peningkatan pendapatan mustahik (Rusli et al., 2013).
Zakat yang disalurkan melalui program produktif menurut Keputusan
Menteri Agama (dikutip dalam Rusli et al., 2013) merupakan pendayagunaan
zakat berbasis pengembangan ekonomi dalam bentuk pemberian modal usaha
kepada mustahik yang diarahkan pada usaha ekonomi produktif guna
meningkatkan kesejahteraan mustahik. Selain itu jika menurut Qadir menyatakan
bahwa zakat produktif yaitu zakat yang diberikan kepada mustahik sebagai modal
untuk menjalankan suatu kegiatan ekonomi guna menumbuhkan kemandirian
serta peningkatan kesejahteraan mustahik melalui pembinaan dan pendampingan
(Rusli et al., 2013).
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat
menyebutkan bahwa lembaga yang mengelola zakat di Indonesia terdapat dua
yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat Nasional
(LAZNAS). Indonesia memiliki beberapa LAZNAS diantaranya yaitu Dompet
Peduli Ummat Daarut Tauhiid (DPU DT) sebagai lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat yang memiliki tugas untuk membantu dalam hal pengumpulan,
8
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Salah satu kegiatan yang dilakukan
oleh DPU DT Bandung yaitu menyalurkan dana zakat produktif melalui program
pemberdayaan ekonomi ummat yang disalurkan dalam bentuk modal usaha
dengan akad qardhul hasan.
DPU DT menghadirkan program zakat produktif melalui MiSykat
(Microfinance Syariah berbasis masyarakat) dalam bentuk pemberdayaan
ekonomi produktif. Program MiSykat ini dikelola secara sistematis, intensif, dan
berkesinambungan yang didalamnya memiliki kegiatan dalam hal pengembangan
pengetahuan, penanaman nilai, dan pengembangan keterampilan sehingga
mustahik dapat menjadi lebih mandiri dan berkarakter. Program pendayagunaan
zakat produktif yang diberikan kepada mustahik diharapkan dapat
mengembangkan usaha, meningkatkan pendapatan, dan kesejahteraan mustahik
baik secara material maupun spiritual.
Adanya penanaman nilai pada program MiSykat berupa kegiatan mentoring
yang dilakukan rutin setiap pekan dapat memperbaiki sisi spiritualitas mustahik.
Penanaman nilai ini memiliki muatan religiusitas dan berperan penting dalam
kehidupan sosial. Hal ini karena menurut Sadewa et al. (2015) menyebutkan
bahwa religiusitas memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan baik dari
sisi fisik maupun psikis atau mental. Kesejahteraan yang hakiki dan penuh berkah
hanya akan dicapai dengan menerapkan ajaran agama secara menyeluruh dalam
setiap aspek kehidupan. Hal ini tentu berbeda dengan pandangan barat yang tidak
memasukkan aspek religiusitas dalam mengukur kesejahteraan, namun hanya
mengedepankan nilai nilai materialistik (Sadewa et al., 2015)
Secara empiris terdapat beberapa hasil kajian riset terkait pendayagunaan
zakat produktif terhadap kesejahteraan mustahik yaitu oleh Nafiah (2015) yang
menyebutkan bahwa adanya peningkatan kesejahteraan mustahik yang
dipengaruhi oleh pendayagunaan zakat produktif sebesar 30,5 persen. Hal ini
dilihat dari peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan mustahik yang
lebih baik setelah mengikuti program pendayagunaan zakat produktif di salah satu
lembaga zakat. Fakta empiris ini didukung oleh hasil riset lainnya yaitu Effendi
& Wirawan (2013); Andriati & Huda (2015); Wulansari & Setiawan (2014); dan
Sartika (2008) yang menunjukan bahwa adanya pengaruh positif dari jumlah zakat
9
produktif yang disalurkan terhadap kesejahteraan mustahik melalui program
pendampingan atau pemberdayaan terhadap kesejahteraan mustahik dari sisi
material. Selain itu menurut Andriati & Huda (2015) menyebutkan bahwa adanya
pengaruh yang positif dari pendampingan usaha terhadap kesejahteraan mustahik.
Berdasarkan beberapa hasil kajian riset tersebut menunjukkan bahwa
dampak dari pendayagunaan zakat produktif dapat memperbaiki sisi material
mustahik yang ditandai dengan peningkatan pendapatannya. Namun terdapat
perbedaan dari hasil kajian riset Beik & Arsyanti (2016) terkait dampak zakat
terhadap kemiskinan dan kesejahteraan yang diukur dari sisi material dan
spiritual. Hasilnya menunjukkan bahwa adanya peningkatan tingkat kesejahteraan
mustahik sebesar 96,8 persen, serta adanya peningkatan skor spiritualitas sebesar
13,09 persen. Hasil dari penelitian tersebut menunjukan bahwa dampak dari
pendayagunaan zakat produktif selain dapat memperbaiki dari sisi material
mustahik, serta adanya peningkatan dari sisi spiritual.
Adapun pada penelitian ini akan fokus untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kesejahteraan mustahik dari adanya program pendayagunaan zakat
produktif yaitu MiSykat. Pengukuran tingkat kesejahteraan pada penelitian ini
akan menggunakan indikator maqashid syariah yaitu dari aspek material seperti
pendapatan serta pemenuhan kebutuhan makanan dan non makanan, sedangkan
aspek spiritual seperti sholat, puasa, sedekah, membaca qur’an, hijab, dan
meninggalkan riba. Dengan demikian, mengukur tingkat kesejahteraan mustahik
harus mencakup aspek material dan spiritual, sehingga dapat mencerminkan
bagaimana kesejahteraan menurut perspektif Islam.
Berdasarkan fenomena permasalahan yang sudah dipaparkan dan hasil riset
sebelumnya, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh bagaimana tingkat
kesejahteraan mustahik berdasarkan maqashid syariah yang meliputi aspek
material dan spiritual dari adanya pendayagunaan zakat produktif. Oleh karena itu
penelitian ini berjudul “Implikasi Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap
Kesejahteraan Mustahik Berdasarkan Maqashid Syariah (Survei pada Mustahik
MiSykat DPU DT Bandung.”
10
1.2 Identifikasi Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis perlu untuk
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan mustahik yaitu
sebagai berikut:
1. Tingkat kemiskinan di Indonesia relatif masih tinggi (BPS, 2016).
2. Jawa Barat termasuk provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi
(BPS, 2016).
3. IPM Jawa Barat masih tergolong rendah (BPS, 2014).
4. Adanya kesenjangan antara potensi zakat dengan realisasi pengumpulan
zakat (BAZNAS, 2016).
5. ACR zakat Jawa Barat saat ini berada pada kategori Below Expectation
(BAZNAS, 2016).
6. Kurangnya program pendayagunaan zakat produktif dalam meningkatkan
kemandirian ekonomi mustahik (Widiastuti et al., 2015).
7. Pengukuran keberhasilan program pendayagunaan zakat produktif masih
bersifat parsial, kurang memperhatikan aspek spiritual serta adanya
perubahan mental dan karakter mustahik (Beik & Arsyianti, 2015).
1.3 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian dan identifikasi masalah, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendayagunaan zakat produktif di MiSykat DPU DT
Bandung?
2. Bagaimana gambaran kesejahteraan mustahik yang mengikuti MiSykat
DPU DT Bandung secara material dan spiritual?
3. Sejauh mana pengaruh jumlah zakat produktif yang diterima mustahik
terhadap pendapatan mustahik?
4. Sejauh mana pengaruh pendampingan usaha terhadap pendapatan
mustahik?
11
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran
pendayagunaan zakat produktif pada MiSykat DPU DT Bandung. Selain itu untuk
memperoleh gambaran kesejahteraan mustahik yang mengikuti MiSykat DPU DT
Bandung baik dari sisi material maupun spiritualnya. Selanjutnya pada penelitian
ini akan mengukur sejauh mana pengaruh dari jumlah zakat produktif yang
diterima oleh mustahik dan pendampingan usaha terhadap kesejahteraan
mustahik.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini terbagi kedalam dua hal,
pertama manfaat teoritis yaitu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi pengembangan teori, konsep ilmiah, dan referensi
dalam ilmu ekonomi Islam, khusunya Manajemen Zakat, Infak, Sedekah, dan
Wakaf (ZISWAF) dalam pengelolaan zakat melalui program produktif. Selain itu
sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang dapat memberikan pengetahuan
dan pemahaman baru terkait dampak pendayagunaan zakat produktif terhadap
kesejahteraan material dan spiritual mustahik. Hal ini mengingat pentingnya
pengukuran aspek material dan spiritual agar mampu mencerminkan konsep
kesejahteraan dalam Islam.
Manfaat kedua dari penelitian ini yaitu dalam hal praktis yang diharapkan
dapat berguna bagi pemahaman penulis sekaligus bagi lembaga zakat sebagai
umpan balik (feedback) tentang pentingnya pendayagunaan zakat produktif. Hal
ini sebagai upaya dalam mengatasi permasalahan kemiskinan serta untuk
meningkatkan kualitas kehidupan mustahik baik dari sisi material maupun
spiritual. Selanjutnya dapat menjadi rujukan implementasi pengelolaan zakat
terutama bagi lembaga – lembaga zakat dalam hal pendistribusian zakat agar lebih
efektif dan efisien.
12