bab i pendahuluan 1.1 latar...

34
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena Arab Spring yang mulai terjadi pada tahun 2010 di beberapa negara di Timur Tengah masih berlangsung hingga saat ini. Fenomena yang berawal dari Tunisia tersebut kemudian menjalar ke negara-negara sekitarnya seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Aljazair. Pemerintahan yang otoriter dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya Arab Spring. Selain itu, faktor ekonomi seperti kondisi ekonomi yang menurun dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat kurangnya lapangan kerja juga dianggap sebagai penyebab terjadinya Arab Spring (Mujani dan Musa, 2015:153). Kondisi tersebut memicu keinginan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja pemerintah untuk menumbangkan rezim berkuasa melalui gelombang-gelombang protes. Tidak semua gelombang protes yang terjadi di Timur Tengah tersebut berhasil menggulingkan rezim otoriter berkuasa. Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman merupakan negara-negara yang pemimpinnya berhasil digulingkan pada masa Arab Spring. Gelombang protes di Mesir bahkan dapat menggulingkan dua pemimpin yaitu Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi. Beda halnya dengan negara-negara tersebut. Fenomena Arab Spring yang terjadi di Suriah masih belum berakhir hingga saat ini. Arab Spring di Suriah bermula dari gelombang protes di Deraa pada Maret 2011, dilakukan oleh para orang tua yang anaknya

Upload: lekien

Post on 03-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fenomena Arab Spring yang mulai terjadi pada tahun 2010 di beberapa

negara di Timur Tengah masih berlangsung hingga saat ini. Fenomena yang

berawal dari Tunisia tersebut kemudian menjalar ke negara-negara sekitarnya

seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Aljazair. Pemerintahan yang otoriter dan

penyalahgunaan kekuasaan merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya

Arab Spring. Selain itu, faktor ekonomi seperti kondisi ekonomi yang menurun

dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat kurangnya lapangan kerja juga

dianggap sebagai penyebab terjadinya Arab Spring (Mujani dan Musa, 2015:153).

Kondisi tersebut memicu keinginan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja

pemerintah untuk menumbangkan rezim berkuasa melalui gelombang-gelombang

protes.

Tidak semua gelombang protes yang terjadi di Timur Tengah tersebut

berhasil menggulingkan rezim otoriter berkuasa. Tunisia, Libya, Mesir, dan

Yaman merupakan negara-negara yang pemimpinnya berhasil digulingkan pada

masa Arab Spring. Gelombang protes di Mesir bahkan dapat menggulingkan dua

pemimpin yaitu Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi. Beda halnya dengan

negara-negara tersebut. Fenomena Arab Spring yang terjadi di Suriah masih

belum berakhir hingga saat ini. Arab Spring di Suriah bermula dari gelombang

protes di Deraa pada Maret 2011, dilakukan oleh para orang tua yang anaknya

2

ditangkap oleh polisi wilayah Deraa. Anak-anak tersebut membuat coretan di

dinding sekolah mereka bertulisan As Shaab Yoreed Eskaat en Nizam yang artinya

“Rakyat ingin atau menumbangkan rezim”. Tulisan tersebut dianggap

pembangkangan oleh pemerintah Suriah sehingga anak-anak tersebut ditangkap

dan dipenjara. Gelombang protes tersebut ditanggapi oleh kelompok militer Assad

dengan agresif sehingga menewaskan puluhan orang dan ratusan orang lainyya

terluka (Phillips, 2012:37). Kejadian tersebut memicu terjadinya gelombang

protes di wilayah lain di Suriah. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap rezim

Assad bertambah dan berakibat pada keinginan masyarakat untuk menggulingkan

Bashar al-Assad.

Keinginan masyarakat Suriah untuk menggulingkan Bashar al-Assad belum

berhasil hingga saat ini. Bashar al-Assad mulai memimpin Suriah pada tahun

2000 tepat setelah kematian ayahnya, Hafizh al-Assad (Agastya, 2013:163).

Pemerintahan yang diwarisi Bashar al-Assad adalah rezim semi-otoriter yang

berlindung dibawah demokrasi, tetapi masih mengandalkan badan intelijen dan

keamanan untuk menekan gerakan-gerakan reformasi (Syria Institute, 2015).

Faktanya, kepemimpinan Bashar al-Assad tidak berbeda jauh dengan ayahnya,

Hafiz al-Assad. Dalam urusan politik, masyarakat masih dibatasi untuk

berpartisipasi dan media massa juga tidak diberi kebebasan (Rosyada, 2017:3). Isu

sektarian dalam pemerintahan Assad lebih sensitif terkait Syiah dan Sunni. Hal

tersebut dikarenakan mayoritas penduduk Suriah adalah Sunni sedangkan yang

memegang pemerintahan adalah Syiah yang merupakan minoritas.

3

Pemerintahan Bashar al-Assad yang didukung militer menjadikan Suriah

sebagai daerah konflik yang panas dan rumit. Tidak hanya itu, isu tentang senjata

kimia yang digunakan Suriah untuk menyerang warga sipil juga menyeret

Amerika Serikat dan sekutunya ikut terjun langsung dalam mengatasi konflik

(Agastya, 2013:182). Meskipun pemerintah Suriah membantah penggunaan

senjata kimia untuk memerangi warga sipil, Amerika Serikat tetap melancarkan

serangan terhadap pangkalan militer Suriah. Kejadian tersebut tentu memperkeruh

konflik yang sudah terjadi di Suriah. Berbagai pihak ikut campur tangan dengan

membawa kepentingan masing-masing dengan dalih membantu penyelesaian

konflik. Kepentingan-kepentingan tersebut justru menjadikan konflik Suriah

semakin sulit untuk diatasi.

Faktor teologi, politik, dan ekonomi diyakini menjadikan keadaan Suriah

seperti saat ini. Bashar al-Assad sebagai kepala negara merupakan penganut Syiah

Alawi sedangkan mayoritas rakyat Suriah meupakan penganut Sunni. Bermula

dari hal tersebut, negara lain dengan ideologi yang sama mulai ikut campur dan

mendukung salah satu pihak baik pemerintahan Bashar al-Assad ataupun oposisi.

Iran dengan jelas mendukung pemerintahan Bashar al-Assad karena kesamaan

keyakinan yang dianut. Bagi Iran, Suriah merupakan akses bagi kelompok

Hizbullah Lebanon untuk mengancam Israel dengan rudal jarak dekat.

Selanjutnya, Rusia dan Cina mendukung pemerintahan Bashar al-Assad karena

faktor ekonomi. Rusia merupakan pemasok senjata terbesar bagi Suriah. Selain itu,

Rusia juga mempunyai kepentingan yang sama dengan Suriah yaitu menghentikan

pengaruh Amerika Serikat terutama di kawasan Timur Tengah (Yan, CNN, 2013).

4

Apabila melihat uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa Suriah merupakan

medan perang bagi banyak kepentingan dari berbagai negara yang ikut campur di

dalamnya. Hal tersebut membuat masyarakat internasional kebingungan untuk

meminta pertanggungjawaban kepada siapa atas apa yang terjadi di Suriah. Satu

hal yang dapat dipastikan dari fenomena ini adalah bahwa konflik di Suriah

merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir dan perlu segera diatasi.

Apabila tidak segera dihentikan, maka warga sipil akan terus menjadi korban dari

konflik tersebut. Warga Suriah yang terjebak di wilayah peperangan antara oposisi

dan rezim pemerintah terpaksa menyelamatkan diri dengan mengungsi.

Beberapa waktu lalu, dunia dihebohkan dengan foto seorang anak yang

terdampar dan sudah tidak bernyawa di salah satu pantai di Turki. Anak yang

bernama Aylan Kurdi tersebut merupakan salah satu imigran dari Suriah. Dia dan

beberapa orang lainnya ingin mencari perlindungan ke Yunani dengan

menyeberangi laut. Dari peristiwa itu terlihat bahwa kampung halaman mereka

sudah tidak aman dan nyaman untuk ditinggali akibat konflik yang terjadi.

Mencari tempat perlindungan yang aman merupakan kebutuhan yang mendesak

bagi mereka sehingga keselamatan diri sendiri diabaikan. Foto Aylan Kurdi yang

menjadi korban konflik di Suriah tersebut menjadi viral dan menyentuh hati

banyak orang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak warga sipil yang menjadi korban

konflik di Suriah. Krisis politik dan keamanan yang tidak terjamin memaksa

mereka menjadi pengungsi. Menurut data dari UNHCR yang diperbarui pada 1

Juni 2017, pengungsi Suriah saat ini berjumlah lebih dari 5 juta pengungsi (Syrian

5

Regional Refugee Respon, 2017). Secara kuantitas, arus pengungsi Suriah yang

mencari suaka ke negara lain semakin bertambah tiap tahunnya. Negara-negara

yang berada di sekitar Suriah seperti Turki dan wilayah Uni Eropa menjadi tempat

tujuan bagi para pengungsi. Uni Eropa dipilih sebagai tujuan untuk mencari suaka

selain dikarenakan kedekatan geografis juga karena kemapanan ekonomi di

kawasan tersebut. Berbagai cara dilakukan pengungsi Suriah untuk menuju negara

tujuan baik melewati jalur darat maupun laut menggunakan kapal-kapal kecil.

Banyak dari warga Suriah mencari perlindungan ke wilayah-wilayah tersebut

secara ilegal karena mereka tidak dilengkapi surat-surat dan prosedur yang telah

ditentukan.

Gambar 1. Rute Migrasi Pengungsi Suriah

(Sumber edmaps.com)

Gambar 1 memperlihatkan bahwa negara Uni Eropa yang terletak di pinggir

laut Mediterania menjadi tujuan utama para pengungsi atau tempat persinggahan

6

sementara untuk melanjutkan migrasi ke negara Uni Eropa lain. Menurut data

UNHCR, pada April 2011-Oktober 2017 tercatat 996.204 permohonan suaka dari

Suriah kepada negara-negara di Eropa (Syrian Regional Refugee Respon, 2017).

Beberapa negara Uni Eropa mempunyai kebijakan untuk menerima pengungsi dan

sebagian lainnya menutup rapat akses untuk pengungsi atau sekedar

memperbolehkan melintas. Selain dengan mengajukan permohonan suaka,

satu-satunya cara yang dapat digunakan pengungsi Suriah adalah dengan menjadi

imigran ilegal. Hal tersebut dikarenakan kondisi yang memaksa mereka untuk

melakukannya.

Turki merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Suriah.

Perbatasan darat Turki-Suriah sepanjang 822 kilometer. Tidak hanya itu, Turki

meupakan satu-satunya negara yang menerapkan Open Door Policy di kawasan

Timur Tengah. Open Door Policy adalah kebijakan suatu negara yang

mengijinkan pengungsi, pencari suaka, dan pekerja asing untuk menetap, bekerja

serta menikmati perlindungan sosial dan hukum tanpa diskriminasi (Pertiwi, 2016:

219). Kebijakan Open Door Policy ini tidak dimiliki oleh negara-negara yang

berada di sekitar Suriah seperti Israel, Kuwait, dan Arab Saudi. Kebijakan tersebut

memberi kemudahan bagi pengungsi Suriah untuk mencari perlindungan ke Turki.

Menurut data UNHCR, hingga Oktober 2017 pengungsi Suriah yang berada

di Turki tercatat lebih dari 2,9 juta pengungsi (Syrian Refional Refugee Respon,

2017). Turki menjadi negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah.

Turki memberikan status pengungsi bagi warga Suriah melalui temporary

protection. Melalui status tersebut, pengungsi Suriah dapat mengakses bantuan

7

dari berbagai lembaga nasional dan internasional yang menangani masalah

pengungsi. Turki memberikan fasilitas kamp bagi pengungsi Suriah. Dari kamp

tersebut, pengungsi dapat mengakses bantuan makanan, kesehatan, pendidikan,

lapangan kerja, uang tunai, pelatihan bahasa, dan pelatihan ketrampilan. Turki

menyediakan pendidikan gratis dan tempat pendidikan sementara bagi anak-anak

Suriah. Turki juga memberikan beasiswa pendidikan tinggi bagi mahasiswa

Suriah yang ingin berkuliah di Turki (3RP Report, 2017).

Dalam memberi pelayanan kesehatan, Turki memberikan bantuan kepada

pengungsi dengan menyediakan posko kesehatan di setiap kamp pengungsi yang

dilengkapi dengan penerjemah bahasa untuk mempermudah komunikasi dengan

pasien. Pada 2017, Turki memberdayakan 100 tenaga medis Suriah dengan

memberi pelatihan agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem kesehatan di

Turki. Turki juga memberikan suntikan vaksin campak, difteri, polio, dan

hepatitis B bagi anak-anak pengungsi Suriah. Pada 2017, pemerintah Turki telah

memberikan vaksin kepada 360.000 anak pengungsi Suriah. Bagi pengungsi yang

mengalami depresi akibat konflik dan migrasi, fasilitas rehabilitasi dan pelayanan

telah tersedia. Bantuan alat bantu dengar dan prostesis lain diberikan bagi

pengungsi yang membutuhkan (3RP, 2017:24).

Turki juga memberikan akses bagi warga Suriah yang ingin bekerja di

sektor formal Turki dengan mengajukan permohonan izin kerja pada Kemeterian

Tenaga Kerja Turki setelah terdaftar sebagai pengungsi. Bagi pengungsi yang

ingin berwirausaha, mereka mendapat dan bantuan untuk modal usaha dan diberi

pelatihan ketrampilan (3RP Report, 2017). Turki memperbolehkan pengungsi

8

Suriah untuk tinggal di luar kamp mereka sehingga mereka tidak bergantung pada

bantuan pemerintah Turki. Lebih dari 90% pengungsi Suriah tinggal di luar kamp

pengungsian. Meskpiun tinggal di luar kamp, pengungsi masih dapat mengakses

bantuan yang disediakan oleh pemerintah Turki. Hingga Agustus 2015, Turki

mengeluarkan dana untuk menangani pengungsi Suriah sebesar 1,6 miliar dolar.

Dana tersebut digunakan untuk memberikan bantuan dan perlindungan bagi

pengungsi Suriah yang berada di Turki. Dari jumlah tersebut, Turki telah

menerima 400 juta dolar dari bantuan internasional (Amalia, 2017:52). Turki

bekerjasama dengan berbagai lembaga internasional untuk memfasilitasi

pengungsi yang berada di negaranya.

Dari pernyataan di atas, Turki terlihat bersungguh-sungguh untuk membantu

dan menangani pengungsi Suriah, padahal saat ini Turki berada dalam kondisi

tidak berhubungan baik dengan pemerintah Suriah. Semenjak Suriah bergejolak,

Turki merupakan salah satu negara yang mulai mengkritik kepemimpinan Bashar

al-Assad karena banyaknya jumlah warga sipil yang menjadi korban. Presiden

Turki, Recep Tayep Erdogan mengritik keras tindakan pemerintah Suriah karena

menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan gelombang protes. Hal

tersebut mengakibatkan puluhan rakyat Suriah tewas dan ratusan lain mengalami

luka-luka. Dimulai dari peristiwa tersebut, Turki terus menerus meminta Suriah

untuk melakukan reformasi dalam pemerintahan dan meminta Bashar al-Assad

untuk mundur dari jabatannya. Bahkan, Recep Tayep Erdogan menyamakan

Bashar al-Assad dengan Hittler karena telah melakukan pembunuhan terhadap

bangsanya sendiri (Euronews, 2011). Akan tetapi, seruan dan kritikan yang

9

dilontarkan Turki tidak ditanggapi. Assad tidak bergeming dan masih menduduki

kursi kepala negara di Suriah.

Pada awalnya, Erdogan tidak menginginkan Assad untuk turun dari kursi

pemerintahan karena kedua negara tersebut telah menjalin kedekatan sebagai

bukti nyata hubungan Turki dengan negara Arab. Hubungan Turki dengan negara

Arab merupakan hasil dari kebijakan luar negeri AKP yang ingin memiliki

hubungan baik dengan negara Arab. Bagi Turki, Suriah merupakan pintu gerbang

menuju dunia Arab baik secara ekonomi maupun politik (D’Alema, 2017:5).

Turki dan Suriah mempunyai kerjasama-kerjasama yang menguntungkan kedua

belah pihak di berbagai bidang. Turki berharap untuk mempertahankan

hubungannya dengan Suriah. Turki menawarkan kepada pemerintah Suriah untuk

melakukan reformasi sebagai salah satu cara meredam konflik yang terjadi. Turki

mencoba mempengaruhi pemerintah Suriah untuk menghentikan kekerasan

terhadap warga sipil. Assad tidak menanggapi seruan Turki sehingga semua

inisiatif yang digagas Turki gagal. Dikarenakan hal tersebut, Turki mulai secara

terang-terangan mengkritisi pemerintah Bashar al-Assad (Islam, 2015:16).

Erdogan terus mendesak Assad melakukan reformasi karena kekerasan yang

meningkat dan munculnya pengungsi yang telah tiba di Turki. Meskipun

demikian, Assad tidak bergeming dan masih menjabat sebagai kepala

pemerintahan. Turki kemudian memfasilitasi oposisi pemerintah Suriah terutama

Ikhwanul Muslimin yang terakomodasi melalui Syrian National Council. Pada

Juni 2011, Turki memberikan dukungan terhadap FSA yang juga oposisi dari

pemerintah Suriah (Islam, 2015:17). Hal tersebut menjadikan pemerintah Suriah

10

mengambil sikap untuk mendukung PKK dan PYD yang dinyatakan Turki

sebagai kelompok teroris bagi negaranya dengan memberi wilayah di perbatasan

Suriah-Turki.

Hubungan pemerintah Turki dengan Suriah yang berjalan dengan tidak baik

terus menerus berlanjut. Turki bekerjasama dengan aliansinya yang disebut

Friends of Syria beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Arab Saudi

dan Qatar mendukung oposisi Bashar al-Assad dengan mengirim persenjataan ke

FSA (Altunsik, 2016:41). Keuangan dan persenjataan FSA juga didukung oleh

negara-negara Teluk (Joya, 2012:32). Sementara itu Suriah mulai bergantung pada

dukungan Iran, Irak, dan Hizbullah. Iran mendukung Suriah secara optimal

melalui penyediaan persenjataan bagi milisi pro Assad. Iran tidak menginginkan

rezim Assad jatuh karena akan melemahkan kekuatan Syiah di Timur Tengah

(Fulton dkk, 2013:6). Hal tersebut akan berakibat pada menguatnya blok Sunni

yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Qatar. Akhirnya, pergolakan di Suriah

memicu terbentuknya aliansi sektarian di Timur Tengah.

Turki memberdayakan pemberontak nasionalis di sepanjang perbatasan.

Pada akhir 2012, afiliasi Jabhat al-Nushra dan al-Qaeda muncul sebagai kelompok

anti-Assad yang paling berguna bagi Turki. Kelompok tersebut aktif di Idlib dan

sering melakukan bom bunuh diri sebagai strategi utama dalam menyerang rezim

Assad. Kelompok ini sering dikaitkan dengan al-Qaeda (Itani dan Stein, 2016:5).

Turki juga diduga mendukung ISIS dengan menyediakan persenjataan, pelatihan,

mengizinkan jihadis bebas melewati perbatasan, dan mengizinkan ISIS menjual

minyak mentah Suriah melalui Turki. AKP masih menganggap bahwa ISIS

11

melindungi Sunni di Suriah dari rezim Syiah. AS kemudian mendesak Turki

untuk menutup akses bagi anggota ISIS yang melewati perbatasan Turki-Suriah.

Akhirnya, Turki menutup akses lintasan bagi anggota ISIS tetapi tidak menarik

dukungan bagi organisasi jihad lainnya yaitu, Jabhat el-Nushra dan Ahrar al-Sham

( Hinnebusch, 2015:18-19).

Permusuhan antara pemerintah Turki dan Suriah berdampak pada tindakan

saling serang antardua negara tersebut. Mereka sempat beberapa kali saling

melakukan serangan yang sering diklaim salah sasaran atau ketidaksengajaan.

Pada 22 Juni 2012, pesawat tempur F-4 Turki ditembak jatuh oleh militer Suriah

saat berada dalam misi latihan. Insiden tersebut menewaskan dua pilot Turki.

Assad memberikan pernyataan bahwa insiden tersebut merupakan

ketidaksengajaan. Mililter Suriah mengira bahwa pesawat tersebut adalah milik

Angkata Udara Israel yang pernah menyerang Suriah pada 2007. Assad

menambahkan bahwa militer Suriah yang menembak pesawat Turki tidak

dilengkapi dengan radar sehingga tidak dapat mengetahui negara pemilik pesawat

tersebut. Assad dengan tegas membantah tudingan bahwa militer Suriah sengaja

menembak pesawat Turki. Insiden tersebut menjadikan ketegangan antara

Turki-Suriah semakin panas (BBC, 2012).

Pada 11 Mei 2013, terjadi ledakan bom di Reyhanli, kota di provinsi Hatay

yang berbatasan dengan Suriah. Ledakan tersebut menewaskan kurang lebih 40

orang dan 100 orang lainnya luka-luka. Turki menduga ada keterlibatan

Mukhabarat (badan intelijen Suriah) dalam insiden tersebut (BBC, 2013). Akibat

insiden ini, perlintasan Yayladagi ditutup selama sebulan untuk warga Suriah.

12

Hanya warga Turki yang tiba dari Suriah dan warga non Suriah yang

diperbolehkan melintas (Republika, 2013). Hal tersebut tentu mempersulit

pengungsi Suriah yang ingin mencari perlindungan.

Ketegangan antara Turki dan Suriah masih terus berlanjut. Pada 16

September 2014, ISIS menyerang kota Kobane di Suriah dan berhasil

menguasainya. Atas desakan internasional, Turki mengizinkan Pashmerga,

pejuang Kurdi-Irak untuk melintasi wilayahnya dan bergabung dengan pejuang

yang lain untuk melawan ISIS di Kobane. Turki hanya mengizinkan Pashmerga

bukan orang-orang Kurdi yang berafiliasi dengan PKK. Pada kenyataannya,

sekelompok pemberontak Suriah berjumlah 50 orang yang merupakan anggota

dari FSA ikut melewati Turki untuk membantu kelompok pejuang Kurdi di

Kobane (The Guardian, 2014). Suriah mengecam pemerintah Turki karena dengan

sengaja memperbolehkan pejuang oposisi memasuki Suriah melalui wilayahnya

(RT, 2014).

Pada Mei 2015, Turki mengklaim bahwa pesawat militernya F-16 telah

menembak jatuh pesawat tempur milik Suriah. Pesawat tersebut ditembak saat

mencoba untuk menerobos wilayah perbatasan antara Turki-Suriah (Sindonews,

2015). Suriah menyatakan bahwa pesawat tersebut bukanlah pesawat yang

berawak manusia. Pesawat tersebut hanyalah drone kecil yang melintas di wilayah

tersebut. Selain kejadian ini, Turki sempat beberapa kali menembak jatuh pesawat

tempur Suriah pada 2014 dan 2013 (Detiknews, 2015).

Jauh sebelum itu, hubungan Turki dan Suriah memang tidak begitu baik

terutama masalah air. Pada tahun 1970, Turki membuat sebuah bendungan di

13

sungai Eufrat yang rampung pada tahun 1980. Karena bendungan tersebut, air

yang mengalir ke Suriah menjadi terbatas. Suriah merasa tidak adil karena air

yang mengalir ke Suriah telah dikuras habis oleh Turki akibat pembangungan

bendungan tersebut. Akan tetapi, Turki berpendapat bahwa sungai yang melintas

pada suatu negara akan menjadi milik negera tersebut dan apabila sudah melintasi

perbatasan maka akan aliran tersebut menjadi milik negara lain (Carley, 1995:16).

Turki merasa dapat melakukan apa saja terkait aliran air yang melintas di

wilayahnya. Permasalahan air di Timur Tengah memang hal yang krusial dan

dapat merambah ke permasalahan politik.

Apabila merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa

Turki memiliki sikap yang kontradiktif. Di satu sisi, Turki memiliki hubungan

yang tidak baik dengan pemerintah Suriah terutama pada masa the Arab Spring.

Turki menjadi pendukung oposisi nomor satu bagi pemerintah Suriah. Bahkan

Turki menginginkan Bashar al-Assad untuk melepaskan jabatannya. Tidak hanya

itu, permusuhan kedua negara tersebut sempat beberapa kali terlihat dari tindakan

saling serang dengan kekuatan militer. Apabila Turki masih mengikuti sikap

ketidaksukaannya dengan pemerintah Suriah dan menginginkan kehancuran

pemerintahan Bashar al-Assad, maka Turki akan mengabaikan para pengungsi

dan membiarkan pemerintah Suriah menanggung permasalahan pengungsi

sendirian. Faktanya, pemerintah Turki mengambil resiko besar dengan

menampung pengungsi Suriah. Bahkan Turki menjadi negara nomor satu dengan

pengungsi Suriah terbanyak. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mencari

14

alasan-alasan dibalik kesanggupan Turki dalam menampung pengungsi Suriah

dengan mengkaji profil pengungsi Suriah secara mendalam.

1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya,

maka permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana status warga Suriah yang berada di Turki hingga Oktober 2017?

2. Mengapa pemerintah Turki menerima Pengungsi Suriah?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mengandung tujuan keilmuwan/ teoretis dan tujuan praktis.

Tujuan keilmuan/teoretis terkait dengan kontribusi terhadap pengembangan ilmu

pengetahuan. Penelitian merupakan akumulasi dari ilmu pengetahuan. Oleh

karena itu, penelitian ini berkontribusi dalam pengembangan ilmu yang berkaitan

dengan Timur Tengah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui alasan

pemerintah Turki turut berperan dalam penanganan pengungsi Suriah.

Selain tujuan teoretis, tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan

gambaran terhadap masyarakat umum tentang situasi politik Timur Tengah

terutama terkait pengungsi Suriah yang berada di Turki. Gambaran tersebut ditulis

secara objektif sehingga masyarakat mempunyai rujukan informasi yang tidak

tendensius. Tidak hanya itu, penelitian ini juga dapat berguna sebagai referensi

bagi akademisi lain yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut terkait

Timur Tengah.

15

1.4 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian terkait pengungsi akibat konflik di Timur Tengah telah

ditemukan salah satunya ditulis Ani Kartikas Sari (2015) dengan judul Upaya Uni

Eropa dalam Menangani Pengungsi dari Negara Mediterania Selatan di

Kawasan Eropa. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Uni Eropa telah

melakukan berbagai upaya dalam menangani pengungsi seperti mensetarakaan

sistem suaka melalu CEAS (Common European Asylum Support Office). Selain

itu, Uni Eropa juga menerapkan kebijakan ENP (European Neighbourhood Policy)

yatitu kebijakan untuk membatu negara-negara tetangga Uni Eropa termasuk

negara-negara Mediterania Selatan untuk mempercepat proses demokratisasi.

Meskipun begitu, upaya-upaya yang telah dilakukan Uni Eropa belum dirasa

maksimal.

Penelitian terkait pengungsi Suriah juga pernah dilakukan oleh Fatahillah

(2015) dengan judul Upaya United Nations High Commissioner for Refugees

(UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon Tahun 2011-2013.

Dalam penelitian tersebut UNHCR berperan aktif dalam memfasilitasi para

pengungsi dan berkoordinasi untuk penyelesaian masalah. UNHCR memberikan

bantuan secara material dalam jangka pendek seperti bantuan kesehatan,

ketersediaan tempat tinggal, dan pemenuhan kebutuhan pengungsi. Dalam

masalah ini, UNHCR mempunyai tiga peran sebagai organisasi internasional.

Pertama, UNHCR sebagai inisiator yaitu dengan mengajukan permasalahan

pengungsi Suriah kepada masyarakat internasional melalui konferensi yang

diadakan di Kuwait. Kedua, UNHCR sebagai fasilitator yaitu menyediakan

16

fasilitas bantuan secara langsung kepada pengungsi Suriah. Ketiga, UNHCR

sebagai determinator yaitu memberikan status pengungsi melalui mekanisme

refugee determination (RSD) berdasarkan konvensi 1951 tentang status

pengungsi.

Paulus Salvio Renno Renyaan (2015) juga menulis terkait pengungsi Suriah

dalam jurnal yang berjudul Perananan UNHCR dalam Perlindungan kepada

Pengungsi Korban Konflik Suriah yang Berasa di Negara Transit Hongaria.

Dalam jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa UNHCR secara umum telah

melaksanakan perannya dalam memberikan perlindungan bagi para pengungsi

Suriah seperti pemenuhan kebutuhan pokok, sandng, pangan, papan, dan

pengawasan terhadap pengungsi di Hongaria. UNHCR juga aktif dalam

bekerjasama dengan para pemberi suaka lainnya yang terdiri dari komunitas atau

organisasi berasal dari lokal maupun negara lain. kerjasama UNHCR bersama

pemberi suaka lainnya juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan dan fasilitas

bagi pengungsi.

Penelitian selanjutnya berupa tesis yang ditulis oleh Nila Sukmaning R

(2016) yang berjudul Sikap Negara-Negara Anggota Uni Eropa dalam

Menangani Krisis Pengungsi 2015 Studi Kasus: Sikap Jerman, Italia, dan

Hungaria. Pada tulisan itu dijelaskan bahwa terdapat perbedaan dari ketiga negara

tersebut dalam menangani pengungsi Timur Tengah. Perbedaan tersebut

dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu kekuatan ekonomi (dilihat dari GDP, hutang,

dan angka pengangguran), siklus kedekatan pemilu (dilihat dari perbedaan dan

17

persamaan agenda antarpartai yang bertarung menjelang pemilu) dan respon

publik (sejarah kedekatan dengan imigrasi dan persetujuan terhadap pengungsi).

Selain itu, tulisan terkait pengungsi Suriah juga ditulis oleh Titik Sumaryati

(2016) berupa makalah non seminar yang berjudul Kebijakan Pemerintah Turki

terhadap Pengungsi dari Suriah. Makalah tersebut berisi kebijakan pemerintah

Turki yang tampak dalam memfasilitasi pengungsi Suriah seperti menyiapkan

tempat hunian, mendirikan sekolah dan pemberian beasiswa, membangun klinik

kesehatan, memberikan kesempatan bekerja dengan menyediakan lapangan kerja,

dan usaha untuk mengubah kewarganegaraan pengungsi menjadi warga negara

Turki. Dari tulisan tersebut juga terlihat bahwa kebijakan Turki dalam penanganan

pengunggsi memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif bagi Turki

adalah meningkatnya pendapatan dengan adanya pengungsi. Sedangkan dampak

negatifnya adalah Turki rentan akan terjadinya konflik karena gesekan antar

pengungsi dan masyarakat lokal.

Penelitian selanjutnya ditulis oleh Itsnaini Permata Hati (2016) dengan judul

Alasan Turki Sepakat di bawah Pemerintahan Erdogan Bekerjasama dengan Uni

Eropa dalam Penanganan Imigran. Dalam tulisan tersebut dijelaskan terkait

alasan Turki setuju untuk bekerjasama dengan Uni Eropa dalam penanganan

pengungsi Suriah. Pertama, peluang Turki untuk dinegosiasikan lebih kanjut

sebagai calon anggota Uni Eropa. Kedua, keuntungan ekonomi bagi Turki terkait

kemudahan akses visa Schengen bagi warga negara Turki. Ketiga, Uni Eropa akan

membantu Turki dalam menjaga perdamaian dan pengungsi di perbatasan Suriah

18

dan Turki. Sehingga, atas dasar alasan-alasan tersebut, keputusan Turki sepakat

dalam penangan pengungsi dengan Uni Eropa dirasa tepat.

Apabila ditinjau dari pemaparan di atas, penelitian sebelumnya banyak

membahas tentang tindakan penangan terhadap pengungsi Suriah. Tulisan ini

akan memberikan hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya. Konsep yang akan digunakan sebagai landasan penelitian berbeda

dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini mencari alasan

pemerintah Turki menampung pengungsi Suriah dari sudut pandang lain dengan

melihat profil warga Suriah yang bermigrasi ke Turki sehingga berdampak pada

sikap pemerintah Turki yang bersedia menampung pengungsi Suriah.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Migrasi dan Migran

Migrasi dalam konteks hukum dimaknai sebagai suatu tindakan memasuki

suatu negara yang bukan negara asalnya dengan maksud untuk tinggal secara

permanen (Wagiman, 2012:49). Dalam jurnal A Theory of Migration, Lee

mendefinisikan migrasi sebagai perubahan tempat tinggal yang tidak dibatasi

jarak baik permanen maupun sementara, sukarela maupun terpaksa (Lee, 1966:

49). Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk yang melintasi negaranya

atau dari suatu negara ke negara lainnya (Wagiman, 2012:57). Migrasi menurut

PBB dapat dibedakan menjadi migrasi sementara dan migrasi permanen. Migrasi

sementara adalah migrasi jangka pendek dengan durasi antara 3-12 bulan,

sedangkan migrasi permanen adalah migrasi jangka panjang yang mengacu pada

19

perubahan tempat tinggal selama satu tahun atau lebih (Refugee and Migrant, UN,

2017).

Migrasi mempunyai manfaat bagi wilayah yang ditinggalkan maupun

wilayah yang dituju. Bagi wilayah yang dituju, imigran dapat menambah

persediaan tenaga kerja akibat permintaan yang tinggi. Tenaga kerja merupakan

salah satu faktor penting dalam produksi. Bertambahnya tenaga kerja yang

digunakan pada proses produksi akan berpengaruh pada bertambahnya hasil

produksi yang didapat. Hasil produksi yang tinggi akan menguntungkan bagi

produsen. Menurut Ortega dan Peri keuntungan migrasi bagi negara tujuan adalah

karena migrasi meningkatkan pasokan tenaga kerja sehingga meningkatkan

produksi dan PDB. Migrasi diketahui dapat meningkatkan produktivitas ekonomi

melalui inovasi-inovasi yang dibawa oleh migran. Beberapa kekhawatiran muncul

seperti menurunnya upah bagi tenaga kerja lokal. Faktanya, hal tersebut tidak

berpengaruh. Mengurangi migran juga tidak akan menghasilkan upah yang lebih

tinggi bagi tenaga kerja lokal karena tingkat migrasi yang lebih rendah juga akan

menurunkan tingkat pengembalian relatif terhadap modal sehingga akan

menurunkan upah (Ratha dkk, 2010: 6-7).

Menurut direktur IOM, William Lacy Swing, migrasi menunjukkan manfaat

baik di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Apabila memproyeksikan kebutuhan

tenaga kerja pada 2050, Swing mengatakan bahwa kebutuhan tenaga kerja akan

meningkat dua kali lipat karena negara-negara industri akan membutuhkan banyak

tenaga kerja sedangkan populasi tenaga kerja menurun. Hal tersebut dikarenakan

menurunnya angka kelahiran dan banyanknya populasi tenaga kerja yang menua.

20

Migrasi dianggap sebagai tonggak globalisasi karena dapat menyelesaikan

permasalahan tersebut. Tidak hanya itu, migrasi juga dianggap sebagai jembatan

multinasional dan multibudaya sehingga mendorong kreativitas dan inovasi baik

dalam industri maupun ranah seni dan budaya. Senada dengan IOM, organisasi

buruh PBB ILO berpendapat bahwa migrasi berkontribusi pada pasokan tenaga

kerja di wilayah tujuan. Tenaga kerja migran sangat diminati terutama untuk

pekerjaan bergaji rendah dan tidak membutuhkan banyak ketrampilan seperti di

sektor pertanian, cleaning service, buruh konstruksi dan asisten rumah tangga

(Cruse, 2010:8-9).

Kecenderungan migrasi saat ini sangat kompleks. Keinginan untuk

menyelamatkan diri dari gangguan keamanan atau bencana alam menjadi motivasi

pergerakan penduduk. Meskipun demikian, migrasi karena keinginan untuk

perbaikan ekonomi lebih mendominasi. Istilah yang sering digunakan untuk

merujuk pada hal tersebut adalah economic migrant (migran ekonomi). Migran

ekonomi adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang

layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat

tinggal dimanapun (Sakharina dan Kadarudin, 2016:17).

Wagiman (2012: 53) mengungkapkan dalam konsep migrasi internasional,

terdapat tiga elemen penting yang menjadi perhatian. Pertama, konsep negara

bangsa. Konsep ini memberi pemahaman penting tentang fungsi sebuah negara

yang membuat aturan tentang lalu lintas pergerakan manusia yang melewati batas

negaranya. Kedua, manusia yang melakukan perjalanan lintas negara. Lee

(1966:50) mengungkapnkan bahwa keinginan dari individu merupakan faktor

21

dominan dalam melakukan migrasi. Ketiga, faktor-faktor migrasi. Faktor-faktor

migrasi dalam konsep ini mengacu pada faktor eksternal misalnya bahaya yang

ditimbulkan manusia.

Dalam konteks Timur Tengah, pola migrasi yang terjadi dapat

dikategorisasikan menjadi tiga jenis. Pertama, migrasi paksa. Migrasi tersebut

merupakan akibat dari krisis di suatu wilayah, misalnya Suriah, Irak, Libya,

Sudan, dan Yaman. Kedua, migrasi campuran dan tidak teratur. Migrasi tersebut

biasanya dipicu oleh faktor ekonomi dan politik. Ketiga, migrasi tenaga kerja baik

teratur maupun tidak teratur. Negara-negara dengan kondisi ekonomi yang maju

mempunyai magnet untuk menarik para migran pekerja, misalnya negara-negara

Teluk, Lebanon, Libya, dan Yordania (IOM, 2017:10-11).

Secara umum orang yang melakukan migrasi disebut migran. Menurut

Jesuit Refugee Service, migran adalah orang yang memilih untuk meninggalkan

negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jika disimpulkan, migran

berpindah karena keinginan dari sendiri sedangkan pengungsi berpindah karena

terpaksa. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisakan migran sebagai seseorang

yang mengubah negara yang biasa ditinggali terlepas dari alasan migrasi atau

status hukumnya. Orang yang melakukan migrasi juga dapat disebut dengan alien

(orang asing). Berdasarkan hukum internasional, terdapat empat kategori yang

termasuk alien yaitu:

1. Asylum seeker (pencari suaka)

Suaka adalah penganugerahan perlindungan dalam wilayah suatu negara

kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara bersangkutan karena

22

menghindari pengejaran atau bahaya besar (Wagiman, 2012:92). Menurut Jesuit

Refugee Service Indonesia, pencari suaka (asylum seeker) adalah orang yang

sedang mencari perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas

batas dan sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya (Jesuit Refugee

Service, 2013). Berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948, setiap orang

mempunyai kebebasan mencari suaka untuk melindungi diri. Meskipun begitu,

permohonan suaka dilarang untuk orang yang melakukan kejahatan yang bukan

berkaitan dengan politik.

2. Displaced person (orang terlantar)

Sejak tahun 1975 PBB memakai istilah displaced person merujuk kepada

orang-orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain

yang dirasa aman, sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya,

tetapi masih berada dalam wilayah negara yang sama. Selanjutnya istilah

displaced person berkembang menjadi internally displaced person agar memberi

batasan sehingga membedakan dengan displaced person yang berada di luar

negara asal. Internally displaced person adalah orang-orang atau

kelompok-kelompok yang terpaksa atau dipaksa melarikan diri, meninggalkan

tempat biasa mereka tinggal dalam rangka menghindari konflik atau situasi rawan

yang ditandai dengan adanya tindak kekerasan, pelanggaran HAM, bencana alam

atau bencana akibat ulah manusia dan tidak dapat melintasi perbatasan negara

(Sakharina dan Kadaruddin, 2017:20).

23

3. Stateless (orang tanpa kewarganegaraan)

Kewarganegaraan adalah ikatan antara seseorang dengan suatu negara.

Kewarganegaraan memberikan identitas diri kepada seseorang. Hal yang paling

penting dari kewarganegaraan adalah seseorang memiliki dan menggunakan

berbagai macam hak yang melekat di dalamnya (UNHCR, 2010:1). Menurut

UNHCR dalam Convention Relating to the Status of Stateless Person 1945 tertulis

bahwa orang tanpa kewarganegaraan adalah orang dianggap bukan warga negara

berdasarkan ketentuan hukum negara yang bersangkutan (UNHCR, 2014:6).

Jesuit Refugee Service mengungkapkan bahwa tanpa kewarganegaraan adalah

situasi dimana tidak adanya status pengakuan berkenaan dengan hal yang

membuat seorang individu memiliki landasan yang bermanfaat secara hukum

untuk menyatakan kewarganegaraannya, atau dimana ia memiliki klaim yang

bermanfaat secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena pertimbangan

praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan akan penganiayaan

(Jesuit Refugee Service).

4. Refugee (pengungsi)

Proudfoot memberikan definisi pengungsi dalam perspektif Perang Dunia II

sebagai sekelompok orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya

penganiayaaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang dan

perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Sementara itu, Vetri mendefiniskan

pengungsi dengan merujuk pada Pasal I Konvensi 1951 yaitu seseorang atau

sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena adanya ketakutan yang

tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya penyiksaan

24

(Wagiman, 2012:98). Sedangkan PBB mendefinisikan pengungsi sebagai

orang-orang diluar negara mereka karena alasan ketakutan akan penganiayaan,

konflik, kekerasan atau keadaan yang benar-benar mengganggu ketertiban umum

dan karenanya membutuhkan perlindungan internasional (Refugee and Migrant,

UN, 2017).

Seseorang dapat dikatakan sebagai pengungsi apabila mempunyai dasar

ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya akibat kesukuan, agama,

kewaganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat

politik yang dianut. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai perlindungan bagi

dirinya sendiri oleh negara asalnya dan apabila mereka kembali ke asalnya, maka

keselamatan mereka akan terancam. Oleh karena itu, pengungsi membutuhkan

perlindungan di tempat lain. Pengungsi mempunyai akses terhadap bantuan

UNHCR dan organisasi-organisasi terkait.

Pengungsi dalam hukum internasional dibagi menjadi lima jenis yaitu

refugee sur place, statutory refugees, war refugee, mandate refugee, dan statute

refugee. Refugee sur palace adalah seseorang yang tidak termasuk pengungsi saat

ia tinggal di negaranya, tetapi kemudian menjadi pengungsi karena keadaan yang

terjadi di negaranya saat ia tidak ada. Statutory refugee adalah orang-orang yang

memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen internasional

sebelum tahun 1951. War refugee adalah mereka yang terpaksa meninggalkan

negara asalnya akibat pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau

nasional yang tidak dianggap pengungsi biasa menurut Konvensi 1951 dan

Protokol 1967. Mandate refugee dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yan

25

diakui pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat

yang ditetapkan oleh Statuta UNHCR. Statute refugee dipergunakan untuk

menunjuk pada orang-orang yang berasa di dalam wilayah negara-negara pihak

pada Konvensi 1951 dan atau Protokol 1967 (Sakharina dan Kadarudin,

2016 :25-26).

Penggunaan istilah migran dan pengungsi masih tumpang tindih. Hal

tersebut dapat berpengaruh pada pemberian perlindungan berdasarkan hukum

internasional. Hukum internasional yang memberi perlindungan bagi pengungsi

mengacu pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Sedangkan migran dilindungi

oleh Undang Undang Hak Asasi Manusia. Hal yang paling mudah untuk

membedakan migran dengan pengungsi adalah bahwa migran berpindah karena

keinginan diri sendiri sedangkan pengungsi berpindah karena paksaan. Meskipun

beberapa pendapat mengatakan bahwa pengungsi termasuk migran, tetapi migran

belum tentu pengungsi.

Setiap negara mempunyai kewajiban berupa empat prinsip dasar yang harus

dilakukan terhadap pengungsi. Pertama, negara dilarang untuk memulangkan

pengungsi ke negara asalnya. Apabila hal tersebut terjadi, maka negara dianggap

telah melanggar ketentuan dari konvensi tersebut. Kedua, negara tujuan atau

negara transit harus dapat memberikan perlindungan keamanan. Ketiga, negara

tujuan atau negara transit tidak boleh melakukan penangkapan terhadap pengungsi.

Penangkapan terhadap pengungsi tidak diperbolehkan kecuali pengungsi

melakukan kejahatan. Keempat, pengakuan dan pemberian status. Pemberian

26

status terhadap pengungsi merupakan tahap awal agar pengungsi mendapatkan

hak-hak lain (Wagiman, 2012:126).

1.5.2. Konvensi 1951 dan Protokol 1967

Negara pihak, yaitu negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol

1967 mempunyai tanggung jawab lebih terhadap keadaan pengungsi.

Amanat-amanat yang terkandung dalam konvensi tersebut harus dijalankan oleh

negara pihak. Beberapa hal dibawah ini merupakan kewajiban dari negara pihak

yang harus diberikan kepada pengungsi dirangkum dari Konvensi Pengungsi 1951,

yaitu:

1. Negara pihak akan menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi kepada

pengungsi tanpa diskriminasi atas ras, agama, atau negara asal.

2. Negara pihak akan memberikan pengungsi perlakuan seperti warga

negaranya sendiri terkait kebebasan beragama dan pendidikan.

3. Negara pihak akan menghormati hak-hak sebelumnya yang dimiliki oleh

pengungsi terutama yang berkaitan dengan perkawinan.

4. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlakuan yang sama

terhadap orang asing di negara pihak terkait perolehan kepemilikan bergerak

dan tidak bergerak serta mengenai sewa atau kontrak dari kepemilikan

bergerak atau tidak bergerak.

5. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlindungan milik

perindustrian seperti penemuan, desain atau model, merek dagang, nama

dagang, hak atas karya sastra, seni, dan ilmu pengetahuan.

27

6. Negara pihak memperbolehkan keikutsertaan pengungsi dalam

asosiasi-asosiasi non politis.

7. Negara pihak memberikan akses ke pengadilan, bantuan hukum, dan

pembebasan cautio judicatum solvi.

8. Negara pihak memperbolehkan pengungi melakukan pekerjaan yang

menghasilkan upah.

9. Negara pihak memperbolehkan pengungsi melakukan usaha sendiri seperti

pertanian, industri, kerajinan, perdagangan serta mendirikan perusahaan

dagang dan perusahaan industri.

10. Negara pihak memperbolehkan pengungsi yang tinggal secara sah di

wilayahnya dan mempunyai ijazah yang diakui oleh instansi berwenang

untuk menjalankan profesi bebas.

11. Negara pihak memberikan kepada pengungsi yang tinggal secara sah

perlakuakn sebaik mungkin terkait perumahan, pendidikan dasar, akses

studi, sertifikat-sertifikat sekolah asing, ijazah dan gelar, pembebasan biaya

dan pungutan serta pemerian beasiswa.

12. Negara pihak akan memberikan bantuan publik dan bantuan administratif

bagi pengungsi yang membutuhkan.

13. Negara pihak akan memberikan keuntungan kepada pengungsi yang bekerja

sesuai dengan peratutan ketenaga kerjaan dan jaminan sosial.

14. Negara pihak akan memberikan kebebasan kepada pengunsi untuk memilih

tempat tinggal dan untuk berpindah.

28

15. Negara pihak akan mengeluarkan surat identitas dan dokumen perjalanan

bagi pengungsi.

16. Negara pihak tidak akan membebankan bea-bea, pungutan, dan pajak

kepada pengungsi.

17. Negara pihak tidak akan memberikan hukuman kepada pengungsi yang

datang secara ilegal dari wilayahnyanya karena hidup mereka terancam.

18. Negara pihak tidak akan mengusir dan mengembalikan pengungsi dengan

cara apapun yang berada secara tidak sah serta memberika jangka waktu

untuk mengupayakan diterima masuknya seara sah.

19. Negara pihak akan melakukan berbagai upaya untuk mempercepat proses

pewarganegaraan agar pengungsi terhindar dari pungutan dan biaya dalam

prosesnya.

Amanat-amanat yang terkandung dalam Konvensi 1951 di atas menjadi

patokan bagi negara pihak untuk bertindak terhadap pengungsi. Meskipun belum

ada sanksi bagi negara pihak yang tidak mengamalkan amanat Konvensi 1951,

kesungguhan dari suatu negara untuk menangani pengungsi dapat terlihat dari

poin-poin di atas. negara pihak yang telah meratifikasi akan bertanggung jawab

penuh terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam Konvensi 1951 dan Protokol

1967.

Tiap pengungsi mempunyai kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan

Pasal 2 dalam Konvensi 1951 bahwaanya pengungsi harus menaati

undang-undang dan peraturan negara tersebut. Selain itu, pengungsi juga harus

memelihara ketertiban umum. Selain mempunyai kewajiban yang harus dilakukan,

29

pengungsi juga mendapatkan hak-hak yang telah disebutkan dalam Konvensi

1951. Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi hak bagi para pengungsi yang

telah dirangkum dari Konvensi 1951.

1. Pengungsi mendapatkan kebebasan beragama dan kebebasan terkait

pendidikan agama bagi anak-anak para pengungsi. Hal tersebut tercantum

dalam pasal 4.

2. Pengungsi berhak atas kepemilikan properti bergerak dan tidak bergerak.

Hal tersebut juga mencakup sewa dan kontrak terkait properti tersebut.

Masalah ini tercantum pada pasal 13.

3. Pengungsi mempunyai perlindungan hak milik perindustrian seperti

penemuan, desain, atau model, merek dagang, dan hakhak atas karya sastra,

seni dan ilmu. Hal tersebut tercantum dalam pasal 14.

4. Pengungsi mempunyai hak berserikat yaitu hak untuk berserikat dalam

asosiasi-asosiasi non-politis atau serikat pekerja. Hal tersebut tercantum

dalam pasal 15.

5. Pengungsi mempunyai kebebasan untuk mendapatkan akses ke pangadilan

serta bantuan hukum. Hak tersebut tercantum dalam pasal 16.

6. Pengungsi mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan

upah yang tercantum dalam pasal 17. Pengungsi yang bekerja akan

diberikan tunjangan dan jaminan sosial. Hal tersebut tercantum dalam pasal

24. Selain itu, dalam pasal 19 pengungsi juga mendapat hak untuk

menjalankan profesi bebas bagi yang mempunyai ijazah yang diakui oleh

instansi-instansi.

30

7. Pengungsi mendapat hak untuk melakukan usaha sendiri dalam pertanian,

dagang, industri, dan kerajinan. Selain itu pengungsi juga mendapat hak

untuk mendirikan perusahaan dagang dan industri. Hal tersebut tercantum

dalam pasal 18.

8. Pengungsi berhak untuk mendapatkan makanan yang memadai. Hal tersebut

tersebut tercantum dalam pasal 20.

9. Pengungsi berhak untuk mendapatkan pemukiman yang layak yang

tercantum dalam pasal 21. Selain itu, pengungsi mempunyai kebebasan

untuk berpindah tempat. Hal tersebut tercantum dalam pasal 26.

10. Pengungsi mendapat hak pendidikan dasar, kemudahan akses pendidikan

dan pemberian beasiswa. Hak tersebut tercantum dalam pasal 22.

Selain Konvensi 1951, hukum universal terkait pengungsi juga berada

dalam Protokol 1967 yang merupakan penyempurna dari Konvensi 1951. Dalam

Protokol 1967, batasan geografi dan batasan waktu bagi pengungsi dihilangkan.

Maksud dari penyataan tersebut adalah bahwa saat itu status pengungsi hanya

hanya diberikan bagi pengungsi di negara-negara Eropa akibat peristiwa yang

terjadi sebelum 1 Januari 1951. Peristiwa yang dimaskud adalah Perang Dunia II.

Meskipun mempunyai dua hukum internasional yang menjadi acuan perlindungan

bagi pengungsi, hal yang paling berpengaruh dalam memberikan perlindungan

adalah kepastian bahwa negara-negara yang merativikasi konvensi tersebut

mematuhi poin-poin konvensi secara sempurna.

31

1.6 Argumen

Berdasarkan teori yang digunakan, terdapat dua argumen yang dibawa untuk

menjawab masalah penelitian yang pertama. Pertama, apabila dilihat menurut

status migran Suriah yang melarikan diri ke Turki, maka mayoritas dari

merupakan pengungsi perang karena melarikan diri dari konflik di negaranya.

Selain pengungsi perang, beberapa dari mereka termasuk asylum seeker dan

migran ekonomi. Dilihat dari masa jangka waktu tinggal, mayoritas migran Suriah

yang terdampak konflik pada 2011 merupakan migran permanen karena tinggal di

Turki lebih dari satu tahun. Warga Suriah yang terdampak konflik 2011 mayoritas

berstatus sebagai pengungsi sehingga dilindungi secara hukum di bawah

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 serta temporary protection.

Argumen yang digunakan untuk menjawab masalah kedua dalam penelitian

ini ada empat argumen. Pertama, isu pengungsi dijadikan Turki sebagai alat

perundingan. Uni Eropa dan Turki telah membuat kesepakatan untuk

bersama-sama mengurangi jumlah pengungsi Suriah yang pergi ke wilayah Eropa.

Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengurangi imigran gelap yang menuju

Eropa melewati Turki baik dari jalur darat maupun laut. Dari kesepakatan tersebut,

Turki mendapat bantuan sebesar 3 Miliar Euro dari Uni Eropa untuk menangai

pengungsi Suriah. Tidak hanya itu, Turki mendapat keuntungan lain yaitu

mendapatkan akses visa Schengen bagi warga negara Turki.

Kedua, Turki menerima pengungsi untuk menarik investor Suriah sehingga

Turki menerima pelarian investasi dari pengusaha Suriah. Warga Suriah yang

datang ke Turki untuk mencari perlindungan tidak hanya pengungsi perang yang

32

tidak memiliki harta, tetapi juga pengusaha dan investor yang menyelamatkan diri

dari kekacauan di Suriah dengan membawa harta mereka. Beberapa pengusaha

mulai membangun bisnis di Turki untuk bertahan hidup. Mereka juga

memindahkan relasi bisnis mereka ke Turki. Dari bisnis-bisnis tersebut, Turki

diuntungkan dengan pemasukan pajak dari usaha yang didirikan dan kenaikan

nilai ekspor Turki ke wilayah Suriah.

Ketiga, ketersediaan pasokan tenaga kerja. Turki mengalami peningkatan

ekonomi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diikuti dengan permintaan

tenaga kerja yang meningkat. Jumlah pengungsi Suriah laki-laki lebih banyak

dibandingkan wanita. Dari jumlah tersebut hampir setengah dari laki-laki berada

di usia kerja. Tidak hanya itu, pengungsi yang mempunyai ketrampilan kerja tentu

dapat mengisi lowongan-lowongan yang dibutuhkan. Adanya pengungsi

merupakan stok tenaga kerja bagi sektor informal. Beberapa merek pakaian Eropa

yang mempunyai pabrik di Turki diketahui telah mempekerjakan pengungsi

Suriah baik dewasa dan anak-anak secara ilegal. Jam kerja yang sangat panjang

dan upah yang sangat minim tentu menguntungkan bagi pabrik-pabrik yang

mempekerjakan pengungsi Suriah. Banyaknya tenaga kerja akan mempengaruhi

tingkat produksi. Apabila pabrik-pabrik tersebut mempekerjakan orang lokal

secara legal maka gaji yang diberikan tentu akan lebih tinggi dibanding

mempekerjakan pengungsi sehingga merugikan mereka.

1.7 Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif.

Data-data yang digunakan pada penelitian ini berupa data kualitatif. Data diseleksi

33

atas dasar relevansi dengan masalah dan dirumuskan melalui kata-kata. Data yang

digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data-data yang telah

tersedia. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library

research (studi kepustakaan). Studi kepustakaan dilakukan dengan

mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan untuk

mengupas dan mengeksplorasi masalah yang diambil dari buku, jurnal, majalah,

koran, dan situs-situs kajian yang diakses melalui internet serta sumber-sumber

lainnya yang mempunyai relevansi dengan masalah.

Data-data yang telah terkumpul diolah dengan dikategorikan berdasarkan

fakta untuk mendukung argumen. Setelah data dikumpulkan berdasarkan

topik-topik yang sama, dari data tersebut kemudian ditarik kesimpulan. Data-data

tersebut digunakan untuk membuktikan dan menguatkan argumen yang telah

dibuat. Hasil analisis ditulis dalam sebuah laporan. Laporan yang disajikan adalah

laporan lengkap atau monograf. Laporan tersebut merupakan laporan yang

memuat proses penelitian secara menyeluruh dan dibagi ke dalam bab-bab, dan

sub bab (Nazir, 2014: 417-418).

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi ke dalam beberapa bab yang tiap babnya terdiri

dari beberapa sub bab. Bab pertama, yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang,

rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, argumen dan

hipotesis, metode penelitan dan sistematika penulisan. Bab kedua, yaitu

penjelasan tentang status warga Suriah di Turki menurut hukum internasional,

durasi tinggal di Turki dan jumlah pengungsi Suriah yang membawa atau tanpa

34

pasport. Bab ketiga, yaitu kebijakan suaka pemerintah Turki terhadap pengungsi

Suriah. Bab keempat, yaitu penjelasan berupa alasan pemerintah Turki berperan

dalam penanganan pengungsi Suriah. Bab kelima, yaitu penutup. Bab ini berisi

tentang kesimpulan dan saran saran yang berguna sebagai hal yang dapat

dipertimbangkan bagi penelitian selanjutnya.