bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fenomena Arab Spring yang mulai terjadi pada tahun 2010 di beberapa
negara di Timur Tengah masih berlangsung hingga saat ini. Fenomena yang
berawal dari Tunisia tersebut kemudian menjalar ke negara-negara sekitarnya
seperti Mesir, Libya, Suriah, dan Aljazair. Pemerintahan yang otoriter dan
penyalahgunaan kekuasaan merupakan faktor yang melatarbelakangi terjadinya
Arab Spring. Selain itu, faktor ekonomi seperti kondisi ekonomi yang menurun
dan meningkatnya jumlah pengangguran akibat kurangnya lapangan kerja juga
dianggap sebagai penyebab terjadinya Arab Spring (Mujani dan Musa, 2015:153).
Kondisi tersebut memicu keinginan masyarakat yang tidak puas dengan kinerja
pemerintah untuk menumbangkan rezim berkuasa melalui gelombang-gelombang
protes.
Tidak semua gelombang protes yang terjadi di Timur Tengah tersebut
berhasil menggulingkan rezim otoriter berkuasa. Tunisia, Libya, Mesir, dan
Yaman merupakan negara-negara yang pemimpinnya berhasil digulingkan pada
masa Arab Spring. Gelombang protes di Mesir bahkan dapat menggulingkan dua
pemimpin yaitu Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi. Beda halnya dengan
negara-negara tersebut. Fenomena Arab Spring yang terjadi di Suriah masih
belum berakhir hingga saat ini. Arab Spring di Suriah bermula dari gelombang
protes di Deraa pada Maret 2011, dilakukan oleh para orang tua yang anaknya
2
ditangkap oleh polisi wilayah Deraa. Anak-anak tersebut membuat coretan di
dinding sekolah mereka bertulisan As Shaab Yoreed Eskaat en Nizam yang artinya
“Rakyat ingin atau menumbangkan rezim”. Tulisan tersebut dianggap
pembangkangan oleh pemerintah Suriah sehingga anak-anak tersebut ditangkap
dan dipenjara. Gelombang protes tersebut ditanggapi oleh kelompok militer Assad
dengan agresif sehingga menewaskan puluhan orang dan ratusan orang lainyya
terluka (Phillips, 2012:37). Kejadian tersebut memicu terjadinya gelombang
protes di wilayah lain di Suriah. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap rezim
Assad bertambah dan berakibat pada keinginan masyarakat untuk menggulingkan
Bashar al-Assad.
Keinginan masyarakat Suriah untuk menggulingkan Bashar al-Assad belum
berhasil hingga saat ini. Bashar al-Assad mulai memimpin Suriah pada tahun
2000 tepat setelah kematian ayahnya, Hafizh al-Assad (Agastya, 2013:163).
Pemerintahan yang diwarisi Bashar al-Assad adalah rezim semi-otoriter yang
berlindung dibawah demokrasi, tetapi masih mengandalkan badan intelijen dan
keamanan untuk menekan gerakan-gerakan reformasi (Syria Institute, 2015).
Faktanya, kepemimpinan Bashar al-Assad tidak berbeda jauh dengan ayahnya,
Hafiz al-Assad. Dalam urusan politik, masyarakat masih dibatasi untuk
berpartisipasi dan media massa juga tidak diberi kebebasan (Rosyada, 2017:3). Isu
sektarian dalam pemerintahan Assad lebih sensitif terkait Syiah dan Sunni. Hal
tersebut dikarenakan mayoritas penduduk Suriah adalah Sunni sedangkan yang
memegang pemerintahan adalah Syiah yang merupakan minoritas.
3
Pemerintahan Bashar al-Assad yang didukung militer menjadikan Suriah
sebagai daerah konflik yang panas dan rumit. Tidak hanya itu, isu tentang senjata
kimia yang digunakan Suriah untuk menyerang warga sipil juga menyeret
Amerika Serikat dan sekutunya ikut terjun langsung dalam mengatasi konflik
(Agastya, 2013:182). Meskipun pemerintah Suriah membantah penggunaan
senjata kimia untuk memerangi warga sipil, Amerika Serikat tetap melancarkan
serangan terhadap pangkalan militer Suriah. Kejadian tersebut tentu memperkeruh
konflik yang sudah terjadi di Suriah. Berbagai pihak ikut campur tangan dengan
membawa kepentingan masing-masing dengan dalih membantu penyelesaian
konflik. Kepentingan-kepentingan tersebut justru menjadikan konflik Suriah
semakin sulit untuk diatasi.
Faktor teologi, politik, dan ekonomi diyakini menjadikan keadaan Suriah
seperti saat ini. Bashar al-Assad sebagai kepala negara merupakan penganut Syiah
Alawi sedangkan mayoritas rakyat Suriah meupakan penganut Sunni. Bermula
dari hal tersebut, negara lain dengan ideologi yang sama mulai ikut campur dan
mendukung salah satu pihak baik pemerintahan Bashar al-Assad ataupun oposisi.
Iran dengan jelas mendukung pemerintahan Bashar al-Assad karena kesamaan
keyakinan yang dianut. Bagi Iran, Suriah merupakan akses bagi kelompok
Hizbullah Lebanon untuk mengancam Israel dengan rudal jarak dekat.
Selanjutnya, Rusia dan Cina mendukung pemerintahan Bashar al-Assad karena
faktor ekonomi. Rusia merupakan pemasok senjata terbesar bagi Suriah. Selain itu,
Rusia juga mempunyai kepentingan yang sama dengan Suriah yaitu menghentikan
pengaruh Amerika Serikat terutama di kawasan Timur Tengah (Yan, CNN, 2013).
4
Apabila melihat uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa Suriah merupakan
medan perang bagi banyak kepentingan dari berbagai negara yang ikut campur di
dalamnya. Hal tersebut membuat masyarakat internasional kebingungan untuk
meminta pertanggungjawaban kepada siapa atas apa yang terjadi di Suriah. Satu
hal yang dapat dipastikan dari fenomena ini adalah bahwa konflik di Suriah
merupakan tragedi kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir dan perlu segera diatasi.
Apabila tidak segera dihentikan, maka warga sipil akan terus menjadi korban dari
konflik tersebut. Warga Suriah yang terjebak di wilayah peperangan antara oposisi
dan rezim pemerintah terpaksa menyelamatkan diri dengan mengungsi.
Beberapa waktu lalu, dunia dihebohkan dengan foto seorang anak yang
terdampar dan sudah tidak bernyawa di salah satu pantai di Turki. Anak yang
bernama Aylan Kurdi tersebut merupakan salah satu imigran dari Suriah. Dia dan
beberapa orang lainnya ingin mencari perlindungan ke Yunani dengan
menyeberangi laut. Dari peristiwa itu terlihat bahwa kampung halaman mereka
sudah tidak aman dan nyaman untuk ditinggali akibat konflik yang terjadi.
Mencari tempat perlindungan yang aman merupakan kebutuhan yang mendesak
bagi mereka sehingga keselamatan diri sendiri diabaikan. Foto Aylan Kurdi yang
menjadi korban konflik di Suriah tersebut menjadi viral dan menyentuh hati
banyak orang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak warga sipil yang menjadi korban
konflik di Suriah. Krisis politik dan keamanan yang tidak terjamin memaksa
mereka menjadi pengungsi. Menurut data dari UNHCR yang diperbarui pada 1
Juni 2017, pengungsi Suriah saat ini berjumlah lebih dari 5 juta pengungsi (Syrian
5
Regional Refugee Respon, 2017). Secara kuantitas, arus pengungsi Suriah yang
mencari suaka ke negara lain semakin bertambah tiap tahunnya. Negara-negara
yang berada di sekitar Suriah seperti Turki dan wilayah Uni Eropa menjadi tempat
tujuan bagi para pengungsi. Uni Eropa dipilih sebagai tujuan untuk mencari suaka
selain dikarenakan kedekatan geografis juga karena kemapanan ekonomi di
kawasan tersebut. Berbagai cara dilakukan pengungsi Suriah untuk menuju negara
tujuan baik melewati jalur darat maupun laut menggunakan kapal-kapal kecil.
Banyak dari warga Suriah mencari perlindungan ke wilayah-wilayah tersebut
secara ilegal karena mereka tidak dilengkapi surat-surat dan prosedur yang telah
ditentukan.
Gambar 1. Rute Migrasi Pengungsi Suriah
(Sumber edmaps.com)
Gambar 1 memperlihatkan bahwa negara Uni Eropa yang terletak di pinggir
laut Mediterania menjadi tujuan utama para pengungsi atau tempat persinggahan
6
sementara untuk melanjutkan migrasi ke negara Uni Eropa lain. Menurut data
UNHCR, pada April 2011-Oktober 2017 tercatat 996.204 permohonan suaka dari
Suriah kepada negara-negara di Eropa (Syrian Regional Refugee Respon, 2017).
Beberapa negara Uni Eropa mempunyai kebijakan untuk menerima pengungsi dan
sebagian lainnya menutup rapat akses untuk pengungsi atau sekedar
memperbolehkan melintas. Selain dengan mengajukan permohonan suaka,
satu-satunya cara yang dapat digunakan pengungsi Suriah adalah dengan menjadi
imigran ilegal. Hal tersebut dikarenakan kondisi yang memaksa mereka untuk
melakukannya.
Turki merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Suriah.
Perbatasan darat Turki-Suriah sepanjang 822 kilometer. Tidak hanya itu, Turki
meupakan satu-satunya negara yang menerapkan Open Door Policy di kawasan
Timur Tengah. Open Door Policy adalah kebijakan suatu negara yang
mengijinkan pengungsi, pencari suaka, dan pekerja asing untuk menetap, bekerja
serta menikmati perlindungan sosial dan hukum tanpa diskriminasi (Pertiwi, 2016:
219). Kebijakan Open Door Policy ini tidak dimiliki oleh negara-negara yang
berada di sekitar Suriah seperti Israel, Kuwait, dan Arab Saudi. Kebijakan tersebut
memberi kemudahan bagi pengungsi Suriah untuk mencari perlindungan ke Turki.
Menurut data UNHCR, hingga Oktober 2017 pengungsi Suriah yang berada
di Turki tercatat lebih dari 2,9 juta pengungsi (Syrian Refional Refugee Respon,
2017). Turki menjadi negara yang paling banyak menampung pengungsi Suriah.
Turki memberikan status pengungsi bagi warga Suriah melalui temporary
protection. Melalui status tersebut, pengungsi Suriah dapat mengakses bantuan
7
dari berbagai lembaga nasional dan internasional yang menangani masalah
pengungsi. Turki memberikan fasilitas kamp bagi pengungsi Suriah. Dari kamp
tersebut, pengungsi dapat mengakses bantuan makanan, kesehatan, pendidikan,
lapangan kerja, uang tunai, pelatihan bahasa, dan pelatihan ketrampilan. Turki
menyediakan pendidikan gratis dan tempat pendidikan sementara bagi anak-anak
Suriah. Turki juga memberikan beasiswa pendidikan tinggi bagi mahasiswa
Suriah yang ingin berkuliah di Turki (3RP Report, 2017).
Dalam memberi pelayanan kesehatan, Turki memberikan bantuan kepada
pengungsi dengan menyediakan posko kesehatan di setiap kamp pengungsi yang
dilengkapi dengan penerjemah bahasa untuk mempermudah komunikasi dengan
pasien. Pada 2017, Turki memberdayakan 100 tenaga medis Suriah dengan
memberi pelatihan agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem kesehatan di
Turki. Turki juga memberikan suntikan vaksin campak, difteri, polio, dan
hepatitis B bagi anak-anak pengungsi Suriah. Pada 2017, pemerintah Turki telah
memberikan vaksin kepada 360.000 anak pengungsi Suriah. Bagi pengungsi yang
mengalami depresi akibat konflik dan migrasi, fasilitas rehabilitasi dan pelayanan
telah tersedia. Bantuan alat bantu dengar dan prostesis lain diberikan bagi
pengungsi yang membutuhkan (3RP, 2017:24).
Turki juga memberikan akses bagi warga Suriah yang ingin bekerja di
sektor formal Turki dengan mengajukan permohonan izin kerja pada Kemeterian
Tenaga Kerja Turki setelah terdaftar sebagai pengungsi. Bagi pengungsi yang
ingin berwirausaha, mereka mendapat dan bantuan untuk modal usaha dan diberi
pelatihan ketrampilan (3RP Report, 2017). Turki memperbolehkan pengungsi
8
Suriah untuk tinggal di luar kamp mereka sehingga mereka tidak bergantung pada
bantuan pemerintah Turki. Lebih dari 90% pengungsi Suriah tinggal di luar kamp
pengungsian. Meskpiun tinggal di luar kamp, pengungsi masih dapat mengakses
bantuan yang disediakan oleh pemerintah Turki. Hingga Agustus 2015, Turki
mengeluarkan dana untuk menangani pengungsi Suriah sebesar 1,6 miliar dolar.
Dana tersebut digunakan untuk memberikan bantuan dan perlindungan bagi
pengungsi Suriah yang berada di Turki. Dari jumlah tersebut, Turki telah
menerima 400 juta dolar dari bantuan internasional (Amalia, 2017:52). Turki
bekerjasama dengan berbagai lembaga internasional untuk memfasilitasi
pengungsi yang berada di negaranya.
Dari pernyataan di atas, Turki terlihat bersungguh-sungguh untuk membantu
dan menangani pengungsi Suriah, padahal saat ini Turki berada dalam kondisi
tidak berhubungan baik dengan pemerintah Suriah. Semenjak Suriah bergejolak,
Turki merupakan salah satu negara yang mulai mengkritik kepemimpinan Bashar
al-Assad karena banyaknya jumlah warga sipil yang menjadi korban. Presiden
Turki, Recep Tayep Erdogan mengritik keras tindakan pemerintah Suriah karena
menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan gelombang protes. Hal
tersebut mengakibatkan puluhan rakyat Suriah tewas dan ratusan lain mengalami
luka-luka. Dimulai dari peristiwa tersebut, Turki terus menerus meminta Suriah
untuk melakukan reformasi dalam pemerintahan dan meminta Bashar al-Assad
untuk mundur dari jabatannya. Bahkan, Recep Tayep Erdogan menyamakan
Bashar al-Assad dengan Hittler karena telah melakukan pembunuhan terhadap
bangsanya sendiri (Euronews, 2011). Akan tetapi, seruan dan kritikan yang
9
dilontarkan Turki tidak ditanggapi. Assad tidak bergeming dan masih menduduki
kursi kepala negara di Suriah.
Pada awalnya, Erdogan tidak menginginkan Assad untuk turun dari kursi
pemerintahan karena kedua negara tersebut telah menjalin kedekatan sebagai
bukti nyata hubungan Turki dengan negara Arab. Hubungan Turki dengan negara
Arab merupakan hasil dari kebijakan luar negeri AKP yang ingin memiliki
hubungan baik dengan negara Arab. Bagi Turki, Suriah merupakan pintu gerbang
menuju dunia Arab baik secara ekonomi maupun politik (D’Alema, 2017:5).
Turki dan Suriah mempunyai kerjasama-kerjasama yang menguntungkan kedua
belah pihak di berbagai bidang. Turki berharap untuk mempertahankan
hubungannya dengan Suriah. Turki menawarkan kepada pemerintah Suriah untuk
melakukan reformasi sebagai salah satu cara meredam konflik yang terjadi. Turki
mencoba mempengaruhi pemerintah Suriah untuk menghentikan kekerasan
terhadap warga sipil. Assad tidak menanggapi seruan Turki sehingga semua
inisiatif yang digagas Turki gagal. Dikarenakan hal tersebut, Turki mulai secara
terang-terangan mengkritisi pemerintah Bashar al-Assad (Islam, 2015:16).
Erdogan terus mendesak Assad melakukan reformasi karena kekerasan yang
meningkat dan munculnya pengungsi yang telah tiba di Turki. Meskipun
demikian, Assad tidak bergeming dan masih menjabat sebagai kepala
pemerintahan. Turki kemudian memfasilitasi oposisi pemerintah Suriah terutama
Ikhwanul Muslimin yang terakomodasi melalui Syrian National Council. Pada
Juni 2011, Turki memberikan dukungan terhadap FSA yang juga oposisi dari
pemerintah Suriah (Islam, 2015:17). Hal tersebut menjadikan pemerintah Suriah
10
mengambil sikap untuk mendukung PKK dan PYD yang dinyatakan Turki
sebagai kelompok teroris bagi negaranya dengan memberi wilayah di perbatasan
Suriah-Turki.
Hubungan pemerintah Turki dengan Suriah yang berjalan dengan tidak baik
terus menerus berlanjut. Turki bekerjasama dengan aliansinya yang disebut
Friends of Syria beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Arab Saudi
dan Qatar mendukung oposisi Bashar al-Assad dengan mengirim persenjataan ke
FSA (Altunsik, 2016:41). Keuangan dan persenjataan FSA juga didukung oleh
negara-negara Teluk (Joya, 2012:32). Sementara itu Suriah mulai bergantung pada
dukungan Iran, Irak, dan Hizbullah. Iran mendukung Suriah secara optimal
melalui penyediaan persenjataan bagi milisi pro Assad. Iran tidak menginginkan
rezim Assad jatuh karena akan melemahkan kekuatan Syiah di Timur Tengah
(Fulton dkk, 2013:6). Hal tersebut akan berakibat pada menguatnya blok Sunni
yang dipimpin oleh Arab Saudi dan Qatar. Akhirnya, pergolakan di Suriah
memicu terbentuknya aliansi sektarian di Timur Tengah.
Turki memberdayakan pemberontak nasionalis di sepanjang perbatasan.
Pada akhir 2012, afiliasi Jabhat al-Nushra dan al-Qaeda muncul sebagai kelompok
anti-Assad yang paling berguna bagi Turki. Kelompok tersebut aktif di Idlib dan
sering melakukan bom bunuh diri sebagai strategi utama dalam menyerang rezim
Assad. Kelompok ini sering dikaitkan dengan al-Qaeda (Itani dan Stein, 2016:5).
Turki juga diduga mendukung ISIS dengan menyediakan persenjataan, pelatihan,
mengizinkan jihadis bebas melewati perbatasan, dan mengizinkan ISIS menjual
minyak mentah Suriah melalui Turki. AKP masih menganggap bahwa ISIS
11
melindungi Sunni di Suriah dari rezim Syiah. AS kemudian mendesak Turki
untuk menutup akses bagi anggota ISIS yang melewati perbatasan Turki-Suriah.
Akhirnya, Turki menutup akses lintasan bagi anggota ISIS tetapi tidak menarik
dukungan bagi organisasi jihad lainnya yaitu, Jabhat el-Nushra dan Ahrar al-Sham
( Hinnebusch, 2015:18-19).
Permusuhan antara pemerintah Turki dan Suriah berdampak pada tindakan
saling serang antardua negara tersebut. Mereka sempat beberapa kali saling
melakukan serangan yang sering diklaim salah sasaran atau ketidaksengajaan.
Pada 22 Juni 2012, pesawat tempur F-4 Turki ditembak jatuh oleh militer Suriah
saat berada dalam misi latihan. Insiden tersebut menewaskan dua pilot Turki.
Assad memberikan pernyataan bahwa insiden tersebut merupakan
ketidaksengajaan. Mililter Suriah mengira bahwa pesawat tersebut adalah milik
Angkata Udara Israel yang pernah menyerang Suriah pada 2007. Assad
menambahkan bahwa militer Suriah yang menembak pesawat Turki tidak
dilengkapi dengan radar sehingga tidak dapat mengetahui negara pemilik pesawat
tersebut. Assad dengan tegas membantah tudingan bahwa militer Suriah sengaja
menembak pesawat Turki. Insiden tersebut menjadikan ketegangan antara
Turki-Suriah semakin panas (BBC, 2012).
Pada 11 Mei 2013, terjadi ledakan bom di Reyhanli, kota di provinsi Hatay
yang berbatasan dengan Suriah. Ledakan tersebut menewaskan kurang lebih 40
orang dan 100 orang lainnya luka-luka. Turki menduga ada keterlibatan
Mukhabarat (badan intelijen Suriah) dalam insiden tersebut (BBC, 2013). Akibat
insiden ini, perlintasan Yayladagi ditutup selama sebulan untuk warga Suriah.
12
Hanya warga Turki yang tiba dari Suriah dan warga non Suriah yang
diperbolehkan melintas (Republika, 2013). Hal tersebut tentu mempersulit
pengungsi Suriah yang ingin mencari perlindungan.
Ketegangan antara Turki dan Suriah masih terus berlanjut. Pada 16
September 2014, ISIS menyerang kota Kobane di Suriah dan berhasil
menguasainya. Atas desakan internasional, Turki mengizinkan Pashmerga,
pejuang Kurdi-Irak untuk melintasi wilayahnya dan bergabung dengan pejuang
yang lain untuk melawan ISIS di Kobane. Turki hanya mengizinkan Pashmerga
bukan orang-orang Kurdi yang berafiliasi dengan PKK. Pada kenyataannya,
sekelompok pemberontak Suriah berjumlah 50 orang yang merupakan anggota
dari FSA ikut melewati Turki untuk membantu kelompok pejuang Kurdi di
Kobane (The Guardian, 2014). Suriah mengecam pemerintah Turki karena dengan
sengaja memperbolehkan pejuang oposisi memasuki Suriah melalui wilayahnya
(RT, 2014).
Pada Mei 2015, Turki mengklaim bahwa pesawat militernya F-16 telah
menembak jatuh pesawat tempur milik Suriah. Pesawat tersebut ditembak saat
mencoba untuk menerobos wilayah perbatasan antara Turki-Suriah (Sindonews,
2015). Suriah menyatakan bahwa pesawat tersebut bukanlah pesawat yang
berawak manusia. Pesawat tersebut hanyalah drone kecil yang melintas di wilayah
tersebut. Selain kejadian ini, Turki sempat beberapa kali menembak jatuh pesawat
tempur Suriah pada 2014 dan 2013 (Detiknews, 2015).
Jauh sebelum itu, hubungan Turki dan Suriah memang tidak begitu baik
terutama masalah air. Pada tahun 1970, Turki membuat sebuah bendungan di
13
sungai Eufrat yang rampung pada tahun 1980. Karena bendungan tersebut, air
yang mengalir ke Suriah menjadi terbatas. Suriah merasa tidak adil karena air
yang mengalir ke Suriah telah dikuras habis oleh Turki akibat pembangungan
bendungan tersebut. Akan tetapi, Turki berpendapat bahwa sungai yang melintas
pada suatu negara akan menjadi milik negera tersebut dan apabila sudah melintasi
perbatasan maka akan aliran tersebut menjadi milik negara lain (Carley, 1995:16).
Turki merasa dapat melakukan apa saja terkait aliran air yang melintas di
wilayahnya. Permasalahan air di Timur Tengah memang hal yang krusial dan
dapat merambah ke permasalahan politik.
Apabila merujuk pada pernyataan-pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa
Turki memiliki sikap yang kontradiktif. Di satu sisi, Turki memiliki hubungan
yang tidak baik dengan pemerintah Suriah terutama pada masa the Arab Spring.
Turki menjadi pendukung oposisi nomor satu bagi pemerintah Suriah. Bahkan
Turki menginginkan Bashar al-Assad untuk melepaskan jabatannya. Tidak hanya
itu, permusuhan kedua negara tersebut sempat beberapa kali terlihat dari tindakan
saling serang dengan kekuatan militer. Apabila Turki masih mengikuti sikap
ketidaksukaannya dengan pemerintah Suriah dan menginginkan kehancuran
pemerintahan Bashar al-Assad, maka Turki akan mengabaikan para pengungsi
dan membiarkan pemerintah Suriah menanggung permasalahan pengungsi
sendirian. Faktanya, pemerintah Turki mengambil resiko besar dengan
menampung pengungsi Suriah. Bahkan Turki menjadi negara nomor satu dengan
pengungsi Suriah terbanyak. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mencari
14
alasan-alasan dibalik kesanggupan Turki dalam menampung pengungsi Suriah
dengan mengkaji profil pengungsi Suriah secara mendalam.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya,
maka permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana status warga Suriah yang berada di Turki hingga Oktober 2017?
2. Mengapa pemerintah Turki menerima Pengungsi Suriah?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengandung tujuan keilmuwan/ teoretis dan tujuan praktis.
Tujuan keilmuan/teoretis terkait dengan kontribusi terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan. Penelitian merupakan akumulasi dari ilmu pengetahuan. Oleh
karena itu, penelitian ini berkontribusi dalam pengembangan ilmu yang berkaitan
dengan Timur Tengah. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui alasan
pemerintah Turki turut berperan dalam penanganan pengungsi Suriah.
Selain tujuan teoretis, tujuan praktis dari penelitian ini adalah memberikan
gambaran terhadap masyarakat umum tentang situasi politik Timur Tengah
terutama terkait pengungsi Suriah yang berada di Turki. Gambaran tersebut ditulis
secara objektif sehingga masyarakat mempunyai rujukan informasi yang tidak
tendensius. Tidak hanya itu, penelitian ini juga dapat berguna sebagai referensi
bagi akademisi lain yang ingin mengembangkan penelitian lebih lanjut terkait
Timur Tengah.
15
1.4 Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terkait pengungsi akibat konflik di Timur Tengah telah
ditemukan salah satunya ditulis Ani Kartikas Sari (2015) dengan judul Upaya Uni
Eropa dalam Menangani Pengungsi dari Negara Mediterania Selatan di
Kawasan Eropa. Dari tulisan tersebut dapat disimpulkan bahwa Uni Eropa telah
melakukan berbagai upaya dalam menangani pengungsi seperti mensetarakaan
sistem suaka melalu CEAS (Common European Asylum Support Office). Selain
itu, Uni Eropa juga menerapkan kebijakan ENP (European Neighbourhood Policy)
yatitu kebijakan untuk membatu negara-negara tetangga Uni Eropa termasuk
negara-negara Mediterania Selatan untuk mempercepat proses demokratisasi.
Meskipun begitu, upaya-upaya yang telah dilakukan Uni Eropa belum dirasa
maksimal.
Penelitian terkait pengungsi Suriah juga pernah dilakukan oleh Fatahillah
(2015) dengan judul Upaya United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Suriah di Lebanon Tahun 2011-2013.
Dalam penelitian tersebut UNHCR berperan aktif dalam memfasilitasi para
pengungsi dan berkoordinasi untuk penyelesaian masalah. UNHCR memberikan
bantuan secara material dalam jangka pendek seperti bantuan kesehatan,
ketersediaan tempat tinggal, dan pemenuhan kebutuhan pengungsi. Dalam
masalah ini, UNHCR mempunyai tiga peran sebagai organisasi internasional.
Pertama, UNHCR sebagai inisiator yaitu dengan mengajukan permasalahan
pengungsi Suriah kepada masyarakat internasional melalui konferensi yang
diadakan di Kuwait. Kedua, UNHCR sebagai fasilitator yaitu menyediakan
16
fasilitas bantuan secara langsung kepada pengungsi Suriah. Ketiga, UNHCR
sebagai determinator yaitu memberikan status pengungsi melalui mekanisme
refugee determination (RSD) berdasarkan konvensi 1951 tentang status
pengungsi.
Paulus Salvio Renno Renyaan (2015) juga menulis terkait pengungsi Suriah
dalam jurnal yang berjudul Perananan UNHCR dalam Perlindungan kepada
Pengungsi Korban Konflik Suriah yang Berasa di Negara Transit Hongaria.
Dalam jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa UNHCR secara umum telah
melaksanakan perannya dalam memberikan perlindungan bagi para pengungsi
Suriah seperti pemenuhan kebutuhan pokok, sandng, pangan, papan, dan
pengawasan terhadap pengungsi di Hongaria. UNHCR juga aktif dalam
bekerjasama dengan para pemberi suaka lainnya yang terdiri dari komunitas atau
organisasi berasal dari lokal maupun negara lain. kerjasama UNHCR bersama
pemberi suaka lainnya juga terkait dengan pemenuhan kebutuhan dan fasilitas
bagi pengungsi.
Penelitian selanjutnya berupa tesis yang ditulis oleh Nila Sukmaning R
(2016) yang berjudul Sikap Negara-Negara Anggota Uni Eropa dalam
Menangani Krisis Pengungsi 2015 Studi Kasus: Sikap Jerman, Italia, dan
Hungaria. Pada tulisan itu dijelaskan bahwa terdapat perbedaan dari ketiga negara
tersebut dalam menangani pengungsi Timur Tengah. Perbedaan tersebut
dilatarbelakangi oleh tiga faktor yaitu kekuatan ekonomi (dilihat dari GDP, hutang,
dan angka pengangguran), siklus kedekatan pemilu (dilihat dari perbedaan dan
17
persamaan agenda antarpartai yang bertarung menjelang pemilu) dan respon
publik (sejarah kedekatan dengan imigrasi dan persetujuan terhadap pengungsi).
Selain itu, tulisan terkait pengungsi Suriah juga ditulis oleh Titik Sumaryati
(2016) berupa makalah non seminar yang berjudul Kebijakan Pemerintah Turki
terhadap Pengungsi dari Suriah. Makalah tersebut berisi kebijakan pemerintah
Turki yang tampak dalam memfasilitasi pengungsi Suriah seperti menyiapkan
tempat hunian, mendirikan sekolah dan pemberian beasiswa, membangun klinik
kesehatan, memberikan kesempatan bekerja dengan menyediakan lapangan kerja,
dan usaha untuk mengubah kewarganegaraan pengungsi menjadi warga negara
Turki. Dari tulisan tersebut juga terlihat bahwa kebijakan Turki dalam penanganan
pengunggsi memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positif bagi Turki
adalah meningkatnya pendapatan dengan adanya pengungsi. Sedangkan dampak
negatifnya adalah Turki rentan akan terjadinya konflik karena gesekan antar
pengungsi dan masyarakat lokal.
Penelitian selanjutnya ditulis oleh Itsnaini Permata Hati (2016) dengan judul
Alasan Turki Sepakat di bawah Pemerintahan Erdogan Bekerjasama dengan Uni
Eropa dalam Penanganan Imigran. Dalam tulisan tersebut dijelaskan terkait
alasan Turki setuju untuk bekerjasama dengan Uni Eropa dalam penanganan
pengungsi Suriah. Pertama, peluang Turki untuk dinegosiasikan lebih kanjut
sebagai calon anggota Uni Eropa. Kedua, keuntungan ekonomi bagi Turki terkait
kemudahan akses visa Schengen bagi warga negara Turki. Ketiga, Uni Eropa akan
membantu Turki dalam menjaga perdamaian dan pengungsi di perbatasan Suriah
18
dan Turki. Sehingga, atas dasar alasan-alasan tersebut, keputusan Turki sepakat
dalam penangan pengungsi dengan Uni Eropa dirasa tepat.
Apabila ditinjau dari pemaparan di atas, penelitian sebelumnya banyak
membahas tentang tindakan penangan terhadap pengungsi Suriah. Tulisan ini
akan memberikan hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Konsep yang akan digunakan sebagai landasan penelitian berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini mencari alasan
pemerintah Turki menampung pengungsi Suriah dari sudut pandang lain dengan
melihat profil warga Suriah yang bermigrasi ke Turki sehingga berdampak pada
sikap pemerintah Turki yang bersedia menampung pengungsi Suriah.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Migrasi dan Migran
Migrasi dalam konteks hukum dimaknai sebagai suatu tindakan memasuki
suatu negara yang bukan negara asalnya dengan maksud untuk tinggal secara
permanen (Wagiman, 2012:49). Dalam jurnal A Theory of Migration, Lee
mendefinisikan migrasi sebagai perubahan tempat tinggal yang tidak dibatasi
jarak baik permanen maupun sementara, sukarela maupun terpaksa (Lee, 1966:
49). Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk yang melintasi negaranya
atau dari suatu negara ke negara lainnya (Wagiman, 2012:57). Migrasi menurut
PBB dapat dibedakan menjadi migrasi sementara dan migrasi permanen. Migrasi
sementara adalah migrasi jangka pendek dengan durasi antara 3-12 bulan,
sedangkan migrasi permanen adalah migrasi jangka panjang yang mengacu pada
19
perubahan tempat tinggal selama satu tahun atau lebih (Refugee and Migrant, UN,
2017).
Migrasi mempunyai manfaat bagi wilayah yang ditinggalkan maupun
wilayah yang dituju. Bagi wilayah yang dituju, imigran dapat menambah
persediaan tenaga kerja akibat permintaan yang tinggi. Tenaga kerja merupakan
salah satu faktor penting dalam produksi. Bertambahnya tenaga kerja yang
digunakan pada proses produksi akan berpengaruh pada bertambahnya hasil
produksi yang didapat. Hasil produksi yang tinggi akan menguntungkan bagi
produsen. Menurut Ortega dan Peri keuntungan migrasi bagi negara tujuan adalah
karena migrasi meningkatkan pasokan tenaga kerja sehingga meningkatkan
produksi dan PDB. Migrasi diketahui dapat meningkatkan produktivitas ekonomi
melalui inovasi-inovasi yang dibawa oleh migran. Beberapa kekhawatiran muncul
seperti menurunnya upah bagi tenaga kerja lokal. Faktanya, hal tersebut tidak
berpengaruh. Mengurangi migran juga tidak akan menghasilkan upah yang lebih
tinggi bagi tenaga kerja lokal karena tingkat migrasi yang lebih rendah juga akan
menurunkan tingkat pengembalian relatif terhadap modal sehingga akan
menurunkan upah (Ratha dkk, 2010: 6-7).
Menurut direktur IOM, William Lacy Swing, migrasi menunjukkan manfaat
baik di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Apabila memproyeksikan kebutuhan
tenaga kerja pada 2050, Swing mengatakan bahwa kebutuhan tenaga kerja akan
meningkat dua kali lipat karena negara-negara industri akan membutuhkan banyak
tenaga kerja sedangkan populasi tenaga kerja menurun. Hal tersebut dikarenakan
menurunnya angka kelahiran dan banyanknya populasi tenaga kerja yang menua.
20
Migrasi dianggap sebagai tonggak globalisasi karena dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut. Tidak hanya itu, migrasi juga dianggap sebagai jembatan
multinasional dan multibudaya sehingga mendorong kreativitas dan inovasi baik
dalam industri maupun ranah seni dan budaya. Senada dengan IOM, organisasi
buruh PBB ILO berpendapat bahwa migrasi berkontribusi pada pasokan tenaga
kerja di wilayah tujuan. Tenaga kerja migran sangat diminati terutama untuk
pekerjaan bergaji rendah dan tidak membutuhkan banyak ketrampilan seperti di
sektor pertanian, cleaning service, buruh konstruksi dan asisten rumah tangga
(Cruse, 2010:8-9).
Kecenderungan migrasi saat ini sangat kompleks. Keinginan untuk
menyelamatkan diri dari gangguan keamanan atau bencana alam menjadi motivasi
pergerakan penduduk. Meskipun demikian, migrasi karena keinginan untuk
perbaikan ekonomi lebih mendominasi. Istilah yang sering digunakan untuk
merujuk pada hal tersebut adalah economic migrant (migran ekonomi). Migran
ekonomi adalah orang-orang yang mencari pekerjaan atau penghidupan yang
layak (karena pertimbangan ekonomi) meninggalkan negaranya untuk bertempat
tinggal dimanapun (Sakharina dan Kadarudin, 2016:17).
Wagiman (2012: 53) mengungkapkan dalam konsep migrasi internasional,
terdapat tiga elemen penting yang menjadi perhatian. Pertama, konsep negara
bangsa. Konsep ini memberi pemahaman penting tentang fungsi sebuah negara
yang membuat aturan tentang lalu lintas pergerakan manusia yang melewati batas
negaranya. Kedua, manusia yang melakukan perjalanan lintas negara. Lee
(1966:50) mengungkapnkan bahwa keinginan dari individu merupakan faktor
21
dominan dalam melakukan migrasi. Ketiga, faktor-faktor migrasi. Faktor-faktor
migrasi dalam konsep ini mengacu pada faktor eksternal misalnya bahaya yang
ditimbulkan manusia.
Dalam konteks Timur Tengah, pola migrasi yang terjadi dapat
dikategorisasikan menjadi tiga jenis. Pertama, migrasi paksa. Migrasi tersebut
merupakan akibat dari krisis di suatu wilayah, misalnya Suriah, Irak, Libya,
Sudan, dan Yaman. Kedua, migrasi campuran dan tidak teratur. Migrasi tersebut
biasanya dipicu oleh faktor ekonomi dan politik. Ketiga, migrasi tenaga kerja baik
teratur maupun tidak teratur. Negara-negara dengan kondisi ekonomi yang maju
mempunyai magnet untuk menarik para migran pekerja, misalnya negara-negara
Teluk, Lebanon, Libya, dan Yordania (IOM, 2017:10-11).
Secara umum orang yang melakukan migrasi disebut migran. Menurut
Jesuit Refugee Service, migran adalah orang yang memilih untuk meninggalkan
negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jika disimpulkan, migran
berpindah karena keinginan dari sendiri sedangkan pengungsi berpindah karena
terpaksa. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisakan migran sebagai seseorang
yang mengubah negara yang biasa ditinggali terlepas dari alasan migrasi atau
status hukumnya. Orang yang melakukan migrasi juga dapat disebut dengan alien
(orang asing). Berdasarkan hukum internasional, terdapat empat kategori yang
termasuk alien yaitu:
1. Asylum seeker (pencari suaka)
Suaka adalah penganugerahan perlindungan dalam wilayah suatu negara
kepada orang-orang dari negara lain yang datang ke negara bersangkutan karena
22
menghindari pengejaran atau bahaya besar (Wagiman, 2012:92). Menurut Jesuit
Refugee Service Indonesia, pencari suaka (asylum seeker) adalah orang yang
sedang mencari perlindungan untuk mendapatkan status sebagai pengungsi lintas
batas dan sedang menunggu proses pengakuan akan klaimnya (Jesuit Refugee
Service, 2013). Berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948, setiap orang
mempunyai kebebasan mencari suaka untuk melindungi diri. Meskipun begitu,
permohonan suaka dilarang untuk orang yang melakukan kejahatan yang bukan
berkaitan dengan politik.
2. Displaced person (orang terlantar)
Sejak tahun 1975 PBB memakai istilah displaced person merujuk kepada
orang-orang yang meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke tempat lain
yang dirasa aman, sebagai akibat terjadinya konflik bersenjata di negara asalnya,
tetapi masih berada dalam wilayah negara yang sama. Selanjutnya istilah
displaced person berkembang menjadi internally displaced person agar memberi
batasan sehingga membedakan dengan displaced person yang berada di luar
negara asal. Internally displaced person adalah orang-orang atau
kelompok-kelompok yang terpaksa atau dipaksa melarikan diri, meninggalkan
tempat biasa mereka tinggal dalam rangka menghindari konflik atau situasi rawan
yang ditandai dengan adanya tindak kekerasan, pelanggaran HAM, bencana alam
atau bencana akibat ulah manusia dan tidak dapat melintasi perbatasan negara
(Sakharina dan Kadaruddin, 2017:20).
23
3. Stateless (orang tanpa kewarganegaraan)
Kewarganegaraan adalah ikatan antara seseorang dengan suatu negara.
Kewarganegaraan memberikan identitas diri kepada seseorang. Hal yang paling
penting dari kewarganegaraan adalah seseorang memiliki dan menggunakan
berbagai macam hak yang melekat di dalamnya (UNHCR, 2010:1). Menurut
UNHCR dalam Convention Relating to the Status of Stateless Person 1945 tertulis
bahwa orang tanpa kewarganegaraan adalah orang dianggap bukan warga negara
berdasarkan ketentuan hukum negara yang bersangkutan (UNHCR, 2014:6).
Jesuit Refugee Service mengungkapkan bahwa tanpa kewarganegaraan adalah
situasi dimana tidak adanya status pengakuan berkenaan dengan hal yang
membuat seorang individu memiliki landasan yang bermanfaat secara hukum
untuk menyatakan kewarganegaraannya, atau dimana ia memiliki klaim yang
bermanfaat secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena pertimbangan
praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan akan penganiayaan
(Jesuit Refugee Service).
4. Refugee (pengungsi)
Proudfoot memberikan definisi pengungsi dalam perspektif Perang Dunia II
sebagai sekelompok orang yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya
penganiayaaan, deportasi secara paksa, atau pengusiran orang-orang dan
perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Sementara itu, Vetri mendefiniskan
pengungsi dengan merujuk pada Pasal I Konvensi 1951 yaitu seseorang atau
sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena adanya ketakutan yang
tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya penyiksaan
24
(Wagiman, 2012:98). Sedangkan PBB mendefinisikan pengungsi sebagai
orang-orang diluar negara mereka karena alasan ketakutan akan penganiayaan,
konflik, kekerasan atau keadaan yang benar-benar mengganggu ketertiban umum
dan karenanya membutuhkan perlindungan internasional (Refugee and Migrant,
UN, 2017).
Seseorang dapat dikatakan sebagai pengungsi apabila mempunyai dasar
ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya akibat kesukuan, agama,
kewaganegaraan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat
politik yang dianut. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai perlindungan bagi
dirinya sendiri oleh negara asalnya dan apabila mereka kembali ke asalnya, maka
keselamatan mereka akan terancam. Oleh karena itu, pengungsi membutuhkan
perlindungan di tempat lain. Pengungsi mempunyai akses terhadap bantuan
UNHCR dan organisasi-organisasi terkait.
Pengungsi dalam hukum internasional dibagi menjadi lima jenis yaitu
refugee sur place, statutory refugees, war refugee, mandate refugee, dan statute
refugee. Refugee sur palace adalah seseorang yang tidak termasuk pengungsi saat
ia tinggal di negaranya, tetapi kemudian menjadi pengungsi karena keadaan yang
terjadi di negaranya saat ia tidak ada. Statutory refugee adalah orang-orang yang
memenuhi kriteria sebagai pengungsi menurut instrumen-instrumen internasional
sebelum tahun 1951. War refugee adalah mereka yang terpaksa meninggalkan
negara asalnya akibat pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau
nasional yang tidak dianggap pengungsi biasa menurut Konvensi 1951 dan
Protokol 1967. Mandate refugee dipergunakan untuk menunjuk orang-orang yan
25
diakui pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang, atau mandat
yang ditetapkan oleh Statuta UNHCR. Statute refugee dipergunakan untuk
menunjuk pada orang-orang yang berasa di dalam wilayah negara-negara pihak
pada Konvensi 1951 dan atau Protokol 1967 (Sakharina dan Kadarudin,
2016 :25-26).
Penggunaan istilah migran dan pengungsi masih tumpang tindih. Hal
tersebut dapat berpengaruh pada pemberian perlindungan berdasarkan hukum
internasional. Hukum internasional yang memberi perlindungan bagi pengungsi
mengacu pada Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Sedangkan migran dilindungi
oleh Undang Undang Hak Asasi Manusia. Hal yang paling mudah untuk
membedakan migran dengan pengungsi adalah bahwa migran berpindah karena
keinginan diri sendiri sedangkan pengungsi berpindah karena paksaan. Meskipun
beberapa pendapat mengatakan bahwa pengungsi termasuk migran, tetapi migran
belum tentu pengungsi.
Setiap negara mempunyai kewajiban berupa empat prinsip dasar yang harus
dilakukan terhadap pengungsi. Pertama, negara dilarang untuk memulangkan
pengungsi ke negara asalnya. Apabila hal tersebut terjadi, maka negara dianggap
telah melanggar ketentuan dari konvensi tersebut. Kedua, negara tujuan atau
negara transit harus dapat memberikan perlindungan keamanan. Ketiga, negara
tujuan atau negara transit tidak boleh melakukan penangkapan terhadap pengungsi.
Penangkapan terhadap pengungsi tidak diperbolehkan kecuali pengungsi
melakukan kejahatan. Keempat, pengakuan dan pemberian status. Pemberian
26
status terhadap pengungsi merupakan tahap awal agar pengungsi mendapatkan
hak-hak lain (Wagiman, 2012:126).
1.5.2. Konvensi 1951 dan Protokol 1967
Negara pihak, yaitu negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol
1967 mempunyai tanggung jawab lebih terhadap keadaan pengungsi.
Amanat-amanat yang terkandung dalam konvensi tersebut harus dijalankan oleh
negara pihak. Beberapa hal dibawah ini merupakan kewajiban dari negara pihak
yang harus diberikan kepada pengungsi dirangkum dari Konvensi Pengungsi 1951,
yaitu:
1. Negara pihak akan menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi kepada
pengungsi tanpa diskriminasi atas ras, agama, atau negara asal.
2. Negara pihak akan memberikan pengungsi perlakuan seperti warga
negaranya sendiri terkait kebebasan beragama dan pendidikan.
3. Negara pihak akan menghormati hak-hak sebelumnya yang dimiliki oleh
pengungsi terutama yang berkaitan dengan perkawinan.
4. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlakuan yang sama
terhadap orang asing di negara pihak terkait perolehan kepemilikan bergerak
dan tidak bergerak serta mengenai sewa atau kontrak dari kepemilikan
bergerak atau tidak bergerak.
5. Negara pihak akan memberikan kepada pengungsi perlindungan milik
perindustrian seperti penemuan, desain atau model, merek dagang, nama
dagang, hak atas karya sastra, seni, dan ilmu pengetahuan.
27
6. Negara pihak memperbolehkan keikutsertaan pengungsi dalam
asosiasi-asosiasi non politis.
7. Negara pihak memberikan akses ke pengadilan, bantuan hukum, dan
pembebasan cautio judicatum solvi.
8. Negara pihak memperbolehkan pengungi melakukan pekerjaan yang
menghasilkan upah.
9. Negara pihak memperbolehkan pengungsi melakukan usaha sendiri seperti
pertanian, industri, kerajinan, perdagangan serta mendirikan perusahaan
dagang dan perusahaan industri.
10. Negara pihak memperbolehkan pengungsi yang tinggal secara sah di
wilayahnya dan mempunyai ijazah yang diakui oleh instansi berwenang
untuk menjalankan profesi bebas.
11. Negara pihak memberikan kepada pengungsi yang tinggal secara sah
perlakuakn sebaik mungkin terkait perumahan, pendidikan dasar, akses
studi, sertifikat-sertifikat sekolah asing, ijazah dan gelar, pembebasan biaya
dan pungutan serta pemerian beasiswa.
12. Negara pihak akan memberikan bantuan publik dan bantuan administratif
bagi pengungsi yang membutuhkan.
13. Negara pihak akan memberikan keuntungan kepada pengungsi yang bekerja
sesuai dengan peratutan ketenaga kerjaan dan jaminan sosial.
14. Negara pihak akan memberikan kebebasan kepada pengunsi untuk memilih
tempat tinggal dan untuk berpindah.
28
15. Negara pihak akan mengeluarkan surat identitas dan dokumen perjalanan
bagi pengungsi.
16. Negara pihak tidak akan membebankan bea-bea, pungutan, dan pajak
kepada pengungsi.
17. Negara pihak tidak akan memberikan hukuman kepada pengungsi yang
datang secara ilegal dari wilayahnyanya karena hidup mereka terancam.
18. Negara pihak tidak akan mengusir dan mengembalikan pengungsi dengan
cara apapun yang berada secara tidak sah serta memberika jangka waktu
untuk mengupayakan diterima masuknya seara sah.
19. Negara pihak akan melakukan berbagai upaya untuk mempercepat proses
pewarganegaraan agar pengungsi terhindar dari pungutan dan biaya dalam
prosesnya.
Amanat-amanat yang terkandung dalam Konvensi 1951 di atas menjadi
patokan bagi negara pihak untuk bertindak terhadap pengungsi. Meskipun belum
ada sanksi bagi negara pihak yang tidak mengamalkan amanat Konvensi 1951,
kesungguhan dari suatu negara untuk menangani pengungsi dapat terlihat dari
poin-poin di atas. negara pihak yang telah meratifikasi akan bertanggung jawab
penuh terhadap pasal-pasal yang tercantum dalam Konvensi 1951 dan Protokol
1967.
Tiap pengungsi mempunyai kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan
Pasal 2 dalam Konvensi 1951 bahwaanya pengungsi harus menaati
undang-undang dan peraturan negara tersebut. Selain itu, pengungsi juga harus
memelihara ketertiban umum. Selain mempunyai kewajiban yang harus dilakukan,
29
pengungsi juga mendapatkan hak-hak yang telah disebutkan dalam Konvensi
1951. Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi hak bagi para pengungsi yang
telah dirangkum dari Konvensi 1951.
1. Pengungsi mendapatkan kebebasan beragama dan kebebasan terkait
pendidikan agama bagi anak-anak para pengungsi. Hal tersebut tercantum
dalam pasal 4.
2. Pengungsi berhak atas kepemilikan properti bergerak dan tidak bergerak.
Hal tersebut juga mencakup sewa dan kontrak terkait properti tersebut.
Masalah ini tercantum pada pasal 13.
3. Pengungsi mempunyai perlindungan hak milik perindustrian seperti
penemuan, desain, atau model, merek dagang, dan hakhak atas karya sastra,
seni dan ilmu. Hal tersebut tercantum dalam pasal 14.
4. Pengungsi mempunyai hak berserikat yaitu hak untuk berserikat dalam
asosiasi-asosiasi non-politis atau serikat pekerja. Hal tersebut tercantum
dalam pasal 15.
5. Pengungsi mempunyai kebebasan untuk mendapatkan akses ke pangadilan
serta bantuan hukum. Hak tersebut tercantum dalam pasal 16.
6. Pengungsi mempunyai hak untuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan
upah yang tercantum dalam pasal 17. Pengungsi yang bekerja akan
diberikan tunjangan dan jaminan sosial. Hal tersebut tercantum dalam pasal
24. Selain itu, dalam pasal 19 pengungsi juga mendapat hak untuk
menjalankan profesi bebas bagi yang mempunyai ijazah yang diakui oleh
instansi-instansi.
30
7. Pengungsi mendapat hak untuk melakukan usaha sendiri dalam pertanian,
dagang, industri, dan kerajinan. Selain itu pengungsi juga mendapat hak
untuk mendirikan perusahaan dagang dan industri. Hal tersebut tercantum
dalam pasal 18.
8. Pengungsi berhak untuk mendapatkan makanan yang memadai. Hal tersebut
tersebut tercantum dalam pasal 20.
9. Pengungsi berhak untuk mendapatkan pemukiman yang layak yang
tercantum dalam pasal 21. Selain itu, pengungsi mempunyai kebebasan
untuk berpindah tempat. Hal tersebut tercantum dalam pasal 26.
10. Pengungsi mendapat hak pendidikan dasar, kemudahan akses pendidikan
dan pemberian beasiswa. Hak tersebut tercantum dalam pasal 22.
Selain Konvensi 1951, hukum universal terkait pengungsi juga berada
dalam Protokol 1967 yang merupakan penyempurna dari Konvensi 1951. Dalam
Protokol 1967, batasan geografi dan batasan waktu bagi pengungsi dihilangkan.
Maksud dari penyataan tersebut adalah bahwa saat itu status pengungsi hanya
hanya diberikan bagi pengungsi di negara-negara Eropa akibat peristiwa yang
terjadi sebelum 1 Januari 1951. Peristiwa yang dimaskud adalah Perang Dunia II.
Meskipun mempunyai dua hukum internasional yang menjadi acuan perlindungan
bagi pengungsi, hal yang paling berpengaruh dalam memberikan perlindungan
adalah kepastian bahwa negara-negara yang merativikasi konvensi tersebut
mematuhi poin-poin konvensi secara sempurna.
31
1.6 Argumen
Berdasarkan teori yang digunakan, terdapat dua argumen yang dibawa untuk
menjawab masalah penelitian yang pertama. Pertama, apabila dilihat menurut
status migran Suriah yang melarikan diri ke Turki, maka mayoritas dari
merupakan pengungsi perang karena melarikan diri dari konflik di negaranya.
Selain pengungsi perang, beberapa dari mereka termasuk asylum seeker dan
migran ekonomi. Dilihat dari masa jangka waktu tinggal, mayoritas migran Suriah
yang terdampak konflik pada 2011 merupakan migran permanen karena tinggal di
Turki lebih dari satu tahun. Warga Suriah yang terdampak konflik 2011 mayoritas
berstatus sebagai pengungsi sehingga dilindungi secara hukum di bawah
Konvensi 1951 dan Protokol 1967 serta temporary protection.
Argumen yang digunakan untuk menjawab masalah kedua dalam penelitian
ini ada empat argumen. Pertama, isu pengungsi dijadikan Turki sebagai alat
perundingan. Uni Eropa dan Turki telah membuat kesepakatan untuk
bersama-sama mengurangi jumlah pengungsi Suriah yang pergi ke wilayah Eropa.
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengurangi imigran gelap yang menuju
Eropa melewati Turki baik dari jalur darat maupun laut. Dari kesepakatan tersebut,
Turki mendapat bantuan sebesar 3 Miliar Euro dari Uni Eropa untuk menangai
pengungsi Suriah. Tidak hanya itu, Turki mendapat keuntungan lain yaitu
mendapatkan akses visa Schengen bagi warga negara Turki.
Kedua, Turki menerima pengungsi untuk menarik investor Suriah sehingga
Turki menerima pelarian investasi dari pengusaha Suriah. Warga Suriah yang
datang ke Turki untuk mencari perlindungan tidak hanya pengungsi perang yang
32
tidak memiliki harta, tetapi juga pengusaha dan investor yang menyelamatkan diri
dari kekacauan di Suriah dengan membawa harta mereka. Beberapa pengusaha
mulai membangun bisnis di Turki untuk bertahan hidup. Mereka juga
memindahkan relasi bisnis mereka ke Turki. Dari bisnis-bisnis tersebut, Turki
diuntungkan dengan pemasukan pajak dari usaha yang didirikan dan kenaikan
nilai ekspor Turki ke wilayah Suriah.
Ketiga, ketersediaan pasokan tenaga kerja. Turki mengalami peningkatan
ekonomi yang sangat pesat. Perkembangan tersebut diikuti dengan permintaan
tenaga kerja yang meningkat. Jumlah pengungsi Suriah laki-laki lebih banyak
dibandingkan wanita. Dari jumlah tersebut hampir setengah dari laki-laki berada
di usia kerja. Tidak hanya itu, pengungsi yang mempunyai ketrampilan kerja tentu
dapat mengisi lowongan-lowongan yang dibutuhkan. Adanya pengungsi
merupakan stok tenaga kerja bagi sektor informal. Beberapa merek pakaian Eropa
yang mempunyai pabrik di Turki diketahui telah mempekerjakan pengungsi
Suriah baik dewasa dan anak-anak secara ilegal. Jam kerja yang sangat panjang
dan upah yang sangat minim tentu menguntungkan bagi pabrik-pabrik yang
mempekerjakan pengungsi Suriah. Banyaknya tenaga kerja akan mempengaruhi
tingkat produksi. Apabila pabrik-pabrik tersebut mempekerjakan orang lokal
secara legal maka gaji yang diberikan tentu akan lebih tinggi dibanding
mempekerjakan pengungsi sehingga merugikan mereka.
1.7 Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif.
Data-data yang digunakan pada penelitian ini berupa data kualitatif. Data diseleksi
33
atas dasar relevansi dengan masalah dan dirumuskan melalui kata-kata. Data yang
digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder, yaitu data-data yang telah
tersedia. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library
research (studi kepustakaan). Studi kepustakaan dilakukan dengan
mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang dapat dipergunakan untuk
mengupas dan mengeksplorasi masalah yang diambil dari buku, jurnal, majalah,
koran, dan situs-situs kajian yang diakses melalui internet serta sumber-sumber
lainnya yang mempunyai relevansi dengan masalah.
Data-data yang telah terkumpul diolah dengan dikategorikan berdasarkan
fakta untuk mendukung argumen. Setelah data dikumpulkan berdasarkan
topik-topik yang sama, dari data tersebut kemudian ditarik kesimpulan. Data-data
tersebut digunakan untuk membuktikan dan menguatkan argumen yang telah
dibuat. Hasil analisis ditulis dalam sebuah laporan. Laporan yang disajikan adalah
laporan lengkap atau monograf. Laporan tersebut merupakan laporan yang
memuat proses penelitian secara menyeluruh dan dibagi ke dalam bab-bab, dan
sub bab (Nazir, 2014: 417-418).
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi ke dalam beberapa bab yang tiap babnya terdiri
dari beberapa sub bab. Bab pertama, yaitu pendahuluan yang berisi latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, argumen dan
hipotesis, metode penelitan dan sistematika penulisan. Bab kedua, yaitu
penjelasan tentang status warga Suriah di Turki menurut hukum internasional,
durasi tinggal di Turki dan jumlah pengungsi Suriah yang membawa atau tanpa
34
pasport. Bab ketiga, yaitu kebijakan suaka pemerintah Turki terhadap pengungsi
Suriah. Bab keempat, yaitu penjelasan berupa alasan pemerintah Turki berperan
dalam penanganan pengungsi Suriah. Bab kelima, yaitu penutup. Bab ini berisi
tentang kesimpulan dan saran saran yang berguna sebagai hal yang dapat
dipertimbangkan bagi penelitian selanjutnya.