bab i pendahuluan 1.1. latar...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia yang masih memiliki ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional (TN) dan kawasan konservasi lainnya merupakan aset umum yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Taman Nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu. Pembentukan Taman Nasional merupakan upaya sistimatis dari negara untuk proteksi lingkungan agar tidak mengalami kerusakan sehingga tetap melindungi dan melestarikan sumber-sumber penting tersebut. Keberlangsungan sumber daya alam hayati ini penting bagi kelangsungan sifat alamiah dari alam, serta dapat dikatakan sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, dan juga merupakan sumber devisa bagi negara. Sumber alam ini mempunyai nilai besar, dan pengelolaannya melibatkan berbagai kepentingan di dalamnya, baik masyarakat yang berada di dalam dan sekitarnya, pemerintah maupun pemilik modal. Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini dimanfaatkan sebesar- besarnya bagi kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. (Rudolf, 2006: 1)

Upload: phamtuyen

Post on 03-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Menurut pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Taman Nasional

adalah kawasan pelestarian alam yang ada di Indonesia yang masih memiliki ekosistem

asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi.

Taman Nasional (TN) dan kawasan konservasi lainnya merupakan aset umum

yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati

dan jasa lingkungan. Taman Nasional secara khusus ditetapkan untuk pelestarian

tempat dengan perwakilan ekosistem tertentu dan melindungi jenis-jenis tumbuhan dan

hewan yang unik dan khas untuk daerah tertentu. Pembentukan Taman Nasional

merupakan upaya sistimatis dari negara untuk proteksi lingkungan agar tidak

mengalami kerusakan sehingga tetap melindungi dan melestarikan sumber-sumber

penting tersebut. Keberlangsungan sumber daya alam hayati ini penting bagi

kelangsungan sifat alamiah dari alam, serta dapat dikatakan sebagai sumber ekonomi

bagi masyarakat, dan juga merupakan sumber devisa bagi negara. Sumber alam ini

mempunyai nilai besar, dan pengelolaannya melibatkan berbagai kepentingan di

dalamnya, baik masyarakat yang berada di dalam dan sekitarnya, pemerintah maupun

pemilik modal. Keanekaragaman sumber daya alam hayati ini dimanfaatkan sebesar-

besarnya bagi kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun secara tidak

langsung. (Rudolf, 2006: 1)

2

Salah satu taman nasional yang ada di Indonesia yaitu Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango (TNGGP). TNGGP adalah Unit Pelaksana Teknis Pusat Direktorat

Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (UPT PHKA) Kementerian

Kehutanan berkedudukan di Cibodas Cipanas Cianjur. TNGGP merupakan salah satu

dari 5 (lima) Taman Nasional pertama di Indonesia yang diumumkan oleh Menteri

Pertanian pada tanggal 6 Maret 1980 dengan luas 15.196 Ha. Kemudian TNGGP

mengalami perluasan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-

II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang penunjukan dan perubahan fungsi kawasan cagar

alam, taman wisata alam, hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas pada kelompok

hutan gunung gede pangrango. Surat keputusan tersebut ditindaklanjuti dengan berita

acara serah terima pengelolaan hutan dari Perum Perhutani unit III Jawa Barat dan

Banten kepada Balai Besar TNGGP No. 002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan

No.1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus 2009, menyatakan bahwa luas kawasan yang

diserahkan 7.655,030 ha sehingga luas total TNGGP menjadi 22.851,030 ha. Secara

administratif berada di Kabupaten Cianjur (Bidang Pengelolaan TN Wilayah I Cianjur),

Kabupaten Sukabumi (Bidang Pengelolaan TN Wilayah II Sukabumi dan Kabupaten

Bogor (Bidang PTN Wilayah III Bogor ). Sebagai UPT PHKA Kementerian Kehutanan

yang berada di wilayah, TNGGP dalam pengelolaannya tidak dapat berdiri sendiri atau

senantiasa berkoordinasi dengan instansi yang mengelola administratif wilayah baik

dengan Pemerintah Kabupaten Cianjur, Pemerintah Kabupaten Sukabumi dan

Pemerintah Kabupaten Bogor juga stakeholders lain yang berada di ketiga wilayah

tersebut.

Dari sisi sejarah sebagai suatu kawasan konservasi, kawasan Gunung Gede

Pangrango, sebelum ditetapkan sebagai TN sejatinya memiliki rangkaian sejarah serta

3

landasan hukum panjang sejak tahun 1889 pada masa pemerintah Hindia Belanda, yang

diawali dengan penetapan Kebun Raya Cibodas dan areal hutan di atasnya sebagai

kawasan flora Pegunungan Pulau Jawa dan Cagar Alam.

TNGGP memiliki keanekaragaman hayati berupa fauna khas endemik Jawa,

seperti Macan Tutul (Panthera Pardus Javanicus), Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi),

Owa Jawa (Hylobatus Moloch), Surili (presbytis comata), trenggiling (Manis

Javanica), Kancil (Tragulus Javanicus), Kijang (Muntiacus Muntjak). Disamping itu

terdapat pula flora formasi hutan hujan tropis Pegunungan seperti Puspa (Schima

Wallicie), Rasamala (Altingia Excelsa), Jamuju (Podocarpus Imbricatus), Edelweiss

(Anaphalis Javanica), Kantong Semar (Nepenthes Gymnamphora) dan Rafflesia

Rochusseni. Karena memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi sangat menarik

bagi wisatawan, ilmuwan dan pelajar untuk meneliti kawasan ini .

Pada perkembangannya kawasan TNGGP penting bagi Kabupaten Bogor,

Sukabumi dan Cianjur untuk penyangga kehidupan dan sumber air. Selain itu, TNGGP

memiliki nilai strategis yang menjadi penyangga Ibukota Jakarta terutama dalam hal

hydrologi dan pengendali iklim. Secara ekonomi kawasan ini mampu menjadi salah satu

andalan pendukung pertumbuhan ekonomi di tiga wilayah kabupaten tersebut.

Peranan penting kawasan Gunung Gede Pangrango tersebut belum sepenuhnya

didukung oleh kondisi ekosistem Gunung Gede Pangrango itu sendiri. Dengan kata lain

kawasan TNGGP saat ini dapat dikatakan sedang mengalami tekanan yang tinggi yang

disebabkan karena gangguan akibat berbagai aktivitas manusia yang sangat intensif di

sekitarnya. Gangguan tersebut berupa: (1) perubahan fungsi lahan secara regional; (2)

terganggunya hábitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa khas; (3) degradasi ekosistem;

4

dan (4) pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik masyarakat melalui

proses sertifikasi lahan kawasan taman nasional menjadi hak milik masyarakat.

Secara umum pengalihan status lahan kawasan TN menjadi lahan milik

masyarakat melalui proses klaim 29,4 ha lahan Batu Karut, menggunakan mekanisme

penerbitan sertifikat tanah. Pengalihan status tersebut merupakan salah satu dari

berbagai persoalan agraria yang muncul di Indonesia. Persoalan agraria tersebut bisa

memicu konflik kepentingan yang tidak mudah diselesaikan. Konflik agraria di

Indonesia tersebut bukan sekedar masalah hukum semata, masalah agraria selalu

menyangkut konflik kepentingan lain yaitu masalah sosial, budaya, politik dan

ekonomi.

Konflik agraria menurut Ausland selalu meyangkut tentang jaringan-jaringan

sosial yang menjadi sarana bagi para pihak yang berkonflik untuk mendapatkan sumber

daya tanah. Salah satu agen yang sering terlibat dalam konflik agraria adalah para

investor. Mereka ini biasanya berkepentingan untuk mengembangkan proyek-proyek

pembangunan guna menanamkan modalnya yang memerlukan tersedianya tanah. Di

Botabek, Bandung Raya, Priangan Timur dan Cirebon, konflik agraria diwarnai oleh

masuknya investor yang bergerak dibidang sarana-sarana konsumsi kolektif misalnya

perumahan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan sebagainya ( Wiradi, 2009:27).

Di Jawa Barat, konflik agraria juga terus meningkat khususnya di sektor

kehutanan, misalnya adanya kasus klaim tanah di TNGGP. Dalam kasus tersebut pihak

TNGGP kehilangan wilayahnya yaitu Petak 5 Batu Karut Bogor seluas 29,4 Ha yang

diklaim sebagai milik masyarakat dan terindikasi muncul mulai tahun 2006.

Konflik agraria kehutanan diatas ternyata bukan antara pihak TNGGP dengan

masyarakat tetapi sesungguhnya antara TNGGP berhadapan dengan pihak swasta yaitu

5

PT. Pasir Mas Perkasa (PMP). Oleh karena itu peta konflik menjadi sangat kompleks

sehingga perlu dikaji lebih mendalam untuk memahami mengenai pola-pola

kepentingan dan kontestasi dari para pihak dalam memperebutkan hak atas tanah yang

dipersengketakan.

1.2. Rumusan Masalah

Konflik perebutan kepemilikan lahan di TNGGP adalah perebutan hak milik

Petak 5 Batu Karut seluas 29,4 Ha. Di satu Pihak TNGGP mempunyai dasar hukum

dalam mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut, sementara di pihak lain masyarakat

juga mengklaim sehingga mensertifkatkan tanah tersebut meskipun di belakangnya

ada pihak swasta dalam hal ini PT PMP yang menggunakan legalitas kepemilikan

sertifikat atas nama masyarakat. Dengan kata lain ada lain ada “kerjasama” antara

swasta dan masyarakat untuk melakukan upaya kontrol atas Petak 5 Batu Karut.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana para aktor-

aktor dalam mengembangkan argumentasi dan strategi untuk mendapatkan akses,

kepemilikan dan kemanfaatan atas Petak 5 Batu Karut tersebut. Oleh karena, itu

rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengapa pihak swasta dalam hal ini PT. PMP mengklaim kepemilikan Blok Batu

Karut padahal masuk dalam pengelolaan TNGGP?

2. Mengapa masyarakat yang menjadi kepanjangan tangan PT. PMP dalam menguasai

obyek dengan cara menyertifikatkan tanah Blok Batu Karut ?

3. Bagaimana kontestasi pihak TNGGP dan PT. PMP dalam memperjuangkan

kepentingan menguasai Blok Batu Karut ?

6

4. Bagaimana solusi konflik kepemilikan Blok Batu Karut yang dilakukan oleh

TNGGP dan PT PMP ?

1.3.Tujuan Penelitian :

Berdasarkan pokok rumusan masalah tersebut diatas maka, tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan latar belakang munculnya konflik kepemilikan tanah Blok Batu

Karut ?

2. Untuk menjelaskan tentang peran kepentingan stakeholder dalam menguasai Blok

Batu Karut ?

3. Untuk menjelaskan Kekuatan dan strategi kontestasi stakeholder ?

4. Untuk merumuskan opsi kebijakan resolusi konflik yang bisa dilakukan dalam

konflik Blok Batu Karut ?

1.4. Manfaat Penelitian :

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai

pihak terutama :

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumber informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam mengelola

sengketa pertanahan .

2. Kegunaan Praktis

Bagi TNGGP, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bogor, Pemerintah Daerah

Kabupaten Bogor dan Masyarakat dapat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan

yang berkaitan dengan masalah pertanahan atau konflik pemanfaatan sumber daya alam

di TNGGP.

1.5. Tinjauan Pustaka

7

Tinjauan pustaka ini dimaksudkan menyajikan beberapa hasil penelitian tentang

konflik pemanfaatan agraria, pertanahan, sumber daya alam yang lebih dulu dilakukan

baik dengan objek TNGGP maupun diluar TNGGP. Umumnya studi yang dilakukan

membahas permasalahan yang terjadi di areal eks Perhutani (kawasan perluasan) dan

penanganannya bersifat sosial persuasive, mengingat dikawasan areal perluasan banyak

sekali aktivitas masyarakat yang sudah sangat bergantung di dalam kawasan sehingga

penangannya cenderung mengedepankan sisi pendekatan dan pemberdayaan agar

masyarakat lebih memahami nilai penting dari kawasan konservasi. Adapun penelitian

tersebut antara lain sebagai berikut :

Penelitian Karsodi (2007) meneliti tentang “Analisis Areal Eks Tumpang Sari

Perum Perhutani di Wilayah Perluasan TNGGP (studi kasus di dusun Gunung Putri

Desa Sukatani Resort Gunung Putri Seksi Konservasi Wilayah III Cianjur TNGGP)”

membahas konflik di areal eks Perhutani yang dijadikan kawasan konservasi. Studinya

menjelaskan tentang karakteristik pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di areal

perluasan TNGGP ini. Dari hasil penelitian yang dilakukan di dapat hasil bahwa

Konflik yang terjadi berakar dari kurangnya lahan untuk pertanian sedangkan dengan

laju pertambahan penduduk kebutuhan akan lahan meningkat, kurangnya komunikasi

antara para pihak, kurangnya komunikasi, diantara masing-masing pihak, adanya

perbedaan kepentingan, pemahaman, peningkatan jumlah penduduk, keterbatasan

akses terhadap sumber daya alam dan keterpurukan ekonomi. Konflik masyarakat

dengan Perhutani adalah konflik terbuka, akan tetapi konflik masyarakat dengan taman

nasional setalah ada perluasan adalah konflik mencuat. Sedangkan konflik taman

nasional dengan stekholders lainnya adalah konflik laten. Menurut levelnya konflik

yang sudah terjadi setelah adanya perluasan taman nasional adalah konflik horisontal

8

dan konflik vertikal. Dikelompokan dan dianalisis berdasarkan kriteria-kriterianya

maka konflik yang terjadi termasuk konflik kepentingan dan konflik struktural.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Handasari (2013) dengan judul

“Pengelolaan Resolusi Konflik Agraria Kawasan TNGGP: Sikap dan Strategi Bertahan

Petani.” Studinya untuk mengetahui sampai sejauhmana resolusi konflik yang

dilakukan TNGGP mampu menyelesaikan persoalan penggarapan lahan di kawasan

perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang Cianjur. Hasil penelitian

yang dilakukan dihasilkan bahwa pengelolaan resolusi konflik yang dilakukan TNGGP

di kawasan perluasan TNGGP di Desa Ciputri Blok Sarongge Girang Cianjur,

menyebabkan gabungan kelompok tani hutan yang ada yaitu Gapoktan Sawargi

terpecah menjadi dua, yakni kelompok yang telah menyatakan keluar dari garapan dan

kelompok yang masih menggarap di kawasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

sikap yang dihasilkan oleh kedua kategori kelompok tani tersebut sama-sama positif.

Hal ini menunjukkan bahwa sikap terbentuk berdasarkan fakta sosial yang berlaku di

dalam Gapoktan Sawargi. Pada tingkat ketergantungan petani penggarap dan tingkat

resistensi petani yang masih menggarap tidak terdapat hubungan. Hal ini dikarenakan

keputusan strategi bertahan muncul akibat adanya pergolakan dari collective action akan

kebutuhan lahan tiap individu dan disisi lain sikap muncul akibat adanya tekanan dari

fakta sosial yang berlaku di dalam Gapoktan Sawargi.

Selanjutnya penelitian Hidayana (2011) dengan judul “Kajian Konflik di

Kawasan Hutan Konservasi : Studi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun Salak”.

Penelitian dilakukan terhadap adanya villa liar di dalam kawasan TNGHS. Penelitian

memfokuskan pada perbedaan pola konflik yang terjadi dan upaya resolusi konflik

atau penanganan yang berbeda dilakukan Kementerian Kehutanan dalam hal ini

9

TNGHS terhadap dua jenis masyarakat yang berbeda (masyarakat biasa dan public

figure). Meskipun produk hukum kehutanan secara tegas mengatur hal penegakan

hukum non diskriminatif terhadap pelaku pelanggaran, namun kasus “villa yang

dianggap liar” menunjukkan bahwa figure memiliki peranan yang penting dalam pola

konflik dan resolusi. Hasil penelitian menghasilkan beberapa kesimpulan bahwa benang

kusut pengelolaan hutan di Indonesia tidak terlepas dari ketidakseriusan dan

ketidaksiapan aparat dalam menangani persoalan-persoalan yang menyangkut

perbedaan persepsi konservasi, batasan kewenangan, dan tanggung jawab antar instansi/

lembaga Negara, klaim kepemilikan dan akses terhadap sumber daya hutan.

Ketidakseriusan tersebut menyebabkan persoalan lahan dikawasan konservasi semakin

berlarut-larut bahkan semakin melebar dan sulit untuk diselesaikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Marina dan Dharmawan (2011) di Taman

Nasional Halimun Salak yang membahas tentang “Analisis Konflik Sumber Daya Hutan

di Kawasan Konservasi”. Penelitian ini memfokuskan pada penguraian mengenai

bagaimana sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya

alam, serta bentuk-bentuk penyelesaian yang telah dilakukan untuk meredam konflik di

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Hasil penelitian ini adalah bahwa : Konflik

kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai sejak tahun 1970-an, ketika hak

pengelolaan hutan dipegang oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara

hutan-hutan milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Kemudian Keadaan

bertambah parah saat pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.

175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-

Salak menjadi 113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun pemukiman masyarakat,

10

baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk dalam

kawasan konservasi sehingga kegiatan pertanian pun menjadi terbatas.

Dari sisi kontestasi para pihak akan coba disajikan juga Konflik lahan

penambangan Pasir Besi di Kulon Progo yang ditulis Cahyono, Yanuardi dan Sauki

(2010) merupakan kasus menarik dimana disatu sisi negara sebagai pihak yang

diharapkan mampu menyelesaikan konflik, akan tetapi disisi akan tetapi dalam kasus

ini negara juga sebagai pihak yang menimbulkan konflik. Dalam konteks konflik pasir

besi kulon progo merupakan bentuk kolaborasi antara “negara” yang tercermin lewat

keraton Ngayogyakarta dan pakualaman berkolaborasi dengan kekuatan perusahaan

asing yang juga di dukung oleh Pemerintah Daerah Kulon Progo. Ketiga kekuatan ini

berhadapan langsung dengan masyarakat yang mempertahankan basis hidupnya dari

sektor pertanian. Konflik muncul ketika kondisi ekonomi masyarakat petani Kulon

Progo yang sudah mulai merasakan perubahan nasib menggarap lahan pertanian di

Kulon progo yang kaya akan pasir besi melalui berbagai inovasi yang dilakukan oleh

masyarakat.

Kemudian penelitian Alting (2013) dengan judul “Konflik Penguasaan Tanah di

Maluku Utara : Rakyat versus Penguasa dan Pengusaha”. Karateristik konflik

pertanahan yang melibatkan pemerintah dan pengusaha dengan masyarakat pemegang

hak dimana penanaman modal dilakukan di wilayah Provinsi Maluku Utara dalam

penelitian ini dibatasi pada lingkup permasalahan, sebagai berikut. Pertama, bagaimana

pola Konflik tanah yang terjadi di Provinsi Maluku Utara dan kedua, bagaimana bentuk

penyelesaian konflik tanah yang dapat memenuhi rasa keadilan para pihak yang

bersengketa. Dari hasil penelitian Alting di sebutkan Konflik penguasaan tanah terjadi

hampir diseluruh pelosok tanah air dimana terdapat investasi. Persoalan mendasar yang

11

menjadi akar konflik adalah penghargaan terhadap hak atas tanah serta pemberian

kompensasi/ganti rugi yang dianggap tidak layak bagi masyarakat. Berbagai cara dan

pendekatan penyelesaian telah dilakukan, namun konflik tetap ada bahkan sampai

melahirkan korban jiwa bagi masyarakat. Negara sebagai organisasi kekuasaan yang

diharapkan dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa, namun tidak dapat berperan

banyak, karena disatu sisi pemerintah mengharapkan adanya investasi dari penanaman

modal guna memperoleh devisa, disisi lain masyarakat mengklaim tanah yang diberikan

tersebut merupakan kepemilikan mereka. Diperlukan rekonseptualisasi hubungan

penguasaan tanah dalam rangka penanaman modal tidak dilakukan melalui pelepasan

atau penyerahan hak, akan tetapi melalui suatu perjanjian hak pakai/sewa antara

perusahaan dan pemilik tanah untuk jangka waktu tertentu dengan pemberian

kompensasi kepada masyarakat. Dengan model tersebut, hubungan kepemilikan

masyarakat tidak akan putus, dan setelah masa perjanjian penggunaan berakhir tanah

tersebut kembali kepada masyarakat. Alting lebih menyoroti bagaimana konflik terjadi

antara masyarakat berhadapan langsung dengan pengusaha dan penguasa. Peran

pemerintah (penguasa) dalam penelitian ini hanya memberikan pelayanan pada

pengusaha melalui mekanisme investasi untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi tidak

mampu memberikan perlindungan kepada hak – hak masyarakat sebagai pemilik lahan,

sehingga konflik terus terjadi dan semakin meningkat.

Munculnya konflik Klaim Batu Karut oleh PMP yang juga di klaim sebagai

kawasan konservasi TNGGP menarik penulis untuk meneliti lebih jauh, untuk

menggali kontestasi dan isu yang muncul dalam klaim lahan antara perusahaan yang

memanfaatkan masyarakat lokal untuk menguasai lahan kawasan Batu Karut TNGGP.

12

Selanjutnya dalam penelitian ini juga ingin mengetahui sampai sejauhmana aspek

proses hukum mampu mengatasi persoalan klaim lahan kawasan Petak 5 Batu Karut.

1.6. Landasan Teori Dan Kerangka Alur Pikir

1.6.1. Landasan Teori

Melihat latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan terlihat

adanya dua kepentingan terhadap klaim obyek yang sama yaitu Blok Batu Karut. PT.

PMP dengan sudut padang regulasi SHM yang dimiliki, merasa sebagai pemilik syah

kawasan Blok Batu Karut di pihak lain TNGGP selaku pemangku kawasan menganggap

bahwa Blok Batu Karut sebagai bagian kawasan TNGGP yang sudah di serahkan dari

Perhutani berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003

tanggal 10 Juni 2003 dan Berita Acara Serah Terima Pengelolaan Hutan dari Perum

Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kepada Balai Besar TNGGP nomor

002/BAST-HUKAMAS/III/2009 dan nomor 1237/II-TU/2/2009 tanggal 6 Agustus

2009, sehingga berkewajiban untuk mempertahankan Blok Batu menjadi bagian

TNGGP. Untuk mengurai rumusan masalah maka penulis akan menggunakan beberapa

teori sebagai berikut :

1.6.1.1. Biografi Konflik

Menurut Johan Galtung dalam Mas‟oed (2013) konflik adalah hubungan antara

dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang „merasa”

memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Sedangkan manifestasinya kekerasan

disebutkan meliputi tindakan-tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau system

yang menyebabkan kerusakan fisik, mental, social atau lingkungan dan atau

13

menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Konflik juga dimaknai

sebagai persepsi mengenai ketidakselarasan kepentingan, atau keyakinan bahwa aspirasi

para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt dan Rubin,

1986: 10).

Meskipun demikian, Fisher dkk (2000: 6) menyatakan optimisme bahwa konflik

itu sendiri justru bisa menjadi bagian solusi suatu permasalahan, bukan dalam kapasitas

menekan konflik tetapi lebih kepada meresolusi konflik agar produktif. Resolusi

konflik dimaksudkan sebagai upaya menangani penyebab konflik dan berusaha

membangun hubungan baru yang bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang

bermusuhan atau tidak sejalan.

Kriesberg (1982:1998) mengungkapkan, bahwa ada dalam suatu konflik

terdapat suatu tahapan yang dia sebut dengan „biografi konflik‟,yang tahapan-

tahapannya berjalan siklikal. Dalam biografi konflik tersebut, secara berurutan tahapan

dimulai dari sumber konflik, kemunculan konflik, pemicu awal, eskalasi konflik,

deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil konflik dan konsekuensinya.

Sumber konflik yang terjadi adalah kondisi-kondisi laten dan aktual yang

kemudian memproduksi keyakinan atau kepercayaan tentang adanya tujuan-tujuan yang

tak selaras. Sumber konflik berasal dari adanya perbedaan kepentingan maupun

kontestasi sosial dan sifat dasar manusia yang mengikutinya. Misalnya secara internal

manusia memiliki insting agresif, mudah frustasi dan sebagainya. Secara interaksional

hubungan manusia dapat mengarah kepada dan diwarnai oleh proses-proses sosial yang

disintegrative. Hal ini lah yang secara laten maupun aktual menjadi sumber-sumber

konflik.

14

Kemunculan konflik merupakan rasa atau kesadaran kolektif yang dapat

menghasilkan ketidakpuasan dan tujuan-tujuan yang saling berlawanan dengan individu

lain menjadi sebuah rasa atau kesadaran kolektif.

Pemicu awal adalah provokasi para pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah

tindakan mengaktualkan, mengeksplisitkan, verbalisasi, realisasi dari rasa, kesadaran

atau situasi ketidakselarasan antar pihak. Provokasi umumnya berbentuk peruasi, koersi,

balas jasa, atau iming-iming material maupun non material.

Eskalasi adalah perubahan dalam unit konflik pertama, secara sosio-psikologis

berupa loyalitas dan komitmen pada tujuan/posisi yang telah ditetapkan serta sense of

crisis terhadapnya; dan kedua secara organisasional berupa perubahan kelompok dan

tompitisi dalam kepemlmpinan yang semakin sengit. Eskalasi adalah juga perubahan

dalam hubungan-hubungan antara pihak yang bertikai dalam bentuk sepihak atau

bersama yang saling menyakiti.

Sementara deeskalasi adalah perubahan dalam unit konflik, yang pertama :

secara sosio psikologis berupa sikap, tindakan atau penilaian untuk menimbang kembali

ongkos atau biaya untuk mempertahankan tujuan atau posisi awal, serta mendevaluasi

tujuan atau posisi ketika dirasakan terlalu mahal ongkosnya. Deeskalasi juga perubahan

dalam hubungan-hubungan antar pihak yang bertikai dalam bentuk hubungan yang

berbentuk secara baru, kontraksi tujuan atau posisi yaitu mempertahankan posisi atau

tujuan awal menjadi berkurang atau hilang sama sekali, dan intervensi ketika terbentuk

aturan baru atau norma baru, tercipta usaha-usaha mediasi, dan terbentuknya konteks

sosial baru.

Selanjutnya teori kriesberg tersebut juga menjelaskan tahap terminasi sebagai

proses peralihan yang rawan intervensi pihak-pihak yang berkepentingan menuju hasil

15

akhir yang idealnya memuaskan kedua belah pihak (win-win) atau setidaknya bisa

disepekati keduanya atau bisa juga jika kompromi tidak bisa dilakukan maka hasilnya

adalah win lost (menang kalah)

Selanjutnya adalah konsekuensi merupakan redefinisi atas tujuan atau posisi

dimasa-masa yang akan datang, kapasitas untuk mencapainya, potensi konflik internal

dan efek-efek lain yang muncul.

Dari kerangka teoritik yang dikemukakan di atas, menegaskan kepada kita

bahwa sebenarnya dua hal yang penting dalam memahami terjadinya suatu konflik

yaitu adanya kebutuhan dan hambatan. Terjadinya konflik tidak dengan tiba-tiba, tapi

melalui serangkaian tahapan proses, mulai dari sumber konflik, kemunculan

konflik, pemicu awal, eskalasi konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, dan hasil

konflik dan konsekuensinya.

1.6.1.2. Pemetaan Konflik

Pemetaan konflik (conflict mapping ) yang dijabarkan cukup detil oleh Simon

Fisher dkk (2000:22) dalam teorinya “mengelola konflik”, juga sangat membantu

penulis untuk menganalisa konflik sebagai sautu proses praktis dalam mengkaji dan

memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Pemetaan konflik yang

dimaksudkan fisher dkk menunjukan peta dasar konflik berupa : aktor utama dan pihak-

pihak yang terlibat dalam konflik, hubungan antar pihak yang terlibat, isu-isu pokok

yang berada di antara pihak dalam analisa konflik.

Lebih lanjut ditegaskan oleh Fisher dkk bahwa penting untuk menganalisa

konflik lebih mendalam agar lebih memahami latar belakang, sejarah dan

perkembangan terbaru; dapat mengidentifikasi semua kelompok yang terlibat bukan

16

hanya berfokus pada kelompok secara kasat mata menonjol; mampu memahami

pandangan semua kelompok dengan mengetahui hubungan antara pihak-pihak terkait;

mengidentifikasi faktor-faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik; termasuk

yang terpenting bahwa analisa konflik dapat mengajarkan kita untuk berkaca dari

kegagalan dan selanjutnya mampu meraih kesuksesan yang diharapkan (resolusi

konflik).

Ahli resolusi konflik lain, John Paul Lederach (2001) lebih menekankan

pentingnya bagi kita untuk mengetahui isu dan aktor-aktor yang terlibat dalam situasi

konflik. Identifikasi secara tepat termasuk didalamnya kepentingan masing-masing

aktor akan mengarahkan kita untuk memahami akar permasalahan menuju transformasi

konflik yang diharapkan.

1.6.2. Kerangka Alur Pikir

Berpijak dari teori diatas maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagaimana

terlihat pada gambar 1. Nampak pada gambar 1 terdapat 4 (empat) kolom yang terdiri

dari aktor yang terlibat konflik, peran dalam konflik, kepentingan yang dibawa dalam

konflik dan resolusi konflik. Kolom satu menunjukan aktor yang terlibat dalam konflik

yaitu : PMP, Masyarakat, BPN dan TNGGP. Masing-masing aktor tersebut memiliki

peran, kepentingan dan resolusi konflik yang mungkin sama namun dapat juga memiliki

peran, kepentingan dan resolusi konflik berbeda. Studi kedepan akan menggali lebih

dalam keterlibatan masing-masing aktor baik berupa peran dalam konflik, kepentingan

yang dibawa dalam konflik dan resolusi konflik yang dapat dilakukan oleh masing-

masing pihak pada konflik penguasaan Blok Batu Karut ini.

17

Tabel 1.1 Alur Kerangka Pemikiran

Print tersendiri karena landscap

18

1.7. Metode dan Teknik Penelitian

1.7.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif bersifat deskriptif yang berusaha

menginterpretasikan gejala yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Usman dan Abdi

(2012: 9) mengatakan bahwa metode kualitatif berupaya memberikan secara mendalam

tentang situasi atau proses yang diteliti. Penelitian ini menekankan pada penggalian data

melalui sumber-sumber tertulis dan wawancara dengan narasumber. Harapan dari

metode ini adalah mendapatkan data-data menyeluruh tentang situasi yang sedang di

teliti.

1.7.2. Sumber Data

Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data

yang dikumpulkan langsung dari sumber utama. Wiradi (2009: 59) menyebut bahwa

data primer adalah data yang pengumpulannya kita lakukan sendiri, artinya data tersebut

merupakan hasil pengamatan kita sendiri, hasil wawancara kita sendiri dengan orang

lain, hasil dari pengukuran kita sendiri. Kronologi permasalahan Batu Karut, mekanisme

penerbitan sertifikat, informasi terkait persoalan Batu Karut dari stakeholder lainnya,

kondisi lokasi Batu Karut, kontestasi kepentingan yang dilakukan, responden

merupakan para pihak yang berkonflik atau aliansi dalam konflik: TNGGP, BPN,

Pemda Bogor, Masyarakat, Polres Bogor, sidang pemeriksaan keterangan saksi-saksi

dan stakeholder lain.

Sementara data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui sumber kedua

seperti peta kawasan sebelum perluasan dan sesudah perluasan, peta hindia belanda,

peta zonasi, SK taman nasional sebelum dan sesudah perluasan, produk hukum

19

kementerian kehutanan seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan

menteri, surat keputusan menteri, laporan, persuratan, buku, hasil-hasil penelitian,

laporan, monografi, kamus, ensiklopedia, berita kliping media masa, web site dan lain

sebagainya.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumentasi, wawancara dan

observasi (pengamatan). Studi dokumentasi merupakan salah satu teknik yang hanya

digunakan untuk mengamati gejala-gejala suatu obyek yang diteliti dari kumpulan

dokumen yang tersedia. Studi dokumentasi dilakukan untuk mempelajari kebijakan,

program dan upaya yang dilakukan dalam persoalan Batu Karut. Dokumentasi yang

diteliti tentang surat persuratan dan data lainnya yang berkaitan dengan konflik Batu

Karut, dengan jalan mempelajari catatan-catatan seperti: persuratan, laporan-laporan,

koran, peraturan perundangan dll.

Sementara wawancara adalah kegiatan mencari bahan (keterangan, pendapat)

melalui tanya jawab lisan dengan siapa saja yang diperlukan. Wawancara diadakan

untuk mengungkapkan latar belakang, motif-motif yang ada di sekitar maaslah yang

diobservasi (Rianse Usman dan Abdi : 2012: 10). Dalam wawancara ini dipilih beberapa

tokoh kunci yang dianggap mampu dan kompeten menjelaskan informasi, kebijakan dan

pengalaman langsung terkait persoalan konflik Batu Karut. Wawancara dilakukan

untuk memperoleh informasi lain yang tidak didapat dalam studi pustaka atau pun

observasi lapangan. Adapun wawancara tersebut dilakukan dengan : Kepala Balai Besar

TNGGP, Kepala Seksi P3, Penyidik Polres Bogor, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan

20

Perkara BPN, tersangka pemalsuan warkah sertifikat Batu Karut, Polhut TNGGP,

Masyarakat, tokoh masyarakat dan Sekretaris Desa Pasir Buncir.

Kemudian observasi dilakukan sebagai studi yang secara sengaja dan sistematis

untuk mengamati fenomena sosial dan gejala psikis yang ada dalam rangka analisis.

Rianse Usman dan Abdi (2012:11) menyebutkan teknik obervasi sebagai alat

pengumpul data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematis

gejala-gejala yang sedang diselidiki. Observasi lapangan dilakukan untuk mengetahui

kondisi ril persoalan Batu Karut baik dari sisi tokoh, lokasi Batu Karut maupun

masyarakat sekitar Batu Karut sehingga memperoleh informasi tambahan dan memadai

mengenai persoalan Batu Karut. Pada observasi (pengamatan) di lakukan dengan

ground chek di Petak 5 Batu Karut Bogor, dan kampung terdekat dengan kawasan yaitu

kampung Lengkong Pasir Buncir Kecamatan Caringin Bogor, persidangan keterangan

saksi di PN Cibinong dan Penyuluhan / Sosialisasi kepada masyarakat Desa Pasir

Buncir.

1.8. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari 4 Bab, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bab satu berisi tentang mengantarkan pentingnya penelitian konflik Batu Karut

agar ditemukan adanya latar belakang konflik, dinamika dan solusi konflik bagi

pengelolaan TNGGP. Dalam Bab I digambarkan secara singkat hal yang melatar

belakangi munculnya persoalan konflik Batu Karut.

Bab dua memberikan deskripsi mengenai profil gambaran umum TNGGP tentang

kondisi fisik kawasan, potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem TNGGP. Dengan

memahami kondisi fisik TNGGP dapat difahami tentang pentingya kawasan TNGGP bagi

21

masyarakat sekitar dan bagi upaya pelestarian alam di Indonesia. Kemudian di sampaikan

mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sosial ekonomi masyarakat sekitar TNGGP

masih banyak yang kurang memiliki lahan dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kondisi

ini menyebabkan masyarakat banyak bergantung kepada kawasan TN. Bab ini

menjelaskan juga mengenai kebijakan pengelolaan taman nasional, zonasi taman nasional.

Dengan memahami kebijakan pengelolaan TN, akan diketahui sampai sejauhmana arah

pengelolaan TN mampu mendukung perlindungan kawasan sekaligus memberikan

manfaat bagi masyarakat sekitar. Bab II juga menyampaikan mengenai sejarah kawasan

TNGGP. Sejak jaman belanda sampai dengan sekarang TNGGP merupakan kawasan

yang dianggap memiliki nilai penting bagi perlindungan dan pelestarian alam serta bagi

kehidupan masyarakat sekitarnya. Sejarah kawasan juga menggambarkan kedudukan

hukum kawasan sebagai pijakan legal dalam pengelolaan sebuah kawasan TN.

Bab tiga menjelaskan sumber konflik PMP dan TNGGP, yang dipicu oleh adanya

perbedaan regulasi maupun kondisi otentik di lapangan. Klaim PMP atas Batu Karut di

picu oleh regulasi SK Redistribusi Menteri Dalam Negeri No. 222/DJA/1984 yang

menjadi dasar pengajuan sertifikat hak milik. Dalam SK tersebut hanya menyebutkan

lokasi obyek redistribusi dan luasannya saja, sementara peta mengenai lokasi obyek yang

disebutkan tidak dicantumkan dalam SK tersebut. TNGGP mendasarkan klaim kepada

BAST kawasan sejak tahun 1926. Bab III juga menjelaskan dinamika kontestasi TNGGP

dan PMP. Dinamika konflik yang menggambarkan aktualisasi kontestasi para pihak yang

berkonflik untuk mempertahankan posisi mereka dalam mencapai tujuan yang dinginkan

yaitu mempertahankan obyek Batu Karut melalui mekanisme non litigasi dan mekanisme

litigasi. Proses non litigasi dilakukan dengan saling bersurat (permohonan dan keberatan)

kepada pihak-pihak terkait dengan masalah Batu Karut diantaranya saling bersurat antara

22

PMP dan TNGGP ke instansi-instansi : BPN Bogor, Dinas Pertanian dan Kehutanan,

Dinas Tata Ruang dan Pertanahan dan Bupati Bogor. Kemudian mekanisme Litigasi yang

ditempuh melalui dua proses yaitu : Proses Pidana dan Perdata. Kemudian penjelasan

mengenai identifikasi aktor dan pihak dalam konflik batu karut. Identifikasi aktor

menjelaskan mengenai kontestasi aktor utama yang merupakan pihak yang secara

langsung melakukan klaim Batu Karut serta adanya pihak-pihak yang berafiliasi dalam

mendukung baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap aktor utama. Bab III

juga menjelaskan mengenai peran kepentingan pihak – pihak berkonflik. Dalam peran

kepentingan terlihat adanya peran dan kepentingan masing-masing pihak baik PMP,

TNGGP dalam lingkaran persoalan Batu Karut yang intinya ingin mempertahankan klaim

Batu Karut atas dasar klaim regulasi, ekologi dan juga alasan bisnis ekonomi. Sementara

peran dan kepentingan BPN Bogor lebih berdasar kepada alasan regulasi dan kebijakan

yang di rujuk oleh BPN Bogor. Akhir Bab III ini menjelaskan mengenai pendekatan

solusi penyelesaian batu karut yang dilakukan TNGGP dalam menyelesaikan konflik

penerbitan sertifikat Batu Karut. Pada intinya saran pendekatan solusi Batu Karut

bertumpu pada 3 hal, yaitu pendekatan hukum, pendekatan komunikasi dan pendekatan

kesejahteraan. Ketiga pendekatan tersebut ditawarkan secara tidak terpisahkan mengingat

selain dengan pendekatan hukum untuk mepertegas kepemilikan Batu Karut juga perlu

pendekatan sosial kesejahteraan mengingat ada peran masyarakat yang masih tergantung

di kawasan tersebut dan dimanfaatkan oleh PMP. Pendekatan komunikasi dilakukan

mengingat ada masalah dalam memandang obyek Batu Karut dari segi regulasi dan

kebijakan oleh BPN Bogor dan TNGGP sehingga agar tidak terjadi lagi permasalahan

yang sama muncul di kemudian hari, maka perlu dijembatani dengan pendekatan

komunikasi antara BPN Bogor dan TNGGP.

23

Bab empat menjelaskan mengenai kesimpulan yang menegaskan fenomena

persoalan klaim Batu Karut serta dinamika yang menyertainya. Tema tersebut

menegaskan bahwa persoalan Batu Karut tidak hanya persoalan regulasi kawasan akan

tetapi juga terkait dengan persoalan ekonomi bisnis Batu Karut dengan memanfaatkan

masyarakat sekitar yang menggarap atau pernah menggarap kawasan. Bab ini juga

menawarkan paket rekomendasi yang bisa dijalankan agar persoalan Batu Karut bisa

diselesaikan secara hukum sekaligus diharapkan mampu mengangkat partisipasi

masyarakat dalam pelestarian alam dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam

pelestarian kawasan TNGGP melalui pemanfaatan hasil hutan sesuai dengan koridor

hukum yang berlaku dan juga peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar

kawasan. Selain itu antisipasi kedepan perlu dibangun pola komunikasi antara institusi

TNGGP dengan otoritas penerbit sertifikat tanah yaitu BPN Bogor khususnya dan

stakeholders lain pada umumnya, dalam hal singkronisasi data (peta, regulasi dan

kebijakan lain). Komunikasi dapat di tuangkan dalam bentuk MoU (Nota Kesepahaman),

sosialisasi bersama dan penyuluhan serta pelibatan pihak desa dalam tata batas atau

rekonstruksi batas kawasan. Oleh karena itu saran yang disampaikan juga mengarahkan

agar penanganan Batu Karut bersifat kuratif dan antisipatif sehingga persoalan Batu

Karut berdampak bagi kesejahteraan masyarakat sekitar sekaligus kedepan permasalahan

klaim kawasan Batu Karut ataupun kawasan TNGGP lainnya tidak terjadi lagi.