bab i pendahuluan 1.1. latar...

63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban. Etnik Dawan yang mayoritasnya mendiami Pulau Timor pada umumnya merupakan penduduk asli mampu hidup berdampingan satu-sama lain dengan Etnik maupun suku-suku pendatang lainnya, mulai dari Etnik Tionghoa, Bugis, Sabu, Rote, Flores, Toraja, dan Jawa. Etnik masyarakat Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki sebagian besar sudah mampu berbaur, hal ini terlihat jelas dari posisi atau letak tempat tinggal mereka yang tidak berkelompok atau terkonsentrasi pada titik tertentu, selain itu disebabkan terjadinya perkawinan campuran diantara mereka yang telah kawin-mawin dengan masyarakat setempat atau Etnik pendatang lainnya, walaupun masih ada diantara masyarakat Etnik Tionghoa ini yang menikah dengan sesama Etnik mereka sendiri dengan tujuan “melestarikan” keturunan Etnik mereka sendiri. Masyarakat Etnik Tionghoa yang menetap di Kelurahan Niki-Niki pada umumnya masih menampilkan perilaku dan budaya nenek moyang mereka, misalnya cara mereka bersikap, sistem kepercayaan, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Dalam hal sistem kepercayaan, masyarakat Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memeluk agama Katholik dan Protestan, dan Islam, walaupun ada sebagian dari mereka masih mempertahankan agama Khonghucu sebagai agama leluhur mereka. Demikian halnya dalam tradisi perayaan tahun

Upload: lamcong

Post on 29-Jun-2018

222 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehidupan multi-etnik terlihat jelas di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan

Amanuban. Etnik Dawan yang mayoritasnya mendiami Pulau Timor pada

umumnya merupakan penduduk asli mampu hidup berdampingan satu-sama lain

dengan Etnik maupun suku-suku pendatang lainnya, mulai dari Etnik Tionghoa,

Bugis, Sabu, Rote, Flores, Toraja, dan Jawa. Etnik masyarakat Tionghoa di

Kelurahan Niki-Niki sebagian besar sudah mampu berbaur, hal ini terlihat jelas

dari posisi atau letak tempat tinggal mereka yang tidak berkelompok atau

terkonsentrasi pada titik tertentu, selain itu disebabkan terjadinya perkawinan

campuran diantara mereka yang telah kawin-mawin dengan masyarakat setempat

atau Etnik pendatang lainnya, walaupun masih ada diantara masyarakat Etnik

Tionghoa ini yang menikah dengan sesama Etnik mereka sendiri dengan tujuan

“melestarikan” keturunan Etnik mereka sendiri.

Masyarakat Etnik Tionghoa yang menetap di Kelurahan Niki-Niki pada

umumnya masih menampilkan perilaku dan budaya nenek moyang mereka,

misalnya cara mereka bersikap, sistem kepercayaan, bahasa, adat istiadat dan lain

sebagainya. Dalam hal sistem kepercayaan, masyarakat Etnik Tionghoa di

Kelurahan Niki-Niki memeluk agama Katholik dan Protestan, dan Islam,

walaupun ada sebagian dari mereka masih mempertahankan agama Khonghucu

sebagai agama leluhur mereka. Demikian halnya dalam tradisi perayaan tahun

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

2

baru Cina atau biasanya disebut Imlek tetap dirayakan oleh masyarakat Etnik

Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki. Tradisi imlek yang dilakukan oleh mereka

seperti misalnya membakar dupa, hiong, menyediakan sesajian, mengunjungi

kuburan keluarga, serta upacara sakral lainnya.

Hal yang masih membedakan antara Etnik Timor dengan Etnik Tionghoa

adalah letak posisi makam etnik masing-masing, makam Etnik Tionghoa terletak

pada bagian utara dari desa Faunan, kampung Baru. Sedangkan makam Etnik

Timor Dawan serta makam Islam terletak pada bagian selatan desa Faunan.

Makam Etnik Tionghoa memang terlihat lebih mencolok baik dari segi

penampilan maupun letak, dari segi penampilan makam Etnik Tionghoa lebih

menonjolkan corak kebudayaan khas Tionghoa seperti penggunaan warna, bentuk

bangunan serta ukiran prasasti pada makam maupun dinding makam sehingga

terkesan mewah. Dari segi letak, posisi makam Etnik Tionghoa terletak bukit

yang mengarah pada pertemuan lembah dan dataran tinggi. Sehingga menambah

kesan artistik dan sesuai dengan petunjuk Feng Shui.

Selain perbedaan letak kuburan, yang membedakan adalah budaya tegur

sapa yang berlaku dikalangan Etnik Tionghoa pada umumnya, sebagai contoh

panggilan Kiu kepada saudara laki-laki dari ibu, Kung panggilan kepada kakek

atau ayah dari orang tua. Dalam hal penggunan identitas, Etnik Tionghoa di

Kelurahan Niki-Niki masih menganut penggunaan dua identitas sekaligus dalam

kehidupan sosial mereka, seperti penggunaan identitas nama Indonesia dan nama

Tionghoa. Penggunaan identitas ini berlaku pada saat kondisi tertentu, misalnya

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

3

penggunaan identitas nama Tionghia jika mereka berinteraksi dengan sesama

Etnik Tionghoa atau Etnik setempat yang sudah dikenal.

Etnik Tionghoa yang kini bermukim di desa Niki-niki, Nenek Moyangnya

rata-rata berasal dari suku bangsa Hokkien dari Provinsi Fukkien bagian selatan,

kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang. Hal ini dapat dimaklumi

sebab Provinsi Fukkien merupakan daerah pertumbuhan pedagangan orang

Tionghoa ke negeri seberang lautan, sehingga tidaklah mengherankan bahwa

mereka sangat pandai dalam melakukan transaksi dagang, sehingga kepandaian

berdagang ini terendap selama berabad-abad dalam kebudayaan suku bangsa

Hokkien dan terlihat jelas dalam pada orang Tionghoa di Indonesia. Walaupun

demikian, perlu diketahui bahwa Etnik Timor yang mendiami Niki-niki,

kecamatan Amanuban Tengah tengah dikategorikan sebagai Etnik Timor Dawan

atau Orang Atoni, mereka merupakan salah satu dari enam suku bangsa atau Etnik

Timor. Kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai petani, peternak, maupun

pengrajin, hanya sedikit dari mereka yang berprofesi dibidang Pemerintahan.

Etnik Tionghoa yang bermukim selama empat generasi lamanya di Niki-niki

merupakan suku bangsa Hokkien dan tidaklah mengherankan, rata-rata dari

mereka yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi mampu berbaur atau

berasimilasi dengan masyarakat Etnik Timor Dawan, bahkan kebanyakan dari

mereka telah menikah dan berkeluarga dengan Etnik setempat. Hal ini

menunjukan bahwa Etnik Timor Dawan dapat menerima dan terbuka terhadap

kehadiran dan proses asimilasi Etnik Tionghoa di Niki-niki, namun tidak sedikit

juga diantara para Etnik Tionghoa ini yang menjadi peranakan tetap

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

4

mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

keluarga, adat istiadat, arsitektur, serta lain sebagainya ditengah-tengah

beragamnya lingkungan sosial mereka terutama masyarakat Etnik Timor Dawan.

Peneliti sempat melakukan survey pra-penelitian yang berlangsung selama 2

hari yakni dari tanggal 26 juni sampai dengan 27 juni 2011 di kalurahan niki-niki,

dalam survey pra-penelitian, peneliti sempat mewawancarai tokoh masyarakat

setempat, adalah John Errence Edward Litlelnoni atau nama Tionghoanya Lie

Hok Chow, pria peranakan Tionghoa-Timor generasi ke 4, kelahiran Niki-Niki 7

september 1932. Ia pernah mejabat sebagai Kepala Kelurahan Niki-Niki periode

dekade 1970an. Beliau menjelaskan bahwa perkawinan campuran antara Etnik

Tionghoa dengan Etnik Timor (Setempat) tidak dapat terelakan, hal ini sudah

berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu oleh nenek moyang

mereka. Adanya perkawinan campur ini asal mulanya dimulai dari kedatangan

para pedagang maupun para tenaga kerja dari Tiongkok khususnya dari daerah

Nanyang dan Hokkian yang bermigrasi ke pulau Timor (Sekarang Kota Kupang)

dan sekitarnya, kebanyakan dari mereka yang bermigrasi hanya sebagian kecil

yang membawa serta keluarga mereka sedangkan sisanya adalah para bujangan.

Itu... sejak awal orang tua datang kesini mereka datang untuk berdagang

lilin dan cendana. Teknik disini adalah mereka melihat siapakah tokoh

masyarakat yang berpengaruh di sini, kalo bisa ia mendapatkan atau

menikahi anak perempuan tokoh tersebut. Sehingga dari awal masa

tersebut tidak ada masalah, karena sudah ada kawin campur. Pengaruh

kawin mawin ini lebih menonjol.1

1 Wawancara dengan John Errence Edward Littlenoni (Lee Hok Chow), tanggal 26 juli 2011 di desa

Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah tengah. Bealiau merupakan salah satu tokoh masyarakat

Etnik Tionghoa di Niki-niki.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

5

Untuk memperlancar transaksi dagang dengan tuan tanah setempat, para

pedagang dari Etnik Tionghoa melakukan pendekatan dengan menikahi gadis dari

tuan tanah setempat, sehingga mempermudah transaksi dagang sekaligus

mempererat tali kekeluargaan dengan masyarakat setempat, namun disamping itu

ada pula perkawinan dengan kaum ningrat dari kerajaan Amanuban Tengah

tengah Selatan, hal ini dapat dilihat ada beberapa kaum peranakan Tionghoa

setempat yang mempunyai gelar adat atau marga ningrat, seperti Nope, Nitbani,

dan lainnya. Secara umum, gambaran hubungan sosial antara masyarakat Etnik

Tionghoa peranakan dengan masyarakat setempat (Umumnya berasal dari

mayoritas Etnik Timor) berjalan cukup baik, hal ini tidak dapat dipungkiri karena

adanya perkawinan campur yang menjadi faktor utama, selain itu adanya

pembinaan dari tokoh agama setempat baik Katolik, Kristen, Hindu dan Islam,

sehingga unsur Etnisitas masing-masing tetap dipertahankan namun pergaulan

secara sosial tetap berjalan seperti biasa.

Pergantian nama pada waktu itu, saat anggota keluarga saya menjadi

sekretaris daerah. Ia memikirkan jalan keluarga terbaik dalam menjawab

politik ini. Maka diputuskan, marga keluarga kami Littlenoni : Lee : marga

keluarga, tenoni : tempat kejadian. Sebagai alat untuk mempermudah

pengenalan identitas keluarga dan mencega terjadinya kawin-mawin

dengan sesama marga Lee.2

Itu tadi seperti yang saya katakan, 1 pengaruh kwin mawin, 2. Masyarakat

sisni pada mereka semua memeluk agama sehingga mendapat bimbingan

tiap2 agama, protestam, katholik, islam, dan toleransi bergama disini tidak

ada masalah. Hal ini bisa dilihat apabila ada kedukaan, dari acara

kedukaan, baik etnis apa saja, maka semua itu bergabung menjadi satu.

Kalo dilihat etnis tionghoa di kerj.amanuban ini, raja disini sangat

merangkul etnis Tionghoa, sehingga pas PP10, ada 79 orang cina

2 Ibid.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

6

kembali/eksodus ke Cina. Ini akibat terjadinya salah perhitungan dari tokoh

masyarakat setempat, sehingga mengakibatkan eksodus tersebut.3

Pada tahun 1960-an memasuki era orde baru, muncul kebijakan PP.10

dalam wujud peraturan ganti nama bagi masyarakat etnis Tionghoa sebagai

bentuk asimilasi dan integrasi nasional secara total yang dilaksanakan oleh

pemerintah pada waktu itu. Hal serupa juga terjadi di Niki-Niki, berdasarkan

pengakuan bapak John bahwa pada waktu itu timbul perbedaan pandangan

diantara kaum peranakan Tionghoa di Niki-niki yang mempermasalahkan masalah

perubahan identitas mereka saat itu, akibatnya ada sejumlah kaum peranakan

sekitar 79 orang saat itu memilih kembali ke Beijing dan mendapatkan

kewarganegaraan dari Pemerintah RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan

sisanya yakni kaum peranakan mengikuti kebijakan Pemerintah Indonesia dengan

mengikuti peraturan ganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia

serta mengukuti program integrasi nasional dan asimilasi. Beberapa tahun

sebelumnya saat terjadi pemberontakan PKI pada tahun 1965, isu ideologi

komunis sempat merambat pada citra masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak

sedikit pula dari mereka yang menjadi korban akibat stigam ataupun isu-isu yang

berhubungan dengan komunis. Namun dalam pengakuan beliau bahwa pada saat

itu, pergolakan tersebut terjadi hanya sebatas di Kupang (Ibu Kota Provinsi Nusa

Tenggara Timur) tidak sampai merambat ke Niki-Niki, namun yang terjadi di

Niki-Niki adalah penangkapan beberapa masyarakat setempat yang terlibat PKI,

3 Ibid

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

7

sedangkan masyarakat peranakan Tionghoa tidak mendapat kekerasan maupun

penangkapan oleh aparat keamanan waktu itu.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kuatnya hubungan silahturahmi dan

pengaruh kawin campur antara masyarakat Etnik Tionghoa dengan Masyarakat

setempat serta juga pengaruh diplomasi Raja Amanuban Tengah tengah Selatan

saat itu. Hal yang sama juga dialami oleh Pak John Errence Edward Litlelnoni

atau nama Tionghoanya Lie Hok Chow, keluarganya pada saat itu mengambil

inisatif dengan mengganti identitas Tionghoanya dengan identitas nasional.

Uniknya, dalam pergantian identitas tersebut keluarga beliau mengkombinasikan

marga mereka menjadi Litelnoni dimana adalah kombinasi dari Li (Marga Lee),

Telnoni (Tempat kejadian Noni) yang mengartikan bahwa marga Lee dari tempat

kejadian desa Noni, salah satu tujuan dari kombinasi marga ini adalah untuk

mencegah perkawinan sedarah atau sesama klan.

Bahasa yang dipakai disini, bahasa etnis sendiri hampir punah, hanya

segelintir orang yang menguasai bahasa mandarin, tetapi biasanya bahasa

ibu itu adalah bahasa indonesia dan didukung oleh bahasa daerah.4

Kalo dengan masyarakat sekitar, misalnya bahasa daerah bahasa timor,

kalo dengan orang tertentu pake bahasa indonesia 5

Masih, jika teman masih menggunakan, kalo dengan istri sendiri juga bisa,

atau masalah keluarga atau intern (pribadi)6

4 Ibid.

5 Ibid.

6 Ibid.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

8

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dalam bidang budaya khususnya tutur

kata dalam bahasa mandari dikalangan etnis Tionghoa di Niki-Niki hampir punah,

sebab hanya dikuasai hanya oleh kalangan para tokoh masyarakat Tionghoa

tertentu, hal lainnya disebabkan oleh hampir semua kaum peranakan di Niki-Niki

mayoritasnya menggunakan bahasa daerah setempat yakni bahasa Tetun dan

bahasa Indonesia. Bahasa Tetun digunakan untuk berkomunikasi dengan sesama

etnis Tionghoa dan masyarakat setempat, sedangkan bahasa Indonesia digunakan

untuk berkomunikasi dengan kaum pendatang dari luar daerah (diluar etnis

Timor). Dalam komunitas masyarakat Tionghoa pada umumnya menggunakan

bahasa Mandarin jika diperlukan untuk membahas masalah-masalah yang bersifat

pribadi atau keluarga dalam hal ini persoalan rumah tangga atau masalah-masalah

lain yang bersifat sangat pribadi.

Iya, itu untuk kaum peranakan, karena mengingat sapaan dari etnis kita sendiri

dapat memudahkan orang untuk mengenal atau mengetahui identitas orang.

Contoh atau umpamanya : Ku, saudara perempuan dari pada ayah. Sedangkan

kiu adalah saudara laki-laki dari mama. 7

Tetap, jadi misalnya Liong, disini ada beberapa liong, jadi mereka memanggil

beberpa nama seperti Liong TM, sebagai nama perusahaan misalnya Toko Timor

(Disingkat TM), jadi Liong TM 8

Dalam hal yang mendasar yang membedakan tentang identitas antara etnis

Tionghoa dan Pribumi (Etnis Timor) adalah budaya tegur sapa yang berlaku

dalam rumah tangga tiap keluarga. Sebagai contoh, disamping itu masyarakat

7 Ibid

8 Ibid

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

9

setempat atau etnis Timor pada umumnya selalu menyapa setiap masyarakat etnis

Tionghoa dengan memanggil nama Tionghoa dari orang tersebut dan selalu dalam

berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Tetun yang merupakan bahasa

tradisional masyarakat setempat. Sebagai contoh, seorang peranakan Tionghoa

bernama Benny, nama Tionghoanya Tan Lai Kim, masyarakat setempat lebih

akrab memanggilnya dengan nama Ako Kim (Abang Kim : dalam bahasa

Indonesia) ketimbang nama Indonesianya Benny. Selain itu, misalnya dalam

Kelurahan Niki-Niki ada 3 orang yang bernama Kim, makan masyarakat

setempat lebih mengkombinasikan dengan ciri khas nama merek dagang atau

perusahaan, misalnya Ako Kim Sinar Sejahtera (Abang Kim Sinar Sejahtera),

nama sinar sejahtera merujuk pada nama merek dagang atau nama usaha orang

tersebut.

Itu tergantung dari pada kesepakatan 2 pihak, cara mana yang kita

pakai...misalnya nessie, dia adalah etnis asli sini (Timor) keluarga ningrat

dari Amanuban, maka ada tata cara tertentu yang dipakai seperti antaran.

Itu sebagai sebuah penghormatan, ia dari etnis ini maka kami harus

menghormati. 9

Kalo budaya, disini ada beberpa penganut atau paham, misalnya

perkawinan anatar sesama etnis maka berjasan semestinya atau seperti

biasanya, misalnya etnis Tionghoa seperti antar pasalin (lamaran), bugis

beda, timor beda, rote beda juga.10

Keunikan lain yang peneliti temukan dalam hal perkawinan antar etnik

Tionghoa dan etnik Timor di Niki-niki, adalah penyesuaian acara perayaan

9 Ibid

10 Ibid

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

10

perkawinan yang menggabungkan budaya kedua etnik tersebut sekaligus dan

terkesan budaya perkawinan etnik Tionghoa yang lebih mendominasi tata cara

adat perkawinan tersebut, sebut saja Nessie11

yang menikahi salah seorang

perempuan keturunan etnik Tionghoa di Niki-Niki, dimana dalam prosesi adat

pernikahan tersebut menggabungkan dua tata cara berbeda, seperti dalam adat

Timor menggunakan istilah tradisi sirih pinang yakni semacam tata cara memberi

hadiah perkawinan dari pihak mempelai laki-laki kepapda keluarga perempuan,

disamping itu dari pihak mempelai perempuan menggunakan tradisi selamat sopi

dan antar pasalin yakni semacam prosesi acara yang berlaku pada etnik Tionghoa

yang menjamu keluarga mempelai laki-laki dengan suguhan minuman anggur.

Dalam proses acara ini pihak keluarga kedia belah pihak sebelumnya telah

melakukan musyawarah secara intensif dan mendapatkan kata sepakat. Hal seperti

ini sudah menjadi fenomena tersendiri dan berlangsung selama bertahun-tahun.

Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman masyarakat baik secara

Etnik, suku maupun ras. Disamping itu, setiap Etnik, suku maupun ras yang

terdapat mulai dari sabang sampai merauke memiliki kebudayaan yang khas

masing-masing. Etnik Cina atau yang lebih dikenal dengan Etnik Tionghoa sudah

bisa dideteksi keberadaannya sejak berabad-abad yang lalu berinteraksi dengan

masyarakat Indonesia, baik melalui hubungan dagang maupun diplomasi politik

dengan kerajaan-kerajaan yang berada di Indonesia pada umumnya. Hubungan

dagang dengan Indonesia ini telah terbina sejak abad ke 13. Selanjutnya

11

Nessie Nope, adalah salah satu putra Bangsawan dari Raja Nope, Amanuban. Ia adalah putra

daerah Etnik Dawan yang menikahi salah seorang perempuan keuturunan Tionghoa di Niki-Niki

pada medio Maret, tahun 2010.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

11

pendatang-pendatang baru banyak yang datang pada waktu negara Cina diperintah

oleh dinasti Ming (1368-1644). Pada 1412 sebuah armada Cina dibawah pimpinan

Cheng Ho datang ke pulau Bangka, Biton, kepulauan Karimata , Pulau Jawa di

Semarang dandi madura. (Hidayat, 1993 : 66)

Disamping itu juga dapat dilihat bahwa kebanyakan dari Etnik Tionghoa

yang datang merantau ke Indonesia pada umumnya berprofesi sebagai para

pedagang atau pengusaha sekaligus sebagai para konektor hubungan dagang

antara Indonesia dengan kerajaan-kerajaan lainnya, serta tidak dapat dipungkiri

bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam bidang atau urat nadi

kegiatan perekonomian masyarakat di Indonesia. Orang-orang Cina didaerah Asia

Tenggara dapat menempatkan diri mereka dalam kehidupan masyarakat di negara-

negara Asia Tenggara sebagai kelas menengah. Di Indonesia orang-orang Cina

sejak permulaan merantau telah berfungsi sebagai perantara antara penduduk asli

dengan para pendatang asing yang datang ke Indonesia. Para perantau Cina

menempati kota-kota pantai dan hidup sebagai saudagar, pengusaha pelayaran,

pengusaha bank, sebagai pedagang besar dan kecil dan ada juga sebagai artis.

Hampir semu Industri dan perdagangan akhirnya berada ditangan pengusaha Cina

perantauan (Hidayat, 1993 : 56).

Pada umumnya Etnik Tionghoa di Indonesia sudah mampu berbaur

walaupun masih dalam tahapan yang bersifat terbatas, hal ini dapat dilihat dari

realitas adanya fenomena kawin campur antara paran pendatang (Etnik Tionghoa)

yang pada umumnya laki-laki yang menikah dengan para perempuan pribumi atau

perempuan setempat. Para pendatang Etnik Tionghoa ini seperti yang sudah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

12

disebutkan diatas berprofesi sebagai para pedagang maupun pengusaha, namun

tidak sedikit dari mereka bekerja sebagai buruh, kedatangan mereka tidak selalu

didampingi oleh pasangan mereka atau istri masing-masing, namun ada juga dari

mereka yang datang dengan membawa keluarga mereka mulai dari istri dan anak-

anak mereka masing-masing. Disamping itu dapat dilihat bahwa para pendatang

Tionghoa atau masyarakat Tionghoa ini telah menyatu atau berbaur dengan para

masyarakat pribumi, namun seiring dengan kedatangan kaum Kolonial yakni

penjajahan dari Belandan dan Portugis membuat proses pembauran mereka

menjadi lambat, disisi lain kehidupan para masyarakat Tionghoa yang beagi

menadi dua bagian, yakni mereka yang digolongkan sebagai para pendatang lama

dan para pendatang baru.

Orang Cina yang telah datang ke Indonesia selama berabad-abad dan terus

berdatangan hingga sekarang ke berbagai tempat di Indonesia menempati posisi

sebagai tamu dalam prinsip "dimana bumi dipijak dan langit dijunjung" yang

ditekankan oleh komuniti dan masyarakat sukubangsa setempat. Karena itu di

masa lampau hampir dapat dikatakan tidak ada konflik antara masyarakat

sukubangsa setempat dengan orang Cina. Hubungan kawin-mawin antara orang-

orang Cina dengan perempuan pribumi setempat telah memungkinkan berubahnya

status 'tamu' menjadi kerabat dari anggota-anggota masyarakat sukubangsa

setempat. Perubahan status ini telah memungkinkan berubahnya status 'tamu'

menjadi orang sendiri yang dalam batas-batas tertentu telah memungkinkan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

13

keturunan mereka itu juga mempunyai hak-hak atas tanah dari kelompok kerabat

setempat12

Hal yang menarik disini ialah, orang-orang Cina yang datang ke Asia

Tenggara ini umumnya tidak membawa keluarga mereka. Mereka kawin dengan

wanita setempat, banyak yang berbaur dan menjadi satu dengan pribumi. Namun

dengan datangnya orang-orang Barat menyebabkan pembauran ini tersendat.

Masyarakat kolonial yang menonjolkan ras, akhirnya memisahkan orang

Tionghoa dari Pribumi. Disamping itu, orang Tionghoa yang “diimpor”. Jadi, di

Asia Tenggara terjadi dua kelompok yang hidup berdampingan, yaitu pendatang

lama dan pendatang baru, Kebudayaan pendatang lama sudah lebih dipengaruhi

oleh kultur setempat, tetapi pendatang baru lebih bersifat kecinaan. Banyak yang

mengatakan bahwa pendatang bahwa pendatang lama, apa lagi yang sudah

berbaur, tidak lagi berkebudayaan Konghucuisme, sedangkan pendatang baru

masih dipengaruhi oleh etika Konghucuisme. (Suryadinata, 2002 : 199-200)

Seiring perjalanan waktu, Etnik Tionghoa yang merupakan masyarakat

pendatang telah berbaur dengan masyarakat setempat, seperti yang sudah

dijelaskan diatas bahwa Etnik Tionghoa yang menetap bahkan sudah kawin

campur dengan Etnik setempat atau masyarakat setempat akhirnya mampu

berbaur menjadi satu. Namun dalam perspektif kebudayaan Etnik Tionghoa ini

sendiri terdapat dua golongan utama dalam Etnik mereka, yakni kaum Totok dan

kaum Peranakan. Kedua golongan tersebut memiliki perbedaan yang cukup

12

http://web.budaya-tionghoa.net/home/901-kesukubangsaan-dan-posisi-orang-cina-dalam-

masyarakat-majemuk-indonesia, Supadi Suparlan.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

14

mendasar, baik ditinjau dari segi proses pembauran dan dialek bahasa mereka

masing-masing, tidak ketinggalan juga orientasi politik kedua golongan ini

bertolak belakang satu sama lain.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan minoritas homogen.

Dari sudut pandang kebudayaan orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok.

Peranakan adalah orang tionghoa yang sudah lama tingggal di Indonesia dan

umunya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari

dan bertingkah laku seperti pribumi. Totok adalah pendatang baru, umumnya baru

satu samapai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa. Namun dengan

terhentinya Imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok sudah menurun dan

keturunan totok pun telah mengalami peranakanisasi. Karena itu, generasi muda

Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan, apalagi yang di pulau

Jawa. (Suryadinata, 2002 : 17)

Masyarakat Tionghoa dalam perkembangannya mengalami pasang surut

baik dalam bidang budaya, identitas sosial, masalah ekonomi dan lain sebagai

sejak masa perang kemerdekaan di Indonesia. Pada masa orde lama dalam masa

kepemimpian era Soekarno, masyarakat atau Etnik Tionghoa berhadapan dengan

proses integrasi nasional maupun proses asimilasi dijalankan secara permanen,

mulai dari pembatasan aktifitas masyarakat Tionghoa dalam kegiatan sehari-hari,

larangan mendirikan sekolah Tionghoa, serta kebijakan ganti nama yang berbau

Etnik Tionghoa menjadi Indonesia, namun kebijakan terakhir ini belum

sepenuhnya berjalan. Pada masa era orde baru dalam masa kepemimpinan

Soeharto kebijakan asimilasi tersebut baru dilaksanakan secara penuh, bahkan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

15

kegiatan perayaan Imlek, Cap Go Meh dan pawai Barongsai pun dilarang, selain

itu kebijakan yakni berupa himbauan pergantian nama yang berbau Tionghoa

menjadi berbau Indonesia dijalankan, klenteng dirubah menjadi vihara, dan lain

sebagainya. Seiring jatuhnya rezim orde baru, pada masa era reformasi dalam

kepemimpinan Habibie dan KH.Abdulrahman Wahid, masyarakat Tionghoa

Indonesia bisa “menghirup udara segar” dengan diperbolehkannya perayaan

Imlek, Cap Go Meh, perunjukan Barongsai, dan kegiatan-kegiatan lainnya,

bahkan dalam masa kepemimpian KH.Abdulrahman Wahid ditetapkan hari libur

nasional bagi perayaan Imlek, agama Konghucu diakui sebagai agama nasional.

Sebetulnya, sejak awal, Indonesia tidak memberlakukan kebijakan asimilasi.

Pada zaman demokrasi liberal, kebijakan pluralisme diberlakukan. Pada zaman

demokrasi terpimpin, kebijakan integrasi dan asimilasi dilaksanakan secara

bertahap. Mula-mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak

diperbolehkan mendirikan sekolahTionghoa, aktivitas orang Tionghoa asing pun

mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak

lahirnya orde baru. Tiga pilar kebudayaan Tionghoa yang saya sebut diatas

dihapus sama sekali. Peraturan ganti nama diumumkan. Warga negara Indonesia

keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama tionghoanya menjadi nama yang

berbau “Indonesia” (Suryadinata, 2002 : 15-16)

Dalam bidang budaya, pemerintah orde baru rupanya ingin mengikis

habiskebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan

tradisi dan adat istiadatnya secara publik, misalnya tidak boleh merayakan tahun

baru imlek dan cap go meh , tidak boleh main Barongsai , semua kelenteng harus

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

16

diubah menjadi wihara , agama Konghucu tidak diakui , belajar bahasa Tionghoa

tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa Tionghoa tidak diizinkan, hanya

sebuah koran setengah Tionghoa diasuh oleh militer diizinkan terbit, dan koran ini

dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran iklan (Suryadinata, 2002 :

16)

Identitas Etnik menunjukan tingkat keterpaduan (cohesiveness) di antara

para anggota suatu kelompok Etnik (Yee dalam Rahoyo, 2010, hal 14). Ini berarti

bahwa semakin tinggi kehosivitas anggota dari dari suatu kelompok Etnik maka

semakin kuat pula identitas Etnik mereka; sebaliknya , kian rendahnya kohesivitas

angggota suatu kelompok Etnikakan berujung pada kian lemahnya identitas Etnik

mereka. Derajat keterpaduan atau kohesivitas tersebut secara konkret akan muncul

dalam wujud fanatisme terhadap bahasa Etnik, upacara-upacara adat, pakaian

adat, dan sebagainya; di samping juga dalam bentuk kebanggaan Etnik. Rasa

bangga sebagai anggota Etnik tersebut menyangkut di antaranya persepsi

(superioritas) mengenai Etniknya sendiri sekaligus persepsi (inferioritas)

mengenai Etnik lain yang secara rill akan mewujud dalam kontak atau relasi

sosial, baik kontak atau relasi dengan sesama Etnik maupun lintas Etnik. (Rahoyo,

2010 : 14)

Menurut Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah kelompok etnik

merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras

maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah

mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat besar untuk

mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham atau isme

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

17

sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan Etnikistas

merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka dengan obyek

yang diafliliasi dalam konteks tertentu.

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif

(struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b;

Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif

melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya

berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan.

Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu

proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai

bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang

lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang

dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152).

Berdasarkan fakta diatas, peneliti ingin mengetahui proses dan pola

komunikasi antar etnik pada Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan

Niki-Niki, seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik

setempat serta mengungkapkan pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa

memaknai identitas etnik mereka ditengah-tengah keberadaan mereka sebagai

kaum peranakan minoritas di Kelurahan Niki-Niki yang mayoritas masyarakatnya

adalah Etnik Timor. Dalam hal identitas sosial misalnya, masyarakat Etnik

Tionghoa menggunakan dua identitas sekaligus yakni nama Indonesia dan nama

Tionghoa, namun yang lebih dominan adalah penggunaan identitas Tionghoa

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

18

dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat sekitar yang sudah dikenalnya,

tetapi tidak dengan masyarakat atau orang-orang baru dalam lingkungannya.

Peneliti beralasan bahwa, sebagian besar Etnik Tionghoa peranakan di

Kelurahan Niki-Niki yang rata-ratanya sudah kawin campur dengan Etnik

setempat tetap mempertahankan identitas Ketionghoaanya. Melalui penelitian ini,

peneliti ingin mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik antara etnik

Tionghoa dengan etnik setempat dalam kegiatan sehari-hari dengan sesama etnik

mereka sendiri maupun dengan etnik lokal setempat, seperti apa perilaku Etnik

Tionghoa ketika mereka berinteraksi dengan etnik setempat serta mengungkapkan

pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam memaknai

identitas etnik mereka.

1.2. Maksud, Kegunaan dan Tujuan Penelitian

1.2.1. Maksud Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, peneliti bermaksud untuk mengetahui secara

sistematis proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat Etnik Tionghoa

yang selama ini terjalin dengan masyarakat setempat di Kelurahan Niki-Niki,

seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik setempat,

serta mengungkap pengalaman-pengalaman Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-

Niki memaknai identitas etnik mereka sendiri.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

19

1.2.2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru,

baik yang berguna secara teoritis dan praktis.

1. Dari segi teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan terhadap perkembangan teori komunikasi antar etnik,

teori interaksi simbolik, teori identitas etnik dan teori-teori ilmu

komunikasi lainnya yang berkaitan dengan makna identitas Etnik

masyarakat Etnik Tionghoa dan juga sebagai tambahan informasi

dan masukan bagi penelitian lanjutan dibidang ilmu sosial

khususnya ilmu komunikasi.

2. Dari segi praktis hasil penelitian ini juga dapat memberikan

sumbangan pemikiran bagi para tokoh budayawan, pemerhati ilmu

sosial dan juga pengamat Etnisitas tentang makna identitas etnik dan

komunikasi antar etnik.

1.2.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dengan adanya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses dan pola komunikasi antar etnik

masyarakat Etnik Tionghoa dengan etnik setempat di Kelurahan

Niki-Niki.

2. Untuk mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika

berinteraksi dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

20

3. Untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman masyarakat Etnik

Tionghoa memaknai identitas etnik mereka.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

21

1.3. Kajian Literatur

1.3.1. Penelitian Terdahulu

1. Judul : Makna Makam Etnik Tionghoa Sebagai Media Simbolik

Representasi Identitas Etnik dan Penghargaan Terhadap Arwah Leluhur

Uly Sophia (L2G04028)

Penelitian ini bermaksud untuk menemukan penjelasan deskriptif melalui

perspektif interpretif mengenai makam etnik Tionghoa yang melekat pada sistem

ideologi dan sosial tertentu. Narasi identitas etnik tionghoa salah satunya

terangkum pada makam. Tatanan dan sifat komunikasi simbolik yang

dilaksanakan adalah berbentuk komunikasi budaya ; bersifat nonverbal-nonvokal

(visual); berupa simbol yang mengandung makna dan diciptakan oleh para

leluhur.

Penelitian dilaksanakan dengan metode kualitatif, fenomenologi dengan

analisis semiotika. Data diambil dari makam yang berada pada Blok a no 38 kab

bandung. Melalui serangkaian wawancara mendalam dengan beberapa informan

pokok dan informan kunci, observasi langsusng di saat upacara pemakaman etnik

Tionghoa di TPU Hindu Budha Jl.Cikadut dalam kota Bandung, menghadiri

perayaan ceng beng, penelaah dokumen, budaya dan instansi terkait.

Temuan faktual menunjukan bahwa realitas bangunan makam etnik

Tionghoa termasuk pada bentuk strategi budaya melalui presentasi etnik yang

terjadi dalam proses komunikasi sosial dan direpresentasikan oleh kelompok

masyarakat Tionghoa. Makam etnik Tionghoa “pesan” budaya masyarakat

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

22

Tionghoa, ia mewakili perasaan, gagasan, atau maksud si pemilik makam atau

keluarganya. Makam sebagai salah satu bentuk ekspresi simbolik dari produk

komunikasi budaya yang sarat makna. Ekspresi simbolik yang berusaha

menyampaikan makna perjuangan identitas, kematian, afiliasi sosial, budaya dan

ekonomi.

2. Judul : Komunikasi Lintas Budaya Antara Etnik Cina dan Etnik Aceh

(Suatu Studi Terhadap Nilai Budaya, Pola Interaksi, Adaptasi dan

Manipulasi Identitas Etnik Cina Dalam Masyarakat Aceh) A.Rani

(L3G00024)

Penelitian ini menganalisis komunikasi antar budaya anatara masyarakat

cina dan orang aceh di kota banda aceh. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah

sejarah kedatangan orang cina di banda aceh, nilai budaya, pola interaksi,

adaptasi dan manipulasi identitas cina dilingkungan masyarakat aceh. Dalam

penelitian ini digunakan teori interaksi simbolik dan dramaturgis, dengan

menggunakan metode penelitian kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukan hubungan antara orang cina dengan orang

aceh diawali dengan hubungan sejarah, dilomasi, kontrak kerja dan hubungan

bisnis. Penelitian menunjukan orang cina banda aceh sangat mempertahankan

nilai-nilai budaya mereka, seperti perayaan hari raya imlek , menggunakan bahasa

suku sebagai simbol identitas etnik mereka, dan membentuk jaringan bisnis serta

membentuk pola pergaulan yang bernuansa etnik. Pola interaksi yang dibentuk

terstruktur melalui pemukiman bernuansa etnik mereka. Interaksi dengan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

23

masyarakat aceh terjadi secara alamiah melalui pendidikan, terutama di sekolah

pemerintah dan melalui interaksi bisnis. Adaptasi orang cina pada budaya aceh

sangat sedikit apalagi melalui perkawinan karena dua etnik tersebut berbeda

ideologi. Namun mereka dapat memahami dan menghargai budaya masing-

masing, orang cina di banda aceh belum menghilangkan identitas historis dan

identitas budayanya. Manipulasi identitas terjadi pada identitas lokal dan identitas

nasional indonesia yaitu dengan pemakaian nama dan bahasa daerah setempat,

tetapi identitas etnik secara fisik tidak dapat dimanipulaiskan karena berhubungan

dengan biologis.

3. Judul : Komunikasi Antarbudaya Etnik Cina Dan Minangkabau

(Studi Di Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat Sumatra Barat)

Kemala (L2G03038)

Penelitian ini memfokuskan pada Etnik Cina dan Etnik Minangkabau yang

memiliki dua kebudayaan berbeda satu sama lain, penelitian ini mencoba

menyimak mengenai tidak adanya konflik antara kedua Etnik tersebut, sehingga

memunculkan sebuah gejala yang menarik, dan pad akhirnya melalui penelitian

ini ingin menemukan penyebab situasi dan kondisi tersebut. Agar dapat dijadikan

percontohan dan acuan dalam berkomunikasi antar budaya etnik Cina dan etnik

Pribumi lainnya, hal yang ingin dilihat diantaranya adalah bagaimana persepsi

masyarakat etnik Cina terhdapa masyarakat etnik Minangkabau dan juga

sebaliknya, seperti apa hambatan-hambatan dalam proses komunikasi yang

dilakukan oleh kedua etnik tersebut dalam konteks komunikasi antarbudaya.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

24

Peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi yang menganggap

kesadaran manusia dan makna subjektivitasnya sebagai fokus untuk memahami

tindakan sosial. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data adalah dengan

menggunakan wawancara mendalam, observasi berperan serta dan penggunaan

dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah beberapa masyarakat kelurahan

Kampung Pondok Padang Barat yang dipilih secara purposif, yakni sebanayak 21

orang. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya teori

interaksi simbolik, teori dramaturgis, dan komunikasi antarbudaya.

Hasil penelitian ini menunjukan proses komunikasi antara masyarakat Cina

dan Minangkabau di kelurahan Kampung Pondok Padang Barat diwarnai oleh

berbagai bentuk pandangan, sikap dan perilaku komunikasi sesuai karakteristik

yang ada pada masyarakat tersebut. Persepsi etnik Cina terhadap etnik

Minangkabau umumnya tanpa prasangka dan baik. Penelitian ini menemukan

pola komunikas intrabudaya yang ada pada masyarakat Cina dan Minangkabau di

Kelurahan Kampung Pondok Padang Barat, yakni komunikasi melalui hubungan

kerja sama melalui bisnis, sosial budaya, dan pemukiman yang telah berjalan

dengan baik selama ini.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

25

NO Nama

Peneliti

Uly Sophia A. Rani Intan Kemala Christian J

Balalembang

1 Judul

Penelitian

Makna Makam

Etnik Tionghoa

Sebagai Media

Simbolik

Representasi

Identitas Etnik

dan

Penghargaan

Terhadap

Arwah Leluhur

Komunikasi

Lintas Budaya

Anatara Etnik

Cina dan Etnik

Aceh. (Suatu

Studi Terhadap

Nilai Budaya,

Pola Interaksi,

Adaptasi dan

Manipulasi

Identitas Etnik

Cina Dalam

Masyarakat

Aceh)

Komunikasi

Antarbudaya

Etnik Cina Dan

Minangkabau

(Studi Di

Kelurahan

Kampung

Pondok Padang

Barat Sumatra

Barat)

Makna Identitas

Etnik Masyarakat

Tionghoa

(Sebuah Studi

Fenomenologi

Identitas Etnik

Masyarakat

Tionghoa di

Kecamatan Niki-

Niki, Kabupaten

Timor Tengah

Selatan)

2 Metode

dan Teori

yang

digunakan

Kualitatif,

fenomenologi

dengan analisis

semiotika. Teori

yang diginakan,

semiotika

(Pierce), makna

budaya dalam

komunikasi,

komunikasi

non-verbal.

Menggunakan

metode

penelitian

kualitatif dengan

teori interaksi

simbolik serta

dramaturgis.

Menggunakan

pendekatan

fenomenologis,

dengan landasan

teori interaksi

simbolik,

dramaturgis, serta

komunikasi antar

budaya.

Menggunakan

pendekatan

fenomenologis,

dengan landasan

teori interaksi

simbolik,

dramaturgis, serta

identitas etnik.

3 Hasil

Penelitian

Makam etnik

Tionghoa

“pesan” budaya

masyarakat

Tionghoa, ia

mewakili

perasaan,

gagasan, atau

maksud si

pemilik makam

atau keluarganya.

Makam sebagai

salah satu bentuk

ekspresi simbolik

dari produk

komunikasi

budaya yang sarat

makna.

Orang Cina di

Banda Aceh

sangat

mempertahankan

budayanya,

menggunakan

bahasa suku

sebagai simbol

identitas etnik,

manipulasi

identitas lokal

dan nasional

berupa

pergantian nama.

Persepsi Etnik

Cina terhadap

Etnik

Minangkabau

berprasangka baik

dan lancar, pola

komunikasi

intrabudaya

antara Etnik Cina

dan Minangkabau

berjalan melalui

hubungan bisnis,

soaial budaya dan

letak pemukiman.

4 Kritik Penelitian ini

cukup baik

sebab ingin

melihat

Penelitian ini

lebih berfokus

pada etnik Cina

peranakan,

Penelitian ini

lebih banyak

memfokuskan

pada persepsi

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

26

bagaimana

makna pesan

budaya dan

identitas yang

terwujud dalam

bentuk makam,

namun yang

dilewatkan

adalah peneliti

seharusnya

menggunakan

teori interaksi

simbolik

bagaimana

penggunaan

simbol-simbol

lainnya seperti

penempatan

patung, dll.

bukan pada

Etnik Cina

yang sudah

kawin campur

dengan Etnik

lokal.

antar etnik etnik

dan bagaimana

pola komunikasi

etnik Cina dan

Minangkabau.

Yang dilewatkan

adalah

bagaimana Etnik

Cina tersebut

memaknai

identitas mereka.

5 Perbandin

gan

dengan

penelitian

yang akan

dilakukan

Yang menjadi

perbandingan

dengan topik

penelitian

peneliti adalah

Etnik tionghoa,

bahwa peneliti

sebelumnya

lebih

memfokuskan

pada makam

etnik sebagai

representasi

identitas,

sedangkan

peneiti lebih

memfokuskan

pada Etnik

Tionghoa

peranakan.

Persamaanya

terletak pada

penggunaan

pendekatan

fenomenologi.

Yang kan

dilakukan

peneliti adalah,

meneliti tentang

Etnik Tionghoa

yang sudah

kawin campur

dengan Etnik

Setempat,

namun

kesamaan tema

yang diteliti

adalah tentang

identitas. Serta

landasan teori

yang emiliki

banyak

kesamaan

dengan peneliti.

Peneliti akan

lebih banyak

memfokuskan

pada pemaknaan

identitas Etnik

Tionghoa, selain

itu peneliti juga

menggunakan

pendekatan serta

landasan teori

yang sama

dengan peneliti

sebelumnya

yakni

fenomenologi

dan teori

interaksi

simbolik.

Tabel 1. Matriks Perbandingan Penelitian Terdahulu

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

27

1.3.2. Tinjauan Pustaka

1.3.2.1. Komunikasi Antaretnik

Kelompok etnik merupakan sekumpulan orang yang memiliki ciri

“kebudayaan” yang relatif sama sehingga kebudayaan itu menjadi panutan para

anggota kelompoknya. Saya memberikan tanda petik pada kebudayaan untuk

mengatakan bahwa pengertian etnik sepandan dengan dengan kelompok agama,

suku bangsa, organisasi sosial dan politik. Hanya karena para anggotanya

memiliki nilai-nilai budaya yang sama sehingga tertutup bagi orang lain (Liliweri,

2001 : 334)

Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi

komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok-kelompok agama (antara

orang Protestan dengan orang Katolik), suku (antara orang Flores dan Rote), ras

(anatara orang Tionghoa dan Arab), dan golongan (antara pemilik kekuasaan dan

yang dikuasai) dapat dikategorikan pula sebagai komunikasi antaretnik. (Liliweri,

2009 : 203)

1.3.2.2. Identitas Etnik

Perjalanan hidup setiap insan manusia tidak pernah terlepaskan dari

lingkungan sosial disekitarnya, yakni lingkungan budaya khususnya lingkungan

etnik atau multi etnik. Dengan adanya perbedaan-perbedaan secara etnik dalam

pergaulan sosial tidak seharusnya melepaskan identitas etniknya meskipun antara

kedua etnik atau lebih yang hidup secara berdampingan didalam suatu lingkungan

sosial atau masyarakat yang berbeda budaya tentunya. Akan tetapi keharmonisan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

28

dan hubungan antaretnik merupakan sebuah keharusan guna kehidupan berjalan

lancar dan seimbang. Disisi lain tidak ada suatu budaya pun yang tidak

terpengaruhi oleh sebuah budaya lain. Demikian halnya budaya minoritas atau

budaya pendatang. Dan selanjutnya budaya minoritas terpengaruhi oleh budaya

dominan yang diakibat dari tekanan-tekanan lingkungan disekitar budaya itu

sendiri.

Barth mempunyai dua pandangan terhadap identitas budaya : pertama,

Batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur.

Dengan kata lain adanya perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh tidak

terjadinya permbauran, kontak dan pertukaran informasi, namun lebih disebabkan

oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga

perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta

keanggotaan diantara unit-unit etnik dalam perjalanan hidup seseorang. Kedua,

dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting

anatara kedua kelompok etnik yang berbeda, yang biasanya terjadi karena adanya

status etnik yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masing-

masing kelompok etnik yang berbeda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya

interaksi dan penerimaan sosial, tetapi sebaliknya justru karena disadari oleh

terbentuknya sistem sosial tertentu. (Barth,1988 : 10)

Dengan kata lain dalam pandangan Barth bahwa kelompok etnik itu

ditentukan melalui batas-batas serta memiliki sifat khas yang ditentukan oleh

kelompok itu sendiri yang kemudian membentuk pola-polanya sendiri. Disamping

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

29

itu batasan budaya dapat bertahan walaupun diantara dua etnik dapat berbaur.

Dengan adanya perbedaan etnik dalam suatu lingkungan masyarakat lebih

disebabkan adanya sebuah proses berupa pemisahan dan penyatuan sehingga

perbedaan tersebut dapat dipertahankan dalam perjalanan hidup seorang indvidu.

Selain itu adanya hubungan sosial dalam masyarakat yang terjalin begitu lama

dalam masyarakat yang begitu lama dan berjalan sedemikian rupa dalam

masyarakat yang multi etniknya biasanya terjadi lebih disebabkan adanya status

etnik.

Menurut Narroll (dalam Liliweri, 2001 : 335), kelompok etnik dikenal

sebagai suatu populasi yang : (1) secara biologis mampu berkembang biak dan

bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa

kebersamaan dalam suatu bentuk kebudayaan; (3) membentuk jaringan

komunikasi dan interaksi sendiri ; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri

yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi

lain. Sedangkan menurut Alo Liliweri (Liliweri, 2001 : 335-6) jadi istilah

kelompok etnik merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik

kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap

berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Karena kekuatan yang sangat

besar untuk mempertahankan superioritas etnik, dia berubah menjadi satu paham

atau isme sehingga superioritas etnik itu sering disebut etnosentrisme. Sedangkan

Etnikistas merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan hubungan mereka

dengan obyek yang diafliliasi dalam konteks tertentu.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

30

Setiap etnik secara biologis dapat berkembang dan bertahan serta

mempunyai nilai-nilai budaya dan nilai moral sehingga menjadi ciri khas dari

etnik tersebut. Demikian halnya setiap etnik ditandai dengan sistem komunikasi

dan berinteraksi sekaligus ciri kelompok etnik tersebut dapat diterima dan dapat

dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik tersebut dapat diterima dan dapat

dibedakan dengan kelompok lain. Setiap etnik dalam masyarakat yang telah

mapan batasan etnik sangat jelas sehingga interaksi antaretnik ditandai dengan

sistem sosial yang telah disepakati. Secara eksplisit teori Barth merupakan

pengambangan dari teori Goffman yaitu dalam pengambangan diri dan

penyesuaian diri dalam masyarakat. Menurut teori Goffman manusia dianggap

sebagai makluk yang kreatif dan berubah-ubah sesuai dengan keinginan dan

kondisi disekelilinginya serta menurut keinginannya. Sedangkan menurut teori

Barth dalam masyarakat pun saling berbeda budayadan etnik akan tetapi

penyatuan dan pemisahan berdasarkan proses yang terus berlangsung dalam

masyarakat. Teori Goffman menyebutkan manusia dapat menampilkan dirinya

berubah-ubah berdasarkan makna. Sedangkan teori Barth dalam suatu kelompok

dapat mempertahankan identitasnyasementara anggotanya berinteraksi dengan

masyarakat lainnya sehingga kriteria dan batasan dari suatu masyarakat guna

menjalin hubungan dan menjaga keharmonisan dalam masyarakat. (Rani, 2004 :

8)

Bila sebuah kelompok tetap mempertahankan identitasnya sementara

anggota lainnya berinteraksi dengan kelompok lain, hal ini menandakan adanya

suatu kriteria untuk menentukan keangggotaan dalam kelompok tersebut dan ini

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

31

merupakan cara untuk menandakan mana anggota kelompoknya dan mana yang

bukan. Kelompok etnik bukan semata-mata ditentukan oleh wilayah yang

didudukinya ; berbagai cara digunakan untuk mempertahankan kelompok ini,

bukan dengan cara sekali mendapatkan untuk seterusnya, tetapi dengan

pengungkapan dan pengukuhan yang terus menerus (Barth, 1988 : 16)

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik: pendekatan objektif

(struktural) dan pendekatan subjektif (fenomenologis) (Despress, 1975b;

Cohen,1978; Isajiw, 1979; Royce, 1982; Phadnis, 1989). Perspektif objektif

melihat sebuah kelompok etniksebagai kelompok yang bisa dibedakan lainnya

berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama atau asal-usul kebangsaan.

Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan Etnikitas sebagai suatu

proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai

bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi demikian oleh orang-orang

lain, dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang

dipersepsi kelompok etnik yang diteliti (Mulyana, 1996 : 152).

Menurut Lisa Orr (Dalam liliweri, 2003 : 73) menegaskan bahwa untuk

mengetahui identitas orang lain-pada awal berkomunikasi-merupakan pertanyaan

yang paling sulit, apalagikalau kita berkeinginan mengetahui kebudayaan otentik

dari orang itu. Berarti manusia umumnyatidak suka mengenal identitas seseorang

hanya sepotong-sepotong karena identitas budaya merupakan cultiral totalization.

Dan totalitas kebudayaan itu tidak selalu kelihatan, dia selalu bersembunyi di

balik konteks multikultural. Akibatnya, dalam cara yang sederhana orang mereka-

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

32

reka ciri khas (tubuh, warna rambut, tampilan wajah, tampilan fisik tubuh, bahasa

pakaian, dan makanan), batas-batas, faktor utama penentu sebuah kebudayaan.

Dengan kata lain, di manakah letak batas-batas identitas antarbudaya.

1.3.2.3. Teori Interaksi Simbolik

Interaksionesme simbolik (IS) adalah nama yang diberikan kepada salah

satu teori tindakan yang paling terkenal. Melalui interaksionisme simboliklah

pernyataan-pernyataan seperti “definisi situasi”, “realitas dimata pemiliknya”, dan

“jika orang mendifenisikan situasi itu nyata, maka nyatalah situasi itu dalam

konsekuensinya”, menjadi relevan. Meski agak berlebihan, nama IS itu jelas

menunjukan jenis-jenis aktivitas manusia yang unsur0unsurnya memandang

penting untuk memusatkan perhatian dalam rangka memahami kehidupan sosial.

Menurut ahli teori IS, kehidupan sosial secara harafiah adalah “interaksi manusia

melalui penggunaan simbol-simbol.” IS tertarik pada (Jones, 2010 : 142) :

1. Cara manusia menggunakan simbol untuk mengungkapakan apa yang mereka

maksud, dan untuk berkomunikasi satu sam lain (Suatu minat interpretif yang

ortodoks)

2. Akibat interpretasi atas simbol-simbol terhadap kelakuan pihak-pihak yang

terlibat selama interaksi sosial.

Para interaksionis sosial atau yang melakukan penelitian teori

interaksionisme memperoleh pengetahuan bahwa orang-orang dibentuk melalui

komunikasi. Di sana terdapat aumsi bahwa sosial dan tindakan kolektif terjadi

ketika komunikator paham dan bernegosiasi tentang pemaknaan orang lain.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

33

Perkembangan secara interdisiplin, interaksi simbolik mengalami perubahan dari

cara individu, kelompok, dan masyarakat dianalisis. (Ardianto, 2011 : 158-9)

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas

manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer

mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisan-

tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-

gagasan dari John Dewey, William I.Thomas, dan Charles H. Cooley. Selain

Blumer terdapat ilmuwan-ilmuwan lain yang memberi andil pada pengembangan

teori interaksi simbolik, seperti Manford H. Kuhn, Howard S. Becker, Norman

K.Denzin, Arnold Rose, Gregory Stone, Anselm Strauss, Jerome Manis, Bernard

Meltzer, Alfred Lindensmith, dan Tamotsu Shibutani, seraya memanfaatkan

pemikiran ilmuwan lain yang relevan, seperti Georg Simmel atau Kenneth Burke.

Hal itu mereka lakuka lewat interpretasi dan penelitian-penelitian mereka untuk

menerapkan konsep-konsep dalam teori Mead tersebut. (Mulyana, 2008 : 68)

Pada prinsipnya interaksi simbolik lebih menitik beratkan pada aktifitas

manusia yang meliputi petrukaran simbol-simbol atau aktifitas komunikasi yang

diberi makna, disamping itu juga perspektif ini juga banyak memberikan ilham

bagi beberpata teori diantaranya teori penjulukan (Labeling Theory), perspektif

drama turgis daari Erving Goffman, dan etnometodologi. Disamping itu, ada

mazhab yang menganut perspetif interaksioneime simbolik, dimana mazhab Iiwa

lebih menekankan pada metoda yang bersifat positivstik disetiap kajian-kajian

yang dilakukan seperti menemukan hukum-hukum universal tentang perilaku

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

34

manusia yang dapat diuji secara empiris. Berbeda dengan mazhab Iowa, mazhab

Chicago lebih menekankan pada pendekatan yang bersifat humanistik.

Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain,

seperti “Teori Penjulukan” (Labeling Theory) dalam studi tentang penyimpangan

perilaku (Deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan

etnometodologi dari Harlod Garfinkel. Ketiga pendekatan tersebut dapat dianggap

varian-varian interaksionisme simbolik, selain interaksionisme simbolik Mazhab

Iowa yang dikembangkan Manford H.Kuhn. Mazhab Iowa menggunakan metode

saintifik (positivistik) dalam kajian-kajiannya, yakni untuk menemukan hukum-

hukum universal mengenai perilaku sosial yang dapat siuji secara empiris,

sementara mazhab Chicago menggunakan pendekatan humanistik. Meskipun

Kuhn tidak menolak sama sekali studi tentang studi tentang aspek-aspek

tersembunyi mengenai perilaku manusia, ia menyarankan penggunaan instrumen

objektif untuk mengukur perilaku terbuka, yang ia maksudkan juga untuk

mengukur gagasan-gagasan Mead. Sayangnya gagasan-gagasan Kuhn tidak

mendapatkan banyak pendukung, setidaknya di kalangan penganut Teori Mead.

(Mulyana, 2008 : 68-69)

Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya

adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik

pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang

mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga

pengaruhyang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku

pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksionisme

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

35

simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari

interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa

perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau

teori struktural. Alaih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan

berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada.(Mulyana, 2008 : 71)

Dalam pandangan teori interaksi simbolik, pada intinya teori ini lebih

memfokuskan pada bagaimana manausia menggunakan simbol-simbol yang

mereka ciptakan melalui hasil atau proses pertukaran simbol-simbol sebagai

representasi yang ingin dilakukan manusia untuk berkomunikasi satu sama

lainnya, jadi pada dasarnya interaksi simbolik menjelaskan bahwa kehidupan

sosial ini adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. George

Herbert Mead membuat tiga konsep pemikiran tentang teori interaksi simbolik,

diantaranya Mind, The Self, dan Others.

Tiga konsep pemikiran Goerge Herbert Mead dalam interaksi simbolik

yakni : Human Though(Mind,) Social Interaction (The Self & Others) (Miller,

2002 : 51) :

1. Mind (Pikiran) : Pikiran bukanlah sebuah benda , tetapi merupakan

sebuah proses. Hal ini tidak lebih dari sekedar berinteraksi dengan diri anda

sendiri. Kemampuan ini yang berkembang sejalan dengan diri, sangat penting

bagi kehidupan manusia karena merupakan bagian dari setiap tindakan manusia.

Berpikir melibatkan keraguan (menunda tindakah yang jelas) ketika anda

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

36

menafsirkan situasi. Disini anda berpikir melalui situasi dan merencanakan

tindakan selanjutnya. (Littlejohn & Foss, 2009 : 235)

2. The Self (Diri) : Anda memiliki diri karena anda dapat merespons

kepada diri anda sendiri sebagai sebuah objek. Kadang-kadang, anda bereaksi

dengan baik pada diri anda serta merasakan kebanggaan, kebahagiaan, dan

keberanian. Cara utama anda dapat melihat diri anda sendiri adalah melalui

sebagaimana orang lain melihat anda melalui pengambilan peran atau

menggunakan sudut pandang orang lain dan inilah yang menyebabkan anda

memiliki konsep diri. Istilah untuk konsep diri adalah refleksi umum (Generalized

Others) Diri sendiri memiliki dua segi yakni I dan Me. I adalah bagian diri anda

yang menurut kata hati, tidak teratur, tidak terarah, dan tidak dapat ditebak. Me

adalah refleksi umum orang lain yag terbentuk dari pola-pola yang teratur dan

tetap, yang dibagi dengan orang lain. Setiap tindakan dimulai dari I dorongan

dan selanjutnya dikendalikan oleh Me. (Littlejohn & Foss, 2009 : 234)

3. Society (Masyarakat) : masyarakat atau kehidupan kelompok terdiri

atas perilaku-perilaku kooperatif anggota-anggotanya. Kerja sama manusia

mengharuskan kita untuk memahamimaksud orang lain yang juga mengharuskan

kita untuk mengetahui apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Jadi kerja sama

terdiri dari ”membaca” tindakan dan maksud orang lain serta menanggapinya

dengan cara yang tepat. (Littlejohn & Foss, 2009 : 233)

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

37

1.3.2.4. Teori Dramaturgi

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul “The Presentation of Self in

Everyday Life”, memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan

teateris. Banyak ahli mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini berada di

antara tradisi interaksi simbolik dan fenomenologi. Dalam konsep ini, Goffman

memfokuskan pada ungkapan-ungkapan yang tersirat, yakni suatu ungkapan yang

lebih bersifat teateris, kontekstual, non-verbal, dan tidak bersifat

intensional.(Sudikin, 2002 : 103).

Dalam analisis ini, orang akan berusaha memahami makna untuk

mendapatkan kesan dari berbagai tindakan orang lain, baik yang dipancarkan dari

mimik wajah, isyarat dan kualitas tindakan. Semua itu, menurut Goffman

mempunyai keakuratan yang lebih dibandingkan dengan ungkapan verbal

(Sudikin, 2002 : 103).

Teori ini pada intinya ingin memahami sebuah makna serta juga

mendapatkan kesan dari tindakan yang dilakukan oleh seorang individu baik

dalam bentuk isyarat tertentu seperti mimik wajah, bahasa tubuh, dan kualitas

tindakan yang ditunjukan, selain itu Erving Goffman menjelaskan bahwa disaat

individu-individu berinteraksi sebenarnya mereka mencoba menyajikan atau

merepresentasikan self image yang akan diterima oleh orang lain sebagai bentuk

pengelolaan kesan atau biasanya disebut impression management. Semuanya

termasuk dalam bentuk atribut digunakan untuk presentasi diri termasuk busana,

hunian, cara kita berbicara dan berjalan, serta lain sebagainya.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

38

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi, mereka

ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang lain. Ia

menyebut upya itu sebagai “pengelolaan kesan”(impression management), yakni

teknik-teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan tertentu dalam

situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Goffman, kebanyakan

atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk

busana yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, cara kita

melengkapinya (furnitur dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara,

pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita.

Memang segala sesuatu yang terbuka mengenai diri kita sendiri dapat digunakan

untuk memberitahu orang lain siapa kita. Kita melakukan hal itu dari situasi ke

situasi. (Mulyana, 2008 : 112).

Perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang

mirip dengan pertunjukan di atas panggung, yang menampilkan peran-peran yang

dimainkan para aktor. Untuk memainkan peran sosial tersebut, biasanya sang

aktor menggunakan bahasa verbal dan menampilkan perilaku non-verbal tertentu

serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya kendaraan, pakaian, dan

aksesori lainnya, yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu. Aktor harus

memusatkan pikiran agar ia tidak keseleo lidah, menjaga kendali-diri, melakukan

gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan

situasi (Mulyana, 2008 : 114).

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

39

Erving Goffman menjelaskan bahwa dalam perspektif drama turgi,

kehidupan ini diibaratkan dalam sebuah pentas teater, dimana interaksi sosial

diibaratkan sebagai pertunjukan diatas panggung sedangkan pera aktor tersebut

memainkan perannya masing-masing dengan menggunakan bahasa verbal dan

non-verbal. Disamping itu pula, Goffman menyebutkan bahwa terdapat dua

panggung yakni panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back

stage), dimana panggung depan menjelaskan tentang situasi fisik yang harus ada

ketika aktor melakukan pertunjukan, sedangkan panggung belakang berisi tentang

semua rahasia pertunjukan yang akan ditampilkan oleh aktor, sehingga rahasia ini

tidak diketahui oleh publik atau para penonton.

Goffman membagi panggung depan ini menjadi dua bagian : front pribadi

(personal front), dan setting, yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus

melakukan pertunjukan. Tanpa setting, aktor biasanya tidak dapat melakukan

pertunjukan. Misalnya, seorang dokter bedah memerlukan ruang operasi, seorang

supir taksi memerlukan kendaraan, dan seorang pemain sepak bola memerlukan

lapangan bola. Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap khalayak

sebagai perlengkapan yang dibawa aktor kedalam setting. Misalnya, dokter

diharapkan mengenakan jas dokter, dengan stetoskop menggantung dilehernya;

profesor diharapkan membawa buku teks berbahasa asing yang tebal-tebal ketika

mengajar dikelas; dan wartawan diharapkan membawa kamera, alat perekam atau

buku catatan. Personal front ini mencakup juga bahasa verbal dan bahasa tubuh

sang aktor, misalnya berbicara sopan, pengucapan istilah-istilah asing, intonasi,

postur tubuh, ekspresi wajah, pakaian, penampakan usia, ciri-ciri fisik, dan

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

40

sebagainya. Hingga derajat tertentu semua aspek itu dapat dikendalikan aktor. Ciri

yang relatif tetap seperti seperti fisik (termasuk ras) dan usia biasanya sulit

disembunyikan atau diubah, namun aktor sering memanipulasinya dengan

menekankannya atau melembutkannya, misalnya menghitamkan kembali rambut

beruban dengan cat rambut, mencukur bulu-bulu diwajah hingga wajah menjadi

klimis dan tampak lebih mudah, atau sebaliknya memelihara jenggot dan kumis

untuk memberi kesan lebih berwibawa (dalam Mulyana, 2008 : 114-5).

Kontras dengan panggung depan, panggung belakang memungkinkan

pembicaraan dengan menggunakan kata-kata kasar atau tidak senonoh, komentar-

komentar seksual yang terbuka, duduk dan berdiri dengan sembrono, merokok,

berpakaian seenaknya, menggunakan dialek atau bahasa daerah, mengomel,

berteriak, bertindak agresif dan berolok-olok, bersenandung, bersiul, mengunyah

permen karet, menggerumis, bersendawa atau kentut. Panggung belakang

biasanya berbatasan dengan panggung depan, tetapi bersembunyi dari pandangan

khalayak. Ini dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh

karena itu, khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki panggung belakang,

kecuali dalam keadaan darurat. Suatu pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor

membiarkan khalayak berada dipanggung belakang. (dalam Mulyana, 2008 : 115).

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

41

1.3.2.5. Komunikasi Verbal dan Non-Verbal.

1.3.2.5.1. Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal merujuk kepada proses komunikasi dengan

menggunakan pesan verbal (lisan atau tulisan), atau proses penyampaian pesan

menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 67).Sedangkan

menurut Deddy Mulyana, Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol

yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa.

Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol , dengan aturan untuk

mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dam dipahami suatu

komunitas. (Mulyana, 2009 : 260).

Menurut Alo Liliweri, pada hakikatnya bahasa berhubungan langsung

dengan persepsi manusia, dan menggambarkan bagaimana ia menciptakan dunia

dan mewarnainya dengan simbol-simbol yang digunakannya. Apa yang

dikatakannya seseorang, bagaimana cara mengatakan atau mengucapkannya

sangat dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya dalam dunia nyata. (Liliweri, 1994 :

2)

Selanjutnya, untuk kepentingan komunikasi verbal, bahasa dipandang

sebagai suatu wahana penggunaan tanda-tanda atau simbol-simbol untuk

menjelaskan suatu konsep tertentu. Bahasa memiliki kekayaan simbolisasi verbal

dan dipandang sebagai upaya manusia : (1) mendayagunakan informasi yang

bersumber dari persepsi manusia; (2) medium untuk berkomunikasi secara santun

dengan diri sendiri maupun dengan orang lain (Liliweri, 1994 : 2)

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

42

Kemudian Jalaluddin Rakhmat (Rakmat, 1994 : 268-9), mendefinisikan

bahasa secara fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai

alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia menekankan

„dimiliki bersama‟, karena bahasa hanya dapat dipahami bila ada kesepakatan di

antara anggota-anggota kelompok sosial untuk menggunakannya. Secara formal,

bahasa diartikan sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat

menurut peraturan tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana

kata-kata harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti.

L. Barker (dalam Mulyana, 2009 : 266-7) mengatakan bahwa bahasa

mempunyai tiga fungsi, yaitu : penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan

transmisi informasi.

1. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha

mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya

sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.

2. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang

dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan

kebingungan.

3. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain,

inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa. Keistimewaan bahasa

sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-waktu, dengan

menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan

kesinambungan budaya dan tradisi kita.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

43

1.3.2.5.2. Komunikasi Non-Verbal

Komunikasi nonverbal adalah kumpulan isyarat, gerakan tubuh, sikap dan

sebagainya yang memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi tanpa

menggunakan kata-kata (Anugrah dan Kresnowiati, 2007 : 57). Sedangkan

menurut Deddy Mulyana, secara sederhana, pesan nonverbal adalah semua isyarat

yang bukan kata-kata. Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter,

komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal)

dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan

lingkungan individu , yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau

penerima.; jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja

sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim

banyak pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna

bagi orang lain (dalam Mulyana, 2009 : 343).

Menurut Alo Liliweri, komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk

menggambarkan perasaan, emosi. Jika pesan yang anda terima melalui sistem

verbal tidak menunjukan kekuatan pesan maka anda dapat menerima tanda-tanda

nonverbal lainnya sebagai pendukung, selain itu menurut Liliweri budaya

dinyatakan dalam gaya interaksiverbal dan nonverbal; misalnya melalui pepatah

dan ungkapan, pranata sosial, upacara, ceritera, agama bahkan politik (Liliweri,

1994 : 89).

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

44

Mark L. Knapp ( dalam Rakhmat, 1994 : 287) menyebut lima fungsi pesan

nonverbal, yaitu :

1. Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara

verbal.

2. Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal.

3. Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain

terhadap pesan verbal.

4. Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan nonverbal.

5. Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

45

Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di

kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Selatan. Masyarakat Etnik Tionghoa

yang dimaksud adalah mereka sebagai kaum peranakan Etnik Tionghoa yang

merupakan hasil kawin campur dan sudah berbaur dengan Etnik lokal setempat

selama puluhan tahun lamanya. Dalam masyaratak Etnik Tionghoa peranakan ini,

terdapat realitas sosial dalam wujud kebudayaan seperti adat istiadat, arsitektur,

sistem kepercayaan, bahasa. Selain itu pula terdapat identitas sosial yang mereka

miliki, serta terjadinya interaksi sosial baik diantara sesama Etnik Tionghoa itu

sendiri dan juga antara Etnik Tionghoa dengan Etnik lainnya khususnya Etnik

Timor Dawan.

Dalam penelitian ini ada beberapa teori dan pendekatan yang digunakan

untuk mengungkapkan realitas sosial ini, perspektif fenomenologi Schutz

mencoba mempelajari bagaimana fenomena dialami dalam kesadaran, pikiran,

dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima

secara estetis. Dan fenomenologi juga mencoba mencari pemahaman bagaimana

manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting. Dalam kaitannya

dengan penelitian ini, adalah bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki

memaknai identitas etnik mereka melalui pengalaman-pengalaman yang dialami

seperti dalam kesadaran, pikiran dan tindakan mereka.

Komunikasi antar etnik mengkategorikan komunikasi antarpribadi,

komunikasi kelompok yang terjadi antara kelompok agama, suku, ras dan

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

46

golongan sebagai bagian dari komunikasi antar etnik. Masyarakat Etnik Tionghoa

di Kelurahan Niki-Niki dalam melakukan interaksinya sehari-hari baik dengan

sesama Etniknya sendiri maupun dengan Etnik lainnya juga dikategorikan sebagai

komunikasi antar etnik, penelitian ini ingin melihat bagaimana komunikasi antar

etnik yang terjadi antara Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dengan Etnik

lainnya khususnya Etnik Timor Dawan dan dapat mengetahui bentuk pola

komunikasi antar etnik yang dihasilkan. Sedangkan Identitas Etnik dalam

kaitannya dengan penelitian ini adalah bagaimana Etnik Tionghoa pernakan di

Kelurahan Niki-Niki mengidentifikasikan identitas etniknya, bagaimana mereka

menciptakan batasan-batasan etniknya secara khas mempertahankan, dan

menciptakan pola-pola identitas tersebut ditengah keberagaman masyarakat

Kelurahan Niki-Niki. Hal ini dapat diteliti melalui identitas sosial mereka seperti

penggunaan nama, batasan fisik, sistem kepercayaan, arsitektur, adat istiadat serta

norma yang berlaku.

Teori Interaksi simbolik memandang bahwa dalam proses komunikasi

manusia menciptakan dan menggunakan simbol-simbol yang digunakan untuk

berinteraksi satu sama lainnya baik secara verbal maupun non-verbal, dalam

kehidupannya sehari-hari yakni dalam konteksi komunikasi antar etnik Etnik

Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki berintraksi satu sama lain menggunakan

komunikasi verbal dan non-verbal, dimana dalam proses komunikasi ini mereka

menciptakan simbol-simbol dan memaknai simbol yang mereka gunakan sebagai

bagian dari proses interaksi atau komunikasi. Dalam kaitannya dengan teori

drama turgi Erving Goffman, dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

47

perilaku Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki dalam komunikasi antar etniknya

dengan sesama Etnik Tionghoa dan juga denga Etnik lainnya, baik pada panggung

depan dan panggung belakang.

Pada akhirnya melalui pendekatan fenomenologi Schutz dan teori lainnya

dapat mengungkap bagaimana Etnik Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki memaknai

identitas etniknya serta dari hasil ini juga dapat menggambarkan pola-pola atau

model komunikasi antar etnik pada Masyarakat Etnik Tionghoa tersebut.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

48

Gambar 1. Model Kerangka Pemikiran

Pola Komunikasi Antar Etnik

Pengalaman Etnik Tionghoa

memaknai identitas etnik dalam

komunikasi antar etnik.

Pendekatan Fenomenologi

Kehidupan Multi-Etnik di Niki-Niki

Etnik Tionghoa

Makna Identitas Etnik Tionghoa

Etnik Timor Dawan

Komunikasi Antar Etnik

Interaksi Simbolik Simbol verbal dan non-verbal

dalam komunikasi antar etnik.

Dramaturgi Perilaku Etnik Tionghoa dalam

komunikasi antar etnik.

Identitas Etnik Identifikasi Identitas Etnik

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

49

1.4. Fokus Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan pada masyarakat Etnik Tionghoa di

Kelurahan Niki-Niki khususnya mereka yang merupakan keturunan kawin-

campur dengan masyarakat lokal setempat maupun yang golongan peranakan,

selain itu dalam penelitian ini pula peneliti akan mencoba menggali lebih jauh

mengenai proses dan pola komunikasi antar etnik masyarakat etnik Tionghoa

dengan etnik setempat, mengetahui seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika

berinteraksi dengan etnik setempat, mengungkapkan pengalaman-pengalaman

etnik Tionghoa memaknai identitas mereka sendiri. Maka muncul pertanyaan

besar dalam penelitian ini, bagaimana masyarakat Etnik Tionghoa memaknai

identitas etnik ketionghoaan mereka ?

Pertanyaan penelitian yang akan diteliti lebih jauh dalam penelitian ini :

1. Bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik Etnik Tionghoa

dengan etnik setempat di Kelurahan Niki-Niki ?

2. Seperti apa perilaku etnik Tionghoa ketika berinteraksi dengan etnik

setempat di Kelurahan Niki-Niki ?

3. Mengungkap seperti apa pengalaman-pengalaman etnik Tionghoa di

Kelurahan Niki-Niki memaknai identitas etnik mereka ?

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

50

1.5. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

pendekatan fenomenologi. Menurut Thomas Lindof metode kualitatif untuk

penelitian komunikasi dengan paradigma fenomenologi, etnometodologi, interaksi

simbolik, etnografi dan studi kultural, sering disebut sebagai paradigma interpretif

(interpretive paradigm). Sedangkan menurut Watt & Berg menjelaskan bahwa

paradigma teori interaksi simbolik, fenomenologi dan etnometodologi yang

mengembangkan metode kualitatif untuk penelitian komunikasi dapat

mengungkapkan kontruksi realitas (reality construction). (dalam Kuswarno, 2009

: 125)

Metodologi kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007 :

4) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang

dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada

latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh

mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi

perlu memandangnya sebagai bagian dari sesuatu keutuhan. Sedangkan menurut

Moleong (Moleong, 2007 : 6) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik,

dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

51

Pendekatan fenomenologi menurut Schutz (dalam Kuswarno, 2009 : 2)

bahwa tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena

dialami dalam kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti bagaimana

fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba

mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-

konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektif karena

pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain.

Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan

aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain didalamnya.

1.5.1. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini yang akan menjadi subjek penelitian adalah semua

masyarakat Etnik Tionghoa secara umum yang terdapat di seluruh Kelurahan

Niki-Niki, namun semuanya belum termasuk sebagai informan penelitian.

1.5.2. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang akan menjadi objek penelitian adalah hal-hal

yang berkaitan dengan makna identitas Etnik Tionghoa dalam komunikasi antar

etnik di Kelurahan Niki-Niki. Makna identitas disini adalah bagaimana etnik

Tionghoa memaknai dan mengidentifikasi identitas melalui pengalaman-

pengalaman mereka, bagaimana proses dan pola komunikasi antar etnik pada

Etnik Tionghoa, serta seperti apa perilaku etnik Tionghoa dalam komunikasi antar

etnik dengan etnik setempat. Untuk memperdalam serta mengungkapkan

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

52

fenomena di lapangan digunakan metode pengamatan berperan-serta (observasi

partisipan), wawancara mendalam dengan para informan, serta mengumpulkan

dokumentasi-dokumentasi lainnya berupa foto atau berkas yang relevan dengan

penelitian ini.

1.5.3. Sumber Data dan Penentuannya

Untuk dapat membuat penjelasan tentang sesuatu permasalahan secara

mendalam, maka dibutuhkan informan maupun rentang waktu yang cukup.

Artinya orang yang dijadikan narasumber data adalah orang yang benar-benar

mewakili seluruh populasi dan mencerminkan komunitas dari keseluruhan objek

penelitian.

Sesuai dengan fokus perhatian dalam penelitian ini yaitu masyarakat Etnik

Tionghoa di Kelurahan Niki-Niki, Kelurahan Niki-Niki yang dihuni kurang lebih

1054 jiwa keturunan atau Etnik Tionghoa yang dibawahi oleh 63 kepala keluarga

yang dimana rata-rata mereka merupakan keturunan dari generasi ke empat dan

lima. Namun dari semua jumlah masyarakat keturunan atau Etnik Tionghoa di

kelurahan Niki-Niki tidak dijadikan sebagai responden atau informan penelitian,

peneliti hanya akan memilih sepuluh orang sebagai bahan informan. Dimana

dalam menentukan informan atau sampel pada penelitian kualitatif tidak ada

sampel acak melainkan sampel bertujuan (purposive sampling), penggunaan

teknik sampel ini bertujuan agar menjaring sebanyak mungkin informasi dari

berbagai macam sumber dan bangunannya sertamenggali informasi yang akan

menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

53

Menurut Creswell, jumlah informan dalam penelitian fenomenologi (pada

penelitian positivistik disebut pengambilan sampel), juga tidak ditentukan. Faktor

terpenting memilih informan adalah karena diharapkan dapat menggambarkan

makna dari fenomena/peristiwa secara detail. Biasanya jumlah informan dalam

penelitian fenomenologi sampai dengan sepuluh orang, dirasakan sudah cukup.

(dalam Kuswarno, 2009 : 62)

Adapun kriteria-kriteria informan yang diajukan peneliti adalah sebagai

berikut :

1. Etnik Tionghoa yang telah hidup lama di Kelurahan Niki-Niki, etnik

Tionghoa yang dimaksud adalah mereka yang telah beralkulturasi dan

beradaptasi dengan masyarakat setempat termasuk didalamnya adalah

kaum Tionghoa peranakan maupun yang campuran, dimana merupakan

keturunan kawin campur dengan etnik Timor Dawan.

2. Etnik Tionghoa yang merupakan warga asli atau kelahiran di Kelurahan

Niki-Niki atau yang telah tinggal sekurang-kurangnya selama 10-20 tahun.

3. Etnik Tionghoa baik yang sudah menikah atau belum menikah.

4. Etnik Tionghoa yang dianggap cukup mengetahui seluk beluk hubungan

sosial, budaya dan keluarga mereka dan bersedia dijadikan sebagai

informan penelitian.

5. Etnik Tionghoa yang diantaranya juga adalah para tokoh masyarakat etnik

Tionghoa.

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

54

1.5.4. Teknik Pengumpulan Data

1.5.4.1. Metode Observasi Partisipasi

Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan

menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra

lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu, observasi adalah

kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja

pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Observasi partisipan

yang dimaksud adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek

pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam

aktivitas kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian, pengamat betul-betul

menyelami kehidupan objek pengamatandan bahkan tidak jarang pengamat

kemudian mengambil bagian dalam kehdupan budaya mereka (Bungin, 2007 :

115-6).

Dalam pengamatan partisipan ini, peneliti akan turun secara langsung

dilapangan mengamati dan terlibat dalam kehidupan masyarakat Etnik Tionghoa

di kelurahan Niki-Niki, bagaimana interaksi mereka dalam bentuk komunikasi

antaretnik baik secara verbal dan non-verbal dalam kehidupan sehari-hari, dan

bagaimana mereka memaknai identitas Etnik mereka. Dalam hal ini, yang diamati

oleh peneliti secara detail adalah bagaimana etnik Tionghoa (peranakan dan

campuran) berinteraksi baik dengan sesama etniknya sendiri maupun dengan

etnik Dawan dengan mengggunakan komunikasi verbal (bahasa) dan komunikasi

non-verbal (gerakan tubuh, isyarat, komunikasi tanpa kata-kata, dan sebagainya).

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

55

Sedangkan dalam mengungkapkan makna identitas etniknya adalah peneliti

mengamati bagaimana perilaku informan ketika berinteraksi dengan sesama etnik

Tionghoa lainnya maupun dengan etnik Dawan. Pengamatan ini bertujuan

menyamakan hasil temuan selama proses wawancara atau diskusi dengan

informan.

1.5.4.2. Metode Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan

untuk tujuan penelitian dengan cara tanya-jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

menggunakan (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat

dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara

mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan (Bungin, 2007 :

108).

Selain menggunakan metode pengamatan berperan serta, peneliti

menggunakan metode wawancara mendalam, dimana peneliti terlibat langsung

dalam memperoleh informasi dari informan secara langsung dalam proses tanya

jawab, dengan tujuan mendapatkan informasi atau data tambahan untuk

mendukung penelitian, selain itu peneliti juga mempersiapkan kerangka-kerangka

pertanyaan untuk diajukan kepada informan. Kerangka pertanyaan yang dimaksud

adalah daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, namun tidak tertutup

kemungkinan saat wawancara berlangsung muncul pertanyaan lain sesuai dengan

jawaban informan. Disamping itu, dalam proses wawancara ini peneliti

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

56

menggunakan pendekatan dengan menggunakan bahasa melayu Kupang ketika

melakukan wawancara. Disamping melakukan wawancara secara formal, peneliti

juga melakukan wawancara secara off the record terhadap informan untuk

menggali data-data lain yang tidak didapat selama wawancara secara formal.

1.5.4.3. Metode Dokumentasi

Menurut Kartono (dalam Bungin, 2007 : 121) bahwa metode dokumenter

adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi

penelitian sosial. Pada intinya metode dokumenter adalah metode yang digunakan

untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, maka

bahan dokumenter memegang peranan yang amat penting.

Sedangkan meurut Kartodirdjo (dalam Bungin, 2007 : 122) bahwa sebagian

besar data yang tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian,

cinderamata, laporan, dan sebagainya. Sifat utama dari data ini tak sebatas pada

ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui

hal-hal yang pernah terjadi diwaktu silam. Kumpulan data bentuk tulisan ini

disebut dokumen dalam arti luas termasuk monumen, artefak, foto, tape,

mikrofilm, disc, CD, harddisk, flashdisk, dan sebagainya.

Dalam kegiatan penelitian ini, selain menggunakan metode pengamtan dan

wawancara peneliti juga menggunakan metode dokumentasi sebagai bahan

pelengkap data penelitian berupa foto, transkrip wawancara, atau dokumen-

dokumen lainnya yang berhubungan dengan hasil penelitian ini.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

57

1.5.5. Analisa Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan

fenomenologi dan menggambarkan temuan lapangan secara utuh. Data di dalam

penelitian kualitatif selalu berbentuk rangkaian kata-kata bukan angka-angka.

Proses analisa data yang akan dilakukan dalam penelitian ini terdiri enam tahapan,

Creswell mengemukakan teknik analisis dan representasi data yang agak berbeda

untuk penelitian fenomenologi (dalam Kuswarno, 2009 : 71) :

Analisis dan Representasi

Data

Penelitian Fenomenologi

Pengolahan Data Membuat dan mengorganisasikan data.

Membaca dan mengingat

data

Membaca teks, membuat batasan-batsan catatan,

dan membuat form kode-kode inisial.

Menggambarkan data Menggambarkan makna dari peristiwa untuk

peneliti

Mengklasifikasikan data Menemukan pernyataan-pernyataan

bermakna, dan membuat daftarnya.

Mengelompokkan penyataan-pernyataan

yang sama ke dalam unit-unit makna tertentu.

Interpretasi data Membangun deskripsi tekstural (apa yang

terjadi).

Membangun deskripsi struktural (bagaimana

peristiwa itu dialami)

Membangun deskripsi keseluruhan dari

peristiwa (esensi peristiwa)

Visualisasi dan presentasi

data

Narasi esensi peristiwa, dilengkapi dengan tabel

pernyataan, dan unit-unit makna.

Tabel 2. Model Teknik Analisa Data Menurut Cresswell

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

58

1.5.6. Uji Keabsahan Data

Penelitian kualitatif menghadapi persoalanpenting mengenai pengujian

keabsahan hasil penelitian. Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan

kebenarannya karena beberapa hal ; (1) subjektivitas peneliti merupakan hal yang

dominandalam penelitian kualitatif, (2) alat penelitian yang diandalkan adalah

wawancara dan observasi (apapun bentuknya) mengandung banyak kelemahan

ketika dilakukan secar terbuka dan apalagi tanpa kontrol (dalam observasi

partisipasi), (3) sumber data kualitatif yang kurang kredibel akan mempengaruhi

hasil akurasi penelitian. (Bungin, 2007 : 254).

Untuk itu, peneliti akan melakukan beberapa cara keabsahan data yakni :

1. Perpanjangan Keikutsertaan, dalam setiap penelitian kualitatif,

kehadiran peneliti dalam setiap tahap penelitian kualitatif membantu

peneliti untuk memahami semua data yang dihimpun dalam

penelitian. Karena itu hampir dipastikan bahwa peneliti kualitatif

adalah orang yang langsung melakukan wawancara dan observasi

dengan informan-informannya. Karena itu peneliti kualitatif adalah

peneliti yang memiliki waktu yang lama berama dengan informan

dilapangan, bahkan samai kejenuhan pengumpulan data tercapai.

(Bungin, 2007, hal 254-5). Sedangkan menurut Moleong (Moleong,

2007, hal 327) mengatakan apabila peneliti lebih lama dilapangan,

maka ia akan membatasi; (1) ganguan dari dampak peneliti pada

konteks, (2) kekeliruan (biases) peneliti, (3) mengonpensasikan

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

59

pengaruh dari kejadian-kejadian yang tidak biasa atau pengaruh

sesaat.

2. Menemukan Siklus Kesamaan Data, tidak ada kata sepakat

mengenai kapan suatu penelitian kualitatif dihentikan dalam arti

kapan selesainya suatu penelitian dilakukan secara kualitatif. Ketika

peneliti mengatakan bahwa setiap hari ia menemukan data baru,

maka artinya ia masih terus bekerja untuk menemukan data lainnya

karena informasi yang ingin diperolehnya masih banyak. Akan tetapi

suatu hari ia menemukan informasi yang sama yang pernah

didapatkan, begitu pula hari-hari berikutnya ia hanya memperoleh

data yang pernah diberikan oleh informan sebelumnya. Dengan

demikian, ia harus melakukan langkah akhir yaitu menguji

keabsahan data penelitiannya dengan informasi yang baru saja ia

peroleh dan apabila tetap sama maka ia sudah menemukan siklus

kesamaan data atau dengan kata lain ia sudah berada di penghujung

aktivitas penelitiannya. (Bungin, 2007 : 256)

3. Ketekunan Pengamatan, untuk memperoleh derajat keabsahan yang

tinggi, maka jalan penting lainnya adalah dengan meningkatkan

ketekunan dalam pengamatan di lapangan. Pengamatan bukanlah

suatu teknik pengumpulan data yang hanya mengandalkan

kemampuan pancaindra, namun juga menggunakan semua

pancaindra termasuk adalah pendengaran, perasaan, dan insting

peneliti. Dengan meningkatkan ketekunan pengamatan di lapangan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

60

maka, derajat keabsahan data telah ditingkatkan pula. (Bungin, 2007

: 256)

4. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

dimanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik

triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui

sumber lainnya. (Moleong, 2007 : 330).

5. Pengecekan melalui diskusi, diskusi dengan berbagai kalangan yang

memahami masalah penelitian, akan memberi informasi yang berarti

kepada peneliti, sekaligus sebagai upaya untuk menguji keabsahan

hasil penelitian. Cara ini dilakukan dengan mengekspos hasil

sementara dan atau hasil akhir untuk didiskusikan secara analitis.

Diskusi bertujuan untuk menyingkapkan kebenaran hasil penelitian

serta mencari titik-titik kekeliruan interpretasi dengan klarifikasi

penafsiran dari pihak lain (Bungin, 2007 : 258)

6. Kajian Kasus Negatif, kajian kasus negatif dilakukan dengan jalan

mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan dan

kecendrungan informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan

sebagai bahan pembanding. Kajian ini dapat dilakukan dengan

mengkaji suatu kegiatan penelitian lain yang gagal, umpamanya para

petugas lapangan, karena kesulitan di lapangan tidak dapat menemui

informan di rumah masing-masing informan, sebagai jalan

keluarnya, mereka mengumpulkan informan dibalai desa dan

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

61

mewawancarai mereka sepuluh orang sekaligus. Karena peneliti

memperoleh informasi yang sama pada wawancara berikutnya maka

peneliti mengaggap bahwa sepuluh informan berikutnya lagi akan

menyampaikan informasi yang sama pula, maka peneliti tidak

melakukanwawancara kepada informan lagi tetapi mengisi sendiri

lembaran interview itu dan meninggalkan desa tersebut (Bungin,

2007 : 258).

7. Pengecekan anggota tim, pengecekan anggota tim pada prinsipnya

adalah konfirmasi langsung dengan kelompok anggota tim yang

terlibat langsung pada saat penelitian dengan mengonfirmasi ikhtisar

hasil wawancara. Selain itu dilakukan pengecekan silang pada

kelompok lain sebagai contoh penelitian. Langkah ini dilakukan

apabila peneliti bekerja dengan tim peneliti, maka langkah ini sangat

dibutuhkan untuk menyatukan persepsi data tertentu yang diperoleh

di lapangan oleh peneliti satu dan lainnya, sehingga data yang

diperoleh tersebut memiliki tingkat keabsahan yang tinggi. Namun

apabila ternyata masing-masing peneliti tidak sepakat tentang suatu

informasi, maka harus dilakukan pengecekan kembali terhadap

informasi tersebut untuk memperoleh kejelasan informasi (Bungin,

2007 : 259).

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

62

1.5.7. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Kelurahan Niki-Niki yang merupakan

salah satu kelurahan yang berada dibawah kecamatan Amanuban Tengah,

Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dengan luas

wilayah yang mencapai 1200 km² ini memiliki jumlah penduduk mencapai 3032

jiwa yang tersebar dalam 700 kepala keluarga.

Pemilihan lokasi ini tidak lepas dari pertimbangan peneliti bahwa di

kelurahan Niki-Niki ini banyak masyarakat keturunan Etnik Tionghoa peranakan

dan khususnya Tionghoa campuran yang rata-ratanya sudah kawin campur

dengan masyarakat lokal setempat tetap mempertahankan identitas etnik

Ketionghoaannya ditengah-tengah keberagaman masyarakat kelurahan Niki-Niki,

disamping itu juga kehidupan mereka masih tradisional dan belum banyak

terpengaruh gaya hidup modern, karena lokasinya yang jauh dari pusat ibu kota

Kabupaten dan Provinsi. Dari keunikan ini, peneliti berharap dapat memperoleh

informasi bernilai dari responden untuk penelitian ini.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangmedia.unpad.ac.id/thesis/210120/2010/210120100035_1_2573.pdf · 4 mempertahankan identitas “Ketionghoaan” mereka baik lewat penggunaan nama

63

1.5.8. Jadwal Penelitian

Kegiatan

Bulan

Januari

2012

Februari

2012

Maret

2012

April

2012

Mei

2012

Juni-

Okt

2012

Nov

2012

Observasi

Awal

Bimbingan

Seminar

Usulan

Penelitian

Revisi Hasil

Seminar

Penelitian dan

Penulisan

Sidang Tesis

Tabel 3. Jadwal Penelitian