bab i pendahuluan 1.1 konteks penelitian file1 bab i pendahuluan 1.1 konteks penelitian setiap...

46
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Setiap komunitas memiliki variasi bahasa tertentu dan cara-cara berbicara yang tepat untuk para anggota komunitas itu. Variasi itu oleh kaum sosiolinguis disebut dengan repertoar komunikatif. Para pakar, seperti Akmajian (1981), Chaika (1982), Fowler (1985), Wardhaugh (1986), Milroy (1987), Kartomihardjo (1987; 1988), dan Romaine (1994) memlliki kesamaan pandangan bahwa tidak ada bahasa dalam masyarakat yang seragam, tetapi menunjukkan adanya variasi dalam bentuk dan cara penggunaannya. Bahkan, ciri variasi itu telah menjadi karakteristik universal bahasa. Variasi bahasa atau variasi sosiolinguistis itu diharapkan ketika sebuah bahasa melayani masyarakat yang terstratifikasi secara hirarkhis, yang kemudian terbagi ke dalam berbagai kepentingan dan keahlian (Fowler, 1985: 66). Dalam hal ini, variasi bahasa dibutuhkan untuk melayani kebutuhan komunikasi intrakomunitas. Bagi Hymes (1981) masalah variasi bahasa bukan hanya persoalan stratifikasi yang bersifat vertikal seperti pendapat Fowler tersebut, tetapi juga yang bersifat horisontal. Dalam hal ini, variasi bahasa dibutuhkan dalam melayani kebutuhan komunikasi antarkomunitas. Secara vertikal, variasi bahasa dipandang dari aspek keformalannya, dan yang paling formal sampai yang tidak formal. Pandangan seperti ini dapat disimak dari pendapat Joos (1968:188) yang membagi formalitas bahasa atas lima tingkat, yaitu ) frozen, (2)

Upload: buique

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Penelitian

Setiap komunitas memiliki variasi bahasa tertentu dan cara-cara berbicara yang

tepat untuk para anggota komunitas itu. Variasi itu oleh kaum sosiolinguis disebut dengan

repertoar komunikatif. Para pakar, seperti Akmajian (1981), Chaika (1982), Fowler (1985),

Wardhaugh (1986), Milroy (1987), Kartomihardjo (1987; 1988), dan Romaine (1994)

memlliki kesamaan pandangan bahwa tidak ada bahasa dalam masyarakat yang seragam,

tetapi menunjukkan adanya variasi dalam bentuk dan cara penggunaannya. Bahkan, ciri

variasi itu telah menjadi karakteristik universal bahasa.

Variasi bahasa atau variasi sosiolinguistis itu diharapkan ketika sebuah bahasa

melayani masyarakat yang terstratifikasi secara hirarkhis, yang kemudian terbagi ke

dalam berbagai kepentingan dan keahlian (Fowler, 1985: 66). Dalam hal ini, variasi

bahasa dibutuhkan untuk melayani kebutuhan komunikasi intrakomunitas. Bagi Hymes

(1981) masalah variasi bahasa bukan hanya persoalan stratifikasi yang bersifat vertikal

seperti pendapat Fowler tersebut, tetapi juga yang bersifat horisontal. Dalam hal ini,

variasi bahasa dibutuhkan dalam melayani kebutuhan komunikasi antarkomunitas.

Secara vertikal, variasi bahasa dipandang dari aspek keformalannya, dan yang

paling formal sampai yang tidak formal. Pandangan seperti ini dapat disimak dari

pendapat Joos (1968:188) yang membagi formalitas bahasa atas lima tingkat, yaitu )

frozen, (2)

formal, (3) consultative, (4) casual, dan (5) intimate yang disebutnya dengan style 'ra-

gam', atau pandangan Hymes (1981:vii) yang membagi bahasa secara vertikal ke dalam

variasi-variasi (1) standar, (2) kolokial, dan (3) substandar, termasuk pembagian ke

dalam variasi (1) formal dan (2) informal.

Secara horisontal, bahasa digunakan untuk berbagai bidang kehidupan yang be-

ragam itu. Bahasa digunakan dalam berbagai situasi tutur (speech situation), seperti di

ruang sidang, rumah sakit, gereja, masjid, ruang kuliah, ruang konferensi pers, dan latar-

latar lainnya. Hakim-pengacara, politikus, akademisi, pastur, penceramah, dan sebagainya

haruslah berbahasa sesuai dengan latar yang ada. Menurut Hymes (1981:vii) agar berhasil

menjadi pengacara, dokter, pastur, menteri atau rabi, atau peran-peran dalam masyarakat

yang banyak sekali itu, seseorang harus memahami bagaimana ia harus berbicara dengan

cara-cara tertentu pula.

Setiap peran sosial yang dijalankan dalam masyarakat di atas akan memiliki ka-

rakteristik dalam penggunaan bahasanya (language use) yang membedakannya dengan

peran sosial lainnya. Bahasa yang digunakan oleh seorang dokter ketika menggali

informasi tentang jenis penyakit atau rahasia-rahasia pasiennya memiliki karakteristik

yang herbeda dengan bahasa yang digunakan pastur atau pendeta ketika berkhotbah di

depan jamaahnya. Bahasa yang digunakan oleh direktur atau manajer personalia dalam

wawancara pekerjaan akan berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh politikus

ketika berkampanye untuk mempengaruhi masyarakat agar memilih partainya. Bahasa

yang digunakan guru dalam kelas berbeda dengan bahasa yang digunakan menteri ketika

menjelaskan program-program kerjanya kepada masyarakat luas. Setiap latar dan peran

sosial yang dijalankan memiliki karakteristik unik dan khas.

3

Hal yang perlu dicatat adalah variasi sosiolinguistis yang muncul tidak

semata-mata persoalan bentuk (form). Halliday (1978:190-191) mengklaim bahwa variasi-

variasi sosiolinguistis (register) bukan semata-mata persoalan bentuk linguistik yang

berbeda, tetapi lebih dari itu variasi sosiolinguistis itu bersangkut-paut dengan perbedaan

dalam "rentangan kekuatan semantis" (ranges of semantic potential). Penggunaan atau

pilihan terhadap variasi-variasi krama inggil, krama, madya, dan ngoko dalam komunitas

tutur Jawa, misalnya, akan menginformasikan banyak hal, antara lain tentang: status sosial

partisipan, hubungan antarpartisipan, dan jarak sosial (social distance).

Bahasa dalam kelompok-kelompok yang berbeda serta bahasa individu untuk pe-

ran-peran sosial yang berbeda akan mengartikulasikan makna sosial (social meaning) ter-

tentu. Kelompok tertentu memerlukan pengucapan atau pengartikulasian bahasa secara

berbeda dengan kelompok lainnya. Dengan demikian, praksis linguistis (linguistic prac-

tice) merupakan cara yang sangat kuat untuk mengartikulasikan berbagai pengalaman,

kepercayaan, dan nilai-nilai (Fowler, 1985:66). Dalam dunia politik, misalnya, pada era

Orde Baru pernerintah selalu mempergunakan predikat atau sebutan tertentu yang cukup

ditakuti oleh lawan-lawan politiknya. Sebutan-sebutan seperti "antipembangunan", "anti-

Pancasila", "ekstrem kanan", "ekstrem kiri", "tidak bersih", dan sebagainya begitu intensif

digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik pemerintahan Orde Baru.

Praksis linguistis di atas dapat diperjelas misalnya dalam hal pemberian nama bagi

auak-anak masyarakat tradisional di Indonesia. Nama-nama orang dalam komunitas Jawa

misalnya, pada umumnya mencerminkan pandangan hidup, harapan, dan nilai-nilai

filosofi Jawa. Nama orang akan membawa makna, implikasi, dan tanggung jawab bagi

pemiliknya. Tidak semua nama dapat diberikan pada sembarang orang. Akibatnya, tidak

4

semua orang sanggup memikul "beratnya" nama yang disandang. Dalam tradisi Jawa ada

konsep kabotanjeneng 'terlalu berat nama yang disandang'. Orang yang kabotan jeneng

akan mengalami perjalanan hidup yang penuh dengan cobaan dan rintangan. Dalam filosofi

Java amat dipercayai bahwa orang yang kabotan jeneng akan mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan hubungan antara mikrokosmos dan makrokosmos dalam dirinya,

misalnya sakit-sakitan. Untuk mengembalikan keseimbangan hubungan antara mikro dan

makrokosmos itu, nama orang yang bersangkutan harus diubah dengan nama yang sesuai

dengan keadaan, yaitu nama yang tidak terlalu abot ‘berat'.

Bahasa memiliki kekuatan dalam rangka proses konstruksi sosial. Dengan

kekuatan bahasa sebuah tatanan sosial yang dikehendaki akan terbentuk, apakah

menghendaki tatanan sosial yang hirarkhis-subordinatif atau tatanan sosial yang

egalitarian-koordinatif. Pembagian bahasa Jawa ke dalam variasi-variasi krama inggil,

kram, madya, dan ngoko yang begitu ketat, misalnya, telah menciptakan tatanan sosial

Jawa yang hirarkhis-subordinatif. Dalam kaitan itu, Halliday (1976) memandang bahasa

lebih sebagai sumber (resource) daripada sebagai kaidah (rule). Bahasa sebagai "sumber"

berarti bahwa kedudukan bahasa dalam dunia sosial akan mengatur dan mengontrol diri

sendiri dan orang lain; bahasa sebagai kaidah berarti bahwa bahasa berfungsi sebagai

sebuah skema untuk merepresentasikan aturan-aturan di luar bahasa itu (Cook-Gumperz,

1981:27).

Dalam dua dasawarsa terakhir ini para pakar begitu intensif dalam mengkaji

penggunaan bahasa dalam berbagai konteks profesional dan pekerjaan. Kajian-kajian itu

dapat disebutkan, antara lain (1) penggunaan bahasa dalam kelas (Morley, 1992), (2) in-

teraksi antarilmuwan (Swales, 1987), (3) wacana dalam konteks hukum (O’Barr, 1981;

Maher & Rokosz, 1992; Sim, 1987; Maley, 1987), (4) wacana dalam konteks medis

5

(Maher & Rokosz, 1992; Cicourel, 1981), (5) wacana dalam konteks pekerjaan (Kalin,

1982), (6) interaksi lisan antara pasien wanita dan kelompok minoritas dengan praktisi

medis (Tannen, 1984), (7) interaksi antara praktisi dan pasien dalam psychiatric treat-

ment (Candlin et al., 1976), (8) bahasa dan birokrasi (Charrow, 1982), dan (9) bahasa

dan media (Bell, 1995).

Beberapa bidang kajian laiti yang perlu mondapat perhatian segera untuk diteliti

secara mendalam seperti disarankan oleh Grabe dan Kaplan (1992:230) antara lain adalah

(1) penggunaan bahasa dalam navigasi maritim, (2) penggunaan Bahasa narapidana, (3)

penggunaan bahasa dalam praksis keagamaan (religious practice), (4) penggunaan bahasa

dalam politik, (5) penggunaan bahasa dalam birokrasi pegawai negeri (civil-service

bureaucracy), (6) penggunaan bahasa dalam pertemuan resepsi kantor (office-reception

encounters), (7) penggunaan bahasa dalam pertemuan guru, dan (8) penggunaan bahasa

oleh kelompok-kelompok atau "geng-geng" remaja (youth gangs).

Dalam pandangan peneliti, jika saran Grabe & Kaplan (1992:230) diarahkan pada

latar Indonesia, topik tentang "penggunaan bahasa dalam politik" menduduki tempat per-

tama untuk segera digarap secara lebih serius dan sistematis melalui kajian yang menda-

lam. Dugaan awal dalam penelitian ini adalah bahwa dari perspektif sosiolinguistik per-

soalan kesemrawutan kehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya di In-

donesia berpangkal dari adanya ketidakberesan penggunaan bahasa Indonesia untuk ke-

pentingan politik. Dalam kehidupan sosial politik, kesemrawutan itu dapat dilihat pada

fenomena-fenomena yang menonjol, antara lain (1) tidak jelasnya fimgsi-fungsi legislatif,

eksekutif, dan yudikatif dalam penyelenggaraan pemerintahan, (2) penafsiran makna de-

mokrasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, dan (3) terlalu menonjolnya

6

peran dan fungsi pribadi-pribadi pemimpin yang "kuat" bukan sistem pernerintahan yang

kuat. Dalam kehidupan sosial ekonomi, kesemrawutan Indonesia itu dapat dilihat pada

fenomena-fenomena yang menonjol, antara lain (1) banyaknya bentuk kecurangan dalam

penyelenggaraan roda perekonomian oleh perbankan nasional, (2) terlalu lebarnya jurang

antara yang kaya dan miskin, dan (3) terlalu banyaknya keputusan bidang ekonomi yang

tercemar oleh kepentingan politik. Dalam bidang sosial budaya, kesemrawutan itu dapat

dilihat pada fenomena-fenomena yang menonjol, antara lain (1) semakin menguatnya bu-

daya menerabas, (2) sulitnya terbentuk budaya malu, budaya antri, budaya tertib, budaya

bersih, dan (3) semakin menggejalanya budaya permisif di segala bidang kehidupan.

Dalam bidang sosial politik, khususnya, bahasa Indonesia (BI) dipergunakan bu-

kan untuk media komunikasi politik yang ideal antara politikus dengan masyarakatnya,

tempat politikus menyampaikan informasi-informasi politis secara jujur, terbuka, dan

alamiah kepada masyarakat banyak, tetapi BI lebih didayagunakan sebagai media domi-

nasi dan kekuasaan. Secara lebih operasional, BI dipergunakan untuk tujuan-tujuan politis

tertentu, seperti: menutupi kekurangan, melarikan diri dari tanggung jawab, menangkis

atau menghindar dari serangan lawan politik, membungkus kebusukan dengan bahasa

keemasan, menjatuhkan mental lawan, meneror atau menakut-nakuti masyarakat,

dan sebagainya (Santoso, 1998:142).

Dengan ketidakberesan penggunaan bahasa sebagai alat dominasi dan kekuasaan

di atas sesuai dengan pandangan Maher & Rokosz (1992:231) bahwa dari semua situasi

penggunaan bahasa di atas yang salah satunya bahasa politik terdapat tiga kekhasan seba-

gai berikut. Pertama, adanya ketidakseimbangan dalam hubungan kekuatan atau kekua-

saan secara timbal balik antara partisipan yang terlibat, yaitu antara penutur dan petutur.

7

Ketidakseimbangan ini memungkinkan penutur—yaitu para politikus—sebagai orang

yang memiliki kekuasaan akan memanfaatkan bahasa untuk mendominasi petutur, yakni

masyarakat awam. Kedua, terdapat seperangkat urutan pola-pola bahasa yang diterapkan

secara tetap. Dalam wacana politik, unsur-unsur linguistik seperti kosakata, gramatika, dan

struktur teks terdapat kecenderungan yang kuat untuk didayagunakan secara intensif dan

ekstensif oleh politikus untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, terdapat pertukaran per-

cakapan yang cenderung memperkuat identitas profesional yang dibentuk melalui konteks.

Dalam diskusi politik, misalnya, fenomena turn-taking sering didayagunakan oleh

kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan yang lebih kuat untuk memperkuat domi-

nasinya. Menurut peneliti, pandangan Maher dan Rokosz itu hanya difokuskan pada pe-

ristiwa ujaran yang hubungan antarpartisipannya tidak sederajat. Karakteristik bahasa an-

tarpartisipan yang kedudukannya sederajat akan memunculkan karakteristik tersendiri.

Dalam wacana politik ini terjadi apa yang disebut "kesenjangan komunikasi",

yakni komunikasi yang tidak ideal karena antarpartisipannya memiliki hubungan

kekuasaan yang tidak sederajat. Partisipan yangg memiliki kekuasaan yang lebih besar—

politikuscenderung menaturalisasikan norma-norma ideologisnya kepada partisipan yang

kekuasaannya lebih kecil--masyarakat awam—dengan berbagai metode sehingga

partisipan lain itu secara "tidak sadar" mematuhi norma-norma ideologi itu sebagai

sesuatu akal sehat (common sense) tanpa bersedia mengkritisi kebenaran norma itu.

Dalam "kesenjangan komunikasi politik" seperti di atas akan sering terjadi distorsi,

manipulasi, dan strukturasi realitas yang dijalankan melalui wacana.

Penelitian ini akan memusatkan perhatian pada karakteristik penggunaan bahasa

dalam wacana politik di Indonesia. Penggunaan bahasa untuk tujuan politik tersebut be-

8

gitu intensif dalam kehidupan sehari-hari. Pidato presiden adalah sebuah wacana politik.

Keterangan menteri-menteri negara tentang suatu kebijakan atau tanggapan terhadap

suatu peristiwa menarik di tanah air Indonesia juga merupakan wacana politik. Pidato

dari ketua partai politik dalam menyampaikan program-programnya atau

mengomentari suatu peersoalan kenegaraan dan kemasyarakatan adalah wacana

politik. Wacana yang dihasilkan oleh presiden, menteri, ketua partai selalu bertalian

dengan masalah "pengaturan masyarakat secara berkekuasaan" dan untuk itu

diperlukan pengorganisasian masyarakat banyak. Oleh karena itu, wacana-wacana

yang dihasilkan oleh pelaku-pelaku tersebut termasuk ke dalam kategori wacana

politik. Presiden, menteri, dan ketua partai adalah jabatan politik, dengan demikian

ujaran-ujaran yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah akan

selalu bermuatan politik. Bahkan, dalam dunia politik Indonesia terutama pada era

pemerintahan Soeharto dan Habibie, pidato, keterangan, dan pernyataan para pemimpin

TNI/ABRI dan Polri merupakan wacana politik karena memenuhi kriteria "pengaturan

masyarakat secara berkekuasaan".

Wacana politik yang muncul dari ujaran-ujaran para pelaku politik itu memiliki

signifikansi untuk diteliti atas dasar beberapa rasional. Pertama, ujaran-ujaran dan para

pelaku politik tersebut muncul sepanjang waktu. Ujaran-ujaran itu merupakan bagian dan

aktivitas mereka sebagai pelaku politik yang selanjutnya sebagai bahan konsumsi untuk

masyarakat banyak. Kedua, ujaran-ujaran itu memiliki dimensi strategis yang bersifat

direktif. Banyak ujaran, baik yang berupa dialog maupun monolog, memiliki tujuan ter-

tentu untuk mengatur dan mengendalikan masyarakatnya. Ujaran-ujaran itu tidak hanya

sekadar memiliki tujuan informatif, tetapi lebih dari itu ujaran-ujaran itu memiliki kebe-

ragaman tujuan. Ketiga, ujaran-ujaran itu tidak terjadi dalam isolasi atau bebas konteks.

9

Tidak ada ujaran politik yang terjadi dalam vakum sosial. Sebaliknya, setiap penggunaan

bagian ujaran selalu merupakan bagian integral dari konteks ujaran, lokal maupun global.

Pemilihan topik "penggunaan bahasa dalam wacana politik" dalam penelitian

ini didasari oleh tiga pertimbangan, yakni (1) penggunaan bahasa secara superintensif

begitu menonjol dalam dunia politik Indonesia, (2) setiap periode pemerintahan

memiliki kekhasan dalam repertoar bahasa politiknya, dan (3) penggunaan bahasa

politik di Indonesia memiliki andil dalam persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa

Indonesia. Ketiga pertimbangan itu selanjutnya dipaparkan sebagai berikut.

Pertama, penggunaan bahasa secara superintensif, termasuk di dalamnya penya-

lahgunaan (abuse) bahasa dengan berbagai aspeknya begitu menonjol dalam dunia politik

Indonesia. Hal ini dapat disimak dari catatan Anwar (1984) meskipun ia tidak secara khu-

sus menyebut bahasa politik di Indonesia. Menurut Anwar, dalam wacana politik paling

tidak ada tiga catatan yang perlu diperhatikan, yakni (1) politik berkaitan dengan

pengaturan masyarakat banyak dan oleh karena itu bahasa politik haruslah merupakan alat

komunikasi yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, (2) bahasa politik

bertujuan untuk membujuk dan merayu khalayak, dan (3) dalam bahasa politik penuh de-

ngan semboyan-semboyan dan kata-kata bersayap serta menghindari penggunaan bahasa

yang berkonotasi netral dan objektif. Dua peribahasa Prancis yang berbunyi "bahasa dibe-

rikan kepada manusia untuk menyembunyikan pikirannya" dan "bahasa-bahasa dibuat

untuk menyembunyikan pikiran-pikiran kita" dapat menambah wawasan tentang rahasia-

rahasia bahasa politik. Tokoh-tokoh politik mempergunakan dan mendayagunakan bahasa

bukan saja untuk menyatakan ide, pendapat, atau pikirannya, melainkan juga untuk

10

menyembunyikannya. Ia harus menyembunyikan pikirannya karena di balik pikiran ini

terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan (Panggabean, 1981:vii).

Kedua, setiap periode pemerintahan atau rezim di Indonesia memiliki kekhasan dalam

repertoar bahasa politiknya. Menurut Volosinov, dikutip oleh Seidel (1985:45), setiap

periode dan setiap kelompok sosial memiliki repertoar bentuk-bentuk tuturan dalam

perilaku manusia untuk mengkomunikasikan ideologinya. Setiap genre memiliki reper-

toar yang sesuai dengan seperangkat tema yang muncul. Dengan demikian, jika pemerin-

tahan Indonesia terbagi ke dalam tiga zaman, yaitu (1) orde lama, (2) orde baru, dan (3)

orde pascaorde baru (orde reformasi?), dapat diduga bahwa ketiga zaman itu masing-

masingnya memiliki repertoar yang membedakannya antara satu dengan lainnya. Secara

linguistik, perbedaan itu dapat dilihat pada level kosakata, gramatika, dan struktur teks-

tualnya. Pada level kosakata, misalnya, perbedaan-perbedaan itu akan tampak pada pi-

lihan kata yang menjadi arus besar wacana politiknya, seperti dapat diperhatikan dalam

Rakhmat (1996:49-55) dan Ardiana (1998:15) berikut.

ORDE LAMA

revolusi

nekolim antek kapitalis antek imperialis

manipol usdek di ganyang setan kota

retooling berdikari

indoktrinasi

ORDE BARU

pembangunan

stabilitas nasional

deregulasi asas tunggal penataran ekstrem kanan direstui recall gebuk SARA

P4

PASCAORDE BARU

reformasi

reformis anti-KKN jurdil kelompok oposisi pemberdayaan DPR pemerintahan bersih pembebasan tapol otonomi luas

prostatus quo

Soehartoisme

Anderson (1990:123-451) sudah mengamati bahasa politik Indonesia pada akhir

pemerintahan Presiden Soekamo dan awal pemerintahan Orde Bam. Hasilnya adalah

11

bahwa bahasa politik Indonesia kontemporer telah menjadi objek perhatian yang meman-

cing perdebatan. Dalam pandangan Anderson, bahasa politik Indonesia merupakan tanda

atau cerminan adanya suatu penyakit yang parah. Mengutip pendapat Luethy, menurut

Anderson (1990) sakitnya itu tampak pada kenyataan bahwa bahasa politik Indonesia se-

bagai gado-gado irasional dari uraian yang berbelit-belit yang mengarah pada

kemabukan ideologis dan sinkretisme magis.

Pandangan senada dikemukakan oleh Geertz, seorang pakar yang banyak menulis

tentang Indonesia. Geertz mengakui bahwa yang tidak masuk akal seperti dikemukakan

Anderson memang marak di Indonesia (Anderson, 1990:124). Pidato-pidato Presiden

Soekarno pada masa-masa surutnya memang kosong secara amat menyedihkan dengan

bergerak mundur ke revivalisme kultural, pengkambinghitaman rasial; dan penciptaan

musuh-musuh eksternal. Terhadap pidato-pidato Soekarno ini, catatan penting Geertz

perlu dikemukakan bahwa tindakan bergerak mundur ke revivalisme kultural, pengkam-

binghitaman rasial, dan penciptaan musuh-musuh eksternal itu bukanlah hasil dari ingat-

an arkaik dunia Mahabharata, melainkan sebagai bentuk kepanikan kepemimpinan nega-

ra lantaran gagal melingkupi masalah-masalah demografi, ekonomi, sosial, dan politik

yang luas sekali (Anderson, 1990:124).

Dalam pandangan peneliti, karakteristik bahasa politik Indonesia seperti diung-

kapkan oleh Anderson, Luethy, dan Geertz di atas dapat ditemukan di negara-negara yang

memiliki karakteristik budaya politik yang menyerupai Indonesia. Karakteristik itu dalam

pandangan peneliti antara lain: (1) negara yang demokrasinya belum mantap, (2) negara

yang dalam melaksanakan suksesi kepemimpinan nasionalnya belum dapat berjalan de-

ngan lancar, (3) negara yang masih mengandalkan dominasi dan kekuasaan untuk menye-

12

lenggarakan roda pemerintahannya, dan (4) negara yang masih sering menginjak-injak

hak-hak asasi manusia dengan menojolkan kewajiban asasi bagi rakyatnya. Karena itu,

dapat dirumuskan bahwa karakteristik bahasa politik seperti di atas lebih bersifat universal,

dan bukan khas Indonesia.

Setelah tiga dasawarsa lebih penelitian Anderson tersebut dilaksanakan, kajian

mendalam terhadap bahasa politik Indonesia kontemporer menjadi sebuah tantangan.

Perkembangan ideologi, sosial, budaya, dan politik di Indonesia memungkinkan terja-

dinya pergeseran dan perubahan repertoar dalam rangka menyesuaikan tuntutan perkem-

bangan tersebut. Bahasa politik era akhir Orde Baru dan awal reformasi tentunya memi-

liki karakteristik yang berbeda dengan era sebelumnya, yakni era Orde Lama dan Orde

Baru, khususnya Orde Soeharto.

Persoalan bahasa politik di Indonesia sudah cukup banyak ditulis oleh para pakar,

baik oleh pakar dari Indonesia maupun asing. Sebagian besar tulisan itu mengkaji

bahasa politik dari perspektif nonlinguistik, sedangkan kajian bahasa politik dari

perspektif linguistik sepengetahuan peneliti relatif belum begitu banyak dikerjakan. Di

bawah ini dikemukakan beberapa pengkajian terhadap bahasa politik yang pernah

dilakukan oleh para pakar beserta perspektif yang digunakan.

JUDUL KARYA PENULIS THN PERSPEKTIF

Bahasa poi& Indonesia Ben Anderson 1966 ilmu politik

Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Ja- Ben Anderson 1981 ilmu politik

wa

Negara Orde Baru: Bahasa, Ideologi, dan Hegemoni van Langenberg 1990 ilmu politik

Kumunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia Jalaluddin Rakhmat

1993 ilmu komunika-si massy

Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: So- Virginia M. 1990 linguistik fung- rotan terhadap Pembakuan Bahasa Orde Baru Hooker sional sistemik

Bahasa dan Politik: Penghampiran "Discursive- Muh. A.S. 1993 ilmu politik Practice IJikarn

Pembakuan Bahasa dan Tatolitarianisme Mel Heryanto 1992 sosiolinguistik

Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme Ariel Heryanto 1993 sosiolinguistik

13

Pelecehan dan Kesewenang-wenangan Berbahasa Ariel Heryanto 1996 sosiolinguiStik Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Hilmar Farid 1994 ilmu sejarah

Politik,dan Nasionalisme Indonesia

Bahasa, Kramanisasi, dan Kerakyatan - M. Pabotinggi 1991 ilmu politik

ilmu politik Bahasa, Politik, dan Otosentrisitas M. Pabotinggi 1993

Komunikasi Politik dan Transformasi ilmu Politik M. Pabotinggi 1993 ilmu politik Bahasa, Jumalisme, dan Politik Orde Baru Daniel Dhakidae 1992 ilmu politik Gejala-Gejala Kematian Bahasa: Suatu Observasi D.P. Tampubo- 1998 semantik-gene-

Ragam Politik Orde Baru ton ratif

Dari paparan di atas tampak bahwa pengkajian bahasa politik di Indonesia lebih banyak

dilakukan dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu politik dan ilmu komunikasi,

sementara pengkajian dari perspektif linguistik dan sosiolinguistik relatif langka. Kajian

bahasa politik dari perspektif kebahasaan pertama dilakukan oleh Hooker (1990) dengan

mempergunakan pendekatan linguistik fungsional-sistemik Halliday (1985), khususnya

trilogi konteks situasi yakni wilayah wacana (field of discourse), penyampai wacana (te-

nor of discourse), dan modus wacana (mode of discourse). Kajian kedua dilakukan oleh

Heryanto (1992: 1993; 1996) dengan mempergunakan pendekatan sosiopolitikolingu-

istik. Kajian ketiga dilakukan oleh Tampubolon (1998) dengan mempergunakan pisau

analisis teori semantik generatif Chafe (1971), Leech (1974), dan Nida (1975). Kelang-

kaan kajian ini sesuai pendapat Tampubolon (1998) meskipun diakuinya bahwa bidang

linguistik dan sosiolinguistik itu sangat menarik dan bermanfaat dalam mendekati feno-

mena bahasa politik. Dalam pandangan Tampubolon, sifat hubungan politik antara pe-

nguasa dan rakyat akan mempengaruhi ragam bahasa politik.

Ketiga, penggunaan bahasa politik di Indonesia dalam pandangan peneliti memi-

liki andil, baik langsung maupun tidak langsung dalam persoalan-persoalan yang diha-

dapi bangsa Indonesia. Kesemrawutan persoalan bangsa Indonesia dalam bidang sosial-

politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya, bukan hanya bersumber semata-mata dari se-

gi ekonomi, politik, sosial, budaya, tetapi juga bahasa. Terdapatnya fakta, seperti: pema-

14

nipulasian bahasa, pereduksian makna kata, perekayasaan bahasa, pelecehan

kaidah-kaidah bahasa dan berbahasa, dan sebagainya dalam skala mikro adalah persoalan

kebahasaan semata-mata, tetapi dalam skala makro persoalan itu mencetuskan persoalan

sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya bangsa secara keseluruhan. Sebaliknya,

fenomena-foomena seperti eufemisme, simbolisme, sarkasme, dan vulgarisme dalam

berbahasa merupakan cermin dari kesemrawutan segala bidang kehidupan.

Jika segi bahasa merupakan salah satu akar persoalan bangsa secara keseluruhan,

pengkajian aspek linguistik terhadap bahasa atau wacana politik perlu dikedepankan. Du-

gaan awal yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah bahwa struktur linguistik nakan

untuk mensistematisasikan, mentransformasikan, dan mengaburkan analisis realitas, untuk

mengatur ide dan perilaku orang lain, untuk menggolong-golongkan masyarakat,

peristiwa, dan objek-objek untuk menegaskan status institusional dan personal.

Penghasil wacana sering mendayagunakan unsur kosakata, gramatika, dan struktur

tekstual untuk tujuan-tujuan di atas. Berkaitan dengan kajian linguistik terhadap

wacana politik, Rakhmat (1996:54--55) memaparkannya sebagai berikut.

Kajian linguistik untuk mengamati fenomena politik sebetulnya bidang yang patut men-dapat .perhatian. Bukan saja bidang ini mempunyai latar belakang teoretis yang kokoh, tetapi juga hasilnya mengungkapkan hal-hal menarik berkenaan dengan proses pemben-tukan wacana politik. Bahasa memang tidak pernah objektif. Bahasa selalu ideology soaked. Melalui analisis linguistik, budaya politik suatu bangsa menjadi transparan.

Dalam skala makro, penelitian terhadap bahasa politik Indonesia dari sudut Pan-

dang linguistik, sosiolinguistik, dan analisis wacana akan dapat menjembatani dialog ke-

tiga bidang linguistik itu dengan bidang kajian lainnya dalam rangka memecahkan dan

menjawab persoalan-persoalan bangsa. Dalam pandangan peneliti, selama ini bidang-

bidang linguistik lebih banyak berkutat dengan dirinya sendiri. Bidang linguistik lebih

15

banyak membicarakan masalah-masalah kebahasaan an sick. Akhirnya, bidang

linguistikmenjadi terpencil di tengah keriuhan kajian-kajian ilmu-ilmu sosial.

Keterpencilan ahli-ahli linguistik dalam ikut menyumbang saran-saran pemecahan

persoalan bangsa sudah ditengarai oleh Heryanto (1996:107--108) sebagai berikut.

Seakan-akan berbagai gejolak sosial di masyarakat Orde Baru bukanlah urusan para ahli bahasa kita, selama itu tidak langsung bersangkut-paut dengan seluk-beluk kata atau kalimat yang dipakai warga negara Indonesia. Ada baiknya diingat bahwa sejak di masa hidup Sokrates di Eropa, atau pujangga-pujangga kerajaan Asia, hingga awal abad ini para cendekiawan yang menggulati seluk-beluk bahasa tidak pernah memperlakukan bahasa terlepas dari masalah-masalah sosial, politik, dan kenegaraan. Di Indonesia sendiri hingga pada hari ini tidak sedikit orang yang ditangkap, diadili, dipenjara karena kreativitas dan petualangannya menjelajahi kemungkinan berbahasa.

Dan saran Rakhmat (1996) yang amat berharga dan tengara Heryanto (1996) di

atas, sangatlah mendesak untuk segera melibatkan disiplin linguistik dalam mengkaji

peran bahasa dalam wacana politik Indonesia. Untuk itu perlu difungsikan bidang

linguistik yang relevan dengan pengkajian bahasa dalam membedah isu-isu kekuasaan,

dominasi, dan ideologi yang terdapat dalam wacana politik. Isu-isu tersebut cenderung

menghasilkan sebuah "komunikasi yang timpang". Paradigma yang "sesuai" untuk

membedah wacana dengan isu fenomena ketimpangan tersebut adalah paradigma kritis.

Paradigma ini sering dioposisikan dengan paradigma deskriptif.

Paradigma deskriptif dalam kajian linguistik terhalang dalam menjelaskan isu-isu

ideologi dan politik yang sering sangat kabur. Menurut Birch (1996) para linguis kritis

percaya bahwa pilihan bahasa (language choice) dibuat menurut seperangkat kendala-

kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Implikasinya adalah bahwa

masyarakat dapat dimanipulasi, ditahan dalam aturan yang baik (good order) yang dike-

hendaki, dan dinilai peranan dan statusnya ke dalam dikotomi bawahan-atasan (inferior-

superior) melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek: kekuasaan, aturan,

16

subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya yang

semuanya merupakan bagian integral dari sistem kontrol masyarakat. Pilihan paradigma

kritis untuk kajian linguistik dalam penelitian ini adalah linguistik kritis (LK) yang sering

diasosiasikan dengan karya-karya Fowler (1985; 1986; 1996) dan analisis wacana kritis

(AWK) yang sering diasosiasikan dengan karya-karya Fairclough (1985; 1989; 1995)

yang hidup subur dalam tradisi aliran linguistik Eropa-Kontinental. Kedua aliran linguistik

sama-sama penerus pandangan-pandangan Halliday (1978, 1985), khususnya pandangan

Halliday tentang (1) "bahasa sebagai semiotis sosial", (2) tiga komponen fungsi semantis

"ideasional", "interpersonal", dan "tektual, serta (3) bahasa sebagai tindakan.

Menurut Fowler (1985; 1986) LK memiliki sejumlah piranti bedah untuk meng-

ungkap isu-isu kekuasaan dan ideologi tersembunyi dalam bahasa politik. Dengan meng-

kaji (1) tindak-tindak ujaran (speech acts), (2) implikatur percakapan (conversational im-

plicature), (3) proses-proses leksikal (lexical processes), (4) sintaksis (syntax), (5) ke-

transitifan (transitivity), (5) modalitas (modality), (6) pengambilan giliran (turn-taking),

(7) panggilan (address), penamaan (naming), dan acuan pribadi (personal reference),

serta (8) fonologi (phonology), seperti disarankan oleh Fowler (1985:68-74) akan dapat

mengungkap segi-segi tersembunyi dalam bahasa atau wacana politik, yaitu aspek-aspek

ideologi dan kekuasaan. Kajian Fowler terhadap proses-proses leksikal, ketransitifan,

modalitas, dan sintaksis banyak memanfaatkan linguistik fungsional-sistemik Halliday

(1978; 1985). Fowler juga banyak memanfaatkan pandangan Austin (1962) dan Searle

(1969) untuk mengkaji tindak ujaran, pandangan Grice (1975) untuk mengkaji implikatur

percakapan, pandangan Sinclair & Coulthard (1975) untuk mengkaji gilir tutur, pandang-

an Brown & Gilman (1972) untuk mengkaji sistem panggilan, penamaan, dan acuan

17

pribadi, dan pandangan (1972) serta Trudgill (1974) untuk mengkaji berbagai variasi

fonologis. Dalam rumusan lain, isu-isu kekuasaan dan ideologi dalam wacana politik

terungkap dalam beberapa level, yaitu (1) level kosakata, (2) level sintaktis-gramatikal,

dan (3) level wacana.

Dalam level kosakata, misalnya, muatan politik para politikus sering disistemati-

sasikan melalui pilihan proses-proses leksikal dan fonologi. Pilihan kosakata merupakan

refleksi dan ekspresi kepentingan kelompok-kelompok tertentu (Fowler, 1985:69). Dalam

rangka menggali refleksi dan ekspresi kepentingan kelompok tersebut perlu diungkap tiga

proses leksikal, yaitu (1) leksikalisasi (lexicalization), (2) kelebihan leksikal (overlexica-

lization), dan (3) kekurangan leksikal (underlexicalization) yang sudah dikaji terlebih

dahulu dalam Halliday (1978). Kelebihan leksikal, misalnya, sering mengindikasikan

adanya kemenonjolan atau ketinggian konsep dalam hubungannya dengan kepercayaan

masyarakat serta kepentingan intelektual. Selain proses-proses leksikal, aspek-aspek dalam

fonologi sering dimanfaatkan dalam tuturan politik. Menurut Fowler (1985:74) bunyi dan

pola-pola bunyi yang tidak sama secara intrinsik memang tidak bermakna, tetapi banyak

bentuk-bentuk linguistik dapat memiliki nilai-nilai sosial yang dilekatkan pada bunyi dan

pola-pola bunyi yang berbeda itu. Aksen, misalnya, sering diasosiasikan dengan kelas

sosial. Hal ini tampak pada penelitian Labov (1972), misalnya, yang menunjukkan

bagaimana distribusi fonem berkorelasi dengan stratifikasi sosial serta bagaimana penutur

menggunakan bentuk-bentuk fonologis untuk mengangkat mereka itu sebagai anggota

kelas tertentu.

Dalam level sintaktis-gramatikal, muatan politik para politikus sering disistemati-

sasikan melalui pilihan-pilihan: (1) ketransitifan, (2) kalimat, dan (3) modalitas. Pilihan

18

ketransitifan yang berbeda dalam klausa, dalam perspektif teori ketransitifan Halliday

(1985), sering berarti adanya perbedaan pilihan pandangan dunia (ideologi) oleh

penutur. Untuk itu jenis-jenis proses dan partisipan yang terjadi dalam klausa perlu

dikaji untuk dapat menyibak rahasia-rahasia muatan politik ideologis para politikus itu.

Dalam pilihan kalimat, muatan politik para pelaku politik sering disistematisasi-

kan ke dalam wacana melalui piranti-piranti sintaksis, seperti: (1) pelesapan bagian ka-

limat, (2) pengurutan bagian kalimat, dan (3) kekompleksan kalimat-kalimatnya. Dan

piranti pelesapan dapat diperoleh informasi-informasi tentang: kekasaran, kekuasaan,

keintiman, dan solidaritas. Pengurutan bagian kalimat, misalnya bentuk kalimat aktif-

pasif, sering digunakan untuk memanipulasi perhatian mitra tutur, bahkan dapat juga

digunkan untuk menyembunyikan "aktor" atau "pelaku". Kekompleksan kalimat-

kalimat yang dipilih oleh pelaku politik sering dimanfaatkan untuk memperlihatkan

dimensi kekuasaan dan harga diri.

Dalam penentuan sikap subjektifnya, muatan politik para pelaku politik dapat

di-

sistematisasikan ke dalam berbagai modalitas, baik yang berorientasi kepada penutur dan

modalitas yang berorientasi kepada pendengar. Modalitas ini hadir dalam ranglca mela-

yani fimgsi interaksional oleh penuturnya. Dengan pilihan modalitas, akan tampak sikap

penutur pada proposisi yang diujarkannya dan sikap pendengar pada proposisi yang

didengarkannya. Dengan pilihan modalitas pula, kita dapat memperoleh informasi

tentang: keyakinan, keragu-raguan, kepastian, dan sebagainya.

Lima komponen di atas merupakan aspek gramatika dan wacana politik dan be-

lum menyentuh aspek pragmatik wacananya. Dalam pemikiran Halliday (1978) & Leech

(1983) sebuah wacana akan selalu memiliki dua dimensi, yakni gramatika dan pragmatik.

lah pengambilan giliran. Sebuah percakapan bukanlah fenomena yang tidak teratur, tetapi

19

Kajian yang komprehensif hanislah menyertakan dua dimensi tersebut. Gramatika meru-

pakan sistem formal yang abstrak yang bermanfaat bagi pensfsiran pesan, sementara itu

pragmatik adalah strategi dan prinsip-prinsip dalam menunjang keberhasilan komunikasi

yang dilakukan melalui grarnatika. Termasuk di dalam aspek ini adalah (1) tindak ujaran,

(2) implikatur percakapan, (3) pengambilan giliran, (4) panggilan, penamaan, dan acuan

pribadi (Fowler, 1985), serta (5) strategi kehadiran diri (Scollon & Scollon, 1983).

Pilihan bahasa dalam wacana politik tidak semata-mata berkaitan dengan makna

proposisi yang dikomunikasikan, akan tetapi juga berkaitan dengan usaha mencapai tin-

dakan-tindakan melalui ujaran, seperti: berjanji, meminta, memerintah, memperingat-

kan, dan sebagainya. Dari pengkajian terhadap "tindak-tindak ujaran" itu akan diperoleh

informasi tentang hal yang berkaitan dengan strategi penetapan dan penjagaan

hubungan kekuasaan yang dilakukan penutur kepada mitra tuturnya.

Aspek pragmatik lain yang juga dapat diungkap dalam wacana politik adalah im-

plikatur percakapan. Menurut Fowler (1985:74) dua catatan yang dapat diungkap dari

implikatur adalah bahwa (1) implikatur bukanlah sesuatu yang kebetulan, tetapi hasil

sebuah tindakan yang disengaja, dan (2) proposisi yang diimplikasikan (Islam banyak

konteks mungkin konsisten dengan proposisi lainnya dan menjumlahkannya kepada

sebuah sistem semantis. Pertama, implikatur berkaitan dengan konvensi yang

mengatur siapa yang memiliki "hak untuk mengimplikasi" mengenai status dan

autoritas. Yang kedua, implikatur berkaitan dengan seperangkat komitmen ideologis

yang menjadi cara seorang penutur memaksakan sebuah ideologi kepada orang lain.

Aspek pragmatik selanjutnya yang juga dapat diungkap dalam wacana politik ada-

20

sebuah rangkaian urutan kontribusi dan pergantian yang memiliki konvensi tentang ba-

gaimana urutan pergantian, bagaimana menarik pendengar, bagaimana menginterupsi,

dan bagaimana membuka dan menutup sebuah percakapan. Menurut Fowler (1985:74)

aspek pengambilan giliran memberikan informasi tentang dimensi kekuasaan antarpar-

tisipan yang terlibat dalam percakapan itu. Dalam dialog politik antarpartai yang sering

ditayangkan televisi, misalnya, pengambil giliran pada era Soeharto didominasi oleh

politikus Golkar. Pada era Gus Dur , pengambil giliran didominasi oleh politikus Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB) dan politikus partai-partai "poros tengah".

Aspek pragmatik yang lain, yakni "panggilan, penamaan, dan acuan pribadi" oleh

Fowler dikaitkan dengan kajian Brown dan Gilman tentang "pronomina kekuasaan dan

solidaritas" di mana pilihan pronomina to dan vous dalam bahasa Prancis serta du dan

Sie dalam bahasa Jerman menginformasikan tentang aspek "kekuasaan" dan "solidaritas".

Aspek kekuasaan memiliki dimensi-dimensi superior, inferior, dan hubungan yang sede-

rajat, sementara itu aspek solidaritas memiliki dimensi-dimensi kesetiakawanan dan ke-

tidaksetiakawanan. Penyebutan mitra tutur dengan "Bapak" dan "Anda" dalam wawan-

cara politik, misalnya, akan banyak memberikan informasi tentang aspek kekuasaan da-

lam hubungan antara penutur dan petutur. Penyebutan kata "Bapak" amat menonjol

pada era Orde Baru, sebaliknya penyebutan kata "Anda" menjadi kecenderungan baru

dalam wawancara politik pada era pasca-Orde Baru.

Yang terakhir, pilihan bahasa dalam wacana politik tidak semata-mata berkaitan

dengan penyampaian proposisi kepada mitra tutur, akan tetapi juga berkaitan dengan

kesantunan berbahasa politik, baik kesantunan positif maupun kesantunan negatif, yang

dalam pemikiran Scollon & Scollon (1983) aspek ini disebut dengan presentation of self

21

Kajian terhadap strategi kehadiran ini dapat memberikan informasi tentang jarak dan

kekuasann antarpelaku komunikasi. Beberapa politikus memiliki keberagaman dalam

memilih pronomina persona dalam menghadirkan dirinya. Di antara pronomina

yang dipilih antara lain "saya", "kami", "kita", dan "nama institusi".

Fairclough (1985, 1989, 1995), seorang tokoh penting AWK, melengkapi dan me-

nyempurnakan pendapat Fowler di atas dengan kajian yang lebih terinci. Fairclough

mengkombinasikan teori linguitik kritis Fowler dan teori pascamodemisme serta pasca-

strukturalisme Prancis. Pandangan-pandangan tokoh pascamodernis Prancis, seperti Fau-

cault dan Derrida sangat mewarnai teori Fairclough Menurut Fairclough (1989; 1995)

fenomena kebahasaan hendaknya didekati dan fenomena kewacanaan yang didalamnya

mencakup tiga dimensi makna, yakni isi, relasi, dan subjek. Dimensi "isi" memiliki nilai-

nilai fitur "pengalaman" (experiential) yang menghasilkan akibat struktural (structural

effects) yang disebut "pengetahuan" atau "kepercayaan". Dimensi "relasi" memiliki nilai-

nilai fitur "relasional" (relational) yang menersilkan akibat struktural yang disebut "re lasi

sosial". Dimensi "subjek" memiliki nilai-nilai fitur "ekspresif' (expressive) yang

meng)iasilkan akibat struktural yang berupa "identitas sosial".

Wacana dalam pandangan Fairclough (1988; 1995) bukan semata-mata organisasi

bahasa di atas kalimat atau klausa, seperti yang dikemukakan para analis wacana deskrip-

tif misalnya Brown & Yule (1983), Crystal (1985), atau Stubbs (1983), tetapi wacana

merupakan bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu dalam konteks situasi dan

hams dilihat secara komprehensif dari tiga fenomena secara simultan, yaitu (1) fenomena

teks bahasa, baik lisan maupun tulisan, (2) fenomena praksis kewacanaan, baik produksi

teks maupun konsumsi teks, dan (3) fenomena praksis sosiokultural, yaitu perubahan-

22

perubahan masyarakat, institusi, dan kebudayaan yang menentukan bentuk dan makna

sebuah wacana. Menganalisis wacana hakikatnya adalsh mengkaji tiga dimensi wacana.

Dengan demikian, tiga prosedur dalam analisis wacana itu meliputi (1) analisis teks-teks

bahasa (analysis of language texts), (2) analisis praksis wacana (analysis of discourse

practice), dan (3) analisis praksis sosial (analysis of social practice) (Fairclough, 1995:2).

Analisis pertama dalam AWK memusatkan kajiannya pada kondisi objektif bahasa

tekstual, baik bahasa lisan atau tulisan. Aspek-aspek kebahasaan yang dikaji dalam ta-

hapan ini mencakup kajian kritis terhadap: kosakata, gramatika, dan struktur tekstual.

Pengkajian kosakata dan gramatika mencakup kajian terhadap nilai-nilai fitur peng-

alaman, relasional, dan ekspresif. Pengkajian struktur tekstual mencakup kajian terhadap

konvensi interaksional yang digunakan dan kajian terhadap bagaimana teks-teks itu di-

susun secara berurutan. Sebagian besar kajian tahop pertama ini sejalan dengan yang

dilakukan oleh Fowler seperti sudah dipaparkan sebelumnya.

Analisis kedua memusatkan kajiannya pada proses-proses menghasilkan, men-

distribusikan, dan menginterpretasikan teks. Langkah kedua AWK ini berupa analisis

yang berkaitan dengan dengan interpretasi konteks situasi dan konteks antarteks yang

berpengaruh terhadap terbentuknya wacana. Termasuk ke dalam Langkah kedua ini ada-

lah kajian terhadap tindak-tindak ujaran yang dihasilkan. Dalam analisis kedua ini, peng-

analisis dapat memanfaatkan pandangan Halliday (1978) tentang trilogi konteks situasi

yang terdiri atas tiga unsur, yaitu (1) medan wacana, (2) partisipan wacana, dan (3)

sarana atau modus wacana.

Analisis ketiga AWK memusatkan kajiannya terhadap kedudukan wacana dalam

masyarakat, institusi, dan kebudayaan, terutama hubungan wacana dengan hegemoni

23

kekuasaan dan ideologi. Wacana terbentuk bukan semata-mata dalam konteks situasi yang

bersifat "lokal", tetapi terbentuk oleh konteks "global" yang lebih luas, yaitu konteks

sosiolcullagal (masyarakat, institusi, dan kebudayaan) yang melingkupi individu sebagai

"manusia sosial" penghasil teks. Pemahaman terhadap fenomena wacana tidaklah cukup

dengan memanfaatkan penafsiran lokal (local interpretation) dengan tidak boleh men-

ciptakan konteks yang lebih luas dari yang diperlukan agar diperoleh penafsiran yang

paling mendekati maksud ash yang diberikan oleh penyampai pesan atau penghasil wa-

cana, seperti disarankan dalam analisis wacana deskriptif Brown & Yule (1983) dan

Stubbs (1983), tetapi dituntut adanya penafsiran global (global interpretation) dengan

mengikutsertakan kondisi-kondisi sosial, politik, ideologi, institusi yang ikut menentukan

pembentukan sebuah wacana. Dasarnya adalah bahwa tidak ada individu yang merdeka

yang tidak terdeterminasi oleh struktur-struktur sosial itu, tetapi individu selalu berada

pada kungkungan struktur-struktur yang bersifat amat determinatif. Hal ini akan tampak

jelas pada fenomena peranan individu dalam wacana politik Indonesia. Seorang politikus

haruslah berbicara dan bersikap sesuai dengan kebijakan institusi partai yang sudah

dirumuskan oleh berbagai "tangan" dan "kepentingan". Seorang elit partai yang berani

"tampil beda" dengan anis besar partai akan menghadapi pengadilan partai yang mungkin

saja'dapat mencelakakan diri dan keluarganya.

Dalam penelitian ini, wacana politik bahasa Indonesia dipandang dan sudut teori

"kritis" di atas, terutama pandangan Fairclough (1985; 1989; 1995). Dengan demikian,

untuk mengungkap fenomena wacana politik secara komprehensif haruslah di ungkap tiga

dimensi wacana politik Indonesia secara simultan, yaitu (1) dimensi teks-teks bahasa, (2)

dimensi praksis wacana, dan (3) dimensi praksis sosiokultural melalui langkah-langkah

24

deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Keftganya merupakan satu kesatuan analisis wa-

cana yang utuh, bersifat dialektis, dan tidak dapat ditinggalkan satu dari yang lainnya.

Dalam Icavek$ wacana politik bahasa Indonesia, tiga masalah besar, yaitu (a) pen-

deskripsian piranti Pinuistik dalam wacana politik, (b) penginterpretasian hubungan kon-

teks sittlaWdenganksis wacana politik, dan (c) penjelasan hubungan praksis wacana

dettrgan falitt5r sosial budaya Ketiganya hams dianalisis secara simultan untuk menjawab

T.ahasia-rahasia yang tersembunyi dalam fenomena wacana politik. Dengan menjawab

tiga masalah tersebut, penelitian yang berjudul "PENGGUNAAN BAHASA

INDONESIA DALAM WACANA POLITIK" ini diharapkan dapat mengungkap dimensi

tersembunyi dalam wacana politik Indonesia.

1.2 Fokus Penelitian

1.2.1 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan paparan di atas, dapat dirumuskan masalah-masalah penelitian

sebagai berikut.

Bagaimana unsur-unsur kosakata didayagunakan dalam wacana politik bahasa

Indonesia pada era pasca-Orde Baru? Rumusan ini dijabarkan ke dalam tiga

subrumusan masalah berikut.

I) Bagaimana fitur-fitur pengalaman kosakata didayagunakan dalam wacana politik?

2) Bagaimana fitur-fitur relasional kosakata didayagunakan dalam wacana politik?

3) Bagaimana fitur-fitur ekspresif kosakata didayagunakan dalam wacana politik?

b Bagaimana unsur-unsur gramatika didayagunakan dalam wacana poi* bahasa In-

donesia pada era pasca-Orde Baru? Rumusan ini dijabarkan ke dalam tiga

subrumusan masalah berikut.

25

1) Bagaimana fitur-fitur pengalaman gramatika didayagunakan dalam wacana po-

litik?

2) Bagaimana fitur-fitur relasional gramatika didayagunakan dalam wacana politik?

3) Bagaimana fitur-fitur ekspresif gramatika didayagunakan dalam wacana

politik? c. Bagaimana struktur-struktur tekstual didayagunakan dalam wacana politik

bahasa Indonesia pada era pasca-Orde Baru? Rumusan ini dijabarkan ke dalam dua

subrumusan masalah berikut.

1) Bagaimana konvensi-konvensi interaksional didayagunakan dalam wacana

politik

2) Bagaimana unsur-unsur teks politik itu disusun secara berurutan?

1.2.2 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan tiga rumusan masalah penelitian di atas, penelitian ini bertujuan

se-. bagai berikut.

a. Mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan unsur-unsur kosakata

yang didayagunakan dalam wacana politik bahasa Indonesia.

b. Mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan unsur-unsur

gramatika yang didayagunakan dalam wacana politik bahasa Indonesia.

c. Mendeskripsikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan struktur-struktur tekstual

yang didayagunakan dalam wacana politik bahasa

Indonesia. 1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan perian, tafsiran, dan penjelasan tentang

penggunaan bahasa Indonesia dalam wacana politik. Basil penelitian ini bermanfaat, baik

secara teoretis maupun praktis.

2 6

13.1 Manfaat Teoretis

13.1.1 Bagi Pengembangan Linguistik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan bandingan

untuk teori-teori: linguistik, sosiolinguistik, analisis wacana, analisis percakapan, etno-

metodologis, dan pragmatik, terutama topik-topik yang berkaitan dengan (1) gaya atau

ragam (style) dan register, (2) maksim percakapan, (3) penggunaan bahasa untuk lingkup

profesional dan pekerjaan, (4) penggunaan bahasa untuk tujuan khusus, (5) penggunaan

bahasa dalam politik, serta (6) hubungan antara bahasa dan kekuasaan serta ideologi.

Hasil penelitian terhadap penggunaan bahasa Indonesia dengan menggtmakan perspektif

"teori analisis wacana kritis" ini diharapkan dapat mengisi celah-celah kajian yang sudah

dilakukan oleh Hooker (1990), Heryanto (1992; 1993; 1996), dan Tampubolon (1998).

1.3.1.2 Bagi Pengembangan Bahasa Indonesia

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ba-

hasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi untuk berbagai bidang kehidupan. Bahasa

Indonesia yang dikembangkan bukan hanya untuk fenomena komunikasi yang "ideal"

yang antarpartisipannya diasumsikan memiliki kekuasaan yang sederajat dan memiliki

kesadaran rasional. Sebaliknya, bahasa Indonesia yang dikembangkan mencakup juga

fenomena "kesenjangan komunikasi" yang antarpartisipannya tidak memiliki

kedudnkan yang sederajat dan tidak memiliki kesadaran rasional yang sama.

13.2 Manfaat Praktis

13.2.1 Bagi Pendidikan dan Pengajaran Bahasa Indonesia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat didayagunakan dalam pelaksanaan pendidikan

dan pengajaran bahasa Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan in-

27

spirasi bagi penyusun kurikulum dan buku paket bahasa Indonesia agar memasukkan ba-

caan-bacaan yang ada di dalam buku paket bukan hanya tentang komnnikasi yang "ideal"

saja, tetapi juga komunikasi yang "bermasalah", seperti bacaan-bacaan tentang politik,

gender, tanya jawab di pengadilan, komunikasi lintas-budaya, dan sebagainya.

1.3.2.2 Bagi Pemerhati Politik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman

para analis dan pemerhati dunia politik tentang rahasia-rahasia tersembunyi dalam

bahasa politik Dengan pemahaman yang tepat, para analisis dan pemerhati politik dapat

memberikan tanggapan dan apresiasi secara tepat pula terhadap penggunaan bahasa

dalam wacana politik di Indonesia.

1.3.2.3 Bagi Objek atau Sasaran Politik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bekal pengetahuan minimal

bagi masyarakat luas yang beragam tingkat pengetahuan politiknya yang sering tidak be-

gitu memahami makna ekspresi politik untuk dapat menyikapi maksud bahasa politik se-

cara tepat. Dengan pengetahuan minimal tersebut, masyarakat akan secara sadar merasa

"berdaya" dalam menentukan pilihan-pi-lihan hidupnya sebagai makhluk yang merdeka

yang memiliki kemampuan yang dibawa sejak lahir. Objek politik diharapkan tidak men-

jadi objek yang begitu mudah terpengaruh oleh pilihan-pilihan orang lain yang sering ber-

sifat kolektif itu. Dengan pengetahuan minimal itu pula masyarakat memiliki kesadaran

kritis terhadap penggunaan bahasa untuk kepentingan politik.

1.3.2.4 Bagi Pelaku Politik

Secara umum, seorang penutur haruslah memiliki empat kompetensi untuk tujuan

berkomunikasi, yaitu (1) kompetensi gramatikal, (2) kompetensi sosiolinguistik, (3)

28

kompetensi kewacanaan, dan (4) kompetensi strategik (Canale, 1983:6--14). Seorang

pelaku politik secara ideal harus memiliki empat kompetensi itu. Hasil penelitian ini di-

harapkan dapat menambah pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan para pelaku

politik sehingga dapat berbahasa secara tepat dan akurat sesuai dengan etika-etika

berbahasa dan berpolitik dalam latar politik Indonesia.

1.3.2.5 Bagi Pengambil Kebijakan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi para pengambil ke-

bijakan dalam rangka memecahkan masalah-masalah sosial-budaya dan sosial-politik

bangsa Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan akar permasalahan

Bari sudut kebahasaan yang turut andil dalam menciptakan kesemrawutan persoalan

bangsa Indonesia, baik persoalan sosial-politik, sosial-ekonomi, maupun sosial-budaya.

1.4 Asumsi-Asumsi Penelitian

Untuk memberikan landasan berpijak, penelitian ini berangkat Bari

sejumlahasomsi teoretis dan metodologis berikut.

a. Dalam autoritasnya sebagai politikus, para pelaku politik itu banyak muncul dalam

aktivitassehari-hari. Dalam kemunculannya itu, para politikus selalu memunculkan

ujar.an-ujaran politik, baik yang disampaikan kepada masyarakat secara face to face

maupun yang muncul melalui media massa cetak dan elektronik.

). Ujaran-ujaran para pelaku politik, baik yang disampaikan kepada masyarakat

secara face to face maupun yang muncul melalui media cetak dan elektronik

dapat diobservasi, diperikan, dan dijelaskan.

c. Wacana politik bahasa Indonesia dapat diperikan dan fenomena-fenomena (1) teks

bahasa, (2) praksis wacana, dan (3) praksis sosiokultural. Dari fenomena teks,

29

wacana politik bahasa Indonesia dibangun dari tiga piranti linguistik, yakni kosakata,

gramatika, dan struktur tekstual. Dari fenomena praksis wacana, wacana politik bahasa

Indonesia dibangun serta memiliki hubungan timbal balik dengan konteks situasi yang

melingkupinya, yakni medan wacana, pelibat wacana, dan sarana atau modus wacana.

Dari fenomena praksis sosiokultural, wacana politik bahasa Indonesia dibangun dan

memiliki hubungan timbal balik secara dialektis dengan konteks budaya yang lebih luas

yang determinatif, yalcni institusi, masyarakat, dan kebudayaan.

1.5 Definisi Operasional

a. Penggunaan bahasa adalah cara-cara masyarakat mengaktualisasikan ujaran dan

tulisannya (Richards, Platt & Platt., 1993:394). Dalam penelitian ini, penggunaan

bahasa berkaitan dengan cara-cara seseorang secara individu atau masyarakat secara

kolektif memilih kode bahasa untuk mengaktualisasikan ide, fakta, dan komentar

dalam bentuk lisan dan tulisan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya.

Penggunaan bahasa dalam penelitian ini selanjutnya secara operasional dijabarkan

ke dalam pilihan-pilihan: kosakata, gramatika, dan struktur tekstual.

b. Wacana dalam penelitian ini dipandang dari perspektif krifis, bukan deskriptif. Da-

lam perspektif kritis, wacana dipahami sebagai penggunaan bahasa sebagai praksis

sosial. Wacana adalah unit-unit bahasa yang lebih besar di atas kalimat atau klausa

yang hams dipahami dari tiga dimensi kewacanaan secara simultan, yaitu (1) dimensi

teks bahasa, baik lisan maupun tulisan (2) dimensi praksis wacana, yaitu aspek yang

berkaitan dengan produksi dan interpretasi teks dan (3) dimensi praksis sosiokultural,

yaitu perubahan-perubahan dimensi sosial-masyarakat, institusi, dan

kebudayaan yang menentukan bentuk dan makna sebuah wacana.

30

c. Wacana politik adalah unit bahasa yang lebih besar di atas kalimat sebagai praksis

sosial yang memiliki isi, nisi, tujuan, dan maksud mengatur masyarakat banyak atau

masyarakat umum secara berkekuasaan agar bertindak atau berbuat sesuatu untuk

mencapai tujuan-tujuan politik tertentu sesuai yang diinginkan oleh pelaku politik.

d. Proses leksikal adalah proses memilih kosakata sebagai salah satu komponen pem-

bentuk wacana oleh kelompok sosial tertentu yang merefleksikan dan mengekspre-

sikan kepentingan-kepentingan kelompok itu. Terdapat tiga jenis proses leksikal, ya-

itu (1) leksikalisasi, (2) kelebihan leksikal, dan (3) kekurangan leksikal. Jika kata

yang dip 'lib itu merefleksikan dan mengekspresikan satu konsep secara tepat, proses

itu disebut dengan leksikalisasi. Jika tersedia terlalu banyak kata untuk merefleksikan

dan mengekspresikan satu konsep, proses itu disebut dengan kelebihan leksikal. Jika

terjadi halangan untuk memilih kata yang tepat yang dapat mewakili satu konsep,

proses itu disebut dengan kekurangan leksikal.

e. Ketransitifan dalam penelitian ini diambil dari pandangan linguistik fungsional-sis-

temik Halliday (1985, 1994). Ketransitifan merupakan jenis jenisproses dan parti-

sipan yang terjadi dalam klausa atau kalimat. Dalam ketransitifan terjadi pilihan ter-

halap tiga proses utama yang dapat direpresentasikan dalam klausa atau kalimat, ya-

itu (1) proses "fisik" atau "material", misalnya dalam kalimat: Fred cut the lawn, (2)

proses "mental", misalnya dalam kalimat: David saw Rosemary, dan (3) proses "rela-

sional", misalnya dalam kalimat: This view is magnificent. Proses fisik atau material

melibatkan proses perbuatan dan kejadian. Proses mental melibatkan proses-proses

perasaan, pemikiran, dan penglihatan. Proses relasional melibatkan proses-proses

keterkaitan dan pemilihan.

31

f. Strategi kehadiran diri adalah cara-cara seorang penutur atau "diri" hadir di hadapan

orang atau penutur lain. Dalam penelitian ini strategi kehadiran diri diacukan kepada

pilihan bentuk-bentuk pronomina persona oleh elite politik ketika melalcukan aktivi-

tas politiknya. Penggunaan strategi kesantunan ini dikaitkan dengan jarak (distance)

dan kekuasaan (power) antara penutur dan petutur. Per-bedaan jarak dan kekuasaan

antara penutur serta petutur memungkinkan terjadi penggunaan strategi kehadiran

diri yang berbeda pula.

g. Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahasa Indonesia

yang dipergunakan secara langsung oleh para elite politik dalam kampanye

politik, konperensi pers, dialog politik, dan wawancara dengan wartawan.

h. Praanggapan adalah pengetahuan bersama (common ground) antara penutur dan petu-

tur sehingga tidak perlu diutarakan. Sumber praanggapan adalah penutur, bukan kali-

mat. Praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi

berbahasa yang membuat bentuk bahasa mempunyai makna bagi petutur itu, dan

sebalilcnya membantu penutur menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat

dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Menurut Yule

(1996: 26) dalam banyak diskusi, pranggapan diperlakukan sebagai hubungan antara

dua proposisi. Terdapat enam tipe praanggapan, yakni (1) eksistensial, (2) faktif, (3)

nonfaktif, (4) leksikal, (5) struktural, dan (6) counterfactual.

i. Implikatur percakapan adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan

yang sebenarnya diucapkan. Dalam rumusan lain, implikatur percakapan adalah

penggunaan maksim percakapan untuk "mengimplikasikan" makna selama perca-

kapan. Konsep implikatur dipergunakan untuk menerangkan perbedaan yang sering

32

terdapat antara "apa yang diucapkan" dengan "apa yang diimplikasi". Implikatur

akan mudah dipahami jika antara penutur dan petutur telah berbagi pengalaman

dan pengetahuan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

a. Ditinjau dan saluran yang digunakan, terdiri atas chia jenis wacana, yakni (1) wacana

lisan dan (2) wacana tulisan. Berdasarkan pembagian tersebut, dalam wacana politik

dikenal dua macam, yaitu wacana politik lisan dan wacana politik tulisan. Penelitian

ini bertujuan memerikan, menafsirkan, dan menjelaskan penggunaan bahasa Indo-

nesia dalam wacana politik oleh para pelaku politik dengan memperhatikan aspek-

aspek spontanitas tuturan dan kealamiahan datanya. Untuk mencapai sasaran pene-

titian tersebut, penelitian ini hanya memfokuskan pada wacana politik lisan yang

langsung disampaikan oleh politikus kepada masyarakat banyak.

b. Repertoar bahasa politik yang dipilih dalam penelitian ini adalah repertoar pada akhir

periode pemerintahan Soeharto dan periode pemerintahan Habibie. Pada masa ini

repertoar bahasa politiknya memiliki karakteristik yang "cukup" berbeda dari reper-

toar bahasa politik orde barn era Soeharto dan bahasa politik orde lama era Soekarno.

c. Dalam dunia politik Indonesia, penghasil wacana politik amat beragam, yaitu (I)

presiden sampai pejabat yang lebih bawah, seperti gubemur, bupati, dan sebagainya,

(2) para anggota kabinet, (3) para elit partai politik, (4) pimpinan tembaga swadaya

masyarakat (LSM), (5) pimpinan organisasi-organisasi massa, dan (6) pimpinan TNI

dan Polri (ABRI). Data penelitian ini difokuskan pada wacana politik yang dihasilkan

oleh anggota kabinet dan para elit partai politik peserta pemilu, di mana kedua pelaku

politik tersebut pada akhir periode rezim atau pemerintahan era Soeharto dan

33

pemeriniahan Habibie cukup berpengaruh dalam membentuk wacana publik. Wacana

politik hasil dan pimpinan ABRI juga diikutsertakan meskipun pada periode ini,

eksistensi ABRI sebagai salah satu pelaku politik Indonesia mulai digugat. Wacana

politik yang dihasilkan oleh elit ABRITTNI masih memiliki gaung terhadap wacana

politik secara keselunihan. Sementara itu, wacana politik yang dihasilkan oleh pim-

pinan LSM dan ormas tidak diikutsertakan secara eksplisit karena pada umumnya

para pimpinan LSM dan ormas sekaligus menjadi elit partai politik peserta pemilu.

d. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang karakteristik penggunaan

bahasa Indonesia dalam wacana politik, sesuai dengan pandangan Fairclough (1988;

1995), perlu diungkap tiga dimensi wacana, yaitu (1) dimensi teks-teks bahasa, (2)

dimensi praksis wacana, dan (3) dimensi praksis sosiokultural melalui langkah-

langkah "memerikan", "menafsirkan", dan "menjelaskan" ketiga dimensi wacana itu.

Ketiga dimensi wacana politik dalam penelitian ini seluruhnya dianalisis dengan

diawali dan analisis terhadap dimensi pertama, kedua, dan ketiga secara simultan

sebagai wujud dari aplikasi teori analisis wacana kritis.

1.7 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan yang membuat tidak dicapainya

suatu absolute truth, bahkan dalam taraf probable truth sekalipun. Keterbatasan dalam

penelitian ini berkaitan dengan aspek metodologisnya. Keterbatasan metodologis dalam

penelitian ini dapat bersifat "empiris" dan "hermeneutis". Keterbatasan empiris berkaitan

dengan keberadaan sumber data dan penentuan sumber data yang dalam pemilihan dan

penentuannya tidak dapat mencapai taraf "ideal". Secara ideal, sumbernya adalah para

pelaku politik atau politikus Indonesia yang ujaran-ujarannya akan sangat berpengaruh

34

terhadap perilaku masyarakat, misalnya: presiden, menteri, ketua partai, gubernur, bupati,

pemimpin organisasi massa, pemimpin LSM, dan sebagainya. Karena keterbatasan waktu,

tenaga, dan logistik, dalam penelitian ini sumber data dibatasi pada elit pemerintahan dan

elit partai politik peserta pemilu. Penentuan sumber data dilandasi oleh pertimbangan

praktis, yaitu ujaran-ujaran para pelaku politik tersebut sering muncul, baik yang secara

face to face disampaikan kepada khalayak—misalnya dalam kampanye atau temu kader-

maupun melalui media cetak dan elektronik yang membuat sumber data itu dapat diob-

servasi. Tidak dipilihnya semua sumber wacana politik, dapat mengakibatkan hasil pe-

nelitian ini belum mencapai taraf "ideal" tentang karakteristik wacana politik Indonesia.

Keterbatasan hermeneutis berkaitan dengan pengumpulan dan analisis data.

Keakuratan pengumpulan dan analisis data akan bergantung pada pengetahuan,

wawasan, kemampuan, dan kepekaan peneliti tentang seluk-beluk wacana politik lisan

bahasa Indonesia. Terbatasnya kemampuan peneliti membuat pengumpulan dan

analisis data memiliki keterbatasan. Dengan demikian, keterandalan basil penelitian ini

untuk ditransferkan ke dalam latar yang lebih Inas masih perlu diuji lebih lanjut ke

dalam penelitian-penelitian sejenis.

1.8 Landasan Teoretik

Landasan teoretik dalam penelitian ini bukan berfungsi sebagai wahana untuk me-

ramalkan fenomena yang diamati, atau untuk memberikan pembenaran terhadap data,

yang selanjutnya berakhir dengan penolakan atau penerimaan terhadap teori yang digu-

nakan. Landasan teoretik dalam penelitian ini lebih berfungsi sebagai (1) pemandu agar

fokus penelitian sesuai dengan lapangan, (2) alat untuk memberikan gambaran umum

tentang latar penelitian, (3) tempat pembahasan hasil-hasil penelitian, dan (4) bahan pen-

35

jelas dalam rangka menghasilkan suatu "teori" yang langstmg berasal dari data penelitian,

bukan dari asumsi-asumsi apriori yang dirumuskan sebelum pelaksanaan penelitian.

Register bahasa politik dipilih dan dipergunakan oleh para elite politik dalam

rangka melayani tuinan politiknya, yakni mengatur masyarakat banyak secara

berkekuasaan. Muatan politik tertentu itu diwujudkan melalui pilihan-pilihan leksikal,

sintaksis-gramatikal, dan struktur tekstual. Terdapat suatu keyakinan bahwa sistem

leksikal, sintaksisgramatikal, dan struktur teks dipilih dan dihadirlcan untuk memenuhi

dan melayani kebutuhan sosial dan personal tertentu para elite politik tersebut.

Paparan di atas menegaskan bahwa kajian terhadap penggunaan BI dalam wacana

politik bersandar pada pandangan Halliday (1977, 1978) yang memandang "bahasa seba-

gai semiotik sosial" dalam kerangka teori linguistik fungsional-sistemik serta pandangan

linguistik kritis Fowler (1985, 1986, 1996) yang memandang "bahasa sebagai instrumen".

Dan perspektif semiotik sosial, "wacana politik" yang menjadi fokus kajian dan

objek penelitian diperlakukan dan dipandang sebagai fenomena teks (2.3.2.1), berada

pada konteks situasi tertentu (2.3.2.2), memiliki ciri-ciri leksikogramatis yang menyata-

kan makna tertentu yang disebut register (2.3.2.3), dipandang sebagai fenomena kode,

baik kode bahasa maupun kode budaya (2.3.2.4), terdiri atas tiga tataran linguistik,

yakni semantik, leksikogramatikal, dan fonologis yang berfokus pada "semantik" yang

berkaitan dengan fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual (2.3.2.5), serta cerminan

dari struktur sosial Indonesia (2.3.2.6).

Dari perspektif linguistik kritis, bahasa merupakan instrumen yang tidak netral, baik

untuk mengendalikan maupun untuk komunikasi. Wacana politik yang di dalamnya

terdapat aspek-aspek kekuasaan dan ideologi perlu diungkap secara linguistik dengan

36

menggunakan piranti-piranti linguistik. Bentuk-bentuk linguistik dipilih individu untuk

melaporkan realitas. Bentuk-bentuk linguistik akan merespon fungsi-fungsi linguistik

tertentu. Pandangan ini diambil dari pandangan Halliday (1978) tentang "linguistik in-

strumental", yakni kajian bahasa untuk memahami sesuatu yang lain. Teori kebahasaan

akan selalu menjadi teori ideologi karena kehadiran realitas sosial diorganisasikan mela-

lui bahasa di mana bahasa itu akan selalu "basah kuyup" oleh ideologi. Para linguis kritis

percaya bahwa struktur linguistik digunakan untuk (1) mensistematisasikan, mentran-

sformasikan, dan mengaburkan analisis realitas, (2) mengatur ide clan perilaku orang lain,

serta (3) mengklasifikasikan dan menggolong-golongkan orang atau masyarakat, peristi-

wa, dan objek yang dapat menegaskan status personal dan institusional.

Masuknya pengaruh pascamodernisme dan pascastrukturalisme Prancis ke dalam

kajian bahasa selanjutnya mempengaruhi Fairclough dalam mengembangkan kajian ke-

bahasaan/kewacanaan ke dalam bidang yang selanjutnya dinamakan analisis wacana

kritis (critical discourse analysis). Berikut ini dipaparkan sembilan prinsip dasar AWK

yang dapat dipergunakan sebagai (1) pemandu, (2) pemberi gambaran umum, dan (3)

penjelas fenomena penggunaan atau pilihan bentuk-bentuk linguistik dalam wacana

politik bahasa Indonesia era pasca-Orde Baru.

Pertama, AWK memusatkan pada perss oalan-persoalan sosial. AWK adalah analisis

aspek-aspek linguistik dan semiotik dari proses-proses dan persoalan-persoalan sosial. Fokus

AWK tidak berada pada bahasa atau penggunaan bahasa dalam atau dari dirinya, tetapi lebih

terfokus pada karakteristik linguistis dari proses-proses dan struktur-struktur sosial dan

kultural. AWK memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan "salah komunikasi"

(miscommunication), komunikasi yang terkendala (constrained communi-

37

cation), ketidakmengertian (non-understanding), dan ketidakteraturan wacana

(disorders of discourse). Dalam komunikasi yang "tidak ideal" itu diduga terdapat

dimensi kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi di dalam struktur linguistik.

Kedua, AWK memandang bahwa setiap lembaga atau institusi sosial berisi "cara-

cara berbicara" dan "cara-cara melihat" yang disebut dengan "bentukan ideologis

diskursif' (BID). Pada umumnya hanya ada satu BID yang dominan, sementara itu

BID yang lain tersubordinasi dan terhegemoni. Subjek institusi dikonstruksikan

menurut normanorma BID tempat subjek pendukung ideologis itu "ada" yang

mungkin saja subjek itu sering berada dalam keadaan bawah sadar atau tidak sadar.

Ketiga, AWK memandang relasi kekuasaan bersifat diskursif. AWK menyoroti

hakikat diskursif dan linguistic yang sebenarnya dari hubungan sosial kekuasaan dalam

masyarakat kontemporer. Hal ini adalah sebagian dari persoalan bagaimana relasi

kekuasaan "dijalankan" dan "dinegosiasikan" dalam wacana.

Keempat, wacana ttu menyangkut masyarakat dan kebudayaan. Kita hanya dapat

memaknai wacana dalam proses-proses sosial kontemporer dan relasi-relasi kekuasaan

dengan berangkat dari pengakuan bahwa wacana menyangkut masyarakat dan

kebudayaan serta wacana itu diangkat oleh masyarakat dan kebudayaan itu. Hubungan

antara wacana dan masyarakat serta kebudayaan bersifat internal dan dialektis. Tidak

ada hubungan eksternal antara bahasa dan masyarakat.

Kelima, wacana itu melaksanakan kerja ideologis dengan merepresentasikan dan

mengkonstruksikan masyarakat yang akan mereproduksi relasi kekuasaan, relasi domi-

nasi dan eksploitasi yang tidak seimbang. Untuk mengungkapnya, AWK tidak cukup ha-

nya menganalisis teks, tetapi juga mempertimbangkan bagaimana teks-teks itu diinter-

38

pretasikan dan diterima serta apa pengaruh sosial teks. Meskipun begitu, AWK

tidak meng)claim bahwa semua wacana bersifat ideologis.

Keenam, wacana itu historis. Wacana tidak diproduksi dan tidak dapat dipahami

tanpa mempertimbangkan konteks. Wacana selalu berhubungan dengan wacana lainnya

yang diproduksi sebelumnya, yang diproduksi secara sinkronis, dan diproduksi sesudah-

nya. Tidak ada wacana yang "vakum", tanpa memiliki hubungan dengan wacana

lainnya. Hal ini adalah persoalan keantartekstualan.

Ketujuh, hubungan antara teks dan masyarakat, hubungan antara "mikro" dan

"makro" itu dimediasikan. AWK berpandangan bahwa terdapat sebuah modus mediasi

antara teks yang direalisasikan secara aktual dan praksis sosial yang lebih luas tempat

untaian teks itu disematkan. Pertanyaannya adalah "bagaimana penutur merealisasikan

maksud, kepercayaan, dan ideologi ke &lam wacana" dan "bagaimana pendengar meng-

interpretasikan sebuah teks dengan memanfaatkan kepercayaan, sikap, pengetahuan,

dan ideologi yang dimilikinya".

Kedelapan, analisis wacana bersifat interpretif dan eksplanatori. Interpretasi tidak

pernah "selesai" dan "autoritatif', interpretasi akan bersifat dinamis dan terbuka terhadap

konteks dan informasi baru. Makna dan nilai pilihan bahasa bukan menjadi milik individu

yang unik, tetapi diproduksi dalam perjuangan komunikatif dan interaksi aktual yang

ditentukan secara ideologis dan dimotivasi secara politis.

Kesembilan, wacana adalah sebuah bentuk tindak sosial (social action), wacana

sebagai praksis sosial (social practice) yang ditentukan oleh struktur sosial. Ini adalah

persoalan tempat bahasa dalam masyarakat. Bahasa terlibat di pusat kekuasaan. Bahasa

terlibat dalam pertanmgan kekuasaan. Tiga pandangan AWK tentang wacana sebagai

39

sebuah bentuk tindak sosial, yakni (1) bahasa adalah bagian dari masyarakat, bukan

di luamya, (2) bahasa adalah sebuah proses sosial, dan (3) bahasa adalah proses

yang dikondisikan secara sosial oleh bagian masyarakat lainnya yang nonlinguistis.

Dari perspektif AWK, wacana politik dapat dipandang dari tiga dimensi wacana

secara simultan, yakni (1) teks-teks bahasa, (2) praksis kewacanaan, dan (3) praksis so-

siokultural. Dengan demikian, menganalisis wacana politik bahasa Indonesia pada haki-

katnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana politik tersebut. Analisis pertama berupa

"deskripsi" kepemilikan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana politik. Tiga aspek keba-

hasaan yang dianalisis adalah karakteristik kosakata, gramatika, dan struktur tekstual yang

digunakan dalam wacana politik. Analisis kedua berupa "interpretasi" terhadap hubungan

antara teks dan praksis diskursif Tiga hal yang perlu diungkap adalah (a) hubungan

konteks situasi dengan tipe wacana, (b) hubungan konteks antarteks dengan praanggapan,

dan (c) tindak ujaran. Analisis ketiga berupa "eksplanasi" terhadap hubungan antara teks

dan perubahan-perubahan sosiokultural yang mencakup dimensi institusi, masyarakat,

dan kelmidayaan. Tiga hal yang perlu diungkap adalah (a) jenis hubungan kekuasaan

yang membantu membentuk wacana, (b) jenis elemen-elemen "sumber partisipan" yang

dibangkitkan, dan (c) pe*--aruh wacana pada perebutan sosiai.

1.9 Organisasi thsertasi

Disertasi ini disusun atas delapan bab, yakni (1) pendahuluan, (2) kajian pustaka,

(3) metode penelitian, (4) penggunaan kosakata dalam wacana politik, (5) penggunaan

gramatika-sintaksis dalam wacana politik , (6) penggunaan struktur teks dalam wacana

politik, (7) diskusi hasil penelitian, dan (8) penutup. Secara lebih operasional, tiap-tiap

bab dalam disertasi ini dipaparkan sebagai berikut.

40

Bab I adalah bab "pendahuluan" yang memaparkan delapan subbab, yakni (1) kon-

teks penelitian atau latar belakang, (2) fokus penelitian yang mencakup (a) rumusan ma-

salah penelitian dan (b) tujuan penelitian, (3) kegunaan hasil penelitian, (4) asumsi-asumsi

penelitian, (5) definisi operasional atau batasan istilah, (6) ruang lingkup penelitian, (7)

keterbatasan penelitian, (8) landasan teoretik, dan (9) organisasi disertasi.

Bab II adalah bab "kajian pustaka" yang memaparkan empat subbab secara garis

besar, yakni (1) dua pendekatan dalam kajian bahasa untuk menentukan posisi penelitian

ini, (2) kajian terhadap bahasa politik yang memberikan gambaran secara garis besar hal

ikhwal yang bergayut dengan kajian bahasa politik, (3) paradigma kritis pra-AWK dalam

kajian bahasa yang banyak mempengaruhi AWK, (4) analisis wacana kritis yang dipilih

untuk dijadikan "pisau bedah" yang relevan untuk membedah fenomena komunikasi poli-

tik, dan (4) kajian atau penelitian yang relevan dengan topik penelitian ini.

Bab III adalah bab "metode penelitian" yang memaparkan delapan subbab, yakni

(1) subjek penelitian, (2) pendekatan dan jenis penelitian, (3) kehadiran peneliti, (4) data

dan sumber data penelitian, (5) prosedur pengumpulan data, (6) analisis data, mencakup

(a) tahapan analisis, (b) panduan analisis, dan (c) contoh analisis, (7) pengecekan keab-

sahan penelitian, dan (8) alur kerja penelitian.

Bab IV adalah bab paparan hasil penelitian yang terbagi ke dalam tiga subbab

besar. Subbab pertama berupa paparan "pendayagunaan kosakata dalam wacana politik".

Pada subbab ini dipaparkan tiga fitur kosakata yang meliputi (1) nilai pengalaman, (2)

nilai relasional, dan (3) iiilai eksprestf. Lima aspek nilai pengalaman kosakata dipapar-

kan, yakni (a) pola-pola klasifikasi, (b) kata-kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c)

proses-proses leksikal, (d) relasi makna, dan (e) metafora. Tiga aspek nilai relasional

41

dipaparkan, yakni (a) ekspresi eufemistik, (b) kata-kata formal, dan (c) kata-kata

nonformal yang digunakan secara mencolok. Yang terakhir, dua aspek nilai ekspresif

kosakata dipaparkan, yakni (a) evaluasi positif, dan (b) evaluasi negatif Paparan hasil

penelitian ini adalah hash dan pemerian, penafsiran, dan penjelasan pendayagunaan

kosakata dalam wacana politik.

Subbab kedua pada bab IV berupa paparan "pengdayagunaan gramatika dalam wa-

cana politik". Pada subbab ini dipaparkan tiga fitur gramatika, yakni (1) nilai

pengalaman, (2) nilai relasional, dan (3) nilai ekspresif Empat aspek nilai pengalaman

gramatika dipaparkan, yakni (a) ketransitifan, (b) nominalisasi, (c) kalimat aktif-pasif,

dan (d) kalimat positif-negatif Tiga aspek nilai relasional gramatika dipaparkan, yakni

(a) modus kalimat deklaratif-interogatif-imperatif, (b) modalitas relasional, dan (c)

strategi kehadiran diri. Satu aspek nilai ekspresif gramatika dipaparkan, yakni

modalitas ekspresif. Paparan hasil penelitian ini adalah hasil pemerian, penafsiran, dan

penjelasan pendayagunaan gramatika dalarn wacana politik.

Subbab ketiga pada bab IV berupa paparan "pendayagunaan struktur teks dalam

wacana politik". Pada subbab ini dipaparkan dua hal secara garis besar, yakni (1) kon-

vensi interaksional yang digunakan, dan (2) penataan serta pengurutan teks. Dua hal

dipaparkan berkaitan dengan konvensi interaksional adalah (a) pengelolaan gilir tutur,

dan (b) pengontrolan mitra tutur. Dua hal dikemukakan berkaitan dengan pengurutan

teks adalah (a) pola umum pengurutan teks, dan (b) pola pengembangan teks.

Bab V adalah hab "bahasan hasil penelitian" yang memaparkan keterkaitan antara

pola-pola, kategori-kategori dan dimensi-dimensi, posisi temuan atau teori terhadap teori-

teori dan temuan-temuan sebelumnya, serta penafsiran dan penjelasan dari temuan atau

42

teori yang diungkap langsung dari lapangan. Pada bagian ini juga dipaparkan implikasi

dari temuan penelitian ini.

Bab VI adalah bab"penutup" yang memaparkan dua subbab, yakni (1) simpulan

hasil-hasil penelitian, dan (2) saran-saran penelitian yang mencakup saran-saran

kepada (a) elite politik Indonesia, (b) pengembang linguistik di Indonesia, (c) peneliti

selanjutnya, (d) perencana dan pengembang pendidikan, dan (e) masyarakat Indonesia.