seminar nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara...

23

Upload: truongtuong

Post on 30-Jan-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas
Page 2: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

vii

Page 3: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

viii

Page 4: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

ix

Page 5: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

137

PERAN PARADIGMATIK PENDIDIKAN IPS DALAM PENDIDIKAN

NASIONAL SEBAGAI AKSELERATOR REVOLUSI MENTAL

Mohammad Imam Farisi

Program Studi Pendidikan IPS, FKIP Universitas Terbuka

UPBJJ-UT Surabaya, Kampus C Unair, Mulyorejo, Surabaya 60115

email: [email protected]

Abstrak. Menempatkan pendidikan sebagai akselerator revolusi mental dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara memerlukan proses panjang dan

berkesinambungan. Ia menuntut perubahan paradigma yang mampu mensinergikan

kekuatan pokok pendidikan sebagai ‘pembudayaan’ dan ‘pemberdayaan’. Untuk itu,

komitmen bersama dari semua komponen pendidikan untuk melakukan perubahan-

perubahan mendasar merupakan sebuah keniscayaan, bagi terciptanya manusia

Indonesia baru dan modern berlandaskan pada azas kerakyatan dan kemanusiaan.

Pendidikan IPS (PIPS) sebagai ‘disiplin ilmu terintegrasi’ dan ‘program pendidikan’

memiliki peran strategis. Pertama, PIPS merupakan sebuah "advance knowledge”, hasil

rekayasa sinergistis yang bersifat inter-, cros- dan trans-disipliner yang mampu

memberikan kerangka berpikir, rujukan, dan justifikasi akademik dalam memecahkan

masalah atau menemukan teori-generalisasi baru untuk kemaslahatan dan peningkatan

kualitas hidup manusia dalam arti luas. Kedua, PIPS memiliki empat tradisi akademik

yang secara sinergis mampu membentuk dan mengembangkan empat karakter

kebangsaan manusia Indonesia secara sinergis, yakni transmisif, akademis, kritis-

reflektif dan transformatif. Ketiga, PIPS bisa mewahanai pemikiran filosofis

‘rekonstruksionis’ yang dibangun dari tiga tradisi pemikiran filosofis, yakni perrenial,

esensial, dan progresif; berorientasi pada nilai; dan merupakan pemikiran filsafat pada

periode krisis. Makalah ini mengkaji ketiga peran paradigmatik PIPS tersebut dalam

konteks reformasi pendidikan sebagai akselerator revolusi mental.

Kata Kunci: Paradigma, Pendidikan IPS, pendidikan nasional, akselerator, revolusi

mental.

Pendahuluan

Secara sosio-historis, revolusi mental bukan konsep baru dalam kehidupan sosial,

dan politik Indonesia. Soekarno pertama kali memperkenalkannya terkait dengan ideologi

dan prinsip Tri Sakti, yakni "berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi,

dan berkepribadian dalam kebudayaan" yang ia sampaikan pada 17 Agustus 1964 dalam

Page 6: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

138

pidatonya tentang "Trisakti Tavip", dan tahun 1965 dalam pidatonya tentang ‘Tahun

Berdikari’. Abudurrahman Wahid (Gus Dur) kemudian menggunakannya dalam konteks

"transformasi demokrasi". Sebuah proses demokratisasi yang bertumpu pada penghargaan

atas persamaan hak, pluralisme, serta kebebasan menyampaikan aspirasi (Advertorial, 2014).

Belakangan, revolusi mental menjadi istilah yang sangat populer setelah Joko Widodo,

presiden terpilih dalam Pemilu 2014, menyatakannya sebagai salah satu fondasi utama bagi

pelaksanaan program-program unggulan dalam pemerintahan baru yang telah dibentuk 27

Oktober 2014 lalu.

Dalam dunia akademik, konsep revolusi mental pertama kali dipopulerkan oleh

Frederick Winslow Taylor yang mengikhtiarkan perlunya sebuah sistem otoritas manejemen

ilmiah yang dapat mendorong perubahan pengetahuan yang diproduksi secara “bottom up”,

melalui partisipasi aktif kalangan “grass root” (Copley, 1923:195, 236). Implikasi revolusi

mental dalam pendidikan meniscayakan perlunya sebuah manajemen ilmiah yang melibatkan

perubahan pola pikir dan sikap pada pihak manajemen dan pelaksana. Mereka juga harus

saling berbagi dan berkontribusi dalam pemikiran dan pengalaman sehingga seluruh potensi

pendidikan bisa dikerahkan bagi tercapainya tujuan pendidikan (Nelson, 1992:77). Jika ini

bisa dilakukan, harapan pendidikan sebagai akselerator revolusi mental untuk menciptakan

bangsa Indonesia yang berintegritas, cerdas, memiliki kesadaran kuat untuk membangun

bangsa, dan memecahkan defisiensi kapasitas sumber daya manusia yang telah menyebabkan

ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain bisa dicapai.

Dalam wacana publik, istilah revolusi mental memunculkan beragam pandangan. Ada

yang berpendapat konsep tersebut dekat dengan konsep Karl Marx tentang ’gerakan

pencerahan” rakyat Cina melawan kekuasaan rejim kekaisaran. Ada pula yang berpendapat,

konsep revolusi mental lebih dekat pemikiran Gandhi tentang "kemerdekaan politik (self-

rule)" yang mengikhtiarkan perubahan total mental rakyat negara jajahan (India) melalui

gerakan ”Satyagraha”. Sebuah gerakan moral yang dikembangkan untuk menciptakan

“a ‘weapon’ of soul-force that has the potential to confront political and social challenges”;

atau sebuah perspektif baru dalam gerakan sosial-politik “for considering the difference

between the method of civil disobedience, which due to a lack of strong spiritual foundations

historically turns violent in many situations, and satyagraha” (Howard, 2014: 8). Jika

pendapat terakhir ini benar, maka revolusi mental bukanlah sebuah revolusi sosial yang

Page 7: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

139

radikal seperti dalam paham komunisme, tapi lebih mengacu kepada gerakan moral untuk

memperbaiki kehidupan berbangsa berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal

(Advertorial, 2014).

Konsep revolusi mental menjadi sangat relevan karena sejumlah pakar,

mengindikasikan belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia telah

dihinggapi sikap pragmatisme yang dikhawatirkan dapat mengarah pada “krisis kebangsaan”

atau “zero trust society” (Hadi, 2009; Alfian, 2010). Suatu keadaan yang dicirikan oleh

fenomena urai-sendi secara besar-besaran (a major dislocation) pada budaya dan sub-budaya,

institusi-institusi, kebiasaan-kebiasaan, praktik-praktik, dan sikap-sikap fundamental dalam

kehidupan sosial-kultural masyarakat-bangsa. Setiap fungsi, struktur, tujuan utama

keberbangsaan juga berada pada posisi “thrown out of joint” (Brameld, 1966:10-11; 20).

Negara sebagai institusi dan kekuatan politik mulai digugat atau menjadi arena perebutan

kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial, sehingga hak atau kapasitas negara untuk menjaga

keadilan, mewujudkan kemauan dan tujuan bersama, atau mendorong kebebasan warganya

terabaikan (Kelly, 1979). Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tidak mustahil dapat

memicu konflik sosial laten yang merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan

bangsa. Konsepsi ‘citizen’ dan ‘citizenship’ dalam ‘nation-state’ dan ‘nationalism state’ akan

runtuh, dan eksistensi negara-bangsa tak lebih hanyalah sebuah ‘komunitas terbayang’

(imagined community), yang kehadirannya hanya dirasakan saat terjadi situasi krisis, anomali,

bahkan revolusi (Anderson, 2001).

Dalam menghadapi situasi krisis seperti ini, setiap masyarakat atau bangsa memiliki

sikap atau reaksi yang beragam, dari sikap ‘skeptis’ hingga ‘radikal’. Semuanya bergantung

pada apa yang diyakini paling benar dan dapat mengatasi krisis yang tejadi. Tampaknya,

sudah menjadi keniscayaan sosio-historis, pendidikan kerap dianggap sebagai ikhtiar yang

tepat dan efektif untuk mengantisipasinya. Dalam berbagai krisis yang terjadi di Amerika dan

Eropa misalnya, pendidikan lazim dijadikan sebagai instrumen solutif untuk itu (Bruner,

1960; Pattanayak, 2003; Park, 2006). “Education is to become meaningful in such a setting

[of world crisis], it too must become powerful”. Mengapa? karena “education as power” yang

diharapkan dapat membentuk manusia menjadi menjadi sumber daya yang mampu

mengubah dan mengontrol kekuatan alamiah dengan citra teknologi yang mengagumkan dan estetik

Page 8: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

140

(Brameld, 1966). Karena pendidikan adalah “a means of genuine social control” dimana

orang dewasa secara sadar membentuk disposisi-disposisi generasi muda (Dewey, 2013:23).

Dalam konteks inilah, pendidikan sebagai akselerator revolusi mental memiliki peran

strategis. Menempatkan revolusi mental sebagai ikhtiar pendidikan bukan hal baru. Sjahrir,

Perdana Menteri I Indonesia pernah menggunakannya terkait dengan pemikirannya tentang

"revolusi sosial" melalui pendidikan, bagi terciptanya manusia Indonesia baru, suatu

masyarakat sosialis modern berlandaskan azas kerakyatan dan kemanusiaan (Iban, 2014).

Namun, penggunaan konsep tersebut dalam bidang pendidikan, juga tak luput dari

kontroversi. Rahman, misalnya, memandang bahwa walaupun hal itu sebagai sebuah gagasan

yang baik dan patut dihargai, namun secara metodologis salah atau keliru.” Revolusi mental

dianggap bertentangan dengan prinsip pendidikan, karena pendidikan tidak bisa mempercepat

atau merevolusi mental seseorang (Dakwatuna, 2014).

Secara akademis, pandangan ini masih bisa diperdebatkan. Berbagai teori revolusioner

pendidikan yang mengikhtiarkan perubahan-perubahan fundamental masyarakat dan/atau

peserta didik melalui pendidikan telah menjadi catatan sejarah dan diakui di kalangan

komunitas pendidikan. Sebagai contoh, Freire (2005) melalui ”pedagogy of the oppressed”

berhasil secara revolusioner mengubah mindset pendidikan dari ”instrumen penindasan” ke

”instrumen pembebasan”. Reformasi paradigma pendidikan yang Ia diiktiarkan, dan dicirikan

oleh kerjasama, kesatuan, organisasi, dan sintesis budaya, berhasil mereformasi mentalitas

masyarakat Brazil dari masyarakat pasif (objek penindasan) menjadi masyarakat aktif (subjek

pembebasan) dengan cara mambangkitkan kesadaran atas eksistensi dan peran mereka dalam

memberikan makna pada dunia. John Dewey (2013; Hickman, 1990; 1998) dan Bruner

(1978) juga berhasil mereformasi paradigma pendidikan ke arah yang lebih dmeokratis dan

kental dengan perspektif sosial-budaya menjadi lebih efektif melakukan perubahan mental

peserta didik dari ’passive participant’ menjadi ’active participant’ melalui perubahan cara

dan proses berpikir mereka dari ’receptive’ menjadi ’critisize-reflective-acting’. Fakta-fakta di

atas menjelaskan bahwa sejumlah teori dan praktik pendidikan telah memungkinkan

terjadinya revolusi mental peserta didik. Terlepas dari pro-kontra atas pemikiran-pemikiran

revolusioner mereka, kebutuhan akan perubahan secara revolusiner (apapun bentuknya)

melalui pendidikan bukan sesuatu yang tabu, melainkan sebuah keniscayaan sosio-historis.

Page 9: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

141

Dalam tulisan ini, revolusi mental dimaknai sebagai pembentukan, perubahan, dan

pengembangan mentalitas (karakter atau watak) peserta didik agar menjadi warganegara

Indonesia yang baik (how to be a good Indonesian) melalui proses-proses pendidikan yang

mensinergikan antara pembudayaan dan pemberdayaan. Sesuai dengan konsep Tri Sakti,

mentalitas (karakter atau watak) yang diharapkan adalah mentalitas warganegara Indonesia

yang "berkepribadian dalam kebudayaan" atau "berkepribadian secara sosial-budaya".

Untuk mendukung hal itu, sistem pendidikan perlu diarahkan untuk membantu membangun

identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai

moral agama yang hidup di negara ini (Widodo, 2014). Secara sosiokultural dan pedagogis,

revolusi mental adalah sebuah "strategi kebudayaan" yang mengikhtiarkan revolusi mentalitas

manusia Indonesia (Arismunandar, 2014). Sebuah ikhtiar yang hanya bisa dicapai jika ada

komitmen semua pihak, dari tingkat manajemen hingga pelaksana pendidikan.

Namun demikian, revolusi mental melalui pendidikan memerlukan persiapan dalam

orientasi dan tujuan yang akan dicapai. Karena hal ini memiliki implikasi luas terhadap

kebutuhan atas ‘manajemen ilmiah’ terkait dengan rencana dan praktik kurikulum; serta

kaitannya dengan penyiapan lembaga-lembaga pendidikan ”in more academically

respectable and theoretically rigorous discipline” (Nelson, 1992:77). Sehingga, pendidikan

benar-benar dapat mengubah karakter peserta didik yang menghormati budaya warisan nenek

moyang, dan menghargai nilai – nilai luhur kebudayaan di masyarakat. Sebuah peran

paradigmatik yang diharapkan bisa memaknai revolusi mental bukan sebuah revolusi sosial

yang radikal, tapi lebih sebagai gerakan moral untuk memperbaiki kehidupan berbangsa

berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal namun tetap berpijak pada kepribadian bangsa

(Advertorial, 2014).

Dalam konteks inilah PIPS secara paradigmatik sangat penting karena tiga

hal. Pertama, PIPS adalah "advance knowledge” yang diharapkan mampu memberikan

kerangka berpikir, rujukan, dan justifikasi akademik dalam memecahkan masalah

atau menemukan teori-generalisasi baru untuk kemaslahatan dan peningkatan kualitas

hidup manusia dalam arti luas. Kedua, PIPS memiliki tiga tradisi akademik yang secara

sinergis mampu membentuk dan mengembangkan tiga karakter kebangsaan manusia

Indonesia, yakni transmisif, akademis, dan kritis-reflektif. Ketiga, PIPS bisa mewahanai

pemikiran filosofis ‘rekonstruksionis’ yang dibangun dari tiga tradisi pemikiran filosofis, yakni

Page 10: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

142

perrenial, esensial, dan progresif; berorientasi pada nilai; dan merupakan pemikiran filsafat

pada periode krisis.

Makalah ini mengkaji ketiga peran paradigmatik PIPS tersebut dalam konteks

reformasi pendidikan sebagai akselerator revolusi mental.

PIPS sebagai "Advance Knowledge”

PIPS sebagai "advance knowledge” merupakan sebuah hasil ‘kerjasama antar/lintas

disiplin’ (IIS, humaniora, dan pendidikan). Tubuh pengetahuannya dibangun dan

dikembangkan secara sinergistis dari pengetahuan yang sudah ada. Struktur pengetahuan

tersebut kemudian dikembangkan, dikoreksi, dan diperbaiki secara berkelanjutan, agar

mampu menerangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan serta membantu memecahkan

masalah-masalah sosial melalui pikiran, sikap, dan tindakan terbaik (Somantri, 2001:

100,207).

Dikatakan “advance” (unggul), karena tubuh pengetahuan PIPS hakikatnya sebagai

sebuah “disiplin baru”, hasil rekayasa sinergistis atau hasil dari upaya

mensinergikan/mengintegrasikan sejumlah unsur pengetahuan dari disiplin ilmu lain menjadi

tubuh pengetahuan disiplin PIPS yang otonom. Berdasarkan hasil sinergi atau integrasi

keilmuan ini pula, PIPS membentuk dan mengembangkan ide-ide fundamental dan tubuh

pengetahuannya sendiri sebagai kerangka berpikir, rujukan, justifikasi, atau paradigma dalam

memecahkan masalah atau menemukan teori-generalisasi baru untuk kemaslahatan dan

peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas. Suatu hal yang ‘tidak mungkin’

dilakukan atau dipecahkan oleh disiplin ilmu ‘mono-disiplin’. Dengan karakteristik seperti

ini, PIPS sebagai "advance knowledge” bukan “hasil sampingan (nurturant effect) dari

disiplin-disiplin ilmu, sains, teknologi, dan/atau pendidikan” (Somantri, 2001:42-43).

Tugas utama PIPS sebagai "advance knowledge” dalam konteks peran

pendidikan sebagai akselerator revolusi mental adalah menyiapkan peserta didik dengan

pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap terkait dengan kehidupan manusia secara

bermakna, signifikan, dan menyatu di dalam pengalaman keseharian mereka. Melalui

sinergi/integrasi sejumlah unsur pengetahuan dari disiplin ilmu, PIPS diharapkan mampu “be

brought to students awareness and understanding” atas dua dimensi penting dalam PIPS,

yaitu “humanistic oughts” dan “the facts of social reality as reliable knowledge” yang disediakan

Page 11: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

143

oleh disiplin IIS (Johnson, 1963:399). Sintesis kedua dimensi ini akan menjadikan PIPS

sebagai sebuah “pendidikan umum” (a general education), yakni sebuah konstruksi

pendidikan yang “appropriate to the abilities of young people…to make its unique

contribution to students becoming cultured persons…by improvement in judgment about

values” (p. 391-392); and “to foster the democratic social character: freedom, responsibilty,

individuality, and respect for the selves of others” (Rosengren, 1985: 559) melalui konfigurasi

“pikiran dan tindakan” di dalam melakukan pertimbangan nilai pada semua fase kehidupan

individual dan kolektif dari beragam perspektif, terkait proses-proses sosial.

Agar dapat menunaikan tugas utamanya tersebut, PIPS meniscayakan kebutuhan siswa

akan kepekaan apresiasi terhadap petualangan besar kemanusiaan, sebuah dunia sosial

dimana mereka hidup, menjalani kehidupan, dan bagian darinya. Ia juga meniscayakan

perlunya siswa memiliki pengetahuan tentang dunia dan terampil di dalamnya, berdedikasi,

dan kepedulian diri terhadap upaya untuk menemukan bagaimana memberikan kontribusi

terbaik kepada dunia, serta mengembangkan dimensi intelektual dan spiritualnya pada taraf

tertinggi dan terkaya. Sintesis atau interseksi antara dimensi ‘intelektualitas’ dan ‘spiritualitas’

ini, juga menjadi pemikiran Somantri (2001: 95,182) yang memandang penting sinergi antara

’intraceptive knowledge’ (dimensi spiritualitas) dan ’extraceptive knowledge’ (dimensi

intelektualitas) di dalam membangun dan mengembangkan jati-diri PIPS sebagai disiplin

terintegrasi. Perbedaannya, dalam pemikiran Somantri, sinergi keduanya dalam pembangunan

dan pengembangan jati-diri PIPS ditempatkan dalam konteks filsafat Pancasila, sedangkan

Johnson menempatkannya dalam konteks “kehidupan dan petualangan manusia dalam

perjuangannya untuk peradaban” (humanistik). “MAN lives at the crossroads where the

material and the spiritual intersect and interact. The name for this meeting place is the social

where the human adventure, or call it the struggle for civilization, is enacted” (Johnson,

1965:291).

Dimensi material (physics) dalam PIPS berkenaan dengan semua artifak kebendaan,

‘the iron laws of the world, yang diciptakan manusia dari potensi alam, termasuk bentuk-

bentuk kekuasaan yang telah menempatkan manusia menjauh dari hakikat rahasianya yang

terdalam. Dimensi spiritual (poetics)—mengutip John R. Seeley—adalah “facts-by-faith”,

“fidefacts”, bukan “empirical proof”, yakni hasil-hasil dari petualangan kemanusiaan seperti

keyakinan-keyakinan yang dapat menata hati dan pikiran manusia; memberikan tujuan dan

arah kepada kehidupan tanpa akhir. Termasuk dimensi ini adalah: martabat, keindahan,

Page 12: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

144

kebenaran; filsafat dan ideologi; sistem dan kode legal; cita-cita politik (demokrasi). Interseksi

kedua dimensi kehidupan manusia tersebut (material dan spiritual) menyatu di dalam konteks

kehidupan sosial (politics) sebagai medan bagi petualangan manusia dalam perjuangannya

membangun peradaban. Di dalam konteks sosial ini pula, PIPS dan praktik institusi-institusi

sosial harus menjadi medium bagi terjadinya proses-proses konsensual yang memungkinkan

manusia memutuskan keyakinan-keyakinan, bentuk-bentuk kekuasaan fisik, maupun sumber-

sumber intelektual dan moral mana yang tersedia, dan dapat melayaninya bagi perjuangan

bagi peradaban (Johnson, 1965:291; Rosengren, 1985:558).

Peran utama PIPS sebagai bagian dari “politics”, sebuah politik penddidikan umum

adalah “making the human beings able to struggle for civilization”, dan tugas utamanya

adalah “to interprete and illuminate this struggle” (Johnson, 1965:291) melalui berbagai

institusi (mis. keluarga, gereja, forum, pasar, pabrik, klinik, teater, pers, laboratorium,

perpustakaan), yang memungkinkan setiap orang dapat bertindak bagi terjadinya interaksi dan

interseksi antara dimensi material dan spiritual. Sekolah adalah medium atau institusi sosial

yang dibentuk oleh, dan mendapatkan mandat dari masyarakat sebagai “a common point of

focus”, dengan tugas yang sangat spesifik dan unik untuk mencapai tujuan itu. “School are

the best institution, which is adequately equipped to perform their specialized task related to

the development of civilization” (1965:291).

Tradisi PIPS dan Revolusi Mentalitas Warganegara

Berdasarkan hasil rekonstruksi terkait dengan tujuan, metode, dan konten PIPS, para

ahli mengidentifikasi empat tradisi/paradigma utama dalam PIPS sebagai “general umbrella”

pendidikan kewarganegaraan: (1) transmisi kewarganegaraan; (2) ilmu-ilmu sosial; dan (3)

reflektif-inkuiri. dan (4) transformasi demokratis. Keempat paradigma PIPS tersebut memuat

empat karakter peserta didik sebagai warganegara yang baik (good citizen).

Tradisi transmisi kewarganegaraan adalah tradisi yang memandang bahwa

warganegara yang baik adalah mereka yang mampu “to transmit and cultivate common civic

values, culture and knowledge for a democratic society and better responsible citizenship”

yang bernilai “tinggi atau ideal” dan “self-evident truths” (Barr, Barth & Shermis, 1977;

Ahari, Othman, Hassan, Samah, & D’Silva, 2013); termasuk nilai-nilai dan budaya yang

Page 13: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

145

bersumber dari agama, Pancasila dan UUD 1945 sebagai “nilai sentral” dalam

kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia (Somantri, 2001: 75).

Tradisi Ilmu-ilmu Sosial adalah tradisi yang memandang bahwa warganegara yang

baik adalah mereka yang mampu menguasai konsep-konsep, proses-proses, masalah-masalah,

keragaman aturan-aturan keilmuan pada setiap disiplin ilmu pembentuk tubuh pengetahuan

PIPS, serta penguasaan terhadap langkah-langkah metode ilmu-ilmu sosial ”through the eyes

of social scientists” (Barr et al., 1977:63).

Tradisi inkuiri-reflektif adalah tradisi yang memandang bahwa warganegara yang baik

adalah “good problem solving and wise decision making” (Lindquist, 1995:1). Yakni

warganegara yang memiliki sikap “kritisisme sosial” (social criticism); mampu

menganalisis, berpikir kritis-reflektif, dan membuat keputusan yang tepat dalam konteks

sosial-politik atas dasar masalah-masalah, isu-isu dalam kehidupan personal dan komunal

berdasarkan proses-proses berpikir inkuiri-reflektif (Barr, et al., 1977; Stanley, 1985); atau

warganegara yang mampu “to examine democratic ideals within the context of their daily

lives” (Grelle & Metzger, 2004:7) secara cerdas melalui “process of knowing and valuing”

(Zevin, 1992).

Tradisi transformasi demokratis, adalah tradisi yang memandang bahwa warganegara

yang baik adalah mereka yang kritis dan melek budaya yang mampu terlibat dalam

pembentukan masyakarat demokratis (Giroux, 1992:84; Banks, 1990; 1995); atau “in

reconstructing society by developing a critical understanding of and engagement with social

issues and institutions” di dalam kehidupan masyarakat demokratis dan multi sosial-budaya

(Lee, 2000:10).

Keempat tradisi PIPS tersebut memiliki makna penting dalam konteks

pendidikan sebagai akselerator revolusi mental dan reformasi paradigma pendidikan

nasional, khususnya untuk membangun kembali idealisme pendidikan nasional dan

sebagai solusi etis-moral atas “krisis kebangsaan” dan “zero trust society” yang terjadi

melalui sinergi empat karakter warganegara yang baik. Seperti dinyatakan di dalam

dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa (Kemenkokesra, 2010),

bahwa situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut, mendorong

pemerintah untuk mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa

sebagai arus utama pembangunan nasional. Bangsa yang berkarakter meniscayakan perlunya

memiliki kepercayaan pada nilai-nilai keperibadian dan kemandirian bangsa sendiri, karena

Page 14: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

146

“eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimiliki, dan hanya bangsa

yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang

bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain” (h.1). Kepercayaan ini sangat penting, dan

harus dihidupkan. “Kejatuhan politik hanya kehilangan penguasa, kejatuhan ekonomi hanya

kehilangan sesuatu. Tapi kalau kejatuhan karakter suatu bangsa kehilangan segalanya”.

Demikian dikemukakan Yudi Latif tentang rancang bangun paradigma kepribadian bangsa di

Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unibraw.

Sejalan dengan pemikiran di atas, keempat karakter warganegara yang baik yang akan

dibangun oleh PIPS tidak hanya untuk mengembangkan potensi peserta didik sebagai

makhluk pribadi dan sosial, tetapi juga mendidik mereka menjadi makhluk Tuhan, “menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia”.

Untuk tujuan tersebut, pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yakni: (1) membentuk

dan mengembangkan (building and developing) potensi manusia atau warga negara Indonesia

agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup

Pancasila; (2) perbaikan (repairing) karakter manusia dan warga negara Indonesia yang

bersifat negatif, dan penguatan peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan

pemerintah dalam pembentukan, pengembangan dan perbaikan karakter; dan (3) penyaring

(filtering) nilai-nilai budaya bangsa sendiri, dan nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif

untuk dijadikan karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang

bermartabat (Kemendiknas, 2010:1).

Untuk mencapai ketiga fungsi tersebut, karakter warganegara yang baik dalam

PIPS perlu dikembangkan dan diimplementasikan di sekolah atas dasar prinsip-prinsip:

(1) berkelanjutan; (2) terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri dan

budaya satuan pendidikan; (3) nilai-nilai karakter tidak diajarkan tetapi diinternalisasi

melalui pembelajaran; dan (4) dilakukan secara aktif dan menyenangkan (h.12-13).

Sedangkan karakter-karakter yang perlu dibangun di dalam PIPS mencakup delapan

perilaku berkarakter, produk konfiguratif dari empat proses psikososial yang holistik

dan koheren, yakni: cerdas dan kreatif (olah pikir), jujur dan bertanggung jawab (olah hati);

sehat dan bersih (oleh raga); peduli dan gotong-royong (olah karsa dan rasa). Perilaku-

perilaku berkarakter tersebut, hakikatnya merupakan perwujudan dari fungsi totalitas

psikologis dan seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dan fungsi

Page 15: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

147

totalitas sosial-kultural dalam berbagai lapisan konteks interaksi (keluarga, satuan pendidikan,

dan masyarakat) yang berlangsung sepanjang hayat (Kemendiknas, 2010:9).

Keempat prinsip pengembangan karakter kebangsaan di atas, di satu sisi, memiliki

kesamaan dengan pemikiran pragmatisme-progresif Dewey, bahwa “learning means that ‘the

world child’ is necessarily involved in learning, not only his ‘mind”; dan “living as learning”,

salah satunya melalui kebiasaan (habit). Melalui kebiasaan inilah, menurut Dewey, individu

memperoleh pengalaman bersama (shared experience) baik di sekolah maupun di lingkungan

komunitas luas atas perilaku-perilaku baik atau buruk. Pengalaman bersama ini sangat

penting bagi individu sebagai bahan refleksi dan modifikasi perilaku mereka, untuk

mengurangi dampak negatif ‘perilaku buruk’ dan pada saat bersamaan meningkatkan perilaku

yang memiliki dampak positif (Brameld, 1955:131-137). Di sisi lain, konsep pendidikan

karakter di Indonesia tidak menganut konsep tiga nilai operatif atau tindakan karakter

(operatives values, values in action) dari Lickona (Winataputra, 2010:7), yakni pengetahuan

moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior).

Dengan kata lain, karakter yang hendak dibangun dan dikembangkan di Indonesia, jauh

melampaui definisi dan atribut-atribut karakter menurut definisi Lickona.

Komitmen bangsa atas pendidikan karakter ini, menjadi semakin krusial bagi

PIPS ketika pemerintah sedang bergiat untuk menyiapkan “Generasi 2045” atau

”Generasi Emas Indonesia” (Indonesian Golden Generation). Sebuah generasi yang

dicirikan oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dan keterbukaan

pemanfaatan kemajuan TIK. Kebangkitan generasi ini sangat penting dan strategis

karena pada periode 2010-2030 Indonesia menghadapi fenomena “bonus demografi”

(demographic dividend), di mana potensi sumber daya manusia berupa populasi

usia produktif merupakan yang terbesar sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia

(Kompas, 2012). Jika generasi 2045 tersebut tidak disiapkan dengan pendidikan

karakter yang baik, maka bisa dipastikan generasi penerus kita akan kehilangan sikap santun

dan hormat terhadap jatidirinya sebagai anak bangsa yang beradab. Jika hal ini terjadi, inilah

awal petaka bagi kehidupan kita sebagai bangsa, dan kekhilafan ini bukan hanya

tanggung jawab pemerintah secara sepihak, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh bangsa.

Page 16: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

148

Filsafat Rekonstruksionisme dan Peran Paradigmatik PIPS

Sebagaimana dikemukakan di atas, belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara

kita sedang dihadapkan pada munculnya sikap-sikap pragmatis. Jika kondisi ini dibiarkan

berlarut-larut, tidak mustahil dapat memicu konflik sosial laten yang merugikan dan

mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam situasi seperti ini, ada empat peran dan

tanggung jawab sentral yang perlu dilakukan oleh pendidikan, khususnya oleh PIPS sesuai

dengan empat karakter utama warganegara, yaitu: (1) menyiapkan generasi terbaik bangsa

menjadi ahli-ahli sains dan teknologi kebanggaan bangsa; (2) menyiapkan generasi bangsa

dengan “mental faculties” yang baik melalui kearifan pengetahuan (knowledge as virtue,

truth, beauty and goodness); (3) menyiapkan generasi bangsa dengan kemampuan berpikir

rasional-kritis-reflektif, pemecahan masalah, dan metode ilmiah; dan (4) menyiapkan generasi

bangsa dengan cara/alat dan tujuan yang baik, sehingga mampu menggunakan dan

menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan moral (a power moral knowledge) bagi alam,

kehidupan, dan kemanusiaan (Brameld, 1966: 3-6).

Untuk mewujudkan keempat peran sentral tersebut dan mengatasi krisis yang terjadi,

“reformasi paradigma” sebagai komitmen akademik, profesional, etis, sosial, budaya, dan

politik, dalam membangun kembali bangsa dan pendidikan yang lebih baik dan ideal perlu

dilakukan. Namun, sebelum melakukan reformasi paradigma, pendidikan terlebih dahulu

melakukan empat “therapeutic function”, agar reformasi berjalan efektif, yakni: (1) diagnosis

dan prognosis atas faktor-faktor penyebab krisis; (2) modifikasi dan inovasi teori dan filsafat

pendidikan bagi terciptanya keadaan yang relatif stabil, harmonis, dan seimbang dalam

masyarakat di atas dasar-dasar sosial dan kultural baru (Brameld, 1966:13). Reformasi

paradigma seperti itu, merupakan keniscayaan sosio-historis, tatkala paradigma yang ada

menghadapi krisis kepercayaan karena dianggap “gagal” menyediakan sumber referensi

solutif kepada para pemraktiknya untuk memecahkan akumulasi anomali yang mengarah

pada situasi krisis (Kuhn, 1970:67).

“Kearifan Timur” mengajarkan kepada kita, bahwa reformasi tidak harus dilakukan

secara frontal, tetapi bisa juga dilakukan dengan cara membangun secara sinergis dan eklektik

pemikiran-pemikiran terbaik dari paradigma-paradigma yang ada menjadi sebuah bangunan

paradigma lebih terpadu, sistemik, holistik atau ekologis. Apapun paradigmanya,

niscaya ia menyediakan cara-cara pandang atas kompleksitas realitas sebagai relasi-relasi

simbiotik antar-unsur yang membangunnya. Jika keunggulan masing-masing paradigma

Page 17: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

149

tersebut disinergikan, maka akan tersedia keberagaman yang utuh dalam cara pandang atas

realitas dan enigma-enigma di dalamnya. Sejalan dengan hakikat kehidupan, bahwa

sesungguhnyalah tak ada garis pemisah yang tegas antar-fenomena [fisikal, biologis,

psikologis, sosial, kultural, politik, dll]. Semua fenomena di jagat ini, organisme hidup,

masyarakat, dan ekosistem, dan semuanya adalah sebuah sistem yang padu dan holistik.

Semua terjalin dalam kesalinghubungan dan kesalingtergantungan, membangun suatu

keseluruhan terpadu, yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat dari bagian-

bagian yang lebih kecil (Brameld, 1966:13; Ritzer, 1985:156-168, 1992; Capra, 2000: 369-

370).

Terpenting adalah bahwa reformasi paradigma mampu menyediakan suatu bangunan

sistem pendidikan nasional ideal, yang “antisipatoris” dan “prepatoris”, selalu mengacu ke

masa depan, dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang

jauh lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001a; 2001b). Nilai-nilai dan tujuan-

tujuan dari setiap paradigma yang disentesiskan pun harus kontributif terhadap nilai-nilai dan

tujuan-tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat dan budaya demokrasi (democratic world

civilization) yang dicirikan oleh situasi sosial, politik, dan kultural yang tidak ada lagi

pemilahan antar kelompok minoritas, superioritas, atau kelompok kepentingan tertentu

(Brameld, 1966:37-38).

Paradigma terpadu, sistemik, eklektik, holistik atau ekologis yang dimaksudkan adalah

paradigma “rekonstruksionisme”, atau lebih populer disebut “a reconstructed philosophy of

education” yang digagas oleh Brameld (1966). Menurutnya, paradigma ini spesifik untuk

situasi krisis (reconstructionism is a crisis philosophy) (h.32) yang dikembangkan sebagai

sebuah “mix many viewpoints together” (h.23). Rekonstruksionisme adalah “frontiers in

educational theory” dalam perkembangan teori-teori analisis logika, realisme sosiologis,

eksistensialisme, kreativitas, realisasi diri-sosial, dan evolusi (h.51-62). Karenanya,

rekonstruksionisme adalah sebuah paradigma yang dibangun di atas fondasi “the rich thinking

and experience of others philosophies of life and education…borrows much from other

philosophies, and makes no pretense to the contrary” (h.33).

Dalam kontinum perkembangan filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan

puncak dari evolusi filsafat kehidupan, kemanusiaan, dan pendidikan. Pertama,

rekonstruksionisme merupakan “revitalisasi” pemikiran dan paradigma pendidikan sejak

Plato hingga Dewey. Kedua, demokrasi sebagai tujuan utama rekonstruksionisme “…may

Page 18: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

150

constitutute the end point of mankind' ideology...and as such…"the end of history". Ketiga,

rekonstruksionisme lahir dan bangkit dari kesadaran nurani terdalam manusia untuk “finds its

wisdom in pessimism, evil, tragedy, and despair” bagi sebuah tujuan mulia yaitu terciptanya

“a democratic world civilization”. Keempat, yang paling fitriah, rekonstruksionisme juga

memasukkan “dimensi keagamaan” sebagai pilarnya, di tengah-tengah kehidupan masyarakat

yang semakin sekuler (Brameld, 1966:74-80). Pandangan ini dikuatkan oleh Capra (2000:11-

29), bahwa dewasa ini peradaban Barat telah berada pada “the turning point” menuju

kehancurannya. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan reformasi paradigma ke arah sebuah

visi realitas baru yang didasarkan pada prinsip keseimbangan ekologis. Sebuah visi baru yang

secara simbolis mensinergikan antara kekuatan “Yin” (rasional-inderawi) dan “Yang” (nurani-

agama) bagi terciptanya kedamaian dan harmoni peradaban manusia dan kemanusiaan secara

menyeluruh.

Agar rekonstruksionisme dapat memenuhi fungsi dan tujuannya, ada tiga prasyarat

yang perlu dipenuhi oleh PIPS. Pertama, PIPS harus mampu merumuskan,

mengimplementasikan, dan memvalidasi maksud dan tujuannya secara jelas dan tegas,

terutama terkait dengan arti penting nilai-nilai ”hidup yang baik” (good life), ”for all purposes

are saturated values”. Kedua, PIPS harus berorientasi dan berkomitmen kuat pada

pembangunan sebuah peradaban dunia demokratis yang didasarkan pada nilai-nilai

kemanusiaan universal seperti cinta, harmoni, kerja sama, kesatuan dalam keberagaman, tak

ada diskriminasi (no minority, no superiority, no special interest group). Ketiga, PIPS harus

menjadi agen dan instrumen proses tranmisi, modifikasi dan rekonstruksi budaya. Ketiga

prasyarat ini harus terintegrasi di dalam setiap unsur PIPS unsur pendidikan seperti

pendidikan guru, kurikulum, pembelajaran, dan lain-lain (Brameld, 1966).

Penutup

Terkait dengan peran-peran paradigmatik PIPS di atas, satu hal yang penting

diupayakan adalah bahwa antara komunitas PIPS dan pemerintah sebagai pemegang

kebijakan pendidikan nasional perlu melakukan “negotiating politics of citizenship

education” yang didasarkan pada prinsip deliberasi berdasarkan keterbukaan dan kesadaran

bersama (Ross, 2004). Ke depan, mereka juga perlu melakukan rekonstruksi kurikulum

dan pembelajaran dengan memberikan penekanan pada PIPS dalam tradisi/paradigma

“inkuiri-reflektif” yang selama ini menjadi “anak tiri” dalam pengembangannya; dan

Page 19: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

151

mengikhtiarkan kemungkinan pengembangan tradisi/paradigma “transformasi demokrasi”

sebagai tradisi/paradigma “baru” dalam PIPS. Jika kedua tradisi/paradigma tersebut

diwujudkan di dalam pengembangan kurikulum dan pembelajaran PIPS, insyallah PIPS dapat

menjadikan bagian dari pendidikan sebagai akselerator revolusi mental dapat diwujudkan.

Semoga.

Daftar Pustaka

Advertorial. 2014. Antropolog UI: Revolusi Mental adalah Konsep Mahatma Gandhi,

http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2071236/antropolog-ui-revolusi-mental-

adalah-konsep-mahatma-gandhi, accessed on September 24th

, 2014.

Ahari, S., Othman, J., Hassan, M.S., Samah, B.A., D’Silva, J.L. 2013. Role of Social Studies

for Pre-Service Teachers in Citizenship Education. In International Education Studies,

Vol. 6 (12), pp. 1-8.

Alfian, M. Alfan. 2010. Refleksi Nasionalisme Indonesia di Era Pragmatisme Global.

Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 17, hal. 119-131.

Anderson, B. 2001. Imagined Community: Komunitas-komunitas Terbayang. Alih

bahasa O.I Naomi. Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar.

Arismunandar, A. (2014). Jokowi, Revolusi Mental, dan Strategi Kebudayaan.

http://islamalternatif.wordpress.com/2014/05/23/jokowi-revolusi-mental-dan-

strategi-kebudayaan/ accessed on September 25th, 2014.

Banks, J. A. 1990. Citizenship Education for A Pluralistic Democratic Society. The

Social Studies, Vol 81 (5), pp. 210-214.

Banks, J.A. 1995. Transformative Challenges to the Social Sciences Disciplines:

Implications for Social Studies Teaching and Learning. In Theory and Research in

Social Education, Vol. XXIII (1), pp. 2-20.

Barr, Barth, & Shermis. 1977. Defining the Social Studies. Virginia: National Council

for the Social Studies.

Brameld, T. 1955. Education as Power. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Brameld, T. 1966. Philosophy of Education in Cultural Perspective. New York: Holt,

Rinehart and Winston, Inc.

Bruner, J.S. 1978. The Process of Education. Cambrigde: Harvard University Press.

Buchori, M. 2001a. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Kanisius.

Page 20: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

152

Buchori, M. 2001b. Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di

Indonesia: Sebuah Renungan. Membangun Masyarakat Pendidikan. Jakarta:

Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP), hal. 1-22.

Capra, F. 2000. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan

Kebudayaan. M. Thoyibi (pen). Yogyakarta: Bentang Budaya.

Copley, F.B. 1923. Frederick W. Taylor: Father of Scientific Management. New York

& London: Harper and Brothers, Publishers.

Dakwatuna. 2014. Prof. Arief Rachman: “Revolusi Mental Bertentangan dengan Prinsip

Pendidikan”. http://www.dakwatuna.com/2014/07/01/53953/prof-arief-rachman-

revolusi-mental-bertentangan-dengan-prinsip-pendidikan/#axzz3EDvQ1nIh,

accessed on September 24th

, 2014.

Dewey, J. 2013. Democracy and Education. http://www.gutenberg.org/files/852/852-

h/852-h.htm. accessed on October 10th

, 2014.

Freire, Paulo. 2005. Pedagogy of the Oppressed: 30th Anniversary Edition. New York-

London: Continuum.

Giroux, H. A. 1992. Border Crossing: Cultural Workers and the Politics of Education.

New York: Routledge.

Grelle, B. and Metzger, D. 2004. Beyond socialization and multiculturalism:

Rethinking the task of citizenship education in a pluralistic society.

http://members.ncss.org/se/6003/600304.html accessed October 21st, 2014

Hadi, Otho H. 2009. Nation and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan

Kebangsaan, http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10653/

2369 accessed on April 9th, -2014.

Hickman, Larry A., ed. 1998. Reading Dewey: Interpretations for a Postmodern

Generation. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.

Hickman, Larry. John Dewey's Pragmatic Technology. Bloomington: Indiana

University Press, 1990.

Howard, V.R. 2014. Gandhi’s Satyagraha: Reinterpreting Satyakriyā (Act of Truth) as a

Political Strategy. Asian and Asian-American Philosophers and Philosophies, Vol.

13(2), pp. 4-8.

Iban, O. 2014. Pemikiran Budaya Sutan Sjahrir: Menuju Kebudayaan Indonesia Baru.

Artikel lomba karya tulis ilmiah 2014 tentang Pemikiran Budaya Tokoh-tokoh

Indonesia Pusat Studi Kebudayaan UGM.

Johnson, Earl S. (1963). The Social Studies versus the Social Science, The School

Review, Vol. 71 (4), pp. 389-403

Page 21: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

153

Johnson, Earl S. 1965. The Supreme Task of the Social Studies, Educational

Leadership, Vol. 22 (5), pp. 291-327.

Kelly, George A. 1979. Who Needs a Theory of Citizenship? Daedalus

Vol. 108 (4), pp. 21-36.

Kemdiknas. 2010. Disain Induk Pendidikan Karakter, Jakarta: Kemdiknas.

Kemko Kesra. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa , Jakarta:

Kemko Kesejahteran Rakyat.

Kompas. 2012. Mendikbud Kembali Ingatkan Soal Bonus Demografi,

http://www.dikti.go.id/?p=5094&lang=id accessed on October 21st, 2014.

Kuhn. T.S. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. London: The University of

Chicago Press, Ltd.

Lee, D. 2000. Transformative Citizenship: A Redefinition of Citizenship in a Multicultural

Society. In The SNU Journal of Education Research. Vol. 6 (6), pp. 1-17.

Nelson, D. (Ed.). 1992. A Mental Revolution : Scientific Management Since Taylor.

Nelson, D. (Ed.). 1992. Scientific Management and the Transformation of University

Business Education. In A Mental Revolution: Scientific Management since Taylor.

Columbus, Ohio: Ohio State University Press, pp. 77-101.

Park, D-Y. 2006. Curriculum reform movement in the us – science education. Paper

Presented at the 1st Pacific Rim Conference on Education, Hokkaido University of

Education, Hokkaido, Japan, October 21-23, 2006.

http://www.hokkyodai.ac.jp/international-c/conference/SS2-8_Do-Yong_Park.pdf

accessed on January, 18th, 2013.

Pattanayak, V. 2003. Physics first in science education reform. Journal of Young

Investigators, Vol. 6(7), pp. 1-4.

Ritzer, G. 1992. Sociological theory. 3rd

ed. New York: McGraw-Hill, Inc.

Ross, E.W. 2004. Negotiating the Politics of Citizenship Education. In American

Political Science Association, Vol.37 (2), pp. 249-251.

Somantri, N. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. D. Supriadi & R.

Mulyana (Eds.). Bandung: PPS-UPI dan Remaja Rosdakarya.

Stanley, W.B. 1985. Research in Social Education: Issues and approaches. Dalam W.B.

Stanley (Ed.) Review of research in social studies education: 1976-1983. Boulder,

Colorado, Washington, DC: ERIC, NCSS & SSEC, pp. 1-8.

Widodo, J. 2014. Revolusi Mental. http://liputanislam.com/pemilu/apa-itu-revolusi-

mental-ini-penjelasannya/ accessed on September 25th. 2014.

Page 22: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

154

Winataputra, Udin S. 2010. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter

Bangsa Melalui Pendidikan Karakter (Konsep, Kebijakan, Dan Kerangka

Programatik). Makalah pada Seminar UPI. Surabaya, 7 Juli 2010.

Zevin, J. 1992. Social Studies for the Twenty-First Century. New York & London:

Longman.

Page 23: Seminar Nasional - mfarisiblog.files.wordpress.com belakangan ini kehidupan berbangsa dan bernegara ... Dalam konteks inilah, pendidikan ... dengan cara mambangkitkan kesadaran atas

Seminar Nasional

Revolusi Mental dalam Pendidikan

Universitas Negeri Surabaya 20 November 2014

155