bab i pendahuluan...1 bab i pendahuluan a. latar belakang masalah undang-undang dasar negara...

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Hukum dibuat, dijalankan, dan dipertahankan oleh suatu kekuasaan yaitu negara. Negara mempunyai peran dalam membentuk hukum yang dijalankan melalui pembentuk hukum yaitu badan legislatif dimana penguasa, masyarakat dan negara dapat mewujudkan kebijakan. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Telah dijelaskan adanya prinsip persamaan dan pengakuan bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali, yaitu tidak memandang suku, ras, agama, golongan, dan jenis kelamin. Selain itu, Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan bahwa kemerdekaan warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelaksanaan pemilu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam menentukan kepemimpinan yang pelaksanaannya berdasarkan kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak dapat lepas dengan pemilihan umum karena menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap warga negara

Upload: others

Post on 09-Mar-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Republik

Indonesia adalah negara hukum. Hukum dibuat, dijalankan, dan dipertahankan

oleh suatu kekuasaan yaitu negara. Negara mempunyai peran dalam membentuk

hukum yang dijalankan melalui pembentuk hukum yaitu badan legislatif dimana

penguasa, masyarakat dan negara dapat mewujudkan kebijakan.

Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun

perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

Telah dijelaskan adanya prinsip persamaan dan pengakuan bagi seluruh

masyarakat tanpa kecuali, yaitu tidak memandang suku, ras, agama, golongan,

dan jenis kelamin. Selain itu, Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan bahwa kemerdekaan warga negara untuk

berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tentang arah kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Pelaksanaan pemilu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam

menentukan kepemimpinan yang pelaksanaannya berdasarkan kedaulatan rakyat.

Kedaulatan rakyat tidak dapat lepas dengan pemilihan umum karena menjadi

pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap warga negara

Page 2: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

2

dapat ikut aktif dalam lingkup politik. Demokrasi adalah pemerintahan yang dari

rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kontrol utama dari negara yang di wujud

nyatakan dalam demokrasi adalah pemilu. Dengan adanya pemilu diharapkan

mampu menghasilkan pemimpin yang tepat dan sesuai kehendak masyarakat.

Sebagai salah satu lembaga demokrasi, partai politik berfungsi

mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat, menyalurkan

kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara, serta membina dan

mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai

dengan mekanisme demokrasi.1 Dengan partisipasi politik, maka keputusan yang

dibuat akan sesuai pada aspirasi masyarakat itu sendiri. Partisipasi perempuan

menjadi sangat penting dan menjadi sesuatu yang istimewa ataupun unik bagi

kepentingan demokrasi itu sendiri. Persoalan bagi perempuan yang lebih menekan

pada kedudukan perempuan yaitu dianggap hanya meliputi urusan rumah tangga,

sedangkan di dalam bidang politik selalu berkesan atas kekuasaan yang dibawa

oleh laki-laki dan akhirnya dapat menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat

pada umumnya apabila politik dimasuki oleh perempuan. Akhirnya banyak

perempuan lebih menyeimbangkan kehidupan keluarga dengan tuntutan kerja

bidang politik yang sangat menyita waktu. Sulitnya menyeimbangkan kedua

kebutuhan itu menjadikan perempuan untuk tidak meneruskan karirnya di bidang

politik. Urusan rumah tangga seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan

tuntutan suami yang membuat perempuan sulit berekspresi dalam berpolitik. Yang

menjadi permasalahan utama bukan terletak pada kesempatan, melainkan pada

dorongan positif dari masyarakat mengenai perempuan masuk dalam ranah

1 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945,

Konpress, Jakarta, 2012, h. 123.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

3

politik. Maka hal ini lah yang dapat membuat perempuan untuk mengorbankan

karirnya.

Partisipasi perempuan pada bidang politik terutama dalam pemilu tidak

terjadi secara serta merta, akan tetapi adanya perjuangan untuk mewujudkan hak

setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan perempuan. Perempuan

tidak hanya memiliki hak untuk memilih dalam pemilu yang diselenggarakan,

namun juga memiliki hak untuk dipilih. Dari situlah adanya suatu pernyataan No

Democracy Without Women yang artinya tidak ada demokrasi tanpa kaum

perempuan.2 Perjuangan perempuan masih sangat panjang, selain masuk ke

organisasi masyarakat juga harus aktif dalam ranah partai politik.

Apabila perempuan sudah terlibat dalam suatu organisasi politik maka

kekuatan perempuan akan semakin meningkat pada organisasi lainnya. Oleh

karena itu, ranah politik dapat digunakan sebagai langkah awal bagi perempuan

dalam pemenuhan hak-hak perempuan tersebut dan meningkatkan harga diri

sendiri agar terciptanya kesetaraan gender pada suatu demokrasi. Kedudukan dan

peranan dalam suatu negara demokrasi harus sama kuat dan saling mengendalikan

agar terciptanya checks and balances.

Hak politik ini menekankan pada partisipasi perempuan dalam pemilihan

wakil di lembaga perwakilan atau pencalonan politik. Partisipasi perempuan

penting, yaitu tidak hanya bagi pemberdayaan perempuan namun juga bagi

kemajuan masyarakat dengan keterlibatan dan kesetaraan dalam pengambilan

keputusan untuk memenuhi jaminan hak asasi manusia.

2 Indriyati Suparno, Masih Dalam Posisi Pinggiran Membaca Tingkat Partisipasi Politik

Perempuan di Kota Surakarta, SPEK-HAM, Solo, 2005, h. viii.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

4

Pemilu tahun 2014 sudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2012 tentang Pemilu yang mewajibkan menyertakan paling sedikit 30%

keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Dalam

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang kini Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik dan sama halnya di dalam Undang-Undang Nomor 10

Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memuat keterwakilan

perempuan menjadi syarat keikutsertaan dalam pemilu. Adapun di dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menjelaskan palinng

sedikit 30% dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam membentuk

keanggotaan tim seleksi calon anggota KPU.

Upaya meningkatkan partisipasi politik untuk perempuan yaitu adanya

Affirmative Action.3 Affirmative action didefinisikan sebagai langkah untuk

mengupayakan kesetaraan khususnya bagi perempuan yang kurang terwakili pada

posisi di masyarakat dimana sering terjadi diskriminasi. Affirmative action

merupakan kesempatan yang di dapat oleh perempuan untuk meraih posisi yang

sama dan terdominasi dengan laki-laki. Tataran hukum tidak hanya diperuntukan

bagi kalangan laki-laki (patriarchat law) saja, tetapi juga berciri hukum bagi

semua.4 Budaya patriarki menempatkan perempuan di posisi yang paling belakang

dan laki-laki ditempatkan nomor satu sebagai pemegang kekuasaan yang seakan-

akan mewakili kepentingan perempuan. Dengan demikian perlu dibangun politik

perempuan untuk menjamin keadilan bagi perempuan dalam bertindak mengambil

3 Affirmative Action adalah hukum dan kebijakan yang dikenakan kepada kelompok tertentu yang

mempunyai keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi. Affirmative

action merupakan diskriminasi positif atau dapat disebut langkah khusus guna tercapainya

keadilan dan kesetaraan hingga kesenjangan sosial dapat teratasi. 4 Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, h. 16.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

5

keputusan. Politik menjadi sarana komunikasi dalam upaya mengartikulasikan

kepentingan (interests articulation) atau political interests yang terdapat dalam

masyarakat menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan dengan harapan dapat

mempengaruhi masyarakat.5 Namun tidak semua pihak setuju dengan perlakuan

khusus melalui Affirmative Action. Adapun kaum perempuan yang menyikapi dan

menganggap sebagai penghinaan atau merendahkan martabat perempuan, karena

disuatu sisi memandang bahwa Affirmative Action membuat perempuan berlaku

manja dan tidak mendidik perempuan untuk maju. Beberapa kaum laki-laki juga

memandang bahwa adanya perlakuan yang tidak adil karena dalam demokrasi

sendiri beranggapan bahwa siapa yang mampu itulah yang berhak menjadi

pemimpin tanpa mengistimewakan dari golongan tertentu.

Affirmative Action dilakukan karena belajar dari pengalaman negara-negara

Skandinavia, Inggris dan Afrika Selatan, bahwa penerapan kebijakan dalam

bentuk kuota perempuan dalam sistem pemilu terbukti berhasil dalam

meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.6 Jika kepemimpinan sebelumnya

ditemukan hal yang kurang baik maka pemimpin atau pemegang kekuasaan

selanjutnya akan lebih banyak belajar untuk bertanggung jawab sepenuhnya

berdasarkan amanah masyarakat tanpa memandang partai politik hingga gender

sekalipun. Diskriminasi terhadap perempuan termasuk juga kekerasan berbasis

gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap perempuan, karena dia

adalah perempuan, atau tindakan-tindakan yang memberi akibat pada perempuan

5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,

h.407. 6 Martha Tilaar, et.al., Perempuan Parlemen Dalam Cakrawala Politik Indonesia, Dian Rakyat,

Jakarta, 2013, h. 98.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

6

secara tidak proporsional.7 Kesetaraan gender pada dasarnya adalah keadaan

dimana terdapat persamaan perlakuan atas setiap orang tanpa membedakan latar

belakang maupun jenis kelamin dan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi

setiap orang untuk berpartisipasi menurut kemampuan yang dimilikinya.8

Ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik

tidak adil yang didasari bahwa adanya diskriminasi gender. Apabila perbedaan

tidak menjadikan suatu masalah serius, maka cita-cita demokrasi berdasarkan

Pancasila akan terwujud di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perempuan mengalami lima bentuk ketidakadilan gender, yakni:9

1. Penomorduaan (subordinasi)

Menempatkan posisi perempuan di posisi yang tidak penting. Perempuan

dianggap sebagai sesosok yang tidak mampu berpikir dan tidak terlalu pandai

ketika mengambil keputusan, sehingga tidak mampu dijadikan seorang

pemimpin terutama dalam bidang politik termasuk pada lembaga legislatif

maupun eksekutif. Dalam hal lain, subordinasi juga menganggap bahwa

perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan menempatkan perempuan

selalu dibawah laki-laki.

2. Cap/ Pelabelan negatif (stereotipe)

Suatu bentuk ketidakadilan gender terhadap suatu kelompok tertentu bagi

perempuan yang mempunyai tugas utama yaitu melayani laki-laki atau suami.

Ketidakadilan sangat terlihat pada pelabelan pembagian kerja berdasarkan

jenis kelamin, seperti perempuan atau istri mengurus pekerjaan rumah,

7 L. M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender,

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h. 23-24. 8 Astrid Anugrah, Op.Cit., h. 35. 9 Nurul Sutarti, Menyibak Takbir Perempuan Berpolitik, Jaker-Permas, Surakarta, 2004, h. 51.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

7

sedangkan laki-laki atau suami dapat keluar ke ranah publik yang pada

nyatanya tidak semua laki-laki mempunyai kemampuan di bidang publik.

3. Beban kerja berlebih (multy burden)

Menganggap perempuan mempunyai sifat rajin, memelihara dan merawat.

Sehingga tidak pantas apabila dijadikan sebagai kepala rumah tangga.

Apabila perempuan bekerja di luar rumah, perempuan juga dibebani oleh

tanggung jawab terhadap pekerjaan lainnya yang menjadikan beban

perempuan menjadi lebih besar.

4. Peminggiran (marginalisasi)

Perbedaan gender terlebih bagi perempuan timbul di berbagai sektor

kehidupan yang dapat terjadi di tempat kerja, rumah tangga, masyarakat,

budaya dan negara.

5. Kekerasan

Adanya ketidakadilan perempuan nyata terjadi hingga menimbulkan dampak

yang tidak terduga. Kekerasan yang sebagian menjadikan perempuan sebagai

korban merupakan kekerasan berbasis gender yang dapat ditemui dalam

lingkungan kerja, masyarakat, rumah tangga bahkan kekerasan oleh negara.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah

mengatur isu gender. Negara menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu

hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan

Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa.10 Bagian Kesembilan dari Hak Asasi

Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dari Pasal 45 sampai dengan 51,

berbagai hak perempuan diatur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

10 H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, PT. Rineka Cipta,

Jakarta, 2004, h. 64.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

8

totalitas HAM.11 HAM lahir dengan tujuan untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari penguasa, sehingga hakikat

HAM dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia.12 Menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk memilih, dipilih,

diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan

perundang-undangan. Selain itu juga terdapat hak khusus bagi perempuan dalam

pelaksanaan pekerjaan atau profesinya yang dapat mengancam kesehatan ataupun

keselamatan. Tindakan atau perlakuan yang bertentangan dengan martabat

manusia terhadap pelanggaran HAM merupakan ketidakadilan yang tidak boleh

terjadi. Hukum berperan pada keadilan dalam keadaan memberikan apa yang

menjadi haknya terhadap siapa yang berhak dalam pelaksanaannya.

Indonesia mempunyai dokumen untuk melindungi hak-hak perempuan,

yaitu Konvensi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984

tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Terhadap Perempuan, dikenal dengan nama CEDAW (Convention

on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) yang

bertujuan untuk menciptakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan

dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kovensi CEDAW

menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, yaitu

dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta persamaan hak untuk

menikmati manfaat di segala kegiatan.

Hak Asasi Manusia (HAM) sangat penting baik secara nasional maupun

Internasional dengan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan

11 Astrid Anugrah, Op.Cit., h. 13. 12 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2015, h. 29.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

9

utama PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional

yang dalam hal ini menyangkut HAM, PBB mempunyai tujuan untuk

mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap HAM.13 Dengan

terbentuknya PBB khususnya ditinjau dari sudut pandang hukum internasional,

semakin besar perhatian yang diberikan kepada HAM dibuktikan pada tahun 1945

menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM

ampuh bagi penegakan HAM seluruh masyarakat tanpa membedakan jenis

kelamin. Selain itu juga terdapat Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan

Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR) tahun 1966

yaitu untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa.14

Perlakuan diskriminasi bertentangan dengan upaya pemenuhan hak-hak atas

perempuan. Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW, yaitu tindakan yang dilakukan

untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan

laki-laki dikenal dengan tindakan afirmasi (affirmative action) yang sekarang ini

dianjurkan oleh Komite CEDAW dengan istilah tindakan khusus sementara.15

Negara Indonesia telah menyelenggarakan pemilu baik pemilu presiden dan wakil

presiden, pemilu legislatif, DPR, DPRD, DPD dan Kepala Daerah dengan system

yang berbeda-beda. Dengan demikian pemilu di Indonesia mengalami

perkembangan yang sangat signifikan.

Para pihak yang mau menggunakan kesempatan tersebut, didorong lebih

optimal untuk menampilkan kaum perempuan yang bermutu, yang memiliki

talenta politik, atau yang mampu menyuarakan kepentingan masyarakat melalui

13 Ibid., h.67. 14 Muhardi Hasan dan Estetika Sari, “Hak Sipil dan Politik”, Demokrasi, Vol. IV No. 1, tahun

2005, h. 94. 15 Achie Sudiarti Luhulima, CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, Jakarta, 2014, h. 50.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

10

forum demokrasi pemilu.16 Pemilu di Indonesia terselenggara dari pemilu

presiden, pemilu legislatif, maupun pemilihan kepala daerah yang tidak lepas dari

permasalahan atau sengketa yang terjadi. Seperti dalam pengertian politik yaitu

pada sistem pemerintahan, seorang pemimpin harus berupaya sepenuh hati guna

menciptakan kesejahteraan hidup yang berpedoman pada persamaan dan keadilan.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk menghentikan diskriminasi terhadap

perempuan semakin banyak pula gerakan yang dilakukan oleh perempuan untuk

memperjuangkan hak-haknya. Namun, suara perempuan tidak banyak bahkan

sangat sedikit diterima dan didengarkan. Apabila suara perempuan didengar maka

akan mampu mengubah banyak aspek menjadi lebih baik, baik dalam mengambil

keputusan maupun dalam menyuarakan aspirasinya. Untuk itu diperlukan upaya

dalam hal yang terkait dengan perempuan dan politik agar tetap peduli serta

dihormati kedudukannya dengan melalui pengaturan hukum bagi perempuan di

bidang politik.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian melalui bentuk penulisan hukum yang berjudul “Affirmative Action

Terhadap Hak Perempuan Untuk Berpartisipasi Dalam Politik”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka dapat diambil

rumusan masalah, yaitu: Bagaimana pengaturan hukum tentang Affirmative

Action terhadap hak perempuan untuk berpartisipasi dalam politik?

16 Andrey Sujatmoko, Op.Cit., h. 59.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

11

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian

adalah untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan hukum tentang

Affirmative Action terhadap hak perempuan untuk berpartisipasi dalam

politik.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat menambah

bekal ilmu pengetahuan dalam meningkatkan kemampuan di dunia nyata

serta dapat dijadikan referensi mengenai pengaturan hukum tentang

Affirmative Action terhadap hak perempuan khususnya dalam politik.

Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi

mengenai usaha pemerintah dalam memperjuangkan hak perempuan

khususnya mengenai hukum dan hak asasi manusia, hukum dan politik

serta hukum dan perempuan.

2. Manfaat Praktis

Hasil penulisan secara praktis ini diharapkan mampu memberikan

manfaat berupa pengetahuan dan informasi bagi kaum perempuan baik

yang telah berpartisipasi ataupun yang akan berpartisipasi dalam

meningkatkan partisipasi perempuan bidang politik serta menjadi

referensi bagi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

12

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penulisan

Metode penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif (legal

research), yaitu penelitian yang menjadikan hukum sebagai apa yang

tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dijadikan

sebagai kaidah atau norma dalam patokan berperilaku manusia yang

sesuai dengan pendekatan perundang-undangan. Menggunakan

pendekatan perundang-undangan karena berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus dalam suatu penelitian. Penulisan hukum adalah

menemukan kebenaran koherensi, dimana aturan hukum yang sesuai

dengan norma hukum dan apakah norma yang berupa perintah atau

larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan

seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.17 Metode

deduksi digunakan penulis dalam penulisan ini yaitu mengenai proses

penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum yang berasal dari bahan-

bahan hukum untuk membuktikan kebenaran atau kajian baru dari

kebenaran yang sudah ada atau yang sudah diketahui sebelumnya.

2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan peraturan

(statue approach), yaitu mengacu pada peraturan perundang-undangan.18

Dengan demikian, argumentasi yang dikemukakan mengacu pada

peraturan perundang-undangan dengan menelaah materi muatannya

melihat pada bentuk peraturan tersebut. Selain itu di dalam peraturan

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencamna Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, h.

47. 18 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2016, h. 112.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

13

perundang-undangan, penulis akan melakukan penulisan mengenai

konsep hukum dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum.

F. Bahan Hukum

Penulisan hukum diperlukan sumber-sumber yang berupa bahan-bahan

hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum normatif

dalam sebuah penulisan normatif yaitu sebagai berikut:

1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang berasal dari

sumber penelitian hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim19, antara lain:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemlihan Umum.

d. Piagam PBB

e. Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia (DUHAM)

f. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts

Women (CEDAW)

2. Bahan Hukum Sekunder, yakni berupa semua hal yang telah dipublikasi

tentang hukum yang bukan merupakan suatu dokumen-dokumen resmi,

19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group, Jakarta, 2006, h.

181.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

14

seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.20

3. Bahan Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan informasi

mengenai data primer dan data sekunder baik dapat berupa website atau

situs lembaga negara terkait. Disamping itu dapat berupa buku-buku

mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan, ataupun

laporan-laporan penulisan sepanjang masih relevan dengan topik

penulisan oleh penulis.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disusun dalam 4 (empat) bab yang masing-masing akan dibagi

dalam sub bab berdasarkan cakupan masalah yang akan diteliti sebagai

berikut:

BAB I yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, bahan hukum, dan sistematika penulisan.

BAB II yaitu terdiri dari kerangka teori, hasil penelitian dan analisis.

Kerangka teori menjelaskan mengenai partisipasi politik, Affirmative Action,

dan sekilas tentang demokrasi. Hasil penelitian mencakup tentang

permasalahan penelitian terkait dengan peraturan yang mengatur Affirmative

Action dan hak politik perempuan dalam Affirmative Action yang

selanjutkan menjadi bahan untuk dianalisis.

20 Ibid.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN...1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar

15

BAB III yaitu penutup yang akan memberikan kesimpulan dan saran dari

pembahasan bab-bab sebelumnya.