bab i pendahuluan...1 bab i pendahuluan a. latar belakang masalah undang-undang dasar negara...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
disebutkan dalam perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Negara Republik
Indonesia adalah negara hukum. Hukum dibuat, dijalankan, dan dipertahankan
oleh suatu kekuasaan yaitu negara. Negara mempunyai peran dalam membentuk
hukum yang dijalankan melalui pembentuk hukum yaitu badan legislatif dimana
penguasa, masyarakat dan negara dapat mewujudkan kebijakan.
Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Telah dijelaskan adanya prinsip persamaan dan pengakuan bagi seluruh
masyarakat tanpa kecuali, yaitu tidak memandang suku, ras, agama, golongan,
dan jenis kelamin. Selain itu, Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 juga menyatakan bahwa kemerdekaan warga negara untuk
berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tentang arah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pelaksanaan pemilu merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
menentukan kepemimpinan yang pelaksanaannya berdasarkan kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat tidak dapat lepas dengan pemilihan umum karena menjadi
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dimana setiap warga negara
2
dapat ikut aktif dalam lingkup politik. Demokrasi adalah pemerintahan yang dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kontrol utama dari negara yang di wujud
nyatakan dalam demokrasi adalah pemilu. Dengan adanya pemilu diharapkan
mampu menghasilkan pemimpin yang tepat dan sesuai kehendak masyarakat.
Sebagai salah satu lembaga demokrasi, partai politik berfungsi
mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat, menyalurkan
kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara, serta membina dan
mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai
dengan mekanisme demokrasi.1 Dengan partisipasi politik, maka keputusan yang
dibuat akan sesuai pada aspirasi masyarakat itu sendiri. Partisipasi perempuan
menjadi sangat penting dan menjadi sesuatu yang istimewa ataupun unik bagi
kepentingan demokrasi itu sendiri. Persoalan bagi perempuan yang lebih menekan
pada kedudukan perempuan yaitu dianggap hanya meliputi urusan rumah tangga,
sedangkan di dalam bidang politik selalu berkesan atas kekuasaan yang dibawa
oleh laki-laki dan akhirnya dapat menimbulkan persepsi yang salah di masyarakat
pada umumnya apabila politik dimasuki oleh perempuan. Akhirnya banyak
perempuan lebih menyeimbangkan kehidupan keluarga dengan tuntutan kerja
bidang politik yang sangat menyita waktu. Sulitnya menyeimbangkan kedua
kebutuhan itu menjadikan perempuan untuk tidak meneruskan karirnya di bidang
politik. Urusan rumah tangga seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan
tuntutan suami yang membuat perempuan sulit berekspresi dalam berpolitik. Yang
menjadi permasalahan utama bukan terletak pada kesempatan, melainkan pada
dorongan positif dari masyarakat mengenai perempuan masuk dalam ranah
1 Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945,
Konpress, Jakarta, 2012, h. 123.
3
politik. Maka hal ini lah yang dapat membuat perempuan untuk mengorbankan
karirnya.
Partisipasi perempuan pada bidang politik terutama dalam pemilu tidak
terjadi secara serta merta, akan tetapi adanya perjuangan untuk mewujudkan hak
setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan perempuan. Perempuan
tidak hanya memiliki hak untuk memilih dalam pemilu yang diselenggarakan,
namun juga memiliki hak untuk dipilih. Dari situlah adanya suatu pernyataan No
Democracy Without Women yang artinya tidak ada demokrasi tanpa kaum
perempuan.2 Perjuangan perempuan masih sangat panjang, selain masuk ke
organisasi masyarakat juga harus aktif dalam ranah partai politik.
Apabila perempuan sudah terlibat dalam suatu organisasi politik maka
kekuatan perempuan akan semakin meningkat pada organisasi lainnya. Oleh
karena itu, ranah politik dapat digunakan sebagai langkah awal bagi perempuan
dalam pemenuhan hak-hak perempuan tersebut dan meningkatkan harga diri
sendiri agar terciptanya kesetaraan gender pada suatu demokrasi. Kedudukan dan
peranan dalam suatu negara demokrasi harus sama kuat dan saling mengendalikan
agar terciptanya checks and balances.
Hak politik ini menekankan pada partisipasi perempuan dalam pemilihan
wakil di lembaga perwakilan atau pencalonan politik. Partisipasi perempuan
penting, yaitu tidak hanya bagi pemberdayaan perempuan namun juga bagi
kemajuan masyarakat dengan keterlibatan dan kesetaraan dalam pengambilan
keputusan untuk memenuhi jaminan hak asasi manusia.
2 Indriyati Suparno, Masih Dalam Posisi Pinggiran Membaca Tingkat Partisipasi Politik
Perempuan di Kota Surakarta, SPEK-HAM, Solo, 2005, h. viii.
4
Pemilu tahun 2014 sudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilu yang mewajibkan menyertakan paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 yang kini Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik dan sama halnya di dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD memuat keterwakilan
perempuan menjadi syarat keikutsertaan dalam pemilu. Adapun di dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga menjelaskan palinng
sedikit 30% dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam membentuk
keanggotaan tim seleksi calon anggota KPU.
Upaya meningkatkan partisipasi politik untuk perempuan yaitu adanya
Affirmative Action.3 Affirmative action didefinisikan sebagai langkah untuk
mengupayakan kesetaraan khususnya bagi perempuan yang kurang terwakili pada
posisi di masyarakat dimana sering terjadi diskriminasi. Affirmative action
merupakan kesempatan yang di dapat oleh perempuan untuk meraih posisi yang
sama dan terdominasi dengan laki-laki. Tataran hukum tidak hanya diperuntukan
bagi kalangan laki-laki (patriarchat law) saja, tetapi juga berciri hukum bagi
semua.4 Budaya patriarki menempatkan perempuan di posisi yang paling belakang
dan laki-laki ditempatkan nomor satu sebagai pemegang kekuasaan yang seakan-
akan mewakili kepentingan perempuan. Dengan demikian perlu dibangun politik
perempuan untuk menjamin keadilan bagi perempuan dalam bertindak mengambil
3 Affirmative Action adalah hukum dan kebijakan yang dikenakan kepada kelompok tertentu yang
mempunyai keistimewaan dalam kasus-kasus tertentu guna mencapai representasi. Affirmative
action merupakan diskriminasi positif atau dapat disebut langkah khusus guna tercapainya
keadilan dan kesetaraan hingga kesenjangan sosial dapat teratasi. 4 Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik, Pancuran Alam, Jakarta, 2009, h. 16.
5
keputusan. Politik menjadi sarana komunikasi dalam upaya mengartikulasikan
kepentingan (interests articulation) atau political interests yang terdapat dalam
masyarakat menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan dengan harapan dapat
mempengaruhi masyarakat.5 Namun tidak semua pihak setuju dengan perlakuan
khusus melalui Affirmative Action. Adapun kaum perempuan yang menyikapi dan
menganggap sebagai penghinaan atau merendahkan martabat perempuan, karena
disuatu sisi memandang bahwa Affirmative Action membuat perempuan berlaku
manja dan tidak mendidik perempuan untuk maju. Beberapa kaum laki-laki juga
memandang bahwa adanya perlakuan yang tidak adil karena dalam demokrasi
sendiri beranggapan bahwa siapa yang mampu itulah yang berhak menjadi
pemimpin tanpa mengistimewakan dari golongan tertentu.
Affirmative Action dilakukan karena belajar dari pengalaman negara-negara
Skandinavia, Inggris dan Afrika Selatan, bahwa penerapan kebijakan dalam
bentuk kuota perempuan dalam sistem pemilu terbukti berhasil dalam
meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.6 Jika kepemimpinan sebelumnya
ditemukan hal yang kurang baik maka pemimpin atau pemegang kekuasaan
selanjutnya akan lebih banyak belajar untuk bertanggung jawab sepenuhnya
berdasarkan amanah masyarakat tanpa memandang partai politik hingga gender
sekalipun. Diskriminasi terhadap perempuan termasuk juga kekerasan berbasis
gender, yaitu kekerasan yang langsung ditujukan terhadap perempuan, karena dia
adalah perempuan, atau tindakan-tindakan yang memberi akibat pada perempuan
5 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015,
h.407. 6 Martha Tilaar, et.al., Perempuan Parlemen Dalam Cakrawala Politik Indonesia, Dian Rakyat,
Jakarta, 2013, h. 98.
6
secara tidak proporsional.7 Kesetaraan gender pada dasarnya adalah keadaan
dimana terdapat persamaan perlakuan atas setiap orang tanpa membedakan latar
belakang maupun jenis kelamin dan memberikan seluas-luasnya kesempatan bagi
setiap orang untuk berpartisipasi menurut kemampuan yang dimilikinya.8
Ketertinggalan perempuan sebagai akibat dari relasi hubungan sosial dan politik
tidak adil yang didasari bahwa adanya diskriminasi gender. Apabila perbedaan
tidak menjadikan suatu masalah serius, maka cita-cita demokrasi berdasarkan
Pancasila akan terwujud di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perempuan mengalami lima bentuk ketidakadilan gender, yakni:9
1. Penomorduaan (subordinasi)
Menempatkan posisi perempuan di posisi yang tidak penting. Perempuan
dianggap sebagai sesosok yang tidak mampu berpikir dan tidak terlalu pandai
ketika mengambil keputusan, sehingga tidak mampu dijadikan seorang
pemimpin terutama dalam bidang politik termasuk pada lembaga legislatif
maupun eksekutif. Dalam hal lain, subordinasi juga menganggap bahwa
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi dan menempatkan perempuan
selalu dibawah laki-laki.
2. Cap/ Pelabelan negatif (stereotipe)
Suatu bentuk ketidakadilan gender terhadap suatu kelompok tertentu bagi
perempuan yang mempunyai tugas utama yaitu melayani laki-laki atau suami.
Ketidakadilan sangat terlihat pada pelabelan pembagian kerja berdasarkan
jenis kelamin, seperti perempuan atau istri mengurus pekerjaan rumah,
7 L. M. Gandhi Lapian, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, h. 23-24. 8 Astrid Anugrah, Op.Cit., h. 35. 9 Nurul Sutarti, Menyibak Takbir Perempuan Berpolitik, Jaker-Permas, Surakarta, 2004, h. 51.
7
sedangkan laki-laki atau suami dapat keluar ke ranah publik yang pada
nyatanya tidak semua laki-laki mempunyai kemampuan di bidang publik.
3. Beban kerja berlebih (multy burden)
Menganggap perempuan mempunyai sifat rajin, memelihara dan merawat.
Sehingga tidak pantas apabila dijadikan sebagai kepala rumah tangga.
Apabila perempuan bekerja di luar rumah, perempuan juga dibebani oleh
tanggung jawab terhadap pekerjaan lainnya yang menjadikan beban
perempuan menjadi lebih besar.
4. Peminggiran (marginalisasi)
Perbedaan gender terlebih bagi perempuan timbul di berbagai sektor
kehidupan yang dapat terjadi di tempat kerja, rumah tangga, masyarakat,
budaya dan negara.
5. Kekerasan
Adanya ketidakadilan perempuan nyata terjadi hingga menimbulkan dampak
yang tidak terduga. Kekerasan yang sebagian menjadikan perempuan sebagai
korban merupakan kekerasan berbasis gender yang dapat ditemui dalam
lingkungan kerja, masyarakat, rumah tangga bahkan kekerasan oleh negara.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah
mengatur isu gender. Negara menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu
hak dasar atau pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa, bukan pemberian penguasa.10 Bagian Kesembilan dari Hak Asasi
Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia, dari Pasal 45 sampai dengan 51,
berbagai hak perempuan diatur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
10 H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, PT. Rineka Cipta,
Jakarta, 2004, h. 64.
8
totalitas HAM.11 HAM lahir dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari penguasa, sehingga hakikat
HAM dapat dikatakan sebagai perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia.12 Menyebutkan bahwa perempuan berhak untuk memilih, dipilih,
diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan
perundang-undangan. Selain itu juga terdapat hak khusus bagi perempuan dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya yang dapat mengancam kesehatan ataupun
keselamatan. Tindakan atau perlakuan yang bertentangan dengan martabat
manusia terhadap pelanggaran HAM merupakan ketidakadilan yang tidak boleh
terjadi. Hukum berperan pada keadilan dalam keadaan memberikan apa yang
menjadi haknya terhadap siapa yang berhak dalam pelaksanaannya.
Indonesia mempunyai dokumen untuk melindungi hak-hak perempuan,
yaitu Konvensi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, dikenal dengan nama CEDAW (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) yang
bertujuan untuk menciptakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan
dari segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Kovensi CEDAW
menekankan pada kesetaraan dan keadilan antara perempuan dan laki-laki, yaitu
dalam hak, kesetaraan dalam kesempatan dan akses serta persamaan hak untuk
menikmati manfaat di segala kegiatan.
Hak Asasi Manusia (HAM) sangat penting baik secara nasional maupun
Internasional dengan didirikannya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tujuan
11 Astrid Anugrah, Op.Cit., h. 13. 12 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2015, h. 29.
9
utama PBB adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional
yang dalam hal ini menyangkut HAM, PBB mempunyai tujuan untuk
mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap HAM.13 Dengan
terbentuknya PBB khususnya ditinjau dari sudut pandang hukum internasional,
semakin besar perhatian yang diberikan kepada HAM dibuktikan pada tahun 1945
menghasilkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM
ampuh bagi penegakan HAM seluruh masyarakat tanpa membedakan jenis
kelamin. Selain itu juga terdapat Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR) tahun 1966
yaitu untuk melindungi individu dari penyalahgunaan kekuasaan dari penguasa.14
Perlakuan diskriminasi bertentangan dengan upaya pemenuhan hak-hak atas
perempuan. Pasal 4 ayat (1) Konvensi CEDAW, yaitu tindakan yang dilakukan
untuk mencapai kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan
laki-laki dikenal dengan tindakan afirmasi (affirmative action) yang sekarang ini
dianjurkan oleh Komite CEDAW dengan istilah tindakan khusus sementara.15
Negara Indonesia telah menyelenggarakan pemilu baik pemilu presiden dan wakil
presiden, pemilu legislatif, DPR, DPRD, DPD dan Kepala Daerah dengan system
yang berbeda-beda. Dengan demikian pemilu di Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat signifikan.
Para pihak yang mau menggunakan kesempatan tersebut, didorong lebih
optimal untuk menampilkan kaum perempuan yang bermutu, yang memiliki
talenta politik, atau yang mampu menyuarakan kepentingan masyarakat melalui
13 Ibid., h.67. 14 Muhardi Hasan dan Estetika Sari, “Hak Sipil dan Politik”, Demokrasi, Vol. IV No. 1, tahun
2005, h. 94. 15 Achie Sudiarti Luhulima, CEDAW Menegakkan Hak Asasi Perempuan, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, Jakarta, 2014, h. 50.
10
forum demokrasi pemilu.16 Pemilu di Indonesia terselenggara dari pemilu
presiden, pemilu legislatif, maupun pemilihan kepala daerah yang tidak lepas dari
permasalahan atau sengketa yang terjadi. Seperti dalam pengertian politik yaitu
pada sistem pemerintahan, seorang pemimpin harus berupaya sepenuh hati guna
menciptakan kesejahteraan hidup yang berpedoman pada persamaan dan keadilan.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk menghentikan diskriminasi terhadap
perempuan semakin banyak pula gerakan yang dilakukan oleh perempuan untuk
memperjuangkan hak-haknya. Namun, suara perempuan tidak banyak bahkan
sangat sedikit diterima dan didengarkan. Apabila suara perempuan didengar maka
akan mampu mengubah banyak aspek menjadi lebih baik, baik dalam mengambil
keputusan maupun dalam menyuarakan aspirasinya. Untuk itu diperlukan upaya
dalam hal yang terkait dengan perempuan dan politik agar tetap peduli serta
dihormati kedudukannya dengan melalui pengaturan hukum bagi perempuan di
bidang politik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian melalui bentuk penulisan hukum yang berjudul “Affirmative Action
Terhadap Hak Perempuan Untuk Berpartisipasi Dalam Politik”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, maka dapat diambil
rumusan masalah, yaitu: Bagaimana pengaturan hukum tentang Affirmative
Action terhadap hak perempuan untuk berpartisipasi dalam politik?
16 Andrey Sujatmoko, Op.Cit., h. 59.
11
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui dan menjelaskan pengaturan hukum tentang
Affirmative Action terhadap hak perempuan untuk berpartisipasi dalam
politik.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Manfaat secara teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat menambah
bekal ilmu pengetahuan dalam meningkatkan kemampuan di dunia nyata
serta dapat dijadikan referensi mengenai pengaturan hukum tentang
Affirmative Action terhadap hak perempuan khususnya dalam politik.
Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai usaha pemerintah dalam memperjuangkan hak perempuan
khususnya mengenai hukum dan hak asasi manusia, hukum dan politik
serta hukum dan perempuan.
2. Manfaat Praktis
Hasil penulisan secara praktis ini diharapkan mampu memberikan
manfaat berupa pengetahuan dan informasi bagi kaum perempuan baik
yang telah berpartisipasi ataupun yang akan berpartisipasi dalam
meningkatkan partisipasi perempuan bidang politik serta menjadi
referensi bagi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum.
12
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penulisan
Metode penelitian dalam penulisan ini adalah yuridis normatif (legal
research), yaitu penelitian yang menjadikan hukum sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dijadikan
sebagai kaidah atau norma dalam patokan berperilaku manusia yang
sesuai dengan pendekatan perundang-undangan. Menggunakan
pendekatan perundang-undangan karena berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus dalam suatu penelitian. Penulisan hukum adalah
menemukan kebenaran koherensi, dimana aturan hukum yang sesuai
dengan norma hukum dan apakah norma yang berupa perintah atau
larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan
seseorang sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum.17 Metode
deduksi digunakan penulis dalam penulisan ini yaitu mengenai proses
penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum yang berasal dari bahan-
bahan hukum untuk membuktikan kebenaran atau kajian baru dari
kebenaran yang sudah ada atau yang sudah diketahui sebelumnya.
2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan peraturan
(statue approach), yaitu mengacu pada peraturan perundang-undangan.18
Dengan demikian, argumentasi yang dikemukakan mengacu pada
peraturan perundang-undangan dengan menelaah materi muatannya
melihat pada bentuk peraturan tersebut. Selain itu di dalam peraturan
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencamna Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, h.
47. 18 Titon Slamet Kurnia, Sistem Hukum Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2016, h. 112.
13
perundang-undangan, penulis akan melakukan penulisan mengenai
konsep hukum dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum.
F. Bahan Hukum
Penulisan hukum diperlukan sumber-sumber yang berupa bahan-bahan
hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum normatif
dalam sebuah penulisan normatif yaitu sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang berasal dari
sumber penelitian hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim19, antara lain:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemlihan Umum.
d. Piagam PBB
e. Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (DUHAM)
f. Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts
Women (CEDAW)
2. Bahan Hukum Sekunder, yakni berupa semua hal yang telah dipublikasi
tentang hukum yang bukan merupakan suatu dokumen-dokumen resmi,
19 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenamedia Group, Jakarta, 2006, h.
181.
14
seperti buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan.20
3. Bahan Tersier, yakni bahan hukum yang memberikan informasi
mengenai data primer dan data sekunder baik dapat berupa website atau
situs lembaga negara terkait. Disamping itu dapat berupa buku-buku
mengenai ilmu politik, ekonomi, sosiologi, filsafat, kebudayaan, ataupun
laporan-laporan penulisan sepanjang masih relevan dengan topik
penulisan oleh penulis.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam 4 (empat) bab yang masing-masing akan dibagi
dalam sub bab berdasarkan cakupan masalah yang akan diteliti sebagai
berikut:
BAB I yaitu pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, bahan hukum, dan sistematika penulisan.
BAB II yaitu terdiri dari kerangka teori, hasil penelitian dan analisis.
Kerangka teori menjelaskan mengenai partisipasi politik, Affirmative Action,
dan sekilas tentang demokrasi. Hasil penelitian mencakup tentang
permasalahan penelitian terkait dengan peraturan yang mengatur Affirmative
Action dan hak politik perempuan dalam Affirmative Action yang
selanjutkan menjadi bahan untuk dianalisis.
20 Ibid.
15
BAB III yaitu penutup yang akan memberikan kesimpulan dan saran dari
pembahasan bab-bab sebelumnya.