kajian akademik pelaksanaan undang-undang …pelaksanaan undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang...

29
1 KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut diwujudkan dengan pembentukan sistem pendidikan nasional yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Oleh karenanya, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. 2. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU- VII/2009 yang dibacakan pada Rabu, 31 Maret 2010 mengemukakan bahwa Para Pendiri Negara Republik Indonesia dengan arif dan bijaksana menentukan keharusan pemerintah negara ini selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, juga membebankan tugas kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana yang tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945.

Upload: others

Post on 28-Jul-2020

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1

KAJIAN AKADEMIK

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009

TENTANG KEPARIWISATAAN

I. PENDAHULUAN

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan

dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut diwujudkan dengan

pembentukan sistem pendidikan nasional yang kemudian diatur lebih lanjut dalam

UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi

terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa

untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi

manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan

zaman yang selalu berubah. Oleh karenanya, sistem pendidikan nasional harus

mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta

relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai

dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu

dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan

berkesinambungan.

2. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU-

VII/2009 yang dibacakan pada Rabu, 31 Maret 2010 mengemukakan bahwa Para

Pendiri Negara Republik Indonesia dengan arif dan bijaksana menentukan

keharusan pemerintah negara ini selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, juga

membebankan tugas kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana yang tertera dalam alinea

keempat Pembukaan UUD Tahun 1945.

Page 2: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

2

3. Tugas Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut menimbulkan

beberapa permasalahan mendasar, baik dari segi filosofi, akademis, maupun yuridis

sebagai berikut :

a. hak memperoleh pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang

ditegaskan dalam Pasal 28C ayat (1), dan diulangi lagi dalam Pasal 31 ayat (1)

UUD Tahun 1945;

b. tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dihubungkan dengan fungsi

perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM, termasuk hak untuk

mendapat pendidikan, sebagai tanggung jawab negara terutama pemerintah,

sesuai dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945, sebagai suatu

tugas publik;

c. pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan

nasional berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945;

d. prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari

anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan

belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan

nasional [vide Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945];

e. memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), juga merupakan salah

satu tugas konstitusional pemerintah, berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (5)

UUD Tahun 1945.

4. Dibentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU

Guru dan Dosen) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menata kembali

sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pembentukan Undang-Undang tersebut

juga berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012

tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dengan adanya undang-

undang baru yang diundangkan dalam masa pemberlakuan UU Guru dan Dosen,

maka ketentuan dalam UU Guru dan Dosen harus mengikuti perkembangan

dinamika hukum yang ada.

5. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat

guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu

Page 3: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

3

pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional

berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

6. Seperti halnya sumber daya manusia di bidang lain, Guru dan Dosen merupakan

sumber daya manusia di bidang pendidikan yang dalam pengelolaanya juga

menghadapi permasalahan. Oleh karena Guru dan dosen merupakan pendidik

sekaligus pelaksana kebijakan nasional di bidang pendidikan, maka pengelolaannya

pun tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan di bidang

kepegawaian dan ketenagakerjaan, selain juga ketentuan yang mengatur profesi

secara khusus, yakni UU Guru dan Dosen.

7. Siklus manajemen kinerja terdiri atas tiga fase, yakni perencanaan, pembinaan dan

evaluasi. Hal ini juga terdapat dalam UU ASN yang berisi pengaturan terkait

kepegawaian negara, yang disebut juga dengan aparatur sipil negara (ASN). Dalam

UU ASN mengatur ASN terdiri atas PNS dan PPPK. Munculnya pengaturan

mengenai PPPK ini merupakan hal baru, apalagi mengingat bahwa peraturan

pelaksanaannya diundangkan pada 28 November 2018.

8. Salah satu fungsi konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

(DPR RI) berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 ialah fungsi

pengawasan. Penegasan dan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI lebih lanjut

diatur dalam Pasal 69 ayat (1) juncto Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana

telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

(UU MD3), dan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (3) Peraturan DPR RI Nomor 1

Tahun 2014 tentang Tata Tertib sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir

dengan Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tata Tertib DPR

RI) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pengawasan DPR RI dilaksanakan

melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.

9. Dalam rangka mendukung fungsi pengawasan DPR RI tersebut, Pusat Pemantauan

Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI sebagai bagian dari

supporting system DPR RI, telah melakukan pemantauan pelaksanaan UU Guru dan

Dosen. Adapun yang menjadi pertimbangan adalah UU Guru dan Dosen telah

berlaku selama 13 (tiga belas) tahun sejak diundangkan, ternyata tidak dapat

mencapai tujuan pengundangannya secara optimal dengan masih banyaknya

Page 4: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

4

permasalahan guru dan dosen secara nasional hingga saat ini. Selain itu, beberapa

ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksanakan dengan baik, sehingga

perlu dilakukan evaluasi terhadap UU Guru dan Dosen ini.

10. Metode pemantauan UU Kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan yuridis

normatif dan pendekatan yuridis empiris. Hasil pemantauan pelaksanaan UU Guru

dan Dosen akan dilakukan kajian, analisis, dan evaluasi untuk disampaikan kepada

Kepala Badan Keahlian DPR RI yang selanjutnya disampaikan kepada Pimpinan

DPR RI, Pimpinan dan Anggota Komisi X DPR RI dan Pimpinan Badan Legislasi

sebagai masukan dalam rangka memberikan dukungan keahlian kepada Dewan

dalam pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan

sebagai bahan masukan dalam penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-

Undang tentang Perubahan atas UU Guru dan Dosen.

11. Pemantauan pelaksanaan UU Kepariwisataan dilaksanakan di 4 (empat) provinsi

sebagai berikut:

a. Daerah Istimewa Yogyakarta, dipilih sebagai daerah pemantauan karena di

daerah ini jumlah satuan pendidikan yang cukup besar, sejalan dengan itu pula

permasalahan Guru dan Dosen juga cukup tinggi.

b. Provinsi Jawa Timur, dipilih sebagai daerah pemantauan karena memiliki

keberagaman pendidikan, seperti di kota Malang yang mengalami permasalahan

guru honorer dan kurangnya jumlah guru.

c. Provinsi Jawa Barat, yang terdiri dari Kota Bandung dan Kota Cirebon. Kota

Bandung dipilih sebagai daerah pemantauan karena merupakan salah satu kota

yang berkembang, tidak hanya dari segi perekonomian tetapi juga pendidikan.

Sementara Kota Cirebon dipilih karena keberagaman satuan pendidikan dan

pengembangan pendidikan berbasis budaya di Kota Cirebon menarik untuk

kiranya dapat memperoleh data yang lebih komprehensif.

II. HASIL PEMANTAUAN

1. UMUM

Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan berkehendak untuk mengendalikan

kehidupan negara melalui suatu kebijakan publik yang merupakan faktor kritikal

bagi maju atau mundurnya suatu bangsa. Controlling policy terdiri atas policy

monitoring dan policy evaluation. Policy monitoring dilaksanakan dalam ranah

penerapan kebijakan atau policy implementation, sedangkan policy evaluation

Page 5: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

5

dilaksanakan dalam ranah policy performance dimana suatu suatu produk kebijakan

publik telah diberlakukan selama beberapa tahun sehingga dapat dinilai

efektifitasnya dengan adanya beragam perubahan dan perkembangan dalam

kehidupan masyarakat baik perubahan sosial maupun perubahan dinamika hukum.

2. ASPEK SUBSTANSI HUKUM

a. Frasa “Formal”

Pasal 1 angka 10 UU Sisdiknas terdapat tiga layanan pendidikan yang

dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan, yaitu jalur formal, nonformal,

dan informal dengan penjabaran selanjutnya dalam UU Sisdiknas. Selain

daripada ketiga jalur pendidikan tersebut, UU Sisdiknas juga mengenal adanya

Pendidikan Kedinasan yang diatur pada Pasal 29 UU Sisdiknas, yang

diselenggarakan melalui jalur formal dan nonformal dan Pendidikan Keagamaan

(Pasal 30 UU Sisdiknas). UU Sisdiknas juga mengenal adanya Pendidikan

Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus dalam Pasal 32 UU Sisdiknas yang

diatur lebih lanjut dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan

Pendidikan (PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 17 Tahun 2010).

Dengan pembatasan profesi guru dan satuan pendidikan hanya di jalur

pendidikan formal, maka terdapat ketidaksesuaian materi muatan UU Guru dan

Dosen dengan UU Sisdiknas. Hal tersebut berdampak pada adanya kekosongan

hukum dalam hal pengaturan mengenai pendidik dalam jalur pendidikan

nonformal, informal, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus,

termasuk juga pendidikan kedinasan dan pendidikan keagamaan. Kekosongan

ini menimbulkan ketidakpastian terhadap pendidik pada Sanggar Kegiatan

Belajar yang merupakan satuan pendidikan nonformal yang didirikan oleh

Negara. Hal tersebut juga berpengaruh pada berkurangnya minat masyarakat

untuk turut mengabdi sebagai pendidik di satuan pendidikan nonformal sehingga

mutu pendidikan nonformal dan kinerja pendidik di Indonesia semakin

menurun.

Tidak tercakupnya pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus pada

Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen juga menimbulkan ketidakjelasan atas

kedudukan guru yang mengabdi pada sekolah dasar luar biasa atau menengah

Page 6: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

6

luar biasa. Berdasarkan Pasal 10 huruf a dan huruf b UU No. 8 Tahun 2016

tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas mempunyai hak untuk

mendapatkan pendidikan yang bermutu dan mempunyai kesempatan yang

sama untuk menjadi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan

pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.

Bagi Kemendikbud frasa “formal” dalam UU Guru dan Dosen

menciptakan pembedaan terhadap guru-guru di satuan pendidikan nonformal

yang berupa sanggar kegiatan belajar yang semula dibentuk dan dikelola oleh

Kemendikbud dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir

diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU

Pemda). Demikian pula pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang

terdiri atas satuan pendidikan formal dan nonformal, maka terjadi pembedaan

perlakuan terhadap guru PAUD tersebut. Adanya pengaturan yang berbeda

antara jenis pendidikan formal dan nonformal berakibat kurangnya perhatian

Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap pendidik di satuan pendidikan

nonformal. Hal serupa juga disampaikan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta

yang mengalami kesulitan dalam pengelolaan pendidik di satuan pendidikan

nonformal yang mereka kelola.

Pengaturan lebih lanjut mengenai pendidik di luar guru dan dosen diatur

dalam Permen sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 172 Peraturan Pemerintah

Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

(PP No. 17 Tahun 2010) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU

Sisdiknas.

UU Guru dan Dosen merupakan ketentuan yang mendukung pelaksanaan

sistem pendidikan nasional, yang tentu pengaturannya tidak dapat terpisah

dengan pengaturan sistem pendidikan nasional. Ketentuan mengenai pendidik

dalam UU Sisdiknas tidak membatasi pendidik berdasarkan jalur pendidikan

yang ada. Bahkan, ketentuan dalam UU Sisdiknas tidak menjabarkan lebih

Page 7: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

7

lanjut mengenai perbedaan definisi tenaga kependidikan yang dikualifikasikan

sebagai pendidik perlu pengaturan yang lebih jelas terhadap pendidik.

b. Frasa “Pendidik”

Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Guru dan Dosen memberikan

definisi guru dan dosen sebagai pendidik profesional, sedangkan Pasal 39 UU

Sisdiknas memberikan definisi yang luas tentang Pendidik, yaitu :

“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan

dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,

melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan

tinggi”.

Definisi pendidik pada ketentuan UU Sisdiknas tidak terbatas pada guru

dan dosen, tetapi juga meliputi konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,

instruktur, fasilitator dan terbuka istilah lainnya asalkan sesuai dengan

kekhususannya dan berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan

nasional. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 UU Sisdiknas yang mengatur

mengenai pendidik dan tenaga kependidikan menerangkan mengenai hak dan

kewajiban yang dimiliki oleh pendidik secara keseluruhan, tidak terbatas pada

guru dan dosen. Oleh karen itu, pengaturan mengenai pendidik dalam UU

Sisdiknas perlu diubah dengan memberikan definisi dan pembatasan yang lebih

jelas terhadap masing-masing profesi yang dikualifikasikan sebagai pendidik.

Saat ini, pengaturan lebih lanjut mengenai pendidik di luar guru dan dosen

diatur dalam Peraturan Menteri sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 172

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan. Supaya lebih mendukung terwujudnya sistem

pendidikan nasional, maka sepatutnya pengaturan mengenai seluruh tenaga

pendidik, tidak hanya guru dan dosen, berada pada tingkat aturan yang sama.

Jika hal itu terjadi maka kekuatan dan ruang lingkup pemberlakuaannya menjadi

sama untuk mendukung pengaturan sistem pendidikan nasional menjadi lebih

komprehensif.

c. Frasa “Tenaga Kependidikan”

UU Guru dan Dosen mengenalkan adanya sebuah lembaga penghasil guru,

yaitu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka 14 UU Guru dan Dosen didefinisikan sebagai :

Page 8: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

8

“perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk

menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia

dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan

menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu

kependidikan dan nonkependidikan”.

Selain itu frasa “tenaga kependidikan” juga terdapat pada ketentuan Pasal 11

dan Pasal 47 UU Guru dan Dosen.

Pada UU Sisdiknas juga dikenal adanya frasa “tenaga kependidikan”,

yaitu dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 39 ayat (1) UU Sisdiknas.

Undang-undang ini membedakan antara Pendidik dengan Tenaga Kependidikan.

Namun terdapat inkonsistensi penggunaan istilah “tenaga kependidikan” dalam

UU Sisdiknas. Pendidik juga diartikan sebagai tenaga kependidikan meskipun

terdapat pengaturan yang terpisah dalam Bab XI mulai dari Pasal 39 sampai

dengan Pasal 44 UU Sisdiknas tentang pendidik dan tenaga kependidikan.

Pengaturan UU Guru dan Dosen tentu merujuk pada UU Sisdiknas,

sehingga terdapat pula inkonsistensi dalam penggunaan frasa “tenaga

kependidikan” dalam pengaturannya. Jika frasa tersebut digunakan untuk

menamakan sebuah lembaga, maka seharusnya lembaga tersebut tidak bertugas

untuk menyelenggarakan pengadaan guru, namun pengadaan petugas

administasi, pengelola, pengembang, pengawas, dan pelayan teknis untuk

menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Jika lembaga yang

dimaksud hanya untuk menghasilkan guru, maka perlu ada perubahan

nomenklatur dalam UU Guru dan Dosen menjadi Lembaga Pendidikan

Pendidik. Selain itu perlu ada perubahan pada frasa “tenaga kependidikan” yang

digunakan dalam UU Guru dan Dosen karena tidak merujuk pada definisi

“tenaga kependidikan” sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.

d. Kewajiban Pemenuhan Kualifikasi Akademik bagi Guru

UU Guru dan Dosen mensyaratkan kualifikasi akademik (minimal S-1/D-

IV) bagi Guru sebagai hal yang wajib dimiliki atau dipenuhi selain kompetensi

dan sertikat pendidik. Ketiga komponen tersebut merupakan parameter bagi

guru untuk dapat dinyatakan profesional sebagaimana diatur dalam ketentuan

Pasal 8 UU Guru dan Dosen. Pasal 82 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur

dan menentukan jangka waktu 10 tahun bagi Guru yang belum memiliki

kualifikasi akademik untuk memenuhinya. Berdasarkan ketentuan tersebut,

Page 9: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

9

seharusnya pada tahun 2015 guru di Indonesia sudah memiliki atau memenuhi

kualifikasi akademik S-1 atau D-IV serta sudah memiliki sertifikat pendidik.

Namun hal tersebut masih belum dapat dipenuhi hingga saat ini (tahun 2018).

Permendiknas No. 62 Tahun 2013 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan

Untuk Penataan Dan Pemerataan Guru mengatur mengenai pemindahan guru

dalam jabatan dan pemberian tunjangan profesi bagi guru dalam jabatan yang

dipindahkan. Di dalamnya ditentukan bahwa guru dalam jabatan dapat

dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan,

antarkabupaten/kota atau antarprovinsi didasarkan pada latar belakang sertifikasi

atau kualifikasi akademik yang dimilikinya. bahwa guru dalam jabatan dapat

dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan,

antarkabupaten/kota atau antarprovinsi didasarkan pada latar belakang sertifikasi

atau kualifikasi akademik yang dimilikinya. Apabila tidak sesuai dengan latar

belakang sertifikat pendidiknya wajib mengikuti sertifikasi sesuai dengan

bidang tugas baru yang diampunya. Ketentuan ini menjadikan ketentuan Pasal 8

UU Guru dan Dosen tidak efektif pemberlakuannya dan Pasal 82 ayat (2) UU

Guru dan Dosen tidak terpenuhi sehingga perlu dilakukan perubahan.

e. Kompetensi Guru dan Dosen

Pasal 10 ayat (1) UU Guru dan Dosen mengatur tentang empat kompetensi

yang wajib dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh

melalui pendidikan profesi. Pemenuhan keempat kompetensi guru tersebut

masih tidak jelas parameternya sehingga pengukuran tingkat profesionalisme

guru menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, perlu ada penjabaran lebih lanjut

mengenai parameter kompetensi yang harus dimiliki guru.

Hal mana berbeda dengan yang diterapkan pada dosen, dimana perihal

kompetensi hanya muncul pada kententuan Pasal 69 ayat (2) UU Guru dan

Dosen yang merupakan bagian dari pengaturan mengenai pembinaan dan

pengembangan tanpa dijelaskan lebih lanjut definisi dan unsur-unsur dalam

empat kompetensi yang disebut. Begitu pula ketentuan-ketentuan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (PP Dosen) dan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU

Pendidikan Tinggi) tidak ada yang menjelaskan mengenai empat kompetensi

yang wajib dimiliki oleh dosen. Pembedaan pengaturan dan kualifikasi

Page 10: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

10

kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian bagi guru dan dosen

tentunya harus dilakukan mengingat bahwa guru dan dosen memiliki

karakteristik yang berbeda dilihat dari jenjang pendidikan yang diampu dan

fungsi profesinya.

Dengan tidak adanya penjelasan mengenai kompetensi tersebut, pada

tataran implementasi terdapat ketidakpastian dalam menilai profesionalitas

dosen untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pengaturan mengenai

kompetensi dan sertifikasi dalam UU Guru dan Dosen juga memiliki pengaruh

yang besar terhadap efektivitas proses pembelajaran dan berimplikasi pada

kualitas hasil belajar peserta didik. Tidak jelasnya pengaturan mengenai

kompetensi dosen dalam UU Guru dan Dosen, maka pengaturan tersebut tidak

memenuhi ketentuan asas kejelasan rumusan dan asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan prinsip

profesionalitas yang diatur dalam UU Guru dan Dosen itu sendiri. Oleh karena

itu perlu adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai kompetensi

untuk dosen dalam UU Guru dan Dosen.

f. Pemenuhan Kebutuhan Guru

Pemenuhan kebutuhan guru termasuk bagian dari ketentuan mengenai

Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Guru, demikian

pula pengaturan mengenai distribusi guru. Ketentuan Pasal 24 UU Guru dan

Dosen pada dasarnya telah mengatur mengenai kewajiban Pemerintah dan

pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan guru, baik pemenuhan dari segi

kualitas maupun kuantitas secara merata. Namun melihat pada bagian Lampiran,

Romawi II UU Pemda mengenai Manajemen Penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan Konkuren dijelaskan bahwa substansi urusan yang dibagi antara

Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Berdasarkan

matrik pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang terdapat dalam

lampiran UU Pemda, seharusnya seluruh fungsi dan unsur manajemen sub

urusan manajemen pendidikan tersebut melekat pada pengelolaan masing-

masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi menjadi kewenangan tingkatan

atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam matriks pembagian Urusan

Pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan bahwa pendidik dan tenaga

kependidikan secara nasional seluruh jenjang pendidikan dan akreditasi

Page 11: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

11

seluruh jenjang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah

Pusat, maka pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi

seluruh jenjang pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan Daerah provinsi atau

Daerah kabupaten/kota. Hal ini berkaitan dengan manajemen kepegawaian

negara yang diatur dalam UU ASN.

Berdasarkan ketentuan dalam UU ASN, kepala sekolah maupun komite

sekolah tidak berwenang untuk mengangkat guru di satuan pendidikan,

demikian pula kepala daerah maupun kepala dinas pendidikan daerah. Selain hal

itu bertentangan dengan ketentuan UU ASN juga berpotensi menimbulkan

permasalahan hukum. Pemenuhan kebutuhan guru melalui perjanjian kerja dapat

dilakukan tidak hanya di satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat

tetapi juga dapat dilakukan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh

pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal ini juga diatur dalam ketentuan

Pasal 25 ayat (3) UU Guru dan Dosen.

Guru dan dosen yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja disebut dengan

guru honorer dan dosen honorer. Definisi mengenai perjanjian kerja tidak hanya

ditemukan dalam UU Guru dan Dosen tetapi juga UU Ketenagakerjaan.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (3) UU Guru dan

Dosen, guru dan dosen yang diangkat melalui perjanjian kerja dalam ketentuan

definitif UU Guru dan Dosen mengikuti ketentuan “berdasarkan peraturan

perundang-undangan”, sehingga selain tunduk pada peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai profesi guru dan dosen, guru dan dosen

tersebut juga tunduk pada ketentuan mengenai ketenagakerjaan.

Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang

Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56

Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48

Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai

Negeri Sipil (PP No. 56 Tahun 2012), yang adalah pelaksanaan dari UU No. 8

Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menjadi solusi pemenuhan

kebutuhan pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugas kedinasan. Namun

ketentuan Pasal 8 PP No. 48 Tahun 2005 yang menentukan bahwa “Sejak

ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian

dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer

Page 12: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

12

atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”, dengan

tegas telah melarang pengangkatan tenaga honorer yang salah satunya adalah

tenaga pendidik yaitu guru.

Meskipun UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

beserta peraturan pelaksanaannya telah dicabut dengan UU No. 5 Tahun 2014

tentang ASN namun ketentuan Pasal 8 PP No. 48 Tahun 2005 tetap berlaku

karena tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU ASN, yang artinya tetap

diberlakukan pelarangan pengangkatan guru honorer. Pengangkatan guru atau

dosen baik yang sebelumnya merupakan guru honorer atau dosen honorer

maupun yang tidak pernah menjadi tenaga honorer dilakukan dengan

mekanisme seleksi sebagaimana diatur dalam UU ASN dan peraturan

pelaksanaannya. Pemerintah juga kembali menegaskan ketentuan Pasal 8 PP No.

48 Tahun 2005 yang mengatur mengenai larangan pengangkatan tenaga honorer

melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tentang

Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer yag disahkan pada tanggal

10 Januari 2013, yang diantaranya mengatur :

• Gubernur dan Bupati/Walikota di larang mengangkat tenaga honorer atau

yang sejenisnya

• Pemerintah tidak akan mengangkat lagi tenaga honorer atau yang sejenisnya

menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)

• Bagi Gubernur, Walikota/Bupati yang masih melakukan pengangkatan tenaga

honorer dan sejenisnya, maka konsekuensi dan dampak pengangkatan tenaga

honorer atau sejenisnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Permasalahan kekurangan jumlah dan distribusi guru yang tidak merata

selalu menjadi topik utama dalam potret pendidikan nasional. Pencapaian tujuan

pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dituangkan dalam UU

Sisdiknas harus dilakukan dengan pemerataan kualitas pendidikan nasional. Hal

ini tentunya harus dibarengi dengan pemerataan pemenuhan kebutuhan guru,

baik dalam segi jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi. Oleh

karenanya, perlu ketegasan Pemerintah, khususnya Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dalam melakukan

pemindahan PNS antar jabatan, antardaerah, dan antar instansi, termasuk

terhadap guru dan dosen.

g. Penempatan guru pada jabatan struktural

Page 13: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

13

Pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen dilakukan melalui

jabatan fungsional yang diatur lebih lanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya (PermenPAN-RB No. 16 Tahun

2009) dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun

2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen Dan Angka Kreditnya (PermenPAN-RB

No. 17 Tahun 2013).

Pasal 26 UU Guru dan Dosen menentukan bahwa:

(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat

ditempatkan pada jabatan struktural.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh

Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (PP No. 74 Tahun 2008) sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (PP No. 19

Tahun 2017). Terkait pengaturan mengenai guru yang ditempatkan pada jabatan

struktural ditentukan mengikuti ketentuan Pasal 61 PP No. 19 Tahun 2017.

Pengaturan dalam PP tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai jabatan

struktural apa yang dapat ditempati oleh guru mengingat ketentuan tersebut

menyebutkan “jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan

fungsional lainnya yang membidangi pendidikan” sebagai jabatan struktural

yang dapat ditempati oleh guru. Selain itu, mengenai pengawas pun mengalami

kerancuan dengan adanya frasa “pengawas satuan pendidikan”, yang muncul

sebanyak 7 kali dalam PP No 74 Tahun 2008 dan sebanyak 5 kali dalam PP No.

19 Tahun 2017, “pengawas” pada Pasal 61 PP No. 19 Tahun 2017, “pengawas

mata pelajaran” pada Pasal 38 ayat (4) huruf c PP No. 19 Tahun 2017 dan

“pengawas kelompok mata pelajaran” pada Pasal 38 ayat (4) huruf c PP No. 19

Tahun 2017, yang mana tidak terdapat definisi lebih lengkap dan penjelasan

pasal yang memuat frasa “pengawas” memberikan keterangan “cukup jelas”.

Selain itu PermenPAN-RB No. 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional

Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya memunculkan istilah “pengawas

sekolah”, sehingga pengaturan mengenai pengawas harus diperjelas dan harus

diatur dengan menggunakan satu nomenklatur jabatan yang seragam. Jabatan

Page 14: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

14

struktural yang dapat dijabat oleh guru perlu diperjelas dan diatur secara

konsisten.

h. Beban Kerja Guru dan Dosen

Kedudukan guru dan dosen menurut UU Guru dan Dosen adalah sebagai

tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional

dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta

menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam

pencapaiannya, peran guru dan dosen diatur dalam ketentuan beban kerja yang

mencakup kegiatan pokok dan jam kerja yang harus dipenuhi oleh guru dan

dosen, sehingga pengaturan mengenai jam kerja guru dan dosen tersebut harus

mengikuti pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan nasional dan tidak lepas

dari ketentuan dalam perundang-undangan terkait ASN dan ketenagakerjaan.

Pengaturan beban kerja guru terdapat pada Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan

Dosen, yang menentukan sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap

muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu)

minggu. Ketentuan tersebut diatur kembali dalam Pasal 52 ayat (2) PP No. 74

Tahun 2008 yang diubah dengan PP No. 19 Tahun 2017 dan dinyatakan diatur

lebih lanjut dengan Permen, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.

39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan

Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 30 Tahun 2011. Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru,

Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah (Permendikbud No. 15 Tahun 2018)

telah mencabut ketentuan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 dan perubahannya.

Adapun ketentuan Permendikbud memberikan penjabaran yang lebih jelas

mengenai ketentuan jam tatap kerja guru dan jam tatap muka yang harus

dipenuhi oleh guru.

Dalam permendikbud yang mengatur mengenai kerangka dasar dan

kurikulum setiap jenjang pendidikan berdasarkan kurikulum 2013, mengenai

jam tatap muka, Permendikbud tersebut mengatur bahwa beban belajar kegiatan

tatap muka dinyatakan dalam jumlah jam belajar per minggu. UU ASN dan UU

Ketenagakerjaan mengatur jam kerja pegawai ASN sejumlah 37,5 jam (dalam

Page 15: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

15

Pasal 1Keppres No.68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga

Pemerintah, mengatur bahwa Hari kerja bagi seluruh lembaga Pemerintah Tingkat

Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan lima hari

kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat dengan jumlah jam kerja efektif

dalam lima hari kerja adalah 37,5 jam. Ketentuan ini dikecualikan terhadap Unit-

unit di lingkungan lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

yang tugasnya bersifat pemberian pelayanan kepada masyarakat dan Lembaga

pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP), dan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA)) dan bagi tenaga kerja ditentukan

bahwa jumlah jam kerjanya adalah 40 jam (Pasal 77 UU Ketenagakerjaan

menentukan waktu kerja sejumlah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat

puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu

atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu

untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu).

Ketentuan mengenai hari sekolah diatur melalui ketentuan Peraturan

Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari

Sekolah dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan

Pendidikan Karakter. Pasal 9 ayat (1) Perpres tersebut menentukan bahwa

penyelenggaraan penguatan pendidikan karakter pada satuan pendidikan jalur

pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6

(enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu dengan pelaksanaan

yang diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan bersama-sama dengan

komite sekolah/madrasah dan dilaporkan kepada Pemerintah Daerah atau kantor

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama

setempat sesuai dengan kewenangan masing-masing tentunya dengan

memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Perpres No. 87 Tahun

2017.

Hari sekolah (Pasal 2 Prmendikbud No. 23 Tahun 2017) dilaksanakan 8

(delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima)

hari dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau

40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), termasuk waktu istirahat selama 0,5 (nol koma lima)

jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma lima) jam selama 5 (lima) hari dalam

1 (satu) minggu. (3) Dalam hal diperlukan penambahan waktu istirahat

Page 16: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

16

sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekolah dapat menambah waktu istirahat

melebihi dari 0,5 (nol koma lima) jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma

lima) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Namun Pasal 17 Perpres

No. 87 Tahun 2017 mengatur bahwa pada saat perpres tersebut mulai berlaku,

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan

pendidikan karakter yang bertentangan dinyatakan tidak berlaku. Perpres ini

tidak mengatur hari sekolah dapat dilaksanakan selama 5 atau 6 hari dalam

seminggu tetapi lebih lanjut mengenai pelaksanaan jam belajar selama

pelaksanaan pembelajaran.

Sementara frasa “tatap muka” Pasal 1 angka 4 Permendikbud No. 15

Tahun 2018 didefiniskan sebagai “interaksi langsung antara Guru dan peserta

didik dalam kegiatan pembelajaran atau pembimbingan sesuai dengan beban

belajar peserta didik dalam struktur kurikulum.” Kegiatan tatap muka tersebut

merupakan sebagian dari jumlah jam kerja yang harus dipenuhi oleh guru yakni

40 jam kerja yang terdiri atas 37,5 jam efektif dan 2,5 jam istirahat.

UU Guru dan Dosen tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang

dimaksud dengan ketentuan “jam tatap muka”. Meskipun ketentuan Pasal 35

ayat (3) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa ketentuan ayat (1) dan (2) pasal

tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, bukan berarti ketentuan tersebut tidak

perlu diperjelas, sehingga Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan Dosen tidak sesuai

dengan UU 12 Tahun 2011 khususnya terkait asas kejelasan rumusan dan asas

dapat dilaksanakan.

pemberlakuan satuan kredit semester (SKS) tidak hanya diberlakukan di

satuan pendidikan tinggi bahkan juga dapat diberlakukan di satuan pendidikan

dasar dan menengah (dikdasmen) berdasarkan Permendikbud No. 158 Tahun

2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester Pada Pendidikan Dasar

Dan Pendidikan Menengah dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang

Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah

Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), yang menentukan bahwa SMK

dan MAK dapat memberlakukan SKS pada beban belajarnya. Disamping itu,

ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Guru dan Dosen yang mengatur mengenai beban

kerja dosen untuk melaksanakan tugas pokok dosen sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 72 ayat (1) yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 UU Guru

dan Dosen, mengatur sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) SKS

Page 17: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

17

dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) SKS. Konversi mengenai jumlah

waktu yang sepadan dengan 1 SKS tidak memiliki ukuran yang baku.

Berdasarkan Pasal 17 Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 yang telah diubah

dengan Permenristekdikti No. 50 Tahun 2018, 1 SKS dapat disetarakan dengan

50 menit untuk kegiatan tatap muka, 60 menit pada kegiatan penugasan

terstruktur dan kegiatan mandiri pada proses pembelajaran berupa kuliah,

responsi atau tutorial dan 100 menit pada kegiatan tatap muka dan kegiatan

mandiri pada proses pembelajaran berupa seminar atau bentuk lain yang sejenis,

170 menit pada proses pembelajaran berupa praktikum, praktik studio, praktik

bengkel, praktik lapangan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan

ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dalam memenuhi capaian pembelajaran

pada perhitungan beban belajar dalam sistem blok, modul, atau bentuk lain.

Dengan demikian, pengaturan mengenai pelaksanaan beban kerja dosen yang

disepadankan dengan sejumlah SKS perlu diperjelas agar sesuai dengan asas

kejelasan rumusan yang terdapat pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.

Dalam pemenuhan tugas sebagai dosen, penentuan beban kerja dosen yang

disesuaikan dengan kewajiban absen berdasarkan ketentuan disiplin PNS,

dianggap menyulitkan bagi dosen ketika dosen harus melakukan penelitian dan

pengabdian masyarakat di luar kota. Oleh karenanya, perlu pengaturan

mengenai pelaksanaan disiplin PNS bagi dosen berstatus PNS agar pemenuhan

kewajiban dosen dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi dapat

terlaksana dengan efektif.

i. Organisasi Profesi dan Pengaturan Kode Etik

Implikasi dari Pasal 41 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang berbunyi “Guru

membentuk organisasi profesi yang bersifat independen” dan ayat (3) yang

berbunyi “Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi”, muncul berbagai

bentuk organisasi profesi guru, diantaranya Persatuan Guru Republik Indonesia

(PGRI), organisasi guru di Indonesia adalah Federasi Guru Independen

Indonesia (FGII), Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Federasi Serikat Guru

Indonesia (FSGI). Beragamnya organisasi profesi ini mengadopsi ketentuan

dalam UUD tahun 1945 mengenai kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan

menyatakan pendapat. Namun kemudian timbul masalah dengan diaturnya Pasal

42 huruf a UU Guru dan Dosen yang menentukan bahwa organisasi profesi guru

mempunyai kewenangan menetapkan dan menegakkan kode etik guru, sebab

Page 18: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

18

dengan demikian kode etik organisasi mana yang harus diikuti oleh guru di

Indonesia mengingat adanya empat organisasi profesi guru yang pesertanya

adalah guru. Oleh karena itu, perlu kejelasan dari pembentuk undang-undang

untuk menyelesaikan permasalahan kode etik guru karena semua organisasi

profesi guru memiliki kewenangan yang sama berdasarkan ketentuan Pasal 42

UU Guru dan Dosen.

Bagi dosen, UU Guru dan Dosen tidak mengatur mengenai organisasi

dosen. Pengaturan mengenai organisasi dosen ini tentunya tidak dapat

disamakan dengan ketentuan organisasi guru mengingat dosen terkelompok

berdasarkan kepakarannya dan bukan berdasarkan profesi dosen yang

dijabatnya. Pengaturan organisasi tunggal bagi dosen pun justru akan

menimbulkan permasalahan bagi dosen mengingat karakteristik profesi dosen.

3. ASPEK SUBSTANSI

a. Guru

1) Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Guru

Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen ditentukan bahwa guru adalah

pendidik profesional memiliki tugas utama dalam hal mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta

didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah, yang diakui kedudukannya dan dibuktikan

dengan sertifikat pendidik. Sebagai tenaga profesional, guru berperan

sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu

pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2)

UU Sisdiknas, yang dalam pengaturannya tidak memberikan pembatasan

dan pembedaan antara guru dan dosen dengan pendidik yang lainnya,

dimana ditentukan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang

bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai

hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta

melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi

pendidik pada perguruan tinggi.

Faktor utama pendidikan yang berkualitas terletak pada faktor guru,

bukan semata ditentukan oleh kurikulumnya, karena proses interaksi antara

guru dan peserta didik akan menentukan efektif dan efisiennya tujuan

pembelajaran, sementara kurikulum adalah alat untuk menjalin hubungan

Page 19: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

19

yang bertujuan untuk menjadikan sistem pendidikan lebih sistematis dan

dapat dikerjakan secara terstruktur dan merata. Kurikulum merupakan

seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara

yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar

mengajar.

Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional merupakan

bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya

memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perubahan kurikulum dari KTSP (Kurikulum 2006) menjadi Kurikulum

2013 (K-13) merupakan perubahan yang menuntut peningkatan

profesionalitas guru dalam melaksanakan perannya. Peran guru tidak lagi

hanya mengajar di kelas dan memberikan nilai, tetapi juga melakukan

observasi terhadap peserta didik guna mengetahui perkembangan hasil

belajar peserta didik sebagai individu dan dalam interaksi sosial.

Guru juga dituntut untuk dapat melakukan pengembangan media

pembelajaran agar peserta didik merasa tertarik pada materi pembelajaran

dan dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam materi yang

disampaikan oleh guru. Tuntutan-tuntutan ini dirasa berat oleh guru,

mengingat apa yang dibebankan kepada guru sebagian merupakan hal-hal

yang bersifat administratif, namun hal tersebut tidak dapat dihindari

mengingat gurulah yang berinteraksi dengan peserta didik dalam proses

belajar mengajar. Oleh karenanya, peningkatan kompetensi guru menjadi hal

yang harus dilakukan dan diperhatikan agar dalam melaksanakan perannya,

guru tidak tertinggal dari perkembangan-perkembangan di bidang ilmu

pengetahuan, khususnya terkait perkembangan IPTEK.

2) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi

Kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru ditujukan untuk untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sehingga pemenuhannya harus

sesuai dengan ketentuan yang dibutuhkan dalam menunjang pelaksanaan

sistem pendidikan nasional yang diatur dalam kurikulum pendidikan.

Berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Sisdiknas Pendidik berkewajiban untuk

menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,

dinamis, dan dialogis; mempunyai komitmen secara profesional untuk

meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama

Page 20: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

20

baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang

diberikan kepadanya. Dalam rangka menciptakan suasana pendidikan

sebagaimana dinyatakan dalam UU Sisdiknas dan mewujudkan komitmen

yang profesional guna meningkatkan mutu pendidikan, maka pemenuhan

kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi bagi guru adalah suatu hal yang

mutlak.

Berkenaan dengan hal itu, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib

menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan

sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan

pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan

masyarakat, sehingga setiap orang yang telah memperoleh sertifikat

pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada

satuan pendidikan tertentu. Selain itu, ketentuan Pasal 82 ayat (2) UU Guru

dan Dosen menentukan pembatasan pemenuhan kualifikasi akademik bagi

guru dan pelaksanaan sertifikasi pendidik selambat-lambatnya 10 tahun

sejak diundangkannya UU Guru dan Dosen. Dengan batas waktu 10 tahun

tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 82 ayat (2) UU Guru dan Dosen harus

terselesaikan dan terpenuhi pada tahun 2015. Namun sampai dengan kajian

ini dibuat, sudah lebih dari 3 (tiga) tahun sejak tahun 2015, ketentuan

tersebut belum dapat dipenuhi. Oleh karenanya, ketentuan pasal tersebut

harus diubah agar dapat dilaksanakan.

3) Pengangkatan, Penempatan, Pemidanaan dan Pemberhentian

Pasal 25 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pengangkatan

dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan

pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah

(PP). Merujuk pada ketentuan dalam UU Pemda, sebagaimana tertuang

dalam lampiran UU Pemda, pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan

merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan ketentuan

dalam UU ASN. Permasalahan kekurangan guru sesungguhnya merupakan

kekurangmerataan distribusi guru di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu,

belum adanya pengaturan mengenai rasio guru pun menjadi permasalahan

dalam perhitungan kurang atau tidaknya jumlah guru.

4) Pembinaan dan Pengembangan

Page 21: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

21

Pasal 32 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pembinaan dan

pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam Pasal 10

ayat (1) UU Guru dan Dosen ditentukan bahwa kompetensi guru tersebut

diperoleh melalui pendidikan profesi yakni Pendidikan Profesi Guru (PPG).

PPG merupakan pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang

mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan

keahlian khusus dalam menjadi guru. PPG ini harus ditempuh selama 1-2

tahun. Ketentuan PPG ini tidak hanya terbuka bagi S-1 Kependidikan tetapi

juga pada S-1/DIV Nonkependidikan sebagaimana juga ditegaskan dalam

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013

(Permendikbud tentang PPG Prajabatan) tentang Program PPG Prajabatan.

Selain itu, terkait dengan ketentuan beban mengajar guru, ketentuan dalam

Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan Dosen perlu diperjelas mengingat ketentuan

Pasal 35 ayat (1) UU Guru dan Dosen mengatur mengenai tugas pokok guru

yang tentunya harus dipertimbangkan pemenuhannya. Selain itu, terkait

dengan ketentuan jam kerja yang terdapat dalam ketentuan terkait

kepegawaian negara, jumlah ini juga perlu diperjelas sehingga tidak terjadi

disharmonisasi pengaturan dan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

5) Perlindungan

Ketentuan Pasal 39 UU Guru dan Dosen mengatur mengenai

perlindungan terhadap guru yang meliputi perlindungan hukum,

perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan perlindungan kesehatan

kerja. Ketentuan perlindungan terhadap guru ini perlu disinkronkan dengan

regulasi terkait HAM dan perlindungan anak, karena tidak jarang dewasa ini

guru kemudian diadukan masyarakat terkait persoalan hukum. Tidak sedikit

guru yang berbenturan dengan pasal–pasal penganiayaan dan lain

sebagainya. Pelaksanaan Pasal 39 UU Guru dan Dosen ini masih belum

dirasakan karena masih ada guru yang dikriminalisasi, bahkan menjadi

korban dari orang tua siswa. Hal ini disebabkan karena adanya pertentangan

antara UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang terakhir kali diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU

Page 22: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

22

Perlindungan Anak) dengan kewajiban guru dalam PP No. 74 Tahun 2008

sebagaimana diubah dengan PP No. 19 Tahun 2017 dimana guru boleh

melakukan tindakan disiplin, yang seringkali ditafsirkan sebagai bentuk

kekerasan terhadap peserta didik. Sebagai contoh, perintah guru yang sangat

keras padahal sifatnya mendidik seringkali diartikan sebagai kekerasan yang

sifatnya verbal, menyebabkan guru dilaporkan kepada pihak berwajib oleh

orang tua peserta didik. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa bantuan

advokasi dari pemerintah dan organisasi profesi masih lemah, masih bersifat

pasif dan belum proaktif.

6) Organisasi Profesi dan Kode Etik

Pasal 14 ayat (1) huruf h UU Guru dan Dosen, guru dalam

melaksanakan tugas keprofesionalannya mempunyai hak untuk memiliki

kebebasan berserikat dalam organisasi profesi. Organisasi profesi guru

didefinisikan dalam UU Guru dan Dosen sebagai perkumpulan yang

berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan

profesionalitas guru. Dalam UU tersebut ditentukan pula bahwa organisasi

profesi bersifat independen dan berfungsi untuk memajukan profesi,

meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan

profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam hal

penegakan kode etik, adanya beberapa organisasi profesi menimbulkan

permasalahan ketidak seragaman kode etik dan penegakannya. Tidak adanya

ketentuan organisasi mana yang berwenang menyusun kode etik bagi guru

ini harus disolusikan oleh Pemerintah. Selain itu, peran organisasi profesi

guru dalam melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru masih

belum dapat dilaksanakan karena organisasi profesi guru belum pernah

mendapat kesempatan melakukan pembinaan dan pengembangan profesi

guru yang merupakan salah satu kewenangannya berdasarkan UU Guru dan

Dosen.

b. Dosen

1) Kedudukan, Tugas, Fungsi Dosen

Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama

mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu

pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan

pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian

Page 23: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

23

kepada masyarakat merupakan kewajiban perguruan tinggi yang biasa

disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat

(1) UU Guru dan Dosen menjelaskan bahwa dosen mempunyai kedudukan

sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan dosen

tersebut sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan

martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat

berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sebagai salah satu

profesi yang dikualifikasikan sebagai pendidik dalam ketentuan Pasal 1

angka 6 UU Sisdiknas, dosen merupakan tenaga profesional yang bertugas

merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil

pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan

penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada

perguruan tinggi.

2) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi

Pasal 45 UU Guru dan Dosen mengatur bahwa dosen wajib memiliki

kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan

rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan

pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut dalam Pasal 46 UU

Guru dan Dosen mengatur bahwa kualifikasi akademik dosen yang

dimaksudkan diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana

yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.

3) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan dan Pemberhentian

Pasal 63 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pengangkatan

dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh

Pemerintah diatur dengan PP. Pasal 36 ayat (3) PP Dosen mengatur lebih

lanjut bahwa dalam pengangkatan dan penempatan dosen berdasarkan

perencanaan kebutuhan dosen secara nasional yang dilaksanakan oleh

Kementerian melalui koordinasi dengan instansi terkait. Terbatasnya

kemampuan pemerintah mengangkat Dosen PNS mengakibatkan jumlah

dosen di PTN semakin kecil, tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa

Page 24: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

24

yang terus tumbuh dan berkembang. Saat ini perguruan tinggi memiliki

solusi yaitu mengangkat dosen tetap Non-ASN untuk menyeimbangkan

rasio. Pengangkatan dan penempatan dosen oleh badan penyelenggara

pendidikan tinggi dilakukan berdasaran perjanjian kerja atau kesepakatan

kerja dan wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

4) Pembinaan dan Pengembangan

Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa

pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan

pengembangan profesi dan karier. Dalam hal pengembangan kompetensi

dosen, terdapat kurangnya komitmen dari Pemerintah dalam hal ini

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)

untuk memfasilitasi pengembangan kompetensi dosen misalnya mewajibkan

dosen menulis dan me-publish dalam jurnal. Jurnal yang terakreditasi saat

ini masih terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah dosen yang ada.

Berdasarkan pemantauan dan diskusi dengan stakeholders, baik di

tingkat pusat maupun di tingkat daerah, terdapat perkembangan wacana

mengenai pengaturan guru dan dosen dalam perubahan UU Guru dan Dosen,

yakni Pemisahan Pengaturan Guru dan Dosen, serta Penggabungan

Pengaturan Guru dan Dosen

4. ASPEK PENDANAAN

Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mendapatkan

amanat untuk memprioritaskan dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) dan diatur kembali dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU

Sisdiknas. Mutu pendidikan di daerah akan meningkat dengan baik apabila didukung

oleh sumber daya pendidikan khususnya pembiayaan pendidikan yang memadai. Hal

tersebut menjadi penegasan komitmen DPR dan pemerintah untuk menjamin

pendidikan yang bermutu di Indonesia. Namun munculnya penjelasan Pasal 49 ayat

(1) UU Sisdiknas mengindikasikan hal lain yang bukannya memperjelas namun justru

mereduksi amanat UUD Tahun 1945. Padahal Pasal 31 UUD Tahun 1945 dimuat kata

“memprioritaskan" namun dalam penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas malah

dimuat kata "bertahap". Dalam pengujian UU Sisdiknas terhadap UUD Tahun 1945

Page 25: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

25

melalui putusan MK atas perkara nomor 011/PUU-III/2005 tanggal 19 Oktober 2005,

Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Dengan demikian penjelasan Pasal 49 ayat (1) harus dimaknai bahwa

Pemenuhan Dana Pendidikan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD

harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dilakukan secara bertahap.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari

2008 menyatakan bahwa frasa "gaji pendidik dan" dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1)

UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka

bunyi ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas harus dibaca "dana pendidikan selain

gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN

pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD)”. Terkait optimalisasi peran pemerintah dalam memberikan

pengalokasian anggaran pembinaan dan pengembangan kompetensi guru, perlu

ditingkatkan untuk menunjang keprofesionalan guru dan dosen. Optimalisasi peran

serta pemerintah dalam meningkatkan anggaran akan berpengaruh terhadap kualitas

layanan pendidikan bagi masyarakat dan sudah seharusnya kesejahteraan guru dan

dosen diperhatikan terutama dengan tuntutan guru dan dosen profesional. Peran serta

guru dan pendidikan non-formal juga berperan dalam memberikan layanan bagi

masyarakat yang tidak terlayani atau tidak ada kesempatan pada pendidikan formal

dan sudah selayaknya pemerintah daerah memberikan jaminan untuk meningkatkan

anggaran untuk peningkatan kualitas dan keprofesionalan guru.

5. ASPEK SARANA DAN PRASARANA

Data dari Kemenristekdikti pada tahun 2015 total LPTK di Indonesia mencapai

421. Data ini belum termasuk LPTK di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

Namun hingga saat ini kapasitas LPTK dalam menyediakan guru berkualitas masih

kurang. Terbatasnya kualitas layanan pendidikan oleh LPTK berdampak belum

adanya perbaikan yang signifikan pada peningkatan kualitas guru. Sehingga

seharusnya terdapat revitalisasi LPTK secara menyeluruh untuk meningkatkan mutu

penyelenggaraan pendidikan keguruan. Selain itu sebagai usaha pendukung

pengembangan dan pemberdayaan tenaga guru dengan tujuan untuk menciptakan

tenaga pendidik yang lebih profesional dari waktu ke waktu saat ini terdapat Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) yang

Page 26: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

26

berada di bawah koordinasi Kemendikbud. Hingga saat ini keberadaan P4TK yang

ada di seluruh Indonesia masih terbatas jumlahnya sehingga tidak seimbang dengan

jumlah guru yang ada serta tidak dapat mencakup kebutuhan guru di daerah. P4TK

adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah koordinasi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud).

Berkaitan dengan pemenuhan sarana dan prasarana sebagai hak guru serta

dosen, sudah terdapat ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan

prasarana pembelajaran yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2008 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (PP No. 37 Tahun 2009). Kedua PP

ini mengatur hal yang sama yang pada intinya guru maupun dosen memperoleh

kesempatan untuk mengakses sarana dan prasarana pembelajaran yang disediakan

oleh satuan pendidikan ataupun satuan pendidikan tinggi, penyelenggara pendidikan,

Pemerintah Daerah, dan Pemerintah, maupun organisasi profesi sesuai dengan

kewenangan masing-masing. Laboratorium sendiri dipandang sebagai unit penunjang

akademik pada lembaga pendidikan yang berupa ruangan tertutup atau terbuka,

bersifat permanen atau bergerak yang dikelola secara sistematis untuk kegiatan

pengujian, kalibrasi, dan/atau produksi dalam skala terbatas dengan menggunakan

peralatan dan bahan berdasarkan metode keilmuan tertentu dalam rangka pelaksanaan

pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, sehingga dapat dikatakan

bahwa keberadaan laboratorium selain sebagai penunjang kegiatan pembelajaran,

dapat juga sebagai penunjang guru maupun dosen dalam melakukan penelitian dan

pengembangan keilmuan.

6. ASPEK BUDAYA HUKUM

Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa urusan Pemerintahan

wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi pendidikan, kesehatan,

pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman,

ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan sosial, sehingga

pemenuhannya merupakan kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah

pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota di bidang pendidikan terdapat

dalam lampiran Romawi I, Huruf A UU Pemda. Dalam matrik Urusan Pemerintahan,

bidang Pendidikan terdiri atas 6 (enam) sub Urusan Pemerintahan yaitu manajemen

pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, perizinan

Page 27: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

27

pendidikan, dan bahasa dan sastra. Dari keenam sub Urusan Pemerintahan tersebut

yang merupakan substansi Urusan Pemerintahan adalah sub urusan manajemen

pendidikan; kurikulum; perizinan pendidikan; dan bahasa dan sastra, sedangkan yang

merupakan unsur manajemen adalah sub urusan pendidik dan tenaga kependidikan

dan yang merupakan fungsi manajemen adalah sub urusan akreditasi. Seharusnya

seluruh fungsi dan unsur manajemen sub urusan manajemen pendidikan tersebut

melekat pada pengelolaan masing-masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi

menjadi kewenangan tingkatan atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam

matriks pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan bahwa

pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional seluruh jenjang pendidikan dan

akreditasi seluruh jenjang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah

Pusat, maka pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi seluruh

jenjang pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan Daerah provinsi atau Daerah

kabupaten/kota. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seluruh pengelolaan sub

urusan manajemen pendidikan termasuk unsur dan fungsi manajemen pengelolaan

jenjang pendidikan menjadi kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan

pemerintahan, kecuali pendidik dan tenaga kependidikan serta akreditasi secara

nasional karena dalam matriks pembagian urusan Pemerintahan bidang pendidikan

ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.

Adanya kesadaran sebagian masyarakat atas kebutuhannya terhadap pendidikan

menjadikan masyarakat turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan

dengan memberikan bantuan. Namun hal ini sering kali terkendala dengan adanya

ketentuan mengenai larangan memungut iuran di satuan pendidikan dan larangan

menerima bantuan dari masyarakat, yang menimbulkan kebingungan dan kesulitan

bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan nasional. Pemerintah melalui

Kemendikbud merevitalisasi tugas Komite Sekolah berdasarkan prinsip gotong

royong dengan mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor

75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah (Permendikbud No. 75 Tahun 2016). Dalam

permendikbud tersebut, peran komite sekolah adalah melaksanakan fungsi dan tugas

melalui koordinasi dan konsultasi dengan dewan pendidikan provinsi/dewan

pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota, dan pemangku

kepentingan lainnya, dengan berkoordinasi dengan Sekolah yang bersangkutan. Selain

itu, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan

lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan untuk melaksanakan

Page 28: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

28

fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta

pengawasan pendidikan. Adanya ketentuan Pasal 25 ayat (3) UU Guru dan Dosen

memberikan peluang kepada satuan pendidikan masyarakat atau satuan pendidikan

swasta untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga

kependidikan di satuan pendidikannya, tetapi dengan adanya ketentuan dalam PP No.

48 Tahun 2005, satuan pendidikan negeri mengalami kekurangan jumlah guru. Oleh

karenanya, sebagaimana disampaikan Disdikpora DIY dan Dinas Pendidikan Kota

Yogyakarta (Disdik Kota Yogyakarta), permasalahan ini disolusikan oleh satuan

pendidikan dengan pengangkatan tenaga pendidik kontrak dengan SK Kepala Sekolah

atau SK Komite Sekolah. Disdikpora DIY menekankan pemberian honor guru yang

diangkat dengan SK Kepala Sekolah maupun SK Komite Sekolah sebesar Upah

Minimum Regional (UMR) Daerah.

Permasalahan guru honorer ini menjadi permasalahan bersama, Pemerintah dan

Pemerintah Daerah, mengingat ketentuan dalam PP No. 48 Tahun 2005 memberikan

penjelasan bahwa Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat

Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan

tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban

APBN atau APBD. Pengangkatan tenaga honorer dengan SK Kepala Sekolah dan SK

Komite Sekolah bukan tenaga honorer yang dimaksud dalam ketentuan PP No. 48

Tahun 2005 tersebut, sehingga pengangkatannya menjadi CPNS melalui jalur K2 pun

tidak dapat dilakukan.

III. PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian, analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Guru

dan Dosen yang telah dilakukan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-

Undang Badan Keahlian DPR RI, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pelaksanaan UU Guru dan Dosen masih belum optimal karena terdapat

kendala/masalah terkait aspek struktur, substansi hukum, kelembagaan sarana

dan prasarana, pendanaan dan budaya hukum.

2. Masih terdapat permasalahan dalam lingkup norma dan implementasi substansi.

Terdapat permasalahan terkait multitafsir serta permasalahan tumpang tindih

kewenangan struktural, sehingga diperlukan adanya pengkajian ulang secara

cermat dalam rangka penguatan instrumen hukum kepariwisataan di Indonesia.

Page 29: KAJIAN AKADEMIK PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG …PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN I. PENDAHULUAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

29

B. REKOMENDASI

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen perlu

dilakukan perubahan dan penyesuaian norma terutama pada Pasal 1 angka 1, Pasal 1

angka 14, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 35 ayat (2), Pasal 47

ayat (1) huruf c, Pasal 47 ayat (2), Pasal 72 ayat (2), dan Pasal 82 ayat (2) UU Guru

dan Dosen untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan peraturan

perundang-undangan yang telah ada dengan pengaturan terkait Guru dan Dosen.

Dengan demikian, rekomendasi analisis kebijakannya adalah UU Guru dan Dosen

perlu dilakukan perubahan.