kajian akademik pelaksanaan undang-undang …pelaksanaan undang-undang nomor 10 tahun 2009 tentang...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN AKADEMIK
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2009
TENTANG KEPARIWISATAAN
I. PENDAHULUAN
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945)
Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut diwujudkan dengan
pembentukan sistem pendidikan nasional yang kemudian diatur lebih lanjut dalam
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi
terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa
untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah. Oleh karenanya, sistem pendidikan nasional harus
mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta
relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu
dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan
berkesinambungan.
2. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 11-14-21-126-136/PUU-
VII/2009 yang dibacakan pada Rabu, 31 Maret 2010 mengemukakan bahwa Para
Pendiri Negara Republik Indonesia dengan arif dan bijaksana menentukan
keharusan pemerintah negara ini selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, juga
membebankan tugas kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia sebagaimana yang tertera dalam alinea
keempat Pembukaan UUD Tahun 1945.
2
3. Tugas Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut menimbulkan
beberapa permasalahan mendasar, baik dari segi filosofi, akademis, maupun yuridis
sebagai berikut :
a. hak memperoleh pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang
ditegaskan dalam Pasal 28C ayat (1), dan diulangi lagi dalam Pasal 31 ayat (1)
UUD Tahun 1945;
b. tugas mencerdaskan kehidupan bangsa dihubungkan dengan fungsi
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM, termasuk hak untuk
mendapat pendidikan, sebagai tanggung jawab negara terutama pemerintah,
sesuai dengan ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945, sebagai suatu
tugas publik;
c. pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945;
d. prioritas anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional [vide Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945];
e. memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), juga merupakan salah
satu tugas konstitusional pemerintah, berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (5)
UUD Tahun 1945.
4. Dibentuknya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU
Guru dan Dosen) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menata kembali
sistem pendidikan nasional di Indonesia. Pembentukan Undang-Undang tersebut
juga berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Dengan adanya undang-
undang baru yang diundangkan dalam masa pemberlakuan UU Guru dan Dosen,
maka ketentuan dalam UU Guru dan Dosen harus mengikuti perkembangan
dinamika hukum yang ada.
5. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat
guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu
3
pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional
berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
6. Seperti halnya sumber daya manusia di bidang lain, Guru dan Dosen merupakan
sumber daya manusia di bidang pendidikan yang dalam pengelolaanya juga
menghadapi permasalahan. Oleh karena Guru dan dosen merupakan pendidik
sekaligus pelaksana kebijakan nasional di bidang pendidikan, maka pengelolaannya
pun tidak bisa lepas dari ketentuan-ketentuan perundang-undangan di bidang
kepegawaian dan ketenagakerjaan, selain juga ketentuan yang mengatur profesi
secara khusus, yakni UU Guru dan Dosen.
7. Siklus manajemen kinerja terdiri atas tiga fase, yakni perencanaan, pembinaan dan
evaluasi. Hal ini juga terdapat dalam UU ASN yang berisi pengaturan terkait
kepegawaian negara, yang disebut juga dengan aparatur sipil negara (ASN). Dalam
UU ASN mengatur ASN terdiri atas PNS dan PPPK. Munculnya pengaturan
mengenai PPPK ini merupakan hal baru, apalagi mengingat bahwa peraturan
pelaksanaannya diundangkan pada 28 November 2018.
8. Salah satu fungsi konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI) berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD Tahun 1945 ialah fungsi
pengawasan. Penegasan dan pelaksanaan fungsi pengawasan DPR RI lebih lanjut
diatur dalam Pasal 69 ayat (1) juncto Pasal 70 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
(UU MD3), dan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 5 ayat (3) Peraturan DPR RI Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Tertib (Tata Tertib DPR
RI) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pengawasan DPR RI dilaksanakan
melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang.
9. Dalam rangka mendukung fungsi pengawasan DPR RI tersebut, Pusat Pemantauan
Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI sebagai bagian dari
supporting system DPR RI, telah melakukan pemantauan pelaksanaan UU Guru dan
Dosen. Adapun yang menjadi pertimbangan adalah UU Guru dan Dosen telah
berlaku selama 13 (tiga belas) tahun sejak diundangkan, ternyata tidak dapat
mencapai tujuan pengundangannya secara optimal dengan masih banyaknya
4
permasalahan guru dan dosen secara nasional hingga saat ini. Selain itu, beberapa
ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksanakan dengan baik, sehingga
perlu dilakukan evaluasi terhadap UU Guru dan Dosen ini.
10. Metode pemantauan UU Kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Hasil pemantauan pelaksanaan UU Guru
dan Dosen akan dilakukan kajian, analisis, dan evaluasi untuk disampaikan kepada
Kepala Badan Keahlian DPR RI yang selanjutnya disampaikan kepada Pimpinan
DPR RI, Pimpinan dan Anggota Komisi X DPR RI dan Pimpinan Badan Legislasi
sebagai masukan dalam rangka memberikan dukungan keahlian kepada Dewan
dalam pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan
sebagai bahan masukan dalam penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan atas UU Guru dan Dosen.
11. Pemantauan pelaksanaan UU Kepariwisataan dilaksanakan di 4 (empat) provinsi
sebagai berikut:
a. Daerah Istimewa Yogyakarta, dipilih sebagai daerah pemantauan karena di
daerah ini jumlah satuan pendidikan yang cukup besar, sejalan dengan itu pula
permasalahan Guru dan Dosen juga cukup tinggi.
b. Provinsi Jawa Timur, dipilih sebagai daerah pemantauan karena memiliki
keberagaman pendidikan, seperti di kota Malang yang mengalami permasalahan
guru honorer dan kurangnya jumlah guru.
c. Provinsi Jawa Barat, yang terdiri dari Kota Bandung dan Kota Cirebon. Kota
Bandung dipilih sebagai daerah pemantauan karena merupakan salah satu kota
yang berkembang, tidak hanya dari segi perekonomian tetapi juga pendidikan.
Sementara Kota Cirebon dipilih karena keberagaman satuan pendidikan dan
pengembangan pendidikan berbasis budaya di Kota Cirebon menarik untuk
kiranya dapat memperoleh data yang lebih komprehensif.
II. HASIL PEMANTAUAN
1. UMUM
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan berkehendak untuk mengendalikan
kehidupan negara melalui suatu kebijakan publik yang merupakan faktor kritikal
bagi maju atau mundurnya suatu bangsa. Controlling policy terdiri atas policy
monitoring dan policy evaluation. Policy monitoring dilaksanakan dalam ranah
penerapan kebijakan atau policy implementation, sedangkan policy evaluation
5
dilaksanakan dalam ranah policy performance dimana suatu suatu produk kebijakan
publik telah diberlakukan selama beberapa tahun sehingga dapat dinilai
efektifitasnya dengan adanya beragam perubahan dan perkembangan dalam
kehidupan masyarakat baik perubahan sosial maupun perubahan dinamika hukum.
2. ASPEK SUBSTANSI HUKUM
a. Frasa “Formal”
Pasal 1 angka 10 UU Sisdiknas terdapat tiga layanan pendidikan yang
dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan, yaitu jalur formal, nonformal,
dan informal dengan penjabaran selanjutnya dalam UU Sisdiknas. Selain
daripada ketiga jalur pendidikan tersebut, UU Sisdiknas juga mengenal adanya
Pendidikan Kedinasan yang diatur pada Pasal 29 UU Sisdiknas, yang
diselenggarakan melalui jalur formal dan nonformal dan Pendidikan Keagamaan
(Pasal 30 UU Sisdiknas). UU Sisdiknas juga mengenal adanya Pendidikan
Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus dalam Pasal 32 UU Sisdiknas yang
diatur lebih lanjut dalam PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan (PP No. 66 Tahun 2010 tentang Perubahan PP No. 17 Tahun 2010).
Dengan pembatasan profesi guru dan satuan pendidikan hanya di jalur
pendidikan formal, maka terdapat ketidaksesuaian materi muatan UU Guru dan
Dosen dengan UU Sisdiknas. Hal tersebut berdampak pada adanya kekosongan
hukum dalam hal pengaturan mengenai pendidik dalam jalur pendidikan
nonformal, informal, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus,
termasuk juga pendidikan kedinasan dan pendidikan keagamaan. Kekosongan
ini menimbulkan ketidakpastian terhadap pendidik pada Sanggar Kegiatan
Belajar yang merupakan satuan pendidikan nonformal yang didirikan oleh
Negara. Hal tersebut juga berpengaruh pada berkurangnya minat masyarakat
untuk turut mengabdi sebagai pendidik di satuan pendidikan nonformal sehingga
mutu pendidikan nonformal dan kinerja pendidik di Indonesia semakin
menurun.
Tidak tercakupnya pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus pada
Pasal 2 ayat (1) UU Guru dan Dosen juga menimbulkan ketidakjelasan atas
kedudukan guru yang mengabdi pada sekolah dasar luar biasa atau menengah
6
luar biasa. Berdasarkan Pasal 10 huruf a dan huruf b UU No. 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas mempunyai hak untuk
mendapatkan pendidikan yang bermutu dan mempunyai kesempatan yang
sama untuk menjadi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan.
Bagi Kemendikbud frasa “formal” dalam UU Guru dan Dosen
menciptakan pembedaan terhadap guru-guru di satuan pendidikan nonformal
yang berupa sanggar kegiatan belajar yang semula dibentuk dan dikelola oleh
Kemendikbud dan diserahkan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang sebagaimana terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda). Demikian pula pada satuan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang
terdiri atas satuan pendidikan formal dan nonformal, maka terjadi pembedaan
perlakuan terhadap guru PAUD tersebut. Adanya pengaturan yang berbeda
antara jenis pendidikan formal dan nonformal berakibat kurangnya perhatian
Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap pendidik di satuan pendidikan
nonformal. Hal serupa juga disampaikan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta
yang mengalami kesulitan dalam pengelolaan pendidik di satuan pendidikan
nonformal yang mereka kelola.
Pengaturan lebih lanjut mengenai pendidik di luar guru dan dosen diatur
dalam Permen sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 172 Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
(PP No. 17 Tahun 2010) yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU
Sisdiknas.
UU Guru dan Dosen merupakan ketentuan yang mendukung pelaksanaan
sistem pendidikan nasional, yang tentu pengaturannya tidak dapat terpisah
dengan pengaturan sistem pendidikan nasional. Ketentuan mengenai pendidik
dalam UU Sisdiknas tidak membatasi pendidik berdasarkan jalur pendidikan
yang ada. Bahkan, ketentuan dalam UU Sisdiknas tidak menjabarkan lebih
7
lanjut mengenai perbedaan definisi tenaga kependidikan yang dikualifikasikan
sebagai pendidik perlu pengaturan yang lebih jelas terhadap pendidik.
b. Frasa “Pendidik”
Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 2 UU Guru dan Dosen memberikan
definisi guru dan dosen sebagai pendidik profesional, sedangkan Pasal 39 UU
Sisdiknas memberikan definisi yang luas tentang Pendidik, yaitu :
“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan
dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi”.
Definisi pendidik pada ketentuan UU Sisdiknas tidak terbatas pada guru
dan dosen, tetapi juga meliputi konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor,
instruktur, fasilitator dan terbuka istilah lainnya asalkan sesuai dengan
kekhususannya dan berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan
nasional. Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 UU Sisdiknas yang mengatur
mengenai pendidik dan tenaga kependidikan menerangkan mengenai hak dan
kewajiban yang dimiliki oleh pendidik secara keseluruhan, tidak terbatas pada
guru dan dosen. Oleh karen itu, pengaturan mengenai pendidik dalam UU
Sisdiknas perlu diubah dengan memberikan definisi dan pembatasan yang lebih
jelas terhadap masing-masing profesi yang dikualifikasikan sebagai pendidik.
Saat ini, pengaturan lebih lanjut mengenai pendidik di luar guru dan dosen
diatur dalam Peraturan Menteri sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 172
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan. Supaya lebih mendukung terwujudnya sistem
pendidikan nasional, maka sepatutnya pengaturan mengenai seluruh tenaga
pendidik, tidak hanya guru dan dosen, berada pada tingkat aturan yang sama.
Jika hal itu terjadi maka kekuatan dan ruang lingkup pemberlakuaannya menjadi
sama untuk mendukung pengaturan sistem pendidikan nasional menjadi lebih
komprehensif.
c. Frasa “Tenaga Kependidikan”
UU Guru dan Dosen mengenalkan adanya sebuah lembaga penghasil guru,
yaitu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 14 UU Guru dan Dosen didefinisikan sebagai :
8
“perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan
menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan nonkependidikan”.
Selain itu frasa “tenaga kependidikan” juga terdapat pada ketentuan Pasal 11
dan Pasal 47 UU Guru dan Dosen.
Pada UU Sisdiknas juga dikenal adanya frasa “tenaga kependidikan”,
yaitu dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 dan Pasal 39 ayat (1) UU Sisdiknas.
Undang-undang ini membedakan antara Pendidik dengan Tenaga Kependidikan.
Namun terdapat inkonsistensi penggunaan istilah “tenaga kependidikan” dalam
UU Sisdiknas. Pendidik juga diartikan sebagai tenaga kependidikan meskipun
terdapat pengaturan yang terpisah dalam Bab XI mulai dari Pasal 39 sampai
dengan Pasal 44 UU Sisdiknas tentang pendidik dan tenaga kependidikan.
Pengaturan UU Guru dan Dosen tentu merujuk pada UU Sisdiknas,
sehingga terdapat pula inkonsistensi dalam penggunaan frasa “tenaga
kependidikan” dalam pengaturannya. Jika frasa tersebut digunakan untuk
menamakan sebuah lembaga, maka seharusnya lembaga tersebut tidak bertugas
untuk menyelenggarakan pengadaan guru, namun pengadaan petugas
administasi, pengelola, pengembang, pengawas, dan pelayan teknis untuk
menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Jika lembaga yang
dimaksud hanya untuk menghasilkan guru, maka perlu ada perubahan
nomenklatur dalam UU Guru dan Dosen menjadi Lembaga Pendidikan
Pendidik. Selain itu perlu ada perubahan pada frasa “tenaga kependidikan” yang
digunakan dalam UU Guru dan Dosen karena tidak merujuk pada definisi
“tenaga kependidikan” sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas.
d. Kewajiban Pemenuhan Kualifikasi Akademik bagi Guru
UU Guru dan Dosen mensyaratkan kualifikasi akademik (minimal S-1/D-
IV) bagi Guru sebagai hal yang wajib dimiliki atau dipenuhi selain kompetensi
dan sertikat pendidik. Ketiga komponen tersebut merupakan parameter bagi
guru untuk dapat dinyatakan profesional sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 8 UU Guru dan Dosen. Pasal 82 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur
dan menentukan jangka waktu 10 tahun bagi Guru yang belum memiliki
kualifikasi akademik untuk memenuhinya. Berdasarkan ketentuan tersebut,
9
seharusnya pada tahun 2015 guru di Indonesia sudah memiliki atau memenuhi
kualifikasi akademik S-1 atau D-IV serta sudah memiliki sertifikat pendidik.
Namun hal tersebut masih belum dapat dipenuhi hingga saat ini (tahun 2018).
Permendiknas No. 62 Tahun 2013 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan
Untuk Penataan Dan Pemerataan Guru mengatur mengenai pemindahan guru
dalam jabatan dan pemberian tunjangan profesi bagi guru dalam jabatan yang
dipindahkan. Di dalamnya ditentukan bahwa guru dalam jabatan dapat
dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan,
antarkabupaten/kota atau antarprovinsi didasarkan pada latar belakang sertifikasi
atau kualifikasi akademik yang dimilikinya. bahwa guru dalam jabatan dapat
dipindahkan antarsatuan pendidikan, antarjenjang, dan antarjenis pendidikan,
antarkabupaten/kota atau antarprovinsi didasarkan pada latar belakang sertifikasi
atau kualifikasi akademik yang dimilikinya. Apabila tidak sesuai dengan latar
belakang sertifikat pendidiknya wajib mengikuti sertifikasi sesuai dengan
bidang tugas baru yang diampunya. Ketentuan ini menjadikan ketentuan Pasal 8
UU Guru dan Dosen tidak efektif pemberlakuannya dan Pasal 82 ayat (2) UU
Guru dan Dosen tidak terpenuhi sehingga perlu dilakukan perubahan.
e. Kompetensi Guru dan Dosen
Pasal 10 ayat (1) UU Guru dan Dosen mengatur tentang empat kompetensi
yang wajib dimiliki oleh guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi. Pemenuhan keempat kompetensi guru tersebut
masih tidak jelas parameternya sehingga pengukuran tingkat profesionalisme
guru menjadi tidak jelas. Oleh karena itu, perlu ada penjabaran lebih lanjut
mengenai parameter kompetensi yang harus dimiliki guru.
Hal mana berbeda dengan yang diterapkan pada dosen, dimana perihal
kompetensi hanya muncul pada kententuan Pasal 69 ayat (2) UU Guru dan
Dosen yang merupakan bagian dari pengaturan mengenai pembinaan dan
pengembangan tanpa dijelaskan lebih lanjut definisi dan unsur-unsur dalam
empat kompetensi yang disebut. Begitu pula ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (PP Dosen) dan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU
Pendidikan Tinggi) tidak ada yang menjelaskan mengenai empat kompetensi
yang wajib dimiliki oleh dosen. Pembedaan pengaturan dan kualifikasi
10
kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian bagi guru dan dosen
tentunya harus dilakukan mengingat bahwa guru dan dosen memiliki
karakteristik yang berbeda dilihat dari jenjang pendidikan yang diampu dan
fungsi profesinya.
Dengan tidak adanya penjelasan mengenai kompetensi tersebut, pada
tataran implementasi terdapat ketidakpastian dalam menilai profesionalitas
dosen untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pengaturan mengenai
kompetensi dan sertifikasi dalam UU Guru dan Dosen juga memiliki pengaruh
yang besar terhadap efektivitas proses pembelajaran dan berimplikasi pada
kualitas hasil belajar peserta didik. Tidak jelasnya pengaturan mengenai
kompetensi dosen dalam UU Guru dan Dosen, maka pengaturan tersebut tidak
memenuhi ketentuan asas kejelasan rumusan dan asas kedayagunaan dan
kehasilgunaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan prinsip
profesionalitas yang diatur dalam UU Guru dan Dosen itu sendiri. Oleh karena
itu perlu adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif mengenai kompetensi
untuk dosen dalam UU Guru dan Dosen.
f. Pemenuhan Kebutuhan Guru
Pemenuhan kebutuhan guru termasuk bagian dari ketentuan mengenai
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Guru, demikian
pula pengaturan mengenai distribusi guru. Ketentuan Pasal 24 UU Guru dan
Dosen pada dasarnya telah mengatur mengenai kewajiban Pemerintah dan
pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan guru, baik pemenuhan dari segi
kualitas maupun kuantitas secara merata. Namun melihat pada bagian Lampiran,
Romawi II UU Pemda mengenai Manajemen Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan Konkuren dijelaskan bahwa substansi urusan yang dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Berdasarkan
matrik pembagian kewenangan di bidang pendidikan yang terdapat dalam
lampiran UU Pemda, seharusnya seluruh fungsi dan unsur manajemen sub
urusan manajemen pendidikan tersebut melekat pada pengelolaan masing-
masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi menjadi kewenangan tingkatan
atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam matriks pembagian Urusan
Pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan bahwa pendidik dan tenaga
kependidikan secara nasional seluruh jenjang pendidikan dan akreditasi
11
seluruh jenjang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat, maka pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi
seluruh jenjang pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan Daerah provinsi atau
Daerah kabupaten/kota. Hal ini berkaitan dengan manajemen kepegawaian
negara yang diatur dalam UU ASN.
Berdasarkan ketentuan dalam UU ASN, kepala sekolah maupun komite
sekolah tidak berwenang untuk mengangkat guru di satuan pendidikan,
demikian pula kepala daerah maupun kepala dinas pendidikan daerah. Selain hal
itu bertentangan dengan ketentuan UU ASN juga berpotensi menimbulkan
permasalahan hukum. Pemenuhan kebutuhan guru melalui perjanjian kerja dapat
dilakukan tidak hanya di satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
tetapi juga dapat dilakukan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal ini juga diatur dalam ketentuan
Pasal 25 ayat (3) UU Guru dan Dosen.
Guru dan dosen yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja disebut dengan
guru honorer dan dosen honorer. Definisi mengenai perjanjian kerja tidak hanya
ditemukan dalam UU Guru dan Dosen tetapi juga UU Ketenagakerjaan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 63 ayat (3) UU Guru dan
Dosen, guru dan dosen yang diangkat melalui perjanjian kerja dalam ketentuan
definitif UU Guru dan Dosen mengikuti ketentuan “berdasarkan peraturan
perundang-undangan”, sehingga selain tunduk pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai profesi guru dan dosen, guru dan dosen
tersebut juga tunduk pada ketentuan mengenai ketenagakerjaan.
Dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil (PP No. 56 Tahun 2012), yang adalah pelaksanaan dari UU No. 8
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, menjadi solusi pemenuhan
kebutuhan pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugas kedinasan. Namun
ketentuan Pasal 8 PP No. 48 Tahun 2005 yang menentukan bahwa “Sejak
ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian
dan pejabat lain di lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer
12
atau yang sejenis, kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”, dengan
tegas telah melarang pengangkatan tenaga honorer yang salah satunya adalah
tenaga pendidik yaitu guru.
Meskipun UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
beserta peraturan pelaksanaannya telah dicabut dengan UU No. 5 Tahun 2014
tentang ASN namun ketentuan Pasal 8 PP No. 48 Tahun 2005 tetap berlaku
karena tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU ASN, yang artinya tetap
diberlakukan pelarangan pengangkatan guru honorer. Pengangkatan guru atau
dosen baik yang sebelumnya merupakan guru honorer atau dosen honorer
maupun yang tidak pernah menjadi tenaga honorer dilakukan dengan
mekanisme seleksi sebagaimana diatur dalam UU ASN dan peraturan
pelaksanaannya. Pemerintah juga kembali menegaskan ketentuan Pasal 8 PP No.
48 Tahun 2005 yang mengatur mengenai larangan pengangkatan tenaga honorer
melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ tentang
Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer yag disahkan pada tanggal
10 Januari 2013, yang diantaranya mengatur :
• Gubernur dan Bupati/Walikota di larang mengangkat tenaga honorer atau
yang sejenisnya
• Pemerintah tidak akan mengangkat lagi tenaga honorer atau yang sejenisnya
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
• Bagi Gubernur, Walikota/Bupati yang masih melakukan pengangkatan tenaga
honorer dan sejenisnya, maka konsekuensi dan dampak pengangkatan tenaga
honorer atau sejenisnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.
Permasalahan kekurangan jumlah dan distribusi guru yang tidak merata
selalu menjadi topik utama dalam potret pendidikan nasional. Pencapaian tujuan
pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang dituangkan dalam UU
Sisdiknas harus dilakukan dengan pemerataan kualitas pendidikan nasional. Hal
ini tentunya harus dibarengi dengan pemerataan pemenuhan kebutuhan guru,
baik dalam segi jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi. Oleh
karenanya, perlu ketegasan Pemerintah, khususnya Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) dalam melakukan
pemindahan PNS antar jabatan, antardaerah, dan antar instansi, termasuk
terhadap guru dan dosen.
g. Penempatan guru pada jabatan struktural
13
Pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen dilakukan melalui
jabatan fungsional yang diatur lebih lanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya (PermenPAN-RB No. 16 Tahun
2009) dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun
2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen Dan Angka Kreditnya (PermenPAN-RB
No. 17 Tahun 2013).
Pasal 26 UU Guru dan Dosen menentukan bahwa:
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat
ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (PP No. 74 Tahun 2008) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (PP No. 19
Tahun 2017). Terkait pengaturan mengenai guru yang ditempatkan pada jabatan
struktural ditentukan mengikuti ketentuan Pasal 61 PP No. 19 Tahun 2017.
Pengaturan dalam PP tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai jabatan
struktural apa yang dapat ditempati oleh guru mengingat ketentuan tersebut
menyebutkan “jabatan pimpinan tinggi, administrator, pengawas, atau jabatan
fungsional lainnya yang membidangi pendidikan” sebagai jabatan struktural
yang dapat ditempati oleh guru. Selain itu, mengenai pengawas pun mengalami
kerancuan dengan adanya frasa “pengawas satuan pendidikan”, yang muncul
sebanyak 7 kali dalam PP No 74 Tahun 2008 dan sebanyak 5 kali dalam PP No.
19 Tahun 2017, “pengawas” pada Pasal 61 PP No. 19 Tahun 2017, “pengawas
mata pelajaran” pada Pasal 38 ayat (4) huruf c PP No. 19 Tahun 2017 dan
“pengawas kelompok mata pelajaran” pada Pasal 38 ayat (4) huruf c PP No. 19
Tahun 2017, yang mana tidak terdapat definisi lebih lengkap dan penjelasan
pasal yang memuat frasa “pengawas” memberikan keterangan “cukup jelas”.
Selain itu PermenPAN-RB No. 21 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional
Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya memunculkan istilah “pengawas
sekolah”, sehingga pengaturan mengenai pengawas harus diperjelas dan harus
diatur dengan menggunakan satu nomenklatur jabatan yang seragam. Jabatan
14
struktural yang dapat dijabat oleh guru perlu diperjelas dan diatur secara
konsisten.
h. Beban Kerja Guru dan Dosen
Kedudukan guru dan dosen menurut UU Guru dan Dosen adalah sebagai
tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional
dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam
pencapaiannya, peran guru dan dosen diatur dalam ketentuan beban kerja yang
mencakup kegiatan pokok dan jam kerja yang harus dipenuhi oleh guru dan
dosen, sehingga pengaturan mengenai jam kerja guru dan dosen tersebut harus
mengikuti pengaturan pelaksanaan sistem pendidikan nasional dan tidak lepas
dari ketentuan dalam perundang-undangan terkait ASN dan ketenagakerjaan.
Pengaturan beban kerja guru terdapat pada Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan
Dosen, yang menentukan sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap
muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu)
minggu. Ketentuan tersebut diatur kembali dalam Pasal 52 ayat (2) PP No. 74
Tahun 2008 yang diubah dengan PP No. 19 Tahun 2017 dan dinyatakan diatur
lebih lanjut dengan Permen, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.
39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 30 Tahun 2011. Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru,
Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah (Permendikbud No. 15 Tahun 2018)
telah mencabut ketentuan Permendiknas No. 39 Tahun 2009 dan perubahannya.
Adapun ketentuan Permendikbud memberikan penjabaran yang lebih jelas
mengenai ketentuan jam tatap kerja guru dan jam tatap muka yang harus
dipenuhi oleh guru.
Dalam permendikbud yang mengatur mengenai kerangka dasar dan
kurikulum setiap jenjang pendidikan berdasarkan kurikulum 2013, mengenai
jam tatap muka, Permendikbud tersebut mengatur bahwa beban belajar kegiatan
tatap muka dinyatakan dalam jumlah jam belajar per minggu. UU ASN dan UU
Ketenagakerjaan mengatur jam kerja pegawai ASN sejumlah 37,5 jam (dalam
15
Pasal 1Keppres No.68 Tahun 1995 tentang Hari Kerja di Lingkungan Lembaga
Pemerintah, mengatur bahwa Hari kerja bagi seluruh lembaga Pemerintah Tingkat
Pusat dan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya ditetapkan lima hari
kerja mulai hari Senin sampai dengan hari Jumat dengan jumlah jam kerja efektif
dalam lima hari kerja adalah 37,5 jam. Ketentuan ini dikecualikan terhadap Unit-
unit di lingkungan lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
yang tugasnya bersifat pemberian pelayanan kepada masyarakat dan Lembaga
pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP), dan Sekolah Lanjutan Atas (SLTA)) dan bagi tenaga kerja ditentukan
bahwa jumlah jam kerjanya adalah 40 jam (Pasal 77 UU Ketenagakerjaan
menentukan waktu kerja sejumlah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu).
Ketentuan mengenai hari sekolah diatur melalui ketentuan Peraturan
Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari
Sekolah dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter. Pasal 9 ayat (1) Perpres tersebut menentukan bahwa
penyelenggaraan penguatan pendidikan karakter pada satuan pendidikan jalur
pendidikan formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan selama 6
(enam) atau 5 (lima) hari sekolah dalam 1 (satu) minggu dengan pelaksanaan
yang diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan bersama-sama dengan
komite sekolah/madrasah dan dilaporkan kepada Pemerintah Daerah atau kantor
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama
setempat sesuai dengan kewenangan masing-masing tentunya dengan
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Perpres No. 87 Tahun
2017.
Hari sekolah (Pasal 2 Prmendikbud No. 23 Tahun 2017) dilaksanakan 8
(delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima)
hari dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan 8 (delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau
40 (empat puluh) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), termasuk waktu istirahat selama 0,5 (nol koma lima)
jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma lima) jam selama 5 (lima) hari dalam
1 (satu) minggu. (3) Dalam hal diperlukan penambahan waktu istirahat
16
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sekolah dapat menambah waktu istirahat
melebihi dari 0,5 (nol koma lima) jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma
lima) jam selama 5 (lima) hari dalam 1 (satu) minggu. Namun Pasal 17 Perpres
No. 87 Tahun 2017 mengatur bahwa pada saat perpres tersebut mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hari sekolah dan
pendidikan karakter yang bertentangan dinyatakan tidak berlaku. Perpres ini
tidak mengatur hari sekolah dapat dilaksanakan selama 5 atau 6 hari dalam
seminggu tetapi lebih lanjut mengenai pelaksanaan jam belajar selama
pelaksanaan pembelajaran.
Sementara frasa “tatap muka” Pasal 1 angka 4 Permendikbud No. 15
Tahun 2018 didefiniskan sebagai “interaksi langsung antara Guru dan peserta
didik dalam kegiatan pembelajaran atau pembimbingan sesuai dengan beban
belajar peserta didik dalam struktur kurikulum.” Kegiatan tatap muka tersebut
merupakan sebagian dari jumlah jam kerja yang harus dipenuhi oleh guru yakni
40 jam kerja yang terdiri atas 37,5 jam efektif dan 2,5 jam istirahat.
UU Guru dan Dosen tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang
dimaksud dengan ketentuan “jam tatap muka”. Meskipun ketentuan Pasal 35
ayat (3) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa ketentuan ayat (1) dan (2) pasal
tersebut diatur lebih lanjut dalam PP, bukan berarti ketentuan tersebut tidak
perlu diperjelas, sehingga Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan Dosen tidak sesuai
dengan UU 12 Tahun 2011 khususnya terkait asas kejelasan rumusan dan asas
dapat dilaksanakan.
pemberlakuan satuan kredit semester (SKS) tidak hanya diberlakukan di
satuan pendidikan tinggi bahkan juga dapat diberlakukan di satuan pendidikan
dasar dan menengah (dikdasmen) berdasarkan Permendikbud No. 158 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Kredit Semester Pada Pendidikan Dasar
Dan Pendidikan Menengah dan Permendikbud No. 70 Tahun 2013 tentang
Kerangka Dasar Dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), yang menentukan bahwa SMK
dan MAK dapat memberlakukan SKS pada beban belajarnya. Disamping itu,
ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Guru dan Dosen yang mengatur mengenai beban
kerja dosen untuk melaksanakan tugas pokok dosen sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 72 ayat (1) yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 UU Guru
dan Dosen, mengatur sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) SKS
17
dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) SKS. Konversi mengenai jumlah
waktu yang sepadan dengan 1 SKS tidak memiliki ukuran yang baku.
Berdasarkan Pasal 17 Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015 yang telah diubah
dengan Permenristekdikti No. 50 Tahun 2018, 1 SKS dapat disetarakan dengan
50 menit untuk kegiatan tatap muka, 60 menit pada kegiatan penugasan
terstruktur dan kegiatan mandiri pada proses pembelajaran berupa kuliah,
responsi atau tutorial dan 100 menit pada kegiatan tatap muka dan kegiatan
mandiri pada proses pembelajaran berupa seminar atau bentuk lain yang sejenis,
170 menit pada proses pembelajaran berupa praktikum, praktik studio, praktik
bengkel, praktik lapangan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan
ditetapkan sesuai dengan kebutuhan dalam memenuhi capaian pembelajaran
pada perhitungan beban belajar dalam sistem blok, modul, atau bentuk lain.
Dengan demikian, pengaturan mengenai pelaksanaan beban kerja dosen yang
disepadankan dengan sejumlah SKS perlu diperjelas agar sesuai dengan asas
kejelasan rumusan yang terdapat pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011.
Dalam pemenuhan tugas sebagai dosen, penentuan beban kerja dosen yang
disesuaikan dengan kewajiban absen berdasarkan ketentuan disiplin PNS,
dianggap menyulitkan bagi dosen ketika dosen harus melakukan penelitian dan
pengabdian masyarakat di luar kota. Oleh karenanya, perlu pengaturan
mengenai pelaksanaan disiplin PNS bagi dosen berstatus PNS agar pemenuhan
kewajiban dosen dalam melaksanakan tridharma perguruan tinggi dapat
terlaksana dengan efektif.
i. Organisasi Profesi dan Pengaturan Kode Etik
Implikasi dari Pasal 41 ayat (1) UU Guru dan Dosen yang berbunyi “Guru
membentuk organisasi profesi yang bersifat independen” dan ayat (3) yang
berbunyi “Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi”, muncul berbagai
bentuk organisasi profesi guru, diantaranya Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), organisasi guru di Indonesia adalah Federasi Guru Independen
Indonesia (FGII), Ikatan Guru Indonesia (IGI) dan Federasi Serikat Guru
Indonesia (FSGI). Beragamnya organisasi profesi ini mengadopsi ketentuan
dalam UUD tahun 1945 mengenai kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
menyatakan pendapat. Namun kemudian timbul masalah dengan diaturnya Pasal
42 huruf a UU Guru dan Dosen yang menentukan bahwa organisasi profesi guru
mempunyai kewenangan menetapkan dan menegakkan kode etik guru, sebab
18
dengan demikian kode etik organisasi mana yang harus diikuti oleh guru di
Indonesia mengingat adanya empat organisasi profesi guru yang pesertanya
adalah guru. Oleh karena itu, perlu kejelasan dari pembentuk undang-undang
untuk menyelesaikan permasalahan kode etik guru karena semua organisasi
profesi guru memiliki kewenangan yang sama berdasarkan ketentuan Pasal 42
UU Guru dan Dosen.
Bagi dosen, UU Guru dan Dosen tidak mengatur mengenai organisasi
dosen. Pengaturan mengenai organisasi dosen ini tentunya tidak dapat
disamakan dengan ketentuan organisasi guru mengingat dosen terkelompok
berdasarkan kepakarannya dan bukan berdasarkan profesi dosen yang
dijabatnya. Pengaturan organisasi tunggal bagi dosen pun justru akan
menimbulkan permasalahan bagi dosen mengingat karakteristik profesi dosen.
3. ASPEK SUBSTANSI
a. Guru
1) Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Guru
Pasal 1 angka 1 UU Guru dan Dosen ditentukan bahwa guru adalah
pendidik profesional memiliki tugas utama dalam hal mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah, yang diakui kedudukannya dan dibuktikan
dengan sertifikat pendidik. Sebagai tenaga profesional, guru berperan
sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2)
UU Sisdiknas, yang dalam pengaturannya tidak memberikan pembatasan
dan pembedaan antara guru dan dosen dengan pendidik yang lainnya,
dimana ditentukan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional yang
bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi
pendidik pada perguruan tinggi.
Faktor utama pendidikan yang berkualitas terletak pada faktor guru,
bukan semata ditentukan oleh kurikulumnya, karena proses interaksi antara
guru dan peserta didik akan menentukan efektif dan efisiennya tujuan
pembelajaran, sementara kurikulum adalah alat untuk menjalin hubungan
19
yang bertujuan untuk menjadikan sistem pendidikan lebih sistematis dan
dapat dikerjakan secara terstruktur dan merata. Kurikulum merupakan
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar
mengajar.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional merupakan
bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya
memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan kurikulum dari KTSP (Kurikulum 2006) menjadi Kurikulum
2013 (K-13) merupakan perubahan yang menuntut peningkatan
profesionalitas guru dalam melaksanakan perannya. Peran guru tidak lagi
hanya mengajar di kelas dan memberikan nilai, tetapi juga melakukan
observasi terhadap peserta didik guna mengetahui perkembangan hasil
belajar peserta didik sebagai individu dan dalam interaksi sosial.
Guru juga dituntut untuk dapat melakukan pengembangan media
pembelajaran agar peserta didik merasa tertarik pada materi pembelajaran
dan dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam materi yang
disampaikan oleh guru. Tuntutan-tuntutan ini dirasa berat oleh guru,
mengingat apa yang dibebankan kepada guru sebagian merupakan hal-hal
yang bersifat administratif, namun hal tersebut tidak dapat dihindari
mengingat gurulah yang berinteraksi dengan peserta didik dalam proses
belajar mengajar. Oleh karenanya, peningkatan kompetensi guru menjadi hal
yang harus dilakukan dan diperhatikan agar dalam melaksanakan perannya,
guru tidak tertinggal dari perkembangan-perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan, khususnya terkait perkembangan IPTEK.
2) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi guru ditujukan untuk untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sehingga pemenuhannya harus
sesuai dengan ketentuan yang dibutuhkan dalam menunjang pelaksanaan
sistem pendidikan nasional yang diatur dalam kurikulum pendidikan.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU Sisdiknas Pendidik berkewajiban untuk
menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis, dan dialogis; mempunyai komitmen secara profesional untuk
meningkatkan mutu pendidikan; dan memberi teladan dan menjaga nama
20
baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya. Dalam rangka menciptakan suasana pendidikan
sebagaimana dinyatakan dalam UU Sisdiknas dan mewujudkan komitmen
yang profesional guna meningkatkan mutu pendidikan, maka pemenuhan
kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi bagi guru adalah suatu hal yang
mutlak.
Berkenaan dengan hal itu, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan
sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat, sehingga setiap orang yang telah memperoleh sertifikat
pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada
satuan pendidikan tertentu. Selain itu, ketentuan Pasal 82 ayat (2) UU Guru
dan Dosen menentukan pembatasan pemenuhan kualifikasi akademik bagi
guru dan pelaksanaan sertifikasi pendidik selambat-lambatnya 10 tahun
sejak diundangkannya UU Guru dan Dosen. Dengan batas waktu 10 tahun
tersebut, maka ketentuan dalam Pasal 82 ayat (2) UU Guru dan Dosen harus
terselesaikan dan terpenuhi pada tahun 2015. Namun sampai dengan kajian
ini dibuat, sudah lebih dari 3 (tiga) tahun sejak tahun 2015, ketentuan
tersebut belum dapat dipenuhi. Oleh karenanya, ketentuan pasal tersebut
harus diubah agar dapat dilaksanakan.
3) Pengangkatan, Penempatan, Pemidanaan dan Pemberhentian
Pasal 25 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pengangkatan
dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah
(PP). Merujuk pada ketentuan dalam UU Pemda, sebagaimana tertuang
dalam lampiran UU Pemda, pengelolaan pendidik dan tenaga kependidikan
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini sejalan dengan ketentuan
dalam UU ASN. Permasalahan kekurangan guru sesungguhnya merupakan
kekurangmerataan distribusi guru di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu,
belum adanya pengaturan mengenai rasio guru pun menjadi permasalahan
dalam perhitungan kurang atau tidaknya jumlah guru.
4) Pembinaan dan Pengembangan
21
Pasal 32 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pembinaan dan
pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Dalam Pasal 10
ayat (1) UU Guru dan Dosen ditentukan bahwa kompetensi guru tersebut
diperoleh melalui pendidikan profesi yakni Pendidikan Profesi Guru (PPG).
PPG merupakan pendidikan tinggi setelah program pendidikan sarjana yang
mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan
keahlian khusus dalam menjadi guru. PPG ini harus ditempuh selama 1-2
tahun. Ketentuan PPG ini tidak hanya terbuka bagi S-1 Kependidikan tetapi
juga pada S-1/DIV Nonkependidikan sebagaimana juga ditegaskan dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 87 Tahun 2013
(Permendikbud tentang PPG Prajabatan) tentang Program PPG Prajabatan.
Selain itu, terkait dengan ketentuan beban mengajar guru, ketentuan dalam
Pasal 35 ayat (2) UU Guru dan Dosen perlu diperjelas mengingat ketentuan
Pasal 35 ayat (1) UU Guru dan Dosen mengatur mengenai tugas pokok guru
yang tentunya harus dipertimbangkan pemenuhannya. Selain itu, terkait
dengan ketentuan jam kerja yang terdapat dalam ketentuan terkait
kepegawaian negara, jumlah ini juga perlu diperjelas sehingga tidak terjadi
disharmonisasi pengaturan dan pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
5) Perlindungan
Ketentuan Pasal 39 UU Guru dan Dosen mengatur mengenai
perlindungan terhadap guru yang meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan perlindungan kesehatan
kerja. Ketentuan perlindungan terhadap guru ini perlu disinkronkan dengan
regulasi terkait HAM dan perlindungan anak, karena tidak jarang dewasa ini
guru kemudian diadukan masyarakat terkait persoalan hukum. Tidak sedikit
guru yang berbenturan dengan pasal–pasal penganiayaan dan lain
sebagainya. Pelaksanaan Pasal 39 UU Guru dan Dosen ini masih belum
dirasakan karena masih ada guru yang dikriminalisasi, bahkan menjadi
korban dari orang tua siswa. Hal ini disebabkan karena adanya pertentangan
antara UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang terakhir kali diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU
22
Perlindungan Anak) dengan kewajiban guru dalam PP No. 74 Tahun 2008
sebagaimana diubah dengan PP No. 19 Tahun 2017 dimana guru boleh
melakukan tindakan disiplin, yang seringkali ditafsirkan sebagai bentuk
kekerasan terhadap peserta didik. Sebagai contoh, perintah guru yang sangat
keras padahal sifatnya mendidik seringkali diartikan sebagai kekerasan yang
sifatnya verbal, menyebabkan guru dilaporkan kepada pihak berwajib oleh
orang tua peserta didik. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa bantuan
advokasi dari pemerintah dan organisasi profesi masih lemah, masih bersifat
pasif dan belum proaktif.
6) Organisasi Profesi dan Kode Etik
Pasal 14 ayat (1) huruf h UU Guru dan Dosen, guru dalam
melaksanakan tugas keprofesionalannya mempunyai hak untuk memiliki
kebebasan berserikat dalam organisasi profesi. Organisasi profesi guru
didefinisikan dalam UU Guru dan Dosen sebagai perkumpulan yang
berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan
profesionalitas guru. Dalam UU tersebut ditentukan pula bahwa organisasi
profesi bersifat independen dan berfungsi untuk memajukan profesi,
meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan
profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam hal
penegakan kode etik, adanya beberapa organisasi profesi menimbulkan
permasalahan ketidak seragaman kode etik dan penegakannya. Tidak adanya
ketentuan organisasi mana yang berwenang menyusun kode etik bagi guru
ini harus disolusikan oleh Pemerintah. Selain itu, peran organisasi profesi
guru dalam melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru masih
belum dapat dilaksanakan karena organisasi profesi guru belum pernah
mendapat kesempatan melakukan pembinaan dan pengembangan profesi
guru yang merupakan salah satu kewenangannya berdasarkan UU Guru dan
Dosen.
b. Dosen
1) Kedudukan, Tugas, Fungsi Dosen
Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian
23
kepada masyarakat merupakan kewajiban perguruan tinggi yang biasa
disebut dengan Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat
(1) UU Guru dan Dosen menjelaskan bahwa dosen mempunyai kedudukan
sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan dosen
tersebut sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan
martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat
berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sebagai salah satu
profesi yang dikualifikasikan sebagai pendidik dalam ketentuan Pasal 1
angka 6 UU Sisdiknas, dosen merupakan tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
perguruan tinggi.
2) Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 45 UU Guru dan Dosen mengatur bahwa dosen wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan
rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan
pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Lebih lanjut dalam Pasal 46 UU
Guru dan Dosen mengatur bahwa kualifikasi akademik dosen yang
dimaksudkan diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana
yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.
3) Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan dan Pemberhentian
Pasal 63 ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa pengangkatan
dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan oleh
Pemerintah diatur dengan PP. Pasal 36 ayat (3) PP Dosen mengatur lebih
lanjut bahwa dalam pengangkatan dan penempatan dosen berdasarkan
perencanaan kebutuhan dosen secara nasional yang dilaksanakan oleh
Kementerian melalui koordinasi dengan instansi terkait. Terbatasnya
kemampuan pemerintah mengangkat Dosen PNS mengakibatkan jumlah
dosen di PTN semakin kecil, tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa
24
yang terus tumbuh dan berkembang. Saat ini perguruan tinggi memiliki
solusi yaitu mengangkat dosen tetap Non-ASN untuk menyeimbangkan
rasio. Pengangkatan dan penempatan dosen oleh badan penyelenggara
pendidikan tinggi dilakukan berdasaran perjanjian kerja atau kesepakatan
kerja dan wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
4) Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) UU Guru dan Dosen mengatur bahwa
pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan
pengembangan profesi dan karier. Dalam hal pengembangan kompetensi
dosen, terdapat kurangnya komitmen dari Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
untuk memfasilitasi pengembangan kompetensi dosen misalnya mewajibkan
dosen menulis dan me-publish dalam jurnal. Jurnal yang terakreditasi saat
ini masih terbatas dan tidak sebanding dengan jumlah dosen yang ada.
Berdasarkan pemantauan dan diskusi dengan stakeholders, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, terdapat perkembangan wacana
mengenai pengaturan guru dan dosen dalam perubahan UU Guru dan Dosen,
yakni Pemisahan Pengaturan Guru dan Dosen, serta Penggabungan
Pengaturan Guru dan Dosen
4. ASPEK PENDANAAN
Pasal 31 ayat (4) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa negara mendapatkan
amanat untuk memprioritaskan dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) dan diatur kembali dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU
Sisdiknas. Mutu pendidikan di daerah akan meningkat dengan baik apabila didukung
oleh sumber daya pendidikan khususnya pembiayaan pendidikan yang memadai. Hal
tersebut menjadi penegasan komitmen DPR dan pemerintah untuk menjamin
pendidikan yang bermutu di Indonesia. Namun munculnya penjelasan Pasal 49 ayat
(1) UU Sisdiknas mengindikasikan hal lain yang bukannya memperjelas namun justru
mereduksi amanat UUD Tahun 1945. Padahal Pasal 31 UUD Tahun 1945 dimuat kata
“memprioritaskan" namun dalam penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas malah
dimuat kata "bertahap". Dalam pengujian UU Sisdiknas terhadap UUD Tahun 1945
25
melalui putusan MK atas perkara nomor 011/PUU-III/2005 tanggal 19 Oktober 2005,
Penjelasan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Dengan demikian penjelasan Pasal 49 ayat (1) harus dimaknai bahwa
Pemenuhan Dana Pendidikan minimal 20% dari APBN dan minimal 20% dari APBD
harus segera dilaksanakan dan tidak boleh dilakukan secara bertahap.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-V/2007 tanggal 20 Februari
2008 menyatakan bahwa frasa "gaji pendidik dan" dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1)
UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka
bunyi ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas harus dibaca "dana pendidikan selain
gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD)”. Terkait optimalisasi peran pemerintah dalam memberikan
pengalokasian anggaran pembinaan dan pengembangan kompetensi guru, perlu
ditingkatkan untuk menunjang keprofesionalan guru dan dosen. Optimalisasi peran
serta pemerintah dalam meningkatkan anggaran akan berpengaruh terhadap kualitas
layanan pendidikan bagi masyarakat dan sudah seharusnya kesejahteraan guru dan
dosen diperhatikan terutama dengan tuntutan guru dan dosen profesional. Peran serta
guru dan pendidikan non-formal juga berperan dalam memberikan layanan bagi
masyarakat yang tidak terlayani atau tidak ada kesempatan pada pendidikan formal
dan sudah selayaknya pemerintah daerah memberikan jaminan untuk meningkatkan
anggaran untuk peningkatan kualitas dan keprofesionalan guru.
5. ASPEK SARANA DAN PRASARANA
Data dari Kemenristekdikti pada tahun 2015 total LPTK di Indonesia mencapai
421. Data ini belum termasuk LPTK di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Namun hingga saat ini kapasitas LPTK dalam menyediakan guru berkualitas masih
kurang. Terbatasnya kualitas layanan pendidikan oleh LPTK berdampak belum
adanya perbaikan yang signifikan pada peningkatan kualitas guru. Sehingga
seharusnya terdapat revitalisasi LPTK secara menyeluruh untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan keguruan. Selain itu sebagai usaha pendukung
pengembangan dan pemberdayaan tenaga guru dengan tujuan untuk menciptakan
tenaga pendidik yang lebih profesional dari waktu ke waktu saat ini terdapat Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) yang
26
berada di bawah koordinasi Kemendikbud. Hingga saat ini keberadaan P4TK yang
ada di seluruh Indonesia masih terbatas jumlahnya sehingga tidak seimbang dengan
jumlah guru yang ada serta tidak dapat mencakup kebutuhan guru di daerah. P4TK
adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah koordinasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud).
Berkaitan dengan pemenuhan sarana dan prasarana sebagai hak guru serta
dosen, sudah terdapat ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sarana dan
prasarana pembelajaran yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2008 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (PP No. 37 Tahun 2009). Kedua PP
ini mengatur hal yang sama yang pada intinya guru maupun dosen memperoleh
kesempatan untuk mengakses sarana dan prasarana pembelajaran yang disediakan
oleh satuan pendidikan ataupun satuan pendidikan tinggi, penyelenggara pendidikan,
Pemerintah Daerah, dan Pemerintah, maupun organisasi profesi sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Laboratorium sendiri dipandang sebagai unit penunjang
akademik pada lembaga pendidikan yang berupa ruangan tertutup atau terbuka,
bersifat permanen atau bergerak yang dikelola secara sistematis untuk kegiatan
pengujian, kalibrasi, dan/atau produksi dalam skala terbatas dengan menggunakan
peralatan dan bahan berdasarkan metode keilmuan tertentu dalam rangka pelaksanaan
pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, sehingga dapat dikatakan
bahwa keberadaan laboratorium selain sebagai penunjang kegiatan pembelajaran,
dapat juga sebagai penunjang guru maupun dosen dalam melakukan penelitian dan
pengembangan keilmuan.
6. ASPEK BUDAYA HUKUM
Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa urusan Pemerintahan
wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi pendidikan, kesehatan,
pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman,
ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat, dan sosial, sehingga
pemenuhannya merupakan kewajiban pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah
pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota di bidang pendidikan terdapat
dalam lampiran Romawi I, Huruf A UU Pemda. Dalam matrik Urusan Pemerintahan,
bidang Pendidikan terdiri atas 6 (enam) sub Urusan Pemerintahan yaitu manajemen
pendidikan, kurikulum, akreditasi, pendidik dan tenaga kependidikan, perizinan
27
pendidikan, dan bahasa dan sastra. Dari keenam sub Urusan Pemerintahan tersebut
yang merupakan substansi Urusan Pemerintahan adalah sub urusan manajemen
pendidikan; kurikulum; perizinan pendidikan; dan bahasa dan sastra, sedangkan yang
merupakan unsur manajemen adalah sub urusan pendidik dan tenaga kependidikan
dan yang merupakan fungsi manajemen adalah sub urusan akreditasi. Seharusnya
seluruh fungsi dan unsur manajemen sub urusan manajemen pendidikan tersebut
melekat pada pengelolaan masing-masing jenjang pendidikan yang sudah dibagi
menjadi kewenangan tingkatan atau susunan pemerintahan. Namun karena dalam
matriks pembagian urusan pemerintahan bidang pendidikan telah ditetapkan bahwa
pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional seluruh jenjang pendidikan dan
akreditasi seluruh jenjang pendidikan ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat, maka pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional dan akreditasi seluruh
jenjang pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan Daerah provinsi atau Daerah
kabupaten/kota. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seluruh pengelolaan sub
urusan manajemen pendidikan termasuk unsur dan fungsi manajemen pengelolaan
jenjang pendidikan menjadi kewenangan masing-masing tingkatan atau susunan
pemerintahan, kecuali pendidik dan tenaga kependidikan serta akreditasi secara
nasional karena dalam matriks pembagian urusan Pemerintahan bidang pendidikan
ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Adanya kesadaran sebagian masyarakat atas kebutuhannya terhadap pendidikan
menjadikan masyarakat turut serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan
dengan memberikan bantuan. Namun hal ini sering kali terkendala dengan adanya
ketentuan mengenai larangan memungut iuran di satuan pendidikan dan larangan
menerima bantuan dari masyarakat, yang menimbulkan kebingungan dan kesulitan
bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan nasional. Pemerintah melalui
Kemendikbud merevitalisasi tugas Komite Sekolah berdasarkan prinsip gotong
royong dengan mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah (Permendikbud No. 75 Tahun 2016). Dalam
permendikbud tersebut, peran komite sekolah adalah melaksanakan fungsi dan tugas
melalui koordinasi dan konsultasi dengan dewan pendidikan provinsi/dewan
pendidikan kabupaten/kota, dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota, dan pemangku
kepentingan lainnya, dengan berkoordinasi dengan Sekolah yang bersangkutan. Selain
itu, Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan
lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan untuk melaksanakan
28
fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan. Adanya ketentuan Pasal 25 ayat (3) UU Guru dan Dosen
memberikan peluang kepada satuan pendidikan masyarakat atau satuan pendidikan
swasta untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan tenaga pendidik dan tenaga
kependidikan di satuan pendidikannya, tetapi dengan adanya ketentuan dalam PP No.
48 Tahun 2005, satuan pendidikan negeri mengalami kekurangan jumlah guru. Oleh
karenanya, sebagaimana disampaikan Disdikpora DIY dan Dinas Pendidikan Kota
Yogyakarta (Disdik Kota Yogyakarta), permasalahan ini disolusikan oleh satuan
pendidikan dengan pengangkatan tenaga pendidik kontrak dengan SK Kepala Sekolah
atau SK Komite Sekolah. Disdikpora DIY menekankan pemberian honor guru yang
diangkat dengan SK Kepala Sekolah maupun SK Komite Sekolah sebesar Upah
Minimum Regional (UMR) Daerah.
Permasalahan guru honorer ini menjadi permasalahan bersama, Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, mengingat ketentuan dalam PP No. 48 Tahun 2005 memberikan
penjelasan bahwa Tenaga honorer adalah seseorang yang diangkat oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan
tugas tertentu pada instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi beban
APBN atau APBD. Pengangkatan tenaga honorer dengan SK Kepala Sekolah dan SK
Komite Sekolah bukan tenaga honorer yang dimaksud dalam ketentuan PP No. 48
Tahun 2005 tersebut, sehingga pengangkatannya menjadi CPNS melalui jalur K2 pun
tidak dapat dilakukan.
III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian, analisis dan evaluasi terhadap pelaksanaan UU Guru
dan Dosen yang telah dilakukan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-
Undang Badan Keahlian DPR RI, dapat disimpulkan bahwa:
1. Pelaksanaan UU Guru dan Dosen masih belum optimal karena terdapat
kendala/masalah terkait aspek struktur, substansi hukum, kelembagaan sarana
dan prasarana, pendanaan dan budaya hukum.
2. Masih terdapat permasalahan dalam lingkup norma dan implementasi substansi.
Terdapat permasalahan terkait multitafsir serta permasalahan tumpang tindih
kewenangan struktural, sehingga diperlukan adanya pengkajian ulang secara
cermat dalam rangka penguatan instrumen hukum kepariwisataan di Indonesia.
29
B. REKOMENDASI
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen perlu
dilakukan perubahan dan penyesuaian norma terutama pada Pasal 1 angka 1, Pasal 1
angka 14, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 35 ayat (2), Pasal 47
ayat (1) huruf c, Pasal 47 ayat (2), Pasal 72 ayat (2), dan Pasal 82 ayat (2) UU Guru
dan Dosen untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan peraturan
perundang-undangan yang telah ada dengan pengaturan terkait Guru dan Dosen.
Dengan demikian, rekomendasi analisis kebijakannya adalah UU Guru dan Dosen
perlu dilakukan perubahan.