bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/s1-2016... · pasca orba...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru menandai perubahan peta politik di Indonesia dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perubahan tersebut turut memberi dampak pada konstelasi sistem politik nasional hingga aras lokal. Era reformasi memberikan peluang bagi berlangsungnya demokratisasi yang penuh dengan harapan. Demokratisasi yang salah satunya terejawantahkan dalam penerapan asas desentralisasi melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa. 1 Keruntuhan Rezim Orde Baru membawa implikasi terhadap situasi politik lokal. Transisi otoritarian menuju demokrasi, di satu sisi membawa harapan akan demokratisasi. Namun, di lain sisi banyak celah kontradiktif yang muncul dalam pelaksanaan proses politik oleh para elit politik itu sendiri. Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan, kemunculan dan peran elit poltik lokal tidak bebas dari campur tangan pemerintah. 1 Haryanto, “Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 13, November 2, 2009, 131–48.

Upload: dangkhanh

Post on 08-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru menandai perubahan peta politik

di Indonesia dari otoritarianisme menuju demokrasi. Perubahan tersebut turut

memberi dampak pada konstelasi sistem politik nasional hingga aras lokal. Era

reformasi memberikan peluang bagi berlangsungnya demokratisasi yang penuh

dengan harapan. Demokratisasi yang salah satunya terejawantahkan dalam

penerapan asas desentralisasi melalui penyelenggaraan pemerintahan daerah

membawa dampak yang mengguncang keberadaan dan peran elit politik lokal

yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa.1

Keruntuhan Rezim Orde Baru membawa implikasi terhadap situasi politik

lokal. Transisi otoritarian menuju demokrasi, di satu sisi membawa harapan akan

demokratisasi. Namun, di lain sisi banyak celah kontradiktif yang muncul dalam

pelaksanaan proses politik oleh para elit politik itu sendiri. Di era demokratisasi

dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit

politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara

individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat

rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan,

kemunculan dan peran elit poltik lokal tidak bebas dari campur tangan

pemerintah.                                                             1 Haryanto, “Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 13, November 2, 2009, 131–48. 

Page 2: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

2  

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk

mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru

menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan

keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah.

Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif

bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk

tetap dapat ‘survive’. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru

sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka

tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah

kontrolnya.2

Situasi ini secara tidak langsung merupakan implikasi dari formasi politik

pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang sedang

berlangsung. Politik pasca orba meletakkan demokrasi liberal sebagai basis

ideologinya. Hal ini menurut Hadiz (2004) merupakan kombinasi yang muncul

dari pemerintahan di tingkat lokal dengan demokrasi liberal akan lebih diterima

dan fleksibel dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar atau

neoliberalisme yang sangat determinan dalam proses politik, baik secara nasional

maupun di aras lokal. Demokrasi liberal menampilkan proses politik yang

dikuasai oleh elit semata yang tentu memiliki sumber daya politik untuk

membangun kekuasaan.

Demokrasi liberal membawa dirinya ke dalam nuansa paradoks.

Demokrasi seolah-olah dimiliki dan diperuntukkan bagi seluruh warga, namun

                                                            2 Ibid. 

Page 3: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

3  

pada kenyataannya ia dikuasai oleh elit. Demokrasi yang berlangsung juga tidak

sepenuhnya bebas dari nalar otoritarian, ia mewujud pula sebagai sebuah oligarki

(politik). Oligarki tersebut kemudian menjadi bagian dari fenomena politik di aras

lokal. Oligarki politik kerap disamakan dalam rumpun istilah politik seperti

politik dinasti, politik kekerabatan maupun politik patrimonial. Kendatipun

masing-masing istilah tentu memiliki konteks teori yang berbeda-beda.3 Istilah-

istilah politik tersebut selain terus diperdebatkan secara ontologis, juga membawa

nuansa problematis yang tak kunjung habis. Selain terkesan menyederhanakan

situasi politik, istilah tersebut kiranya belum mampu melihat fenomena politik

(lokal) dengan utuh. Namun, pada intinya kemunculan situasi-situasi tersebut

merupakan implikasi dari berlangsungnya demokrasi liberal.

Politik dinasti atau politik kekerabatan merupakan istilah yang lebih

familiar untuk mendefinisikan praktik politik yang berbasiskan pertalian darah

atau perkawinan, meskipun sebagian pengamat politik ada pula yang

menyebutnya sebagai oligarkhi politik.4 Peneliti akan menggunakan istilah

“Politik Kekerabatan” sebagai sebuah konsep politik dalam penelitian ini

sekaligus sebagai masalah utama yang akan diteliti.

Politik kekerabatan adalah produk yang paling kentara sebagai relasi banal

elit politik dengan kekuasaan daerah. Politik kekerabatan hadir bagaikan mengisi

cawan demokrasi muda Indonesia yang tengah berturbulensi dengan

demokratisasi yang terus melawan kultur otoritariansme cum feodalisme.

                                                            3 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia,” Analisis CSIS 40 (2011): 138–159. 4 Alim Bathoro, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi,” Jurnal FISIP UMRAH, no. 2, Volume 2 (n.d.): 115–125. 

Page 4: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

4  

Membahas tentang politik kekerabatan tentu tidak dapat dipisahkan dari

keberadaan elit lokal sebagai bagian dari strukturnya. Sejatinya, studi yang

berkaitan dengan elit lokal telah dilakukan oleh beberapa kalangan, antara lain

dilakukan oleh Abdur Rozaki (2004) dan Abdul Hamid (2006). Studi tersebut

memfokuskan pada peran yang dilakukan oleh elit lokal di tengah masyarakat,

dan hubungan ‘patronage’ yang tercipta dalam kaitannya antara elit dengan

massa. Studi tersebut juga menunjukkan hadirnya kekuasaan oligarkis yang

terbangun pada diri elit lokal yang sedemikian kokoh sehingga sulit untuk

dikontrol oleh massa.5

Penelitian-penelitain sebelumnya mengenai fenomena politik kekerabatan

melihat ketidaksiapan local leader di era reformasi sebagai alasan utama

kemunculannya. Militerisme warisan orba yang bertransfromasi ke dalam local

strongmen, bandit, local bosses, preman, hingga kelompok-kelompok berbasis

kekerasan, menandai dinamika politik yang rentan terhadap demokrasi substansial

sehingga memungkinan timbulnya krisis representasi. Analisis lain mengenai

fenomena politik kekerabatan cenderung mengarah kepada analisis institusionalis.

Yakni melihat bahwa politik kekerabatan merupakan bentuk kegagalan dari

institusi politik dalam membentuk demokrasi yang sehat. Partai politik sering

menjadi kambing hitam dalam analisis ini, kegagalan proses kaderisasi dan

pembentukan partai yang bersih membuat elite politik eksis dalam tempo lama

dalam memegang kemudi politik.

                                                            5 Haryanto, “Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik,” Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Volume 13, November 2, 2009, 131–148. 

Page 5: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

5  

Berdasarkan penelusuran Kompas6, setidaknya ada 37 kepala daerah

terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat negara lain. Mereka

tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara,

Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah

Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, dan Maluku.

Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati Indramayu Anna

Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS Syafiuddin. Demikian

pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti, Bupati Bantul Sri Suryawidati,

Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno,

yang melanjutkan posisi suami masing-masing. Adapun Mohammad Makmun

Ibnu Fuad menggantikan ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.

Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda sehingga

dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur Lampung

Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung Selatan Rycko

Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan anaknya, Ivan SJ

Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dan

adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.

Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut

Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota Tangerang

Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data tersebut belum

memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga legislatif.

                                                            6 Kompas Cyber Media, “Politik Dinasti, Cacat Demokrasi,” KOMPAS.com, accessed August 23, 2016, http://nasional.kompas.com/read/2013/10/19/0818271/Politik.Dinasti.Cacat.Demokrasi. 

Page 6: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

6  

Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang turut menjadi bagian dalam

praktik politik kekerabatan. Bagaimana tidak, selama ini Bantul selalu identik

dengan nama besar Samawi. Popularitas akan nama besarnya kerap kali disebut

sebagai rezim karena lamanya mereka berkuasa (15 tahun). Dominasi yang

dilakukan oleh rezim Samawi ini sukses membawa politik lokal di Bantul erat

dengan nama mereka dan menjadikannya sebagai figur representasi politik. Bantul

dibawah rezim Samawi menarik untuk dilihat dalam perspektif kritis. Dua periode

Idham Samawi memimpin Bantul dari tahun 2000-2010, diteruskan secara estafet

kepada sang istri, Sri Surya Widati Samawi pada periode 2010-2015.

Kemenangan-kemenangan yang dituai oleh rezim tersebut selalu telak.

Pada tahun 2000, Idham Samawi menjadi Bupati karena dipilih oleh DPRD

Kabupaten Bantul yang dikuasai oleh PDIP.7 Periode pemilihan berikutnya pada

tahun 2005, Idham Samawi kembali terpilih menjadi Bupati dalam pilkada

langsung dengan memperoleh suara sebesar 72%.8 Pilkada yang ketiga tahun

2010, giliran sang istri, Sri Surya Widati yang memenangkan pilkada Bantul

dengan perolehan suara mencapai 68%.9 Statistik-statistik tersebut kiranya

menunjukkan betapa kuatnya rezim Samawi menguasai demokrasi di Bantul.

Pilkada 2015 muncul sebagai kejutan besar sebab menjadi panggung

terakhir rezim Samawi dalam blantika politik lokal Kabupaten Bantul. Hasil

survei sebelum Pilkada menunjukkan bahwa Ida Samawi selalu unggul

                                                            7 “PDIP‐Golkar Menang Di Bantul, PAN Menang Di Gunungkidul,” Detiknews, accessed January 14, 2016, http://news.detik.com/berita/391012/pdip‐golkar‐menang‐di‐bantul‐pan‐menang‐di‐gunungkidul‐. 8 Ibid. 9 “Istri Gantikan Suami Jadi Bupati Bantul,” accessed January 14, 2016, http://politik.news.viva.co.id/news/read/153962‐calon_golkar_pan_menangi_pilkada_bantul. 

Page 7: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

7  

elektabilitasnya pada level internal partai ataupun nama-nama yang coba

ditarungkan dengannya.10 Tak disangka-sangka justru pasangan Suharsono-Halim

menang dengan perolehan suara 52,80% yang kemudian disusul pasangan Ida-

Munir dengan suara 47,20%.11 Tentu hal ini di luar prediksi para pengamat dan

memporak-porandakan anggapan publik bahwa Ida Samawi akan kembali menang

mudah dan telak. Fenomena kejatuhan politik kekerabatan ini menarik untuk

dikaji sebagai bagian dari kontestasi politik (pasca orba) di Bantul. Politik

kekerabatan ternyata tidak serta merta akan terus bercokol dan langgeng di pucuk

kekuasaa daerah. Fenomena ini tentu menjadi sebuah tanda yang menunjukkan

bahwa demokrasi di Bantul mengarah pada demokratisasi yang lebih variatif dan

tidak menjemukan.

Penelitian ini bermaksud mengidentifikasi kontestasi politik pasca orba di

Kabupaten Bantul dengan melihat konteks sosio-historis dan momentum-

momentum politik apa yang terjadi selama rezim Samawi berkuasa. Selain itu

fenomena “Politik Kekerabatan” menarik untuk dikaji sebagai realitas politik di

dalam kontestasi tersebut yang muncul sebagai diskursus dominan. Kekalahan

rezim Samawi pada Pilkada 2015 tak kalah menarik untuk dibahas sebagai bagian

akhir dari berlangsungnya politik kekerabatan di Bantul. Penelitian ini diharapkan

dapat menangkap fenomena politik lokal di Bantul secara utuh dan komprehensif.

                                                            10 Nina Atmasari‐Harian Jogja Digital Media, “PILKADA BANTUL : Hasil Survei, Ida Tak Tertandingi Di Internal PDIP,” Harianjogja.com, accessed January 25, 2016, http://www.harianjogja.com/baca/2015/03/31/pilkada‐bantul‐hasil‐survei‐ida‐tak‐tertandingi‐di‐internal‐pdip‐590017. 11 Nina Atmasari‐Harian Jogja Digital Media, “HASIL PILKADA BANTUL : Ini Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Resmi KPU,” Harianjogja.com, accessed January 25, 2016, http://www.harianjogja.com/baca/2015/12/17/hasil‐pilkada‐bantul‐ini‐hasil‐rekapitulasi‐penghitungan‐suara‐resmi‐kpu‐671828. 

Page 8: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

8  

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari pemaparan latar belakang penelitian di atas, maka terdapat

3 rumusan masalah berikut ini, yaitu:

1. Bagaimana konteks sosio-historis politik lokal di Bantul Pasca Orde

Baru?

2. Bagaimana kelangsungan politik kekerabatan rezim Samawi di Bantul

hingga membentuk hegemoni?

3. Bagaimana kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi dan formasi

sosial politik lokal pasca kejatuhan tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan utama dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi sejarah dan geneaologi politik lokal di Kabupaten

Bantul dengan melihat perjalanan era demi era politik sebagai social

setting.

2. Memahami kelangsungan Politik Kekerabatan hingga menjadi sebuah

rezim dan membentuk diskursus yang hegemonik.

3. Mengetahui situasi dan perubahan politik lokal di Kabupaten Bantul

pasca kekalahan rezim Samawi dalam pilkada terakhir.

Page 9: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

9  

D. Kerangka Konseptual

1. Politik Kekerabatan

Di Indonesia, politik kekerabatan identik dengan pemusatan

kekuasaan di keluarga atau kerabat politik tertentu.12 Ia kerap disamakan

dalam rumpun istilah politik seperti politik dinasti, oligarki politik, politik

patrimonial, hingga klientisme (meskipun masing-masing tentu memiliki

konteks yang berbeda). Politik kekerabatan paling sering disamakan

dengan istilah politik dinasti. Merujuk pada kesamaan aktor ataupun

agensi politik yang melangsungkan praktik politik, yakni berbasiskan pada

pertalian darah, perkawinan, hingga anggota keluarga.13

Popularitas sang tokoh telah membawa sanak familinya menjadi

orang yang dikenal ditengah masyarakat. Sepak terjangnya diikuti

masyarakat, sehingga manakala sang tokoh tidak bisa lagi menjadi pejabat

karena usia, masa jabatan, ataupun tutup usia. Maka sosok di lingkaran

tokoh tersebut dianggap mumpuni menggantikannya dan menjadi

kelompok elit politik. Kelompok elit adalah kelompok yang memiliki

kemampuan untuk yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan

politik. Sehingga, mereka kadang relatif mudah menjangkau kekuasaan

atau bertarung merperebutkan kekuasaan. Sebelum munculnya gejala

politik kekerabatan, kelompok elit tersebut diasosiasikan elit partai politik,

                                                            12 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia.” 13 Alim Bathoro, “Perangkap Dinasti Politik Dalam Konsolidasi Demokrasi.” 

Page 10: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

10  

elit militer dan polisi, elit pengusaha atau pemodal, elit agama, elit preman

atau mafia, elit artis, serta elit aktifis.14

Politik kekerabatan dalam jabatan kepala dan wakil kepala daerah

sesungguhnya terjadi secara luas. Puluhan kepala daerah terpilih ataupun

gagal dalam pilkada terindikasi punya hubungan kekerabatan dengan

pejabat lain. Berdasarkan penelusuran Kompas15, setidaknya ada 37 kepala

daerah terpilih yang memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat

negara lain. Mereka tersebar di Provinsi Lampung, Banten, Sulawesi

Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa

Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Maluku.

Sebagian kerabat meneruskan jabatan yang sama. Bupati

Indramayu Anna Sophanah meneruskan jabatan dari suaminya, Irianto MS

Syafiuddin. Demikian pula dengan Bupati Kendal Widya Kandi Susanti,

Bupati Bantul Sri Suryawidati, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari,

dan Bupati Kediri Haryanti Sutrisno, yang melanjutkan posisi suami

masing-masing. Adapun Mohammad Makmun Ibnu Fuad menggantikan

ayahnya, Fuad Amin, sebagai Bupati Bangkalan.

Pola lainnya adalah maju dalam pilkada dengan posisi berbeda

sehingga dinasti politik bisa terbangun lebih besar. Contohnya, Gubernur

Lampung Sjachroedin ZP, sedangkan anaknya menjadi Bupati Lampung

Selatan Rycko Menoza. Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang dan

                                                            14 Ibid. 15 Media, “Politik Dinasti, Cacat Demokrasi.” 

Page 11: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

11  

anaknya, Ivan SJ Sarundajang, Wakil Bupati Minahasa. Gubernur Sulsel

Syahrul Yasin Limpo, dan adiknya, Ichsan Yasin Limpo, Bupati Gowa.

Contoh lebih luas adalah dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut

Chosiyah. Keluarganya menjabat Wakil Bupati Pandeglang, Wali Kota

Tangerang Selatan, Wakil Bupati Serang, dan Wali Kota Serang. Data

tersebut belum memasukkan kekerabatan yang duduk di lembaga

legislatif.

Politik kekerabatan dalam perspektif legal formal merupakan

akibat dari proses politik perundang-undangan yang dangkal serta tidak

mempunyai paradigma yang jelas. Absennya niat baik para penyusun

undang-undang menjadi kausa suburnya politik kekerabatan dewasa ini.

Keputusan Mahkamah Konstitusi menemukan validitasnya karena daya

pukul Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ternyata sangat mudah

dilumpuhkan oleh para petahana dengan mengundurkan diri agar sanak

saudaranya atau kroninya dapat menjadi kandidat kepala/wakil kepala

daerah. Perspektif tersebut sejalan dengan berbagai kajian politik dinasti

antara lain di negara yang dianggap kampiun demokrasi, Amerika Serikat.

Politik dinasti bukan sebab, melainkan akibat melekat dari hakikat

kekuasaan itu sendiri.16

Studi politik yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo,

dan Jason Snyder (2007) mengenai kekerabatan politik di Kongres                                                             16 Kompas Cyber Media, “Politik Dinasti, Sebab Atau Akibat?,” KOMPAS.com, accessed August 23, 2016, http://nasional.kompas.com/read/2015/07/21/17055371/Politik.Dinasti.Sebab.atau.Akibat. 

Page 12: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

12  

Amerika Serikat sejak berdirinya tahun 1789 memberikan beberapa

catatan. Pertama, terjadi korelasi antara politik kekerabatan dan kompetisi

politik. Merebaknya politik kekerabatan berbanding lurus dengan

kompetisi politik yang tidak sehat. Semakin tidak adil aturan main dalam

kontestasi politik, semakin menyuburkan politik kekerabatan. Kedua,

semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung

mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan

yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan

mereka disebut dengan power begets power.

Hal yang mirip juga pernah dikemukakan Robert Michel (1911),

dengan teorinya yang disebut hukum besi oligarki (the iron law of

oligarchy). Intinya, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang

demokratis, pemimpin cenderung mencengkeram kekuasaannya dan

menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi. Putnam (1976) juga

mengingatkan, elite politik pemegang kekuasaan cenderung

melanggengkan kekuasaan (self perpetuating) meskipun mengakibatkan

pembusukan terhadap institusi itu sendiri. Politik kekerabatan juga

semakin meluas karena sistem kekerabatan, seperti favoritisme atau

patronase, kroniisme, dan nepotisme.17

Selain itu, menurut Marcus Mietzner (2009), dalam paper yang

berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme, Dynasties and the

Consolidation of the Party System, menilai bahwa kecenderungan politik

                                                            17 Ibid. 

Page 13: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

13  

kekerabatan cukup menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik

politik kekerabatan menurutnya tidak sehat bagi demokrasi. Antara lain

karena kontrol terhadap pemerintah yang diperlukan dalam demokrasi,

misalnya checks and balances, menjadi lemah.

Kecenderungan pewarisan politik dalam pola pemerintahan lokal

ini berakibat pada pencideraan demokrasi Indonesia. Tidak menjadi

masalah ketika keluarga yang menggantikan posisi kepala daerah

mempunyai kapabilitas yang cukup untuk melanjutkan pemerintahan.

Namun kecenderungan justru menunjukkan bahwa pewarisan politik

kekerabatan ini mengarah pada kelanggengan kekuasaan di daerah. Bisa

saja seorang bupati yang menggantikan suaminya dalam hal pengambilan

keputusan dan penetapan kebijakan masih dipengaruhi oleh sang suami.

Dalam artian bahwa istri hanya dipergunakan sebagai alat oleh sang suami

untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal inilah yang menjadi dilema

dalam demokrasi lokal, disatu sisi pilkada merupakan mekanisme yang

baik dalam aktualisasi kehidupan demokrasi, namun disisi lain terdapat

pencideraan demokrasi akibat munculnya politik kekerabatan yang pada

akhirnya hanya bertumpu pada kelanggengan kekuasaan seseorang.

Berkembangnya politik kekerabatan di Indonesia pada masa

demokrasi elektoral saat ini sungguh merupakan suatu kecenderungan

yang perlu diperlambat bahkan jika mungkin diakhiri. Hal ini tentu tidak

lepas dari banyaknya keburukan dan kelemahan tatanan politik yang diisi

oleh kekerabatan maupun politik kekerabatan tertentu, karena sulitnya

Page 14: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

14  

kritik, pengawasan, maupun mekanisme checks and balances untuk dapat

berjalan. Dengan bertumbuhnya politik kekerabatan, maka playing field

juga akan semakin timpang karena politik kekerabatan sudah dapat

mengakumulasi pengaruh, kekayaan, penguasaan terhadap wilayah,

maupun kontrol ekonomi tertentu akan lebih mungkin memenangkan

kontestasi politik, dibandingkan calon lain yang sumber dayanya masih

terbatas dan hanya mengandalkan kekuatan harapan.18

Politik kekerabatan menjadi pilihan yang menarik bagi parpol

untuk memenangkan posisi-posisi politik karena adanya keunggulan-

keunggulan elektoral yang nyata dari mereka ini, seperti popularitas,

kekuatan sumber daya finansial, serta kemampuan mobilisasi massa

melalui pengaruh tokoh kekerabatan politik yang sedang menjabat. Dalam

kompetisi pemilukada yang sangat liberal ini, kontestasi terjadi bukan

dalam tingkat ide maupun program, namun lebih dalam pencitraan dan

bahkan Iebih parah Iagi dengan kekuatan uang. Vote buying secara

langsung ke pemilih atau di panitia pemungutan suara terjadi di banyak

tempat, dan ini sudah menjadi semacam mekanisme pamungkas

pemenangan kandidat.19

Kenyataan di atas adalah sebuah trend yang menarik untuk dikaji.

Boleh jadi sebagian orang menganggap wajar hal tersebut muncul, namun

sebagaian lagi menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap

demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut transparansi dari

                                                            18 Nico Harjanto, “Politik Kekerabatan Dan Institusionalisasi Partai Politik Di Indonesia.” 19 Ibid. 

Page 15: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

15  

semua proses politik tertekan oleh politik kekerabatan. Oleh karena itu

wajar bilamana munculnya politik kekerabatan dianggap membahayakan

kelangsungan demokrasi di Indonesia.20

2. Teori Hegemoni Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe

Menurut Laclau dan Mouffe, hegemoni pertama kali muncul bukan

sebagai persebaran yang luar biasa dari sebuah identitas, melainkan sebuah

respon terhadap terjadinya krisis. Dalam memberikan ilustrasi dari

munculnya konsep hegemoni, bagian pertama buku Hegemoni dan

Strategi Sosialis21 diawali dengan subjudul “The Dilemmas of Rosa

Luxemburg” yang merujuk pada karya Rosa Luxemburg tahun 1906 yakni

The Mass Strike, the Political Party and the Trade Unions. Dalam

karyanya itu, Luxemburg melihat bahwa fragmentasi dalam kelas buruh

merupakan sebuah keharusan, sebagai akibat struktural dari kapitalisme

tahap lanjut. Meskipun begitu, Luxemburg juga melihat bahwa pada saat

yang sama, prospek bagi perjuangan revolusioner bukan ditandai oleh

bekerjanya hukum-hukum ekonomi, melainkan oleh terbentuknya

persatuan kelas buruh secara spontan, melalui medium aksi simbolik. Cara

pandang Rosa Luxemburg ini yang menunjukkan adanya keterpisahan

“teori” dengan “praktik” menunjukkan tanda-tanda atau gejala yang jelas

dari krisis dalam Marxisme, yang menjadi titik-awal analisa Laclau dan

Mouffe.                                                             20 Ibid. 21  Ernesto  Laclau  and  Chantal  Mouffe,  Hegemoni  Dan  Strategi  Sosialis:  Postmarxisme  Dan Gerakan Sosial Baru (Yogyakarta: Resist Book, 2008). 

Page 16: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

16  

Akibat langsung dari reaksi-reaksi tersebut, yang berujung kepada

fragmentasi sosial, adalah kemunculan konsep “hegemoni” sebagai area

dari sebuah “logika politik” yang baru. Dalam diskursus Marxisme

ortodoks, konsep tersebut hanya berada di tempat yang marjinal, sebagai

penanda untuk teoritisasi peristiwa-peristiwa yang tidak beraturan.

Misalnya dalam tulisan-tulisan Plekhanov, hegemoni mengarahkan

keberagaman tugas-tugas (ekonomi dan politik) yang dipaksakan terhadap

kaum proletar di Russia sebagai hasil dari keterbelakangan ekonomi.

Menurut Laclau dan Mouffe, hubungan relasi pada titik ini hanya

semata-mata dilihat sebagai, “suplemen dari hubungan-hubungan kelas”.

Dengan membedakannya lewat cara Saussure, bisa dikatakan “hubungan

hegemonik selalu merupakan parole, sedangkan hubungan kelas

merupakan langue”.22 Mereduksi hegemoni hanya sekedar status suplemen

tetap dipraktekkan dalam Leninisme, khususnya dalam rumusan Lenin

soal “aliansi kelas” yang diposisikan di bawah kepemimpinan partai

proletariat sebagai garda depan. Merujuk pada “pemusatan ontologis”

kepada proletariat, aliansi kelas dalam kasus ini tidaklah mengubah

identitas-identitas kelas secara esensial yang mengarahkan penyatuan

mereka dengan tuntutan-tuntutan demokratis yang implisit dalam

praktik-praktik hegemonik.

Laclau dan Mouffe menilai terjadinya patahan penting dalam

konsep hegemoni terhadap esensialisme Marxisme yang dipelopori oleh

                                                            22 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics (London: Verso, 2001), 51. 

Page 17: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

17  

Antonio Gramsci. Secara khusus Mouffe menilai bahwa pokok terpenting

bagi analisa mengenai konspesi ideologi yang dioperasikan dalam

hegemoni Gramscian adalah melakukan studi dalam hal bagaimana

Gramsci menggambarkan proses formasi hegemoni yang baru.23 Bagi

Lacalu dan Mouffe, Gramsci keluar dari deterministik identitas kelas

peninggalan Plekhanov dan Lenin, dan memfokuskan pada

pengelompokan sosial yang lebih luas yang ia sebut “blok historis” di

mana kesatuan tujuan atau “keinginan kolektif” yang diusung atas dasar

kepemimpinan intelektual dan moral dalam konteks hegemoni politik dan

kultural.

Gramsci menekankan bahwa hegemoni berhasil ketika kelas

penguasa berhasil menyingkirkan kekuatan oposisi, dan memenangkan

persetujuan – baik secara aktif maupun pasif – dari para sekutunya.24

Menurut Gramsci, subyek dari tindakan politik tidak dapat

diidentifikasikan dengan kelas-kelas sosial, pada saat mereka mencapai

bentuk “keinginan kolektif” yang menciptakan ekspresi politik dari sistem

hegemoni yang dikonstruksi melalui ideologi. Formasi dari sebuah

keinginan kolektif bukanlah konsekuensi dari tekanan ideologi kelas

dominan terhadap kelas-kelas lainnya, melainkan produk dari reformasi

moral dan intelektual, yang mengartikulasikan kembali elemen-elemen

ideologis. Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa hegemoni dalam

pemahaman Gramsci adalah mengorganisir persetujuan – proses yang                                                             23 Ibid., 122–125. 24 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks (London: Lawrence and Wishart, 1986), 104–105. 

Page 18: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

18  

dilakukan melalui bentuk-bentuk kesadaran yang tersubordinasi

dikonstruksi tanpa harus melalui jalan kekerasan atau koersi. Blok

penguasa ini tidak hanya beroperasi di tataran masyarakat politik (political

society), tetapi juga di seluruh masyarakat (civil society).25

Hegemoni adalah bagaimana elemen partikular mampu

mengkonstruksi tuntutan mereka menjadi universal. Sebagaimana dalam

pandangan Louis Althusser, proses seperti dominasi negara terhadap

masyarakat berlangsung melalui aparat-aparat ideologis negara yang

mengkonstruksi kesadaran palsu dalam masyarakat, dan membentengi

masyarakat dari pembentukan pengetahuan akan adanya eksploitasi dan

penindasan. Kesadaran palsu membentuk masyarakat menyetujui

tindakan-tindakan yang diambil oleh negara, sekalipun tidak berkesusaian

dengan kepentingan mereka, proses ini yang disebutnya proses

hegemonisasi yang membuat kelas yang menguasai negara dapat bertahan

lama.26

Namun hal terpenting dari konsepsi hegemoni Gramsci – maupun

lainnya – adalah bagaimana hegemoni merupakan bentuk dari masyarakat

sipil untuk membangun kekuatan politiknya dalam menghadapai rejim

yang opresif dan represif. Dalam konteks ini Gramsci membedakan dua

bentuk hegemoni yakni: transformisme dan hegemoni ekspansif. Kedua

bentuk ini melibatkan sebuah proses simultan revolusi-restorasi. Restorasi

                                                            25 Michelle Barrett, The Politics of Truth: From Marx to Foucault (California: Stanford University Press, 1991), 54. 26 Louis Althusser, Ideology and Ideological State Apparatuses: Notes Towards an Investigation (New York: Monthly Review Press, 2001), 98–99. 

Page 19: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

19  

cenderung mendominasi bentuk transformisme, sementara revolusi

cenderung mendominasi bentuk hegemoni ekspansif.

Transformisme bisa dilihat sebagai tipe defensif dari politik, yang

diikuti oleh kekuatan hegemonik dalam sebuah situasi krisis ekonomi dan

politik, dan melibatkan absorpsi secara gradual namun terus-menerus,

dicapai melalui metode yang selalu berubah-ubah sesuai dengan

efektivitas dari elemen-elemen aktif yang diproduksi oleh

kelompok-kelompok yang beraliansi – dan bahkan dari

kelompok-kelompok atau individu yang merupakan kelompok

antagonistik dan kelihatannya merupakan lawan yang tidak terdamaikan.27

Tujuan dari bentuk ini adalah sebuah konsensus yang pasif, yang bisa

menetralisir kekuatan politik yang antagonistik dan memecah- belah

massa.28 Dengan kata lain transformisme merupakan revolusi tanpa massa

– revolusi yang pasif.

Hegemoni ekspansif memiliki karakter anti revolusi pasif. Strategi

dari hegemoni ekspansif adalah berusaha melakukan counter terhadap

upaya kaum borjuis untuk menjaga kepemimpinannya dengan melakukan

regrouping dan rekomposisi dari kekuatan blok hegemonik. Juga

merupakan bentuk strategi ofensif untuk membangun konsensus aktif,

untuk memobilisasi massa dalam sebuah revolusi yang meliputi perubahan

superstruktur politik dan ideologis, dan juga infrastruktur ekonomi.

Hegemoni ekspansif meliputi formasi keinginan bersama, dengan karakter

                                                            27 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks, 58–59. 28 Chantal Mouffe, Gramsci and Marxist Theory (London: Routledge, 1979), 182. 

Page 20: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

20  

nasional-populer, yang dapat memajukan perkembangan secara utuh dari

tuntutan partikular, dan akhirnya memimpin revolusi dari kontradiksi yang

dinyatakan.29 Sebagaimana dinyatakan Gramsci, tahapan paling politis,

dan menandai keputusan mutlak dari sebuah proses yang maju dari

struktur ke wilayah superstruktur yang kompleks; ini adalah tahapan di

mana ideologi-ideologi yang sebelumnya mulai tumbuh dan kemudian

menjadi “partai”, masuk ke dalam pertentangan dan konflik, sampai satu

di antaranya, atau setidaknya sebuah kombinasi dari keduanya, cenderung

untuk tampil, untuk menguasai, untuk menyebarkan dirinya ke seluruh

masyarakat – membawa serta bukan hanya kesatuan dari tujuan-tujuan

ekonomis dan politis, tetapi juga kesatuan moral dan intelektual,

mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perjuangan yang tidak

hanya bersifat komunal tetapi juga “universal”, yang kemudian

menciptakan hegemoni sebuah kelompok sosial fundamental atas

kelompok-kelompok yang tersubordinasi.30

Jadi hegemoni bekerja dari dua arah, yakni top-down, pada saat

rejim opresif melakukan hegemonisasi, juga bottom-up, pada saat terjadi

resistensi masyarakat terhadap penindasan atau tekanan rejim. Namun

Gramsci menitikberatkan bahwa perjuangan hegemonik menempatkan

buruh sebagai aktor utama dalam pembentukan blok historis baru sebagai

tahap paling politis dari proses hegemoni.

                                                            29 Antonio Gramsci, Selections From Prison Notebooks, 132–133. 30 Ibid., 181–182. 

Page 21: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

21  

Laclau dan Mouffe mendasarkan analisis politik mereka pada teori

hegemoni Gramsci. Bagi Laclau, hegemoni merupakan “kategori pokok

dalam analisa politik”. Namun, sekalipun memijakkan analisanya pada

pemikiran Gramsci, Laclau dan Mouffe menambahkan dimensi- dimensi

lain dari pemikiran Gramsci. Berbeda dengan Gramsci, Laclau dan Mouffe

tidak lagi memfokuskan kelas buruh sebagai agen dari praktek hegemoni.

Mereka mengajukan tesis mengenai agen sosial baru, yang bisa mengisi

ruang kosong dalam gerakan sosial, ketika gerakan buruh melemah, dan

menjadi kekuatan yang tidak strategis dalam gerakan sosial di penghujung

abad keduapuluh.

Meskipun berpijak pada teori hegemoni Gramsci, Laclau dan

Mouffe memiliki perbedaan dengan pemikiran Gramsci dalam melakuan

analisa terhadap kepolitikan, di mana Gramsci memijakkan paradigma

teoritiknya pada analisa kelas, sementara Laclau dan Mouffe memijakkan

paradigma teoritiknya pada analisa diskursus (discourse analysis).

Teori diskursus Laclau dan Mouffe berasumsi bahwa semua obyek

dan tindakan memiliki makna, dan maknanya merupakan produk dari

sistem-sistem partikular yang memiliki perbedaan-perbedaan signifikan,

yang bersifat spesifik secara historis. Teori ini menelaah bagaimana

praktek-praktek sosial mengartikulasikan dan mengkontestasikan

diskursus-diskursus yang membentuk realitas sosial. Praktek-praktek ini

Page 22: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

22  

menjadi mungkin karena sistem-sistem pemaknaan bersifat contingent31

dan tidak pernah secara penuh/tetap (fixed) menuntaskan wilayah yang

sosial dari pemaknaan.32

Diskursus dalam ranah pemikiran teoritik Laclau dan Mouffe

dijelaskan sebagai, “totalitas terstruktur yang dihasilkan dari praktek

artikulasi”,33 yang mereka contohkan dengan: “Jika saya menyepak sebuah

benda bulat di jalanan, atau jika saya menendang sebuah bola dalam

sebuah pertandingan sepakbola, kenyataan fisiknya adalah sama, namun

maknanya berbeda. Obyeknya hanyalah sepakbola hanya jika itu

membentuk suatu sistem hubungan dengan obyek lainnya, dan

hubungan-hubungan ini tidaklah terberi oleh sekedar rujukan materialitas

obyek-obyek, melainkan dibentuk secara sosial.”34

Dalam teorisasi mereka, teori diskursus meliputi seperangkat

pemahaman luas terhadap politik (the political), yang tak semata-mata                                                             31  Istilah  contingent  atau  contingency  agak  sulit  dicarikan  padanan  katanya  dalam  bahasa Indonesia. Secara umum dipahami sebagai keadaan yang bergantung pada sesuatu. Dalam teori Laclau dan Mouffe,  contingency bersifat  sebagai  kondisi‐kondisi bagi  kemungkinan  (possibility) sekaligus  juga  sebagai  kondisi‐kondisi  bagi  pembatasan  (finitude).  Identitas  sosial  bersifat contingent,  karena  dibentuk  oleh  keadaan  di  luar  dirinya.  Atau  dalam  penjelasan  Laclau: “contingency bukan berarti sekedar seperangkat hubungan‐hubungan eksternal dan bersifat acak di antara identitas‐identitas, melainkan ketidakmungkinan dari penetepan dengan presisi apapun baik  hubungan‐hubungan maupun  identitas‐identitas”.  Lihat  Ernesto  Laclau,  New  Reflections,   hal. 20. 32 Sebagaimana sudah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, menurut Laclau, teori    diskursus sebagaimana  dipahami  dalam  analisa  politik  dari  pendekatan  yang  berkaitan  dengan  gagasan hegemoni,  berakar  pada  tiga  perkembangan  pemikiran  filsafat  abad  20.  Yakni  filsafat  analitis (pemikiran Wittgenstein yang belakangan),   fenomenologi (analitis eksistensial   Heidegger), dan strukturalisme dalam kritik post‐structuralism atas tanda (Barthes, Derrida, Lacan). Tiga aliran ini sangat penting dalam membentuk dasar  filosofis dari  teori hegemoni,  tetapi yang paling akhir, yakni post‐structuralist, yang kemudian menjadi paling penting dan   berpengaruh. Lihat Ernesto Laclau, Philosophical Roots of Discourse Theory, hal.  1. 33 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, 105. 34 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Post‐Marxist Without Apologies (London: New Left Review, 1987), 82. 

Page 23: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

23  

dibatasi oleh lembaga-lembaga (institusi-institusi), namun lebih dari itu,

the political dipahami sebagai sesuatu yang bersifat konstitutif terhadap

(makna) yang sosial (the social), dan secara parsial (contingent)

pemaknaannya ditetapkan (fixed) dalam konstruksi-konstruksi sosial.35

Laclau memberikan tekanan bahwa diskursus-diskursus bersifat contingent

dan produk dari konstruksi historis, yang akan selalu rentan terhadap

kekuatan politik yang dieksklusi dari yang diproduksi, sebagaimana juga

akibat-akibat dislokasi dari peristiwa-peristiwa yang berada di luar

kontrol.36

Dalam analisis diskursus yang dikembangkan Laclau dan Mouffe,

penting untuk merujuk pada konspesi dislokasi (dislocation). Laclau

berpendapat bahwa tindakan para subyek terjadi karena pentingnya

diskursus yang menyampaikan identitas subyek tersebut. Menurut Laclau,

dislokasi memiliki sisi produktif “di satu sisi mengancam

identitas-identitas, di sisi lain merupakan landasan di mana identitas

dibentuk”.37 Oleh karena itu, jika dislokasi merusak identitas dan

diskursus, maka dislokasi juga menimbulkan kelemahan di tingkat makna

yang mendorong dibentuknya konstruksi diskursif baru, yang bertujuan

untuk menambal struktur yang terdislokasi. Laclau mengkarakterisasi

proses dislokasi sebagai, “Subversi diskursus hegemonik oleh

peristiwa-peristiwa yang tidak berhasil didomestifikasikan,

                                                            35  Ernesto  Laclau  and  Chantal Mouffe,  Hegemony  and  Socialist  Strategy:  Towards  A  Radical Democratic Politics, 113. 36 Ernesto Laclau, New Reflections on the Revolution of Our Time (London: Verso, 1990), 31–36. 37 Ibid., 39. 

Page 24: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

24  

disombolisasikan atau diintegrasikan di dalam diskursus”. Laclau

melanjutkan, “[…] dengan membuka tata-aturan sosial kepada

praktek-praktek diskursif lainnya, dislokasi-dislokasi merupakan pondasi

pada mana perubahan politik dimungkinkan dan identitas-identitas baru

terbentuk”.38 Hal ini mengasumsikan kategori dislokasi, yang merujuk

pada proses dengan mana contingency dalam struktur diskursif dibuat

kasat mata. Jadi secara umum dislokasi merupakan peristiwa yang tidak

dapat disimbolkan oleh aturan diskursif yang ada, dan menjadi fungsi yang

merusak aturan tersebut. Subyeknya dipaksa untuk mengambil keputusan

atau mengidentifikasikan proyek-proyek politik tertentu, serta diskursus

yang diartikulasikan pada mana identitas politik mengalami krisis dan

struktur harus diciptakan kembali.

Dalam tesis hegemoninya, Laclau memperkenalkan konsep empty

signifiers. Empty signifier merupakan “a signifier without a signified” atau

“penanda tanpa petanda”. Perbedaan antara floating signifiers dan empty

signifiers, yang mana floating signifiers dilihat sebagai elemen- elemen

ambigu yang disebabkan oleh pluralitas pemaknaan dalam sebuah wilayah

diskursif. Sedangkan empty signifiers yang menciptakan nodal point, di

mana empty signifiers dimungkinkan bukan karena pemaknaan yang

berlebihan (surplus of meaning), tetapi dikarenakan ketidakmungkinan

struktural dari penandaan.39

                                                            38 Ibid. 39  Dalam  terminologi  Lacanian,  keberadaannya  (exist)  disebabkan  oleh  “lack  of  being”  dalam setiap  tatanan  simbolik  (symbolic  order).  Ketidakmungkinan  tersebut  muncul  keluar  dari inabilitas  setiap  perbedaan  linguistik  yang  bersifat  internal  untuk  mewakili  sistematika  dari 

Page 25: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

25  

Di sini Laclau berargumen bahwa “the presence of empty signifiers

[…] is the very condition of hegemony”.40 Ini dikarenakan “relasi

hegemonik” merujuk pada mana sebuah penanda partikular (“people”,

“nation”, “revolution”) dikosongkan (emptied) oleh makna partikularnya

sendiri, dan muncul merepresentasikan “the absent fullness”

(ketidakhadiran yang utuh) dari tatanan simbolik. Dalam istilah sosial,

empty signifier muncul untuk memainkan fungsi universal yang

merepresentasikan suatu komunitas atau tatanan sosial secara

keseluruhan.41 Contoh yang diajukan Laclau dalam menjelaskan floating

dan empty signifiers bisa dilihat berikut, Sebuah penanda seperti

“demokrasi”, misalnya, merupakan penanda yang mengambang:

maknanya akan berbeda baik dalam diskursus liberal, anti-fasis radikal dan

anti-komunis konservatif. Namun, bagaimanakah pengembangan ini

terstruktur? Pertama-tama, untuk yang mengambang menjadi

dimungkinkan hubungan di antara penanda dan petanda telah mengalami

kekenduran – jika penanda melekat kuat pada satu dan hanya satu-satunya

petanda, yang mengambang tidak bisa mengambil tempat”.42

Jika “demokrasi” dipresentasikan sebagai sebuah komponen pokok

dari “dunia yang bebas”, penetapan makna dari istilah tersebut tidak akan

muncul semata-mata hanya dengan mengkonstruksi baginya (demokrasi)

                                                                                                                                                                   keseluruhan sistem. Paradoksnya, hanya signifier yang menegasikan sistem pembedaan (system of difference) yang memungkinkan sistem tersebut merepresentasikan dirinya. Signifier tersebut –  empty  signifier  –  yang membentuk,  baik  kemungkinan  dan  ketidakmungkinan,  pada  setiap rantai penandaan (signifying chain). 40 Ernesto Laclau, Emancipation(s) (London: Verso, 1996), 43. 41 Ibid., 45–46. 42 Ernesto Laclau, The Death and Resurrection of the Theory of Ideology (London, 1997), 305. 

Page 26: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

26  

sebuah posisi diferensial, tetapi dengan membuat darinya, satu dari

nama-nama masyarakat yang sudah penuh (fullness) di mana “dunia yang

bebas” dicoba untuk diujudkan, dan ini melibatkan didirikannya sebuah

hubungan yang setara dan sama dengan semua istilah-istilah lainnya dalam

diskursus tersebut. “Demokrasi” bukanlah sinonim dari “kebebasan pers”,

“mempertahankan hak milik” ataupun “afirmasi atas nilai-nilai

kekeluargaan”. Namun apa yang memberikannya dimensi ideologis yang

spesifik terhadap diskursus ‘dunia yang bebas’ adalah pada mana setiap

komponen-komponen diskursif tersebut tidaklah tertutup dalam

keterbedaan partikularitasnya sendiri, melainkan berfungsi juga sebagai

sebuah nama alternatif bagi totalitas kesetaraan pada mana hubungan-

hubungan mereka dibentuk. Jadi, mengambangkan dan mengosongkan

sebuah istilah adalah dua sisi dari bekerjanya diskursif yang sama.43

Jadi dalam pandangan Laclau dan Mouffe, hegemoni secara umum

memiliki validitas dalam menganalisa proses disartikulasi dan reartikulasi

yang bertujuan untuk menciptakan dan menjaga politik, sebagaimana juga

kepemimpinan moral-intelektual. Karena itu bagi Laclau dan Mouffe,

hegemoni merupakan praktek artikulasi yang membangun nodal points

(titik temu), yang secara parsial memperbaiki makna sosial dalam sebuah

sistem difference yang tersusun.44

                                                            43 Ibid. 44 Ernesto Laclau and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards A Radical Democratic Politics, 134–137. 

Page 27: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

27  

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Untuk mengekplorasi lebih jauh fenomena politik kekerabatan di

Kabupaten Bantul, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

dengan metode etnografi. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian

pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan

gejala yang ada dalam kehidupan sosial.45 Sedangkan etnografi menjadi

preferensi utama di dalam penelitian ini karena mendorong sekaligus

memberikan keleluasaan kepada peneliti untuk terlibat secara aktif dan

mendalam dengan kelompok dan lingkungan dimana penelitian

dilakukan. (Bryman, 2012)

Keterlibatan secara aktif dengan informan meliputi wawancara

yang mendalam dalam jangka waktu tertentu, mendeskripsikan setting dan

latar belakang informan, dan mengumpulkan dokumen-dokumen

mengenai informan yang relevan dengan fokus penelitian. Oleh karena itu,

di dalam mengoperasionalisasikan pendekatan etnografi, penelitian ini

akan menggunakan dua metode utama yakni indepth interview dan data

sekunder. Data sekunder akan dikumpulkan dari berbagai sumber,

termasuk dari pemberitaan media massa, laporan pemerintah hingga LSM-

LSM terkait. Sementara in-depth interview akan dilakukan melalui

wawancara yang mendalam dengan kelompok-kelompok representatif

                                                            45 Bambang Rudito, Melia Famiola, 2008, Social Mapping Metode Pemetaan Sosial, Bandung: Rekayasa Sains 

Page 28: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

28  

seperti jurnalis lokal, aktivis LSM, budayawan, DPRD, hingga Idham

Samawi selaku mantan bupati.

Pendekatan etnografi yang dipakai dalam penelitian ini untuk

mengamati secara mendalam dinamika politik lokal yang ada di

Kabupaten Bantul sebagai bagian dari entitas politik lokal di Indonesia.

Fenomena politik kekerabatan di dalam politik lokal sejatinya harus dilihat

secara utuh dalam konteks geopolitik nasional yang membentuknya. Hal

ini penting untuk menemukan simpul-simpul penyebab terjadinya politik

kekerabatan. Oleh sebab itu, metode etnografi dirasa mampu membedah

fenomena politik kekerabatan tersebut dengan kontekstual, tajam, dan

analitif.

2. Penentuan Informan Penelitian

Di dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat proses demokrasi

(untuk melihat politik kekerabatan) dari dua dimensi, yaitu dimensi

pemangku kuasa (ekskutif dan legislatif) dan dimensi masyarakat sipil.

Oleh sebab itu dalam penelitian ini terdapat dua kelompok yang menjadi

informan. Kelompok pertama adalah kelompok masyarakat sipil yang

merepresentasikan rakyat Bantul, diwakili oleh beberapa informan yaitu:

a. Bambang Muryanto - Aliansi Jurnalis Independen - (wawancara

tentang konteks politik lokal orba dan pasca-orba, pengaruh media

lokal)

Page 29: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

29  

b. Wahyu - Forum LSM - (wawancara tentang hegemoni dinasti Samawi

terhadap civil society, respon civil society dalam struktur politik

kekerabatan)

c. Marwan – Budayawan - (wawancara tentang local bosses dan local

strongmen, partai politik)

d. Bondan Nusantara - Budayawan - (wawancara tentang konteks politik

lokal orba dan pasca-orba, gerakan-gerakan sosial yang dulu

menyokong idham samawi, respon civil society dalam politik

kekerabatan)

e. Irwan – Masyarakat Transparansi Bantul - (wawancara tentang kasus-

kasus hukum dalam rezim Samawi)

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok elite politik lokal yang

menjadi pemangku kuasa di Kabupaten Bantul, diwakili oleh beberapa

informan yaitu:

a. Anggota DPRD dari PDIP selaku partai pendukung pemerintah

b. Anggota DPRD dari PKS selaku pihak oposisi

c. Idham Samawi selaku mantan Bupati Bantul

3. Teknik Pengumpulan Data

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini menggunakan dua metode, yakni indepth

interview dan data sekunder. Indepth interview atau wawancara mendalam

digunakan untuk wawancara langsung kepada informan subjek penelitian

Page 30: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

30  

ini yang peneliti anggap representatif dalam konteks demokrasi politik,

yakni para jurnalis lokal, aktivis LSM, budayawan, DPRD, hingga Idham

Samawi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan prinsip triangulasi,

dimana data yang diperoleh dari informan akan di crossceck kepada

informan lain untuk memperoleh data yang valid.

Sedangkan untuk data sekunder, peneliti akan melakukan studi

pustaka dengan mengumpulkan materi-materi yang berasal dari buku,

jurnal, riset-riset yang sudah dilakukan sebelumnya, berita dari media

massa nasional maupun lokal, hingga laporan pemerintah tentang program

pembangunan. Data sekunder penting untuk digunakan dalam penelitian

ini untuk memperkaya data-data yang peneliti nanti temukan, sehingga

politik kekerabatan di Kabupaten Bantul dapat dipahami secara utuh.

4. Instrumen Penelitian

Sebelum melakukan wawancara kepada informan, seorang peneliti

lebih baik menyusun interview guide guna mempermudah proses

wawancara. Berikut merupakan daftar interview guide dalam penelitian

ini:

Page 31: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107354/potongan/S1-2016... · pasca orba yang tengah mencari bentuk dari kontestasi ideologi yang ... Membahas tentang politik

31  

Tabel 1 : Tabel Daftar Interview Guide

Breakdown Rumusan Masalah

Interview Guide Jenis Data Metode Pengumpulan Data

Bagaimana konteks sosio-historis politik lokal di Bantul Pasca Orde Baru?

1. Bagaimana kondisi politik lokal di Indonesia pasca orde baru atau saat era desentralisasi?

2. Adakah hubungan antara politik kekerabatan dengan politik lokal pasca orba? Apakah politik kekerabatan muncul akibat krisis pasca orba?

3. Bagaimana elite politik lokal mendefinisikan “politik lokal” pasca orde baru?

4. Apakah fenomena politik kekerabatan di Indonesia memiliki karakteristik tertentu yang sama satu dengan yang lainnya?

5. Bagaimana hubungan antara elite politik lokal terhadap masyarakat pasca orde baru?

6. Bagaimana konstelasi politik di Kabupaten Bantul sebelum dan setelah orde baru? Serta bagaimana kondisi politik lokal di Bantul kala itu?

Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)

Wawancara Mendalam, Studi Pustaka

Bagaimana kelangsungan politik kekerabatan rezim Samawi di Bantul hingga membentuk hegemoni?

1. Mengapa fenomena politik kekerabatan di Kabupaten Bantul dapat eksis berdiri selama 15 tahun? Adakah hubungan dengan situasi pemerintahan sebelum rezim Samawi berkuasa?

2. Ideologi pembangunan seperti apa yang dijalankan oleh rezim Samawi, baik saat Idham Samawi maupun Sri Surya Widarti berkuasa?

3. Bagaimana rezim Samawi merawat relasi kuasa dan politiknya selama memimpin Kabupaten Bantul?

4. Bagaimana relasi dan interaksi institusi-institusi politik di Kabupaten Bantul saat politik kekerabatan rezim Samawi berkuasa?

Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)

Wawancara Mendalam, Studi Pustaka

Bagaimana kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi dan formasi sosial politik lokal pasca kejatuhan tersebut?

1. Bagaimana peta politik lokal disaat rezim Samawi bercokol selama 15 tahun?

2. Hal-hal apa saja yang membuat politik kekerabatan Samawi runtuh?

3. Bagaimana masyarakat dan civil society merespon politik kekerabatan yang ada di Kabupaten Bantul?

4. Bagaimana struktur masyarakat di Kabupaten Bantul merespon hegemoni politik yang dilakukan oleh politik kekerabatan rezim Samawi?

5. Apa implikasi dari kejatuhan politik kekerabatan rezim Samawi?

Data Deskriptif, Wawancara, Field Note, dan Data Sekunder (Media, Hasil Riset Terdahulu, Jurnal, dan Buku)

Wawancara Mendalam, Studi Pustaka