bab i pendahuluanrepository.radenfatah.ac.id/6585/1/bab 1.pdf · 2020. 3. 4. · bab i pendahuluan...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sering kali aktivitas manusia terjadi dalam keadaan yang penuh bahaya dan
ketidakpastian. Oleh karena itu, pada umumnya manusia telah terbiasa dengan resiko-
resiko dan kecemasan-kecemasan kecil, namun dalam lapangan ekonomi, resiko dan
ketidakpastian selalu disertai rasa takut tertimpa kerugian atau harapan mendapatkan
laba atau kedua-duanya. Di antara resiko yang dihadapi manusia adalah bahaya kerugian
finansial yang timbul karena kecelakaan atau bahaya yang tidak dapat diprediksi atau
karena kelalaian manusia dan ini menjadi suatu ancaman sosial. Ancaman ini harus
diantisipasi, walaupun terkadang mustahil dilakukan, namun harus dicari suatu
penangkal guna mengatasi akibat-akibat yang merugikan (Siddiq 1987, hlm. 36). Oleh
karena itu, sebagian orang berusaha untuk mengatasi akibat finansial yang berat dari
jenis resiko yang dapat diukur tersebut guna membentuk sebuah kelompok, dan setiap
anggotanya membayar sejumlah uang yang besarnya tidak memberatkan sebagai premi
untuk menjamin anggota kelompok tersebut dari resiko kerugian apabila terkena
musibah. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai asuransi. Namun demikian, asuransi
hanya berkepentingan untuk menciptakan cara-cara pemberian ganti rugi bagi seseorang
yang menderita kerugian finansial yang diakibatkan kecelakaan (Siddiq 1987, hlm. 3-5).
Dengan demikian, asuransi merupakan salah satu sarana yang diperlukan untuk
menyelesaikan persoalan umum masyarakat dengan cara kerjasama timbal balik. Dalam
1
pandangan Islam, masalah perasuransian adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya
masalah perasuransian ini masih memberikan peluang untuk dikaji lebih lanjut, karena
tidak ada penjelasan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits. Para imam madzhab,
seperti Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150 H/767 M), Imam Malik (wafat tahun 179
H/795 M), Imam Syafi'i (204 H/819 M, dan Imam Ahmad bin Hambal (241 H/855 M),
dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka (abad 2 H dan 3 H atau abad
8 dan 9 M) tidak memberikan fatwa hukum terhadap masalah asuransi, karena asuransi
belum dikenal pada waktu itu. Sebab sistem asuransi di dunia Timur baru dikenal pada
abad 19 M, sedangkan di dunia Barat sistem asuransi telah dikenal sejak abad 14 M
(Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial… http://74.125.153.132/search?
q=cache:wGXjInU0nCAJ:www.scribd.com/doc/4908860/
diakses 3 Agustus 2009).
Mengkaji hukum asuransi menurut syari'at Islam sudah tentu dilakukan dengan
menggunakan metode ijtihad (reasoning/exercise of judgement) yang lazim dipakai oleh
ulama mujtahidin sejak dahulu. Di kalangan ulama dan cendekiawan muslim ada tiga (3)
pendapat tentang hukum asurasi. Pertama, mengharamkan asuransi dalam segala
macam dan bentuknya yang ada saat ini, termasuk asuransi jiwa. Pendapat ini didukung
antara lain oleh Syaikh Ibnu Abidin (1784–1836 M) dari Mazhab Hanafi, penyusun
kitab Al-Hasyiyah Ibnu al-‘Ābidin, Muhammad Bakhit al Muth'ie (1854-1935 M) dalam
kitabnya al-Risalatu al-Ahkāmu as-Sukurtah, Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam
kitabnya al-Islāmu wa al-Munāhiji al-Isytirakiyah, Dr. Yusuf Qardhawi penyusun kitab
al-Halālu wa al-harāmu fi al-Islāmi, Prof Dr. Wahbah Zuhaili dalam kitab al-Fiqhu
2
al-Islāmi Wa al-‘Ādilātuhu dan lain-lain. Alasan-alasan mereka yang mengharamkan
asuransi, antara lain: asuransi pada hakekatnya sama atau serupa dengan judi,
mengandung unsur (gharār) tidak jelas dan tidak pasti, mengandung unsur riba/rente,
mengandung unsur ekploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan
pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayar, premi-
premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam pranktek riba
(kredit berbunga), asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar
mata uang tidak dengan tunai (cash and carry), dan hidup dan mati manusia dijadikan
obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Walaupun
dalam sistem asuransi ada kerelaan diantara kedua belah pihak, namun kerelaan tersebut
tidak dapat diterima. Antara pemakan dan pemberi riba sama-sama rela, juga antara para
penjudi sama-sama rela, namun kesemuanya tetap dilarang syara’. (Qardhawi 2003, hal.
383-384).
Kedua, pendapat ulama yang membolehkan semua praktek asuransi dalam segala
macam dan bentuknya, asal ada kesepakatan/ kerelaan antara kedua belah pihak, saling
menguntungkan kedua belah pihak, mengandung kepentingan umum dan tidak
melakukan hal-hal yang melanggar aturan syara’. Pendapat ini, antara lain didukung
oleh Syaikh Abdur Rahman Isa, pengarang kitab al-Mu’āmalātu al-hadisah wa al-
Ahkāmuhā, Prof. Dr. Muhamamd Yusuf Musa (Guru Besar Fakultas Islam Universitas
Kairo Mesir), Abdul Wahab Khallaf (Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo
Mesir), Prof. Dr. Muhamamd al-Bahi (mantan Wakil Rektor Universitas Al-Azhar
Mesir), Dr. Muhammad Nejatullah Siddiq (Pengajar Universitas King Abdul Aziz), dan
3
lain-lain. Alasan-alasan mereka yang membolehkan asuransi termasuk asurnsi jiwa
antara lain: tidak adanya nash Al Qur’an dan al-Hadits yang melarang secara tegas
sistem asuransi, adanya kesepakatan/kerelaan antara kedua belah pihak, saling
menguntungkan kedua belah pihak, mengandung kepentingan umum, tidak melakukan
hal-hal yang melanggar aturan syara’, sebab premi-premi yang terkumpul bisa
diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan, asuransi
termasuk akad mudhārābah, artinya terjadinya akad kerjasama bagi hasil antara
pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi, sistem asuransi
termasuk koperasi (syirkah ta'āwuniyah), dan sistem asuransi diqiyaskan dengan sistem
pensiun, seperti taspen (Muhammad 2007, hal. 80).
Ketiga, pendapat ulama yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Kelompok ini memiliki
pandangan yang sama dengan kelompok ulama yang kedua di atas, dalam hal asuransi
yang berorientasi pada sosial kemasyarakatan. Sedangkan pandangan tentang keharaman
asuransi yang berorientasi pada keuntugan, sama dengan pendapat ulama pada kelompok
pertama. Pendapat ini didukung oleh antara lain oleh Muhamamd Abu Zahrah (Guru
Besar Hukum Islam Universitas Kairo Mesir) (Sula 2004, hal. 62).
Seiring dengan mulai dikembangkannya sistem ekonomi Islam modern, maka
muncullah alternatif pengganti asuransi konvensional yang diperdebatkan ulama tersebut
dengan asuransi yang didasarkan atas nilai-nilai Islam atau dikenal dengan asuransi
syari’ah. Asuransi syari’ah merupakan sistem alternatif, atau tepatnya pengganti atas
pola asuransi konvensional yang menerapkan sistem akad pertukaran yang tidak sejalan
4
dengan syari’at Islam. Pada sistem asuransi syari’ah, setiap peserta bermaksud tolong
menolong satu sama lain dengan menyisihkan sebagian dananya sebagai iuran
kebajikan (tabarru’). Dana inilah yang kemudian digunakan untuk menyantuni siapa
pun di antara para peserta asuransi yang mengalami musibah. Jadi bukan dalam bentuk
akad pertukaran di antara dua pihak, melainkan akad untuk saling tolong menolong
(takāfuli) di antara semua peserta atau anggota.
Sebagai ajaran rahmatan lil ’ālamin, Islam memerintahkan umatnya untuk
menyantuni orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat maupun musibah
lainnya. Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian dan solidaritas (itsar), serta
tolong menolong (ta‘āwun) antar warga masyarakat, baik muslim maupun non-muslim.
Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan semakin kokoh. Akan tetapi
cara-cara penyantunan itupun harus sejalan dengan syari‘at (QS 42: 13). Tidak boleh
mengandung unsur gharār (ketidakpastian), maisyir (untung-untungan), riba’ (bunga)
dan hal-hal lain yang bersifat maksiat. Dengan kata lain, ta‘āwun harus diletakkan di
atas nilai-nilai ketakwaan dan kebajikan, bukan pelanggaran hukum syari‘ah yang dapat
menimbulkan pertentangan atau permusuhan (QS (5) : 12).
Sebagai realisasinya, pada tahun 70-an dibeberapa negara Islam atau di negara-
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan asuransi yang
perinsip operasionalnya mengacu pada nilai-nilai Islam dan terhindar dari unsur gharār,
maisyir dan riba’ yang dilarang Islam. Pada tahun 1979, Faisal Islamic Bank of Sudan
memprakarsai berdirinya perusahaan asuransi syari’ah Islamic Insurance Co. Ltd. di
Sudan dan Islamic Insurance Co. Ltd. di Saudi Arabiyah. Keberhasilan asuransi syari’ah
5
ini kemudian diikuti dengan berdirinya asuransi syari’ah di negara-negara Islam atau
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam termasuk Indonbesia. Di
Indonesia, asuransi syari’ah secara resmi berdiri pada tanggal 25 Agustus 1994 yang izin
operasionalnya diperoleh dari Departemen Keuangan melalui Surat Keputusan No. Kep.
385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994.
Dasar hukum asuransi syari’ah dapat ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang
nomor 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian, dan pasal 246 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang. Prinsip dasar yang digunakan oleh asuransi syari’ah adalah berasaskan
konsep "takāful" yang merupakan perpaduan tanggung jawab dan persaudaraan peserta.
Perpaduan tanggung jawab adalah salah satu bentuk dari sikap saling tolong menolong
(ta’āwun) yang menjadi doktrin ajaran Islam. Dalil lain yang menjadi landasan hukum
berdiri dan berkembangnya asuransi syari’ah adalah fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.
21/DSN-MUI/X/2000.
Keberadaan asuransi syari’ah di Indonesia ini semakin kuat setelah munculnya PP
No. 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 dan PP No
81 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992. Dalam
Penjelasan Umum PP No. 39 Tahun 2008 dinyatakan bahwa PP ini diharapkan dapat
memberi landasan hukum yang lebih kuat untuk penyelenggaraan usaha perasuransian
berdasarkan prinsip syariah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya usaha perasuransian berdasarkan prinsip syariah yang makin dirasakan
kebutuhannya oleh masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga mengenai
penyelenggaraan kegiatan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip-prinsip
6
syari’ah antara lain ysng berkaitan dengan permodalan, struktur organisasi, dan
pengawasannya.
Pasal 2A ayat (2) PP No. 39 Tahun 2008 membolehkan pendirian Perusahaan
Asuransi (baik asuransi kerugian atau asuransi jiwa) yang menyelenggarakan seluruh
usahanya berdasarkan prinsip-perinsip syari’ah. Demikian juga, pendirian perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan prinsip-perinsip
syari’ah dengan membentuk Unit Syariah (Pasal 2A ayat (3)). Adapun yang dimaksud
dengan Unit Syari’ah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang dan/atau
kantor pemasaran yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah (Pasal 1 ayat 5).
Baik Perusahaan Asuransi maupun Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah harus memiliki dewan
pengawas syariah (Pasal 3 huruf f.).
Sementara bila mendasarkan legalitas asuransi syari’ah pada UU No. 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian maka terlihat Undang-undang tersebut kurang
mengakomodasi keberadaan asuransi syari’ah di Indonesia, karena tidak mengatur
mengenai keberadaan asuransi berdasarkan perinsip syari’ah (Dewi 2005, hlm. 128).
Berdasarkan undang-undang tersebut, perjanjian yang terjadi adalah antara pihak
penanggung (perusahaan asuransi) dengan tertanggung (peserta asuransi) di mana terjadi
konsep peralihan resiko dari tertanggung kepada penanggung. Sementara dalam asuransi
syari’ah didasarkan atas konsep kerjasama dan perlindungan, perjanjian penanggungan
bukanlah antara penanggung dengan tertanggung, tetapi perjanjian terjadi antara para
7
tertanggung sendiri yang saling berjanji untuk menanggung di antara mereka. Jadi dalam
asuransi syari’ah perusahaan hanya sebagai pemegang amanah, bukan penanggung
seperti pada asuransi konvensional (Dewi 2005, hlm. 181).
Demikian juga pada peraturan pelaksana UU tersebut, yaitu: PP No. 63 Tahun
1999 tentang perubahan atas PP No. 73 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan usaha
perasuransian terdapat persoalan. Pasal 7 PP No. 63 tanun 1999 menyebutkan bahwa
sekurang-kurangnya 20 % dari modal disetor yang dipersyaratkan harus ditempatkan
dalam bentuk deposito berjangka pada bank umum. Namun ketentuan tersebut tidak
dapat begitu saja diterapkan dalam asuransi syari’ah. Dalam asuransi syari’ah, deposito
berjangka yang digunakan harus sesuai dengan syari’ah. Pada pasal 13 PP No. 63 tahun
1999 diatur bahwa investasi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi disyaratkan
pada jenis investasi yang sama dan menguntungkan serta memiliki tingkat likuiditas
yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Sementara dalam asuransi syari’ah
persyaratan asuransi tersebut harus ditambah dengan jenis investasi yang sesuai dengan
syari’ah (Dewi 2005, hlm. 182).
Hal inilah yang menimbulkan pemikiran peneliti untuk menkaji lebih jauh lagi
tentang kedudukan Asuransi Syari’ah menurut UU No. 2 Tahun 1992 dan PP No. 39
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 dan PP No 81
Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992. Melalui penelitian
ini diharapkan akan terlihat kedudukan Asuransi Syari’ah dalam sistem perasuransian di
Indonesia menurut UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan PP No. 39
Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 dan PP No 81
8
Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992. Oleh karena itu
penelitian ini diberi judul “ASURANSI SYARI’AH SEBAGAI LEMBAGA
KEUANGAN UMAT: Suatu Tinjauan Terhadap keberadaan Asuransi Syari’ah
Menurut UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian”.
Rumusan Masalah
1. Apa yang melatar belakangi berdirinya asuransi syari’ah?
2. Bagaimanakah kedudukan asuransi syari’ah menurut UU No. 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian dan Peraturan Pelaksananya?
3. Bagaimana Penyelenggaraan Asuransi Syari’ah menurut UU No. 2 Tahun 1992,
PP No. 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992 dan
PP No 81 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992?
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui latar belakangi berdirinya asuransi syari’ah.
2. Untuk mengetahui kedudukan asuransi syari’ah menurut UU No. 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian dan Peraturan Pelaksananya.
3. Untuk mengetahui Penyelenggaraan Asuransi Syari’ah menurut UU No. 2 Tahun
1992, PP No. 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73 Tahun 1992
dan PP No 81 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992.
9
Tinjauan pustaka
Penelitian tentang asuransi syari’ah ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Di
antaranya adalah: Muhammad Nejatullah Siddiqi dalam bukunya yang berjudul
Insurance in an Islamic Economy (1985). Buku tersebut membahas secara rinci tentang
asal usul pentingnya jaminan asuransi untuk mengurangi resiko financial akibat musibah
yang menimpa manusia, unsur judi dan keburukan-keburukan dalam asuransi
konvensional, asuransi dalam sistem kapitalis, sosialis dan asuransi dalam sistem Islam.
Kesimpulan yang bisa diambil dari buku tersebut adalah semua asuransi yang
menyangkut bahaya pada jiwa, anggota badan dan kesehatan harus ditangani oleh negara
dalam hubungannya dengan sistem kesejahteraan sosial. Oleh karena itu harus diberikan
kebebasan kepada semua individu untuk mengambil asuransi guna menganggulangi
kerugian financial yang terjadi pada diri dan keluarganya. Menjadi kewajiban Negara
Islam untuk mengembangkan ekonomi serta mengurangi kesenjangan akibat distribusi
kekayaan yang timpang di masyarakat. Sistem Islam harus menyediakan asuransi untuk
memenuhi kewajiban jaminan sosial dan menunjuang pertumbuhan ekonomi serta
keadilan social.
Gemala Dewi dalam bukunya Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian syari’ah di Indonesia (2004) membahas secara panjang lebar dan luas
mengenai aspek-aspek hukum yang tercakup dalam dunia perbankan dan perasuransian
syari’ah di Indonesia serta tinjauan terhadap kemungkinan kondifikasi hukum dalam
undang-undang perbankan dan perasuransian di Indonesia. Dari semua bentuk lembaga
keuangan yang ada di Indonesia hampir semua telah memiliki konsep berdasarkan
10
ketentuan hukum Islam dalam prakteknya. Lembaga keuangan yang disesuaikan dengan
konsep syari’ah tersebut, bisa disebut dengan lembaga keuangan syari’ah. Olah karena
itu saat ini di Indonesia telah berkembang berbagai lembaga keuangan yang
menjalankan prinsip syari’ah termasuk asuransi syari’ah. Namun dalam
perkembangannya, sifat efisiensi yang dikembangkan lembaga tersebut membawa sifat
ingin mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa menanggung resiko. Disamping itu,
baik KUH Perdata KUHD, UU No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian dan PP
No. 63 Tahun 1999 terlihat kurang mengakomodasi keberadaan asuransi syari’ah di
Indonesia, karena tidak mengatur mengenai keberadaan asuransi berdasarkan perinsip
syari’ah. Hal ini tentu menimbulkan benturan dengan ketentuan syari’ah. Untuk itu
prinsip ketentuan Hukum Perikatan Islam perlu dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan dengan mengadakan kondifikasi terhadap ketentuan syari’at yang mengatur
ketentuan lembaga keuangan berdasarkan perinsip syari’ah.
A.M. Hasan Ali dalam bukunya ”Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam: Suatu
Tinjauan, Analisis, Historis, Teoritis dan Praktis” membahas seputar permasalahan
asuransi syari’ah di Indonesia. Buku ini telah membahas asuransi syari’ah dari aspek
hukum Islam yang komperhensip, mulai dari konsep dasar hukum Islam yang menjadi
acuan asuransi hingga mengkomparasikan antara praktek dan realita kekinian
perkembangan asuransi syari’ah.
Berdasarkan data yang ada, Peneliti berkesimpulan bahwa kajian yang secara
khusus membicarakan tentang keberadaan Asuransi Syari’ah menurut UU No. 2 Tahun
1992 dan PP No. 39 Tahun 2008 belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini
11
merupakan studi yang diperlukan dalam memahami keberadaan Asuransi Syari’ah di
Indonesia dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan perbedanya dengan
asuransi konvensional.
Kerangka Teori
Dalam penelitian ini akan digunakan teori hukum. Menurut Hans Kelsen1 (1881-1973),
hukum adalah sebuah sistem norma, sedangkan norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi
manusia yang deliberatif. Hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya”
tidak bisa direduksi ke dalam aksi-aksi alamiah. Menurut Kelsen, untuk mengukur
tindakan-tindakan dan kejadian yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal
dapat dimulai dengan menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya
terlebih dahulu. Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama
peraturan legal intinya merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada
presupposition yang merupakan pengandaian (Teori Hukum Murni dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Murni diakses 3 Agutus 2009).
Hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan sosial. Hukum sebagai suatu konsep yang dapat
dikembangkan sedemikian rupa untuk dijadikan alat rekayasa sosial. Menurut Jeremias
Bentham, baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan
1 Seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria, lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktor pada bidang hukum.
12
oleh penerapan hukum itu sendiri. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika
akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-
besarnya, dan mengurangi penderitaan (Teori Ilmu Hukum, dalam http://74.125.153.132/
diakses 3 Agustus 2009).
Sebagai ajaran yang menjadi rahmatan li al-’ālamin, Islam mengakui bahwa
kecelakaan, kemalangan dan kematian merupakan takdir Allah SWT. Takdir Allah SWT
tersebut tidak dapat ditolak, namun manusia diperintahkan untuk membuat perencanaan
untuk menghadapi masa depan agar terhindar dari kemalangan. Dalam surat Yusuf ayat
43-49, Allah telah menggambarkan contoh usaha manusia yang membentuk sistem
proteksi menghadapai kemungkinan yang buruk di masa depan. Secara ringkas, ayat
tersebut bercerita tentang pertanyaan raja Mesir tetang mimpinya kepada Nabi Yusuf as.
di mana raja Mesir bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh
tujuh ekor sapi yang kurus, dan dia juga melihat tujuh tangkai gandum yang hijau
berbuah serta tujuh tangkai yang merah mengering tidak berbuah. Nabi Yusuf dalam hal
ini menjawab supaya kamu bertanam tujuh tahun dan dari hasilnya hendaklah disimpan
sebagian untuk menghadapi tujuh tahun yang amat sulit.
Ayat tersebut menganjurkan manusia untuk selalu berusaha menjaga kelangsungan
kehidupan dengan meproteksi kemungkinan terjadinya kondisi yang buruk. Dengan
demikian berasurnasi tidak bertentangan dengan takdir, bahkan Allah menganjurkan
adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sistem proteksi
yang dikenal dalam mekanisme asuransi.
13
Sistem asuransi dalam Islam didasarkan pada rasa persaudaraan (ukhuwah) dan
tolong menolong (ta‘āwun). Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang memerintahkan
umatnya untuk menyantuni orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat
maupun musibah lainnya. Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian dan
solidaritas (itsar), serta tolong menolong (ta‘āwun) antar warga masyarakat, baik
muslim maupun non-muslim.
Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan semakin kokoh. Akan
tetapi cara-cara penyantunan itu pun harus sejalan dengan syari‘at (QS 42:13), dan tidak
boleh mengandung unsur gharār (ketidakpastian), maisyir (untung-untungan), riba’
(bunga) dan hal-hal lain yang bersifat maksiat. Dengan kata lain, ta‘āwun harus
diletakkan di atas nilai-nilai ketakwaan dan kebajikan dan bukan pelanggaran hukum
syari‘ah yang dapat menimbulkan pertentangan atau permusuhan. Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT yang artinya “Saling tolong menolonglah kalian dalam
kebajikan dan takwa, dan jangan kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan
permusuhan”(QS 5:12).
Sejalan mulai dikembangkannya sistem ekonomi Islam modern, sistem asuransi
"takāful" dan "ta'āwun" muncullah sebagai alternatif pengganti asuransi konvensional.
Model asuransi ini lebih dekat kepada prinsip-prinsip Islam dan sesuai dengan makna
dari kata "ta'āwun" itu sendiri. Asuransi ini didasarkan kepada asas saling membantu
dan saling menolong, hal ini sesuai dengan al-Qur'an Surah al-Maidah 2 ayat yang
artinya "Bertolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah saling
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan". Asuransi takaful juga merupakan
14
pengembangan dari konsep "qardul hasān" yang dianjurkan dalam agama. Qardhul
hasan adalah pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan peminjam untuk
menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam
jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati. Dalam konsep "qardul hasān" ,
jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaianya, maka kerugian tersebut
dapat mengurangi jumlah pinjaman. Dengan demikian, "qardul hasān" merupakan
pinjaman yang ikhlas dengan niat sedekah untuk membantu si peminjam mengatasi
kesulitannya.
Dalam Islam, seseorang dilarang mempersyaratkan atau menetapkan
kelebihan/keuntungan dalam pemimjaman, setiap pinjaman harus dilakukan dengan
ikhlas dan niat sedekah. Namun, jika kelebihan atau kebaikan dari peminjaman tersebut
bukan berasal dari ketetapan, janji atau kebiasaan maka ia halal. Dalam riwayat Humayd
ibn Qays al-Makki dijelaskan bahwa Mujahid berkata ’Abdullah ibn Umar ra.
Meminjam beberapa dirham dari seseorang, kemudian dia membayar hutangnya dengan
dirham yang lebih baik. Orang tersebut berkata: ”Wahai Abu ’Abd Rahman, ini lebih
baik dari dirham-dirham yang aku pinjamkan kepadamu”. ’Abdullah ibn Umar ra
berkata: ”Aku tahu. Tapi aku gembira dengan hal itu” (Ibn Annas 1999, hlm. 377).
Menanggapi hadits tersebut Imam Maliki menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi
seseorang yang meminjamkan emas, perak, makanan, atau hewan untuk mengambil
sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah ia pinjamankan, jika itu bukan ketetapan di
antara mereka dan juga bukan kebiasaan di antara mereka. Namun, jika kelebihan
15
pinjaman tersebut berasal dari ketetapan, janji atau kebiasaan, maka itu tidak dibenarkan
dan tidak ada kebaikan didalamnya (Ibn Annas 1999, hlm. 378).
Berdasarkan hal tersebut, sistem asuransi takaful dibangun sebagai usaha untuk
saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi
dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah.
Pola kerja asuransi ta'āwun adalah perusahaan asuransi bertindak memfasilitasi
dana yang dihibahkan oleh para peserta asuransi, secara sukarela dan menyalurkan
kepada para peserta asuransi yang terkena musibah, baik kematian, kerusakan barang
atau musibah lainnya. Asuransi ini tidak berorientasi komersial, namun lebih kepada
orientasi sosial.
Secara rinci perbedaan antara asuransi jiwa syari’ah dan asuransi jiwa
konvensional adalah pertama, Kontrak atau ’aqad. Kejelasan ’aqad dalam praktik
mu’amalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syari’ah.
Demikian pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi
konvensional menerapkan kontrak yang dalam syari’ah disebut kontrak jual beli
(tabaduli). Dalam kontrak ini harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual-beli.
Ketidakjelasaan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung
terhadap usia peserta yang mana hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal,
mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharār
ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda
dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum. Sehingga dalam
16
asuransi jiwa syariah kontrak yang digunakan bukan kontrak jual beli melainkan kontrak
tolong menolong (takāfuli). Jadi, asuransi jiwa syari’ah menggunakan apa yang disebut
sebagai kontrak tabarru yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak
ini adalah alternatif uang halal dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktik yang
diharamkan pada asuransi konvensional. Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah
memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas untuk tujuan saling membantu satu
dengan yang lain sesama peserta asuransi syariah apabila diantaranya ada yang terkena
musibah. Oleh karenanya dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana
bila terjadi risiko, dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang
sudah diniatkan oleh semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
Kedua, Kontrak Al-Mudhārābah. Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah
cirinya dimana perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para
peserta. Secara teknis, al-mudharābah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha secara mudhārābah
tersebut, kemudian dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, begitu
juga apabila rugi, maka kerugian tersebut juga ditanggung bersama-sama antara pihak
pengelola asuransi dengan nasabah. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena
kecurangan atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas
kerugian tersebut. Kontrak bagi hasil disepkati didepan sehingga bila terjadi keuntungan
maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut. Misalkan kontrak bagi
hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan 60 persen dari keuntungan sedang
17
perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari keuntungan. Dalam kaitannya dengan
investasi, yang merupakan salah satu unsur dalam premi asuransi, harus memenuhi
syari’ah Islam dimana tidak mengenal apa yang biasa disebut riba’. Semua asuransi
konvensional menginvestasikan dananya dengan mekanisme bunga. Dengan demikian
asuransi konvensional susah untuk menghindari riba’. Sedangkan asuransi syari’ah
dalam berinvestasi harus menyimpan dananya ke berbagai investasi berdasarkan syari’ah
Islam dengan sistem al-mudharābah.
Ketiga, dana hangus. Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus, di mana
peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri
sebelum masa jatuh tempo. Begitu pula dengan asuransi jiwa konvensional non-saving
(tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis masa kontrak dan
tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan hangus atau menjadi
keuntungan perusahaan asuransi. Sementara dalam konsep asuransi syari’ah,
mekanismenya tidak mengenal dana hangus. Peserta yang baru masuk sekalipun karena
satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya
sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah
diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil. Begitu pula dengan asuransi
syari’ah umum, jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka pihak perusahaan
mengembalikan sebagian dari premi tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40
atau 70:30 sesuai dengan kesepakatan kontrak di muka.
Di Indonesia, sistem asuransi syari’ah ini secara resmi telah berdiri pada tanggal
25 Agustus 1994 yang izin operasionalnya diperoleh dari Departemen Keuangan melalui
18
Surat Keputusan No. Kep.385/KMK.017/1994 tanggal 4 Agustus 1994. Dasar hukum
asuransi syari’ah dapat ditemukan dalam Pasal 1 Undang-Undang nomor 2 tahun 1992
tentang usaha perasuransian, dan pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Prinsip dasar yang digunakan oleh asuransi syari’ah adalah berasaskan konsep "takāful"
yang merupakan perpaduan tanggung jawab dan persaudaraan peserta. Perpaduan
tanggung jawab adalah salah satu bentuk dari sikap saling tolong menolong (ta’āwun)
yang menjadi doktrin ajaran Islam. Dalil lain yang menjadi landasan hukum berdiri dan
berkembangnya asuransi syari’ah adalah fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-
MUI/X/2000.
Keberadaan asuransi syari’ah di Indonesia ini semakin kuat setelah munculnya
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 73
Tahun 1992 yang kemudian pada sebagian pasalnya diperbaharui dengan PP No 81
Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 73 Tahun 1992, yakni tentang
penyesuaian modal sendiri yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi. Dalam
Penjelasan Umum PP No. 39 Tahun 2008 dinyatakan bahwa PP ini diharapkan dapat
memberi landasan hukum yang lebih kuat untuk penyelenggaraan usaha perasuransian
berdasarkan prinsip syari’ah. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong tumbuh dan
berkembangnya usaha perasuransian berdasarkan prinsip syari’ah yang makin dirasakan
kebutuhannya oleh masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur juga mengenai
penyelenggaraan kegiatan usaha asuransi dan reasuransi berdasarkan prinsip syariah
antara lain berkaitan dengan permodalan, struktur organisasi, dan pengawasannya.
19
Pasal 2A ayat (2) PP No. 39 Tahun 2008 membolehkan pendirian Perusahaan
Asuransi (baik asuransi kerugian atau asuransi jiwa) yang menyelenggarakan seluruh
usahanya berdasarkan prinsip-perinsip syari’ah. Demikian juga, pendirian perusahaan
asuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya berdasarkan prinsip-perinsip
syari’ah dengan membentuk Unit Syariah (Pasal 2A ayat (3)). Adapun yang dimaksud
dengan Unit Syari’ah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang dan/atau
kantor pemasaran yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip syariah (Pasal 1 ayat 5).
Baik Perusahaan Asuransi maupun Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan
seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah harus memiliki dewan
pengawas syariah (Pasal 3 huruf f.).
Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Dalam meneliti dan mengkaji “Asuransi Syari’ah Sebagai Lembaga Keuangan
Umat: Suatu Tinjauan Terhadap keberadaan Asuransi Syari’ah Menurut UU No. 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian” ini, akan digunakan pendekatan
hukum, hal ini disebabkan karena penelitian ini mengkaji tentang UU No. 2 Tahun
1992 dan peraturan pelaksananya serta al-Qur’an dan al-Hadits yang merupakan
landasan hukum penyelenggaraan asuransi syari’ah di Indonesia.
2. Jenis dan Sumber data
a. Jenis data
20
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu: data
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
masalah asuransi secara umum dan asuransi syari’ah, seperti: UU No. 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian dan peraturan pelaksananya, termasuk nash-
nash al-Qur’an dan al-Hadits serta pendapat ulama yang terkait dengan masalah
asuransi.
b. Sumber data
Sumber data utama yang dipergunakan dalam penelitian ini sepenuhnya
diperoleh dari UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan
peraturan pelaksananya serta nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits serta pendapat
ulama yang terkait dengan masalah asuransi. Selain itu sumber data penunjang
adalah pemikiran-pemikiran para ahli yang terdapat buku-buku, artikel dan
majalah yang membahas persoalan yang dibahas.
3. Metode Pengumpulan Data
Berhubung penelitian ini merupakan studi kepustakaan, maka data yang diambil
adalah data yang bersumber dari kepustakaan. Data yang dibutuhkan dalam
penelitian ini dikumpulkan dengan cara mengoleksi dan membaca UU No. 2 Tahun
1992 Tentang Usaha Perasuransian dan peraturan pelaksannya termasuk PP No. 39
Tahun 2008 serta pemikiran-pemikiran para ahli yang terdapat dalam berbagai
tulisan, baik berupa buku-buku, makalah dan artikel yang membahas persoalan yang
sedang dibahas.
4. Analisis Data
21
Data yang telah dikumpulkan akan diklasifikasikan dan dianalisa dengan metode
sebagai berikut: 1) metode content analisis (analisis isi), yakni: penulis akan
memahami pesan-pesan yang terkandung dalam UU No. 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian dan PP No. 39 Tahun 2008. Dalam analisa isi, standar yang
digunakan adalah pemikiran-pemikiran para ahli yang berkaitan dengan masalah
asuransi syari’ah dan UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan PP
No. 39 Tahun 2008.
Sistematika pembahasan
Unuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis akan mengunakan arahan berupa
sistematika pembahasan sebagai pedoman dalam penulisan tesis ini. Secara sistematis,
penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu Bab pertama, adalah Bab Pendahuluan.
Pada bab ini akan dibahas latar belakang munculnya masalah yang akan dibahas dalam
tesis ini, kemudian akan dirincikan juga pokok-pokok masalah yang akan dijawab dalam
tesisi ini, serta tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori dan
metodologi penelitian yang akan menjadi pijakan dalam penelitian ini. Bab kedua,
membahas masalah latar belakang berdirinya asuransi Syari’ah. Pada bab ini akan
dibahas pengertian asuransi syari’ah, sejarah berdirinya asuransi syari’ah, asuransi
dalam pandangan ulama, prinsip-prinsip asuransi syari’ah dan perbedaan asuransi
syari’ah dengan asuransi konvensional. Bab ketiga, membahas tentang asuransi syari’ah
menurut UU No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan peraturan
pelaksananya. Pada bab ini akan dibahas keberadaan asuransi syari’ah menurut UU No.
2 Tahun 1992 dan PP No. 39 Tahun 2008, objek usaha perasuransian syari’ah, bidang
22
dan jenis usaha perasuransian syari’ah, Persyaratan pendirian perusahaan perasuransian
Syari’ah, Susunan Organisasi Perusahaan Perasuransian dan permodalan asuransi
syari’ah. Bab keempat, mambahas penyelenggaraan asuransi syari’ah menurut UU No. 2
Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dan PP No. 39 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 Tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Bab kelima, merupakan kesimpulan dan saran.
Pada bab ini akan disimpulkan inti jawaban atas pokok masalah pada bab pertama dan
akan dikemukakan saran-saran terkait tentang masalah yang di bahas.
23
REFERENSI
Al-Qur’an dan terjemahannya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara PenerjemahAl-Qur’an. CV. Toha Putra, Semarang.
Agustianto, Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah 3, dalamhttp://74.125.153.132/search?q=cache:prDW9RH1eFwJ:www.scribd.com/doc/4685584/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-3-agustiant, diakses 2 Juni 2009
Amin, Abdullah 2006, Asuransi Syari’ah: Keberadaan Dan Kelebihannya Di Tengah Asuransi Konvensional, PT Gramedia, Jakarta.
Apa Itu Asuransi Syariah? Dan Apa Perbedaanya Dengan Asuransi Konvensional?http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2008/10/24/ diakses 20 Maret 2009
Bagaimana Hukum Asuransi? dalam http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg03322.html diakses 20 Maret 2009
Dewi, Gemala 2004, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransiansyari’ah di Indonesia, Prenada Media Jakarta.
Djazuli, A. dan Yadi Janwari 2002, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengantar), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Chapara, M. Umer 2000, Islam dan Pembangunan Ekonomi. Diterjemahkan olehIkhwan Abidin Basyir. Gema Insani Press, Jakarta.
-------- 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Diterjemahkan olehIkhwan Abidin Basyir. Gema Insani Press. Jakarta
Dahlan, Abdul Aziz 1996, Ensiklopedi Hukum Islam P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve:Jakarta.
Desain Sistem Pemasaran Asuransi Syari'ah dalamhttp://www.mubarakah.co.id/_artikel.php?id=3 diakses 9 Juni 2009
24
Djuned, Angkasah, Sistem Operasional TAKAFUL (Asuransi Syariah) dalamMengeliminir GHARAR, MAISIR dan RIBA, dalamhttp://dunia-syariah.blogspot.com/2008/11/sistem-operasional-takaful-asuransi.htmldiakses 28 Mei 2009
Al-Jamal, Muhammad Abdul Mu’in 1996, Masu’suatul Iqtishad Al-Islami, Mesir Darul Kitab al-Misri.
Al-Kaaf, Abdullah Zaky 2002, Ekonomi Dalam Perspektif Islam. CV. Pustaka Setia,Bandung
Kaaf, Monzer 2000, Ekonomi Islam: Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem EkonomiIslam. Alih bahasa Mahmun Husein. Aditia Media, Yogyakarta
Keputusan Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 01 Tahun 2000Tentang Pedoman Dasar Dewan Syari'ah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (PDDSN-MUI), dalam http://www.mui.or.id/ diakses 9 Juni 2009
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Edisi Kedua. PT.Rajagrafindo Persada:jakarta. 2004
Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK/2003 tentang Perizinan Usaha danKelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalamhttp://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/Peraturan/2_KMK426.pdfKeputusan Menteri Keuangan RI No.421/KMK/2003 tentang Penilaian Kemampuandan Kepatutan bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian dalamhttp://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/Peraturan/2_KMK426.pdfKeputusan Menteri Keuangan RI No.422/KMK/2003 tentang Penyelenggaraan UsahaPerusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalamhttp://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/Peraturan/2_KMK422.pdfKeputusan Menteri Keuangan RI No.425/KMK/2003 tentang Perizinan danPenyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; dalamhttp://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/Peraturan/2_KMK425.pdfKeputusan Menteri Keuangan RI No.424/KMK/2003 tentang Kesehatan KeuanganPerusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dalam http://www.djlk.depkeu.go.id/asuransi/Peraturan/2_KMK425.pdf
Konsep Operasional Takaful dalam http://masridwan.co.cc/?p=257 dakses 20 Mei 2009
Landasan Syari’ah Asuransi Syari’ah dalam http://takaful.com/index.php/publisher/ 20April 2009
25
Manan, M. Abdul 1997, Teori dan Praktek Ekonomi Islam. P.T. Dana Bhakti PrimaYasa: Yogyakarta.Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syari’ah dalamhttp://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/ diakses 20 Maret 2009
Muchsin. 2004, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia. “IBLAM”: Jakarta..
Muhammad 2004, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. BPFE-Yogyakarta:Yogyakarta.
Muslehuddin, Muhammad 1995, Incurance and Islamic Law, Makazi Maktaba Islami,Delhi
Muslim 1981, Shahih Muslim Dar al-Fiqr Jus:I.
An-Nabhan, M. Faruq 2000, Sistem Ekonomi Islam. Alih Bahasa Muhadi Zainuddin danBahauddin Mursali. UII Press, Yogyakarta
Perkembangan Asuransi Syariah 2008 dalam http://www.asuransisyariah.net/ 20 April2009
PP RI No 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan PemerintahNomor 73 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalamhttp://www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=2000+8&f=pp39-2008.htm diakses 20April 2009
PP RI No 63 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalamhttp://www.bpkp.go.id/unit/hukum/pp/1999/063-99.pdf diakses 20 April 2009
PP No. 73 Tahun 1992 Tentang: Penyelenggaraan Usaha Perasuransian dalamhttp://www.bapepam.go.id/perasuransian/regulasi_asuransi/pp_asuransi/ diakses 20April 2009
Rahman, Afzalur 1995, Doktrin Ekonomi Islam. diterjemahkan oleh Soeroyo Nastangin.PT. Dana Bakti Wakaf: Yogyakarta. Jilid 1dan 3.
Rahmat, Jalaluddin 1994, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang CendikiawanMuslim. Mizan Bandung
Rikza Maulan, 2009, Nilai-Nilai Dalam Pengelolaan Asuransi Syariah dalamhttp://74.125.153.132/search?q=cache:GoXquW5-8RUJ:asuransisyariah.myblogrepublika.com diakses 20 Mei 2009
26
Sabiq, Sayyid 1990, Fiqh as-Sunnah diterjemahkan oleh Kahar Mansyur. Jakarta: KalamMuliya.
Siddiqi, M. Nejatullah 1987, Asuransi Di Dalam Islam, Pustaka, Bandung.
------- 1991, The Economic Enterprise in Islam diterjemahkan oleh Anas Sidik. BumiAksara: Jakarta.
------- 1992, Teaching Economics In An Islamic Perspective dalam Reading InMicroeconomics An Islamic Perspective. Editor: Sayyid Tahir et.al. Longman MalaysiaSDN BHD.
Sula, Muhamamd Syakir 2004, Asuransi Syari’ah Konsep dan Sistem Operasional,Gema Insani, Jakarta.
al-Tariqi, Abdullah Abdul Husain 2004, Al-Iqtishad al-Islam: Ushusun wa muba’un waAkhdaf. Diterjemahkan oleh M. Irfan Syofwani. Magistra Insani Perss, Semarang
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian dalamhttp://www.bapepam.go.id/perasuransian/regulasi_asuransi/uu_asuransi/UU_02_1992_Perasuransian.pdf diakses tanggal 20 April 2009
Yafie, Ali 1994, Asuransi Dalam Pandangan Islam, Mengagas Fiqh Sosial, Mizan, Bandung.
Yusof, Muhammad Fadli 1996, Takaful Sistem Insurans Islam, Utusan Publications danDistributors SDN BHD, Malaysia
Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia, majalah Proteksi edisi Februari 2003/tahunXXIV dalam http://www.ipin4u.esmartstudent.com/asuransi.htm diakses tanggal 20April 200920 April 2009
Siddiqi, Muhammad Nejayullah 1987, Asurasni di dalam Islam diterjemahkan olehTa’lim Musafir, Pustaka bandung.
Az Zarqa’, Mustafa Ahmad 1962, Aqdud Ta’min wa Mauqifu Asy-Syari’ah Al IslamiyahMinhu Damaskus Az-Zuhaily, Wahbah. 2002 Al-Fiqh Al-Islam wa Adilatuhu. Dar Al-Fiqr: Mesir. Juz III
27
ASURANSI SYARI’AH SEBAGAI LEMBAGA KEUANGAN UMAT:Suatu Tinjauan Terhadap keberadaan Asuransi Syar’ah Menurut UU No. 2 Tahun 1992
Tentang Usaha Perasuransian
28
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Islam (MHI)
Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Ekonomi Syari’ah
Oleh :
SRI WAHYUNINGSIHNIM. 060201077
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) RADEN FATAH
PALEMBANG 2009
29