bab i pendahuluanrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/bab 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi,...
TRANSCRIPT
Bab I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil
(menyeluruh), meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai
masalah dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Allah
SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskan beberapa hukum mu’amalah sebagai media
transaksi, karena kebutuhan manusia akan makanan yang berfungsi untuk
menyelamatkan jiwa, demikian pula kebutuhan kepada pakaian, tempat tinggal,
kendaraan dan berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.
Jual beli merupakan salah satu sarana yang ditetapkan Allah SWT agar
manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya manusia membutuhkan bantuan orang lain. Asal hukum jual beli dalam
Islam adalah mubah (boleh), namun terkadang bisa menjadi wajib ketika dalam
keadaan terpaksa, untuk menyelamatkan jiwanya (Al-Jaziri 1994, 3, hal. 315).
Para ulama telah sepakat atas kebolehan jual beli, adapun qiyas menunjukkan
bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan
manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain, baik berupa harga atau
sesuatu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak akan mendapatkannya kecuali
melalui transaksi tukar menukar. Dengan demikian, jelaslah hikmah itu menuntut
dibolehkannya jual beli untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki.
2
Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam jual, yaitu: kedua belah pihak yang
berakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau
gugur maka tidak sah jual belinya (Sabiq 1987, 12, hal. 48). Bagi yang beraqad harus
memenuhi syarat: pertama, adanya saling rida di antara keduanya (penjual dan
pembeli). Jadi, tidak sah dalam suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada
unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan). Hal ini didasarkan pada
firman Allah SWT:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salingmemakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecualidengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-sukadi antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ”(Q.S.An-Nisa (4) ayat 29).
Namun demikian, apabila keterpaksaan tersebut adalah perkara yang haq
(dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagai contoh: seandainya seorang
hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya,
maka meskipun itu terpaksa jual beli yang dilakukannya dinyatakan tetap sah.
Kedua, yang melakukan akad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat)
untuk melakukan transaksi, yaitu: orang yang merdeka, mukallaf dan sehat akalnya.
Jadi, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang bodoh, orang
gila dan hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya (Sabiq 1987, 12 hal. 49). Akad jual
beli terbagi dalam dua bentuk, yaitu 1) Bentuk perkataan terdiri dari Ijab, yaitu: kata
yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan qabul yaitu: ucapan yang
keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli"; 2) Bentuk perbuatan : muathah
3
(saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi. Misalnya:
penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli)
memberikan harga yang wajar (telah ditentukan) (Sabiq 1987, 12, hal. 46-48).
Namun, terkadang terjadi bentuk akad yang terdiri dari ucapan dan perbuatan
sekaligus. Dalam hal ini, Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ra. berkata : jual beli
mu’athah ada beberapa gambaran 1) Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan
pembeli mengambilnya seperti ucapan "ambilah baju ini dengan satu dinar”, maka
kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti
mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya;
2) Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja
apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam
perjanjian.(dihutangkan); 3) Keduanya tidak mengucapkan lapadz apa pun, bahkan
ada kebiasaan, yaitu: meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang
telah dihargai. ’Akad jual beli juga dinyatakan dengan ijab qabul melalui tulisan,
perantara orang lain maupun dengan isyarat. (Azzam 2010, hal. 34-38).
Demi kemaslahatan manusia dan untuk menghindari kemudharatan, Allah SWT
telah mensyariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang
bertransaksi, supaya mereka puas dalam urusannya dan bisa melihat maslahat dan
madharat yang ada dari akad tersebut, sehingga dia bisa mendapatkan hasil yang
diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual belinya apabila dia melihat tidak
ada maslahat padanya.
4
Hal tersebut, tergambar dalam hadits Nabi SAW yang menjelaskan bahwa
apabila dua orang yang saling berjual beli, maka keduanya memiliki hak yang sama
untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, jika keduanya saling jujur
dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat),
maka akan diberikan berkah jual beli kepada keduanya, namun apabila keduanya
saling berdusta dan saling menyembunyikan aib/cacatnya, maka akan dicabut berkah
jual beli dari keduanya" (Bukhari 1992, III, hlm. 237)
Dalam transaksi jual beli, pihak pembeli maupun penjual memiliki pilihan
untuk menentukan apakah mereka betul-betul akan membeli atau menjual,
membatalkannya dan atau menentukan pilihan di antara barang yang ditawarkan.
Pilihan untuk meneruskan atau membatalkan dan menjatuhkan pilihan di antara
barang yang ditawarkan yang harus dipilih, dalam fiqh mu’amalat disebut khiyar.
Jumhur fuqahah (termasuk keempat Mazhab fiqh) sepakat menyatakan kebolehan
khiyar, kecuali Ats-Tsauri dan sekelompok ahli Zahiri. Fuqahah yang melarang
beralasan, khiyar adalah kesamaran sedangkan jual beli adalah kepastian (Ibnu Rusyd
1995, 4, hlm. 187-189)
Suatu akad lazim adalah akad yang kosong dari salah satu khiyar yang
memiliki konsekuensi bahwa pihak yang menyelenggarakan transaksi dapat
melanjutkan atau membatalkan kontrak. Khiyar ini penting dalam transaksi untuk
menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan
kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian
bagi mereka. Dengan demikian, khiyar disyari’atkan oleh Islam untuk memenuhi
5
kepentingan yang timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia. Sumber-
sumber yang melandasi khiyar ada dua macam, yaitu: kesepakatan antara pihak yang
menyelenggarakan akad seperti khiyar syarat dan ta'yin, dan syara' sendiri seperti
khiyar ru'yah dan aib.
Khiyar dalam jual beli maknanya adalah memilih yang terbaik dari dua perkara
untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli. Hikmah dari khiyar adalah
agar orang yang mempunyai hak khiyar mengetahui harga dan barang yang akan
diperjual belikan, sehingga ia selamat dari penipuan, menolak kemudharatan yang
bisa menimpa keduanya (Azam 2010, hal. 99-100). Khiyar terdiri dari delapan
macam, diantaranya adalah: Khiyar Majlis, Khiyar Syarat, Khiyar A'ib, Khiyar
Ta'yin, Kiyar Tadlis, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar Bisababi Takhaluf dan Khiyar
Ru'yah.
Ulama berbeda pendapat dalam memandang hak khiyar yang terdapat dalam
jual beli. Misalnya dalam khiyar majlis, khiyar majlis ini didasarkan pada hadis
shahih :
البيعـان بالخيـار ما لم يــتـفـرقا أو يقـول أحـدهـمـا لال خـر : اخـتـر
" Kedua pihak (pembeli dan penjual) memiliki khiyar selama keduanya belumberpisah atau salah satu berkata kepada yang lain : Pilihlah" (Bukhari 1992, III,hlm. 237).
Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang
melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka
masih berada di tempat diadakannya kontrak (majlis aqad) dan belum berpisah secara
6
fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak
seperti akad muawazhat dan ijarah (Sabiq 1987, 12, hlm. 106-107). Madzhab yang
sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah mazhab Syafi, sedangkan
mazhab Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis dalam akad.
Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, khiyar majlis itu ada sesudah
sempurnanya akad tanpa disertai syarat-syarat khiyar, bahkan meurut mazhab Syafi’i
jika orang yang melakukan akad jual beli itu menetapkan satu syarat tidak adanya
khiyar, maka jual beli tersebut batal. Hal ini disebabkan karena khiyar majlis itu
ditetapkan oleh nas bukan oleh ijtihad.
Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad telah disepakati
oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qabul, maka kedudukan akad ini menjadi jaiz
selama kedua pihak masih berada di dalam majlis aqad. Pada saat itu masing-masing
pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah transaksi dibatalkan atau
terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana hakekat perpisahan yang
mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan khiyar majlis telah dilampaui
sehingga transaksi secara hukum syara' telah dinilai berlangsung, diserahkan kepada
’urf atau kebiasaan yang berlaku di masyarkat itu (Ikhwan Abidin Basri, MA,
Khiyar ... dalam http://pelukis.multiply.com/journal/item/1 diakses tanggal 06
November 2010).
Madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada
dasarnya dalam syari’ah karena bertentangan dengan nash al-Qur'an surat al-Maidah
ayat 1 yang artinya : " Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu"
7
dan an-Nisa : 29 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". Menurut mereka
adanya ijab dan qabul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan
akad berdasarkan ayat tersebut. Karena itu kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan
lagi karena ijab dan qabul sudah otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing
yang melangsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis (Ikhwan
Abidin Basri, MA, Khiyar ... dalam http://pelukis.multiply.com/journal/item/1 diakses
tanggal 06 November 2010).
Demikian juga dengan khiyar syarat. Khiyar syarat sama halnya dengan
khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad
yang dapat dibatalkan oleh kerelaan pihak yang menyelenggarakannya seperti jual
beli, ijarah, musaqah, dan mudharabah. Adapun akad yang tidak lazim seperti
wakalah, wadiah, hibah dan wasiyah tidak memerlukan khiyar syarat, karena
tabiatnya memang tidak membutuhkannya (Az-Zuhaili tt., IV, hal. 254).
Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa tenggang waktu
dalam khiyar syarat. Namun, umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi
khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad terancam
fasad (menurut Hanafi) dan batal menurut Syafi'iyah dan Hambaliyah. Masa
tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati bersama. Pada garis
besarnya perbedaan mereka mengenai lamanya masa tenggang ini dapat
dikelompokkan kepada tiga macam.
8
1. Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga hari
karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari.
خـال بـة و لى الخـيار ثـال ثـة ايـام اذا بايعـت فـقـل : ال
“Jika kamu menjual maka kataakanalah : Tidak ada kecurangan. Dan sayamemiliki khiyar selama tiga hari" (H. R. Bukhori).
Menurut mereka bahwa masa tiga hari sudah dirasa cukup bagi pembeli untuk
menjatuhkan pilihannya. Karena itu jika ia melanggar lebih dari tiga hari, akadnya
maenjadi fasad dan batal (Ibnu Rusyd 1995, 4, hal. 188).
2. Madzhab Hambali dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa waktu
tenggang bagi khiyar syarat ini tidak harus merujuk kepada hadis tersebut
melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi meskipun
pada akhirnya harus melebihi dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena khiyar
syarat ditetapkan oleh syara' untuk memudahkan transaksi dan bermusyawarah.
Masa tiga hari kadang-kadang tidak cukup untuk mengambil keputusan yang
bijak. Meskipun dalam hadis tersebut dinyatakan tiga hari dan itu dianggap
cukup, namun bagi orang-orang tertentu tiga hari belum tentu cukup. Karena itu
persoalan lamanya tenggang ini diserahkan kepada pihak yang melangsungkan
transaksi (Ibnu Rusyd 1995, 4, hal. 188).
3. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang masa khiyar syarat ditentukan
oleh keadaan kebutuhan di lapangan dan ini akan berbeda-beda tergantung kepada
keadaan masing-masing barang. Kalau barang yang dibeli itu mudah rusak seperti
buah-buahan, masanya cuma sehari; kalau pakaian dan barang-barang tahan lama
9
bisa mencapai tiga hari; tetapi kalau barang itu jauh dari jangkauan si pembeli,
maka bisa melebihi dari tiga hari (Maliki 1999, hal. 371).
Namun demikian, kebiasaan yang menjadi pemandangan sehari-hari dan
sering dilakukan dalam praktik jual beli saat ini adalah para penjual atau pembeli
sering meniadakan hak khiyar, misalnya: 1) adanya pernyataan di kuitansi yang
menyatakan bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”, walaupun
pada sebagian barang dagangan tersebut pihak penjual memberikan hak garansi.
Dengan pernyataan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”, maka
pihak penjual menolak atau tidak menerima adanya khiyar. Dengan melakukan hal ini
maka penjual menutup pintu khiyar bagi pembeli. Hal ini banyak dilakukan oleh para
penjual di toko-toko. 2) Pembeli minta harga dikurangi atau ditambah
jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan barang setelah ijab qabul (kesepakatan)
sudah dilakukan kedua belah pihak sebelumnya. Hal ini banyak dilakukan oleh
pembeli terutama di pasar monopoli yaitu setelah selesai akad (ijab qabul) antara
penjual dan pembeli dengan harga dan jumlah/spesifikasi barang yang telah
disepakati kedua belah pihak kemudian keduanya berpisah dengan perjanjian bahwa
barangnya akan dikirim pada tanggal yang disepakati. Ketika sudah masuk tanggal
pengiriman barang, pembeli dengan seenaknya minta potongan harga atau jumlah
barangnya ditambah, padahal barangnya tidak ada cacat, bahkan terkadang ditambah
ancaman jika tidak dikabulkan permintaannya, dia akan melakukan pembatalan.
Kalaupun penjual mengabulkan keinginan si pembeli tersebut maka bisa dalam
keadaan terpaksa dan hal ini bisa menimbulkan ketidakridhaan atau keterpaksaan dari
10
pihak penjual. 3) Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang
dengan alasan biaya administrasi, ongkos kirim dan lain-lain. Hal ini biasanya terjadi
di proyek-proyek atau perkantoran, yaitu ketika akad jual beli sudah disepakati,
kemudian pekerjaan sudah berjalan dan dikerjakan dengan baik. Ketika akan
dilakukan pembayaran, pihak pembeli (kantor) memotong jumlah uang yang akan
dibayar dengan alasan biaya administrasi dan lain-lain. Jika keinginannya tidak
dikabulkan, maka ada ancaman bahwa pembayaran akan dipersulit, akan terjadi
pembatalan (khiyar), tidak akan diberi pekerjaan lagi dan lain-lain.
Ketiga perbuatan tersebut secara jelas telah meniadakan hak khiyar yang telah
ditetapkan Allah SWT dalam jual beli. Padahal khiyar itu disyariatkan atau
dibolehkan dalam Islam karena bisa jadi ada syarat yang tidak terpenuhi atau cacat
barang yang tidak diketahui oleh pembeli atau penjual, sehingga ada pihak yang tidak
ridha atau merasa dirugikan dalam transaksi jual beli tersebut.
Penjelasan tersebut memberikan inspirasi bagi penulis untuk meneliti lebih jauh
lagi mengenai pemikiran mazhab Maliki tentang hak khiyar dalam jual beli. Hasil
penelitian ini akan dituangkan ke dalam sebuat tesis yang berjudul ” Hak Khiyar
Dalam Jual Beli (Studi Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki Dan Relevansinya
Dengan Praktek Jual Beli Modern)”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
diangkat dalam penelitian ini adalah:
0 Bagaimanakah pemikiran Mazhab Maliki tentang khiyar dalam jual beli?
11
1 Bagaimana relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang khiyar dengan praktek
jual beli modern?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pemikiran Mazhab Maliki tentang hak khiyar dalam jual
beli.
2. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang hak khiyar
dengan praktik jual beli modern.
Kegunaan dari penelitian ini dari segi teoretis adalah penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi ilmiyah dalam memperkaya khazanah pengetahuan fiqh
mu’amalah tentang hak khiyar dalam jual beli menurut pemikiran Mazhab Malik.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi
pihak-pihak yang ingin mengetahui dan memahami masalah hak khiyar dalam jual
beli menurut pemikiran Mazhab Maliki. Selain itu sebagai bahan masukan bagi para
praktisi hukum dan perumus kebijakan dalam membuat peraturan-peraturan yang
berhubungan dengan masalah prekonomian di Indonesia.
Tinjauan pustaka
Mengenai penelitian yang berkaitan dengan masalah hak khiyar dalam jual beli ini
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya adalah: Penelitian yang
dilakukan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam bukunya ”Fiqh Muamalah:
12
Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam”. Dalam bukunya beliau membahas khiyar dalam
jual beli dalam satu bab pembahasan. Pembahasannya dimulai dari definisi dan
macam-macam khiyar. Selanjutnya dibahas juga secara rinci mengenai khiyar syarat
dan khiyar majelis (Azzam 2010, hal. 99-214).
Penelitian yang dilakukan oleh Mujiatun Ridawati tentang Konsep Khiyar
'aib dan Relevansinya dengan Garansi. Dalam penelitiannya, beliau secara khusus
membahas tentang khiyar ’aib dan membandingkannya dengan garansi. Dari hasil
penelitiannya dapat disimpulkan bahwa garansi merupakan perjanjian yang berupa
penjaminan terhadap cacat yang tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam
jangka waktu tertentu, sedangkan dalam hukum Islam pembeli berhak menggunakan
hak khiyar-nya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh
penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar ’aib
(cacat). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, khiyar ’aib adalah hak untuk
memilih antara meneruskan atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada
barang yang dipejual belikan. Tetapi hak khiyar tidak berlaku pada cacat yang telah
diketahui sebelum terjadi jual beli. Namun, Islam melarang jual beli yang
mengandung cacat, tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan
keuntugan yang tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Masykur Hasyim dengan judul ”Studi
Analisis Pendapat Ibnu Abidin Tentang Penuntutan Kembali Muhil Selama Tidak
Ada Syarat Khiyar” di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Dalam hasil penelitiannya
Masykur Hasyim menyimpulkan dua hal, pertama, Ibnu Abidin menyetujui muhal
13
boleh menuntut kembali kepada muhil apabila tidak disyaratkan khiyar. Karena
transaksi hiwalah adalah bentuk dari transaksi yang mengandung kepercayaan,
amanah dan keadilan, sehingga muhil masih terikad kepada muhal dan muhil harus
melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Kedua, Ibnu Abidin menggunakan
metode qiyas dalam ber-istinbath hukum karena adanya kemiripan antara transaksi
hiwalah dengan transaksi rahn (gadai).
Penelitian yang dilakukan oleh Syarip Hidayat dengan judul ”Studi
Komperatif Antara Pandangan Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani Tentang Khiyar
Dalam Jual Beli” di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam kedimpulannya
dijelaskan bahwa Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani sama-sama mengakui keabsahan
khiyar majlis, yaitu hak untuk tetap menetapkan atau membatalkan jual beli selama
mereka belum berpisah dari majlis aqad. Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani berbeda
pendapat mengenai khiyar syarat. Ibnu Hazm tidak membolehkan khiyar syarat
karena tidak ada dalil yang menetapkannya. Sementara Asy-Syaukani membolehkan
khiyar syarat. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam menetapkan metode
istinbath hukum.
Penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan Abidin Basri, MA dengan judul
Khiyar dalam Fiqh Muamalah yang mengkaji tentang pengertian khiyar, macam-
macam khiyar, syarat-syarat khiyar dan lain-lain. Sayid Sabiq (1987) dalam Fiqh
Sunnah-nya membahas tentang persoalan khiyar, baik dari pengerian, khiyar majelis,
khiyar syarat, khiyar untuk barang cacat khiyar barang tipuan dalam jual beli, khiyar
dalam jual beli curang dan lain-lain.
14
Berdasarkan data yang ada, penulis berkesimpulan bahwa kajian yang secara
khusus membicarakan ” Hak Khiyar Dalam Jual Beli (Studi Terhadap Pemikiran
Mazhab Maliki Dan Relevansinya Dengan Praktik Jual Beli Modern)” belum
ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan studi yang diperlukan dalam
memahami persoalan khiyar dalam jual beli dan relevansinya dengan praktek jual beli
saat ini.
Kerangka Teori
Penetapan hukum Islam pada hakikatnya bertujuan untuk manjaga
kemaslahatan manusia. Maslahah yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan
syari’at-Nya itu mutlak diwujudkan, karena kemaslahatan dan kesejahteraan duniawi
dan ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahah, terutama yang bersifat
daruriyah, yang meliputi lima hal yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan
dan harta (Khallaf 2003, hal. 110).
Al-Syatibi dalam “al-Muwafakat fi Ushul al-Syari’ah”, menyebutkan bahwa
dari segi substansi maqasid al-Syari'ah adalah kemaslahatan. Semua kewajiban
diciptakan oleh Allah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia. Tidak
satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat
dilaksanakan) dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah.
Pandangan ini diperkuat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa tujuan
hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang
disyari’atkan baik dalam Al-Qur’an dan sunnah melainkan di dalamnya terdapat
15
kemaslahatan (Tujuan Utama Penetapan Hukum Islam
http://www.surgamakalah.com/2012/01/).
Senada dengan pandangan di atas, Ibnu Qayyim, berpendapat bahwa tujuan
hukum Islam adalah untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat
manusia di dunia dan di akhirat. Hukum Islam bersendikan dan berasaskan hikmah
dan kemaslahatan dalam hidupnya. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih
sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Setiap persoalan yang keluar
dan menuju keaniayaan, menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari
kemaslahatan menuju kemafsadatan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju hal
yang sia-sia, itu bukanlah hukum Islam.
Hukum syari’ah yang penuh keberkatan tersebut adalah hukum syari’ah yang
disampaikan kepada orang-orang yang ummi, di antara landasan bahwa syari’ah ini
ummiyah adalah karena pembawa syariah itu sendiri (Rasulullah saw.). Firman Allah
dalam Surat al- Jumu’ah (62) ayat 2 yang artinya:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antaramereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan merekadan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnyamereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW
dalam keadaan ummi. Oleh karena itu, untuk memahami maqasid al-Syari'ah, serta
mengetahui perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an atau sunnah,
seseorang itu tidak disyaratkan harus lebih dahulu mengetahui ilmu sebab akibat dan
ilmu pasti (http://www.surgamakalah.com/2012/01/). Dengan demikian, semua
16
hukum atau peraturan yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia berlaku bagi
smua manusia tanpa terkecuali, karena bertujuan untuk kemaslahatan manusia itu
sendiri.
Untuk mewujudkan kemaslahatan umat, Allah SWT telah mensyari’atkan
peraturan tentang jual beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,
karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan bantuan orang
lain. Dalam surat An-Nisaa’ ayat 29, Allah SWT melarang manusia saling memakan
harta sesamanya dengan jalan yang batil, karena merupakan kezaliman dan
bertentangan dengan konsep maslahah. Perniagaan/jual beli yang dilakukan secara
suka sama suka dan saling ridha merupakan salah satu jalan untuk memenuhi
kebutuhan hidup atau mendapatkan harta yang dibolehkan oleh syara’. Dalam ayat
tersebut, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka
(taradhi). Ayat tersebut menunjukkan bahwa asal dalam muamalah (jual beli) adalah
halal. Dalam kaidah fiqh dijelaskan bahwa:
( (األصل في المعامالت الحلArtinya: “Asal dalam muamalah adalah halal”
Pengertian kaidah ini adalah “semua akad yang terjadi antara dua pihak
(penjual dan pembeli) adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua
bentuk mu’amalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh,
kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya
dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal. Jadi berdasarkan kaidah fiqh
tersebut hukum asal melakukan jual beli adalah halal (Kaidah Dasar Memahami
17
Fikih Muamalah Malikiyah dalam http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26
Januari 2012).
Namun demikian, dalam praktik jual beli, ada kalanya terjadi penyesalan di
antara pihak penjual dan pembeli yang disebabkan karena kekurang hati-hatian,
tergesa-gesa atau faktor lainnya. Mengingat prinsip berlakunya jual beli adalah atas
dasar suka-sama suka ('an taradhin minkum), maka untuk mewujudkan tujuan
penetapan hukum Islam yaitu: maslahah, syara' memberi kesempatan kepada kedua
belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memilih antara dua, yaitu
melangsungkan jual beli atau membatalkannya. Memilih antara dua kemungkinan
inilah yang dinamakan khiyar dalam jual beli. Hak untuk memilih antara dua
kemungkinan tersebut sepanjang masing-masing pihak masih dalam keadaan
mempertimbangkan.
Dalam hal ini, Nabi SAW telah bersabda yang artinya:
"Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selamamereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual belidan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), makaakan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya salingberdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jualbeli dari keduanya" (Al-Asqalani 2005, 12, hal. 127)
Kandungan makna Hadits tersebut menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya
melakukan akad jual beli adalah adanya saling ridha di antara keduanya (penjual dan
pembeli). Tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur
terpaksa yang disebabkan karena adanya cacat. Oleh karena itu, jual beli dalam Islam
mengatur adanya khiyar aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual
18
beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek
yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad
berlangsung (Al-Asqalani 2005, 12, hal. 128-129) .
Secara etimologi, khiyar artinya adalah memilih, menyisihkan dan menyaring.
Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk
dijadikan orientasi. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya : hak yang dimiliki
orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang
disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya (Azam 2010, hal.
99).
Dengan demikian, kedudukan hak Khiyar sangat penting dalam transaksi untuk
menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan
kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian
bagi mereka. Khiyar disyariatkan oleh Islam untuk memenuhi kepentingan yang
timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia (Al-Jaziri 1994, 3, hlm. 349).
Sumber-sumber yang melandasi khiyar ada dua macam yaitu kesepakatan antara
pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar syarat dan ta'yin dan syara' sendiri
seperti khiyar ru'yah dan aib.
Hikmah dari khiyar adalah agar orang yang mempunyai hak khiyar mengetahui
harga dan barang yang akan diperjual belikan, sehingga ia selamat dari penipuan,
menolak kemudharatan yang bisa menimpa keduanya (Azam 2010, hal. 99-100).
Khiyar terdiri dari delapan macam, diantaranya adalah: Khiyar Majlis, Khiyar Syarat,
Khiyar A'ib, Khiyar Ru'yah, Khiyar Ta'yin dan lain-lain.
19
Ulama berbeda pendapat dalam memandang khiyar yang terdapat dalam jual
beli. Misalnya dalam khiyar majlis sdan khiyar syarat. Khiyar majlis sah menjadi
milik si penjual dan si pembeli sejak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka
berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada
khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya
akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyar-nya,
sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
Dalam riwayat Ibnu Umar ra, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari
mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih
berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.
Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual
beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli
itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka
jual beli telah terjadi (juga).” (Al-Asqalani 2005, IV, hal. 332). Hadits senada juga
diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum
berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak
boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Nasai tt., VII, hal. 251).
Menurut Ibnul Qoyyim ra. dalam penetapan adanya khiyar majelis dalam jual beli ada
hikmah dan maslahah bagi keduanya, yaitu agar terwujud kesempurnaan ridha yang
20
disyaratkan oleh Allah SWT dalam jual beli melalui firman-Nya “Kecuali saling
keridhaan di atara kalian” (An-Nisa ayat 29), karena sesungguhnya akad jual beli itu
sering terjadi dengan tiba-tiba tanpa berfikir panjang dan melihat harga. Maka
kebaikan-kebaikan syariat yang sempurna ini mengharuskan adanya sebuah aturan
berupa khiyar supaya masing-masing penjual dan pembeli melakukannya dalam
keadaan puas dan melihat kembali trasnsksi itu (maslahah dan mandarat-nya). Maka
masing-masing punya hak untuk memilh sesuai dengan hadits “selama keduanya
tidak berpisah dari tempat jual beli”.
Jika keduanya meniadakan khiyar (hanya asas kepercayaan) yaitu saling berjual
beli dengan syarat tidak ada khiyar, atau salah seorang diantara keduanya tidak
menginginkan hak khiyar, maka ketika itu harus terjadi jual beli pada keduanya atau
terhadap orang yang mengugurkan hak khiyar-nya hanya sebatas akad saja. Karena
khiyar itu merupakan hak dari orang yang bertransaksi maka hak itu hilang jika yang
punya hak membatalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Selama keduanya
belum berpisah atau pilihan salah seorang dari keduanya terhadap yang lain”(Bukhari
tt, III, hal. 422).
Madzhab yang sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah mazhab
Syafi dan Hambali. Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad
telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qabul, maka kedudukan akad
ini menjadi jaiz selama kedua pihak masih berada di dalam majlis akad. Pada saat itu
masing-masing pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah transaksi
dibatalkan atau terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana hakekat perpisahan
21
yang mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan khiyar majlis telah
dilampaui sehingga transaksi secara hukum syara' telah dinilai berlangsung,
diserahkan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku di masyarkat itu.
Sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis
dalam akad. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak
ada dasarnya dalam syariah karena bertentangan dengan surat an-Nisa ayat 29. Ijab
dan qabul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan akad
berdasarkan ayat tersebut. Karena itu kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi
karena ijab dan qabul sudah otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang
melangsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis.
Demikian juga halnya dengan khiyar syarat, ulama berbeda pendapat dalam
memandangnya. Menurut ulama khiyar syarat adalah khiyar dengan syarat, sah bagi
penjual dan pembeli sama-sama menetapkan adanya khiyar dan sah juga khiyar
syarat yang datang dari salah satu penjual atau pembeli (Al-Jaziri 1994, 3, hlm. 357).
Jadi, pada khiyar syarat masing-masing dari keduanya mensyaratkan adanya khiyar
ketika melakukan akad atau setelahnya selama khiyar majelis dalam waktu tertenu,
berdasarkan keumuman firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman
tunaikanlah janji-janji itu” (Q.S. Al Maidah ayat 1.). Dua orang yang bertransaksi sah
untuk mensyaratkan khiyar terhadap salah seorang dari keduanya karena khiyar
merupakan hak dari keduanya, maka selama keduanya ridha berarti hal itu boleh. Hal
ini sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
( روط في المعامالت الحل (األصل في الش
22
Artinya: “Asal dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal”
Kaidah ini termasuk kaidah penting dalam fikih mu’amalah, karena
berhubungan dengan syarat yang memberikan manfaat kepada kedua belah pihak
(penjual dan pembeli) atau salah satunya. Dengan demikian, khiyar syarat yang
diajukan oleh kedua belah pihak atau salah satunya, pada asalnya adalah boleh. Hal
ini dimaksudkan agar ledua belah pihak yang melakukan akad jual beli sama-sama
saling ridha (Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Malikiyah dalam
http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26 Januari 2012).
Pemberlakuan hak khiyar dalam transaksi jual beli bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi dua belah pihak yang melakukan akad jual beli dan terwujudnya
keadilan bagi kedua belah pihak serta terhindarnya kezaliman. Seluruh aktivitas
mu’amalah termasuk jual beli harus dilakukan melalui prinsip keadilan dan
menghindari terjadinya kezaliman, untuk itulah diberlakukan hak khiyar dalam jual
beli. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:
رر عنهما) رفين ورفع الض لم ومراعاة مصلحة الط (األصل هو العدل في كل المعامالت و منع الظ
Artinya: “Asal setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan”.
Kaidah ini berlaku pada seluruh aktivitas mu’amalah termasuk jual beli. Pada
asalnya, seluruh akad dalam transaksi jual beli harus dilakukan dengan harus adil,
dilarang berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan dan menghilangkan
kemudharatan (Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Malikiyah dalam
http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26 Januari 2012). Jadi pemberlakuan hak
23
khiyar merupakan satu upaya untuk menciptakan keadilan, mencegah terjadinya
kezaliman dan memperhatikan kemaslahatan. Penghilangan hak khiyar dalam
transaksi jual beli akan dapat menimbulkan terjadinya ketidakadilan dan kezaliman
kepada salah satu pihak yang melakukan akad jual beli. Dengan demikain,
menghilangan hak khiyar secara sepihak dalam transaksi jual beli merupakan sesuatu
yang dilarang, karena dapat menimbulkan kemudharatan. Hal ini sejalan dengan
kaidah fiqh yang berbunyi:
دق و األمانة) (المعامالت مبنية على الص
Artinya: “Mu’amalah dibangun di atas kejujuran dan amanah”
Pemberlakuan hak khiyar ini berlaku bagi semua aktivitas jual beli, termasuk
dalam praktek jual beli yang terjadi di zaman modern ini, misalnya, jual beli melalui
telpon, jual beli melalui internet dan jual beli melalui SMS. Semua praktrek jual beli
yang berkembang dalam sistem perekonomian modern tersebut tetap dipandangn sah
bila terpenuhi rukun dan syarat jual beli yang ditetapkan syara’, yang terpenting
jangan sampai terjadi jual beli gharar yang dilarang syara’. Hal ini didasarkan pada
kaidah fiqh:
(منع الغرر)
Artinya: Larangan al-gharar
Jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan
atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak
24
diketahui hakikat dan ukurannya. Di antara hal yang harus diperhatikan dalam
mengenal al-gharar yang terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syari’at
terhadap al-gharar secara mutlak. Namun, harus melihat dan meneliti maksud
syari’at dalam larangan tersebut, karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan
dalam jual-beli dan itu tentunya bukan tujuan syari’at, sebab hampir semua bentuk
mu’amalah tidak lepas dari al-gharar. Para ulama memberikan syarat bagi al-gharar
yang terlarang sebagai berikut: Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi,
kebutuhan umum tidak membutuhkannya, mungkin menghindarinya tanpa susah
payah, gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah, dan gharar terdapat pada
asal, bukan sampingan.
A. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Dalam meneliti dan mengkaji masalah “Hak Khiyar Dalam Jual Beli (Studi
Terhadap Pemikiran Imam Maliki Dan Relevansinya Dengan Praktik Jual Beli
Modern)” ini, akan digunakan pendekatan fiqh karena objek kajian dalam
penelitian ini berhubungan dengan persoalan fiqh. Pendekatan fiqh merupakan
suatu pendekatan yang menggunakan kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh sebagai
metode dalam menetapkan hukum Islam.
2. Sumber dan jenis data
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian kepada kajian kepustakaan
(library research), maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data
25
kualitatif, yaitu data berupa pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang
khiyar serta pemikiran para ahli tentang masalah tersebut. Sumber data utama
sepenuhnya diperoleh dari pemikiran Imam Maliki yang membahas tentang
khiyar, antara lain: Kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik, Bidayah Al-Mujtahid
karya Ibnu Rusyd dan lain-lain. Di samping itu, juga digunakan sumber data
penunjang yang diperoleh dari berbagai buku, makalah dan teks-teks lain yang
membahas persoalan tersebut, misalnya, Kitab Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’a
karya Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq, Fiqh Muamalah
karya Abdul Aziz Muhammad Azam dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian kepustakaan dalam mengumpulkan datanya menggunakan teknik
pengumpulan data kepustakaan, yaitu pengumpulan data penelitian yang
dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang berupa
kitab-kitab, buku-buku dan dalam bentuk lain yang dihasilkan oleh Mazhab
Maliki. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara
mengoleksi dan membaca serta memilah-milah keterangan-keterangan tentang
pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar yang terdapat dalam
kitab-kitab, buku-buku, makalah dan artikel. Seluruh data yang terangkum akan
dikumpulkan dan ditelaah, kemudian akan dipilah dan diklasifikasikan sesuai
dengan pembahasannya masing-masing.
26
4. Analisis Data
Analisis data penelitian menurut Lexy J. Moleong (1989, hlm. 4-8) adalah proses
menyusun, mengkategorikan data, mencari pola atau tema dengan maksud untuk
memahami maknanya. Terkait dengan analisis data, penelitian ini menggunakan
metode analisis data comparatif, yakni: penulis akan memahami dan menganalisa
pesan-pesan yang terkandung dalam pemikiran Mazhab Maliki yang membahas
tentang khiyar dan membandingkannya dengan pemikiran para ahli yang
membahas permasalahan yang sedang diteliti. Dalam analisa isi, standar yang
digunakan adalah pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar dan
pemikiran para ahli tentang pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang
khiyar.
B. Sistematika Pembahasan
Unuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis akan mengunakan arahan berupa
sistematika pembahasan sebagai pedoman dalam penulisan tesis ini. Secara
sistematis, penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu: Bab pertama, adalah Bab
Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas latar belakang munculnya masalah yang
akan dibahas dalam tesis ini, kemudian akan dirincikan juga pokok-pokok masalah
yang akan dijawab dalam tesisi ini, serta tujuan dan kegunaan penelitian, termasuk
tinjauan pustaka, kerangka teori dan metodologi penelitian yang akan menjadi pijakan
dalam penelitian ini. Bab kedua, membahas kerangka teori tentang jual beli dan
khiyar dalam ajaran Islam. Pembahasan ini sangat diperlukan untuk memahami
27
seputar persoalan dan kedudukan khiyar dalam jual beli. Bab ketiga, membahas
tentang pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar. Bab keempat,
akan membahas masalah inti, yaitu: relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang
khiyar dengan praktek jual beli modern. Pembahasan ini dimaksudkan untuk
mengetahui pemikiran mazhab Maliki tentang khiyar dan relevansinya dengan praktik
jual beli modern. Bab kelima, merupakan kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan
disimpulkan inti jawaban atas pokok masalah pada bab pertama dan akan
dikemukakan saran-saran terkait tentang masalah yang di bahas.
28
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Al-Qur’an. CV. Toha Putra, Semarang
Abu Daud 1993, Terjemahan Sunan Abu Daud, diterjemahkan oleh H. Bey Arifin dan
A.Syinqithy Djamaluddi, Asy-Syifa, Semarang. Jilid 3
Al-Asqolani, Ibnu Hajar 1997, Fathul Baari Syarah Shaih Bukhari, Maktabah
Darussalam, Riyadh, jilid 10 dan 8.
Azam, Abdul Aziz Muhammad 2010, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam,
Amzah, Jakarta, Cet.1.
Buchori, Didin Saefuddin 2005, Metodologi Studi Islam, Granada Sarana Pustaka,
Bogor.
Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail 1992, Terjemahan Shahih
Bukhari, diterjemahkan oleh Achmad Sunarto dkk, Asy-Syifa, Semarang.
29
Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar, 1997, Kifayah al-Akhyar. Alih Bahasa
Ahmad Zainuddin dan A. Ma’rif Ansori. PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Ikhwan Abidin Basri, MA, Khiyar dalam Fikih Muamalat dalamhttp://pelukis.multiply.com/journal/item/1
Ibnu Rusyd, 1990, Bidayah al-Mujtahid. Alih Bahasa M. A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah. C.V. Asy-Syifa, Semarang.
Ibn Anas, Maliki 1999, Al-Muwatta, diterjemahkan oleh Dwi Surya Atmaja, PT RajaGrafindo Peersada Jakarta.
Al-Jaziri, Aburrahman. t.t. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-arba’a. Diterjemahkanoleh H. Moh Zuhri, Dipl. Tafl dkk, CV Asy-Syifa Semarang, Jlid 3.
Khallaf, Abdul Wahaf 2003, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,Rajawali Press, Jakarta
Mas’ud, Muhammad Khalid 1977, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al- Shatibi’s Life and Thought, Islamic Research Institute, Islamabad, Pakistan
Sabiq, Sayyid 1990, Fiqh as-Sunnah diterjemahkan oleh Kahar Mansyur, KalamMuliya, Jakarta.
Suratmaputra, Ahmad Munif 2002, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta
Shihab, Muhammad Quraish 1992, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Misan, Bandung.
----------- 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’i atas persoalan pelbagai
Umat, Mizan, Bandung.
30
Team Zisonline.com 2003, Hukum Jual Beli dalam Islam dalamhttp://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=66