bab i pendahuluanrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/bab 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi,...

30
Bab I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil (menyeluruh), meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai masalah dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Allah SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskan beberapa hukum mu’amalah sebagai media transaksi, karena kebutuhan manusia akan makanan yang berfungsi untuk menyelamatkan jiwa, demikian pula kebutuhan kepada pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya. Jual beli merupakan salah satu sarana yang ditetapkan Allah SWT agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia membutuhkan bantuan orang lain. Asal hukum jual beli dalam Islam adalah mubah (boleh), namun terkadang bisa menjadi wajib ketika dalam keadaan terpaksa, untuk menyelamatkan jiwanya (Al-Jaziri 1994, 3, hal. 315). Para ulama telah sepakat atas kebolehan jual beli, adapun qiyas menunjukkan bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain, baik berupa harga atau sesuatu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak akan mendapatkannya kecuali melalui transaksi tukar menukar. Dengan demikian, jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki.

Upload: others

Post on 16-Jul-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

Bab I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang penuh kemudahan dan syamil

(menyeluruh), meliputi segenap aspek kehidupan, selalu memperhatikan berbagai

masalah dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Allah

SWT dan Rasul-Nya telah menjelaskan beberapa hukum mu’amalah sebagai media

transaksi, karena kebutuhan manusia akan makanan yang berfungsi untuk

menyelamatkan jiwa, demikian pula kebutuhan kepada pakaian, tempat tinggal,

kendaraan dan berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaanya.

Jual beli merupakan salah satu sarana yang ditetapkan Allah SWT agar

manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya manusia membutuhkan bantuan orang lain. Asal hukum jual beli dalam

Islam adalah mubah (boleh), namun terkadang bisa menjadi wajib ketika dalam

keadaan terpaksa, untuk menyelamatkan jiwanya (Al-Jaziri 1994, 3, hal. 315).

Para ulama telah sepakat atas kebolehan jual beli, adapun qiyas menunjukkan

bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan

manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain, baik berupa harga atau

sesuatu yang dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak akan mendapatkannya kecuali

melalui transaksi tukar menukar. Dengan demikian, jelaslah hikmah itu menuntut

dibolehkannya jual beli untuk sampai kepada tujuan yang dikehendaki.

Page 2: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

2

Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam jual, yaitu: kedua belah pihak yang

berakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau

gugur maka tidak sah jual belinya (Sabiq 1987, 12, hal. 48). Bagi yang beraqad harus

memenuhi syarat: pertama, adanya saling rida di antara keduanya (penjual dan

pembeli). Jadi, tidak sah dalam suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada

unsur terpaksa tanpa haq (sesuatu yang diperbolehkan). Hal ini didasarkan pada

firman Allah SWT:

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salingmemakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecualidengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-sukadi antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu ”(Q.S.An-Nisa (4) ayat 29).

Namun demikian, apabila keterpaksaan tersebut adalah perkara yang haq

(dibanarkan syariah), maka sah jual belinya. Sebagai contoh: seandainya seorang

hakim memaksa seseorang untuk menjual barangnya guna membayar hutangnya,

maka meskipun itu terpaksa jual beli yang dilakukannya dinyatakan tetap sah.

Kedua, yang melakukan akad adalah orang yang diperkenankan (secara syariat)

untuk melakukan transaksi, yaitu: orang yang merdeka, mukallaf dan sehat akalnya.

Jadi, tidak sah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil, orang yang bodoh, orang

gila dan hamba sahaya dengan tanpa izin tuannya (Sabiq 1987, 12 hal. 49). Akad jual

beli terbagi dalam dua bentuk, yaitu 1) Bentuk perkataan terdiri dari Ijab, yaitu: kata

yang keluar dari penjual seperti ucapan "saya jual" dan qabul yaitu: ucapan yang

keluar dari pembeli dengan ucapan "saya beli"; 2) Bentuk perbuatan : muathah

Page 3: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

3

(saling memberi) yang terdiri dari perbuatan mengambil dan memberi. Misalnya:

penjual memberikan barang dagangan kepadanya (pembeli) dan (pembeli)

memberikan harga yang wajar (telah ditentukan) (Sabiq 1987, 12, hal. 46-48).

Namun, terkadang terjadi bentuk akad yang terdiri dari ucapan dan perbuatan

sekaligus. Dalam hal ini, Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah ra. berkata : jual beli

mu’athah ada beberapa gambaran 1) Penjual hanya melakukan ijab lafadz saja, dan

pembeli mengambilnya seperti ucapan "ambilah baju ini dengan satu dinar”, maka

kemudian diambil, demikian pula kalau harga itu dengan sesuatu tertentu seperti

mengucapkan "ambilah baju ini dengan bajumu", maka kemudian dia mengambilnya;

2) Pembeli mengucapkan suatu lafadz sedang dari penjual hanya memberi, sama saja

apakah harga barang tersebut sudah pasti atau dalam bentuk suatu jaminan dalam

perjanjian.(dihutangkan); 3) Keduanya tidak mengucapkan lapadz apa pun, bahkan

ada kebiasaan, yaitu: meletakkan uang (suatu harga) dan mengambil sesuatu yang

telah dihargai. ’Akad jual beli juga dinyatakan dengan ijab qabul melalui tulisan,

perantara orang lain maupun dengan isyarat. (Azzam 2010, hal. 34-38).

Demi kemaslahatan manusia dan untuk menghindari kemudharatan, Allah SWT

telah mensyariatkan dalam jual beli berupa hak memilih bagi orang yang

bertransaksi, supaya mereka puas dalam urusannya dan bisa melihat maslahat dan

madharat yang ada dari akad tersebut, sehingga dia bisa mendapatkan hasil yang

diharapkan dari pilihannya atau membatalkan jual belinya apabila dia melihat tidak

ada maslahat padanya.

Page 4: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

4

Hal tersebut, tergambar dalam hadits Nabi SAW yang menjelaskan bahwa

apabila dua orang yang saling berjual beli, maka keduanya memiliki hak yang sama

untuk saling memilih selama mereka tidak saling berpisah, jika keduanya saling jujur

dalam jual beli dan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat),

maka akan diberikan berkah jual beli kepada keduanya, namun apabila keduanya

saling berdusta dan saling menyembunyikan aib/cacatnya, maka akan dicabut berkah

jual beli dari keduanya" (Bukhari 1992, III, hlm. 237)

Dalam transaksi jual beli, pihak pembeli maupun penjual memiliki pilihan

untuk menentukan apakah mereka betul-betul akan membeli atau menjual,

membatalkannya dan atau menentukan pilihan di antara barang yang ditawarkan.

Pilihan untuk meneruskan atau membatalkan dan menjatuhkan pilihan di antara

barang yang ditawarkan yang harus dipilih, dalam fiqh mu’amalat disebut khiyar.

Jumhur fuqahah (termasuk keempat Mazhab fiqh) sepakat menyatakan kebolehan

khiyar, kecuali Ats-Tsauri dan sekelompok ahli Zahiri. Fuqahah yang melarang

beralasan, khiyar adalah kesamaran sedangkan jual beli adalah kepastian (Ibnu Rusyd

1995, 4, hlm. 187-189)

Suatu akad lazim adalah akad yang kosong dari salah satu khiyar yang

memiliki konsekuensi bahwa pihak yang menyelenggarakan transaksi dapat

melanjutkan atau membatalkan kontrak. Khiyar ini penting dalam transaksi untuk

menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan

kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian

bagi mereka. Dengan demikian, khiyar disyari’atkan oleh Islam untuk memenuhi

Page 5: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

5

kepentingan yang timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia. Sumber-

sumber yang melandasi khiyar ada dua macam, yaitu: kesepakatan antara pihak yang

menyelenggarakan akad seperti khiyar syarat dan ta'yin, dan syara' sendiri seperti

khiyar ru'yah dan aib.

Khiyar dalam jual beli maknanya adalah memilih yang terbaik dari dua perkara

untuk melangsungkan atau membatalkan akad jual beli. Hikmah dari khiyar adalah

agar orang yang mempunyai hak khiyar mengetahui harga dan barang yang akan

diperjual belikan, sehingga ia selamat dari penipuan, menolak kemudharatan yang

bisa menimpa keduanya (Azam 2010, hal. 99-100). Khiyar terdiri dari delapan

macam, diantaranya adalah: Khiyar Majlis, Khiyar Syarat, Khiyar A'ib, Khiyar

Ta'yin, Kiyar Tadlis, Khiyar Takhbir Bitsaman, Khiyar Bisababi Takhaluf dan Khiyar

Ru'yah.

Ulama berbeda pendapat dalam memandang hak khiyar yang terdapat dalam

jual beli. Misalnya dalam khiyar majlis, khiyar majlis ini didasarkan pada hadis

shahih :

البيعـان بالخيـار ما لم يــتـفـرقا أو يقـول أحـدهـمـا لال خـر : اخـتـر

" Kedua pihak (pembeli dan penjual) memiliki khiyar selama keduanya belumberpisah atau salah satu berkata kepada yang lain : Pilihlah" (Bukhari 1992, III,hlm. 237).

Yang dimaksud dengan khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang

melangsungkan akad untuk membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka

masih berada di tempat diadakannya kontrak (majlis aqad) dan belum berpisah secara

Page 6: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

6

fisik. Khiyar ini terbatas hanya pada akad-akad yang diselenggarakan oleh dua pihak

seperti akad muawazhat dan ijarah (Sabiq 1987, 12, hlm. 106-107). Madzhab yang

sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah mazhab Syafi, sedangkan

mazhab Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis dalam akad.

Menurut mazhab Syafi’i dan Hambali, khiyar majlis itu ada sesudah

sempurnanya akad tanpa disertai syarat-syarat khiyar, bahkan meurut mazhab Syafi’i

jika orang yang melakukan akad jual beli itu menetapkan satu syarat tidak adanya

khiyar, maka jual beli tersebut batal. Hal ini disebabkan karena khiyar majlis itu

ditetapkan oleh nas bukan oleh ijtihad.

Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad telah disepakati

oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qabul, maka kedudukan akad ini menjadi jaiz

selama kedua pihak masih berada di dalam majlis aqad. Pada saat itu masing-masing

pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah transaksi dibatalkan atau

terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana hakekat perpisahan yang

mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan khiyar majlis telah dilampaui

sehingga transaksi secara hukum syara' telah dinilai berlangsung, diserahkan kepada

’urf atau kebiasaan yang berlaku di masyarkat itu (Ikhwan Abidin Basri, MA,

Khiyar ... dalam http://pelukis.multiply.com/journal/item/1 diakses tanggal 06

November 2010).

Madzhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak ada

dasarnya dalam syari’ah karena bertentangan dengan nash al-Qur'an surat al-Maidah

ayat 1 yang artinya : " Wahai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu"

Page 7: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

7

dan an-Nisa : 29 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

saling memakan harta sesamamu dengan cara batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu". Menurut mereka

adanya ijab dan qabul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan

akad berdasarkan ayat tersebut. Karena itu kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan

lagi karena ijab dan qabul sudah otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing

yang melangsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis (Ikhwan

Abidin Basri, MA, Khiyar ... dalam http://pelukis.multiply.com/journal/item/1 diakses

tanggal 06 November 2010).

Demikian juga dengan khiyar syarat. Khiyar syarat sama halnya dengan

khiyar majlis dalam arti kata hanya berlaku bagi akad-akad lazim saja, yaitu akad

yang dapat dibatalkan oleh kerelaan pihak yang menyelenggarakannya seperti jual

beli, ijarah, musaqah, dan mudharabah. Adapun akad yang tidak lazim seperti

wakalah, wadiah, hibah dan wasiyah tidak memerlukan khiyar syarat, karena

tabiatnya memang tidak membutuhkannya (Az-Zuhaili tt., IV, hal. 254).

Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa tenggang waktu

dalam khiyar syarat. Namun, umumnya mereka sepakat bahwa tenggang waktu bagi

khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau tidak akad terancam

fasad (menurut Hanafi) dan batal menurut Syafi'iyah dan Hambaliyah. Masa

tenggang khiyar ini mulai berlaku sesudah akad disepakati bersama. Pada garis

besarnya perbedaan mereka mengenai lamanya masa tenggang ini dapat

dikelompokkan kepada tiga macam.

Page 8: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

8

1. Hanafiyah dan Syafi'iyah berpendapat masanya tidak boleh lebih dari tiga hari

karena hadis yang menetapkan khiyar ini menyebutkan masa tiga hari.

خـال بـة و لى الخـيار ثـال ثـة ايـام اذا بايعـت فـقـل : ال

“Jika kamu menjual maka kataakanalah : Tidak ada kecurangan. Dan sayamemiliki khiyar selama tiga hari" (H. R. Bukhori).

Menurut mereka bahwa masa tiga hari sudah dirasa cukup bagi pembeli untuk

menjatuhkan pilihannya. Karena itu jika ia melanggar lebih dari tiga hari, akadnya

maenjadi fasad dan batal (Ibnu Rusyd 1995, 4, hal. 188).

2. Madzhab Hambali dan sebagian Hanafiyah berpendapat bahwa waktu

tenggang bagi khiyar syarat ini tidak harus merujuk kepada hadis tersebut

melainkan kepada kesepakatan pihak-pihak yang melakukan transaksi meskipun

pada akhirnya harus melebihi dari tiga hari. Hal ini disebabkan karena khiyar

syarat ditetapkan oleh syara' untuk memudahkan transaksi dan bermusyawarah.

Masa tiga hari kadang-kadang tidak cukup untuk mengambil keputusan yang

bijak. Meskipun dalam hadis tersebut dinyatakan tiga hari dan itu dianggap

cukup, namun bagi orang-orang tertentu tiga hari belum tentu cukup. Karena itu

persoalan lamanya tenggang ini diserahkan kepada pihak yang melangsungkan

transaksi (Ibnu Rusyd 1995, 4, hal. 188).

3. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tenggang masa khiyar syarat ditentukan

oleh keadaan kebutuhan di lapangan dan ini akan berbeda-beda tergantung kepada

keadaan masing-masing barang. Kalau barang yang dibeli itu mudah rusak seperti

buah-buahan, masanya cuma sehari; kalau pakaian dan barang-barang tahan lama

Page 9: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

9

bisa mencapai tiga hari; tetapi kalau barang itu jauh dari jangkauan si pembeli,

maka bisa melebihi dari tiga hari (Maliki 1999, hal. 371).

Namun demikian, kebiasaan yang menjadi pemandangan sehari-hari dan

sering dilakukan dalam praktik jual beli saat ini adalah para penjual atau pembeli

sering meniadakan hak khiyar, misalnya: 1) adanya pernyataan di kuitansi yang

menyatakan bahwa “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”, walaupun

pada sebagian barang dagangan tersebut pihak penjual memberikan hak garansi.

Dengan pernyataan “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan”, maka

pihak penjual menolak atau tidak menerima adanya khiyar. Dengan melakukan hal ini

maka penjual menutup pintu khiyar bagi pembeli. Hal ini banyak dilakukan oleh para

penjual di toko-toko. 2) Pembeli minta harga dikurangi atau ditambah

jumlah/spesifikasi barang ketika penyerahan barang setelah ijab qabul (kesepakatan)

sudah dilakukan kedua belah pihak sebelumnya. Hal ini banyak dilakukan oleh

pembeli terutama di pasar monopoli yaitu setelah selesai akad (ijab qabul) antara

penjual dan pembeli dengan harga dan jumlah/spesifikasi barang yang telah

disepakati kedua belah pihak kemudian keduanya berpisah dengan perjanjian bahwa

barangnya akan dikirim pada tanggal yang disepakati. Ketika sudah masuk tanggal

pengiriman barang, pembeli dengan seenaknya minta potongan harga atau jumlah

barangnya ditambah, padahal barangnya tidak ada cacat, bahkan terkadang ditambah

ancaman jika tidak dikabulkan permintaannya, dia akan melakukan pembatalan.

Kalaupun penjual mengabulkan keinginan si pembeli tersebut maka bisa dalam

keadaan terpaksa dan hal ini bisa menimbulkan ketidakridhaan atau keterpaksaan dari

Page 10: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

10

pihak penjual. 3) Penjual minta tambahan uang lebih ketika penyerahan barang

dengan alasan biaya administrasi, ongkos kirim dan lain-lain. Hal ini biasanya terjadi

di proyek-proyek atau perkantoran, yaitu ketika akad jual beli sudah disepakati,

kemudian pekerjaan sudah berjalan dan dikerjakan dengan baik. Ketika akan

dilakukan pembayaran, pihak pembeli (kantor) memotong jumlah uang yang akan

dibayar dengan alasan biaya administrasi dan lain-lain. Jika keinginannya tidak

dikabulkan, maka ada ancaman bahwa pembayaran akan dipersulit, akan terjadi

pembatalan (khiyar), tidak akan diberi pekerjaan lagi dan lain-lain.

Ketiga perbuatan tersebut secara jelas telah meniadakan hak khiyar yang telah

ditetapkan Allah SWT dalam jual beli. Padahal khiyar itu disyariatkan atau

dibolehkan dalam Islam karena bisa jadi ada syarat yang tidak terpenuhi atau cacat

barang yang tidak diketahui oleh pembeli atau penjual, sehingga ada pihak yang tidak

ridha atau merasa dirugikan dalam transaksi jual beli tersebut.

Penjelasan tersebut memberikan inspirasi bagi penulis untuk meneliti lebih jauh

lagi mengenai pemikiran mazhab Maliki tentang hak khiyar dalam jual beli. Hasil

penelitian ini akan dituangkan ke dalam sebuat tesis yang berjudul ” Hak Khiyar

Dalam Jual Beli (Studi Terhadap Pemikiran Mazhab Maliki Dan Relevansinya

Dengan Praktek Jual Beli Modern)”.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah yang

diangkat dalam penelitian ini adalah:

0 Bagaimanakah pemikiran Mazhab Maliki tentang khiyar dalam jual beli?

Page 11: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

11

1 Bagaimana relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang khiyar dengan praktek

jual beli modern?

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pemikiran Mazhab Maliki tentang hak khiyar dalam jual

beli.

2. Untuk mengetahui relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang hak khiyar

dengan praktik jual beli modern.

Kegunaan dari penelitian ini dari segi teoretis adalah penelitian ini diharapkan

memberikan kontribusi ilmiyah dalam memperkaya khazanah pengetahuan fiqh

mu’amalah tentang hak khiyar dalam jual beli menurut pemikiran Mazhab Malik.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi

pihak-pihak yang ingin mengetahui dan memahami masalah hak khiyar dalam jual

beli menurut pemikiran Mazhab Maliki. Selain itu sebagai bahan masukan bagi para

praktisi hukum dan perumus kebijakan dalam membuat peraturan-peraturan yang

berhubungan dengan masalah prekonomian di Indonesia.

Tinjauan pustaka

Mengenai penelitian yang berkaitan dengan masalah hak khiyar dalam jual beli ini

sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya adalah: Penelitian yang

dilakukan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam bukunya ”Fiqh Muamalah:

Page 12: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

12

Sistem Transaksi dalam Fiqh Islam”. Dalam bukunya beliau membahas khiyar dalam

jual beli dalam satu bab pembahasan. Pembahasannya dimulai dari definisi dan

macam-macam khiyar. Selanjutnya dibahas juga secara rinci mengenai khiyar syarat

dan khiyar majelis (Azzam 2010, hal. 99-214).

Penelitian yang dilakukan oleh Mujiatun Ridawati tentang Konsep Khiyar

'aib dan Relevansinya dengan Garansi. Dalam penelitiannya, beliau secara khusus

membahas tentang khiyar ’aib dan membandingkannya dengan garansi. Dari hasil

penelitiannya dapat disimpulkan bahwa garansi merupakan perjanjian yang berupa

penjaminan terhadap cacat yang tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam

jangka waktu tertentu, sedangkan dalam hukum Islam pembeli berhak menggunakan

hak khiyar-nya apabila terdapat cacat yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh

penjual dan pembeli. Hak khiyar yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar ’aib

(cacat). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, khiyar ’aib adalah hak untuk

memilih antara meneruskan atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada

barang yang dipejual belikan. Tetapi hak khiyar tidak berlaku pada cacat yang telah

diketahui sebelum terjadi jual beli. Namun, Islam melarang jual beli yang

mengandung cacat, tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan

keuntugan yang tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Masykur Hasyim dengan judul ”Studi

Analisis Pendapat Ibnu Abidin Tentang Penuntutan Kembali Muhil Selama Tidak

Ada Syarat Khiyar” di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Dalam hasil penelitiannya

Masykur Hasyim menyimpulkan dua hal, pertama, Ibnu Abidin menyetujui muhal

Page 13: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

13

boleh menuntut kembali kepada muhil apabila tidak disyaratkan khiyar. Karena

transaksi hiwalah adalah bentuk dari transaksi yang mengandung kepercayaan,

amanah dan keadilan, sehingga muhil masih terikad kepada muhal dan muhil harus

melaksanakan kewajibannya kepada muhal. Kedua, Ibnu Abidin menggunakan

metode qiyas dalam ber-istinbath hukum karena adanya kemiripan antara transaksi

hiwalah dengan transaksi rahn (gadai).

Penelitian yang dilakukan oleh Syarip Hidayat dengan judul ”Studi

Komperatif Antara Pandangan Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani Tentang Khiyar

Dalam Jual Beli” di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam kedimpulannya

dijelaskan bahwa Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani sama-sama mengakui keabsahan

khiyar majlis, yaitu hak untuk tetap menetapkan atau membatalkan jual beli selama

mereka belum berpisah dari majlis aqad. Ibnu Hazm dan Asy-Syaukani berbeda

pendapat mengenai khiyar syarat. Ibnu Hazm tidak membolehkan khiyar syarat

karena tidak ada dalil yang menetapkannya. Sementara Asy-Syaukani membolehkan

khiyar syarat. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam menetapkan metode

istinbath hukum.

Penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan Abidin Basri, MA dengan judul

Khiyar dalam Fiqh Muamalah yang mengkaji tentang pengertian khiyar, macam-

macam khiyar, syarat-syarat khiyar dan lain-lain. Sayid Sabiq (1987) dalam Fiqh

Sunnah-nya membahas tentang persoalan khiyar, baik dari pengerian, khiyar majelis,

khiyar syarat, khiyar untuk barang cacat khiyar barang tipuan dalam jual beli, khiyar

dalam jual beli curang dan lain-lain.

Page 14: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

14

Berdasarkan data yang ada, penulis berkesimpulan bahwa kajian yang secara

khusus membicarakan ” Hak Khiyar Dalam Jual Beli (Studi Terhadap Pemikiran

Mazhab Maliki Dan Relevansinya Dengan Praktik Jual Beli Modern)” belum

ditemukan. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan studi yang diperlukan dalam

memahami persoalan khiyar dalam jual beli dan relevansinya dengan praktek jual beli

saat ini.

Kerangka Teori

Penetapan hukum Islam pada hakikatnya bertujuan untuk manjaga

kemaslahatan manusia. Maslahah yang merupakan tujuan Allah dalam menetapkan

syari’at-Nya itu mutlak diwujudkan, karena kemaslahatan dan kesejahteraan duniawi

dan ukhrawi tidak akan mungkin dicapai tanpa maslahah, terutama yang bersifat

daruriyah, yang meliputi lima hal yaitu pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan

dan harta (Khallaf 2003, hal. 110).

Al-Syatibi dalam “al-Muwafakat fi Ushul al-Syari’ah”, menyebutkan bahwa

dari segi substansi maqasid al-Syari'ah adalah kemaslahatan. Semua kewajiban

diciptakan oleh Allah dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia. Tidak

satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai

tujuan sama dengan taklif ma la yutaq (membebankan sesuatu yang tidak dapat

dilaksanakan) dan hal ini tidak mungkin terjadi pada hukum-hukum Allah.

Pandangan ini diperkuat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa tujuan

hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan manusia dan tidak satupun hukum yang

disyari’atkan baik dalam Al-Qur’an dan sunnah melainkan di dalamnya terdapat

Page 15: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

15

kemaslahatan (Tujuan Utama Penetapan Hukum Islam

http://www.surgamakalah.com/2012/01/).

Senada dengan pandangan di atas, Ibnu Qayyim, berpendapat bahwa tujuan

hukum Islam adalah untuk kebahagiaan, kesejahteraan dan keselamatan umat

manusia di dunia dan di akhirat. Hukum Islam bersendikan dan berasaskan hikmah

dan kemaslahatan dalam hidupnya. Syari’at Islam adalah keadilan, rahmat (kasih

sayang), kemaslahatan dan kebijaksanaan sepenuhnya. Setiap persoalan yang keluar

dan menuju keaniayaan, menyimpang dari kasih sayang, menyimpang dari

kemaslahatan menuju kemafsadatan, menyimpang dari kebijaksanaan menuju hal

yang sia-sia, itu bukanlah hukum Islam.

Hukum syari’ah yang penuh keberkatan tersebut adalah hukum syari’ah yang

disampaikan kepada orang-orang yang ummi, di antara landasan bahwa syari’ah ini

ummiyah adalah karena pembawa syariah itu sendiri (Rasulullah saw.). Firman Allah

dalam Surat al- Jumu’ah (62) ayat 2 yang artinya:

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antaramereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan merekadan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). Dan Sesungguhnyamereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW

dalam keadaan ummi. Oleh karena itu, untuk memahami maqasid al-Syari'ah, serta

mengetahui perintah dan larangan yang terdapat dalam Al-Qur’an atau sunnah,

seseorang itu tidak disyaratkan harus lebih dahulu mengetahui ilmu sebab akibat dan

ilmu pasti (http://www.surgamakalah.com/2012/01/). Dengan demikian, semua

Page 16: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

16

hukum atau peraturan yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia berlaku bagi

smua manusia tanpa terkecuali, karena bertujuan untuk kemaslahatan manusia itu

sendiri.

Untuk mewujudkan kemaslahatan umat, Allah SWT telah mensyari’atkan

peraturan tentang jual beli agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya,

karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan bantuan orang

lain. Dalam surat An-Nisaa’ ayat 29, Allah SWT melarang manusia saling memakan

harta sesamanya dengan jalan yang batil, karena merupakan kezaliman dan

bertentangan dengan konsep maslahah. Perniagaan/jual beli yang dilakukan secara

suka sama suka dan saling ridha merupakan salah satu jalan untuk memenuhi

kebutuhan hidup atau mendapatkan harta yang dibolehkan oleh syara’. Dalam ayat

tersebut, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka

(taradhi). Ayat tersebut menunjukkan bahwa asal dalam muamalah (jual beli) adalah

halal. Dalam kaidah fiqh dijelaskan bahwa:

( (األصل في المعامالت الحلArtinya: “Asal dalam muamalah adalah halal”

Pengertian kaidah ini adalah “semua akad yang terjadi antara dua pihak

(penjual dan pembeli) adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua

bentuk mu’amalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh,

kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya

dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal. Jadi berdasarkan kaidah fiqh

tersebut hukum asal melakukan jual beli adalah halal (Kaidah Dasar Memahami

Page 17: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

17

Fikih Muamalah Malikiyah dalam http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26

Januari 2012).

Namun demikian, dalam praktik jual beli, ada kalanya terjadi penyesalan di

antara pihak penjual dan pembeli yang disebabkan karena kekurang hati-hatian,

tergesa-gesa atau faktor lainnya. Mengingat prinsip berlakunya jual beli adalah atas

dasar suka-sama suka ('an taradhin minkum), maka untuk mewujudkan tujuan

penetapan hukum Islam yaitu: maslahah, syara' memberi kesempatan kepada kedua

belah pihak yang melakukan akad jual beli untuk memilih antara dua, yaitu

melangsungkan jual beli atau membatalkannya. Memilih antara dua kemungkinan

inilah yang dinamakan khiyar dalam jual beli. Hak untuk memilih antara dua

kemungkinan tersebut sepanjang masing-masing pihak masih dalam keadaan

mempertimbangkan.

Dalam hal ini, Nabi SAW telah bersabda yang artinya:

"Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selamamereka tidak saling berpisah, maka jika keduanya saling jujur dalam jual belidan menerangkan keadaan barang-barangnya (dari aib dan cacat), makaakan diberikan barokah jual beli bagi keduanya, dan apabila keduanya salingberdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka akan dicabut barokah jualbeli dari keduanya" (Al-Asqalani 2005, 12, hal. 127)

Kandungan makna Hadits tersebut menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya

melakukan akad jual beli adalah adanya saling ridha di antara keduanya (penjual dan

pembeli). Tidak sah bagi suatu jual beli apabila salah satu dari keduanya ada unsur

terpaksa yang disebabkan karena adanya cacat. Oleh karena itu, jual beli dalam Islam

mengatur adanya khiyar aib, yaitu hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual

Page 18: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

18

beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek

yang diperjualbelikan, dan cacat itu tidak diketahui pemiliknya ketika akad

berlangsung (Al-Asqalani 2005, 12, hal. 128-129) .

Secara etimologi, khiyar artinya adalah memilih, menyisihkan dan menyaring.

Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk

dijadikan orientasi. Secara terminologis dalam ilmu fiqih artinya : hak yang dimiliki

orang yang melakukan perjanjian usaha untuk memilih antara dua hal yang

disukainya, meneruskan perjanjian tersebut atau membatalkannya (Azam 2010, hal.

99).

Dengan demikian, kedudukan hak Khiyar sangat penting dalam transaksi untuk

menjaga kepentingan, kemaslahatan dan kerelaan kedua pihak yang melakukan

kontrak serta melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimbulkan kerugian

bagi mereka. Khiyar disyariatkan oleh Islam untuk memenuhi kepentingan yang

timbul dari transaksi bisnis dalam kehidupan manusia (Al-Jaziri 1994, 3, hlm. 349).

Sumber-sumber yang melandasi khiyar ada dua macam yaitu kesepakatan antara

pihak yang menyelenggarakan akad seperti khiyar syarat dan ta'yin dan syara' sendiri

seperti khiyar ru'yah dan aib.

Hikmah dari khiyar adalah agar orang yang mempunyai hak khiyar mengetahui

harga dan barang yang akan diperjual belikan, sehingga ia selamat dari penipuan,

menolak kemudharatan yang bisa menimpa keduanya (Azam 2010, hal. 99-100).

Khiyar terdiri dari delapan macam, diantaranya adalah: Khiyar Majlis, Khiyar Syarat,

Khiyar A'ib, Khiyar Ru'yah, Khiyar Ta'yin dan lain-lain.

Page 19: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

19

Ulama berbeda pendapat dalam memandang khiyar yang terdapat dalam jual

beli. Misalnya dalam khiyar majlis sdan khiyar syarat. Khiyar majlis sah menjadi

milik si penjual dan si pembeli sejak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka

berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada

khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya

akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyar-nya,

sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.

Dalam riwayat Ibnu Umar ra, dijelaskan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,

“Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari

mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih

berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain.

Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual

beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli

itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka

jual beli telah terjadi (juga).” (Al-Asqalani 2005, IV, hal. 332). Hadits senada juga

diriwayatkan oleh Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah

SAW bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum

berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak

boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Nasai tt., VII, hal. 251).

Menurut Ibnul Qoyyim ra. dalam penetapan adanya khiyar majelis dalam jual beli ada

hikmah dan maslahah bagi keduanya, yaitu agar terwujud kesempurnaan ridha yang

Page 20: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

20

disyaratkan oleh Allah SWT dalam jual beli melalui firman-Nya “Kecuali saling

keridhaan di atara kalian” (An-Nisa ayat 29), karena sesungguhnya akad jual beli itu

sering terjadi dengan tiba-tiba tanpa berfikir panjang dan melihat harga. Maka

kebaikan-kebaikan syariat yang sempurna ini mengharuskan adanya sebuah aturan

berupa khiyar supaya masing-masing penjual dan pembeli melakukannya dalam

keadaan puas dan melihat kembali trasnsksi itu (maslahah dan mandarat-nya). Maka

masing-masing punya hak untuk memilh sesuai dengan hadits “selama keduanya

tidak berpisah dari tempat jual beli”.

Jika keduanya meniadakan khiyar (hanya asas kepercayaan) yaitu saling berjual

beli dengan syarat tidak ada khiyar, atau salah seorang diantara keduanya tidak

menginginkan hak khiyar, maka ketika itu harus terjadi jual beli pada keduanya atau

terhadap orang yang mengugurkan hak khiyar-nya hanya sebatas akad saja. Karena

khiyar itu merupakan hak dari orang yang bertransaksi maka hak itu hilang jika yang

punya hak membatalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Selama keduanya

belum berpisah atau pilihan salah seorang dari keduanya terhadap yang lain”(Bukhari

tt, III, hal. 422).

Madzhab yang sangat vokal membela kedudukan khiyar majlis adalah mazhab

Syafi dan Hambali. Madzhab Syafi'i dan Hambali berpandangan bahwa jika akad

telah disepakati oleh kedua belah pihak dengan ijab dan qabul, maka kedudukan akad

ini menjadi jaiz selama kedua pihak masih berada di dalam majlis akad. Pada saat itu

masing-masing pihak masih memperoleh khiyar untuk menetapkan apakah transaksi

dibatalkan atau terus dilanjutkan. Untuk menentukan bagaimana hakekat perpisahan

Page 21: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

21

yang mengandung konsekuensi keluar dari majlis akad dan khiyar majlis telah

dilampaui sehingga transaksi secara hukum syara' telah dinilai berlangsung,

diserahkan kepada urf atau kebiasaan yang berlaku di masyarkat itu.

Sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi menentang keberadaan khiyar majlis

dalam akad. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa khiyar majlis ini tidak

ada dasarnya dalam syariah karena bertentangan dengan surat an-Nisa ayat 29. Ijab

dan qabul dalam akad dipandang sudah memenuhi seluruh persyaratan akad

berdasarkan ayat tersebut. Karena itu kedudukan khiyar majlis tidak diperlukan lagi

karena ijab dan qabul sudah otomatis mengandung kerelaan dari masing-masing yang

melangsungkan akad sehingga tidak perlu menunggu khiyar majlis.

Demikian juga halnya dengan khiyar syarat, ulama berbeda pendapat dalam

memandangnya. Menurut ulama khiyar syarat adalah khiyar dengan syarat, sah bagi

penjual dan pembeli sama-sama menetapkan adanya khiyar dan sah juga khiyar

syarat yang datang dari salah satu penjual atau pembeli (Al-Jaziri 1994, 3, hlm. 357).

Jadi, pada khiyar syarat masing-masing dari keduanya mensyaratkan adanya khiyar

ketika melakukan akad atau setelahnya selama khiyar majelis dalam waktu tertenu,

berdasarkan keumuman firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman

tunaikanlah janji-janji itu” (Q.S. Al Maidah ayat 1.). Dua orang yang bertransaksi sah

untuk mensyaratkan khiyar terhadap salah seorang dari keduanya karena khiyar

merupakan hak dari keduanya, maka selama keduanya ridha berarti hal itu boleh. Hal

ini sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:

( روط في المعامالت الحل (األصل في الش

Page 22: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

22

Artinya: “Asal dalam syarat-syarat yang ditetapkan dalam muamalah adalah halal”

Kaidah ini termasuk kaidah penting dalam fikih mu’amalah, karena

berhubungan dengan syarat yang memberikan manfaat kepada kedua belah pihak

(penjual dan pembeli) atau salah satunya. Dengan demikian, khiyar syarat yang

diajukan oleh kedua belah pihak atau salah satunya, pada asalnya adalah boleh. Hal

ini dimaksudkan agar ledua belah pihak yang melakukan akad jual beli sama-sama

saling ridha (Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Malikiyah dalam

http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26 Januari 2012).

Pemberlakuan hak khiyar dalam transaksi jual beli bertujuan untuk menciptakan

kemaslahatan bagi dua belah pihak yang melakukan akad jual beli dan terwujudnya

keadilan bagi kedua belah pihak serta terhindarnya kezaliman. Seluruh aktivitas

mu’amalah termasuk jual beli harus dilakukan melalui prinsip keadilan dan

menghindari terjadinya kezaliman, untuk itulah diberlakukan hak khiyar dalam jual

beli. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi:

رر عنهما) رفين ورفع الض لم ومراعاة مصلحة الط (األصل هو العدل في كل المعامالت و منع الظ

Artinya: “Asal setiap muamalah adalah adil dan larangan berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak dan menghilangkan kemudharatan”.

Kaidah ini berlaku pada seluruh aktivitas mu’amalah termasuk jual beli. Pada

asalnya, seluruh akad dalam transaksi jual beli harus dilakukan dengan harus adil,

dilarang berbuat zalim serta memperhatikan kemaslahatan dan menghilangkan

kemudharatan (Kaidah Dasar Memahami Fikih Muamalah Malikiyah dalam

http://ekonomisyariat.com diakses tanggal 26 Januari 2012). Jadi pemberlakuan hak

Page 23: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

23

khiyar merupakan satu upaya untuk menciptakan keadilan, mencegah terjadinya

kezaliman dan memperhatikan kemaslahatan. Penghilangan hak khiyar dalam

transaksi jual beli akan dapat menimbulkan terjadinya ketidakadilan dan kezaliman

kepada salah satu pihak yang melakukan akad jual beli. Dengan demikain,

menghilangan hak khiyar secara sepihak dalam transaksi jual beli merupakan sesuatu

yang dilarang, karena dapat menimbulkan kemudharatan. Hal ini sejalan dengan

kaidah fiqh yang berbunyi:

دق و األمانة) (المعامالت مبنية على الص

Artinya: “Mu’amalah dibangun di atas kejujuran dan amanah”

Pemberlakuan hak khiyar ini berlaku bagi semua aktivitas jual beli, termasuk

dalam praktek jual beli yang terjadi di zaman modern ini, misalnya, jual beli melalui

telpon, jual beli melalui internet dan jual beli melalui SMS. Semua praktrek jual beli

yang berkembang dalam sistem perekonomian modern tersebut tetap dipandangn sah

bila terpenuhi rukun dan syarat jual beli yang ditetapkan syara’, yang terpenting

jangan sampai terjadi jual beli gharar yang dilarang syara’. Hal ini didasarkan pada

kaidah fiqh:

(منع الغرر)

Artinya: Larangan al-gharar

Jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan

atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak

Page 24: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

24

diketahui hakikat dan ukurannya. Di antara hal yang harus diperhatikan dalam

mengenal al-gharar yang terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syari’at

terhadap al-gharar secara mutlak. Namun, harus melihat dan meneliti maksud

syari’at dalam larangan tersebut, karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan

dalam jual-beli dan itu tentunya bukan tujuan syari’at, sebab hampir semua bentuk

mu’amalah tidak lepas dari al-gharar. Para ulama memberikan syarat bagi al-gharar

yang terlarang sebagai berikut: Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi,

kebutuhan umum tidak membutuhkannya, mungkin menghindarinya tanpa susah

payah, gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah, dan gharar terdapat pada

asal, bukan sampingan.

A. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Dalam meneliti dan mengkaji masalah “Hak Khiyar Dalam Jual Beli (Studi

Terhadap Pemikiran Imam Maliki Dan Relevansinya Dengan Praktik Jual Beli

Modern)” ini, akan digunakan pendekatan fiqh karena objek kajian dalam

penelitian ini berhubungan dengan persoalan fiqh. Pendekatan fiqh merupakan

suatu pendekatan yang menggunakan kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh sebagai

metode dalam menetapkan hukum Islam.

2. Sumber dan jenis data

Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian kepada kajian kepustakaan

(library research), maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data

Page 25: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

25

kualitatif, yaitu data berupa pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang

khiyar serta pemikiran para ahli tentang masalah tersebut. Sumber data utama

sepenuhnya diperoleh dari pemikiran Imam Maliki yang membahas tentang

khiyar, antara lain: Kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik, Bidayah Al-Mujtahid

karya Ibnu Rusyd dan lain-lain. Di samping itu, juga digunakan sumber data

penunjang yang diperoleh dari berbagai buku, makalah dan teks-teks lain yang

membahas persoalan tersebut, misalnya, Kitab Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’a

karya Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq, Fiqh Muamalah

karya Abdul Aziz Muhammad Azam dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kepustakaan dalam mengumpulkan datanya menggunakan teknik

pengumpulan data kepustakaan, yaitu pengumpulan data penelitian yang

dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber tertulis yang berupa

kitab-kitab, buku-buku dan dalam bentuk lain yang dihasilkan oleh Mazhab

Maliki. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara

mengoleksi dan membaca serta memilah-milah keterangan-keterangan tentang

pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar yang terdapat dalam

kitab-kitab, buku-buku, makalah dan artikel. Seluruh data yang terangkum akan

dikumpulkan dan ditelaah, kemudian akan dipilah dan diklasifikasikan sesuai

dengan pembahasannya masing-masing.

Page 26: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

26

4. Analisis Data

Analisis data penelitian menurut Lexy J. Moleong (1989, hlm. 4-8) adalah proses

menyusun, mengkategorikan data, mencari pola atau tema dengan maksud untuk

memahami maknanya. Terkait dengan analisis data, penelitian ini menggunakan

metode analisis data comparatif, yakni: penulis akan memahami dan menganalisa

pesan-pesan yang terkandung dalam pemikiran Mazhab Maliki yang membahas

tentang khiyar dan membandingkannya dengan pemikiran para ahli yang

membahas permasalahan yang sedang diteliti. Dalam analisa isi, standar yang

digunakan adalah pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar dan

pemikiran para ahli tentang pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang

khiyar.

B. Sistematika Pembahasan

Unuk lebih terarahnya penelitian ini, penulis akan mengunakan arahan berupa

sistematika pembahasan sebagai pedoman dalam penulisan tesis ini. Secara

sistematis, penelitian ini disusun dalam lima bab, yaitu: Bab pertama, adalah Bab

Pendahuluan. Pada bab ini akan dibahas latar belakang munculnya masalah yang

akan dibahas dalam tesis ini, kemudian akan dirincikan juga pokok-pokok masalah

yang akan dijawab dalam tesisi ini, serta tujuan dan kegunaan penelitian, termasuk

tinjauan pustaka, kerangka teori dan metodologi penelitian yang akan menjadi pijakan

dalam penelitian ini. Bab kedua, membahas kerangka teori tentang jual beli dan

khiyar dalam ajaran Islam. Pembahasan ini sangat diperlukan untuk memahami

Page 27: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

27

seputar persoalan dan kedudukan khiyar dalam jual beli. Bab ketiga, membahas

tentang pemikiran Mazhab Maliki yang membahas tentang khiyar. Bab keempat,

akan membahas masalah inti, yaitu: relevansi pemikiran Mazhab Maliki tentang

khiyar dengan praktek jual beli modern. Pembahasan ini dimaksudkan untuk

mengetahui pemikiran mazhab Maliki tentang khiyar dan relevansinya dengan praktik

jual beli modern. Bab kelima, merupakan kesimpulan dan saran. Pada bab ini akan

disimpulkan inti jawaban atas pokok masalah pada bab pertama dan akan

dikemukakan saran-saran terkait tentang masalah yang di bahas.

Page 28: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

28

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahannya, diterjemahkan oleh Yayasan Penyelenggara

Penerjemah Al-Qur’an. CV. Toha Putra, Semarang

Abu Daud 1993, Terjemahan Sunan Abu Daud, diterjemahkan oleh H. Bey Arifin dan

A.Syinqithy Djamaluddi, Asy-Syifa, Semarang. Jilid 3

Al-Asqolani, Ibnu Hajar 1997, Fathul Baari Syarah Shaih Bukhari, Maktabah

Darussalam, Riyadh, jilid 10 dan 8.

Azam, Abdul Aziz Muhammad 2010, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Islam,

Amzah, Jakarta, Cet.1.

Buchori, Didin Saefuddin 2005, Metodologi Studi Islam, Granada Sarana Pustaka,

Bogor.

Bukhari, Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail 1992, Terjemahan Shahih

Bukhari, diterjemahkan oleh Achmad Sunarto dkk, Asy-Syifa, Semarang.

Page 29: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

29

Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar, 1997, Kifayah al-Akhyar. Alih Bahasa

Ahmad Zainuddin dan A. Ma’rif Ansori. PT. Bina Ilmu, Surabaya.

Ikhwan Abidin Basri, MA, Khiyar dalam Fikih Muamalat dalamhttp://pelukis.multiply.com/journal/item/1

Ibnu Rusyd, 1990, Bidayah al-Mujtahid. Alih Bahasa M. A. Abdurrahman dan A.Haris Abdullah. C.V. Asy-Syifa, Semarang.

Ibn Anas, Maliki 1999, Al-Muwatta, diterjemahkan oleh Dwi Surya Atmaja, PT RajaGrafindo Peersada Jakarta.

Al-Jaziri, Aburrahman. t.t. Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-arba’a. Diterjemahkanoleh H. Moh Zuhri, Dipl. Tafl dkk, CV Asy-Syifa Semarang, Jlid 3.

Khallaf, Abdul Wahaf 2003, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,Rajawali Press, Jakarta

Mas’ud, Muhammad Khalid 1977, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al- Shatibi’s Life and Thought, Islamic Research Institute, Islamabad, Pakistan

Sabiq, Sayyid 1990, Fiqh as-Sunnah diterjemahkan oleh Kahar Mansyur, KalamMuliya, Jakarta.

Suratmaputra, Ahmad Munif 2002, Fisafat Hukum Islam al-Ghazali; Maslahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta

Shihab, Muhammad Quraish 1992, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Misan, Bandung.

----------- 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir al-Maudhu’i atas persoalan pelbagai

Umat, Mizan, Bandung.

Page 30: Bab I PENDAHULUANrepository.radenfatah.ac.id/6552/1/BAB 1.pdfberakad dan (barang) yang diaqadi, apabila salah satu dari syarat tersebut hilang atau gugur maka tidak sah jual belinya

30

Team Zisonline.com 2003, Hukum Jual Beli dalam Islam dalamhttp://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=66