bab i · menyembuhkan kulit yang luka karena mempunyai efek antiinflamasi oleh bangsa mesir, ......

37
9 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Propolis Propolis atau “bee glue” adalah zat resin atau getah yang keluar dari tunas daun dan kulit batang terutama tanaman Conifer (golongan pinus) yang dihisap lebah. Lebah menghisap resin dari tumbuhan kemudian mengolahnya dengan enzim yang dikeluarkan oleh lebah dan mencampurnya dengan lilin yang ada di dalam sarang. Ada 2 karakteristik dari propolis yaitu dari bau dan warnanya yang mempunyai bermacam kepekatan dan warna yang bervariasi dari hijau, merah sampai coklat gelap tergantung dari sumber pohon dan usianya. Propolis menjadi keras ketika terkena dingin tetapi menjadi lembut dan lengket ketika terkena panas (Burdock 1998; Ghisalberti 1979). Bahan dasar propolis (crude propolis) didapat dengan mengumpulkan propolis yang melekat pada alat yang dinamakan perangkap propolis yang dipasang pada kotak kotak tempat tinggal lebah di peternakan lebah. Secara etimologi, kata Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu “pro” yang artinya pertahanan dan “polis” yang artinya kota, sehingga gabungan dari propolis mempunyai arti “pertahanan sarang”. Lebah menggunakan propolis untuk penutup lubang-lubang pada sarang lebah, melembutkan pada dinding bagian dalamnya dan juga untuk menyelimuti/membalsem binatang penyusup agar tidak membusuk. Propolis juga melindungi koloni lebah dari penyakit karena kandungannya yang mempunyai efikasi sebagai antiseptik dan antimikroba (Bonvehi & Coll 2000; Castaldo & Capasso 2002; Salatino et al. 2005). Propolis sudah digunakan sejak 300 SM sebagai obat untuk menyembuhkan kulit yang luka karena mempunyai efek antiinflamasi oleh bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi. Selain itu orang Yunani kuno juga menggunakan propolis untuk membalsem orang mati dan juga digunakan pada masa perang Boer untuk menyembuhkan luka dan regenerasi jaringan (Ghisalberti 1979). Sampai saat ini propolis masih populer digunakan dan Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

Upload: lydang

Post on 04-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Propolis

Propolis atau “bee glue” adalah zat resin atau getah yang keluar dari

tunas daun dan kulit batang terutama tanaman Conifer (golongan pinus) yang

dihisap lebah. Lebah menghisap resin dari tumbuhan kemudian mengolahnya

dengan enzim yang dikeluarkan oleh lebah dan mencampurnya dengan lilin yang

ada di dalam sarang. Ada 2 karakteristik dari propolis yaitu dari bau dan

warnanya yang mempunyai bermacam kepekatan dan warna yang bervariasi dari

hijau, merah sampai coklat gelap tergantung dari sumber pohon dan usianya.

Propolis menjadi keras ketika terkena dingin tetapi menjadi lembut dan lengket

ketika terkena panas (Burdock 1998; Ghisalberti 1979).

Bahan dasar propolis (crude propolis) didapat dengan mengumpulkan

propolis yang melekat pada alat yang dinamakan perangkap propolis yang

dipasang pada kotak kotak tempat tinggal lebah di peternakan lebah.

Secara etimologi, kata Propolis berasal dari bahasa Yunani yaitu “pro”

yang artinya pertahanan dan “polis” yang artinya kota, sehingga gabungan dari

propolis mempunyai arti “pertahanan sarang”. Lebah menggunakan propolis

untuk penutup lubang-lubang pada sarang lebah, melembutkan pada dinding

bagian dalamnya dan juga untuk menyelimuti/membalsem binatang penyusup

agar tidak membusuk. Propolis juga melindungi koloni lebah dari penyakit

karena kandungannya yang mempunyai efikasi sebagai antiseptik dan

antimikroba (Bonvehi & Coll 2000; Castaldo & Capasso 2002; Salatino et al.

2005).

Propolis sudah digunakan sejak 300 SM sebagai obat untuk

menyembuhkan kulit yang luka karena mempunyai efek antiinflamasi oleh

bangsa Mesir, Yunani, dan Romawi. Selain itu orang Yunani kuno juga

menggunakan propolis untuk membalsem orang mati dan juga digunakan pada

masa perang Boer untuk menyembuhkan luka dan regenerasi jaringan

(Ghisalberti 1979). Sampai saat ini propolis masih populer digunakan dan

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

10

menjadi obat yang paling sering digunakan di Balkan. Satu dekade terakhir para

peneliti telah mencari komponen yang terkandung di dalam propolis dan efek

biologis dari kandungan tersebut (Bankova 2005b).

2.1.1. Kandungan Propolis

2.1.1.1. Komposisi Kimia Propolis

Komposisi kimia propolis masih kurang diketahui. Komposisi propolis

beragam salah satunya dapat dilihat dari warna dan aromanya yang berubah-ubah

sesuai dengan sumber pohon, jenis lebah, musim dan daerah geografis (Bankova

1998, 2000, 2005b; Ghisalberti 1979). Propolis mengandung 150 sampai 300

lebih senyawa/komponen didalamnya. Secara umum komposisinya terdiri dari

30% lilin (wax), 50% resin atau balsam pohon, 10% minyak esensial dan

aromatik, 5% pollen, dan 5% komponen lainnya (Burdock 1998). Pada tahun

1983, Kazmarek menemukan bahwa propolis mengandung β-amilase (Hegazi

1998). Pada sampel Propolis Brasil dengan menggunakan metode gas-

chromatography (GC), gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS), dan

thin layer chromatography (TLC) mengungkapkan komponen utama propolis

adalah komponen fenol (flavanoid, asam aromatik, dan benzopiren), di- dan

triterpen, minyak esensial, dan lainnya (Bankova 2000; Burdock 1998; Sforcin

2007). Propolis juga berisi turunan asam sinamat seperti asam kafeat (3,4-

hidroxycinnamic acid) dan esternya, sesquiterpene, quinones dan coumarin.

Komponen kimia propolis lainnya yang telah diidentifikasi yaitu terpenoid,

aldehid, alkohol, asam alifatik dan ester, asam amino, steroid, gula dan lain-lain

(Bankova 1992, Park et al. 1997; Koo et al. 1997; Nagy & Grancai 1996).

Oleh karena kandungan aktif propolis dipengaruhi oleh letak geografis

dan sumber tumbuhan, maka terdapat perbedaan antara propolis di Brasil dengan

propolis di China. Propolis Brasil terutama mengandung terpenoid, turunan

prenylated. Propolis China banyak mengandung flavonoid dan asam fenolat.

Negara lainnya yang terbukti mempunyai kandungan flavonoid tinggi pada

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

11

propolisnya adalah Argentina, Australia, Bulgaria, Hungaria, New Zealand, dan

Uruguay (Kumazawa et al. 2004).

Bankova (2008) melaporkan adanya temuan kandungan kimia baru pada

propolis dari berbagai negara tergantung dari iklim daerahnya. Komponen baru

pada daerah beriklim sedang (temperate zone) seperti di Eropa, Amerika Utara

dan daerah non tropis di Asia, Amerika Selatan, dan di New Zealand, konstituen

utamanya adalah flavonoid aglycones, asam aromatik dan esternya. Propolis tipe

ini disebut juga “propolis tipe poplar”, merupakan propolis yang paling sering

diteliti baik dari segi kandungan kimia maupun farmakologis. Komponen baru

pada daerah beriklim tropis dan subtropis seperti Amerika Selatan banyak

mengandung flavonoid dan komponen terkait seperti flavones, falvonol,

chalcone, isoflavonoid, dan neoflavonoid.

Melalui kajian lebih dalam lagi, jenis spesifik kandungan aktif dari

propolis yang pada banyak penelitian mempunyai efek biologis adalah

Artepillin-C, PM3 (3-[2-dimethyl-8-(3-methyl-2 butenyl)benzopyran]-6-

propenoic acid), CAPE (caffeic acid phenethyl ester), Propolin A, Propolin B,

dan Propolin C. Artepillin C (3,5-diprenyl-4-hydroxycinnamic acid) diekstrak

dari Propolis Brasil mempunyai berat molekul 300.40 dan memiliki efek

antimikroba dan antitumor (Kimoto et al. 1998; Kimoto et al. 2001; Lotfy 2006).

CAPE terkandung dalam propolis berkhasiat sebagai antiinflamasi yang kuat

(Song et al. 2002), dan pada tumor berefek sebagai antiangiogenesis,

menghambat invasi tumor dan antimetastatis (Orsolic et al. 2003). PM-3

diisolasi dari Propolis Brasil yang secara nyata menghalangi pertumbuhan dari

sel kanker payudara manusia MCF-7 (Luo et al. 2001). Chia-Nana et al. (2004)

mengisolasi 3 prenyl flavonones dari Propolis Taiwan yaitu Propolin A dan

propolin B yang berkhasiat menginduksi apoptosis pada sel melanoma manusia

dan propolin C merupakan antioksidan yang kuat. Struktur kimia dari

ArtepillinC dan CAPE dapat dilihat pada Gambar 1.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

12

Gambar 1. Formula struktural kimia Artepillin-C (A) dan CAPE (B)

Sedangkan kandungan aktif propolis Indonesia sudah diteliti oleh

Syamsudin et al. (2009) yaitu meneliti kandungan kimia propolis yang berasal

dari tiga tempat yang berbeda di Indonesia (Sukabumi, Batang dan Lawang) dan

menemukan beberapa bahan kandungan kimia yang pertama kali ditemukan

dalam propolis yaitu 1,3-bis(trimethylsilylloxy)-5,5-proyllbenzene, 3,4-

dimethylthioquinoline, 4-oxo-2-thioxo-3-thiazolidinepropionic acid, D-

glucofuranuronic acid, dofuranuronic acid, patchoulene dan 3-

quinolinecarboxamine.

2.1.1.2. Kandungan Gizi dalam Propolis

Propolis mengandung karbohidrat, asam amino, elemen mineral dan

vitamin (Bankova et al. 2000; Hegazi 1998). Mineral yang terkandung dalam

propolis adalah Ca, Mg, Na, Fe, Mn, Cu, dan Zn (Bankova et al. 2000;

Syamsudin et al 2009). Vitamin yang terkandung dalam propolis adalah B1, B2,

B6, A, C, E, asam nikotinik dan asam pantotenik (Hegazi 1998). Propolis juga

mengandung enzim suksinik dehidrogenase, glukosa-6-fosfat, adenosin trifosfat,

dan asam fosfatase (Hegazi 1998).

Keberadaan dari sejumlah kecil vitamin dalam propolis dari USA telah

dilaporkan (Hegazi 1998) dapat dilihat pada Tabel 1.

A

BA

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

13

Tabel 1. Kandungan vitamin dan mineral dalam propolis di USA (Hegazi 1998)

Nama Vitamindan mineral

Satuan Propolis segar Propolis kering

Vitamin A/ retinol

IU/gram 6,1 8,1

Vitamin B1 µg/gram 4,5 6,5

Vitamin B2 µg/gram 20 28

Vitamin B6 µg/gram 5 -

Vitamin C - - -

Vitamin E - - -

Tembaga (Cu) Mg/kg 26,5 -

Mangan (Mn) Mg/kg 40 -

Penelitian Syamsudin et al. (2009) menemukan bahwa propolis yang

berasal dari tiga tempat yang berbeda di Indonesia mengandung gula dan gula

alkohol seperti D-mannopyranosa, D-xylose, D-galactose, D-manitol, D-glucitol,

Erythritol, Arabinofuranose, D-ribosa, Threitol, dan Arabinitol. Keempat

glukosa terakhir adalah jenis glukosa yang pertama kali ditemukan dalam

propolis.

2.1.2. Aktifitas Biologis dan Farmakologis

Telah banyak penelitian mengenai propolis dan terbukti propolis

mempunyai efek antimikrobial atau antibakteri (Alencar et al. 2007; Bonvehi &

Coll 2000; Castaldo & Capasso 200; Dobrowski et al. 1991; Grange & Davey

1990; Ikeno et al. 1991; Kujumgiev et al. 1999; Orsi et al. 2005; Sforcin et al.

2000; Tosi et al. 1996;), antivirus (Amoros et al. 1994; Serkedjieva & Higashi

1992), antifungi (Murad et al. 2002; Tosi et al. 1996), antiparasit (Decastro et al.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

14

1995), antiinflamasi (Ansorge et al. 2003; Dobrowski et al. 1991; Mirzoeva &

Calder 1996; Strehl et al. 1994; Wang et al. 1993), antioksidan (Ahn et al 2007;

Hamasaka et al. 2004; Kolankaya et al. 2002; Kumazawa et al. 2004; Ozen et

al. 2004; Pascual et al. 1994; Shimizu et al. 2004), protektor hati (Lin et al.

1999), antihipertensif (Yoko et al. 2004), protektor otak (Ilhan et al. 2004),

antiulkus (Tossoun et al.1997) dan antitumor (Bankova 2005a; Chung et al.

2004; Choi et al. 1999; Grunberger et al. 1988; Kimoto et al. 1998, Kimoto

2001a; Luo et al. 2001; Matsuno 1995; Matsuno et al. 1997; Orsolic et al. 2003a,

2003b Song et al. 2002; Scheler et al. 1989; Su et al. 1994).

Berikut akan dijabarkan lebih jauh mengenai 2 aktifitas dari propolis

yaitu aktifitas antioksidan dan aktifitas terhadap kanker serta hubungan diantara

keduanya.

2.1.2.1. Aktifitas Antioksidan Propolis

Telah diketahui bahwa propolis banyak mengandung polifenol salah

satunya adalah flavonoid yang merupakan zat yang mempunyai aktifitas

antioksidan. Kumazawa et al. (2004) meneliti kandungan polifenol dan flavonoid

dari propolis yang berasal dari 16 negara. Komponen antioksidan diidentifikasi

dengan menggunakan analisis HPLC/KCKT dan aktifitas antioksidan diukur

dengan menggunakan metode β-carotene bleaching dan 1,1-diphenyl-2-

picrylhydrazyl (DPPH) free radical scavenging assays system. Penelitian

tersebut menemukan bahwa propolis dari negara Argentina, Australia, Cina,

Hungaria, dan New Zealand mempunyai aktifitas antioksidan yang tinggi dan

berkorelasi dengan kandungan polifenol dan flavonoid yang dikandungnya.

Selain itu diteliti lebih jauh lagi jenis flavonoid yang mempunyai efek

antioksidatif yaitu caffeic acid, qurcetin, kaempferol, phenethyl caffeate,

cinnamyl caffeate, dan artepillin C.

Penelitian lainnya juga mendukung adanya korelasi antara kandungan

flavonoid pada propolis dengan aktifitas aktioksidan. Coneac et al. (2008)

meneliti pada propolis Romania dan menemukan adanya jenis flavonoid yang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

15

mempunyai aktifitas antioksidan yaitu quercetin, rutin, caffeic acid, chrysin,

apigenin dan kaempferol.

Geckil et al. (2005) juga membandingkan aktifitas antioksidan pengkelat

logam dari Propolis Turki dengan zat antioksidan sintetik (BHA dan BHT).

Penelitian tersebut menemukan bahwa ekstrak propolis baik ethanol based

maupun water based mempunyai efek metal chelating lebih baik dibanding BHA

dan BHT. Selain itu ditemukan juga bahwa efek antioksidan esktrak propolis

berbasis etanol lebih baik dibanding dengan berbasis air.

Seperti telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, efek radikal bebas

dapat merusak sel tubuh termasuk protein sitoplasmik di dalam DNA. Kejadian

tersebut juga berhubungan dengan pertumbuhan tumor dimana radikal bebas

mungkin beraksi sebagai pembawa pesan sekunder (secondary messengers) pada

alur transduksi yang mengatur proliferasi selular. Antioksidan dapat

menghambat atau menyingkirkan jumlah radikal bebas yang berlebihan sehingga

mengurangi kerusakan yang terjadi akibat radikal bebas. Jadi dengan mengurangi

peroksida di dalam sel oleh antioksidan akan menghambat terjadinya proses

karsinogenesis (Galvao et al. 2007). Matsushige et al. (1996) mengisolasi

komponen ekstrak Baccharis dracunculifolia propolis yang menunjukkan adanya

aktifitas antioksidan kuat melebihi vitamin C dan E.

2.1.2.2. Aktifitas Propolis terhadap Kanker

Telah banyak penelitian yang dilakukan baik secara in vitro dan in vivo

untuk menguji efek propolis terhadap kanker. Beberapa aktifitas biologi propolis

yang dapat melawan kanker adalah mempengaruhi siklus sel kanker,

menyebabkan apoptosis sel kanker, antiangiogenesis, antimetastasis, dan

memodulasi respon imun untuk menghambat kanker. Selain mempunyai efek

melawan kanker, propolis juga dapat mencegah efek samping terapi

konvensional kanker (kemoterapi dan radioterapi).

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

16

2.1.2.2.1. Menghambat Siklus Sel Kanker

Matsuno (1995) berhasil mengisolasi bahan aktif dari Propolis Brasil

yaitu PMS-1, sebuah clerodane diterpenoid baru, yang dapat menghambat

pertum- buhan sel hepatoma dan menghentikan siklus sel pada fase S.

Selain itu komponen aktif propolis lainnya yaitu CAPE juga dibuktikan

dapat menghentikan siklus sel. Setelah inkubasi dengan CAPE selama 24 jam,

persentase sel C6 glioma pada fase G0/G1 meningkat menjadi 85%, karena

inhibisi fosforilasi pRB. Fosforilasi pRB oleh CDKs/siklin dipercayai sebagai

kejadian penting dalam regulasi menuju fase S, dan menjadi titik restriksi pada

fase G1 lanjut. Penelitian in vivo menunjukkan bahwa CAPE menurunkan

pertumbuhan xenograft sel C6 glioma pada mencit dengan cara menghambat

proliferasi sel. Analisis histokimia dan imunohistokimia menemukan bahwa

terapi dengan CAPE dapat menurunkan mitosis sel dan sel yang positif

proliferating cell nuclear antigen (PCNA) pada sel C6 glioma (Kuo et al. 2005).

Turunan CAPE juga diteliti efeknya pada kanker mulut dengan

menggunakan karsinoma sel skuamosa (KSS) cell line dan normal human oral

fibroblast (NHOF) untuk memeriksa efek CAPE terhadap pola pertumbuhan sel,

sitotoksitas, dan perubahan dalam siklus sel. CAPE menunjukkan mempunyai

efek sitotoksik pada sel kanker KSS namun tidak pada sel normal (NHOF).

Analisis flow cytometry menunjukkan bahwa KSS cell line berhenti pada fase

G2/M. Dengan bukti ini maka CAPE mungkin berguna untuk menjadi salah satu

kandidat terapi kanker mulut (Lee 2005)

PM-3 yang diisolasi dari Propolis Brasil juga mempunyai efek

menghambat pertumbuhan sel kanker payudara manusia MCF-7. Terapi sel

MCF-7 dengan PM-3 akan menghentikan sel pada fase G1 dan ditandai dengan

penurunan protein siklin D1 dan siklin E. PM-3 juga menghambat ekspresi siklin

D1 pada level traskripsi (Luo et al. 2001).

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

17

2.1.2.2.2. Apoptosis Sel Kanker

Matsuno et al. (1997b) menemukan juga komponen PRF-1 dari ekstrak

propolis berbasis air yang terbukti mempunyai aktifitas antioksidan dan

sitotoksik terhadap karsinoma haptoselular manusia, HeLa, dan sel HLC-2

karsinoma paru manusia. Komponen ini identik dengan Artepillin C dan

sitotoksisitasnya sepertinya merupakan bagian dari apoptosis-like DNA

fragmentation.

Aktifasi p53 dapat mengubah transkripsi berbabagai macam gen yang

terlibat dalam metabolisme sel, regulasi siklus sel, dan apoptosis. Penelitian

Vogelstein & Kinzler (1992) menunjukkan bahwa CAPE dapat meningkatkan

fosforilasi dan ekspresi dari p53 dan Bax dimana dapat membentuk heterodimer

dengan Bcl-2 dalam membran mitrokondria dan mengakselerasi apoptosis. Aso

et al. (2004) juga melaporkan bahwa aktifitas antitumor propolis muncul melalui

induksi apoptosis via jalur caspase.

Propolin A dan Propolin C dari Propolis Cina juga terbukti dapat

menginduksi apoptosis pada sel melanoma dan secara bermakna menghambat

aktifitas xanthine oxidase. Selain itu Propolin C juga dapat menginduksi

apoptosis melalui jalur mitochondria-mediated apoptosis dengan mengeluarkan

sitokrom C dari mitokondria ke sitosol (Chia-Nana et al. 2004).

2.1.2.2.3. Antiangiogenesis dan Antimetastasis

Liao et al. (2003) mendemostrasikan efek penghambatan CAPE terhadap

angiogenesis, invasi tumor, dan kapasitas metastasis tumor pada sel CT26.

Mencit yang diterapi dengan CAPE tidak hanya menunjukkan penghambatan

invasi tumor sebesar 47.8% tapi juga penurunan ekspresi matrix

metalloproteinase (MMP)-2 dan -9. Produksi vascular endothelial growth faktor

(VEGF) dari sel CT26 juga dihambat dengan CAPE (6μg/ml). Injeksi CAPE

intraperiotoneal (10 mg/kg/hari) pada mencit BALB/c juga dapat mengurangi

kapasitas metastasis pulmonal sel CT26 yang diikuti dengan menurunnya level

plasma VEGF. CAPE juga dapat memperpanjang survival mencit yang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

18

ditransplan dengan sel CT26 sehingga semakin memperkuat potensinya sebagai

antimetastasis.

2.1.2.2.4. Modulasi Respon Imun

Seperti dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, respon imun yang berguna

untuk melawan kanker adalah sistem imun seluler yaitu sel makrofag, sel T

sitotoksik (sel T CD8+), dan sel NK. Dalam maturasi dan diferensiasi sel T

sitotoksik, sel ini membutuhkan sitokin IL-2 yang dikeluarkan oleh sel T CD4+

subset T helper 1/Th1 Sedangkan sitokin yang dikeluarkan oleh subset Th2 akan

menghambat sel T CD8+ (Abbas 2000; Baratawidjaja & Rengganis 2009b;

Male et al. 1996).

Aktivasi Makrofag

Pada model imunosupresi, menurut Dimov et al. (1991) pemberian

propolis water soluble derivative (WSD) pada mencit (50 mg/kg) dapat

mencegah efek buruk siklofosfamid dan meningkatkan laju ketahanan hidup.

Peneliti juga melaporkan bahwa propolis memodulasi imunitas nonspesifik

melalui aktivasi makrofag. Propolis (0.2-1.0 mg/ml) dapat menstimulasi

produksi sitokin seperti IL-1β dan TNF-α pada makrofag di peritoneal mencit

(Moriyasu et al. 1994).

Tatefuji et al. (1996) menemukan bahwa 6 komponen propolis yang

diidentifikasi sebagai turunan caffeoylquinic acid dapat meningkatkan motilitas

dan penyebaran makrofag. Paparan makrofag terhadap beberapa stimulus seperti

interaksi dengan mikroorganisme dan produknya, antibodi atau antigen

opsonisasi dengan komponen komplek, phorbol miristate acetate (PMA), Con

A, komplek imun, leukotrien, chemiotatic peptide fMLP, sitokin dan lainnya

dapat mengakibatkan perubahan metabolisme lebih lanjut yaitu dengan

memproduksi oksigen intermediet. Produksi zat inilah yang membuat makrofag

bersifat mikrobisidal dan tumorisidal.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

19

Makrofag juga mempunyai peranan penting dalan respon antitumor

melalui antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), sekresi sitokin yang

menghambat pertumbuhan tumor, dan memproduksi oksigen reaktif dan nitrogen

intermediet. Terapi pada mencit dengan ekstrak propolis (50 mg/kg) dapat

memodifikasi aktifitas tumorisidal makrofag dengan memproduksi faktor

pengaktivasi limfosit lebih tinggi, sehingga menghambat HeLa cell line. Mencit

yang diberi propolis juga menunjukkan elevasi respon splenosit terhadap

mitogen poliklonal (Orsolic & Basic 2003).

Aktivasi sel makrofag yang kemudian mengeluarkan mediator seperti

TNF-α, H2O2 dan NO dapat menghasilkan inhibisi sintesis DNA dan dekstruksi

sel tumor. Mencit yang diterapi dengan CAPE menunjukkan peningkatan

produksi NO yang berhubungan dengan penurunan sintesis DNA (Orsolic et al.

2005).

Aktivasi sel T limfosit

Kimoto et al. (1998) menemukan bahwa Artepillin C yang diekstraksi

dari Propolis Brasil selain dapat mengahambat pertumbuhan tumor terbukti juga

dapat meningkatkan rasio sel T CD4/CD8 dan jumlah sel T helper secara

keseluruhan.

Penelitian Missima et al. (2010) pada mencit dengan melanoma dan

stress diberikan propolis, ditemukan bahwa propolis menstimulasi IFN-γ dan IL-

2 yang dikeluarkan oleh sel T CD4 yang berguna untuk mengaktifkan respon

imun seluler. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa propolis dapat mengaktivasi

antitumour cell-mediated immunity.

Park et al. (2004) menemukan bahwa pemberian CAPE (5, 10, 20 mg/kg)

yang diekstraksi dari propolis mempunyai efek imunomodulator pada mencit

BALB/c. Pemberian CAPE 20 mg/kg dapat meningkatkan secara bermakna

subpopulasi sel T CD4, namun tidak meningkatkan sel B. Selain itu produksi IL-

2, IL-4 dan IFN-γ juga meningkat secara bermakna pada kelompok CAPE 20

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

20

mg/kg. Hasil tersebut menunjukkan bahwa CAPE mempunyai efek

imunomodulator secara in vivo.

Aktivasi Sel NK

Berbeda dengan sel limfosit T dan B yang membutuhkan fase

pematangan dan diferensiasi sebelum aktif, sel NK akan langsung aktif begitu

bertemu dengan antigen target. Selain itu sel NK juga tidak membutuhkan MHC-

I dan MHC-II untuk mengenali antigen. Sel NK berkerjasama dengan imunitas

adaptif dengan mensekresi sitokin yang akan meregulasi sel T (Baratawidjaja &

Rengganis 2009b); Abbas 2000; Male et al. 1996).

Terapi propolis 10% selama 3 hari dapat meningkatkan aktifitas

sitotoksik sel NK dalam melawan murine lymphoma (Sforcin et al. 2002).

Penemuan ini serupa dengan penelitian sebelumnya bahwa pemberian propolis

dalam waktu singkat bermanfaat pada sistem imun yaitu meningkatkan respon

imun.

2.1.2.2.5. Protektif terhadap Efek Samping Terapi Kanker

Lotfy (2006) mengulas kemampuan protektif propolis terhadap efek

samping kemoterapi. Parasetamol dan cyclophosphamid dimetabolisme pada hati

oleh cytochrome P450. Intermediat reaktif yang terbentuk bertanggung jawab

atas deplesi glutathione dan lipoperoxydation dari hepatosit. Vinblastin adalah

agen kemoterapi hepatotoksik dan hematotoksik. Flavonoid adalah substansi

polifenol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan memiliki efek anti-oksidatif.

Sebuah penelitian dilakukan untuk melihat efek hematotoksik dan heaptotoksik

dari pemberian per oral ekstrak propolis yang mengandung flavonoids (diosmine

dan quercetine) sampai dengan 60 mg/kg/hari selama 14 hari versus efek

hepatotoksik dari pemberian parasetamol diberikan secara oral 200 mg/kg

berkorespondens ke 2/3 dari LD50 pada tikus albinos wister betina. Kedua

kelompok diberikan kemoterapi dosis tunggal siklofosfamid 80 mg/kg intravena

dan vinblastin 2 mg/kg intravena. Analisis dilakukan pada hari ke-1, 3, 7, dan 14

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

21

hari setelah pemberian kemoterapi. Pada kelompok parasetomal dan

cyclophosphamid, pada hari ke-1 sudah terjadi peningkatan lipid peroxide

(MDA) sebanyak 120% dan penurunan hepatic glutathione termasuk pada

kelompok yang menerima vinblastin (sampai dengan 210% reduksi).

Selain itu juga terjadi leukopenia yang parah dan trombopenia (70% dari

reduksi) yang terlihat antara hari ke-3 dan ke-14 pada tikus yang diobati dengan

kemoterapi sendiri (cyclophosphamide dan vinblastine). Kombinasi antara

flavonoid dengan kemoterapi sangat bermakna mereduksi toksisitas kemoterapi.

Bahkan efek aplasti akibat vinblastin, dan juga leukopenia dan trombopenia

akibat cyclophosphamide dapat dikoreksi sepenuhnya. Selain itu peneliti juga

melihat restorasi peroxide dan glutathione. Flavonoid sepertinya dapat beraksi

melalui aktivasi turnover glutathione dan enzim yang menstimulasi glutathion-s-

transferases sehingga memungkinkan penangkapan metabolites reaktif pada obat

yang diteliti (Lahouel et al. 2004).

Penelitian lainnya yang dilakukan Suzuki et al. (1999) meneliti efek

WSD propolis terhadap efek samping yang ditimbulkan obat antikanker (5-FU)

terhadap darah pada mencit. Penelitian tersebut menemukan bahwa propolis

dapat meningkatkan kembali secara bermakna sel darah merah yang turun akibat

5-FU setelah hari ke-35. Trombosit juga meningkat setelah hari ke-20, dan

peningkatan pada kelompok propolis lebih tinggi dibanding kontrol. Begitu juga

dengan peningkatan leukosit terjadi bermakna pada kelompok propolis. Hasil

dari penelitian ini menunjukkan bahwa propolis dapat mencegah penurunan sel

leukosit dan sel darah merah serta juga platelet.

Sedangkan Benkovic et al. (2009) meneliti tentang efek radioprotektif

dari kandungan antioksidan propolis yaitu quercetin pada mencit yang diradiasi

oleh sinar γ. Penelitian tersebut menemukan bahwa mencit yang mendapat

propolis setelah terapi menunjukkan peningkatan jumlah leukosit dibanding

kontrol meskipun secara statistik tidak bermakna. Penelitian lainnya mengenai

efek radioperotektif propolis oleh Orsolic et al. (2007) menemukan bahwa

pemberian propolis yang mengandung polifenol (quercetin, naringin caffeic

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

22

acid, dan chrysin) 3 hari sebelum iradiasi dapat menunda kematian dan

mengurangi gejala akibat radiasi pada mencit.

2.1.3. Dosis, Efek Samping, dan Toksisitas Propolis

Propolis mempunyai toksisitas oral akut yang rendah atau bahkan tidak

toksik. Pada penelitian dengan menggunakan mencit membuktikan bahwa

propolis tidak toksik dan mempunyai LD50 2.000 sampai 7.300 mg/kg. Sforcin

(2007) merekomendasikan konsentrasi yang aman untuk manusia adalah 1.4

mg/kg atau hampir 70 mg/hari. Kadar NOEL (No Effect Level) pada mencit

adalah 1400 mg/kg (Hunter 2006). Tidak ada dosis standar untuk pemakaian

propolis dalam uji klinis terhadap manusia. Dosis yang direkomendasiakan untuk

penderita asma adalah larutan propolis dalam aqua 13% (Khayal et al. 2003).

Pada penelitian vaginitis digunakan preparat topikal 5% (Imhof et al. 2005).

Dosis yang dianjurkan dalam pencegahan infeksi saluran pernapasan pada anak-

anak 1 sampai 3 tahun adalah 375mg/hari selama 12 minggu (Cohen et al.

2000).

Penelitian pada tikus dengan pemberian dosis propolis yang berbeda (1,

3, dan 6 mg/kg/hari), pelarut yang berbeda (air dan etanol), dan variasi lama

pemberian (30, 90, dan 150 hari) didapatkan hasil tidak ada perbedaan yang

bermakna dalam hal total lipid, trigliserid, kolesterol, kolesterol-HDL, AST, dan

LDH. Propolis juga tidak mempengaruhi berat badan tikus setelah pemberian

(Sforcin 2007). Selain itu penelitian pada tikus yang dilakukan Decastro (1995),

tidak ada efek samping terlihat dalam pemberian oral dengan dosis lebih tinggi

dari 4000 mg/kg/hari selama dua minggu dan dosis 1400 mg/kg/hari dalam air

minum selama 90 hari.

Beberapa penelitian melaporkan adanya kejadian alergi dan dermatitis

kontak yang berhubungan dengan propolis, namun kejadian ini berbeda dengan

kebanyakan alergi terhadap madu yang mengandung alergen dari bunga. Pelarut

air dan etanol mempunyai kemampuan antialergi dengan cara menghambat

pelepasan histamin pada sel mast di peritoneal tikus. Namun pada dosis yang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

23

tinggi (300μg/ml) propolis secara langsung mengaktifasi sel mast yang

mempromosikan pelepasan mediator inflamasi, terutama pada orang yang

sensitif terhadap propolis (Sforcin 2007).

2.1.4. Penelitian Propolis pada Manusia

Uji klinis penggunaan propolis pada manusia masih sangat terbatas, yaitu

digunakan untuk mengobati sinusitis akibat candida, mengobati giardiasis, terapi

neurofibromatosis, mengatasi gigi hipersensitif, menghilangkan plak di gigi,

mengobati endometriosis, asma, infeksi herpes simpleks virus (HSV), mengobati

sariawan, mengobati infeksi saluran pernafasan atas dan menurunkan kadar gula

dalam darah (antihiperglikemia).

Kovalik (1979) meneliti efek pemberian emulsi propolis dengan pelarut

alkohol terhadap 12 pasien dengan sinusitis kronik akibat Candida albicans.

Emulsi propolis (2-4 ml) digunakan diteteskan ke sinus setelah diirigasi dengan

larutan saline isotonik. Setelah 1-2 kali perawatan dengan propolis terdapat

perbaikan. Kesembuhan secara klinis terjadi pada 9 pasien, sedangkan sisanya

mengalami perbaikan. Kesembuhan muncul setelah 10-17 hari.

Miyares et al. (1988) melakukan penelitian tentang efikasi propolis dalam

melawan giardiasis terhadap 138 orang pasien (48 anak-anak dan 90 dewasa)

yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok terapi propolis dan terapi

imidazole (tinidazole) sebagai kontrol. Dosis propolis untuk anak anak adalah

larutan 10% dan dosis untuk orang dewasa adalah 20%. Hasil penelitian pada

anak-anak menunjukkan lebih dari separuhnya mengalami kesembuhan (52%).

Sedangkan pada orang dewasa dengan dosis 20%, tingkat kesembuhannya sama

dengan kelompok imidazole, jika dosisnya ditingkatkan menjadi 30% pada 50

pasien dihasilkan efikasi yang lebih tinggi dibanding kontrol (60% kesembuhan

vs 40% dengan imidazole).

Demestre et al. (2008) melakukan uji klinis terhadap penderita

Neurofibromatosis (NF), dengan memakai Bio 30 (salah satu nama dagang dari

propolis dengan dosis 25 mg/kg). Sejauh ini ada 70 pasien dengan berat badan

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

24

diatas 25 kg atau umur diatas 10 tahun. Meski penelitian ini masih kurang dari

12 bulan untuk penderita NF1 dan 6 bulan untuk NF2 tapi sudah menunjukkan

hasil positif dimana sudah tidak ada lagi pertumbuhan dari sel tumor, dan biaya

untuk pengobatan sangat murah yaitu perorang dewasa hanya 1 dolar per hari.

Khalid et al. (1999) melakukan uji klinis yang menguji efek propolis

pada pada 26 subyek wanita berumur 16-40 dengan gigi hipersensitif dan untuk

mengukur tingkat kepuasan diantara pasien setelah pemberian propolis.

Pemberian propolis sebanyak dua kali sehari pada gigi yang sensitif selama

empat minggu. Pasien akan di-follow up setelah minggu ke-1 sebagai data dasar

dan ke-4 penggunaan propolis. Terjadi perbeadan bermakna antara laporan

pasien pada minggu ke-1 dan ke-4. Sebanyak 70% yang pada awalnya menderita

hipersensitif yang parah kemudian 50% dilaporkan menjadi hipersensitif sedang.

Sebanyak 50% sampel yang menderita hipersensitif ringan menjadi 30 persen

tidak hipersensitif dan 19 persen menjadi hipersensitif sedang. Sebanyak 85%

mengatakan sangat puas.

Propolis telah diformulasikan sebagai terapi tambahan setiap hari selama

2 bulan bagi asma derajat ringan-sedang. Khayyal et al. (2003) melakukan

penelitian pendahuluan terhadap 46 pasien penderita asma dengan menggunakan

propolis dan asma. Terjadi penurunan produksi mediator inflamasi dan terjadi

pengurangan serangan asma nokturnal dari rata-rata 2.5 kali/minggu menjadi 1

kali/minggu.

Cohen et al. (2004) melakukan uji klinis pada 430 anak-anak yang

menderita infeksi saluran pernafasan atas, berumur 1 sampai 5 tahun

menggunakan kombinasi produk yang berisi 50 ml Echinacea purpurea dan

angustifolia, propolis 50 mg/ml dan vitamin C 10 mg/ml selama 12 minggu

sebagai agen preventif, menunjukan pengurangan signifikan terhadap frekuensi

episode penyakit. Terdapat juga pengurangan signifikan dari lama hari demam

pada setiap anak dan pada penggunaan pada pengobatan biasa seperti antipiretik

dan antibiotik terdapat pengurangan pada rhinitis dan batuk pada siang hari.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

25

Vynograd et al. (2007) melakukan penelitan terhadap 90 pria dan wanita

penderita penyakit genital HSV tipe 2 untuk membandingkan efikasi pengobatan

dari salep Propolis Kanada yang mengandung flavonoid alami dengan salep

acyclovir dan plasebo terhadap kemampuan menyembuhkan dan gejala

pengobatannya. Sebagai hasil, proses penyembuhan terbukti lebih cepat pada

grup propolis. Sehingga disimpulkan, salep yang mengandung flavonoid terbukti

lebih efektif daripada salep acyclovir dan plasebo dalam mengobati genital

herpes lesion dan mengurang simptom lokal.

Ali dan Awadallah (2003) dalam penelitiannya terhadap 40 wanita yang

tidak subur minimal 2 tahun dan menderita endometriosis ringan diberikan

secara acak propolis (500 mg, dua kali sehari) atau plasebo selama 9 bulan.

Sebanyak 12 orang (60 %) dari 20 orang yang diberikan propolis menjadi hamil

dibandingkan dengan 4 orang (20 %) dari 20 orang yang diberikan plasebo.

Tidak ada laporan mengenai efek samping dari propolis.

Samet et al. (2007) melakulan uji klinis, acak, buta ganda terhadap pasien

Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) dengan memberikan 500 mg propolis atau

plasebo setiap hari. Analisis statistik menunjukkan propolis efektif menurunkan

jumlah dari rekuren dan meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang menderita

RAS.

Botushanov et al. (2001) melakukan uji klinis terhadap pasta gigi silikat

dengan ekstrak propolis terhadap plak gigi. Studi ini melibatkan 42 orang yang

sehat. Pasta gigi dengan propolis menunjukkan hasil yang baik sebagai

pembersih plak gigi, pencegahan terbentuknya plak dan efek antiinflamasi.

2.2. Antioksidan

Flavanoid adalah kelompok substansi dari alam yang mempunyai variasi

struktur fenol dan banyak ditemukan pada buah, sayur, biji-bijian, kulit batang,

akar, bunga, teh dan anggur (wine). Flavonoid dapat dibagi menjadi beberapa

kelas berdasarkan struktur molekul yaitu kelompok flavones, flavanones,

cathechins, dan anthocyanins (Kandaswami & Theoharides 2000; Manach et al.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

26

. 2005; Nijveldt et al. 2001). Berikut (Tabel 2) adalah tabel yang menjabarkan

kelompok flavonoid, jenis komponennya dan contoh sumber makanan yang

mengandung flavonoid (Nijveldt et al. 2001). Efek flavonoid yang terpenting

adalah dapat menangkap radikal bebas turunan oksigen reaktif. Penelitian in

vitro juga menunjukkan bahwa flavomoid mempunyai efek antiinflamasi,

antialergi, antivirus dan antikarsinogenik. Setiap grup flavonoid mempunyai

kapasitas sebagai antioksidan (Amic et al. 2003; Manach et al. 2005;

Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001; Russo et al. 2000). Jenis

flavonones dan catechins merupakan kelompok flavonoids yang terkuat dalam

melindungi tubuh terhadap radikal bebas. Quercetin merupakan contoh dari

kelompok flavones yang banyak diteliti efeknya (Middleton et al. 2000;

Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001). Gambar 2 menyajikan

struktur molekul dari masing-masing kelompok flavonoid.

Tabel 2. Kelompok utama flavonoid beserta jenis dan contoh sumber alam

dari masing-masing kelompok (Nijveldt et al. 2001).

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

27

Gambar 2. Struktur molekular dari masing-masing kelompok flavonoid (Nijveldt et al. 2001).

2.2.1. Efek Radikal Bebas pada Tubuh

Sel dan jaringan tubuh selalu terpapar dengan efek perusakan yang

disebabkan oleh radikal bebas dan radikal bebas turunan oksigen/reactive oxygen

species (ROS) yang normalnya terbentuk selama metabolisme oksigen atau

dinduksi oleh kerusakan eksogen. Radikal bebas dapat menganggu fungsi selular

dengan melakukan peroksidasi lipid yang berakibat kerusakan membran sel.

Kerusakan ini dapat menyebabkan perubahan muatan listrik di sel, perubahan

tekanan osmosis, menyebabkan pembengkakkan sel dan berakhir pada kematian

sel. Radikal bebas dapat menarik bermacam-macam mediator inflamasi yang

berkontribusi ke respon inflamasi dan kerusakan jaringan.

Dalam rangka mempertahankan diri terhadap ROS, tubuh mempunyai

beberapa mekanisme. Mekanisme pertahananan antioksidan tubuh tediri dari

enzim seperti superoksida dismutase, katalase dan glutation peroksidase, dan

juga non-enzim seperti glutation, asam askorbat, dan α-tokoferol. Peningkatan

produksi ROS selama perlukaan menyebabkan komsumsi dan deplesi komponen

antioksidan alami tubuh. Flavonoid mempunyai efek adiktif terhadap komponen

antioksidan alami. Flavonoid dapat menganggu lebih dari 3 sistem penghasil

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

28

radikal bebas yang berbeda, dan juga dapat meningkatkan fungsi antioksidan

endogen.

2.2.2. Aktifitas Antioksidatif

Berikut adalah mekanisme antioksidan dari flavonoid yaitu mengikat

radikal secara langsung (direct radical scanvenging), melalui nitrit oksida,

xanthin oksidase, imobilisasi leukosit, interaksi dengan system enzim lainnya

(Nijveldt et al. 2001).

2.2.2.1. Menangkap Langsung Radikal Bebas (Direct Radical Scavenging)

Flavonoid dapat mencegah perlukaan yang disebabkan oleh radikal

bebas. Flavonoids dapat menstabilkan ROS dengan bereaksi dengan komponen

radikal bebas yang reaktif. Oleh karena tingginya reaktifitas kelompok hidroksil

dari flavonoids, radikal bebas akan dibuat tidak aktif, sesuai dengan reaksi

berikut (Nijveldt et al. 2001; Russo et al. 2000).:

Flavonoid(OH) + R* flavonoid (O*) + RH

R* adalah radikal bebas dan O* adalah radikal bebas oksigen. Flavonoid yang

selektif dapat secara langsung mengikat radikal bebas, dimana flavonoid lainnya

dapat mengikat ROS yang disebut peroksinitrit (peroxynitrite) (Amic et al. 2003;

Middleton et al. 2000; Kandaswami & Theoharides 2000; Nijveldt et al. 2001;

Russo et al. 2000).

2.2.2.2. Mengikat Nitrit Oksida

Beberapa jenis flavonoid, termasuk quercetin, dapat mengurangi

perlukaan iskemia-reperfusi (ischemia-reperfusion injury) dengan mengganggu

aktifitas sintesis nitrit oksida yang dapat diinduksi. Nitrit oksida diproduksi oleh

beberapa jenis sel yang berbeda seperti sel endothelial dan makrofag. Produksi

nitrit oksida pada awalnya berguna untuk dilatasi pembuluh darah, namun jika

produksi nitrit oksida yang berlebihan oleh makrofag dapat menyebabkan

kerusakan oksidatif. Pada keadaan ini, makrofag yang teraktivasi dapat

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

29

menghasilkan nitrit oksida dan superoksida anion yang berlebihan terus-

menerus. Nitrit oksida akan bereaksi dengan radikal bebas dan dengan demikian

akan memproduksi peroksinitrit dalam jumlah besar serta bersifat merusak.

Ketika flavonoid digunakan sebagai antioksidan, radikal bebas akan

diikat oleh flavonoid sehingga tidak dapat bereaksi lebih lama lagi dengan nitrit

oksida dan mengurangi kerusakan. Menariknya, nitrit oksida dapat dianggap

sebagai radikal bebas juga dan telah dilaporkan dapat diikat juga oleh flavonoid.

Oleh karena itu telah diperkirakan bahwa pengikatan nitrit oksida mempunyai

peranan dalam efek terapeutik dari flavonoid. Silibin adalah salah satu flavonoid

yang dapat menghambat nitrit oksida (Nijveldt et al. 2001).

2.2.2.3. Menghambat Xanthin Oksidase

Alur xanthin oksidase mempunyai implikasi penting sebagai rute

perlukaan oksidatif pada jaringan khususnya pada keadaan iskemia-reperfusi.

Xanthin dehidrogenase dan xanthin oksidase terlibat dalam metabolisme xanthin

menjadi asam urat. Xanthin dehidrogenase adalah bentuk enzim yang muncul

dalam keadaan normal, namun konfigurasinya dapat berubah menjadi xanthin

oksidase pada keadaan iskemik. Xanthin oksidase adalah sumber dari radikal

bebas turunan oksigen reaktif. Pada fase reperfusi (reoksigenasi), xanthin

oksidase bereaksi dengan molekul oksigen dengan demikian akan melepaskan

radikal bebas superoksida. Sedikitnya 2 jenis flavonoid, quercetin dan silibin,

menghambat xanthin oksida sehingga menurunkan perlukaan oksidatif (Nijveldt

et al. 2001).

2.2.2.4. Imobilisasi Leukosit

Imobilisasi dan adhesi yang kuat leukosit ke sel endotel adalah

mekanisme lainnya yang bertanggungkawab untuk terbentuknya radikal bebas

turunan oksigen reaktif dan juga terlepasnya oksidat sitotoksik, mediator

inflamasi dan aktivasi sistim komplemen. Dalam situasi normal, leukosit

bergerak dengan bebas sepanjang dinding endotel. Namun, selama kondisi

iskemia dan inflamasi, beberapa mediator turunan endothelial utama dan faktor

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

30

komlemen dapat meyebabkan adhesi leukosit ke dinding endothelial, sehingga

mengimobilisasi leukosit selama reperfusi. Penurunan jumlah leukosit yang

imobilisaasi oleh flavonoid berhubungan dengan total komplemen di serum dan

merupakan mekanisme protektif melawan kondisi yang berhubungan dengan

inflamasi, seperti perlukaan reperfusi. Beberapa flavonoid dapat mencegah

terhadinya degranulasi neutrofil tanpa mempengaruhi produksi superoksida, efek

hambat beberapa flavonoid pada degranulasi sel mast ditunjukkan oleh karena

modulasi reseptor kanak kalsium dalam membran plasma (Middleton et al. 2000;

Nijveldt et al. 2001 ).

2.2.2.5. Interaksi dengan Sistem Enzim Lainnya

Ketika ROS bereaksi dengan besi (Fe) maka menghasilkan peroksidasi

lipid. Flavonoid spesifik dapat menyingkirkan besi (chelate iron) sehingga

menghilangkan factor penyebab terjadinya radikal bebas. Quercetin diketahui

mempunyai efek iron-chelating dan iron-stabilizing.

Flavonoid juga dapat mengurangi aktivasi komplemen sehingga akan

mengurangi adhesi sel inflamasi ke dinding endothelial dan akhirnya

menghilangkan respon inflamasi. Gambaran lainnya flavonoid adalah dapat

mengurangi terlepasnya peroksidase. Pengurangan ini dapat menghambat

produksi ROS oleh netrofil.

Efek flavonoid lainnya adalah inhibisi metabolisme asam arakidonat.

Efek ini merupakan efek antiinflamasi dan antitrombogenik dari flavonoid.

Pelepasan asam arakidonat adalah awal dari respon inflamasi. Neutrofil yang

mengandung lipoksigenase menghasilkan komponen kemotaksis dari asam

arakidonat dan juga merangsang pelepasan sitokin (Middleton et al. 2000;

Nijveldt et al. 2001).

2.2.2.6. Zat Antioksidan Lainnya.

Sumber antioksidan selain flavonoid adalah Zn, selenium, vitamin C dan

vitamin E. Kemampuan Zn dalam melemahkan proses oksidatif telah lama

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

31

dikenal. Secara umum mekanisme antioksidan dapat dibedakan menjadi dua

yaitu efek akut dan kronik. Efek kronik melibatkan paparan Zn dalam waktu

lama yang menghasilkan induksi beberapa substansi yang bertujuan sebagai

antioksidan seperti metallothioneins. Oleh karena itu jika terjadi kekurangan Zn

jangka panjang akan menyebabkan seseorang rentan terhadap beberapa stres

oksidatif. Efek akut Zn melibatkan 2 mekanisme yaitu proteksi protein

sulfhydryls atau mengurangi OH dari H2O2 melalui antagonis redox-active

transition metals seperti besi dan tembaga. Proteksi kelompok protein sulfhydryl

diduga melibatkan reduksi reaktifitas sulfhydryl melalui 1 atau 3 mekanisme

yaitu (1) pengikatan secara langsung Zn ke sulfhydryl, (2) pengikatan ke

beberapa protein yang menghasilkan steric hindrance, (3) perubahan konformasi

pengikatan protein ke tempat lainnya. Antagonism of redox-active, transition

metal-catalyzed, site-specific reactions merupakan teori bahwa Zn dapat

mengurangi cellular injury. Zn juga dapat mengurangi postischemic injury

beberapa jaringan dan organ melalui mekanisme yang melibatkan antagonism of

copper reactivity. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari mekanisme

yang secara potensial dapat menemukan fungsi antioksidan dan kegunaan Zn

(Powel 2000).

Selenium sebagai mikromineral sangat penting bagi kesehatan manusia.

Selenium dikenal sebagai konstituen selanoprotein yang mempunyai struktur dan

peranan sebagai enzim. Selenium dibutuhkan untuk membentuk fungsi sistem

imun dan menjadi kunci untuk melawan perkembangan virulesi dan progres HIV

ke AIDS (Rayman 2000). Selain itu juga selenium mempunyai fungsi

antioksidan. Defisiensi elemen ini pada hewan membuat mereka rentan terhadap

stres oksidatif. Pada manusia, setidaknya ada 1 penyakit yang muncul hanya

pada individu dengan defisiensi selenium (Burk 2002).

Mekanisme selenium sebagai antioksidan adalah dengan menetralkan

radikal bebas dengan cara menjadi radikal bebas namun tidak seberbahaya

radikal bebas yang dinetralkan. Namun begitu radikal bebas yang terbentuk dari

antioksidan harus diregenerasikan agar tetap efektif dan tidak merusak. Sistem

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

32

antioksidan natural dalam tubuh yaitu glutathione dan thioredoxin berfungsi

untuk meregenerasi antioksidan saat mereka menetralkan radikal bebas.

Glutathione peroxidase dan thioredoxin reductase merupakan enzim antioksidan

yang mengandung selenium dan kerja enzim ini tergantung dari aktifitas

selenium. Suplementasi selenium terbukti dapat mengurangi kerusakan DNA

akibat proses oksidatif (Hansen et al. 2004). Sedangkan vitamin C dan E

mempunyai aktifitas antioksidan yang sama dengan selenium (Johnson et al.

2003).

2.3. Kanker

Kanker adalah pertumbuhan sel-sel yang abnormal. Sel-sel kanker sangat

cepat membelah meskipun ruang dan nutrisi terbatas. Kanker bukan satu jenis

penyakit namun merupakan sekelompok penyakit. Kanker sangat heterogen,

yaitu lebih dari 100 jenis kanker telah diketahui saat ini dan dalam setiap organ

terdapat berbagai subtipe kanker. Beberapa kanker bersifat familial (keturunan),

sedangkan lainnya bersifat sporadik, terjadi secara kebetulan (Perkins & Stern

1997).

2.3.1. Epidemiologi dan Dampak Kanker

Kanker saat ini merupakan masalah kesehatan utama tidak hanya di

negara maju namun juga di negara berkembang. World Cancer Report

melaporkan berdasarkan data the International Agency for Research on Cancer

bahwa pada tahun 2010 kanker merupakan penyebab kematian nomor satu.

Kasus kanker di dunia meningkat dua kali lipat antara tahun 1975 dan 2000, dan

akan meningkat lagi pada tahun 2020, dan hampir tiga kali lipat pada tahun

2030. Diperkirakan 12 juta kasus kanker baru dan lebih dari 7 juta kematian

akibat kanker pada tahun 2008. Jadi jika diprediksikan pada tahun 2030 akan ada

20-26 juta kasus kanker baru dan 13-17 juta kematian akibat kanker. Komunitas

global memperkirakan peningkatan insiden kanker adalah 1% setiap tahun

dengan peningkatan terbesar di negara Cina, Rusia, dan India (Mulcahy 2008).

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

33

Menurut data Globocan IARC tahun 2002, kasus kanker yang paling

sering terjadi adalah kanker paru, kanker payudara dan kanker kolorektal.

Sedangkan kanker yang paling sering menyebabkan kematian adalah kanker

paru, kanker lambung dan kanker hati (Parkin et al. 2002). Menurut data WHO

(2004), jenis kanker terbanyak di Asia Tenggara adalah kanker paru, kanker

lambung, dan kanker kolorektal. Di Indonesia, insiden kanker secara nasional

belum diketahui karena belum adanya registrasi kanker berbasis populasi. Dari

data patologi anatomi yang dikumpulkan oleh Sarjadi (2001) dari 10 provinsi di

Indonesia ditemukan bahwa kanker tersering di Indonesia adalah kanker

kolorektal, kanker kulit dan nasofaring. Sedangkan data terbaru berdasarkan data

rekam medis RS. Kanker Dharmais, lima terbesar kanker dari tahun 2002 sampai

2007 adalah kanker payudara, kanker serviks, kanker kolorektal, kanker paru dan

kanker nasofaring (RSKD 2008).

Selain dampak buruk terhadap fisik, pasien kanker juga mengalami

dampak buruk terhadap sosial (Pardue et al. 1989), psikologis, emosi dan

spiritual mereka seperti rasa takut akan kambuh kembali, depresi, body image

dan rasa percaya diri, rasa bersalah, dan gangguan dalam menjalin hubungan

dengan orang lain atau menjalankan peranan di rumah serta di tempat kerja

(Anonim 2009b).

Risiko kanker pada negara berkembang semakin meningkat seiring

dengan bertambahnya usia. Hal tersebut akan berimbas pada peningkatan

pengeluaran untuk pengobatan (Parkin et al. 2002). Peningkatan insiden kanker

tentu saja membawa dampak pada bidang ekonomi, sosial dan psikologis. Biaya

yang dikeluarkan untuk pengobatan kanker tidak sedikit, misalnya di Amerika

Serikat untuk pasien yang tidak mempunyai asuransi harus membayar lebih dari

$100000 untuk satu tahun pertama, bahkan dapat mencapai $200000 pada pasien

dengan leukemia atau limfoma (Anonim 2009a). Sebuah penelitian pada tahun

1990 memperkirakan total biaya yang dikeluarkan untuk terapi kanker

menghabiskan sekitar $96 juta, diantaranya secara kasar diperkirakan $27 juta

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

34

untuk pengeluaran langsung, $10 juta untuk morbiditas atau disabilitas, dan $58

juta untuk mortalitas (Chirikos 2001).

Peningkatan insiden kanker berimplikasi pada perlunya peningkatan

layanan dan pengobatan termasuk penyediaan obat dan pengobatan komplemen

alternatif (CAM). Bila pelayanan kesehatan dan pengobatan pasien kanker

semakin baik maka akan dapat meningkatkan usia harapan hidup dan kualitas

hidup.

2.3.2. Sifat Kanker

Secara harfiah neoplasia mempunyai arti pertumbuhan baru, dan

pertumbuhan baru ini disebut neoplasma. Menurut Sir Rupert Willis (1898-

1980), seorang onkolog dari Inggris, neoplasma adalah massa jaringan yang

abnormal, tumbuh berlebihan, tidak terkoordinasi dengan jaringan normal dan

tumbuh terus meskipun rangsang yang menimbulkannya telah hilang. Proliferasi

atau pertumbuhan tersebut disebut sebagai proliferasi neoplastik. Proliferasi

neoplastik mempunyai sifat progresif, tidak bertujuan, tidak ada hubungan

dengan kebutuhan tubuh dan bersifat parasitik. Sel neoplasma bersifat parasitik

maksudnya adalah sel kanker bersaing dengan sel normal untuk mendapatkan

segala kebutuhan untuk memenuhi metabolisme sel kanker pada penderitanya

(host). Sel neoplasma bergantung pada host akan pemenuhan kebutuhan darah

dan makanan, bahkan pada neoplasma tertentu diperlukan dukungan hormonal

endokrin. Proliferasi neoplastik menimbulkan pembengkakan/benjolan pada

jaringan tubuh yang disebut dengan istilah tumor. Jadi tumor berarti neoplasma

yang menurut sifat biologiknya dibedakan atas tumor jinak dan tumor ganas.

Semua tumor ganas disebut dengan kanker (Tjarta 2002).

2.3.3. Dasar Molekul Kanker

Karsinogenesis adalah proses pembentukan neoplasma atau tumor (Tjarta

2002). Sel yang oleh suatu penyebab berubah menjadi sel neoplastik akan

membentuk kumpulan sel yang mengalami transformasi. Patogenesis terjadinya

9

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

35

kanker diawali dengan terjadinya perubahan genetik sehingga disebut sebagai

penyakit genetik (Liotta & Liu 2001). Perubahan genetik atau kerusakan genetik

disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bahan kimia, virus, radiasi, faktor

keturunan, hormon. Segala sesuatu yang menyebabkan kanker disebut dengan

karsinogen (Tjarta 2002; Liotta & Liu 2001).

Terdapat 3 golongan gen pengatur pertumbuhan sel secara normal yaitu

proto-onkogen, tumor suppressor gene (TSG), dan gen yang mengatur apoptosis

sel (kematian sel). Gen proto-onkogen bertugas dalam mengatur proliferasi dan

maturasi atau diferensiasi sel normal. Sehingga gen ini merupakan sasaran utama

dalam perubahan genetik yang dapat mencetuskan proliferasi berlebihan.

Aktivasi proto-onkogen secara berlebihan dapat terjadi melalui

perubahan struktur dalam gen, translokasi kromosom, peningkatan ekspresi gen

atau mutasi pada elemen yang mengontrol ekspresi gen tersebut Mutasi

demikian sering tampak pada sel-sel yang berproliferasi secara aktif. Proliferasi

berlebihan dapat dicegah oleh TSG yang menghambat pertumbuhan, namun

inaktivasi dan atau mutasi gen ini dapat menyebabkan hilangnya supresi

pertumbuhan. Begitu juga jika terjadi inaktivasi gen yang mengatur apoptosis

maka sel akan terus proliferasi. Jadi amplifikasi onkogen dan inaktivasi TSG dan

gen apoptosis mengakibatkan hilangnya control pertumbuhan dan risiko

terjadinya transformasi ganas (Tjarta 2002; Kresno 2008; Abbas et al. 2000).

Disamping ketiga gen di atas terdapat golongan gen yang ke-empat yaitu

gen yang berfungsi untuk memperbaiki kerusakan DNA yaitu gen perbaikan

DNA (mismatch repair gene). Ketidakmampuan gen perbaikan DNA dalam

menja lankan fungsi normalnya dapat berakibat perluasan mutasi pada gen lain

dan mengakibatkan transformasi kearah kanker (Liotta & Liu 2001; Tjarta 2002).

2.3.4. Tahapan Karsinogenesis

Karsinogenesis adalah proses terjadinya kanker yang merupakan proses

multistep. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa terjadinya kanker melalui

2 tahap transformasi, yaitu tahap inisiasi dan promosi. Pada tahap inisiasi, sel

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

36

normal berubah menjadi sel yang mempunyai potensi untuk menjadi sel kanker.

Pada tahap ini karsinogen yang bekerja sebagai inisiator secara langsung dan

tidak langsung mengalami perubahan metabolik menjadi gugus yang dapat

bereaksi dengan DNA, mengakibatkan DNA pecah, mengalami metilasi atau

menghambat perbaikan kerusakan DNA. Perubahan ini menetap. Untuk

terjadinya tahap inisiasi yang irreversible pembuahan sel oleh karsinogen harus

paling sedikit terjadi pada satu siklus pembelahan sel.

Pada tahap promosi, karsinogen misalnya bahan kimia merangsang

transformasi neoplastik pada sel yang telah diinisiasi namun tidak dapat

menyebabkan transformasi neoplastik oleh dirinya sendiri tanpa inisiator. Hal ini

menunjukkan bahwa perubahan sel yang dirangsang oleh promoter ialah

reversibel (tidak menetap). Promotor merangsang proliferasi sel yang telah

diinisiasi dan mengubah cara diferensiasi dan maturasi. Efek promoter mungkin

terjadi akibat lanjut kelainan mutasi genetik yang bekerja sama dengan inisiator.

Perubahan menetap tercapai jika telah terjadi proliferasi sel neoplasma

yang selanjutnya tidak memerlukan lagi inisiator dan promoter dan sel

neoplasma memperlihatkan pertumbuhan otonom, kemudian menjadi progresif

invasif dan akhirnya metastasis. Pada tahap awal terjadi perubahan ekspresi gen

yang mengakitbatkan fungsi tidak sempurna dan sel tumbuh autrokrin. Tahap

selanjutnya terjadi rangsang pertumbuhan vaskular oleh faktor angiogenesis yang

dikeluarkan oleh sel neoplasma untuk menunjang pertumbuhan sel neoplastik

(Liotta & Liu 2001; Tjarta 2002).

2.3. 5. Terapi Kanker

Selama ini di Indonesia ada lima (5) modalitas dalam terapi kanker yaitu:

Modalitas Bedah, Radioterapi, Modalitas Kemoterapi, Modalitas Terapi

Hormon, Modalitas Terapi Target. Sementara di beberapa negara seperti Cina,

Jepang, India, USA dan Jerman telah menggunakan modalitas keenam yaitu

complementary alternative medicine (seperti chiropractic, herbal, meditasi)

sebagai pelengkap terapi.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

37

2.3.5.1. Modalitas Bedah

Metode bedah adalah metode terapi kanker yang paling lama. Bedah dapat

digunakan sebagai terapi kanker secara tunggal atau kombinasi dengan modalitas

lainnya. Pasien kanker sering datang dengan status nutrisi yang buruk karena

anoreksia atau metabolisme katabolik akibat pertumbuhan tumor. Faktor ini

dapat memperlambat atau memperburuk kesembuhan setelah operasi. Pasien

dapat mengalami neutropeni atau trombositopeni, yang dapat meningkatkan

risiko sepsis atau perdarahan. Oleh karena itu penilaian pre-operatif sangat

penting (Aft 2002; Hohenberger 2002; Rosenberg 1997).

Peranan bedah onkologi ada tiga yaitu sebagai pencegahan kanker,

diagnosis kanker, dan terapi kanker.

2.3.5.2. Modalitas Radioterapi

Iradiasi dapat menghancurkan sel kanker karena laju metabolik sel

kanker lebih tinggi dan sel kanker tidak mempunyai kemampuan seperti sel

normal dalam perbaikan DNA yang rusak. Jenis radioterapi ada 2 yaitu radiasi

eksternal dan brakiterapi. Radiasi eksternal jika sumber radiasi berasal dari luar

tubuh. Sedangkan brakiterapi, jika sumber radiasi diletakkan di dalam/sedekat

mungkin dari sel kanker (Hellman 1997).

Efek samping radioterapi dapat akut dan delayed. Efek samping akut

paling sering terjadi, dapat diantisipasi dan terjadi dalam jangka waktu terbatas.

Beratnya efek samping bergantung pada tipe iradiasi, region tubuh dan volume

iradiasi, dan kombinasi dengan terapi lainnya terutama dengan kemoterapi. Efek

samping radioterapi lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 (Bradley 2002;

Hellman 1997).

2.3.5.3. Modalitas Kemoterapi

Kemoterapi adalah pengobatan kanker dengan zat atau obat yang

berkhasiat untuk membunuh sel kanker. Obat tersebut disebut sitostatika, artinya

penghambat kerja sel yang sedang tumbuh (proliferasi). Obat sitostatika dapat

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

38

diberikan secara sistemik (ke seluruh sistem tubuh), atau regional. Prinsip

kemoterapi ada 3, yaitu membunuh/menghambat sel tumor induk dan anak sebar

secara sistemik, mengetahui mekanisme kerja obat sitostatika, dan mengetahui

sifat biologi sel tumor (DeVita 1997; Ratain 1997). Tujuan pemberian

kemoterapi ada 2 yaitu untuk tujuan kuratif dan paliatif. Tujuan kuratif artinya

untuk menyembuhkan penyakit. Sedangkan tujuan paliatif adalah untuk

mengurangi gejala penyakit dan untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya

(DeVita 1997).

Sumber Hellman 1997

Obat-obat kemoterapi (sitostatika) bekerja terhadap sel yang

berproliferasi baik pada sel kanker maupun sel normal. Sel kanker mempunyai

kemampuan proliferasi tinggi. Sedangkan sel normal ada yang bersifat

proliferatif dan non-proliferatif. Sel normal yang bersifat proliferatif adalah

rambut, mukosa mulut, sumsum tulang, sperma. Dan sel normal yang bersifat

non-proliferatif adalah otot, tulang, saraf, otak dan lain-lain. Kemoterapi

membunuh sel dengan berbagai cara yaitu dengan menghambat fase-fase dalam

siklus sel, menghambat pembentukan tetrahidrofolat, menghambat pembentukan

nukleotida, menghambat pembentukan DNA dan menghambat konversi DNA

menjadi RNA (Papageorgio 2002; Ratain 1997).

Efek samping kemoterapi dapat bervariasi dari ringan sampai berat,

tergantung dari dosis kemoterapi dan regimennya. Terjadinya efek samping

kemoterapi adalah akibat kerja obat kemoterapi terhadap sel normal yang aktif

Tabel 3. Efek samping radioterapi akut

Regio tubuh Efek samping akut RadioterapiSSP Mual muntahKepala dan Leher Mukositis (radang mulut dan

tenggorok)Hilang rasa kecap (hipo/aguesia)Hilang rasa hidu

Mediastinum EsofagitisAbdomen atas Gastritis, madigestif, malabsorbsi,

mual, muntah, koleretik, enteropatiPelvis Diare, colitis, malabsorbsi

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

39

melakukan pembelahan seperti sel darah, sel saluran cerna, kulit dan rambut

serta organ reproduksi. Efek samping pada sel darah yaitu terjadi penurunan sel

darah merah dan putih, sehingga terdapat terjadi hal-hal seperti mudah terkena

infeksi karena leukopeni, anemia menyebabkan gejala lemah, letih, lesu, dan

trombositopenia menyebabkan gangguan perdarahan (memar, perdarahan).

Akibat pada sel saluran cerna adalah mual-muntah, sariawan, diare atau

konstipasi. Pada kulit dan rambut adalah rambut rontok, kuku atau kulit tampak

hitam. Dan pada sistem reproduksi adalah terjadi amenoroe, atau tidak ada

sperma (Wojtaszek 2002).

Durasi berlangsungnya efek samping dapat berlangsung jangka pendek,

menengah dan jangka panjang. Efek samping yang berlangsung jangka pendek

(beberapa jam sampai hari) yaitu mual, muntah, dan pusing. Efek samping

jangka menengah (beberapa hari sampai minggu) yaitu sariawan, diare, letih,

lesu, dan nafsu makan menurun. Sedangkan efek samping jangka panjang

(beberapa minggu sampai bulan) yaitu mudah terkena infeksi (Wojtaszek 2002).

2.3.5.4. Modalitas Terapi Hormon

Hormon adalah zat yang dikeluarkan oleh kelenjar endokrin, berfungsi

untuk perkembangan organ dan mengatur fungsi organ tersebut. Hormon

mempunyai mekanisme feed back sehingga jumlah dalam tubuh dapat

dipertahankan, sehingga fungsi organ tetap stabil. Kelainan genetik dapat

menyebabkan jumlah hormon meningkat/menurun dan kemudian mengganggu

fungsi organ (Hayes & Robertson 2002; Henderson 1997).

Hormon terbukti berperan penting dalam menginduksi perkembangan

berbagai jenis kanker seperti kanker payudara, endometrium, ovarium, prostat,

tiroid, testis, dan tulang. Secara normal pertumbuhan dan fungsi normal organ-

organ tersebut berada di bawah pengendalian hormon steroid atau hormon

polipeptida. Hormon dapat berperan dalam perkembangan kanker tanpa

memerlukan suatu inisiator luar seperti kimiawi atau radiasi ionisasi (Hayes

2002).

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

40

Peranan hormon dalam pertumbuhan kanker saat ini sudah banyak

diketahui terutama untuk kanker payudara yang banyak dipengaruhi oleh

estrogen. Terjadinya kanker disebabkan karena stimulasi yang berlebihan dari

hormon yang bekerja melalui reseptornya pada organ tersebut (Ellis & Swain

1996; Hayes 2002; Key 1999; Sutandyo & Hariani 2005).

Jenis obat pada terapi hormon antara lain estrogen, antiestrogen,

progesteron, adenokortikosteroid, dan androgen. Contohnya adalah tamoksifen

untuk kanker payudara bekerja pada reseptor estrogen di jaringan sehingga

berefek antiestrogen. Dan aminogluthimide adalah jenis aromatase inhibitor yang

bekerja pada enzim aromatase yaitu konverter estrogen sehingga berefek

inhibitor sintesis estrogen (Jones & Buzdar 2004; Osborne 1998; Weippl & Goss

2006).

2.3.5.5.Modalitas Terapi Target

Terapi target adalah usaha untuk mengurangi jumlah target yang

potensial untuk mendapatkan efek terapi, dari beberapa ratus target menjadi 20

atau 30 target. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghambat atau

menghentikan aktivasi proto-onkogen agar tetap dalam bentuk yang tidak

teraktivasi atau dengan cara mengunci protein penekan tumor dalam posisi yang

aktif. Cara kerja terapi target adalah dengan menutup reseptor yaitu reseptor

tirosin kinase, agar tidak dapat berikatan dengan ligan spesifik sehingga tidak

terjadi kaskade sinyal di bawahnya dan pada akhirnya tidak terjadi transkripsi.

Bentuk terapi target yaitu berupa antibodi monoklonal, yaitu antibodi spesifik

terhadap antigen yang diproduksi oleh hibridoma sel B untuk mendeteksi

molekul tertentu seperti antigen tumor. Antibodi monoklonal dapat mengenali

antigen spesifik tumor secara tepat sehingga dalam imunoterapi kanker diberi

julukan magic bullet (Clark 1996; Ross 2005).

2.3.5.6. Pengobatan Komplementer dan Alternatif

Menimbang mahalnya biaya pengobatan dan buruknya efek samping

yang ditimbulkan oleh terapi kanker konvensional, terapi komplementer-

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

41

alternatif (complementer-alternative medicine/ CAM) mulai populer digunakan

tidak hanya di negara Asia namun juga di Amerika dan Eropa (Boon et al. 2000;

Cassileth & Deng 2004; Ernst & Cassileth 1998; Liu et al. 1997; Molassiotis

2006; Spadacio & de Barros 2008). Menurut survei di Amerika Serikat, terjadi

peningkatan penggunaan CAM dari 33.8% pada tahun 1990 menjadi 42.1% pada

tahun 1997 (Eisenberg et al. 1998). Bahkan pada survei tahun 2002 dilaporkan

bahwa 80% pasien kanker pernah menggunakan CAM (Cassileth & Deng 2004).

Terapi CAM dapat dibedakan menjadi 5 kategori yaitu terapi alternatif

medis (terapi tradisional), intervensi pikiran-tubuh, terapi berbasis biologis,

metode manipulatif tubuh, dan terapi energi (Cassileth & Deng 2004). Jenis

CAM yang sering digunakan adalah berdoa/kekuatan spiritual, terapi herbal, dan

chiropratic (Cassileth & Deng 2004; Cassileth 1999). Lebih jauh lagi dalam

beberapa tahun terakhir penggunaan herbal semakin berkembang dibanding

dengan CAM lainnya (Cassileth & Deng 2004; Cassileth 1999; Molassiotis

2006).

Tujuan pasien kanker menggunakan terapi herbal ini adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup dan meningkatkan sistem imun (Molassiotis 2006;

Shen et al. 2002).

2.4. Imunologi Kanker

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit. Gabungan sel, molekul dan

jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap penyakit disebut sistem imun.

Sistem imun dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keutuhan terhadap

bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai sumber baik dari luar dan dalam tubuh.

Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah/nonspesifik/

natural/innate/native/nonadaptif dan didapat/spesifik/adaptif/acquired. Selanjut

nya akan disebut sebagai sistem imun spesifik dan non-spesifik. Pada kanker,

fungsi sistem imun adalah sebagai fungsi protektif dengan mengenal dan

menghancurkan sel-sel abnormal sebelum berkembang menjadi tumor atau

membunuhnya kalau tumor sudah tumbuh. Peran sistem ini disebut immune

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

42

surveillance (Abbas et al. 2000; Chiplunkar 2001; Finn 2008; Kresno 2008;

Mapara & Sykes 2004). Beberapa bukti yang mendukung bahwa ada peran

sistem imun dalam melawan kanker adalah banyak tumor mengandung infiltrasi

sel-sel mononuklear yang terdiri dari sel T, sel NK dan makrofag; tumor dapat

mengalami regresi spontan; tumor lebih sering berkembang pada individu

dengan imunodefisiensi atau bila fungsi sistem imun tidak efektif; dan tumor

seringkali menyebabkan imunosupresi pada penderita (Abbas et al. 2000; Kresno

2008). Respon imun terhadap tumor dapat dibagi menjadi imunitas selular dan

imunitas humoral (Baratawidjaja & Rengganis 2009a).

2.4.1. Imunitas Seluler

Pada pemeriksaan patologi anatomi tumor, sering ditemukan infiltrat sel-

sel yang terdiri dari fagosit mononuclear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel

mast. Meskipun pada beberapa kanker, infiltrat sel monuklear merupakan

indikator prognosis yang baik, tetapi pada umumnya tidak ada hubungan antara

infiltrasi sel dan prognosis. Sistem imun dapat langsung menghancurkan sel

kanker yang sudah dapat sensitisasi sebelumnya. Jenis sel efektor yang berperan

dalam eliminasi tumor adalah sel T sitotoksik, sel NK dan makrofag.

Sel Limfosit T

Sel limfosit T terdiri dari sel CD4+, CD8+, sel T naïf, NKT dan Tr/Treg.

Sel limfosit T naïf yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan

dipresentasikan antigen presenting cell (APC) atau rangsangan sitokin spesifik

akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+ dengan fungsi

efektor yang berbeda (Baratawidjaja & Rengganis 2009c).

Sel CD4+ atau sel Th/T helper disebut juga sel T inducer yang

merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap

antigen asing. Antigen yang ditangkap akan diproses dan dipresentasikan

makrofag dalam kontek MHC-II ke sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ yang

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

43

berproliferasi dan berdiferensiasi berkembang menjadi subset sel Th1 dan Th2

(Baratawidjaja & Rengganis 2009c).

Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi

sel-sel itu dapat berperan dalam respon anti-tumor dengan memproduksi

berbagai sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel lain seperti CD8+, sel

B, makrofag dan sel NK. Sel T CD4+ menghasilkan IFN-γ untuk merangsang

makrofag yang kemudian menghasilkan TNF-α yang bersifat sitotoksik. Sitokin

IFN-γ juga akan merangsang sel NK untuk melisiskan tumor. Selain itu sel T

CD4+ juga akan menghasilkan IL-2 untuk merangsang pertumbuhan sel T CD8+

yang merupakan efektor dalam mengeliminasi tumor. Sitokin TNF-α dan IFN-γ

juga mampu untuk meningkatkan ekspresi molekul MHC-I dan sensitifitas tumor

terhadap lisis sel T sitotoksik (Baratawidjaja & Rengganis 2009a; Kresno 2008;

Mapara & Sykes 2004).

Sel T CD8+ naïf yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik. Sel

T sitotoksik mengenal antigen melalui kompleks antigen MHC-I yang

dipresentasikan APC. Sel T sitotoksik menimbulkan sitolisi melalui

perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis), TNF-α dan memacu produksi sitokin sel

Th. Pada beberapa percobaan terbukti bahwa sel T sitotoksik menghasilkan

respon imun anti-tumor yang efektor in vitro. Slovin et al. (1990) membuktikan

bahwa suatu klon limfosit penderita sarcoma mampu melisiskan sel-sel segar

sarcoma dan selanjutnya klon limfosit yang sama mampu melisiskan cell line

yang berasal dari sarcoma bersangkutan secara konsisten. Pada banyak penelitian

menunjukkan bahwa pada kanker yang mengekspresikan antigen unik dapat

memacu sel T sitotoksik spesifik yang dapat menghancurkan tumor. Sel T

sitotoksik biasanya mengenal peptide asal TSA yang diikat MHC I. Limfosit T

yang menginfiltrasi ke jaringan tumor juga mengandung sel T sitotoksik yang

memiliki kemampuan melisiskan tumor. Sel T sitotoksik tidak selalu efisien,

disamping respon sel T sitotoksik tidak selalu terjadi pada tumor. Namun

demikian peningkatan respon sel T sitotoksik dapat merupakan cara pendekatan

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

44

terapi yang menjanjikan di masa yang akan datang (Abbas et al. 2000; Kresno

2008).

Sel NK

Sel NK adalah limfosit sitotoksik yang mengenal sel sasaran yang tidak

antigen spesifik dan juga tidak tergantung pada MHC. Diduga bahwa fungsi

terpenting sel NK adalah antitumor. Sel NK mengekspresikan reseptor Fc yang

dapat mengikat sel tumor yang dilapisi antibodi dan dapat membunuh sel sasaran

melalui antibody dependent cell (mediated) cytotoxicity (ADCC) dan melalui

pelepasan protease, perforin, dan granzim. Kemampuan sel NK membunuh sel

tumor ditingkatkan oleh sitokin seperti IFN, TNF, IL-2 dan IL-12. Karena itu

peran sel NK dalam aktifitas anti-tumor bergantung pada rangsangan yang terjadi

bersamaan antara sel T dan makrofag yang memproduksi sitokin tersebut. IFN

(α,β,γ) mengubah pre-NK menjadi sel NK yang mampu mengenali dan

melisiskan sel tumor. Sel NK mungkin berperan terhadap tumor yang sedang

tumbuh, khususnya tumor yang mengekspresikan antigen virus (Abbas et al.

2000). Sel NK juga berperan dalam mencegah metastasis dengan mengeliminasi

sel tumor yang terdapat dalam sirkulasi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai

penelitian (Kresno 2009).

Makrofag

Makrofag memiliki enzim dengan fungsi sitotoksik dan melepas mediator

oksidatif seperti superoksid dan oksida nitrit. Makrofag juga melepas TNF-α

yang mengawali apoptosis. Diduga makrofag mengenal sel tumor melalui

reseptor IgG yang dapat mengikat antigen tumor. Makrofag dapat memakan dan

mencerna sel tumor dan mempresentasikannya ke sel CD4+ melalui MHC-II dan

ke sel CD8+ melalui MHC-I. Jadi makrofag dapat berfungsi sebagai inisiator dan

efektor imun terhadap tumor.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/

45

2.4.2. Imunitas Humoral

Meskipun imunitas selular pada tumor lebih banyak berperan dibanding

imunitas humoral tetapi tubuh membentuk juga antibodi terhadap antigen tumor.

Antibodi tersebut ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau

dengan bantuan komplemen atau dengan efektor ADCC. Sel efektor ADCC

memiliki reseptor Fc misalnya sel NK dan makrofag (opsonisasi) atau dengan

jalan mencegah adesi sel tumor. Pada penderita tumor sering ditemukan komplek

imun, namun pada kebanyakan tumor sifatnya masih belum jelas. Antibodi

diduga lebih berperan pada sel yang bebas (leukemia, metastasis tumor)

dibanding tumor padat. Hal tersebut mungkin disebabkan karena antibodi

membentuk komplek imun yang mencegah sitotoksisitas sel T. pada umumnya

desktruksi sel tumor lebih efisien bila sel tumor ada dalam suspensi. Adanya

destruksi tumor sulit dibuktikan pada tumor yang padat (Baratawidjaja &

Rengganis 2009a; Kresno 2008).

Walaupun diyakini sistim imun dapat memberikan respon terhadap

pertumbuhan kanker, pada kenyataannya banyak kanker yang tetap bisa tumbuh

karena immune surveillance terhadap kanker ini relatif tidak efektif. Hal ini

dipengaruhi berbagai faktor yaitu komponen sistem imun, mekanisme efektor

sistem imun dan imunogenitas tumor.

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: http://www.software602.com/