bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84453/potongan/s1... · luas wilayah...

28
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km 2 atau sama dengan 2/3 dari luas total wilayah Indonesia (Mulyana dan Salahuddin, 2010). Hal ini menyebabkan wilayah perairan laut Indonesia sangat penting keberadaannya bagi kesatuan dan keutuhan Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1982 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyepakati konvensi hukum laut internasional yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang di dalamnya dihasilkan berbagai ketentuan hukum mengenai laut suatu negara. Menurut UNCLOS, negara berhak mengklaim beberapa zona wilayah laut. Wilayah laut yang dapat diklaim oleh suatu negara adalah perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif, dan landas kontinen, serta perairan kepulauan untuk negara kepulauan. Ketentuan mengenai zona laut tersebut meliputi jarak dari daratan, lebar ke laut lepas, penetapan batas dengan negara lain, dan ketentuan-ketentuan lain yang telah dicantumkan dalam UNCLOS (Rachma, 2013). Berdasarkan UNCLOS tersebut, maka Indonesia berhak untuk mengklaim zona wilayah lautnya. Oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi UNCLOS ke dalam perundang-undangan negara Indonesia dalam UU No. 17 Tahun 1985. Perairan pedalaman adalah salah satu zona wilayah laut yang dapat diklaim oleh Indonesia. Menurut pasal 8 UNCLOS sendiri, perairan pedalaman adalah segala perairan yang berada pada sisi darat dari garis pangkal laut teritorial suatu negara. Dalam kenyataannya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum menetapkan wilayah perairan pedalamannya. Salah satu alasan Indonesia belum menetapkan perairan pedalamannya adalah karena Indonesia merupakan negara kepulauan, yang mengakibatkan wilayah perairan yang berada di sisi darat garis pangkal lautnya adalah perairan kepulauan, bukan perairan pedalaman seperti negara non-kepulauan. Menurut

Upload: dinhdung

Post on 21-Mar-2019

247 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah perairan

laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas total wilayah

Indonesia (Mulyana dan Salahuddin, 2010). Hal ini menyebabkan wilayah perairan

laut Indonesia sangat penting keberadaannya bagi kesatuan dan keutuhan Negara

Republik Indonesia.

Pada tahun 1982 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyepakati

konvensi hukum laut internasional yang dikenal dengan United Nations Convention

on the Law of the Sea (UNCLOS), yang di dalamnya dihasilkan berbagai ketentuan

hukum mengenai laut suatu negara. Menurut UNCLOS, negara berhak mengklaim

beberapa zona wilayah laut. Wilayah laut yang dapat diklaim oleh suatu negara adalah

perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekslusif, dan landas

kontinen, serta perairan kepulauan untuk negara kepulauan. Ketentuan mengenai zona

laut tersebut meliputi jarak dari daratan, lebar ke laut lepas, penetapan batas dengan

negara lain, dan ketentuan-ketentuan lain yang telah dicantumkan dalam UNCLOS

(Rachma, 2013). Berdasarkan UNCLOS tersebut, maka Indonesia berhak untuk

mengklaim zona wilayah lautnya. Oleh karena itu pemerintah Republik Indonesia

telah meratifikasi UNCLOS ke dalam perundang-undangan negara Indonesia dalam

UU No. 17 Tahun 1985.

Perairan pedalaman adalah salah satu zona wilayah laut yang dapat diklaim oleh

Indonesia. Menurut pasal 8 UNCLOS sendiri, perairan pedalaman adalah segala

perairan yang berada pada sisi darat dari garis pangkal laut teritorial suatu negara.

Dalam kenyataannya, hingga saat ini pemerintah Indonesia belum menetapkan

wilayah perairan pedalamannya. Salah satu alasan Indonesia belum menetapkan

perairan pedalamannya adalah karena Indonesia merupakan negara kepulauan, yang

mengakibatkan wilayah perairan yang berada di sisi darat garis pangkal lautnya adalah

perairan kepulauan, bukan perairan pedalaman seperti negara non-kepulauan. Menurut

2

pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan Indonesia, salah satu cara yang dapat

dilakukan negara kepulauan seperti Indonesia untuk menetapkan perairan

pedalamannya adalah dengan cara menarik garis penutup pada perairan kepulauan.

Salah satu garis penutup yang dapat ditarik adalah garis penutup teluk, yaitu garis yang

ditarik di teluk yang berada di perairan kepulauan. Perairan yang berada di sisi darat

dari garis penutup teluk tersebutlah yang kemudian dapat ditetapkan sebagai perairan

pedalaman.

Pasal 4 UU No. 6 Tahun 1996 menyebutkan bahwa perairan pedalaman dan

perairan kepulauan merupakan wilayah kedaulatan penuh negara Republik Indonesia.

Sehingga hukum yang berlaku adalah murni hukum Republik Indonesia. Tetapi

walaupun sama-sama wilayah kedaulatan negara, terdapat beberapa perbedaan hak

dan kewajiban yang berlaku pada kedua wilayah perairan tersebut. Selanjutnya,

berdasarkan pasal 11 UU No. 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa pada perairan

kepulauan berlaku hak lintas damai, artinya kapal asing diperbolehkan untuk melintasi

wilayah perairan kepulauan secara damai. Negara kepulauan dapat menentukan jalur

khusus bagi kapal asing untuk melintas secara damai, jika negara kepulauan tidak

menentukan jalur khusus lintas damai pada wilayah perairan kepulauannya, maka

kapal asing boleh memilih rute yang mereka anggap paling baik untuk navigasi.

Sedangkan pada perairan pedalaman tidak berlaku hak lintas damai, artinya kapal

asing tidak diizinkan sama sekali untuk melintas melewati wilayah perairan

pedalaman, kecuali kapal asing tersebut telah mendapat izin khusus dari negara

kepulauan. Melihat perbedaan hak dan kewajiban pada dua wilayah perairan tersebut,

maka dinilai perlu untuk menetapkan perairan pedalaman dan memisahkannya dengan

perairan kepulauan.

Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman adalah untuk kepentingan

Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan hidup secara

keseluruhan. Oleh karena itu sudah seharusnya perairan pedalaman perlu untuk

ditetapkan, didata dan dipublikasikan dengan didaftarkan ke PBB, karena penetapan

wilayah perairan pedalaman sangat berkaitan dengan kedaulatan negara, pelestarian

lingkungan dan keamanan nasional (Salam, 2008).

Selat Makassaar merupakan salah satu wilayah perairan kepulauan di Indonesia

yang wilayah disekitarnya banyak potensi untuk didefinisikan sebagai perairan

3

pedalaman. Banyak teluk-teluk yang berada di pesisir timur Kalimantan dan pesisir

barat Sulawesi yang dapat ditetapkan sebagai perairan pedalaman. Selanjutnya,

berdasarkan PP No. 37 Tahun 2002, Selat Makassar merupakan salah satu perairan

kepulauan yang ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai Alur Laut Kepulaun

Indonesia (ALKI). ALKI sendiri adalah jalur yang dibuat oleh pemerintah Indonesia

bagi kapal atau pesawat asing yang akan melintasi perairan kepulauan Indonesia secara

damai. Walaupun kapal asing diizinkan melintas secara damai dan sesuai aturan yang

berlaku, tetapi pada faktanya wilayah ALKI mempunyai potensi ancaman dari luar

yang dinilai relevan dan membutuhkan koordinasi yang lebih serius. Beberapa potensi

ancaman yang mungkin terjadi pada wilayah tersebut antara lain potensi ancaman

polusi dan gangguan dari kapal yang melintas, digunakannya wilayah ALKI II untuk

manuver angkatan perang negara tetangga dan penangkapan ikan dan sumber daya

alam lainnya secara ilegal (Sinaga, 2011). Lebih jauh, pendangkalan yang terjadi

akhir-akhir ini di Selat Malaka menyebabkan kapal-kapal besar, terutama kapal tangki,

memindahkan trayek pelayarannya ke ALKI II melalui Selat Makassar-Selat Lombok.

Sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, ALKI II memiliki nilai

strategis. ALKI II yang mencakup Selat Lombok, Selat Makassar, dan Laut Sulawesi

menjadi penting dalam posisinya sebagai jalur pendukung utama dari Selat Malaka

yang sudah amat padat (Sinaga, 2011). Oleh karena itu, pengawasan dan penetapan

kawasan maritim di Selat Makassar, termasuk perairan pedalaman, sangat penting.

Melihat ancaman-ancaman baik itu dari segi keamanan maupun kerusakan

lingkungan yang mungkin saja terjadi pada Selat Makassar, maka pendefinisian

perairan pedalaman secara geografis di teluk-teluk yang berada disekitar Selat

Makassar sangat perlu untuk dilakukan.

I.2. Lingkup Kegiatan

Mengingat luasnya wilayah pesisir timur Kalimantan dan pesisir barat Sulawesi

sebagai wilayah yang dipisahkan oleh Selat Makassar, serta keterbatasan data dan

waktu, maka:

1. Kegiatan aplikatif ini hanya berfokus pada identifikasi dan pendefinisian

perairan pedalaman di dalam garis penutup teluk.

4

2. Teluk yang dikaji hanya teluk-teluk yang terdapat pada pesisir barat

Sulawesi Barat dan pesisir barat Sulawesi Tengah.

I.3. Tujuan

Kegiatan aplikatif mengenai pendefinisian perairan pedalaman di dalam garis

penutup teluk ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Teridentifikasinya potensi perairan pedalaman di dalam garis penutup teluk

di wilayah pesisir barat Sulawesi Barat dan wilayah pesisir barat Sulawesi

Tengah.

2. Terdefinisikannya secara legal dan teknis perairan pedalaman di dalam garis

penutup teluk di wilayah pesisir barat Sulawesi Barat dan wilayah pesisir

barat Sulawesi Tengah secara geografis.

I.4. Manfaat

Kegiatan aplikatif ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi instansi yang

memiliki kewenangan dalam menentukan dan menetapkan perairan pedalaman di

Indonesia, sehingga perairan pedalaman di Indonesia dapat dipublikasikan dan

didaftarkan ke PBB.

I.5. Landasan Teori

I.5.1. Zona Maritim Menurut UNCLOS

UNCLOS adalah konvensi internasional tentang hukum laut. UNCLOS

memberikan berbagai ketentuan hukum di laut bagi negara-negara yang telah

meratifikasinya. Menurut data terakhir dari United Nations pada Januari 2015, sudah

167 negara yang telah meratifikasi UNCLOS. Masing-masing negara mendapatkan

hak atas zona maritim yaitu perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona

ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Sedangkan khusus untuk negara kepulauan,

mereka berhak mengklaim perairan kepulauan. Tiap-tiap zona maritim tersebut

memiliki batas maksimal untuk diklaim oleh suatu negara berdasarkan UNCLOS.

Ilustrasi dari zona maritim yang dapat diklaim suatu negara disajikan pada Gambar

1.1. Dalam kegiatan aplikatif ini, zona maritim yang dikaji adalah perairan pedalaman.

5

Gambar 1.1. Zona maritim berdasarkan UNCLOS

(Adaptasi dari Arsana, 2014)

I.5.1.1. Perairan Pedalaman (internal waters). Perairan pedalaman didefinisikan

UNCLOS pada pasal 8 yaitu “waters on the landward side of the baseline of the

territorial sea form part of the internal waters of the State”. Disini perairan pedalaman

diartikan sebagai perairan pada sisi darat dari garis pangkal yang digunakan untuk

penarikan laut teritorial suatu negara. Artinya, setelah suatu negara menutup pantainya

dengan garis pangkal, perairan yang berada disisi dalam dari garis pangkal adalah

perairan pedalaman dan yang berada disisi luar garis pangkal adalah laut teritorial.

Pasal 8 UNCLOS juga menyebutkan terjadi pengecualian pada Bab IV

UNCLOS yaitu mengenai negara kepulauan. Bagi negara kepulauan, perairan yang

berada pada sisi dalam dari garis pangkal belum tentu perairan pedalaman, karena

negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan yang mengakibatkan

perairan yang berada didalam garis pangkal bisa menjadi perairan kepulauan.

Di perairan kepulauan, suatu negara kepulauan boleh menarik garis batas antara

perairan pedalaman dan perairan kepulauan, seperti yang disebutkan dalam pasal 50

UNCLOS, “Within its archipelagic waters, the archipelagic State may draw closing

lines for the delimitation of internal waters, in accordance with articles 9, 10 and 11”.

Garis yang dapat digunakan sebagai batas antara perairan kepuluan dan perairan

6

pedalaman adalah garis yang dijelaskan pada pasal 9 UNCLOS (garis penutup sungai),

pasal 10 UNCLOS (garis penutup teluk) dan pasal 11 (garis penutup instalasi

pelabuhan).

I.5.1.2. Perairan Kepulauan (archipelagic waters). Perairan kepulauan adalah zona

maritim yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan. Menurut pasal 46 UNCLOS,

negara kepulauan didefinisikan “"archipelagic State" means a State constituted wholly

by one or more archipelagos and may include other islands”. Jadi berdasarkan pasal

46 tersebut, negara kepulauan dapat diartikan sebagai suatu negara yang seluruhnya

terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.

Selanjutnya berdasarkan pasal 47 UNCLOS, tidak semua negara yang memiliki pulau

dapat mengklaim dirinya sebagai negara kepulauan. Suatu negara dapat mengklaim

negaranya adalah negara kepulauan jika negara tersebut dapat menarik garis pangkal

kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering

terluar kepulauan itu. Dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal demikian

termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah

perairan dan daerah daratan adalah antara 1:1 hingga 9:1.

Perairan kepulauan adalah istilah yang diberikan oleh UNCLOS bagi perairan

yang berada dalam garis pangkal kepulauan yang hanya dimiliki oleh negara

kepulauan. Dengan ditutupnya suatu negara kepulauan dengan garis pangkal

kepulauan, mengakibatkan negara kepulauan memiliki wilayah laut yang lebih luas

dibandingkan jika negara menggunakan garis pangkal yang lain.

Walaupun suatu wilayah laut telah menjadi wilayah perairan kepulauan

kedaulatan suatu negara, tidak mengakibatkan wilayah perairan kepulauan negara

tersebut bisa bebas dari lalu lintas internasional. Sebaliknya, kapal asing maupun

pesawat udara asing tetap dapat melintas di wilayah perairan tersebut seperti yang

tercantum dalam pasal 52 UNCLOS tentang Hak Lintas Damai (right of innocent

passage), dan pasal 53 tentang Hak lintas alur laut kepulauan (right of archipelagic

sea lanes passage). Menurut pasal 53 UNCLOS, suatu negara kepulauan dapat

menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk

lintas kapal dan pesawat udara asing yang hendak melintasi perairan kepulauan

tersebut. Alur laut dan rute penerbangan adalah suatu rangkaian garis sumbu yang

bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas (laut teritorial), masuk ke perairan

7

kepulauan, hingga berakhir ke laut teritorial tempat keluarnya. Apabila suatu Negara

kepulauan tidak menentukan alur laut atau rute penerbangan, maka menurut pasal 53

ayat (12) UNCLOS, negara lain yang hendak melintasi perairan kepulauan tersebut

boleh melewati rute mana saja yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.

I.5.1.3. Laut Teritorial (territorial sea). Status hukum laut teritorial dijelaskan dalam

pasal 2 UNCLOS, termasuk didalamnya status hukum ruang udara diatasnya, serta

dasar laut dan lapisan tanah di bawahnya. Dalam pasal 2 disebutkan:

1. The sovereignty of a coastal State extends, beyond its land territory and

internal waters and, in the case of an archipelagic State, its archipelagic

waters, to an adjacent belt of sea, described as the territorial sea.

2. This sovereignty extends to the air space over the territorial sea as well as

to its bed and subsoil.

3. The sovereignty over the territorial sea is exercised subject to this

Convention and to other rules of international law.

Berdasarkan ayat ke (1) pasal ke 2 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

wilayah kedaulatan suatu negara selain kedaulatan terhadap wilayah daratannya,

perairan pedalamannya, perairan kepulauannya (khusus untuk negara kepulauan), juga

termasuk kedaulatan atas laut teritorialnya.

Batas laut teritorial dijelaskan dalam pasal 3 dan 4 UNCLOS, yaitu maksimal

penarikannya adalah 12 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan negara pantai.

Khusus untuk negara kepulauan, pada pasal 48 UNCLOS menyebutkan bahwa laut

teritorial diukur dari garis pangkal kepulauan.

I.5.1.4. Pengertian teluk. Menurut pasal 10 ayat (2) UNCLOS teluk adalah “a bay is a

well-marked indentation whose penetration is in such proportion to the width of its

mouth as to contain land-locked waters and constitute more than a mere curvature of

the coast. An indentation shall not, however, be regarded as a bay unless its area is as

large as, or larger than, that of the semi-circle whose diameter is a line drawn across

the mouth of that indentation.” Dengan kata lain teluk adalah suatu lekukan yang jelas,

yang lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga

mengandung perairan yang tertutup dan yang bentuknya lebih dari pada sekedar suatu

lingkungan pantai semata-mata. Tetapi suatu lekukan tidak akan dianggap sebagai

8

suatu teluk kecuali apabila luas teluk adalah seluas atau lebih luas dari pada luas

setengah lingkaran yang diameter lingkarannya adalah sepanjang garis yang ditarik

melintasi mulut lekukan tersebut.

Dari pengertian teluk dalam UNCLOS dapat disimpulkan bahwa untuk

menentukan suatu lekukan pantai disebut teluk atau bukan, dapat dilakukan dengan

beberapa tahap. Tahap pertama adalah menentukan mulut teluk kemudian membuat

garis yang menutup teluk (garis penutup teluk). Tahap kedua mengukur panjang garis

yang menutup teluk, kemudian membuat lingkaran dengan panjang garis penutup teluk

tersebut sebagai diameternya. Tahap ketiga membagi dua lingkaran yang diameternya

sepanjang garis penutup teluk, kemudian mengukur luas setengah lingkaran tersebut.

Tahap keempat mengukur luas perairan yang berada di dalam garis penutup teluk.

Tahap terakhir adalah membandingkan antara luas perairan di dalam garis penutup

teluk dan luas setengah lingkaran. Apabila luas perairan di dalam garis penutup teluk

lebih luas atau sama luas dari atau dengan luas setengah lingkaran, perairan tersebut

dapat disebut sebagai teluk.

Pengertian teluk menurut UNCLOS hanya digunakan sebagai acuan untuk

menentukan batas maritim suatu negara. Pada kenyataannya, ada beberapa teluk di

Indonesia yang tidak memenuhi syarat UNCLOS namun masuk dalam toponimi teluk

(Rachma, 2013). Gambar I.2 menjelaskan perbedaan teluk yang diakui secara hukum

internasional (teluk yuridis) dan teluk yang tidak sesuai syarat hukum internasional.

Gambar I.2. Teluk

(Adaptasi dari Arsana, 2007)

9

I.5.1.5. Perairan pedalaman di dalam teluk. Perairan pedalaman (internal waters)

dijelaskan pada pasal 8 UNCLOS, dan teluk beserta garis penutup teluk dijelaskan

secara lengkap pada pasal 10 UNCLOS. Dua pengertian menurut UNCLOS ini telah

diadaptasi oleh Pemerintah Indonesia kedalam undang-undang dan Peraturan

Pemerintah. Hal ini dilakukan karena Indonesia telah meratifikasi UNCLOS dalam

undang-undang No. 17 Tahun 1985.

Salah satu undang-undang yang membahas mengenai perairan pedalaman di

dalam garis penutup teluk yaitu UU No. 6 Tahun 1996 mengenai Perairan Indonesia.

Disebutkan dalam pasal 7 UU No. 6 Tahun 1996:

(1) Di dalam perairan kepulauan, untuk penetapan batas perairan pedalaman,

Pemerintah Indonesia dapat menarik garis -garis penutup pada mulut sungai,

kuala, teluk, anak laut, dan pelabuhan.

(2) Perairan pedalaman terdiri atas:

a. laut pedalaman; dan

b. perairan darat.

(3) Laut pedalaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a adalah

bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut

dari garis air rendah.

(4) Perairan darat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah segala

perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah, kecuali pada

mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi

darat dari garis penutup mulut sungai.

I.5.1.6. Garis penutup teluk. Syarat garis penutup teluk dijelaskan dalam pasal 10 ayat

(4) UNCLOS yang berbunyi. “If the distance between the low-water marks of the

natural entrance points of a bay does not exceed 24 nautical miles, a closing line may

be drawn between these two low-water marks, and the waters enclosed thereby shall

be considered as internal waters.” Dapat disimpulkan bahwa suatu garis penutup teluk

tidak boleh mempunyai panjang melebihi 24 mil laut, serta perairan yang berada di

dalam garis penutup teluk dapat langsung didefinisikan sebagai perairan pedalaman

setelah ditutupnya teluk dengan garis penutup teluk.

Apabila panjang garis penutup teluk lebih dari 24 mil laut, maka dipilih lekukan

pantai di dalam teluk yang panjangnya kurang dari atau sama dengan 24 mil laut. Hal

10

ini sesuai dengan yang dijelaskan UNCLOS dalam pasal 10 ayat (5) yang berbunyi

“Where the distance between the low-water marks of the natural entrance points of a

bay exceeds 24 nautical miles, a straight baseline of 24 nautical miles shall be drawn

within the bay in such a manner as to enclose the maximum area of water that is

possible with a line of that length”. Garis penutup teluk dipilih pada lekukan pantai di

dalam teluk sedemikian rupa sehingga mendapat luas maksimum yang bisa diambil

oleh suatu negara. Pemilihan luas maksimum dimaksudkan agar negara mendapat

keuntungan seluas-luasnya.

Apabila ada pulau yang terletak di sisi dalam dari garis penutup teluk, pulau-

pulau tersebut menjadi bagian dari perairan. Selain itu, jika dalam penarikan garis

penutup teluk terhalang oleh pulau-pulau kecil, maka panjang teluk yang diukur adalah

penjumlahan dari garis yang menghubungkan mulut teluk dan pulau-pulau. Diameter

yang digunakan untuk membuat setengah lingkaran yang menjadi syarat adalah

penjumlahan dari garis yang menghubungkan pulau-pulau (Cole, 1997).

UNCLOS sendiri mengatur mengenai peran pulau yang terletak di dalam teluk,

yaitu pada pasal 10 ayat (3) yang berbunyi “… Where, because of the presence of

islands, an indentation has more than one mouth, the semi-circle shall be drawn on a

line as long as the sum total of the lengths of the lines across the different mouths.

Islands within an indentation shall be included as if they were part of the water area

of the indentation.” Pasal 10 ayat (3) ini diilustrasikan dalam Gambar I.3. Dari Gambar

I.3, panjang garis penutup untuk mengukur diameter adalah penjumlahan dari garis X,

Y dan Z.

Jadi maksud dari pasal 10 ayat (3) tersebut adalah apabila karena adanya pulau-

pulau, lekukan mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada

suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang

melintasi berbagai mulut tersebut. Pulau-pulau yang terletak di dalam lekukan harus

dianggap seolah-olah sebagai bagian daerah perairan lekukan tersebut.

11

Gambar I.3. Pulau di dalam teluk

(Adaptasi dari Prescott and Schofield, 2005)

I.5.1.7. Titik masuk alamiah dari teluk. Penentuan titik yang digunakan sebagai mulut

teluk atau pintu masuk alamiah adalah sesuatu yang penting dalam pendefinisian

perairan pedalaman, karena digunakan sebagai titik awal pengukuran panjang garis

penutup dan luas teluk. Suatu negara bebas menentukan titik masuk alamiah dari

teluknya. Menurut Prescott dan Schofield (2005), garis biasanya akan digambarkan

sejauh mungkin menuju ke laut. Pemilihan garis agar mendapat panjang maksimal

dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya bagi negara.

Dalam Cole (1997) disebutkan mulut teluk yang dipilih adalah tanjung yang terletak

di salah satu sisi teluk menuju tanjung di sisi yang lain.

Salah satu cara menentukan natural entrance points atau titik masuk alamiah,

dikembangkan oleh Shalowitz. Natural entrance points ditentukan dengan

menggambar garis lurus pada dua sisi mulut teluk yang dianggap mewakili arah pantai,

disebut tangent. Perpotongan dari dua tangent pada salah satu mulut teluk akan

membentuk sudut. Sudut yang terbentuk dibagi dua sama besar, disebut bisector of

tangent, kemudian dicari perpotongan antara bisector of tanget dengan garis air rendah

pada pantai sebagai titik masuk alamiah. Garis penutup teluk (closing line) bermula

pada titik masuk alamiah dari tanjung di salah satu sisi menuju titik masuk alamiah di

sebrangnya. Cara ini diilustrasikan dalam Gambar I.4.

12

Gambar I.4. Titik masuk alamiah dari teluk

(Adaptasi dari Prescott dan Schofield, 2005)

Setiyadi (2007) menjelaskan titik awal terletak pada tanjung yang berada di

ujung pulau dan relatif berhadapan dengan tanjung di ujung pulau lainnya. Penentuan

titik awal dimulai dari membuat pelurusan (tangent) dari mulut teluk pada daerah

kering, ditunjukkan dengan warna kuning pada peta laut. Garis bisector of tangent

diluruskan hingga bertemu garis air rendah pada pantai, ditunjukkan dengan warna

hijau pada peta laut. Kriteria penentuan titik awal yang digunakan oleh Dishidros lebih

jelas dapat dilihat pada Gambar I.5. Prinsip dari pemilihan titik awal oleh Setiyadi

(2007) adalah membagi dua garis pelurusan agar ditemukan garis bisector of tangent.

Pada tahap pelaksanaannya, Setiyadi (2007) menggunakan pembagian dari selisih

kedua azimuth pelurusan.

13

Gambar I.5. Penentuan Titik Awal

(Setiyadi, 2007)

Setiyadi (2007) menyebutkan ada beberapa permasalahan saat memilih ujung

tanjung. Ujung tanjung dengan mudah ditentukan apabila ujung dari tanjung memiliki

garis pantai yang cenderung lancip. Sedangkan di lapangan, bentuk dari ujung tanjung

adalah tumpul. Kesulitan menentukan ujung bertambah karena sisi kanan dan sisi kiri

(garis pantai) dari tanjung tidak satu garis.

I.5.1.8. Teluk “sejarah” (historic bays). Menurut peraturan pasal 10 UNCLOS ayat (2),

(4), dan (5) dapat diambil kesimpulan bahwa teluk sesuai UNCLOS memiliki dua

syarat, yaitu:

a. Panjang garis penutup teluk maksimal 24 mil laut

b. Luas teluk lebih dari atau sama dengan luas setengah lingkaran dengan

diameter sepanjang garis penutup teluk

Apabila salah satu syarat tidak ditemukan pada suatu lekukan pantai yang

menyerupai teluk, maka dibuat garis lain sedemikian rupa sehingga kedua syarat

terpenuhi. Jika kedua syarat tetap tidak terpenuhi, maka suatu lekukan pantai tidak

dapat dianggap teluk meskipun bentuknya menyerupai teluk. Meskipun demikian,

14

pasal 10 ayat (6) UNCLOS memberikan pengecualian atas kedua syarat tersebut. Pasal

10 ayat (6) memberikan toleransi bagi teluk Sejarah (Historic Bays), dimana bunyinya

“The foregoing provisions do not apply to socalled "historic" bays, or in any case

where the system of straight baselines provided for in article 7 is applied”. IHO

memberikan pengertian tentang Historic bays dalam Special Publication No.32

sebagai berikut: Historic bays are those over which the coastal state has publicly

claimed and exercised jurisdiction and this jurisdiction has been accepted by other

states. Historic bays need not match the definition of "bay" contained in the United

Nations Convention on the Law of the Sea.

Menurut International Hydrographic Organization (IHO) dalam Rachma

(2013), teluk “sejarah” adalah teluk yang telah diklaim dan dipublikasikan oleh suatu

negara pantai dan negara pantai tersebut melaksanakan yurisdiksinya, dan yurisdiksi

negara pantai atas teluk diterima oleh negara lain. Syarat teluk menurut UNCLOS

belum tentu ada pada teluk Sejarah. Teluk Sejarah lebih kepada penamaan atas teluk

yang memiliki nilai historis, berhubungan dengan sejarah masyarakat di sekitar, dan

berbagai pertimbangan yang lain.

I.5.2. Perairan Indonesia

Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan. Berdasarkan pasal 2 UU

No. 6 tahun 1996, segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan

pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik

Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian

integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian

dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

I.5.2.1. Kedaulatan Indonesia atas laut. Setelah merdeka dari penjajahan negara

kolonial, berdasarkan hukum uti possidetis juris, Indonesia berhak memiliki wilayah

yang dulu dikuasai oleh negara penjajahnya. Wilayah tersebut selain wilayah daratan

juga termasuk wilayah lautan. Sesuai hukum internasional yang berlaku pada saat itu,

Indonesia hanya bisa mengklaim wilayah kedaulatan lautnya maksimal hanya sejauh

3 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas. Hal tersebut mengakibatkan perairan yang

menghubungkan pulau-pulau di Indonesia menjadi perairan internasional, yang bebas

dilewati oleh kapal-kapal asing. Gambar I.6 memperlihatkan wilayah kedaulatan

15

Indonesia setelah lepas dari penjajahan. Melihat kenyataan seperti itu, negara

Indonesia sebagai suatu negara kepulauan sangat rentan akan resiko ancaman

keamanan yang datang dari luar, karena masing-masing wilayahnya terpisah dan

bukan satu kesatuan utuh. Pada tahun 1957, Ir. Djuanda perdana menteri Indonesia

saat itu, memaparkan konsep Wawasan Nusantara yang memandang laut sebagai satu

wilayah dengan daratan, sehingga perairan yang menghubungkan pulau-pulau di

Indonesia dianggap sebagai bagian dari Indonesia. Konsep yang dipaparkan tersebut

selanjutnya disebut dengan Deklarasi Djuanda.

Gambar I.6. Batas maritim Indonesia sebelum deklarasi Djuanda

(Salam, 2008)

Pengumuman Pemerintah Indonesia mengenai Wawasan Nusantara mendapat

protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand,

tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina, Filipina, dan

Ekuador (Salam, 2008). Konsep Wawasan Nusantara, meskipun mendapat protes

keras tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia. Melalui UNCLOS 1982,

keinginan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan atas perairan dikabulkan

dengan dicantumkannya pasal mengenai negara kepulauan, yaitu seluruh pasal yang

tercantum dalam Bab IV mengenai Negara-negara Kepulauan (Archipelagic States).

Batas laut yang dikuasai Indonesia setelah Deklarasi Djuanda dan sesuai UNCLOS

1982 dapat dilihat pada Gambar I.7.

16

Gambar I.7. Batas maritim Indonesia setelah Deklarasi Djuanda dan sesuai UNCLOS

(Salam, 2008)

Arsana (2007) dalam Rachma (2013) menyebutkan ada perbedaan antara

kedaulatan (sovereignty) dan hak berdaulat (sovereign rights). Kedaulatan adalah

kewenangan absolut untuk menjalankan kekuasaan terhadap wilayah atau masyarakat,

sedangkan hak berdaulat adalah kewenangan suatu negara terhadap wilayah. Dalam

wilayah kedaulatan sebuah negara, yang berlaku adalah hukum negara tersebut,

sementara di wilayah yang menjadi hak kedaulatan, yang berlaku adalah hukum

internasional. Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas perairan pedalaman, perairan

kepulauan, dan laut teritorial. Pada wilayah yang menjadi zona tambahan, zona

ekonomi eksklusif, dan landas kontinen, Indonesia hanya memiliki hak berdaulat.

Kedaulatan negara Indonesia di perairan dijelaskan dalam undang-undang

Republik Indonesia No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia pasal 4 yang berbunyi

“Kedaulatan Negara Republik Indonesia di perairan Indonesia meliputi laut teritorial,

perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial,

perairan kepulauan, dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di bawahnya

termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”.

I.5.2.2. Perairan kepulauan Indonesia. Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia

menetapkan undang-undang No.6 Tentang Perairan Indonesia. Pasal 2 undang-undang

tersebut menyatakan “Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan

pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik

Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian

17

integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian

dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia”.

Berdasarkan Pasal 52 UNCLOS di perairan kepulauan, negara lain diizinkan

melintas asalkan yang dilalui adalah lintas damai (innocent passage). Pengertian lintas

damai sesuai ayat (1) pasal 19 UNCLOS yaitu navigasi oleh kapal/pesawat asing yang

tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Penjelasan

lengkap mengenai hak lintas damai dicantumkan dalam Bab 3 UNCLOS. Selain di

perairan kepulauan hak lintas damai juga juga berlaku di laut territorial (pasal 8

UNCLOS). Ada beberapa kegiatan perlintasan kapal yang tidak dianggap lintas damai

menurut UNCLOS, di antaranya:

a. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan

wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain

apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional

sebagaimana tercantum dalam piagam PBB;

b. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;

c. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang

merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;

d. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan

atau keamanan negara pantai;

e. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;

f. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan

militer;

g. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara

bertentangan dengan peraturan perundangundangan bea cukai, fiskal,

imigrasi atau saniter negara pantai;

h. Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan

dengan ketentuan konvensi ini;

i. Setiap kegiatan perikanan;

j. Kegiatan riset atau survei;

k. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau

setiap fasilitas atau instalasi lainnya negara pantai;

l. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.

18

I.5.2.3. Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pasal 53 ayat (1) UNCLOS

menyebutkan “An archipelagic State may designate sea lanes and air routes

thereabove, suitable for the continuous and expeditious passage of foreign ships and

aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial sea”.

Maksud dari pasal tersebut adalah bahwa suatu negara kepulauan dapat menentukan

alur laut dan rute penerbangan di atasnya, yang cocok digunakan untuk lintas kapal

dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin

melalui atau di atas perairan kepulauannya dan laut teritorial yang berdampingan

dengannya. Lebih jauh menurut UU No. 6 tahun 1996 dijelaskan kapal atau pesawat

udara asing diberikan hak untuk melintas di atas alur laut kepulauan, untuk

melaksanakan pelayaran dan penerbangan dengan cara normal semata-mata untuk

transit yang terus-menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang. Jalur

alur laut kepulauan adalah rangkaian garis yang dimulai dari laut teritorial menuju

perairan kepulauan dan berakhir pada laut teritorial di sisi yang lain.

Berdasarkan pasal 53 UNCLOS, kapal atau pesawat udara asing diberikan

toleransi sejauh 25 mil dari kedua sisi alur laut kepulauan, sehingga lintasan kapal

tidak boleh melebihi koridor yang telah disediakan tersebut. Apabila ditemukan pulau

pada jarak kurang dari 25 mil laut dari rute alur laut kepulauan, kapal asing tidak boleh

berlayar dekat ke pantai kurang dari 10% yang dihitung antara tepi pantai dan titik

terdekat alur laut kepulauan. Alur laut kepulauan di Indonesia sendiri dikenal dengan

nama Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Berdasarkan PP No. 37 Tahun 2002 jalur ALKI yang sudah ditetapkan Indonesia

ada tiga, yaitu ALKI I, ALKI II, ALKI III. Ilustrasi mengenai masing-masing jalur

ALKI dapat dilihat pada Gambar I.8. Berikut penjabaran ALKI yang telah ditetepkan

pemerintah Indonesia:

a) ALKI I

i) ALKI I: Laut Cina Selatan-Laut Natuna-Selat Karimata-Laut Jawa dan

Selat Sunda ke Samudra Hindia (atau sebaliknya)

ii) ALKI I-A: (a) Dari Selat Singapura-Laut Natuna-Selat Karimata-Laut

Jawa dan Selat Sunda ke Samudra Hindia(atau sebaliknya) atau (b)

Melintasi Laut Natuna langsung ke Laut Cina Selatan (atau sebaliknya)

19

b) ALKI II

Laut Sulawesi-Selat Makasar Laut Flores-Selat Lombok ke Samudra Hindia

(atau sebaliknya)

c) ALKI III

i) ALKI III-A: Samudra Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-

Selat Ombai-Laut Sawu (atau sebaliknya)

ii) ALKI III-B: Samudra Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-

Selat Leti ke Laut Timor (sebaliknya)

iii) ALKI III-C: Samudra Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Laut Banda-

Laut Arafuru (sebaliknya)

iv) ALKI III-D: Samudra Pasifik-Laut Maluku-Laut Seram-Selat Ombai-

Laut Sawu (timur Pulau Sawu) ke Samudra Hindia (sebaliknya)

v) ALKI III-E: (a) Laut Sulawesi-Laut Maluku-Laut Seram-Selat Ombai;

(b) Laut Sawu (barat/timur Pulau Sawu) sebaliknya, atau melintasi Laut

Maluku dan (c) Laut Seram-Laut Banda-Selat Leti-Laut Timor ke

Samudera Hindia, atau Laut Seram-Laut Banda-Laut Arafuru

(sebaliknya)

Gambar I.8. Peta Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)

(Salam, 2008)

I.5.2.4. Perbedaan kewenangan negara di Laut Teritorial, Perairan Pedalaman dan

Perairan Kepulauan. Pasal 4 undang-undang No. 6 tahun 1996 menyebutkan bahwa

negara memiliki kedaulatan penuh pada tiga wilayah maritim yaitu laut teritorial,

20

perairan pedalaman, dan perairan kepulauan. Kedaulatan yang berlaku tersebut adalah

kedaulatan penuh baik di perairan, ruang udara di atasnya maupun di dasar laut. Hal

ini berarti Indonesia tidak hanya berhak mengatur lalu lintas pelayaran di laut, tapi

juga berhak mengatur alur penerbangan pesawat asing di udara serta berhak mengolah

sumber kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dari ketiga wilayah maritim tersebut

(Rachma, 2013).

Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai wilayah yang memiliki kedaulatan

penuh, ketiga wilayah maritim ini memiliki peraturan yang berbeda-beda. Dilihat dari

letaknya dari garis pangkal, Laut Teritorial adalah wilayah diluar garis pangkal hingga

jarak maksimum 12 mil laut, perairan pedalaman berada di sisi dalam garis pangkal

lurus hingga daratan, sedangkan perairan kepulauan berada di sisi dalam garis pangkal

kepulauan sekaligus sebagai bagian air yang menghubungkan pulau-pulau. Di dalam

perairan kepulauan, negara kepulauan diijinkan membuat garis penutup sebagai batas

antara perairan kepulauan dan perairan pedalaman (Rachma, 2013).

Hak lintas damai berlaku di laut teritorial dan perairan kepulauan, namun tidak

berlaku di perairan pedalaman kecuali mendapat izin khusus dari negara pantai. Kapal

asing tidak diijinkan melintas di perairan pedalaman, seperti yang tercantum dalam

pasal 18 ayat (1) UNCLOS tentang pengertian kata lintas (passage) berikut: Passage

means navigation through the territorial sea for the purpose of:

(a) traversing that sea without entering internal waters or calling at a

roadstead or port facility outside internal waters; or

(b) proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port

facility.

Disebutkan bahwa lintas (passage) berarti navigasi melalui laut teritorial tanpa

memasuki perairan pedalaman. Ketentuan serupa juga berlaku di perairan kepulauan

bagi negara kepulauan.

Walaupun menurut pasal 18 ayat (1) UNCLOS kapal tidak diizinkan masuk atau

keluar dari perairan pedalaman, hak untuk masuk ke perairan pedalaman dapat berlaku

bagi kapal asing yang telah mendapat izin dari negara pantai. Negara pantai diizinkan

memberikan syarat khusus bagi kapal asing yang akan masuk ke perairan pedalaman

maupun tempat berlabuh di tengah laut, sesuai dengan ketentuan yang tertulis di pasal

25 ayat (2) berikut: In the case of ships proceeding to internal waters or a call at a

21

port facility outside internal waters, the coastal State also has the right to take the

necessary steps to prevent any breach of the conditions to which admission of those

ships to internal waters or such a call is subject.

Apabila ada kapal asing yang melakukan kejahatan sebelum masuk ke laut

teritorial suatu negara, negara tersebut tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan

apapun terhadap kapal asing yang demikian, kecuali kapal asing tersebut masuk ke

perairan pedalaman. Seperti yang tertulis dalam pasal 27 ayat (5) berikut: Except as

provided in Part XII or with respect to violations of laws and regulations adopted in

accordance with Part V, the coastal State may not take any steps on board a foreign

ship passing through the territorial sea to arrest any person or to conduct any

investigation in connection with any crime committed before the ship entered the

territorial sea, if the ship, proceeding from a foreign port, is only passing through the

territorial sea without entering internal waters. Pengecualian bagi pasal tersebut

adalah yang tercantum dalam Bab XII tentang Perlindungan dan Pelestarian

Lingkungan Laut (Protection and Preservation of the Marine Environtment) dan Bab

V tentang zona ekonomi eksklusif.

Perairan pedalaman adalah wilayah yang khusus karena dianggap setara dengan

daratan. Dari berbagai peraturan yang tercantum dalam UNCLOS, dapat disimpulkan

bahwa kapal asing tidak boleh masuk ke perairan pedalaman kecuali mendapat izin

khusus dari negara pantai. Namun bagi daerah yang sebelumnya bukan merupakan

perairan pedalaman namun setelah ditutup garis pangkal lurus berubah menjadi

perairan pedalaman, maka di dalam perairan tersebut berlaku hak lintas damai

(Rachma, 2013). Sebagaimana tertulis dalam pasal 8 ayat (2) berikut: Where the

establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth in article

7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not previously been

considered as such, a right of innocent passage as provided in this Convention shall

exist in those waters.

22

I.5.3. Aspek Teknis Hukum Laut

Salah satu tujuan UNCLOS adalah agar tiap negara pantai bisa menentukan

zona-zona maritimnya masing-masing. Penentuan zona-zona tersebut sangat berkaitan

dengan kegiatan teknis yaitu seperti pengukuran jarak maupun penentuan posisi titik

acuan penarikan jarak. Kegiatan pengukuran jarak dan penentuan posisi tersebut

masuk ke dalam lingkup pengaplikasian ilmu geodesi atau geodesi praktis. Oleh

karena itu dalam melakukan delimitasi batas maritim harus memperhatikan dan

mengacu pada ilmu-ilmu geodesi. Beberapa istilah kegeodesian yang berkaitan dengan

kegiatan delimitasi batas maritim antara lain: geoid, ellipsoid, chart, proyeksi peta dan

sebagainya. Selain dengan bidang ilmu geodesi, aspek teknis dari delimitasi batas

maritim juga berkaitan dengan cabang ilmu hidrografi dan geoscience (International

Hydrographic Bureau, 2006).

I.5.3.1. Geoid dan elipsoid. Geoid adalah bidang ekuipotensial gaya berat bumi

(bidang nivo) yang berimpit dengan muka laut rata-rata (Prihandito, 2010). Bidang

ekuipotensial adalah bidang khayal yang bentuknya tidak teratur. Oleh karena geoid

berimpit dengan muka laut rata-rata (mean sea level), maka geoid digunakan sebagai

referensi tinggi permukaan yang digunakan pada penentuan posisi vertical dalam

pemetaan (International Hydrographic Bureau, 2006).

Bentuk geoid yang tidak beraturan tidak memungkinkan untuk dilakukannya

perhitungan matematis, yang berguna untuk kegiatan seperti pemetaan. Selanjutnya

menurut TALOS dibutuhkan model bentuk geometrik yang sangat mendekati bentuk

dari geoid. Elipsoid adalah model geometrik paling sederhana dan paling mendekati

yang dapat mempresentasikan bentuk tidak beraturan dari geoid. Perbandingan antara

geoid dan elipsoid dapat dilihat pada Gambar I.9.

23

Gambar I.9. Representasi geoid dan elipsoid di sebagian permukaan bumi

(Adaptasi dari International Hydrographic Bureau, 2006)

I.5.3.2. Peta laut (chart). Berdasarkan pasal 5 UNCLOS yang berbunyi “the normal

baseline for measuring the breadth of the territorial sea is the low-water line along

the coast as marked on large-scale charts officially recognized by the coastal State”

diketahui ada dua aspek teknis yang penting saat penentuan garis batas laut. Pertama,

pemilihan garis pantai yang sesuai sebagai dasar penarikan batas wilayah laut. Kedua,

penggunaan peta laut dengan skala besar yang diakui negara pantai.

Dalam TALOS disebutkan, peta laut adalah peta yang menyajikan secara grafis

area laut dan wilayah sekitar pantai. Istilah peta laut (chart) yang digunakan dalam

UNCLOS sesungguhnya adalah nautical chart yaitu peta yang dirancang khusus untuk

keperluan navigasi di laut. Prescott (2010) dalam Rachma (2013) menyebutkan

perbedaan prinsip antara peta laut (chart) dengan peta lainnya adalah:

1. Chart khusus digunakan untuk navigasi

2. Chart digambar dengan sistem proyeksi Mercator karena sifatnya yang

konform dan arah di peta tetap sama dengan arah sebenarnya di lapangan

3. Chart selalu diperbaharui dengan data terbaru secara terus menerus

4. Chart hanya sedikit menggambarkan fitur-fitur daratan, namun

menggambarkan sangat detail fitur-fitur di laut termasuk fitur di dasar laut

24

5. Skala chart tidak seragam pada suatu lembar peta laut skala menengah dan

skala kecil. Skala chart akan bertambah besar ke arah kutub

6. Skala pada chart ditemui bersifat linier pada batas yang berupa garis lintang

dari arah timur ke barat

7. Chart menggunakan meridian dan paralel tidak berbentuk grid

8. Chart lebih banyak menggunakan titik-titik kedalaman (spot depths)

dibanding kontur untuk menampilkan informasi kedalaman dasar laut

9. Chart juga menggambarkan daerah pantai

10. Chart memiliki tabel konversi untuk ukuran feet, fathom dan meter

Peta Laut di Indonesia dikeluarkan oleh Dinas Hidro-Oseanografi TNI Angkatan

Laut (Dishidros TNI AL). Dishidros TNI AL sendiri telah diakui sebagai perwakilan

dari Indonesia oleh IHO sesuai yang dikutip dari situs resmi IHO (Rachma, 2013).

Pasal 75 UNCLOS berbunyi “The coastal State shall give due publicity to such

charts or lists of geographical coordinates and shall deposit a copy of each such chart

or list with the Secretary-General of the United Nations”. Dari pasal 75 tersebut ditarik

kesimpulan bahwa negara pantai harus mengumumkan peta dan daftar koordinat

geografisnya. Peta dan daftar koordinat tersebut didepositkan kepada Sekretaris

Jendral PBB sekaligus untuk mendapat pengakuan dari negara lain.

I.5.3.3. Proyeksi peta. Proyeksi Peta adalah metode penyajian permukaan bumi pada

suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada

elipsoid (Prihandito, 2010). Bumi yang berbentuk bulat tidak beraturan dimodelkan ke

dalam bentuk yang dapat dilakukan perhitungan matematis, yaitu elipsoid atau bola.

Sedangkan peta adalah gambaran permukaan bumi pada bidang datar, sehingga perlu

dilakukan suatu cara agar bumi yang dalam model bola ataupun model elips menjadi

datar. Proses untuk mendatarkan bumi itulah yang dimaksud dengan proyeksi peta.

Dalam proyeksi peta dikenal istilah bidang datum dan bidang proyeksi. Menurut

Prihandito (2010), bidang datum adalah bidang yang akan digunakan untuk

memproyeksikan titik-titik yang diketahui koordinat geografis/geodetiknya.

Koordinat geografis adalah koordinat suatu titik di permukaan bumi dengan asumsi

bumi berbentuk bola, sementara koordinat geodetik adalah koordinat suatu titik di

permukaan bumi dengan asumsi bumi berbentuk elips. Koordinat geodetik maupun

25

geografik dinyatakan dalam lintang (φ) dan bujur (λ). Bidang proyeksi adalah bidang

yang digunakan untuk memproyeksikan titik-titik yang mempunyai sistem koordinat

absis (x) dan ordinatnya (y).

Penyajian permukaan bumi menjadi bidang datar dapat dilakukan dengan

berbagai cara. Prihandito (2010) menjelaskan proyeksi dapat berdasarkan

pertimbangan ekstrinsik atau pertimbangan intrinsiknya. Pertimbangan ekstrinsik

meliputi kriteria berdasarkan macam bidang proyeksi yang digunakan, persinggungan,

atau posisi sumbu simetri. Berdasarkan bidang yang digunakan, ada tiga macam

proyeksi yaitu azimutal (bidang datar), kerucut, dan silinder.

Berdasar persinggungan, dikenal dua macam bidang proyeksi yaitu tangent

(bersinggungan), secant (berpotongan), dan polysuperficial (banyak bidang proyeksi).

Pertimbangan ekstrinsik yang terakhir adalah berdasar posisi sumbu simetri, yaitu

transversal (tegak lurus), normal, dan miring. Pertimbangan intrinsik dibagi

berdasarkan sifat asli yang dipertahankan dan berdasar generasi. Berdasar sifat asli

yang dipertahankan ada dua macam proyeksi yaitu ekuivalen (sama luas), konform

(sama sudutnya), dan ekuidistan (sama jarak). Berdasar generasi, dikenal tiga criteria

proyeksi yaitu geometris (proyeksi persepektif), matermatis (berdasar perhitungan),

dan semi geometris (Prihandito, 2010).

Siregar (1998) dalam Setiyadi (2007) menyebutkan sistem proyeksi yang

digunakan dalam pemetaan laut di Indonesia ada dua, yaitu Merkator (Mercator) dan

UTM (Universal Transverse Mercator). Sistem proyeksi Merkator digunakan pada

peta-peta navigasi, ZEE, garis pangkal, ALKI, batimetri GEBCO, dan sebagian peta

khusus militer. Sistem proyeksi UTM dipakai pada peta-peta lingkungan pantai,

lingkungan laut, dan sebagian peta khusus militer. Pada kegiatan aplikatif ini, sistem

proyeksi yang dibahas khusus hanya sistem proyeksi merkator.

Proyeksi merkator adalah proyeksi permukaan bumi dengan bidang proyeksi

yang digunakan berupa silinder, dan posisi sumbu simetri berimpit dengan sumbu

bumi (normal). Meredian bumi tergambar sebagai garis lurus yang berjarak sama

sedangkan paralel tergambar sebagai garis lurus yang memiliki jarak makin pendek

bila mendekati ekuator. Hal ini disebabkan silinder menyinggung permukaan bumi

(tangent) di ekuator. Semakin menjauhi ekuator, distorsi/perubahan-perubahan

semakin besar, dengan demikian kutub tidak dapat tergambarkan karena letaknya tak

26

terhingga. Garis grid dalam proyeksi merkator dinyatakan dalam kilometer sebenarnya

(Prihandito, 2010).

I.5.3.4. Satuan. TALOS telah memberikan satuan baku dalam penentuan batas

maritim. Satuan yang ditetapkan terdiri dari satuan jarak dan satuan luas. Untuk

mencari jarak, satuan yang digunakan adalah mil laut internasional (M). Satu mil laut

internasional nilainya sama dengan 1852 meter (1,852 km), atau setara dengan panjang

satu menit busur meridian geografik pada sekitar lintang 44˚. Semakin mendekati

ekuator, panjang 1˚ semakin besar. Panjang 1˚ di ekuator sama dengan 111,322 km

(Prihandito, 2010). Bila dikonversi, satu menit di ekuator nilainya 1,855 km. Meskipun

satuan untuk panjang adalah mil laut, satuan luas bukan mil laut persegi (M²)

melainkan kilometer persegi (km²).

I.5.3.5. Perhitungan panjang garis dan penentuan luas. Panjang garis yang didapat dari

peta adalah jarak antara dua titik yang masing-masing diketahui koordinatnya. Untuk

menghitung jarak dua buah titik yang masing-masing diketahui koordinatnya,

rumusnya sebagai berikut (Basuki, 2006):

dAB= √(XB-XA)2+(YB-YA)

2 ........................................................................... (1)

Dalam hal ini:

d = jarak antara kedua titik

XA, YA = koordinat titik pertama

XB, YB = koordinat titik kedua

Luas diatas peta dapat dihitung dengan dua cara, yaitu cara grafis dan cara

numeris. Penghitungan luas dengan cara grafis dilakukan apabila pada gambar hanya

diketahui skalanya, tanpa dilengkapi data lain seperti angka ukur, dan lain lain.

Penghitungan luas dengan cara numeris dapat dilakukan dengan memakai koordinat-

koordinat atau angka-angka ukur yang diketahui (Basuki, 2006). Contoh penghitungan

secara numeris dengan menggunakan nilai koordinat yang telah diketahui sebagai

berikut:

Misal sebidang tanah pada Gambar I.10 dibatasi titik-titik A, B, C, D yang

diketahui koordinatnya: A(X1, Y1), B(X2, Y2), C(X3, Y3), D(X4, Y4).

27

Gambar I.10. Luasan dengan angka koordinat (Basuki, 2006)

Maka luas bidang ABCD dapat dicari menggunakan rumus berikut (Basuki,

2006):

Luas ABCD =

Luas trapesium A1ABB1 + Luas Trapesium B1BCC1 - Luas trapesium

C1CDD1 - Luas Trapesium A1ADD1

= 1

2(X2-X1)(Y2+Y1) +

1

2(X3-X2)(Y3+Y2) -

1

2(X3-X4)(Y3+Y4) -

1

2(X4-

X1)(Y4+Y1)…………...……………………………………………..…….. (2)

Luas ABCD =

1

2(X2-X1)(Y2+Y1) +

1

2(X3-X2)(Y3+Y2) +

1

2(X4-X3)(Y4+Y3) +

1

2(X1-

X4)(Y1+Y4) ………………………………………….……………………... (3)

Disederhanakan menjadi:

2 Luas ABCD = [(Xn-Xn+1)(Yn+Yn-1)] …………………….……………..... (4)

Apabila gambar diproyeksikan terhadap sumbu –Y maka:

2 Luas ABCD = [(Yn-Yn+1)(Xn+Xn-1)] ……………..…………………….... (5)

Kedua rumus diatas dapat disederhanakan menjadi:

2 Luas = [Xn(Yn-1-Yn+1)]

= [Yn(Xn+1+Xn-1)] …………………………...…………..………..... (6)

Pada kegiatan aplikatif ini juga dibahas mengenai luas setengah lingkaran.

Setengah lingkaran sendiri terbentuk dengan memotong lingkaran sepanjang garis

diameternya. Pemotongan lingkaran sepanjang diameternya akan menghasilkan dua

buah setengah lingkaran yang ukurannya sama besar. Setengah lingkaran ditunjukkan

pada Gambar I.11.

A

X

Y

B

C

D

A 1 B 1

C 1 D 1

28

Gambar I.11. Setengah lingkaran

(www.mathopenref.com/semicircle.html)

Luas setengah lingkaran merupakan setengah dari luas lingkarannya. Rumus

luas lingkaran sendiri adalah:

Luas lingkaran = 𝜋𝑟2 ………………………………………….…………... (7)

Luas setengah lingkaran = 1

2𝜋𝑟2

Dimana r = jari-jari lingkaran

r = Setengah diameter

r = 1

2𝑑 ………………………………………….……………………….…... (8)

Sehingga rumus luas setengah lingkaran menggunakan diameter adalah:

Luas setengah lingkaran = 1

2𝜋 (

1

2𝑑)

2

………………………………………... (9)

= 1

8𝜋𝑑2 ………………………………….………. (10)