bab i - badan penelitian dan pengembangan kota...

52
1

Upload: dothu

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemampuan Indonesia untuk bersaing di pasar global, penggunaan

teknologi yang dapat meningkatkan pendapatan dan produktivitas, serta daya

tarik Indonesia bagi kalangan investor, dibentuk melalui keberadaan sumber

daya manusia. Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dalam standar

pendidikan dengan negara tetangga. Bahkan, survei yang dilakukan pada

perusahaan-perusahaan Jepang yang beroperasi di negara-negara Asia di

tahun 2003 mengungkapkan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia

dan tidak memadainya pasokan keahlian manajemen di Indonesia

menyebabkan rendahnya minat investor terhadap Indonesia. Hal ini harus

menjadi perhatian serius bagi Indonesia ketika pesaing regional terus

menerus meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Temuan tersebut

disikapinya dengan menetapkan delapan Standar Pendidikan Nasional untuk

peyelenggaraan pendidikan yaitu: (1) standar kompetensi lulusan; (2) standar

isi; (3) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (4) standar proses; (5)

standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar

pembiayaan; dan (8) standar penilaian pendidikan). Harapannya dengan

delapan standar ini SDM Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya.

Memang ini tidak mudah karena kompleksnya permasalahan pendidikan

dilihat dari berbagai aspek (geografis, social, budaya dan sebagainya).

Dilihat dari kurikulum pendidikan di Indonesia sekarang ini

menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, memberi keluasan

pada sekolah untuk berkembang, berkreatif dan berinovatif. Dengan

keleluasan ini diharapkan terjadi suatu kompetisi saling bersaing untuk

mencapai kualitas pendidik dengan menggunakan Standar Pendidik Nasional

(SNP) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005. Paradigma yang

diinginkan oleh KTSP yang berbasis kompetensi ini tugas guru tidak hanya

menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus dilatih menjadi

3

fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar kepada seluruh

peserta didik. Penerapan KTSP yang berbasis kompetensi ingin mengubah

pola pendidikan dari orientasi terhadap hasil dan materi ke pendidikan

sebagai proses.

Dalam upaya mengetahui hasil belajar siswa, pemerintah melakukan

evaluasi secara nasional melalui ujian nasional (UN) untuk beberapa mata

pelajaran sebagai bentuk implementasi dari standar penilaian pendidikan.

Namun hasil UN belum menggambarkan mutu pembelajaran karena belum

ada data akurat tentang proses pembelajaran yang terjadi di semua level

pendidikan. Banyak pihak yang tidak menerima bahwa hasil UN

menggambar kualitas belajar siswa.

Masalah lain yang muncul berkaitan dengan hasil belajar siswa adalah

Penerimaan Siswa Baru (PSB). Sistem PSB yang selama ini dilaksanakan di

kota Medan dinilai tidak seluruhnya mencerminkan kualitas siswa khususnya

hasil belajar siswa. Atas dasar keadaan tersebut perlu dilakukan suatu kajian

tentang evaluasi pelaksanaan UN dan PSB di kota Medan.

1.2. Batasan Masalah

Mengingat luasnya ruang lingkup penelitian ini, maka penelitian ini dibatasi

pada kajian:

a. Sistem penerimaan siswa baru yang meliputi jalur masuk ke SMA/SMK,

nilai ujian nasional yang diperoleh sewaktu di SMP/MTsN, dan nilai ujian

tes masuk SMA/SMK

b. Kesiapan para siswa SMA/SMK dalam menghadapi ujian nasional yang

meliputi cara belajar, upaya yang dilakukan, kepemilikan buku-buku yang

berkaitan dengan mata pelajaran yang di ujian nasional-kan

c. Hubungan antara nilai ujian nasional sewaktu ditingkat SMP/MTsN

dengan prestasi belajar siswa ditingkat SMA/SMK sesuai dengan jalur

masuk yang diikutinya

4

1.3. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan Masalah dalam Penelitian ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan sistem penerimaan siswa baru yang dilakukan

sekolah?

b. Bagaimana kesiapan para siswa dalam menghadapi ujian nasional?

c. Bagaimana hubungan antara prestasi belajar ditingkat SMP/MTsN dengan

prestasi belajar ditingkat SMA/SMK sesuai dengan jalur PSB?

1.4. Tujuan

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkkan data kesiapan para

siswa dalam melaksanakan ujian secara nasional. Secara khusus penelitian ini

bertujuan untuk:

a. Mengetahui pelaksanaan system penerimaan siswa baru yang dilakukan

sekolah di kota Medan

b. Mengetahui tingkat kesiapan siswa dalam menghadapi ujian nasional

c. Mengkaji hubungan prestasi belajar ditingkat SMP/MTsN dengan prestasi

belajar ditingkat SMA/SMK sesuai dengan jalur PSB

1.5. Manfaat

Penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Bagi sekolah

1) Sebagai dasar untuk perbaikan pelaksanaan pembelajaran khususnya

dalam mempersiapkan pelaksanaan ujian nasional

2) Perbaikan dalam pengelolaan sekolah, pembinaan guru, pengelolaan

kelas, dan system PSB

3) Mendapatkan masukan perbaikan sistem manajemen pendidikan di

sekolahnya

b. Bagi Dinas Pendidikan di Kota

1) Sebagai dasar dalam pembinaan guru dan sekolah dalam rangka

meningkatkan mutu pendidikan

5

2) Perbaikan sistem pendidikan yang terkait dengan peningkatan mutu

pendidikan khususnya ujian nasional dan PSB

c. Bagi Balitbang

1) Mendapatkan data tentang tingkat kesiapan perangkat sekolah dalam

melaksanakan ujian nasional.

2) Menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan dalam perbaikan kualitas

pendidikan.

3) Menjadi bahan masukan dalam menyusun program perbaikan kualitas

pendidikan khususnya pelaksanaan UN dan PSB

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Ujian Nasional (UN)

Secara umum, penilaian atau evaluasi merupakan komponen yang

tidak terpisahkan dari penyelenggaraan suatu sistem, termasuk system

pendidikan. Evaluasi berfungsi memberikan umpan balik agar

penyelenggaraan sistem tersebut menjadi lebih baik, dinamis, dan

berkelanjutan. Dengan kata lain, suatu sistem yang baik di dalamnya pasti ada

substansi penilaian. Oleh karena itu, komponen penilaian memiliki makna

dan posisi sangat strategis. Secara garis besar penilaian dalam bidang

pendidikan terdiri dari dua jenis, yaitu penilaian internal dan eksternal.

Penilaian internal dilakukan untuk memberikan umpan balik sekaligus

memantau kemajuan belajar anak. Evaluasi internal ini diselenggarakan oleh

institusi penyelenggara, dalam hal ini guru atau sekolah. Sedangkan penilaian

ekternal dilakukan oleh pihak lain di luar institusi penyelenggara. Penilaian

eksternal ini perlu dilakukan karena biasanya justru menjadi alat yang efektif

untuk mendorong sekolah tersebut bergerak kearah perbaikan (Anam, 2005:

259). Hal ini terjadi karena external evaluation berfungsi sebagai penekan.

Bagi pemerintah, penilaian eksternal ini memiliki makna sangat penting

karena menjadi alat untuk quality control dan quality assurance terhadap

penyelenggaraan pendidikan.

7

Dilihat dari fungsinya, penilaian ekternal ini paling tidak terdiri dari

empat macam. Pertama, penilaian yang ditujukan untuk menilai suatu sistem

secara keseluruhan. Evaluasi terhadap sistem pendidikan ini dilakukan Pusat

Penilaian Pendidikan (Puspendik) secara berkala. Selain untuk mamantau dan

memetakan sistem pendidikan sehat atau tidak, evaluasi sekaligus untuk

melakukan perbandingan dengan sistem pendidikan di sejumlah Negara lain.

Kedua, penilaian yang ditujukan untuk menentukan kelayakan dari suatu

lembaga penyelenggara. Penilaian jenis ini disebut juga akreditasi.

Tujuannya, untuk mengecek apakah institusi itu layak tidak

menyelenggarakan proses pendidikan. Di tingkat perguruan tinggi, badan

yang menilai kelayakan lembaga penyelenggara adalah Badan Akreditasi

Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), sedangkan di tingkat pendidikan dasar

dan menengah, sejak tahun 2003 dibentuk badan Akreditasi Sekolah Nasional

(Basnas). Badan ini setiap empat tahun sekali menilai layak tidaknya sekolah

beroperasi, mulai dari tingkat TK, SD/MI, SMP/MTs, hingga SMA/MA

maupun SMK.

Ketiga, penilaian yang berfungsi sebagai pengendali mutu lulusan atau

quality control. UN merupakan jenis penelitian ini yaitu sebagai quality

control, yang fungsinya untuk menentukan apakah seorang anak didik layak

atau tidak layak diluluskan sekolah.

Keempat, penilaian yang ditujukan untuk memberikan diagnosis.

Penilaian ini disebut juga dengan tes diagnostic. Sifatnya tidak mutlak,

8

dipakai sesuai dengan keperluan saja. Contohnya, tes kemampuan dasar di

SD, untuk mengetahui potret siswa kelas III yang akan naik kelas IV. Hasil

dari tes itu kemudian dipakai sebagai diagnosis pada kegiatan pembelajaran

berikutnya, agar anak-anak yang naik kelas IV SD mempunyai kemampuan

membaca, menulis, dan berhitung (Indra).

Dari jenis-jenis di atas, Ujian Nasional termasuk dalam jenis penilaian

external evaluation quality control, yaitu penilaian yang dilakukan oleh

lembaga mandiri (pihak lain) bukan lembaga penyelenggara pendidikan,

sebagai pengendali kualitas terhadap output (lulusan).

Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan

semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya

Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu

Pendidikan. Berdasarkan Permendiknas tersebut ada dua hal utama yang

harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan, yakni (1) melakukan

Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dan (2) melakukan Monitoring Sekolah oleh

Pemerintah Daerah (MSPD).

Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah

oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat

ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu

pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata

dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan

langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam

9

menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah.

Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan

dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan

dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga

pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan

penjaminan mutu sekolah.

Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang

berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan

Mutu Pendidikan (LPMP) untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan

pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah.

LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dan kerangka

konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan. Hal ini dimulai dari pemetaan

kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan

pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam

menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah.

Yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD, kepala

dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk

meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya.

Salah satu bentuk penjaminan mutu pendidikan adalah terpenuhinya 8

standar pendidikan, yang salah satunya adalah standar penilaian pendidikan,

dalam bentuk ujian nasional (UN). Ujian Nasional adalah sistem evaluasi

standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu

10

tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian

Pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20

tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan

secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara

pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan

bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala,

menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar

nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan

secara berkesinambungan. Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila

telah melewati nilai batas tertentu berupa nilai batas antara peserta didik yang

sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum

menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau

sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik

yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas.

Secara yuridis penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) sebagai salah

satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. Dalam UU No. 20

Tahun tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11 dinyatakan bahwa

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat

tanpa diskriminasi. Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan secara

internal (Internal Evaluation) yang dilakukan oleh pendidik untuk memantau

proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara

berkesinambungan (Pasal 58 ayat 1); sementara dalam Pasal 58 Ayat (2)

dinyatakan bahwa Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program

11

pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh,

transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional

pendidikan (External Evaluation). Penilaian pendidikan pada jenjang

pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: Penilaian oleh pendidik; Penilaian

oleh satuan pendidikan; dan Penilaian oleh Pemerintah (PP 19 tentang Standar

Nasional Pendidikan; Pasal 63 Ayat 1). Penilaian hasil belajar oleh

Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan

secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional.

2.2. Upaya Sekolah Meningkatkan Kelulusan Siswa

Terlepas pro dan kontra dengan diadakannya ujian nasional (UN)

yang menetapkan adanya standart minimal yang harus dicapai oleh siswa.

Kebijakan pemerintah menetapkan standar minimal untuk tahun pelajaran

2009/2010 adalah siswa harus mendapatkan nilai minimal rata-rata minimal

5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00

untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata

pelajaran lainnya. Dengan adanya standar minimum ini berdampak positif

terhadap perbaikan sikap dan kesiapan siswa menghadapi ujian nasional.

Ancaman gagal atau tidak lulus sekolah melecut semangat siswa untuk giat,

dan semangat belajar. Siswa menyadari apabila gagal dalam ujian nasional,

siswa harus menghadapi resiko yang diterima mulai rasa malu, rugi waktu,

tenaga, dan harus mengulang. Menghadapi ujian nasional tahun pelajaran

12

2009/2010, semua pihak baik sekolah, orang tua, guru maupun siswa

dihinggapi kecemasan. Hal ini dikarenakan jika anak didik tidak lulus,

walaupun dalam pelaksanaan ujian nasional terdapat ujian susulan bagi siswa

yang tidak lulus. Selain kecemasan harus memenuhi standar nilai minimal,

sekolaham dicemaskan dengan majunya jadwal ujian nasional. Perubahan

jadwal ujian nasional SMP dan SMA sederajat yang dimajukan pada Maret

mengagetkan guru-guru. Pihak sekolah segera mengatur strategi baru untuk

memadatkan materi pembelajaran dan memajukan pemberian pelajaran

tambahan untuk siswa kelas III.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun

2009 tentang Ujian Nasional (UN) SMP/MTs, SMP Luar Biasa, SMA/MA,

dan SMK, jadwal UN yang biasanya dilaksanakan pada April dimajukan

menjadi Maret. UN untuk SMA sederajat dilaksanakan minggu ketiga Maret

2010, sedangkan untuk SMP sederajat pada minggu keempat Maret 2010.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) memutuskan, mulai 2010 akan

ada Ujian Nasional ulang bagi siswa yang tidak lulus di tahun yang sama.

Tetapi, konsekuensinya, waktu penyelenggaraan UN harus dimajukan, dari

yang biasanya dimulai pada April, menjadi Maret.

Nilai UN yang dijadikan sebagai kunci apakah siswa lulus atau tidak

setelah menempuh pendidikan selama tiga tahun memang menjadi hal yang

dilematis bagi sekolah dan Dinas terkait. Di satu sisi, ini merupakan sebuah

program dalam meningkatkan kualitas kompetensi lulusan. Namun, di sisi

13

lain, bila input siswa yang dimiliki kemampuannya minim, ditambah fasilitas

yang kurang memadai dan kondisi-kondisi lainnya yang kurang menunjang

untuk peningkatan kualitas siswanya, maka kekhawatiran akan hasil UN yang

mengakibatkan banyaknya siswa tidak lulus adalah sangat beralasan.

Banyaknya siswa yang tidak lulus akan memengaruhi kredibilitas

sekolah di mata masyarakat yang akan berdampak pada menurunnya minat

orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. Alhasil sekolah pun

harus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hasil UN.

Ada beberapa strategi bisa dilakukan oleh beberapa sekolah sesuai

kondisi sekolahnya masing-masing, antar lain:

a. Meningkatkan motivasi siswa.

Motivasi adalah dorongan yang ada dalam diri seeorang. Bila

seseorang memiliki motivasi tinggi maka seberat apa pun tantangan yang

ada di hadapannya akan diatasi. Karena itu, menumbuhkan motivasi yang

tinggi di siswa adalah langkah awal yang harus dilakukan.

Menumbuhkan motivasi atau gairah belajar yang tinggi di siswa

tidaklah mudah. Diperlukan pendekatan khusus, dapat dimulai dengan

pengklasifikasian siswa dari siswa yang memiliki high motivation sampai

yang low motivation, lalu dibuat progress report-nya. Lakukan proses

penanganan tiap siswa, terutama yang memiliki motivasi belajar kurang

sampai kemudian motivasi belajarnya itu muncul.

14

Pendekatan psikologis secara personal di luar jam pelajaran dengan

suasana yang rileks dan nyaman perlu dilakukan sehingga ada kedekatan

dan keterbukaan antara siswa dan guru.

b. Menganalisis SKL (Standar Kompetensi Lulusan)

Apabila sekolah menerima SKL maka perlu dianalisis terlebih

dahulu sebelum diinformasikan kepada siswa. Hal ini dikarenakan

pemahaman setiap siswa itu berbeda-beda, bahkan tak dipungkiri gurupun

juga terkadang mengalami kesulitan dalam memahami SKL, apalagi guru

yang baru dan belum berpengalaman. Yang jelas pengalaman sangat

berarti dalam hal ini.

c. Buatlah bank soal yang sesuai indikator-indikator SKL

Bank soal bisa di dapat melalui toko toko buku, arsip sekolah atau

jika ingin yang gratis bisa berburu di Internet. Namun, akan tetap lebih

baik jika guru sendiri yang menyusun bank soal itu. Sebab, apabila guru

sendiri yang menyusun soal bisa disusun secara sitematis berdasarkan hasil

analisis SKL. Kelebihan yang lain, latihan-latihan yang diberikan guru

bisa sistematis sesuai tuntutan SKL UN, sehingga dapat diketahui tuntutan.

SKL mana yang belum dikuasai siswa. Dengan kata lain daya serap

siswa terhadap materi Ujian Nasional bisa dipantau.

d. Melaksanakan Try Out

15

Try Out adalah salah satu kegiatan wajib untuk menilai

kemampuan dan melatih kemampuan siswa untuk menghadapi ujian

nasional. Karena menilai kemampuan, Try Out lebih baik dikerjakan

sendiri dengan kemampuan sendiri. Setiap guru mata pelajaran yang di

ujikan dan guru mata pelajaran harus sudah mempunyai prediksi, seperti

apa gambaran soal yang akan diujikan atau dikeluarkan, prediksi sendiri

yang dilakukan oleh guru sangat penting, sebab hal ini sekaligus menjadi

testing bagi kemampuan pelajar.

Soal- soal try out sebaiknya disusun berdasarkan tuntutan indikator

SKL secara keseluruhan. Hal ini dimaksudkan agar peningkatan

ketuntasan setiap kompetensi siswa dapat terwujud.

e. Clinical Services

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kompetensi

bagi siswa yang dianggap memiliki masalah dalam penguasaan

kompetensi yang akan diujikan dalam Ujian Nasional (SKL) dengan

memberikan layanan khusus.

Layanan khusus didasarkan berdasarkan hasil try out dengan

mengambil 10 orang siswa dengan nilai terburuk di kelasnya dan

dimasukkan dalam katagori siswa bermasalah.

Guru Mata Pelajaran Ujian Nasional dapat memberikan daftar

tambahan peserta Clinical Services jika dianggap perlu. Siswa dapat

16

memilih guru yang dipercaya untuk mendampingi dalam menguasai SKL

yang dirasa belum tuntas Kegiatan dilaksanakan pada siang hari setelah

pulang sekolah di luar hari jam tambahan pelajaran. Materi lebih

ditekankan pada penguasaan dasar-dasar kompetensi serta trik pengerjaan

soal. Kegiatan dilaksanakan pada siang hari setelah pulang sekolah di luar

hari jam tambahan pelajaran. Materi lebih ditekankan pada penguasaan

dasar-dasar kompetensi serta trik pengerjaan soal.

f. Pendalaman materi UN

Materi yang belum tuntas menjadi bahan untuk pendalaman materi

UN. Pendalaman ini dilakukan dengan tujuan agar siswa lebih siap

terhadap materi yang di ujikan. Pendalaman materi ini dapat diketahui

melalui analisis hasil test (Try Out). Siswa yang banyak salah pada soal try

out, maka perlu adanya pendalaman terhadap soal sejenis tersebut.

g. Meminta dukungan dari orang tua siswa

Kerja sama antara sekolah dan keluarga perlu ditingkatkan supaya

tidak terjadi kontradiksi atau ketidakselarasan antara sekolah dan keluarga.

Suasana kehidupan di sekolah dan rumah memengaruhi

perkembangan kepribadian anak, apabila anak-anak merasa tentram ketika

berada di sekolah, demikian juga ketika tinggal di rumah, mereka dapat

diharapkan memiliki dorongan yang kuat untuk melaksanakan tugas

sekolah dan tugas rumah dengan sebaik-baiknya.

17

Schmuck dan schmuck menganjurkan dikembangkannya suasana

kelas yang positif, yang memiliki karakteristik sebagai berikut.

a. Murid-murid menginginkan hasil yang terbaik sesuai dengan

kemampuan masing-masing dan saling memberikan dukungan.

b. Murid-murid saling memberikan pengaruh posiif.

c. Kegembiraan muncul di sekolah secara umum dan di kelas

secara khusus.

d. Peraturan disekolah diikuti secara tertib tanpa paksaan, sehingga

tugas-tugas dapat dikerjakan dengan baik.

e. Komunikasi antarwarga sekolah bersifat terbuka da diwarnai

dengan dialog secara akrab.

f. Proses bekerja dan dikembangkan bersama sebagai suatu

kelompok dipandang cocok untuk belajar.

g. Sekolah harus terus berkoordinasi dengan orang tua mengenai

program-program dalam mempersiapkan UN. Diharapkan

partisipasi orang tua secara aktif dalam membantu anak-anaknya

terutama dalam pemberian motivasi dan pengawasan belajar di

rumah. Bagaimanapun usaha seorang guru tanpa orang tua siswa

tidak akan maksimal untuk meloloskan siswanya dalam UN.

Bila kita perhatikan, siswa sepulang dan sekolah secara

langsung sudah terlepas dari tanggung jawab guru sebagai

pengajar. Oleh karena itu peran orang tua lebih membantu anak

mereka untuk lolos dalam UN. Tidaklah mungkin siswa pulang

18

dari sekolah guru tetap mengawasi mereka, otomatis mereka

berada dalam lingkungan keluarga dan peran

pembelajarannyapun tidak lepas dari orang tua. Orang tualah

yang akan mengawasi mereka dan mengingatkan mereka untuk

lebih giat belajar. Secara terpadu bisa diadakan kerjasama

sekolah dengan wali murid. Misalnya, dengan adanya pertemuan

wali murid yang mencoba menerangkan kondisi anak dalam

sekolah. Apakah si A kurang dalam memahami pelajaran atau si

B agak lamban dalam berpikir. Disinilah kemudian orang tua

ada perhatian ekstra bagi anak mereka dengan jalan mengontrol

setiap pelajaran yang ada. Solusi timbal balik ini sangat penting

agar siswa lebih baik dalam belajar. mengatur waktu, membantu

orang tua dan lain sebagainnya.

Penentuan Target Siswa. Kegiatan ini adalah untuk membimbing

siswa dalam menentukan target hasil Ujian Nasional Siswa dengan melalui

analisa terhadap kekuatan dan kemungkinan yang ada dari masing-masing

siswa, dari targetan siswa ini kemudian dihimpun target mata pelajaran

yang pada akhirnya melahirkan target nilai untuk sekolah. Target total

untuk sekolah adalah peningkatan nilai rata-rata UN 0,2 point dari rata-rata

nilai UN.

Berdoa, Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu kekuatan dalam

mencapai tujuan adalah kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa, proses

19

penyadaran atas kekuatan yang dapat “membantu” mencapai kesuksesan

adalah kemampuan untuk berserah diri kepada-Nya, untuk itu

direncakanan pula berdoa dan tawakal salah satu bentuk kepasrahan

hamba kepada Allah Swt.

Dengan adanya kesiapan sejak awal dari sekolah dan siswa,

diharapkan tingkat kelulusan siswa dapat meningkat. Dengan

kesungguhsungguhan Allah akan melapangkan urusan hambanya,

sebagaimana firman Allah dalam QS. Alam Nasyroh: 5-8. Artinya:

“Karena Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu

telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan) yang lain, Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu

berharap.”

2.3. Kendala Sekolah dalam Meningkatkan Kelulusan Siswa

Kendala dalam kamus Bahasa Indonesia adalah halangan, rintangan,

faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi atau mencegah pencapaian

sasaran, kekuatan yang memaksa pembatalan pelaksanaan, hal yang

membatasi kelulusan gerak sebuah benda atau suatu sistem.

Kendala Sekolah dalam menghadapi ujian nasional dapat dilihat dari

kondisi siswa saat ini, masih kurang menyadari pentingnya membaca, malas

belajar, kurang bisa membagi waktu dan masih banyak yang berkonsentrasi

20

untuk kegiatan lain yang tidak mendukung kearah keberhasilan ujian

nasional.

2.4. Kompetensi Siswa

Kurikulum Berbasis Kompetensi telah berlaku selama 5 tahun dan

semestinya dilaksanakan secara utuh pada setiap sekolah. Namun pada

kenyataannya, pelaksanaan pembelajaran di sekolah, masih kurang

memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal ini tampak pada hasil

Ujian Nasional, Ujian Sekolah, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

yang dibuat oleh guru, dan dari cara guru membelajarkan peserta didik masih

tetap menggunakan cara lama, yaitu lebih dominan menggunakan metode

ceramah-ekspositori. Guru masih dominan dan siswa resisten, guru masih

menjadi pemain dan siswa penonton, guru aktif dan siswa pasif. Paradigma

lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar

masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma

membelajarkan siswa. Padahal, tuntutan KBK, pada penyusunan RPP

menggunakan istilah skenario pembelajaran untuk pelaksanaan pembelajaran

di kelas, ini berarti bahwa guru sebagai sutradara dan siswa menjadi pemain,

jadi guru memfasilitasi aktivitas siswa dalam mengembangkan kompetensinya

sehingga memiliki kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup dan

penghidupannya sebagai insan mandiri. Di sisi lain, pada pihak siswa, karena

kebiasaan menjadi penonton dalam kelas, mereka sudah merasa enjoy dengan

kondisi menerima dan tidak biasa memberi. Selain karena kebiasaan yang

21

sudah melekat mendarah daging dan sukar diubah, kondisi ini kemungkinan

disebabkan karena pengetahuan guru yang masih terbatas tentang bagaimana

siswa belajar dan bagaimana cara membelajarkan siswa.

Kompetensi (competency) adalah kata baru dalam bahasa Indonesia

yang artinya setara dengan kemampuan. Siswa yang telah memiliki

kompetensi mengandung arti bahwa siswa telah memahami, memaknai dan

memanfaatkan materi pelajaran yang telah dipelajarinya. Dengan perkataan

lain, ia telah bisa melakukan (psikomotorik) sesuatu berdasarkan ilmu yang

telah dimilikinya, yang pada tahap selanjutnya menjadi kecakapan hidup (life

skill). Hal ini sesuai dengan hakikat pembelajaran, yaitu membekali siswa

untuk bisa hidup mandiri kelak setelah ia dewasa tanpa tergantung pada orang

lain, karena ia telah memiliki kompetensi, kecakapan hidup. Dengan demikian

belajar tidak cukup hanya sampai mengetahui dan memahami.

Kompetensi siswa yang harus dimiliki selama proses dan sesudah

pembelajaran adalah kemampuan kognitif (pemahaman, penalaran, aplikasi,

analisis, observasi, identifikasi, investigasi, eksplorasi, koneksi, komunikasi,

inkuiri, hipotesis, konjektur, generalisasi, kreativitas, pemecahan masalah),

kemampuan afektif (pengendalian diri yang mencakup kesadaran diri,

pengelolaan suasana hati, pengendalian impulsi, motivasi aktivitas positif,

empati), dan kemampuan psikomotorik (sosialisasi dan kepribadian yang

mencakup kemampuan argumentasi, presentasi, prilaku). Dalam psikologi

kontemporer, kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan profesional

22

(akademik, terutama kognitif) disebut dengan hard skill; sedangkan

kompetensi yang berkenaan dengan afektif dan psikomotorik yang berkaitan

dengan kemampuan kepribadian, sosialisasi, dan pengendalian diri disebut

dengan soft skill.

2.5. Standar Nasional Pendidikan

Banyak sekali faktor-faktor yang dapat memberikan kontribusi

terhadap keberhasilan peserta didik di sekolah, khususnya dalam penguasaan

kompetensi yang dipersyaratkan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan

di sekolah harus merujuk kepada 8 standar nasional pendidikan (PP No.

19/2005). Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam

perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka

mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar Nasional Pendidikan

bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat.

Standar isi mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi

minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis

pendidikan tertentu. Standar isi tersebut memuat kerangka dasar dan struktur

kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender

pendidikan. Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar

pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah

Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah. Standar pengelolaan oleh

satuan pendidikan memuat perencanaan program, pelaksanaan rencana kerja,

pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan, dan sistem informasi manajemen.

Dalam standar proses, proses pembelajaran pada satuan pendidikan

diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

23

memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang

yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,

minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam

proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. Setiap satuan

pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses

pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses

pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan

efisien.

Dalam standar sarana dan prasarana, setiap satuan pendidikan wajib

memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media

pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta

perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran

yang teratur dan berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki

prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan

pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang

laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi

daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat

berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses

pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

2.6. Profesionalisme Pendidik

Pendidik sebagai manusia yang diharapkan sebagai ujung tombak

meningkatkan mutu berhasrat mengangkat harkat dan martabatnya. Jasanya

yang besar dalam dunia pendidikan pantas untuk mendapatkan penghargaan

intrinsik dan ekstrinsik agar tidak termarjinalkan dalam kehidupan

masyarakat. Kurikulum dan panduan manajemen sekolah sebaik apapun tidak

akan berarti jika tidak ditangani oleh guru profesional. Karena itu tuntutan

terhadap profesionalisme guru yang sering dilontarkan masyarakat dunia

24

usaha/industri, legislatif, dan pemerintah adalah hal yang wajar untuk disikapi

secara arif dan bijaksana.

Konsep tentang guru profesional selalu dikaitkan dengan pengetahuan

tentang wawasan dan kebijakan pendidikan, teori belajar dan pembelajaran,

penelitian pendidikan (tindakan kelas), evaluasi pembelajaran, kepemimpinan

pendidikan, manajemen pengelolaan kelas/sekolah, serta tekhnologi informasi

dan komunikasi. Fenomena menunjukkan bahwa kualitas profesionalisme

guru kita masih rendah. Faktor-faktor internal seperti penghasilan guru yang

belum mampu memenuhi kebutuhan fisiologis dan profesi masih dianggap

sebagai faktor determinan. Akibatnya, upaya untuk menambah pengetahuan

dan wawasan menjadi terhambat karena ketidakmampuan guru secara

finansial dalam pengembangan SDM melalui peningkatan jenjang pendidikan.

Hal itu juga telah disadari pemerintah sehingga program pelatihan mutlak

diperlukan karena terbatasnya anggaran untuk meningkatkan pendidikan guru.

Program pelatihan ini dimaksudkan untuk menghasilkan guru sebagai tenaga

yang terampil atau dengan istilah lain guru yang memiliki kompetensi.

Rahman (2008) menggambarkan suatu pendekatan sistem dalam

menghasilkan guru yang profesional. Pembinaan profesionalitas guru sangat

ditentukan oleh guru itu sendiri sebagai raw input, instrumental input dan

inviromentasl input seperti digambarkan pada Gambar 2.1. Jelas digambarkan

bahwa untuk menghasilkan guru yang profesional dibutuhkan peransera

berbagai komponen seperti program pembinaan, kurikulum pembinaan,

metodologi pembinaan, peran kepala sekolah, pengawas, guru senior dan

sebagainya.

25

Gambar 2.1

Pembinaan Guru Sebagai Suatu Sistem

UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 42 ayat (1) menyebutkan pendidik

harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang

kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan

untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Uraian pasal 42 itu cukup

jelas bahwa untuk menjadi guru sebagai tahapan awal harus memenuhi

persyaratan kualifikasi minimal (latar belakang pendidikan keguruan/umum

dan memiliki akta mengajar). Setelah guru memenuhi persyaratan kualifikasi,

maka guru akan dan sedang berada pada tahapan kompetensi. Namun,

fenomena menunjukkan bahwa pendidik di sekolah masih banyak yang tidak

memenuhi persyaratan tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa lapangan

pekerjaan guru sangat mudah untuk dimasuki oleh siapa saja.

2.7. Sarana dan Prasarana

Dengan diberlakukannya kurikulum 2004 (KBK), kini guru lebih

dituntut untuk mengkontekstualkan pembelajarannya dengan dunia nyata, atau

minimal siswa mendapat gambaran miniatur tentang dunia nyata. Harapan itu

26

tidak mungkin tercapai tanpa bantuan alat-alat pembelajaran (sarana dan

prasarana pendidikan). Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang

Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan

minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan

cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media,

infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas

itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan

penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau

“keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas

pendidikan menjadi semakin terpuruk.

Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi,

setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi

keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi

fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

Jika kita lihat kenyataan di lapangan bahwa hanya sekolah-sekolah tertentu di

beberapa kota di Indonesia saja yang memenuhi persyaratan SPM, umumnya

sekolah negeri dan swasta favorit. Berdasarkan fakta ini, keterbatasan sarana

dan prasarana pada sekolah-sekolah tertentu, pengadaannya selalu dibebankan

kepada masyarakat. Alasannya pun telah dilegalkan berdasarkan

Kepmendiknas No. 044/U/2002 dan UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 56 ayat

(1). Dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi

perencanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan melalui dewan

pendidikan dan komite sekolah/madrasah, ayat (2) Dewan pendidikan, sebagai

lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan

pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga,

sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional,

provinsi dan kabupaten/ kota yang tidak mempunyai hubungan hierarkis, dan

ayat (3) Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan

berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan,

arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan

27

pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Menyikapi keadaan yang

demikian sulit, apalagi kondisi negara yang kian kritis, solusi yang ditawarkan

adalah manfaatkan seluruh potensi sumber daya sekolah dan masyarakat

sekitar, termasuk memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah.

2.8. Manajemen Sekolah

Dalam sistem sentralistik, pemerintah pusat memiliki peran yang amat

penting dalam perencanaan, implementasi, dan pengawasan kebijakan

pendidikan. Saat ini sudah merupakan kebutuhan bagi daerah untuk

melakukan pembaruan pendidikan agar pendidikan di daerah mampu

menemukan relevansinya dengan sistem pemerintahan yang mendasarkan diri

pada sistem desentralisasi (Suyanto, 2006). Dalam era otonomi daerah,

pendidikan perlu dikelola dengan memperhatikan kepentingan sekolah itu

sendiri untuk berkembang secara optimal dan mandiri. Penerapan MBS secara

menyeluruh sebagai realisasi dari desentralisasi pendidikan memerlukan

perubahan-perubahan mendasar terhadap aspek-aspek yang menyangkut

keuangan, ketenagaan, kurikulum, sarana dan prasarana serta partisipasi

masyarakat (Danim, 2006).

Tugas-tugas reformatif yang perlu dilakukan pada tingkat struktural

dan sekolah menuju otonomi manajemen sekolah, sebagai implementasi MBS,

di antaranya adalah: (1) Membangun aliansi yang kuat dengan persatuan guru,

(2). Mendelegasikan kekuasaan dan kewenangan pada sekolah untuk men-

definisikan tugas-tugas baru, memilih staf dan mengkreasi lingkungan belajar,

(3). Mendorong terciptanya otonomi dalam pembuatan keputusan sekolah, (4).

Mengkomunikasikan tujuan, menentukan patok sasaran, dan mendistribusikan

informasi secara akurat, (5). Menciptakan komunikasi yang dinamis antara

staf sekolah dan pejabat kependidikan, (6). Memberi peluang kepada sekolah

untuk bereksperimen dan membuat keputusan berisiko, (7). Memotivasi

kepala sekolah untuk melibatkan guru-guru dalam membuat aneka keputusan,

28

(8) Mengembangkan kaedah-kaedah dimana kantor pusat hanya berkedudukan

sebagai fasilitator dan koordinator pembaruan sekolah, bukan sebatas

mengkomando dan menyampaikan instruksi yang rigid, dan (9).

Menggunakan pendekatan prestasi (Siahaan, dkk. 2006).

29

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara.

Waktu penelitian selama dua bulan, mulai Oktober sampai Nopember 2012.

3.2. Desain Penelitian

Penelitian merupakan penelitian kebijakan dengan menggunakan

desain survei dengan metode eksplanatori. Penelitian ini akan mendapatkan

faktor-faktor kesiapan perangkat sekolah (kepala sekolah dan guru) dan siswa

dalam menghadapi UN.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)

negeri dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri di wilayah kota

Medan Provinsi Sumatera Utara. Sampel penelitian adalah siswa kelas XII

sebanyak 388 orang dari 5 SMA Negeri dan 1 SMK Negeri, yang ditentukan

secara cluster random sampling.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data akan dikumpulkan menggunakan instrumen sebagai berikut:

a. Observasi/Checklist

Pengamatan dan pencatatan sesuatu objek dengan sistematika

fenomena yang diselidiki. Dalam arti yang luas observasi sebenarnya tidak

hanya terbatas kepada pengamatan yang dilakukan baik secara langsung

ataupun tidak langsung. Observasi dapat dilakukan sesaat ataupun

mungkin dapat diulang. Observasi dilakukan oleh peneliti langsung yang

menguasai permasalahan. Observasi melibatkan 2 komponen yaitu

30

observer dan observee. Untuk memudahkan dalam observasi digunakan

juga daftar checklist.

b. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan secara langsung terhadap berbagai sumber

data meliputi responden maupun sarana dan prasarana. Peneliti akan

secara langsung mendokumentasikan data responden maupun sarana dan

prasarana dalam format gambar dan film (video). Untuk responden kepala

sekolah dan masyarakat akan direkam fotonya sebagai bukti fisik

responden dimaksud. Sedangkan responden guru selain direkam foto

dirinya sebagai bukti fisik, juga akan dilakukan rekaman (video)

pelaksanaan pembelajaran.

2.5. Validasi Instrumen

Validasi instrumen dilakukan menggunakan teknik validasi konstruk dan

konten, yakni dengan mengkonsultasikan kepada tenaga ahli.

2.6. Analisis Data

Analisis data dilakukan sesuai dengan jenis instrumennya, sedangkan

analisis data kualitatif akan dicek validasinya dengan triangulasi, kemudian

dianalisis. Data yang telah diperoleh kemudian ditabulasi dan di-cross check

kebenarannya dengan instrumen yang lain. Selanjutnya dibuat dalam bentuk

grafik agar dapat lebih mudah memahami data secara visual. Kemudian

dilakukan interpretasi data yang telah diolah dalam bentuk grafik.

a. Tabulasi data

b. Interpolasi data

c. Deskripsi data dengan teknik presentase

d. Untuk melihat keterkaitan antar faktor penentu pembelajaran digunakan

teknik korelasi

e. Analisis data menggunakan statistik yang relevan

31

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Jalur Penerimaan Siswa Baru

Jalur penerimaan siswa baru yang pernah dilakukan di sekolah

menengah atas di Kota Medan adalah jalur hasil ujian nasional dan jalur tes

seleksi. Gambaran perbandingan jalur penerimaan siswa baru melalui hasil

ujian nasional dan ujian tes pada masing-masing sekolah yang dijadikan

sampel dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1. Grafik Perolehan Data Jalur Masuk PSB di Tingkat SMA

Gambar 4.1. menunjukkan bahwa di SMAN 3 melakukan penerimaan

siswa baru melalui tiga jalur penerimaan yaitu hasil ujian nasional, jalur tes

dan jalur lainnya. Jalur lainnya adalah penerimaan siswa baru yang dilakukan

berdasarkan prestasi siswa ditingkat nasional. Sementara itu di SMAN 1

32

DAN SMKN 8, system penerimaan siswa baru hanya dilakukan melalui jalur

tes seleksi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Siswa SMAN jurusan IPS di

Kota Medan sebahagian besar (51%) direkrut melalui sistem penerimaan

siswa baru jalur ujian nasional, selebihnya melalui jalur tes dan jalur lain,

kecuali untuk SMAN 12 yang sebagian besar direkrut melalui jalur tes

(Gambar 4.2). Sementara itu untuk jurusan IPS sebahagian besar (61%)

direkrut melalui jalur tes dan khusus untuk siswa SMAN 1 dan SMKN 8

seluruhnya (100%) direkrut melalui jalur tes (Gambar 4.3).

Gambar 4.2. Jalur Penerimaan Siswa Baru Jurusan IPA

33

Gambar 4.3. Jalur Penerimaan Siswa Baru Jurusan IPS

Karena data yang diperoleh bukan dari keseluruhan siswa di sekolah

yang dijadikan sampel, tapi merupakan siswa dari salah satu kelas di kelas 12,

maka komposisinya sangat bervariasi. 23 siswa jurusan IPA yang masuk jalur

seleksi tes, rata-rata nilai prestasi belajarnya 8, 47 dan 53 siswa jurusan IPA

yang masuk jalur seleksi nilai UN SMP, rata-rata nilai prestasi belajarnya

8,399. Sedangkan untuk Jurusan IPS 74 siswa yang masuk jalur seleksi tes,

rata-rata prestasi belajarnya 8,23 dan 60 siswa jurusan IPS yang masuk

seleksi nilai UN SMP, rata-rata nilai prestasi belajarnya 8,82. Dari dua jalur

seleksi penerimaan siswa baru di SMA, yaitu jalur seleksi melalui tes dan

jalur seleksi melalui jalur UN ternyata ada perbedaan, namun perbedaanya

relatif sangat kecil.

34

4.2. Persiapan Siswa Dalam Menghadapi UN

Persiapan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional diisi dengan

kegiatan-kegiatan bimbingan belajar, belajar kelompok, belajar sendiri, les di

sekolah, dan memanggil guru privat. Sebahagian besar siswa (74,04%)

memilih mengikuti bimbingan belajar sebagai upaya untuk persiapan

menghadapi UN, selebihnya masing-masing 43,71% memilih belajar sendiri,

38,52% memilih les di sekolah, 20,49 memilih belajar kelompok dan 7,38%

memilih memanggil guru privat (Gambar 4.4). Hal ini menunjukkan

sebahagian besar siswa menyakini bahwa melalui belajar dibimbingan belajar

merupakan kunci keberhasilan untuk dapat lulus dalam ujian nasional.

Gambar 4.4. Prosentasi Yang Dilakukan Siswa dalam Mempersiapkan UN

4.2.1. Kegiatan yang Dilakukan Siswa Dalam Menghadapi UN

Adapun kegiatan lainnya yang dilakukan oleh siswa-siswa jurusan

IPA berdasarkan urutan prosentasinya tertinggi adalah membahas soal,

mengikuti tryout, berdoa, membeli buku dan diskusi kelompok. Urutan

35

frekuensi tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 4.5. Hal ini

menunjukkan bahwa disamping mengikuti bimbingan belajar, persiapan yang

diyakini oleh siswa jurusan IPA harus dilakukan adalah membahas soal-soal,

mengikuti tryout, dan berdoa.

Gambar 4.5. Kegiatan Lain yang Dilakukan Siswa IPA dalam Menghadapi UN

Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh siswa-siswa jurusan IPS

berdasarkan urutan prosentasinya tertinggi adalah membahas soal, membeli

buku, berdoa, tryout, internet, diskusi, dan refresing. Urutan frekuensi

tersebut dapat dilihat seperti pada Gambar 4.8. Hal ini menunjukkan bahwa

usaha yang dilakukan siswa jurusan IPS dalam menghadapi ujian nasional

lebih banyak dibandingkan dengan upaya yang dilakukan oleh siswa jurusan

IPA.

36

Gambar 4.6. Kegiatan Lain yang Dilakukan Siswa IPS dalam Menghadapi UN

4.2.2. Keharusan Mengikuti Les di Sekolah

Menjelang berlangsungnya ujian nasional, biasanya sekolah-sekolah

mengadakan belajar tambahan berupa les. Les ini dilakukan dalam rangka

memperdalam pemahaman dan penguasaan siswa terhadap beberapa mata

pelajaran yang ada di ujian nasional. Hasil kajian menunjukkan bahwa

sebahagian besar (62,63%) pihak sekolah mengharuskan siswa kelas XII

untuk mengikuti les (Gambar 4.7). Kondisi ini timbul karena motivasi siswa

untuk mengikuti les bermacam-macam. Motivasi untuk mengikuti les bisa

datang dari dalam diri siswa sendiri maupun dari orang lain.

37

Gambar 4.7. Keharusan Les Di Sekolah

4.2.3. Yang Mengharuskan Mengikuti Les

Adapun dorongan untuk mengikuti les tersebut berasal dari diri sendiri,

orang tua, wali kelas, guru bidang studi maupun dari kepala sekolah. Gambar

4.8. menunjukkan bahwa ternyata dorongan tertinggi untuk mengikuti les

adalah dari kemauan sendiri (44,5%), selebihnya dorongan dari kepala

sekolah (30,75%), orang tua (12,5%), guru bidang studi (7,25%) dan wali

kelas (5%). Hal ini berarti motivasi dari dalam diri siswa untuk bisa lulus

dalam ujian nasional cukup besar.

Gambar 4.8. Grafik Unsur-unsur yang Mengharuskan Mengikuti Les

4.2.4. Tempat Belajar yang Nyaman dalam menghadapi UN

Berdasarkan data yang diperoleh ternyata siswa merasa nyaman

belajarnya di tempat-tempat diantaranya bimbingan belajar, di rumah, di

38

rumah teman, les di sekolah. Sebahagian besar (43,25%) siswa merasa lebih

nyaman belajar di bimbingan belajar, selebihnya masing-masing 36,41%

merasa nyaman belajar di rumah, 18,11% merasa nyaman kalau les di sekolah

dan 2,22 merasa nyaman kalau belajar di rumah teman (Gambar 4.9). Hal ini

menunjukkan bahwa situasi dan kondisi di bimbingan belajar sangat

mendukung para siswa untuk belajar.

Gambar 4.9. Tempat Belajar yang Nyaman untuk Persiapan UN

4.2.5. Penyebab Keberhasilan Kakak Kelas menghadapi UN

Siswa memiliki persepsi bahwa keberhasilan kakak kelas dalam

menghadapi UN disebabkan oleh mengikuti bimbel, belajar kelompok,

belajar sendiri, les dan bantuan guru privat. Sebahagian besar (46,39%) siswa

menyatakan bahwa yang menyebabkan kakak kelasnya berhasil dalam

menghadapi UN adalah mengikuti bimbingan belajar, selebihnya masing-

masing mengikuti les, belajar sendiri, belajar kelompok dan yang paling

sedikit adalah mengikuti bimbingan dari guru privat (Gambar 4.10).

39

Gambar 4.10. Penyebab Keberhasilan Kakak Kelas Menghadapi UN

4.2.6. Jumlah Buku yang dimiliki dalam menghadapi UN

Jumlah buku yang dimiliki siswa dalam persiapan menghadapi UN,

dapat dilihat pada Gambar 4.11. Berdasarkan gambar 4.11. terlihat bahwa

sebahagian besar (36,32%) siswa memiliki buku lebih dari 2 (dua), yaitu

masing-masing 21,23% memiliki 3 (tiga) buah buku, 5,37% memiliki 4

(empat) buah buku dan 9,72% memiliki lebih dari empat buah buku. Hal ini

menunjukkan bahwa sepertiga lebih dari siswa dalam menghadapi ujian

nasional didukung oleh kepemilikan buku-buku yang berkaitan dengan mata

pelajaran yang ada diujian nasional.

Gambar 4.11. Prosentasi Jumlah Buku yang Dimiliki Siswa

40

4.2.7. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Bahasa Inggeris

Sebahagian besar (67,08%) siswa memiliki buku Mata Pelajaran

Bahasa Inggeris lebih dari satu, yaitu masing-masing 32,42% memiliki 2

(dua) buah buku, 16,21% memiliki 3 (tiga) buah buku, 8,73% memiliki

4(empat) buah buku, dan 9,73% memiliki buku lebih dari empat buah

(Gambar 4.12).

Gambar 4.12. Jumlah Buku Mata Pelajaran Bahasa Inggeris yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.8. Kepemilikan Buku Bahasa Indonesia

Separuh lebih (57,80%) siswa memiliki buku Mata Pelajaran Bahasa

Indonesia lebih dari satu dan hanya 42,20% siswa yang memiliki satu buah

buku (Gambar 4.13). Hal ini menunjukkan bahwa memiliki buku pelajaran

sangat berarti bagi siswa dalam rangka persiapan menghadapi ujian nasional.

Buku sangat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep materi

pelajaran.

41

Gambar 4.13. Jumlah Buku Mata Pelajaran Bahasa Indonesia yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.9. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Kimia

Jumlah buku Mata Pelajaran Kimia yang dimiliki siswa dalam

menghadapi UN sebahagian besar (66,49%) lebih dari satu seperti terlihat

pada Gambar 4.14. Hal ini berarti sebahagian besar siswa menganggap bahwa

memiliki buku mata pelajaran kimia sangat penting untuk mendukungnya

dalam upaya memahami dan menguasai mata pelajaran tersebut.

Gambar 4.14. Jumlah Buku Mata Pelajaran Kimia yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.10. Kepemilikian Buku Mata Pelajaran Biologi

42

Jumlah buku mata pelajaran Biologi yang dimiliki siswa sebahagian

besar ( 68,65%) lebih dari satu, yaitu masing-masing 33,51% siswa memiliki

dua buah buku, 20% siswa memiliki tiga buah buku, 7,57% siswa memiliki

empat buku, dan 7,57 siswa memiliki lebih dari empat buku (Gambar 4.15).

Gambar 4.15. Jumlah Buku Mata Pelajaran Biologi yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.11. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Fisika

Sepertiga lebih (34,97%) siswa memiliki buku mata pelajaran Fisika

hanya satu buah, selebihnya (65,03%) siswa memiliki buku fisika lebih dari

satu (Gambar 4.16). Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga siswa

kelas XII menanggap sangat penting untuk memiliki buku fisika lebih dari

satu buah dalam menghadapi ujian nasional.

Gambar 4.16. Jumlah Buku Mata Pelajaran Fisika yang dimiliki

43

dalam menghadapi UN

4.2.12. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Sosiologi

Siswa kelas XII jurusan IPS sebahagian besar (64,53%) memiliki

buku mata pelajaran Sosiologi lebih dari satu, yang terdiri dari 36,05% siswa

memiliki dua buah buku, 14,53% siswa memiliki tiga buah buku, 6,40%

siswa memiliki empat buah buku, dan 7,56 siswa memiliki lebih dari empat

buah buku seperti terlihat pada Gambar 4.17.

Gambar 4. 17. Jumlah Buku Mata Pelajaran Sosiologi yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.13. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Ekonomi

Dua pertiga lebih (68,60%) siswa kelas XII jurusan IPS memiliki buku

mata pelajaran Ekonomi yang masing-masing 31,40% siswa memiliki dua

buah buku, 22,67% siswa memiliki tiga buah buku, 6,98% siswa memiliki

empat buah buku, dan 7,56% siswa memiliki buku lebih dari empat (Gambar

4.18).

44

Gambar 4.18. Jumlah Buku Mata Pelajaran Ekonomi yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.14. Kepemilikan Buku Mata Pelajaran Geografi

Gambar 4.19. menunjukkan bahwa hanya sepertiga lebih (35,63%)

siswa jurusan IPS memiliki buku mata pelajaran Geografi satu buah. Hal ini

berarti sebagian besar siswa menganggap kepemilikan buku geografi sangat

penting untuk mendukungnya dalam rangka mempersiapkan ujian nasional.

Gambar 4.19. Jumlah Buku Mata Pelajaran Geografi yang dimiliki dalam menghadapi UN

4.2.15. Jumlah Jam Belajar setelah sekolah dalam menghadapi UN

Kesiapan belajar dapat juga dilihat dari jumlah jam belajar yang

digunakan setelah pulang sekolah. Berdasarkan jumlah jam belajar setelah

45

pulang sekolah, setelah diurutkan siswa kebanyakan menggunakan waktu

belajarnya 2 jam (42,60%) , 1 jam (21,68%), tiga jam (19,64%), 4 jam

(9,18%) dan lebih dari empat jam (6,89%) setelah waktu belajar disekolah

ada (Gambar 4. 20).

Gambar 4.20. Jam Belajar Setelah Pulang Sekolah

4.2.16. Cara Belajar Siswa dalam Menghadapi UN

Cara belajar yang dilakukan siswa dalam menghadapi ujian nasional

sebahagian besar (54,34%) adalah dengan membahas soal-soal setiap mata

pelajaran yang ada di ujian nasional. Selebihnya para siswa melakukan

latihan soal, membaca buku dan menghapal seperti yang tergambar pada

Gambar 4.21.

46

Gambar 4.21. Cara Belajar dalam Menghadapi UN

4.3. Prestasi Belajar Siswa ditingkat SMP/MTsN

Sebahagian besar (74,55%) siswa yang lulus seleksi masuk

SMAN/SMKN di kota Medan berprestasi dijenjang sekolah sebelumnya

(SMP/MTsN). Jenis prestasi yang diperolehnya berupa pernah mendapat

rangking di kelasnya.

Gambar 4.22. Prestasi Siswa ditingkat SMP/MTsN

47

Prestasi yang pernah diperoleh oleh masing-masing siswa ditingkat

SMP/MTsN sebahagian besar (54,28%) rangking 1 sampai dengan 4, yaitu

masing-masing yang pernah mendapat rangking 1 sebanyak 14,14%,

rangking 2 sebanyak 16,78%, rangking 3 sebanyak 12,83%, dan rangking 4

sebanyak 10,53% (Gambar 4.23). Hal ini menunjukkan bahwa siswa-siswa

yang lulus seleksi masuk SMAN/SMKN baik melalui jalur seleksi hasil ujian

nasional maupun tes telah memiliki prestasi belajar yang baik dijenjang

sekolah sebelumnya.

Gambar 4.23. Rangking Siswa sewaktu ditingkat SMP/MTsN

4.4. Hubungan Antara Rata-rata Perolehan UN sewaktu di SMP/MTs

dengan Prestasi di SMAN/SMKN

Berdasarkan hasil perhitungan korelasi dengan menggunakan rumus

produk moment di dapat koefisien korelasi antara rata-rata perolehan ujian

nasional sewaktu di SMP/MTsN dengan Prestasi di SMAN/SMKN untuk

kelompok Jurusan IPS adalah 0,930 sedangkan untuk kelompok Jurusan IPA

adalah 0,924411. Hal ini menunjukan bahwa nilai UN yang diperoleh

48

sewaktu SMP/MTsN memiliki korelasi yang sangat kuat dengan prestasi

belajar dalam mengikuti pelajaran di SMA-nya.

Gambar 4.24. Scater Diagram Rata-rata Nilai UN SMP dengan Rata-rata Prestasi Belajar di SMA Jurusan IPS

. Gambar 4.25. Scater Diagram Rata-rata Nilai UN SMP dengan Rata-rata Prestasi Belajar di SMA Jurusan IPA

49

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada Bab IV dapat di

simpulkan sebagai berikut:

a. Sistem penerimaan siswa baru tingkat SMA/SMKN di kota Medan

dilakukan melalui jalur hasil ujian nasional dan jalur tes.

b. Hasil belajar siswa berdasarkan latar belakang sistem penerimaan siswa

baru yang dilakukan sekolah tidak menunjukan perbedaan hasil belajar

yang berarti.

c. Kesiapan siswa dalam menghadapi ujian nasional dilakukan dengan

banyak hal. Siswa cenderung untuk memilih tempat bimbingan belajar

untuk mempersiapkan menghadapi Ujian Nasional. Selain dari itu

bimbingan belajar juga merupakan tempat yang disukai siswa SMA untuk

belajar dalam mempersiaakan diri menghadapai Ujian Nasional.

d. Terdapat hubungan yang kuat antara hasil UN di SMP/MTs dengan

dengan prestasi belajarnya ditingkat SMA/MA. Hal ini mengisaratkan

bahwa hasil ujian nasional dapat dijadikan indikator untuk keberhasilan

siswa dalam menempuh pendidikan selanjutnya.

50

5.2. Saran

a. Siswa perlu diberikan sarana dan bimbingan yang cukup untuk

mempersiapkan dirinya dalam menghadapi ujian nasional.

b. Sekolah-sekolah agar lebih giat lagi untuk memberikan bimbingan belajar

kepada siswa, sehingga siswa akan cendrung memilih bimbingan belajar

di sekolah dibandingkan di tempat-tempat bimbingan lainnya.

51

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Saiful. 2005. Indra Djati Sidi: Dari ITB Untuk Pembaruan Pendidikan. Jakarta Selatan: Teraju.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, Saifuddin. 2007. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baedowi, Ahmad. Mencari (Cari) Relevansi Ujian Nasional dalam http://www.mediaindonesia.com, diakses tanggal 10 Desember 2009.

Chan, Sam M. dan Tuti T. Sam. 2005. Analisis Swot Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Darmaningtyas, “Realitas Pemberlakuan UAN/UN”. Edukasi. Volume V Nomor I, Januari-Maret 2007.

Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al-qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Lubuk Agung.

H.A.R. Tilaar. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.http://disdikklungkung.net. “Informasi Ujian Nasional Tahun 2008” diakses tanggal 20 Januari 2010. http://edukasi.kompas.com. “Sekolah SegeraPadatkanPelajaran “ diakses 25 Nopember 2009.

Harjono, Yulvianus. Persiapan UN Menjadi Lebih Berat dalam http://edukasi.kompas.com. diakses tanggal 25 Nopember 2009.

Harti, Yuli. “Masih Perlukah Ujian Nasional?”. Dalam http://guruvalah.20m.com/ kontoversi_ujian_nasional.html. diakse 23 Januari 2010.

Hasan, M, Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indosia.

http://malangraya.kabarku.com. “Peringkat UN Masih Jeblok Kota Malang Nomor 36, Kota Batu Terbawah”, diakses tanggal 21 April 2010.

52

http://mgmpbismp.co.cc. “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 Tentang tentang Ujian Nasional SMP/MTs./SMPLB, SMA/ MA/SMALB, dan SMK tahun pelajaran 2009/2010”. diakses 10 Desember 2009.

http://mgmpbismp.co.cc. “Permendiknas tentang Ujian Nasional Tahun 2009/2010” diakses 10 Desember 2009.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com. “BSNP Rencana Naikkan Standar Kelulusan UN 2010”. diakses tanggal 10 Desember 2009.

http://puspendik.info. “Pengertian Standard Setting Ujian Akhir”. diakses 17 Desember 2009.

M. Arifin. 2006. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.

Saiful Anam, Indra Djati Sidi: Dari ITB Untuk Pembaruan Pendidikan, (Jakarta Selatan:Teraju, 2005), hlm. 259