opini - fakultas peternakan unpad · 2020. 6. 17. · jaringan ritel nasional. namun di tengah...

2
30 Edisi 249 l Tahun XXI l Juni 2020 TROBOSLIVESTOCK OPINI S ejak lama industri persusuan nasional telah memiliki sistem rantai pasok (supply chain) yang beroperasi dan berfungsi secara lengkap; mulai dari subsistem penyedia faktor input, budidaya ternak, produksi susu, logisk, pengolahan produk, sampai dengan subsistem pasarnya. Saat ini, di subsistem hulu (upstream) terdapat ribuan peternak sapi perah yang menjadi menjadi tulang punggung penghasil SSDN (Susu Segar Dalam Negeri); puluhan unit koperasi primer yang menjalankan berbagai fungsi logisk terkait pemenuhan kebutuhan input produksi bagi para peternak sekaligus mendistribusi- kan outputnya; serta di subsistem hilir (downstream) terdapat sejumlah perusahaan (manufaktur) ber- skala besar dan UMKM yang menggunakan SSDN sebagai bahan baku utama untuk menghasilkan produk final yang dipasarkan secara lokal ataupun jaringan ritel nasional. Namun di tengah kuatnya tarikan permintaan domesk, sejumlah pelaku utama rantai pasok SSDN, khususnya di subsistem hulu, nyatanya “menghilang” dari kancah industri persusuan. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa jumlah peternak, ternak dan koperasi primer di berbagai wilayah sentra produksi SSDN secara umum mengalami penurunan cukup besar. Di 2019 tercatat sekitar 75 ribu peternak yang membudidayakan sapi perah produkf sebanyak 230 ribu ekor; dimana jumlah masing-masing menurun 14 % dan 22 % dari 2016. Seiring dengan itu, jumlah koperasi primer— sebagai satu-satunya lembaga bisnis yang menaungi para peternak—juga mengalami penurunan dari 98 unit menjadi 59 unit yang masih akf berope rasi hingga saat ini (GKSI, 2019). Sebagai hasil, produksi SSDN mengalami stagnasi di rata-rata 1,4 juta liter per hari. Sebaliknya yang terjadi di subsistem hilir, para pelaku manufaktur pengolah susu (MPS) mencatatkan pertumbuhan bisnis yang mengesankan di dalam kurun waktu yang sama. Sayangnya, masing-masing pelaku hulu-hilir yang saling berkaitan di dalam satu rantai pasok tersebut belum dapat berbagi insenf untuk berlanjut dan bertumbuh bersama. Rendahnya Insenf Berbagai riset dan kajian yang telah berulang kali dilaksanakan tampaknya telah sepakat atas faktor-faktor yang menyebabkan semakin rendah- nya insenf bagi pelaku rantai pasok—terutama di hulu—untuk meningkatkan produksi SSDN, atau bahkan hanya untuk sekedar bertahan. Di tataran Smulasi Ran on-farm, peternak senanasa memiliki permasalah an yang berkaitan dengan semakin menurunnya daya dukung sumber daya peternakan, baik sumber daya alam ataupun manusia, seper hilangnya generasi SDM penerus usaha peternakan, degradasi kualitas genek ternak beserta rendahnya stok bibit sapi perah yang baik, menurunnya ketersediaan lahan sebagai sumber penyediaan hijauan, dan harga pakan tambahan (konsentrat) yang semakin mahal. Hitung punya hitung, seluruh permasalahan tersebut mendorong biaya usaha merangkak naik sementara harga farm-gate SSDN cenderung dak berubah mengiku harga dunia. Di off-farm, koperasi primer menghadapi semakin kompleksnya pengelolaan living assets dan physical assets yang ada pada saat ini. Sebagaimana aset utama koperasi adalah “mahluk hidup” (peternak anggota dan ternaknya) maka seluruh permasalahan yang mbul di on-farm berdampak langsung terhadap kinerja koperasi secara keseluruhan. Berkombinasi dengan aset fisiknya, seringkali ditemui koperasi yang mengalami kesulitan dalam mengakumulasi kapital sebagai modal utama pengembangan kelem- bagaannya karena menghadapi peningkatan biaya logisk sebagai konsekuensi dari menurunnya jumlah pasokan susu dari peternak. Selain itu, model bisnis dan manajemen organisasi koperasi tampaknya harus segera beradaptasi dengan perkembangan lingkungan ekonomi-bisnis terkini agar tetap dapat kompetitif terutama dalam menghadapi mulai bermunculannya sejumlah perusahaan peternakan sapi perah terintegrasi berskala besar (mega-farm) pada akhir-akhir ini. Peternak dan koperasi primer di bawah naung- an GKSI—sebagai koperasi sekunder—sebenarnya memiliki dua Unit Pengolah Susu (UPS) tersendiri yang berlokasi di Bandung dan Boyolali. Keduanya telah beroperasi secara komersial memproduksi masing-masing susu cair UHT dan susu kental manis di bawah skema kerjasama co-manufacturing dengan perusahan lain. Keberadaan kedua UPS tersebut pada mulanya merupakan ikhar untuk menggenapkan rantai pasok SSDN yang terintegrasi dari hulu ke hilir secara mandiri. Namun begitu, peran dan fungsi kedua UPS ini tampaknya masih belum opmal untuk menghela produksi di hulu karena daya serapnya yang masih rendah, diperkirakan hanya sekitar 10-15 % dari total produksi SSDN. Kemampuan UPS untuk berparsipasi di dalam pasar ritel (end market) tampaknya menjadi “pekerjaan rumah” selanjutnya. Penghargaan senggi- ngginya bagi seluruh upaya untuk mendukung dan mengembangkan peternak sapi perah yang telah dicurahkan oleh berbagai pihak selama ini melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang menyasar peningkatan kinerja on-farm. Kiranya tepat saatnya untuk memperkuat upaya-upaya tersebut dengan berfokus pada pelaku off-farm; koperasi primer dan koperasi sekunder

Upload: others

Post on 13-Mar-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: OPINI - Fakultas Peternakan Unpad · 2020. 6. 17. · jaringan ritel nasional. Namun di tengah kuatnya tarikan permintaan ... semakin kompleksnya pengelolaan living assets dan physical

30 Edisi 249 l Tahun XXI l Juni 2020TROBOSLIVESTOCK

O P I N I

Sejak lama industri persusuan nasional telah memiliki sistem rantai pasok (supply chain) yang beroperasi dan berfungsi secara lengkap;

mulai dari subsistem penyedia faktor input, budidaya ternak, produksi susu, logistik, pengolahan produk, sampai dengan subsistem pasarnya. Saat ini, di subsistem hulu (upstream) terdapat ribuan peternak sapi perah yang menjadi menjadi tulang punggung penghasil SSDN (Susu Segar Dalam Negeri); puluhan unit koperasi primer yang menjalankan berbagai fungsi logistik terkait pemenuhan kebutuhan input produksi bagi para peternak sekaligus mendistribusi-kan outputnya; serta di subsistem hilir (downstream) terdapat sejumlah perusahaan (manufaktur) ber-skala besar dan UMKM yang menggunakan SSDN sebagai bahan baku utama untuk menghasilkan produk final yang dipasarkan secara lokal ataupun jaringan ritel nasional.

Namun di tengah kuatnya tarikan permintaan domestik, sejumlah pelaku utama rantai pasok SSDN, khususnya di subsistem hulu, nyatanya “menghilang” dari kancah industri persusuan. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa jumlah peternak, ternak dan koperasi primer di berbagai wilayah sentra produksi SSDN secara umum mengalami penurunan cukup besar. Di 2019 tercatat sekitar 75 ribu peternak yang membudidayakan sapi perah produktif sebanyak 230 ribu ekor; dimana jumlah masing-masing menurun 14 % dan 22 % dari 2016.

Seiring dengan itu, jumlah koperasi primer— sebagai satu-satunya lembaga bisnis yang menaungi para peternak—juga mengalami penurunan dari 98 unit menjadi 59 unit yang masih aktif berope­rasi hingga saat ini (GKSI, 2019). Sebagai hasil, produksi SSDN mengalami stagnasi di rata-rata 1,4 juta liter per hari. Sebaliknya yang terjadi di subsistem hilir, para pelaku manufaktur pengolah susu (MPS) mencatatkan pertumbuhan bisnis yang mengesankan di dalam kurun waktu yang sama. Sayangnya, masing-masing pelaku hulu-hilir yang saling berkaitan di dalam satu rantai pasok tersebut belum dapat berbagi insentif untuk berlanjut dan bertumbuh bersama.

Rendahnya InsentifBerbagai riset dan kajian yang telah berulang

kali dilaksanakan tampaknya telah sepakat atas faktor-faktor yang menyebabkan semakin rendah-nya insentif bagi pelaku rantai pasok—terutama di hulu—untuk meningkatkan produksi SSDN, atau bahkan hanya untuk sekedar bertahan. Di tataran

Stimulasi Ran tai Pasok Susu on-farm, peternak senantiasa memiliki permasalah­an yang berkaitan dengan semakin menurunnya daya dukung sumber daya peternakan, baik sumber daya alam ataupun manusia, seperti hilangnya gene rasi SDM penerus usaha peternakan, degradasi kualitas genetik ternak beserta rendahnya stok bibit sapi perah yang baik, menurunnya ketersediaan lahan sebagai sumber penyediaan hijauan, dan harga pakan tambahan (konsentrat) yang semakin mahal. Hitung punya hitung, seluruh permasalahan tersebut mendorong biaya usaha merangkak naik sementara harga farm-gate SSDN cenderung tidak berubah mengikuti harga dunia.

Di off-farm, koperasi primer menghadapi semakin kompleksnya pengelolaan living assets dan physical assets yang ada pada saat ini. Sebagaimana aset utama koperasi adalah “mahluk hidup” (peternak anggota dan ternaknya) maka seluruh permasalahan yang timbul di on-farm berdampak langsung terhadap kinerja koperasi secara keseluruhan. Berkombinasi dengan aset fisiknya, seringkali ditemui koperasi yang mengalami kesulitan dalam mengakumulasi kapital sebagai modal utama pengembangan kelem-bagaannya karena menghadapi peningkatan biaya logistik sebagai konsekuensi dari menurunnya jumlah pasokan susu dari peternak. Selain itu, model bisnis dan manajemen organisasi koperasi tampaknya harus segera beradaptasi dengan perkembangan lingkungan ekonomi-bisnis terkini agar tetap dapat kompetitif terutama dalam menghadapi mulai bermunculannya sejumlah perusahaan peternakan sapi perah terintegrasi berskala besar (mega-farm) pada akhir-akhir ini.

Peternak dan koperasi primer di bawah naung-an GKSI—sebagai koperasi sekunder—sebenarnya memiliki dua Unit Pengolah Susu (UPS) tersendiri yang berlokasi di Bandung dan Boyolali. Keduanya telah beroperasi secara komersial memproduksi masing-masing susu cair UHT dan susu kental manis di bawah skema kerjasama co-manufacturing dengan perusahan lain. Keberadaan kedua UPS tersebut pada mulanya merupakan ikhtiar untuk menggenap kan rantai pasok SSDN yang terintegrasi dari hulu ke hilir secara mandiri. Namun begitu, peran dan fungsi kedua UPS ini tampaknya masih belum optimal untuk menghela produksi di hulu karena daya serapnya yang masih rendah, diperkira kan hanya sekitar 10-15 % dari total produksi SSDN. Kemam puan UPS untuk berpartisipasi di dalam pasar ritel (end market) tampaknya menjadi “pekerjaan rumah” selanjutnya.

Penghargaan setinggi-tingginya bagi seluruh upaya

untuk mendukung dan mengembangkan peternak

sapi perah yang telah dicurahkan oleh berbagai

pihak selama ini melalui berbagai kebijakan, program dan kegiatan yang menyasar peningkatan kinerja on-farm. Kiranya tepat saatnya untuk

memperkuat upaya-upaya tersebut dengan berfokus

pada pelaku off-farm; koperasi primer dan koperasi

sekunder

Page 2: OPINI - Fakultas Peternakan Unpad · 2020. 6. 17. · jaringan ritel nasional. Namun di tengah kuatnya tarikan permintaan ... semakin kompleksnya pengelolaan living assets dan physical

31Edisi 249 l Tahun XXI l Juni 2020TROBOSLIVESTOCK

Andre R Daud*Stimulasi Ran tai Pasok Susu

Mendorong vs MenarikSering digunakan di dalam konteks pem-

bangunan sektor pertanian secara umum, strategi “mendorong” merujuk pada upaya memfasilitasi penambahan sejumlah aset usaha peternakan (dapat berupa aset fisik, finansial, ilmu dan pengetahuan, atau lainnya) yang setidaknya dapat mendorong peternak untuk dapat lebih produktif, kreatif dan proaktif di dalam menjalankan usahanya.

Sebaliknya, strategi “menarik” berfokus kepada pembangunan atau pengembangan sebuah sistem pasar yang sedemikian rupa dapat memperbesar peluang bagi para pelaku di subsistem hulu terlibat dan berpartisipasi lebih aktif di dalam subsistem hilirnya. Meskipun berbeda di dalam praktiknya, tidak jarang kedua strategi ini digunakan secara simultan dan proporsional untuk mencapai tujuan tertentu. Lantas terkait dengan industri persusuan nasional, selama ini strategi pembangunan yang dipilih tampaknya lebih condong pada upaya untuk mendorong kinerja subsistem hulu; tercermin dari mainstream program dan kegiatan bertemakan fasilitasi penambahan bibit ternak dan ketersediaan pakan, peningkatan layanan inseminasi buatan dan kesehatan hewan, fasilitasi modal kerja, intensifikasi pendidikan dan penyuluhan, dan banyak lainnya, sementara subsistem hilir belum menjadi fokus. Besar kemungkinannya, kondisi industri persusuan pada saat ini disebabkan oleh belum terdapatnya racikan strategi dorong-tarik yang proporsional.

Penghargaan setinggi­tingginya bagi seluruh upaya untuk mendukung dan mengembangkan peternak sapi perah yang telah dicurahkan oleh berbagai pihak selama ini melalui berbagai ke-bijakan, program dan kegiatan yang menyasar peningkatan kinerja on-farm. Kiranya tepat saatnya untuk memperkuat upaya-upaya tersebut dengan berfokus pada pelaku off-farm; koperasi primer dan koperasi sekunder. Sebagaimana market system development (MSD) sekarang menjadi mahzab utama pembangunan sektor pertanian, maka “pasar” menjadi kata kuncinya. Jika kembali kepada daftar panjang kendala dan permasalahan yang dihadapi di dalam industri persusuan, maka seluruhnya kon-vergen pada terminologi yang sama; market failures (kegagalan pasar). Di dalam konteks rantai pasok SSDN, pelaku di hulu sejatinya menghadapi missing market terutama untuk input produksi yang esensial (genetik, nutrisi, atau lainnya), sementara pelaku di hilir harus berhadapan dengan market dominance. Diyakini, keduanya seharusnya menjadi ranah utama

bagi kebijakan terkait pembangunan persusuan. Koperasi, baik primer ataupun sekunder, tampaknya telah siap untuk menjadi instrumen pamungkas bagi berbagai kebijakan tersebut. Koperasi primer dapat mentransformasi perannya menjadi entitas semacam business development services yang berfungsi untuk menyediakan seluruh kebutuhan peternak; tidak saja kebutuhan untuk business as usual melainkan lebih fokus pada business improvement. Koperasi sekunder—dengan UPS yang telah dimilikinya—perlu segera aktif melakukan intelijen pasar demi menemukan niche market yang fisibel seiring dengan penambahan kapital produksi dan daya serapnya.

Dukungan pemerintah dalam pengembangan koperasi pun hadir. Melalui Kementerian Koperasi dan UMKM, koperasi primer dan sekunder yang berada di sektor riil menjadi prioritas untuk “naik kelas” menjadi lembaga off-taker bisnis yang produktif dan kompetitif. Berbagai program dan kegiatan akan dilaksanakan dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi berbasis klaster, teknologi dan inovasi produksi. Bentuk dukungan paling nyata adalah semakin tersedianya pembiayaan yang dapat diakses melalui LPDB-KUMKM. Ke-bijakan perkoperasian ini tentunya sangat selaras dengan dengan semangat untuk membangun dan mengembangkan persusuan domestik. GKSI diharapkan dapat segera mengusulkan program dan kegiatan terintegrasi hulu-hilir dengan inisiasi pengembangan pasar sebagai leverage point yang menstimulasi vibrasi peningkatan produksi di sepanjang rantai pasok.

Terlepas dari semua itu, semua pihak se-mestinya melihat kembali pentingnya school milk scheme. Skema “susu sekolah” telah lama dijalankan di banyak negara (Thailand, Bangladesh, India) untuk mengatasi pemasalahan malnutrisi generasi muda sekaligus mengaitkannya dengan peningkatan produksi susu domestik. Susu menjadi salah satu bahan pangan yang cukup sering menjadi menu utama. Andaikan dapat dibangun kemitraan formal untuk memenuhi kebutuhan susu program terse-but, maka pengembangan sistem pasar persusuan bukanlah hanya sekedar gagasan dan wacana, dan pepatah sekali dayung dua pulau terlampaui bisa benar-benar nyata. Mari bersinergi!lTROBOS

*Kepala Lab Ekonomi Produksi Fapet UnpadKabid Litbang ISPI Jabar

Sekretaris Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan (Persepsi) Komda Jabar

Anggota Representatif Value Chain Capacity Building Network (Helvetas) Asia Pacific Region

Koperasi primer dapat mentransformasi perannya menjadi entitas semacam business development services yang berfungsi untuk menyediakan seluruh kebutuhan peternak; tidak saja kebutuhan untuk business as usual melainkan lebih fokus pada business improvement. Koperasi sekunder—dengan UPS yang telah dimilikinya— perlu segera aktif melakukan intelijen pasar demi menemukan niche market yang fisibel seiring dengan penambahan kapital produksi dan daya serapnya