bab i 1.1. latar belakang -...

37
1 BAB I 1.1. Latar Belakang Ruangan seluas tiga puluh meter persegi tersebut tampak penuh dan riuh dengan ibu-ibu yang sedang sibuk membuat berbagai kerajinan dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Product (NTFP). 1 Terlihat ada piring dari lidi, tas dan dompet yang terbuat dari rotan, tempat HP dan gantungan kunci dari pandan dan berbagai peralatan rumah tangga dari bahan bambu. Beberapa perempuan sambil bergurau, sedang sibuk memisahkan lidi kelapa dan lidi kelapa sawit dari tangkai pohonnya. Di sudut yang lain beberapa ibu-ibu asyik dengan pisau yang dibawa dari rumah masing-masing untuk memisahkan daun yang menempel dari lidi. Sementara itu di sudut ruangan dekat pintu masuk, ibu- ibu lainnya sedang sibuk mengecat piring dan keranjang buah yang sudah selesai dibuat. Siang itu pada medio April 2013, ibu-ibu dari desa Senamat Ulu, Muara Bungo, Jambi yang tergabung dalam kelompok kerajinan perempuan sedang berkumpul untuk mengikuti pelatihan pembukuan sederhana yang diselenggarakan oleh LSM lokal yaitu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI- WARSI). Sambil menunggu pelatihan dimulai, ibu-ibu membuat piring dan keranjang buah dari bahan lidi. Ilmu membuat keranjang dan piring dari lidi baru 1 NTFP merupakan asset kekayaan hayati yang sangat penting bagi hutan-hutan di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Disamping kekayaan jenis yang melimpah NTFP juga menjadi tempat bergantung dan sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan. NTFP dari dalam hutan merupakan sumber makanan, bahan konstruksi, bahan bakar, sumber obat-obatan dan sumber penghasilan yang dapat dijual. NTFP yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi hingga saat ini antara lain damar, rotan, bamboo,getah-getahan, jelutung, bumbu-bumbuan hutan, edible oil, sarang burung wallet, dan lain-lain.( Aliansi Masayarakat Adat Nasional (AMAN), “Hutan Bukan Hanya Kayu, Meningkatkan Posisi Tawar Masyarakat Untuk Menghadapi Pasar Melalui Hasil Hutan Non Kayu, Telapak Indonesia, 2001, hal 83)

Upload: vothu

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

1.1. Latar Belakang

Ruangan seluas tiga puluh meter persegi tersebut tampak penuh dan riuh

dengan ibu-ibu yang sedang sibuk membuat berbagai kerajinan dari Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Product (NTFP).1 Terlihat ada

piring dari lidi, tas dan dompet yang terbuat dari rotan, tempat HP dan gantungan

kunci dari pandan dan berbagai peralatan rumah tangga dari bahan bambu.

Beberapa perempuan sambil bergurau, sedang sibuk memisahkan lidi kelapa dan

lidi kelapa sawit dari tangkai pohonnya. Di sudut yang lain beberapa ibu-ibu asyik

dengan pisau yang dibawa dari rumah masing-masing untuk memisahkan daun

yang menempel dari lidi. Sementara itu di sudut ruangan dekat pintu masuk, ibu-

ibu lainnya sedang sibuk mengecat piring dan keranjang buah yang sudah selesai

dibuat.

Siang itu pada medio April 2013, ibu-ibu dari desa Senamat Ulu, Muara

Bungo, Jambi yang tergabung dalam kelompok kerajinan perempuan sedang

berkumpul untuk mengikuti pelatihan pembukuan sederhana yang

diselenggarakan oleh LSM lokal yaitu Komunitas Konservasi Indonesia (KKI-

WARSI). Sambil menunggu pelatihan dimulai, ibu-ibu membuat piring dan

keranjang buah dari bahan lidi. Ilmu membuat keranjang dan piring dari lidi baru

1 NTFP merupakan asset kekayaan hayati yang sangat penting bagi hutan-hutan di Asia Tenggara,

termasuk Indonesia. Disamping kekayaan jenis yang melimpah NTFP juga menjadi tempat

bergantung dan sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat yang bermukim di dalam dan sekitar

hutan. NTFP dari dalam hutan merupakan sumber makanan, bahan konstruksi, bahan bakar,

sumber obat-obatan dan sumber penghasilan yang dapat dijual. NTFP yang memiliki nilai

ekonomis yang tinggi hingga saat ini antara lain damar, rotan, bamboo,getah-getahan, jelutung,

bumbu-bumbuan hutan, edible oil, sarang burung wallet, dan lain-lain.( Aliansi Masayarakat Adat

Nasional (AMAN), “Hutan Bukan Hanya Kayu, Meningkatkan Posisi Tawar Masyarakat Untuk

Menghadapi Pasar Melalui Hasil Hutan Non Kayu, Telapak Indonesia, 2001, hal 83)

2

saja didapatkan dari pelatihan pembuatan kerajinan yang diselenggarakan oleh

Dinas Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UKMK) Kabupaten Muara Bungo

beberapa hari sebelumnya. Sementara itu, pelatihan pembukuan tersebut memang

sengaja dilakukan untuk memberikan pemahaman dan pendampingan manajemen

keuangan pada anggota kelompok kerajinan perempuan di Senamat Ulu.

Itulah gambaran salah satu kegiatan yang dilakukan dalam kelompok

kerajinan anyaman perempuan desa Senamat Ulu. Kelompok kerajinan ini

didirikan tiga tahun lalu dibidani KKI-WARSI yang selanjutnya dalam tesis ini

akan disebut Warsi, sebuah LSM lokal di provinsi Jambi. Pada awal

pembentukannya jumlah anggota yang tergabung adalah 20 orang, kini jumlah

anggota kelompok hampir mencapai 60 orang dan tersebar di tiga dusun yaitu di

dusun Tegan, dusun Senamat Hilir, dan dusun Senamat Mudik. Setelah

terbentuknya kelompok kerajinan anyaman perempuan, berbagai pertemuan dan

pelatihan yang dikhususkan bagi perempuan menjadi cukup akrab dikalangan

perempuan.

Selama saya berada di desa tersebut, setidaknya sudah ada dua kali

pelatihan yang diselenggarakan guna mendukung berkembangnya kelompok

kerajinan anyaman yaitu pelatihan pembukuan dan pelatihan peningkatan skill

pembuatan kerajinan. Disamping itu keberadaan kelompok kerajinan anyaman

juga memberikan manfaat yang cukup besar bagi perempuan. Diantaranya adalah

bisa menghasilkan tambahan uang, sarana sosialisasi, perhatian pemerintah yang

meningkat hingga mendapatkan pelatihan dan ilmu pengetahuan terkait kerajinan.

Selain potensi HHBK yang melimpah, alasan pembentukan kelompok ini juga

3

lantaran cukup banyak perempuan Senamat Ulu yang sudah memiliki kebiasaan

menganyam kerajinan sejak dulu namun selama ini kerajinan yang dibuat hanya

digunakan untuk keperluan rumah tangga saja.

Wilayah Senamat Ulu ini merupakan wilayah yang telah dipersiapkan

Warsi untuk mengajukan desa ini menjadi wilayah Demonstrasi Activity (DA)2

atau daerah percobaan REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and

Forest Degradation) melalui skema program PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis

Masyarakat) atau skema Community Base Forest Management (CBFM). Warsi

sendiri memanfaatkan isu perubahan iklim dan REDD untuk kampanye advokasi

guna memperluas kawasan kelola masyarakat melalui skema yang berupa Hutan

Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Adat. Warsi juga sedang

mengusulkan Lanskap Ekosistem di Kecamatan Batin III Ulu ini yaitu Bukit

Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) yang terdiri dari beberapa desa termasuk

desa Senamat Ulu sebagai area model pembelajaran mitigasi dan adaptasi

perubahan iklim melalui skema CBFM tersebut. Khusus untuk Senamat Ulu,

Hutan Desa menjadi salah satu kendaraan dalam rangka persiapan implementasi

REDD+ di Senamat Ulu pada masa depan.

Skema PHBM inilah yang nantinya dikembangkan sebagai basis REDD+.

Alasannya sederhana saja bahwa secara kasar dalam program REDD+ ini

masyarakat yang berada dikawasan hutan atau masyarakat yang mempunyai

wilayah hutan, akan dibayar oleh dunia karena sudah menjaga kawasan hutannya.

Dalam websitenya www.warsi.or.id dijelaskan bahwa jika PHBM sebagai basis

2 Demonstration Activities (DA) adalah kegiatan pengujian dan pengembangan metodologis,

teknologi dan institusi pengelolaan karbon hutan dalam rangka fase persiapan (readiness)

penerapan REDD+.

4

program REDD+, maka menjadi syarat penting adalah mesti harus jelas wilayah

atau daerah kawasan hutan yang akan didorong, bahkan juga mesti harus ada

kelembagaan yang dibentuk di tingkat masyarakat sebagai pengelola kawasan

tersebut. Kalau tidak seperti itu maka bisa saja masyarakat tidak bisa

mendapatkan manfaat REDD+ tersebut.

Dalam perkembangannya Jambi menjadi salah satu wilayah yang

dijadikan tempat untuk program REDD+ ini. Di Indonesia sendiri ada beberapa

tempat yang rencananya akan dimasuki program ini yaitu Aceh, Kalimantan

Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara

Barat, Lombok Tengah, Gorontalo, Jambi, Sulawesi Utara, Papua, Riau,

Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Sumatera Barat.3 Selain Jambi, wilayah lain

yang juga sudah dimasuki program ini adalah Sulawesi Tengah dan Kalimantan.

Pada 23 Desember 2010, pemerintah Indonesia memutuskan Kalimantan Tengah

menjadi wilayah proyek percontohan REDD+ yang telah di danai oleh Pemerintah

Norwegia.

Perubahan iklim dan emisi gas karbon menjadi isu yang mendapat

perhatian dunia dan mendorong kesepakatan mengenai perlindungan terhadap

kelestarian hutan dengan memberikan dana kepada negara berkembang salah

satunya Indonesia. Kesepakatan tersebut adalah memunculkan program REDD+.

Program REDD+ ini dijalankan oleh pemerintah Indonesia dengan Norwegia.

Dimana ditandatanganinya perjanjian kerjasama antara Norwegia dan Indonesia

yang menyetujui penerapan program REDD+ di Indonesia. Menurut United

3 http://www.reddindonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=205&Itemid,

diakses 26 april 2013

5

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pengertian

REDD+ adalah pendekatan dan aksi yang akan mengurangi emisi dari deforestasi

dan degradasi hutan. Namun dalam perbincangan, REDD+ lebih mengacu kepada:

(i) pengembangan mekanisme untuk memberi imbalan negara berkembang yang

mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan; dan (ii) kegiatan persiapan

yang membantu negara-negara untuk mulai berpartisipasi dalam mekanisme

REDD.4

Keikutsertaan Indonesia dalam rangka mengurangi deforesterasi hutan

ditegaskan Presiden SBY dengan menyampaikan komitmennya di Pittsburg,

Amerika Serikat dan di Copenhagen pada konferensi G 20 dan COP 15 yang

menyatakan akan menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen secara unilateral dan

41 persen jika ada dukungan negara maju pada tahun 2020 (CIFOR, 2012:28).

Tindak lanjut dari pertemuan ini, pada tanggal 28 Mei 2010 lalu, Indonesia

menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan Pemerintah Norwegia, yang

bertempat di Oslo. Perjanjian ini menegaskan komitmen Indonesia dan Norwegia

terhadap upaya pengurangan emisi karbon melalui bantuan senilai US$ 1 milyar

kepada Indonesia. Selanjutnya pada bulan Mei 2010 dibentuk Satuan Tugas

REDD+, sebuah badan ad hoc yang melapor langsung kepada Presiden. Tahun

2011 pemerintah menerbitkan moratorium selama dua tahun atas hak pengusahaan

hutan baru berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011. Tujuan

Moratorium adalah untuk perbaikan tata kelola dan penegakan hukum.

Sementara itu REDD+ dihubungkan dengan Protocol Kyoto terkait dengan

4 Arild Angelsen dan Stibniati Atmadja (Editor) “Melangkah maju dengan REDD Isu, pilihan dan

implikasi”, CIFOR 2012, hal 18

6

agenda perubahan iklim, adalah program mempersiapkan mekanisme pasar yang

memungkinkan negara industri melepas tanggung jawab menurunkan emisi

karbon hasil industrialisasi dengan membiayai program penurunan emisi di negara

lain. Program REDD+ merupakan skema global terkait aksi penyelamatan

lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Inisiatif ini ditawarkan kepada

negara-negara berkembang dalam menanggapi isu-isu terkait deforestrasi dan

degradasi hutan. Bagi negara-negara yang mampu melaksanakan dan melestarikan

hutan beserta cadangan karbonnya, akan diberi insentif melalui konversi karbon.

Istilah REDD mulai dikenalkan dalam Subsidary Body For Scientific and

Technological Advisce (SBSTA) sesi 29 UNFCCC COP 14 Di Poznan, Polandia

pada Desember 20085.

Program REDD+ di provinsi Jambi sendiri masih dalam tahap persiapan

implementasi, namun beberapa program kerja terkait REDD+ telah mulai

dilakukan pemerintah daerah. Diantaranya adalah pembuatan Strategi Daerah

(STRADA), pembetukan Sekretariat Bersama (Sekber) dan penentuan wilayah

DA yang terletak di Taman Nasional Berbak (TNB) yang diinisiasi oleh LSM

Internasional yaitu Zoological Society of London (ZSL). Program REDD+

disamping terkait dampak ekologis hutan, implementasi berbagai program kerja

ini akan berdampak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat di

sekitar hutan.

Dalam implementasinya, insiatif REDD ini masing-masing menyimpan

5 Pada COP (Conference of the Parties) 14 di Poznan, Strategi REDD+ bertambah disamping

untuk mengatasi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (dua ketetapan awal REDD), juga

sebagai peranan konservasi; pengelolaan hutan secara berkelanjutan; dan sebagai peningkatan

cadangan karbon hutan. (http://unfcc.int/resource/docs/2008/sbta/eng/13.pdf), (diakses 28 Mei

2013)

7

teka-teki terkait siapa saja yang berhak mendapatkan insentif tersebut, juga

mengenai bagaimana mekanisme kerja yang seharusnya dilakukan oleh negara

dalam memeratakan pengelolaan yang berbasis kesetaraan gender.6 Gender dalam

kebijakan global dan skema mitigasi iklim seperti REDD + sangat penting

dipertimbangkan. Untuk memampukan keberhasilan REDD+ jangka panjang di

lapangan, kebutuhan berdasarkan gender, pemanfaatan dan pengetahuan mengenai

hutan akan menjadi masukan penting bagi kebijakan dan intervensi.7 Resiko

potensial REDD+ untuk kaum perempuan mencakup pembatasan terhadap

aktivitas penghidupan atau akses hutan, yang dapat menimbulkan beban kerja

yang lebih tinggi atau kehilangan pendapatan, dan tidak diikutsertakan dalam

mekanisme pembagian keuntungan.8

Pembangunan hutan selama ini identik dengan peran laki-laki. Padahal

dalam sebuah konsep pembangunan partisipatif pelaksanaan sebuah program

dalam hal ini program pembangunan harus melibatkan seluruh masyarakat baik

laki-laki ataupun perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang

sama untuk berperan dan menikmati manfaat pembangunan. Keberhasilan

pembangunan kehutanan ternyata tidak hanya ditentukan hal-hal yang bersifat

teknis saja namun juga sangat di tentukan oleh hal-hal non teknis seperti adanya

partisipasi aktif dari masyarakat sekitar hutan.

6 Menurut Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia (2002), Kesetaraan gender merupakan inti

dari pembangunan, sebagai sebuah tujuan yang harus dicapai demi pembangunan itu sendiri (

Pembangunan Berspektif Gender: Laporan Penelitian Kebijakan Bank Dunia, (terjemahan). World

Bank. 2002, Jakara, Dian Desa. 7 (UN REDD Programme 2011 The Bussines case for mainsteaming gender in REDD+ . UN

REDD+ Programme Secretariat, Jenewa Swiss. 8 Gurung, J., Giri,. K., Settyowati, A.B. dan Lebow, E, 2011 Getting REDD+ Right For Women,

an Analysis Of The Barriers and Opportunies For Women‟s Participation In The REDD+ Sector In

Asia. USAID , Washinthong, D.C, p 112

8

Seperti yang dikemukakan oleh Shiva (1997: 8), pembangunan yang

terjadi saat ini merupakan pembangunan yang timpang. Dikatakan timpang,

karena mengabaikan prinsip feminisme, pelestarian dan ekologi. Dalam

pembangunan yang timpang, tercipta keterpecahan, di mana dominasi laki-laki

atas alam dan perempuan masih menjadi pijakan yang masih kuat. Pada akhirnya,

mengakibatkan kekerasan terhadap alam dan kekerasan terhadap perempuan.

Lebih jauh Shiva menegaskan bahwa pembangunan yang timpang berarti

kematian prinsip feminitas. Keterbelakangan perempuan akan meningkatkan

penindasan atas mereka, dan terciptanya krisis ekologi dengan perusakan alam

tanpa batas (1997: 6-7). Sementara itu Warren setuju dengan pandangan Shiva,

hal ini mengindikasikan antara manusia dan alam masih terjerat kuat pada adanya

suatu hubungan yang penting antara dominasi perempuan dan dominasi alam

(Tong, 2010: 360).

Seharusnya perempuan turut serta dalam pembangunan dan mendapat

kedudukan, peran dan akses yang sama dalam mengelola sumber daya. Pelibatan

perempuan ini pun diharapkan dapat melepaskan perempuan dari perangkap

sistem maskulin9, karena pada dasarnya antara perempuan dan laki-laki

mempunyai peran masing-masing (Shiva dan Maria Mies, 2005). Perempuan

mempunyai andil yang cukup besar dalam kelestarian hutan, ketahanan pangan,

kelangsungan sumber daya hayati, dan berbagai aktivitas lainnya terkait hutan

9 Salah satu tujuan yang hendak dicapai dalam ekofeminisme adalah mengembalikan identifikasi

perempuan dengan alam (Megawangi, 1999: 191), dalam istilah Shiva disebut “menghidupkan

kembali prinsip feminin”. Karena selama ini sistem maskulin telah merusak dan menutupi nilai

sakral kualitas feminin, kualitas feminin yang menurut standar maskulin dianggap rendah adalah

baik bahkan superior menurut para ekofeminis.

9

dengan kearifan lokal10

yang dimiliki, sehingga hutan tetap lestari. Dilibatkannya

perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam dan pemberian peran yang sama

dalam menyelesaikan masalah lingkungan hidup, merupakan salah satu strategi

bijaksana dalam pembangunan.

Perempuan sekitar hutan tidak bisa dilepaskan dari aktivitas yang

berhubungan dengan hutan. Hutan menjadi tempat mencari dan menggali

pengetahuan pada sektor publik serta sebagai tempat untuk menambah

penghasilan keluarga seperti keterlibatan perempuan petani karet, mengumpulkan

kayu bakar, mengambil rotan dan hasil hutan non kayu lainnya untuk dijadikan

anyaman dan kegiatan lainnya. Hutan juga menjadi tempat ekspresi perempuan

yang dapat dilihat dari bagaimana mereka berekspresi membuat kerajinan dengan

bahan baku berasal dari hasil hutan. Disamping itu, perempuan memiliki

pengetahuan11

tentang obat, dan ramuan tradisional lainnya. Perempuan juga

banyak yang memenuhi kebutuhan pangan seluruh keluarga, pemenuhan akan

sayur-mayur, umbi-umbian dan buah-buahan, tentunya sebagai pemenuhan akan

kebutuhan makanan pokok.

10

Lihat Shiva (1997), di mana perempuan India mampu menjaga kelangsungan keanekaragaman

hayati dengan pemanfaatan hutan secara feminin (penggunaan pupuk hijau, memangkas

pepohonan di bawah kendali “daur seni memotong” akan meningkatkan produktivitas hutan

dalam kondisi stabil). Hal ini berarti perempuan mempunyai kearifan sendiri dalam menjaga

hutan.

11

Pengetahuan di sini bukan hanya tentang obat-obatan saja sebagaimana tertuang di atas,

melainkan banyak hal yang dapat diperoleh dari kehidupan hutan. Senada dengan pandangan

Rabindranath tentang arti hutan bagi kehidupan masyarakat India, bahwa hutan merupakan

tempat berteduh dan sumber makanan; keterkaitan antara manusia dan alam merupakan

sumber ilmu pengetahuan (Shiva, 1997: 70-71).

10

Dalam konteks masyarakat desa Senamat Ulu berbagai program12

baik

yang dibawa oleh pemerintah dan LSM yang masuk di Desa Senamat Ulu,

perempuan hampir tidak pernah dilibatkan dalam berbagai pengelolaan hutan

yang menempatkan perempuan sebagai subyek program. Pasca Hutan Desa

disahkan secara legal melalui SK Menhut Nomor SK.360/Menhut-II/2011 tanggal

7 Juli 2011 dengan luas 1.661 hektar, perempuan mulai dilirik untuk

diikutsertakan. Misalnya dalam berbagai rapat terkait pengajuan Hutan Desa

(HD) hingga pembentukan pengurus Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD).

Intensitas dan partisipasi perempuan semakin terlihat lewat berbagai

kegiatan yang diselenggarakan oleh Warsi dimana memberikan peluang yang

cukup besar bagi keikutsertaan perempuan. Kegiatan pemberdayaan bagi

perempuan berupa pembentukan kelompok tani perempuan dan kelompok

kerajinan anyaman perempuan. Kelompok kerajinan anyaman perempuan inilah

yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Kelompok kerajinan anyaman ini

menjadi media untuk perempuan dalam mengaktualisasi berbagai kegiatan

perempuan, mendapatkan berbagai bantuan dan pelatihan.

Studi ini pun berusaha untuk melihat perubahan kehidupan perempuan

terkait peran dan status perempuan, perempuan dengan alam serta relasi gender

yang terjadi pasca munculnya program dan kegiatan pemberdayaan yang

berdalihkan penyelamatan lingkungan. Dari penuturan di atas akan terlihat

kemudian, bagaimana dampak yang akan dirasakan oleh masyarakat khususnya

12

Beberapa program dan proyek yang masuk ke desa ini diantaranya adalah program Inpres Desa

Tertinggal (IDT), ICDP, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), TNCF, Hutan

Desa dan program lingkungan lainnya

11

perempuan manakala berbagai program muncul, terutama pada aktivitas

perempuan baik di sektor publik maupun domestik.

Kajian ini menjadi penting karena dalam design program, perempuan

dijamin keterlibatannya dan menjadi salah satu syarat keterlibatan program.

Perempuan disini dipandang sebagai pihak yang bisa menjawab kebutuhan

kaumnya ketika terlibat aktif dalam program. Penelitian ini penting untuk melihat

bagaimana motif atau latar belakang keterlibatan perempuan, bagaimana

perempuan merespon suatu program dan strategi perempuan dalam sebuah

program pemberdayaan itu sendiri.

1.2. Masalah Penelitian

Program yang berkaitan dengan hutan seharusnya mengikutsertakan

berbagai unsur masyarakat untuk ikut serta dalam implementasi kebijakan

program itu sendiri. Salah satu unsur yang dinamakan masyarakat adalah

perempuan. Dimana perempuan menjadi salah satu bagian penting dalam

pengelolaan hutan. Hal ini karena konteks hutan bukanlah obyek yang tunggal

dan berdiri sendiri. Namun, untuk hutan kawasan hutan tropis seperti Indonesia

memiliki karakteristik khas, dimana hutan juga dimanfaatkan untuk pemenuhan

hidup dan juga untuk lingkungan hidup.

Dalam konteks perempuan di desa Senamat Ulu juga bersinggungan

dengan program kehutanan dan program pemberdayaan yang diperkenalkan oleh

berbagai pihak mulai dari pemerintah, pihak swasta, hingga LSM. Di Senamat

Ulu perempuan khususnya baru banyak terlihat dalam berbagai kegiatan

pemberdayaan setelah Warsi mulai mensosialisasikan Hutan Desa (HD).

12

Perempuan dilibatkan dalam program pengelolaan HHBK melalui pembentukan

kelompok kerajinan anyaman dan kelompok tani perempuan.

Pembentukan kelompok kerajinan anyaman ini merupakan salah satu

bentuk kegiatan pemberdayaan. Pasca keberadaan kelompok kerajinan anyaman

tersebut perempuan memiliki ruang untuk ikut serta bersuara, mengakses dan

mengontrol kebijakan dan pengelolaan sumber daya hutan di Desa Senamat Ulu.

Selain itu, peran cukup besar dimainkan oleh Warsi, yang telah memberikan ruang

bagi perempuan di desa untuk lebih berdaya dengan melibatkan perempuan. Dari

sinilah menjadi menarik untuk melihat bagaimana kelompok anyaman memiliki

peran strategis untuk mengelola sumber daya hutan.

Meski dalam penelitian ini saya terilhami dengan kerja Warsi untuk

melibatkan perempuan dalam programnya namun penelitian ini tidak akan

bertujuan untuk mengevaluasi kerja Warsi. LSM ini sudah ada sebelum penelitian

ini dilakukan. Hal ini sama dengan berbagai program pembangunan pemerintah

yang sudah ada di sana sebelumnya. Jika kemudian bobot nilai analisisnya yang

diberikan pada tulisan ini lebih pada bagaimana keterlibatan perempuan dalam

kegiatan pemberdayaan Warsi hal tersebut karena Warsi yang memiliki kegiatan

khusus pada perempuan di Senamat Ulu. Dari sinilah kemudian penelitian ini

ingin melihat:

1. Bagaimana bentuk kegiatan pemberdayaan pada perempuan desa

Senamat Ulu yang dilakukan oleh WARSI?

2. Bagaimana perempuan merespon program dan berstrategi untuk

bisa bertahan hidup?

13

1.3. Tujuan penelitian

Berdasarkkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan maka

tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kondisi sosial, ekonomi dan budaya serta aktivitas

perempuan Senamat Ulu.

2. Mengetahui bentuk-bentuk pemberdayaan pada perempuan di Desa

Senamat Ulu.

3. Melihat dampak, respon dan strategi perempuan dalam berbagai

kegiatan pemberdayaan yang berada di Senamat Ulu.

1.4. Tinjauan Pustaka

Terkait dengan studi yang membahas tentang perempuan dalam program

pembangunan, setidaknya ada beberapa penelitian yang bisa merepresentasikan

keterlibatan perempuan dalam sebuah program baik yang dibawa oleh pemerintah,

pihak swasta dan LSM. Dibawah ini adalah pemaparan studi pustaka yang

meninjau secara umum tentang penelitian perempuan dalam pembangunan,

pengelolaan hutan dan gender.

Penelitian tentang kajian perempuan dalam pembangunan dan pengelolaan

hutan diantaranya adalah tulisan Bina Agrawal (2009) yang berjudul Gender and

Forest Conservation: The Impact of Women’s Paticipation in Community.

Agrawal yang meneliti tentang pengaruh keikutsertaan perempuan dalam

kelompok manajemen hutan memiliki efek yang positif khususnya dalam hal

pengelolaan hutan dan konservasi. Dari penelitian yang dilakukan di India dan

Nepal tersebut terlihat bahwa kelompok pengelola hutan dengan jumlah

14

perempuan sebagai pengurus kelompok memberikan peran yang cukup besar dan

maju bagi bidang kehutanan.

Khusus di Nepal, kelompok dengan semua anggotanya adalah perempuan

memiliki regenerasi yang lebih baik. Perempuan yang lebih tua bekerja sebagai

penjaga hutan yang menjalankan tugas dengan penuh ketelitian. Dampak

terpenting dan paling menguntungkan atas kehadiran perempuan adalah

keberhasilan program konservasi hutan. Dimana perempuan menggunakan

pengetahuan khususnya dalam hal menanam dan memanen dengan pengetahuan

yang tidak merusak hutan.

Sementara itu penelitian lain memperlihatkan bahwa pembangunan hutan

selama ini belum mengikutkan perempuan dalam setiap aspek programnya.

Bahkan, keberadaan program malah membuat perempuan terpinggirkan. Seperti

kajian yang dilakukan oleh Madu Sharin (2002) tentang Program Pengelolaan

Hutan Bersama (Joint Forest Managament Program) di India. Dalam penelitian

tersebut terungkap bahwa Program Pengelolaan Hutan Bersama telah berhasil

membuat masyarakat merasa bertanggung jawab untuk mengawasi hutannya dan

memperoleh pendapatan yang tinggi dari hutan. Warga masyarakat setuju untuk

mengkonservasi hutan mereka dan mengikuti aturan-aturan dalam program

tersebut.

Namun, tidak demikian dengan dampak penerapan program tersebut pada

perempuan di desa di Uttarakhand India. Dulunya hutan dikelola oleh perempuan

India untuk mengumpulkan kayu bakar, makanan ternak, dedaunan dan hasil

lainnya untuk keperluan keluarga. Bahkan para perempuan ini ikut serta dalam

15

mengambil keputusan tentang bagaimana memanfaatkan hutan dan membayar

seorang penjaga wanita untuk mengenakan denda bagi mereka yang melanggar

peraturan. Ketika program Pengelolaan Bersama Hutan Desa muncul peran ini

mulai tergantikan. Kaum laki-laki setempat, yang sebelumnya hanya memberikan

sedikit perhatiannya pada hutan, mengambil alih pekerjaan tersebut. Mereka

menggunakan uang proyek untuk memperkerjakan tenaga penjaga hutan laki-laki

dan memecat penjaga perempuan.

Tak hanya di India, di Indonesia keikutsertaan perempuan dalam program

pembangunan hutan tak bisa dinafikan. Meskipun selama ini partisipasi

perempuan masih minim dan menempatkan perempuan pada posisi yang kurang

strategis dalam program hutan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Tri

Widayanti (2007) dengan penelitiannya berjudul „Peranaan Perempuan Desa

Hutan Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Jati, Studi kasus pada pilot Proyek

Pengelolaan Hutan Jati Optimal KPH Madiun Perum Perhutani Unit II Jawa

Timur”. Dalam penelitian yang dilaksanakan di desa Randu Akas dan desa Kresek

kabupaten Madiun tersebut diketahui bahwa peran perempuan cukup besar dalam

pembuatan tanaman hutan jati yang dapat dilihat pada persiapan lahan atau

gebrus, pasang acir, penananam, penyulaman, pemangkasan tanaman sela, babat

tumbuhan bawah dan dangir tanaman pokok. Sementara kontribusi pendapatan

dari pesangem (peserta kegiatan pembangunan hutan jati) untuk keluarga masih

kecil dengan curahan waktu yang tak cukup besar pada program pembangunan

hutan.

Posisi perempuan yang masih cukup kecil dalam pembangunan hutan juga

16

bisa dilihat dalam Penelitian Nova Scorviana H (2013) yang membahas tentang

peran perempuan dalam program REDD+ di Kalimantan. Dalam penelitiannya,

keterlibatan masyarakat dalam program kegiatan REDD+ yang difasilitasi oleh

Kalimantan Forests Climate Partnership (KFCP) telah menghasilkan adanya

paradoks dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan tersebut justru lebih bernuansa

memperdayakan dibandingkan dengan pemberdayaan perempuan lantaran

keikutsertaan perempuan dalam program sangat kecil. Selain jumlah perempuan

yang kecil, para perempuan khususnya hanya diikutsertakan pada program

pembibitan dan penanaman pohon saja. Selain itu, keberadaan program KFPC

hanya menjadi arena baru bagi perempuan untuk mendapatkan uang dan

menjadikan perempuan dan masyarakat di wilayah tersebut berorientasi pada

proyek.

Meski penelitian tentang peran LSM dan kiprahnya dalam pembangunan

masyarakat cukup melimpah, dalam pemaparan ini hanya akan dipaparkan

beberapa peran LSM yang terkait dengan pemberdayaan perempuan dan masalah

lingkungan. LSM ini memiliki fungsi dan peran yang cukup besar mulai dari

dalam merealisasikan program pembangunan baik melalui program

pendampingan, pemberdayaan hingga advokasi.

Beberapa kajian yang menggambarkan bagaimana peran LSM dalam

pembangunan desa diantaranya adalah kajian yang dilakukan oleh Hermanto

(2008), dengan tesisnya berjudul “ Non Government Organization (NGO), Negara

dan Masyarakat Adat (Studi tentang peran PPSDAK Pancur Kasih dalam

memfasilitasi, mediasi dan advokasi pemetaan partisipatigf wilayah adat Dayak

17

Koman di Desa Cenayan Kecamatan Nanga Mahp Kabupaten Sekadau).

Dalam tesis tersebut ditemukan bahwa peran PPSDAK Pancur Kasih

sebagai fasilitator, mediator dan advokat dalam pemetaan partisipatif wilayah adat

berdampak positif bagi masyarakat adat Dayak Konan karena mereka kini telah

memiliki peta wilayah adat. Peta wilayah adat tersebut semakin memperkuat adat

istiadat dan hukum adat serta memungkinkan masyarakat adat menyusun rencana

tata ruang wilayah adatnya. Meskipun demikian PPSADK masih mempunyai

kekurangan karena dalam melakukan perannya masih cenderung elitis yaitu hanya

melibatkan elit-elit desa, adat, dan elit-elit tertentu sehingga pemetaan partisipatif

masih dipersepsikan beragam oleh masyarakat.

Selain menjalankan fasilitasi, mediasi dan advokasi kiprah LSM lebih

kepada pemberdayaan masyarakat. Seperti kajian yang dilakukan oleh Supriyanto

(2010), dengan judul tesisnya “ Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kegiatan

LSM PPLH Seloliman dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Ekonomi

Masayarakat: Studi di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto,

Propinsi Jawa Timur”.

Dalam kajiannya dipaparkan bahwa pemberdayaan yang dilakukan PPLH

Seloliman dilakukan dengan cara pemberian bantuan modal usaha untuk berbagai

kegiatan ekonomi masyarakat, penyediaan, penyediaan prasarana bagi pendukung

pengembangan kegiatan sosial ekonomi, masyarakat melalui pembangunan

pembangkit Listrik tenaga Mikrohidro (PLTMH), membantu masyarakat

memperlancar penjualan hasil usaha kegiatan masyarakat dengan mendirikan

pasar tugu dan MUTOS, mengadakan berbagai pelatihan untuk mengembangkan

18

kegiatan ekonomi masyarakat dan melakukan penguatan kelembagaan sosial

ekonomi masyarakat melalui pembentukan kelompok-kelompok sosial ekonomi.

Dari berbagai penelitian terkait perempuan dan pembangunan hutan yang

telah dipaparkan di atas terlihat bahwa keikutsertaan perempuan dalam berbagai

program pembangunan baik yang diinisiasi oleh negara, LSM dan pihak lainnya

masih kecil. Hal ini terlihat diantaranya dari jumlah perempuan yang terlibat

dalam program masih kecil, keikutsertaan perempuan dalam program kebanyakan

hanya sebagai pelengkap program dengan hanya mengikutsertakan perempuan

dalam program tertentu saja seperti pembibitan dan penanaman pohon saja.

Padahal jika dilibatkan perempuan yang tinggal di dekat hutan bisa turut

serta dalam mensukseskan program. Bahkan gambaran tentang keberhasilan

perempuan dalam pengelolaan hutan seperti di India bisa juga terwujud di

Indonesia. Dengan mengikutsertakan perempuan dalam program pembangunan

hutan di India, program konservasi hutan cukup berhasil lantaran yang

diikutsertakan dalam program memiliki kontribusi yang cukup besar. Hal ini

karena kedekatan perempuan dengan hutan yang menggunakan pengetahuan

khususnya untuk menjaga hutan.

Dalam konteks Senamat Ulu, keikutsertaan dan keterlibatan perempuan

yang dipicu dengan adanya skema hutan desa yang kemudian diwujudkan dengan

kegiatan pemberdayaan yang berupa pembentukan kelompok kerajinan anyaman

dengan anggota mayoritas perempuan menjadi cukup menarik untuk dilihat lebih

mendalam karena keberadaan program yang masuk desa tersebut telah

menimbulkan dampak, respon dan strategi perempuan dalam mengakses sumber

19

daya alam.

1.5. Landasan Teori

1.5.1 Konsep dan Analisis Gender

Konsep gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial maupun

kultural terhadap kaum perempuan dan laki-laki (Sadli & Soemarti Patmonodewo,

1995: 70; Fakih, 1996: 8). Pada awal kemunculannya, konsep gender lahir dari

kajian studi perempuan, dengan tujuan untuk memahami kondisi dan kedudukan

perempuan. Definisi konsep gender di atas mendapat penegasan dari Bemmelen

(1995), di mana kategori perempuan dan laki-laki yang telah dikonstruksi secara

sosial tersebut pada akhirnya membentuk identitas perempuan dan laki-laki,

begitupun dengan pola-pola perilaku dan kegiatan di antara dua jenis kelamin

tersebut terbentuk.

Dalam perspektif gender, jenis kelamin adalah status, dan karenanya

seseorang yang terlahir dengan jenis kelamin tertentu memiliki peran-peran

tertentu yang berbeda dengan peran jenis kelamin lainnya. Levy dalam Sajogyo

(1983) menyebutnya dengan istilah diferensiasi peran. Seseorang yang berjenis

kelamin laki-laki adalah seseorang yang mempunyai peran tertentu karena status

kelaki-lakiannya. Peran tidaklah statis, dan hubungannya bisa berbeda secara

lintas budaya dalam kurun waktu berbeda (Sadli, 1995: 73). Peran tersebut

mengantarkan pada suatu interaksi sosial yang kompleks yang masih diperkuat

oleh bahasa yang digunakan, inilah yang disebut sebagai hubungan gender (Sadli,

1995: 72).

20

Pemaparan di atas, mengantarkan pada munculnya perbedaan gender.

Perbedaan gender ini kemudian melahirkan berbagai ketidakadilan dalam

prosesnya, secara saling terhubung satu-sama lain. Hal ini termanifestasi dalam

berbagai bentuk ketidakadilan, seperti: marginalisasi atau proses pemiskinan

ekonomi; subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik;

pembentukan stereotif (pelabelan negatif); kekerasan (violence); beban kerja lebih

panjang dan lebih banyak (burden); dan sosialisasi ideologi nilai peran gender,

(Fakih, 1995: 12-13).

Sementara itu, Simatauw menjelaskan bahwa perubahan sosial sebagai

akibat dari perubahan pengelolaan lingkungan hidupnya. Akses dan kontrol tentu

saja berkaitan erat dengan adanya pembedaan status dan peran gendernya

(berdasarkan jenis kelamin). Menurut Simatauw et al (2001:19) perbedaan peran

antara laki-laki dan perempuan umumnya dibagi menjadi:

1. Peran produktif yaitu kegiatan yang menghasilkan uang atau

menghasilkan barang-barang yang tidak dikonsumsi sendiri.

Misalnya bertani, bertenak, berburu, menjadi buruh dan

berdagang.

2. Peran reproduktif yaitu kegiatan-kegiatan yang bersifat merawat

keluarga seperti misalnya merawat anak, memperbaiki perkakas,

mengambil air, dan sebagainya.

3. Peran merawat masyarakat yaitu peran yang dijalankan untuk

menjalin kebersamaan, solidaritas antar masyarakat, menjaga

21

keutuhan masyarakat, seperti misalnya acara doa kampung,

tahlilan, arisan, pernikahan dan upacara adat.

4. Peran politik masyarakat yaitu peran yang dijalankan untuk

kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengambil keputusan

yang berpengaruh pada kehidupan suatu masyarakat, seperti

misalnya pertemuan kampung, pemilihan kepala desa, atau dukuh,

rapat pembagian tanah dan sebagainya.

Akses perempuan dalam mengelola lingkungannya terlihat dari dua sisi

yaitu pertama adalah akses formal dengan membuat akses yang dibuat oleh

pemerintah, misalnya PKK, dan sebagainya. Kemudian akses non formal yaitu

akses melalui jalur lembaga perkawinan.

Sementara itu analisis gender merupakan suatu cara untuk mengetahui

secara tepat, lengkap, dan menyeluruh tentang kedudukan dan peran perempuan

dalam pembangunan di segala bidang, serta untuk mengidentifikasi permasalahan

dalam hubungan gender (Achmad dalam Ihromi, 1995). Hal-hal yang bisa

dianalisis adalah partisipasi, akses, kontrol, manfaat dan dampak dalam konteks

pembangunan bagi perempuan dan laki-laki. Lebih lanjut, Achmad memaparkan

tentang manfaat yang bisa dilihat dari analisis gender, di antaranya untuk:

1. Menunjukkan peran reproduktif perempuan sebagai hal yang

penting bagi peran produktif keluarga, di samping pentingnya bagi

peran ekonomi perempuan;

22

2. Mengungkapkan profil aktivitas13;

3. Mengungkapkan secara nyata siapa yang mendapatkan apa (profil

akses dan profil kontrol14;

4. Mengidentifikasi faktor-faktor sosial budaya yang menghambat

atau mendorong kelangsungan hidup dan kehidupan perempuan

dan laki-laki;

5. Menggarisbawahi keperluan perencana akan data yang terinci

menurut jenis kelamin pada tingkat rumah tangga guna

menantukan kebutuhan;

6. Melihat betapa pentingnya pengelola proyek-proyek mengerti

peran “gender”, agar dapat secara tepat menentukan masukan

diintervensi yang dibutuhkan;

7. Melihat bahwa proyek-proyek yang tidak mempunyai pengertian

“gender” pada akhirnya kurang berhasil dalam penyampaian dan

efektivitas.

Dalam konteks penelitian ini, analisis gender tersebut digunakan untuk

melihat bagaimana kondisi perempuan di Senamat Ulu dengan lebih menyeluruh.

Dimana menerangkan profil kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan baik

perempuan dan laki-laki serta alokasi waktu yang diberikan pada kegiatan

13

Profil aktivitas, yakni: 1) pendefinisian pekerjaan apa yang dilakukan pada satu komunitas, dan

siapa perempuan atau laki-laki (orang dewasa, orang tua, anak-anak) yang membuat pembagian

data berdasarkan pembagian kerja berkesetaraan gender di dalam rumah tangga dan komunitas; 2)

pengambilan data mengenai apa sebenarnya yang dikerjakan oleh perempuan dan laki-

laki,(Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194).

14

Profil akses, merupakan pengungkapan sumber daya-sumber daya apa yang dapat

diperoleh,dimiliki dan dinikmati oleh perempuan dan laki-laki; profil control, mengungkapkan

bagaimana perempuan dan laki-laki berperan sebagai pengambil keputusan atau penentu dalam

penggunaan sumber daya, (Sugihastuti & Siti Hariti, 2007: 194-195).

23

tersebut. Dari situlah kemudian kajiain bisa dijadikan pembelajaran bahwa hak

dan kepentingan perempuan harus dimasukkan dalam strategi dan proposal skema

pembangunan. Perempuan lebih bergantung pada sumberdaya hutan untuk

pemenuhan sebagian besar kebutuhan pangan, bahan bakar dan penghidupan, dan

karenanya cenderung mengambil peran aktif dalam perlindungan hutan.

1.5.2 Peran LSM Dalam Pembangunan Hutan

Peran LSM juga cukup besar dalam program pengentasan kemiskinan dan

pemberdayaan masyarakat. Setiap LSM memiliki bidang garapan masing-masing

sesuai visi dan misi LSM tersebut. Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri no 8

tahun 1990, LSM adalah sebuah organisasi atau lembaga secara sukarela atau

kehendak sendiri berniat serta bergerak di bidang kegiatan tertentu yang

ditetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat

dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat, yang menitik

beratkan kepada pengabdian secara swadaya (Ismawan, 2003: 1). LSM atau

Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) atau Non Governmental Organization

(NGO) dibentuk dengan tujuan untuk membangun keswadayaan masyarakat yang

tidak tergantung pada pemerintah (Sugiyanto, 2002:910).

Fakih (1996) mengatakan bahwa kontribusi NGO memperkuat masyarakat

sipil sangat terbatas. Dengan berfokus pada ideologi NGO, ia menunjukan bahwa

meskipun NGO biasanya kritis terhadap kebijakan pemerintah, paradigma

pembangunan NGO secara ideologis tak jauh berbeda dengan paradigma

pembangunan pemerintah, yaitu developmentalisme. Perbedaannya hanyalah pada

pendekatan dan metode pembangunan. Pemerintah menggunakan pendekatan dari

24

atas (top down) atau nonpartisipatif, sedangkan NGO menggunakan pendekatan

dari bawah (bottom up) atau partisipatif. Karena alasan inilah maka NGO

sesungguhnya adalah pendukung developmentalisme dan konsekuensinya mereka

lebih merupakan bagian dari negara ketimbang masyarakat sipil (Hiariej dkk,

2004:103).

Sementara itu, David Koerten melakukan generalisasi LSM berdasar

strategi program pembangunan, yang ada 3 tipe generasi LSM. Generasi pertama

disebut kelompok generasi bantuan dan kesejahteraan seperti Save the Children,

CARE, Catholic Relief Service dan World Vision yang memberikan pelayanan

kesejahteraan kepada masyarakat miskin seluruh dunia. Generasi kedua disebut

kelompok lokal skala kecil dan swadaya yang merupakan reaksi atas LSM

generasi pertama. Seringkali kegiatan LSM tipe kedua ini pararel dengan

pemerintah tetapi didasarkan pada landasan layanan pemerintah tidak sampai ke

desa-desa. Generasi ketiga disebut kelompok pembangunan berkelanjutan yang

mulai meninjau isu dasar berkaitan dengan konsep berkelanjutan, luasnya dampak

dan pemulihan biaya yang berulang. (Fakih, 2004:119).

Philip Eldridge membagi gerakan LSM menjadi 2 kategori yaitu LSM

pembangunan dan LSM mobilisasi. LSM pembangunan memfokuskan pada

program-program pembangunan masyarakat konvensional seperti irigasi, air

minum, pertanian, peternakan, pusat kesehatan dan pembangunan ekonomi

lainnya. LSM mobilisasi memusatkan pada pendidikan dan mobilisasi rakyat

miskin terkait isu ekologi, HAM, status kaum prempuan, hak-hak hukum dalam

hubungan dengan kepemilikan tanah dan kompensasi bagi tanah yang disita, hak-

25

hak sewa pedagang kecil dan Scavengers (orang-orang yang tidak punya rumah

dan tempat tinggal) (Fakih, 2004:120).

Dalam konteks pembangunan hutan, hubungan LSM dengan lembaga

pembangunan global terutama donor dan organisasi masyarakat sipil trans

nasional telah memungkinkan mereka menjadi agen produksi dan reproduksi

wacana lingkungan dan pembangunan. Ini terjadi karena lembaga donor dan

organisasi masyarakat sipil internasional dengan kekuatan finansialnya mampu

mendefiniskan prioritas isu-isu lingkungan yang dirumuskan dalam agenda kerja

LSM di negara dunia ketiga.

Dalam studi Anja Nygren (1998a) yang mengambil kasus Costa Rika,

memberikan kerangka analisis untuk melihat wacana lingkungan. Bagi dia tiga hal

pokok harus dilacak yaitu faktor pendorong, tujuan dan strategi. Dari kerangka ini

Nygren menemukan empat varian dominan dalam wacana lingkungan dan

pebangunan di dunia ketiga. Yaitu:

1. Enviromentalisme Untuk Alam. Dalam wacana ini fokus terpenting

dalam pembangunan keberlanjutan adalah kelestarian lingkungan.

Hal ini bisa dilakukan dengan melindungi alam serta

mengkonservasi alam liar dan keanekaragaman hayati. Manusia

dianggap berada diluar ekosistem. Krisis lingkungan terjadi

sebagai hasil dari tindakan destruktif manusia terhadap alam.

2. Enviromentalisme Untuk Profit. Menurut wacana ini pembangunan

berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa pertumbuhan ekonomi.

Lingkungan harus diberdayakan secara ekonomi. Pembangunan

26

berkelanjutan diartikan sebagai revitalisasi ekonomi dimana pelaku

bisnis bisa didorong untuk berinvestasi misalnya dalam eco-

tourism, bio-business, ekstraksi hutan dan kegiatan ekonomi

lingkungan lainnya. Ini ditujukan agar alam dan keanekaragaman

hayati menjadi komoditas yang menguntungkan dan memiliki nilai

jual.

3. Enviromentalisme Alternative. Wacana ini melihat bahwa

kerusakan lingkungan Dunia Ketiga terjadi karena ekspansi

kebudayaan modern barat dalam praktik kebudayaan non barat.

Tindakan manusia yang agresif terhadap alam lahir dari

modernisasi barat dan non barat yang tidak harmonis dengan alam,

bijak dan ramah lingkungan. Model pengelolaan sumber daya alam

tradisional yang harmonis terhadap alam adalah jawaban bagi

problema lingkungan dan pembangunan.

4. Enviromentalisme Untuk Rakyat. Wacana ini setuju bahwa sistem

produksi yang tidak berkelanjutan hanya akan terjadi apabila para

agen pembangunan memahami ragam macam rasionalitas dalam

masyarakat. Pembangunan lingkungan lokal dianggap akan bisa

digunakan sebagai esensi vital untuk mewujudkan pengelolaan

lingkungan yang baik dan berbasis manusia. Kunci pokok dalam

pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam berkelanjutan

adalah adanya partisipasi rakyat dalam setiap proses pembangunan

dan pengelolaan sumber daya alam. Alam harus dikelola untuk

27

memberikan keuntungan bagi rakyat.

Menurut Kurniawan (2012) sejak kemunculannya di era 1970-an, sebagai

respon atas kebijakan pembangunan orde baru LSM Indonesia telah menjadi

pelopor dalam melahirkan wacana-wacana alternatif khususnya hubungan

manusia dengan lingkungan. Dari penelitiannya LSM di Indonesia bergerak dalam

isu-isu lingkungan yang tidak berada dalam wacana alur tunggal. Fragmentasi

wacana lingkungan terjadi sangat kuat dan dipengaruhi oleh relasi organisasi-

organisasi tersebut dengan kekuatan global melalui skema kerjasama program dan

pembiayaan melalui jejaring pengetahuan.

Dalam penelitian yang melibatkan 27 LSM tersebut, Warsi masuk dalam

LSM lingkungan dengan wacana enviromentalisme alternative. Dimana wacana

enviromentalisme alternative ini melihat hutan dan masyarakat lokal sebagai

kesatuan harmonis. Masyarakat dianggap mewarisi kearifan lokal secara turun

temurun. Pengetahuan masyarakat lokal atas alam telah menjadikan mereka

bertahan hidup ratusan tahun serta mempu menjadikan alam sebagai sumber

kehidupan. Masyarakat lokal adalah penjaga hutan secara bijak untuk kayu bakar,

berburu, spiritualitas, mendapatkan obat-obatan dan lain-lain.

Praktik manajemen kehutanan modern dianggap selalu merusak. Wacana

enviromentalisme alternative yang dikumandangkan aktivis LSM biasanya

ditandai dengan eberapa jargon khas seperti “harmoni”, “nilai lokal”, kearifan,

tradisi, dan lain-lain. Aktor penting dalam pembangunan berkelanjutan terletak

pada masyarakat lokal. Maka tak heran jika kemudian program yang

dikembangkan oleh Warsi adalah skema CBFM. Hutan Desa dan Hutan Adat

28

bermaksud untuk memperluas hak kelola masyarakat terhadap hutan.

1.5.3 Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan merupakan pendekatan yang muncul sebagai jawaban atas

kegagalan pendekatan pembangunan sebelumnya. Pendekatan ini diharapkan

mampu menjawab kegagalan pendekatan pembangunan yang telah ada

sebelumnya. Dalam struktur patriarkis memunculkan kelompok masyarakat

dengan klasifikasi kelompok yang mempuanyai kekuasaan, sehingga dapat

mendominasi dan mempengaruhi kelompok yang lain, dalam hal ini penguasaan

pada kaum perempuan. Pemberdayaan sebagai pendekatan pembangunan

diharapkan mampu membawa perempuan dari kondisi terpinggirkan menuju

perempuan yang berdaya dan mandiri.

Moose memandang pemberdayaan dalam konteks gender sebagai

pembangunan bagi perempuan dalam pengertian kemandirian dan kekuatan

internal, serta menekankan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (Anwar,

2007:191). Pendekatan yang sangat menonjol dari pemberdayaan berbasis gender

adalah menyoroti masalah marginalisasi kaum perempuan dalam relasi sosial,

ekonomi dan politik dan kehidupan berkesetaraan menjadi tujuan utamanya.

Dari sisi proses, perempuan sebagai subyek melakukan tindakan atau

gerakan secara kolektif mengembangkan potensi-kreasi, memperkuat posisi tawar

dan meraih kedaulatan (Sutoro Eko, 2005: 152-153). Proses tersebut hendak

mencapai suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai kemampuan dan

kemandirian melakukan voice, akses dan control terhadap lingkungan, komunitas,

sumberdaya dan relasi sosial politik dengan negara.

29

Konsep pemberdayaan di dalam konteks kesetaraan gender pada

prinsipnya ditujukan bagi terbangunnya kesetaraan relasi antara laki-laki dan

perempuan. Strategi pemberdayaan dapat melalui pendekatan individual,

kelompok atau kolektif baik bagi perempuan maupun laki-laki sebagai mitra

sejajar. Upaya pemberdayaan ini meliputi usaha penyadaran, mendukung dan

mengembangkan potensi perempuan di segala bidang kehidupan tanpa

membedakan gender. Karena itu, pemberdayaan perempuan merupakan salah satu

upaya untuk keluar dari kondisi serba tidak berdaya dan stagnan dengan

meningkatkan kapasitas serta kesejahteraan kaum perempuan.

Pendekatan pemberdayaan (empowerment) menginginkan perempuan

mempunyai kontrol terhadap beberapa sumber daya materi dan non materi yang

penting dan pembagian kembali kekuasaan di dalam maupun di antara

masyarakat. (Moser, 1989: 18).

Menurut Moser (1989) dalam pemberdayaan ditekankan pentingnya

perempuan untuk meningkatkan keberdayaan dalam arti kecakapan atau

kemampuan perempuan menungkatkan kemandiriannya (Self Reliance) dan

kekuatan dalam dirinya (Internal Strength). Dalam konteks ini, pemberdayaan

perempuan meliputi pemberdayaan psikologis, sosial budaya, ekonomi dan politik

yang berkaitan erat satu sama lain (Ratna Saptari dan Briggite Holzer, 1997:161)

Persoalan kemiskinan yang dialami perempuan bukan hanya disebabkan

karena perempuan tersebut bodoh atau malas, melainkan karena bekerjanya sistem

yang tidak memberi akses atau peluang kepada perempuan untuk mandiri. Jika

dalam hak ini sistem sudah memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki

30

dan perempuan, dimana kaum perempuan tidak mampu bersaing dan kalah, maka

yang perlu disalahkan adalah kaum perempuan itu sendiri. Keterbelakangan yang

terjadi pada kaum perempuan ini, selain akibat dari sikap irrasioanal yang

sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga disebabkan

karena perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan (Fakih, 2008: 83).

Inti dari pemberdayaan perempuan terletak pada akses dan kesempatan

yang setara dan seimbang antara laki-laki dan perempuan. Pemberdayaan lebih

ditekankan pada kapasitas perempuan untuk meningkatkan kemandirian melalui

kekuatan eksternal yang menjamin kesempatan dan peluang perempuan melalui

pembangunan yang berkeadilan gender.

Program pemberdayaan perempuan sendiri harus dilakukan secara

kesinambungan dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, tidak terkecuali

kaum laki-laki. Adapun tujuan dari program pemberdayaan perempuan dalam

pembangunan antara lain yaitu:

1. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan untuk melibatkan diri

sebagai partisipan aktif (subyek) dalam pembangunan;

2. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam kepemimpinan

untuk meningkatkan posisi tawar dan keterlibatan dalam setiap

program pembangunan baik sebagai perencana, pelaksana, maupun

monitoring dan evaluasi kegiatan;

3. Meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam mengelola

usaha, baik dalam skala rumah tangga, industri kecil maupun besar

untuk menunjang peningkatan kebutuhan rumah tangga maupun

31

untuk membuka peluang kerja produktif dan mandiri;

4. Meningkatkan peran dan fungsi organisasi perempuan di tingkat

lokal sebagai wadah pembangunan kaum perempuan agar dapat

terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada wilayah

tempat tinggalnya ( Nugroho, 2008:164).

Dalam konteks penelitian ini point keempat yaitu meningkatkan peran dan

fungsi organisasi perempuan di tingkat lokal sebagai wadah pembangunan kaum

perempuan agar dapat terlibat secara aktif dalam program pembangunan pada

wilayah tempat tinggalnya menjadi salah satu titik tolak bagi perempuan untuk

ikut aktif dalam berbagai program. Hal ini karena kelompok kerajinan ini telah

menjadi arena bagi perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan.

Dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan sebagaimana yang telah

diuraikan diatas tidak terlepas dari hubungannya dengan manusia sebagai sasaram

pemberdayaan, termasuk dalam konteks gender. Trend isu gender di negara kita

saat ini nampaknya lebih dominan menempatkan pihak perempuan untuk menjadi

sasaran berbagai program pembangunan dan pemberdayaan. Alasannya antara lain

karena partisipasi perempuan dalam pembangunan yang masih relatif tertinggal

dibanding kaum laki-laki, kemiskinan, dan lain-lain.

Oleh karena itu makna pemberdayaan perempuan yang dimaksudkan

dalam penelitian disini adalah sebagaimana yang telah diuraikan pada

pemberdayaan di atas, hanya saja yang menjadi fokus utama adalah kaum

perempuan. Pemberdayaan perempuan adalah sebuah upaya pembelajaran menuju

kemandirian dari kalangan perempuan dalam mempertahankan dan meningkatkan

32

taraf hidup keluarganya, termasuk dalam hal pola pikir, wawasan maupun

tindakan konkrit dalam upaya membantu peningkatan ekonomi rumah tangganya.

Sehubungan dengan hal itu, maka tiga hal yang telah disebutkan di atas

yaitu analisis gender, peran LSM dan pemberdayaan perempuan memiliki benang

merah dimana program pembangunan yang dijalankan oleh berbagai pihak harus

melibatkan perempuan. Lantaran persoalan lingkungan hidup dan sumber daya

alam adalah persoalan perempuan karena merekalah yang langsung menanggung

akibat dari setiap perubahan yang terjadi di sekitarnya. Mereka yang akan paling

menderita jika lingkungan mengalami kerusakan.

1.6. Metode Pengumpulan Data

1.6.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi yang penulis pilih untuk melakukan penelitian ini adalah di desa

Senamat Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Penelitian dilakukan selama

enam bulan. Sejak awal Februari hingga Juli 2013. Desa Senamat Ulu merupakan

desa di kawasan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang secara

otomatis aspek kehidupan masyarakatnya tak bisa dilepaskan dari hutan.

Masyarakat di Senamat Ulu sendiri sudah sejak dulu penghidupannya bergantung

pada hutan. Pun demikian dengan perempuan yang sudah tak asing dengan hutan.

Sejak tahun 1990-an, desa ini sudah bersinggungan dengan berbagai

program kehutanan yang dibawa baik oleh pemerintah, pihak swasta, hingga

LSM. Alasan pemilihan wilayah ini karena desa ini merupakan daerah yang

banyak bersinggungan dengan berbagai program kehutanan dan lingkungan baik

33

yang di perkenalkan oleh pemerintah maupun oleh pihak lain. Sehingga

masyarakat sudah terbiasa dengan berbagai kegiatan dan program pembangunan.

Namun, meskipun telah mengenal berbagai program, perempuan Senamat

Ulu malah sebaliknya. Dalam perjalanan berbagai program yang datang dan pergi

di Senamat Ulu, perempuan belum banyak dilibatkan dalam program

pembangunan yang masuk. Hingga, pada tahun 2010 setelah skema Hutan Desa

(HD) mulai disosialisasikan pada masyarakat Senamat Ulu, perempuan mulai

dirangkul untuk mengelola HHBK dengan membuat kelompok kerajinan

anyaman perempuan.

Selain itu, wilayah ini sendiri sebenarnya bukan merupakan daerah

Demonstrative Activity (DA) REDD+ untuk propinsi Jambi. Namun, wilayah ini

sudah menjadi tempat sosialisasi “Prinsip, Kriteria, Indikator, Safeguards

Indonesia”. Proses Safeguard (kerangka pengamanan) diperlukan sebagai upaya

dini untuk memastikan bahwa sebuah program proyek REDD+ tidak melawan

tujuannya sendiri. Safeguard memastikan bahwa REDD+ tidak hanya mengurangi

pelepasan emisi dari deforestasi dan degaradasi hutan, tetapi pada saat yang sama

melindungi dan memberdayakan komunitas yang berkaitan dengan proyek

REDD+.

Dalam konteks ini perempuan menjadi salah satu pihak yang menjadi

subyek program lingkungan ini lewat kelompok kerajinan perempuan. Kelompok

kerajinan anyaman perempuan inilah yang akan menjadi alternatif salah satu

lembaga pengelola pendanaan REED+ di kemudian hari yang sedang

34

dipersiapkan. Dari kondisi tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui

bagaimana respon perempuan terhadap berbagai program pembangunan yang ada

di desa. Dari sini, baru kemudian akan dilihat bagaimana dinamika perempuan

dalam program.

Desa Senamat Ulu sendiri merupakan salah satu desa dalam Kawasan

Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) dengan luas 13.529,

40 ha berdasarkan SK Menhut No. 739/Menhut-II/2009 tanggal 19 Oktober

2009. Di sekitar hutan lindung ini terdapat beberapa desa yang jaraknya tidak

terlalu jauh dengan hutan. Saya melakukan pemetaan dan pengamatan di dua desa

di sekitar Hutan Lindung Bujang Raba. Yaitu Desa Senamat Ulu dan Desa Lubuk

Beringin yang jaraknya sekitar 15 km. Desa Lubuk Beringin sendiri memiliki

karakteristik yang hampir sama dengan desa Senamat Ulu. Bahkan masyarakat

Lubuk Beringin kebanyakan saling kenal dengan masyarakat di Senamat Ulu.

Kondisi ini memudahkan untuk melihat kondisi, perbedaan dan perubahan yang

terjadi di desa dalam berbagai bidang.

Kunjungan ke desa Lubuk Beringin tersebut saya lakukan untuk

mengetahui gambaran umum kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar Hutan

Lindung. Namun, saya hanya fokus pada satu desa yaitu desa Senamat Ulu,

karena program lingkungan yang melibatkan perempuan sedang berlangsung.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini saya melakukan pengumpulan data kualitatif yang

bersifat primer dan sekunder. Data primer yang saya kumpulkan dengan cara

observasi partisipasi dan wawancara mendalam. Sedangkan untuk data sekunder

35

diperoleh melalui dokumentasi. Observasi Partisipatif merupakan metode

pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung, menulis segala informasi

dan data serta hal-hal yang sesuai dengan masalah penelitian. Saya mengikuti

berbagai kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Mulai dari

mengambil getah karet, memanen padi dengan ani-ani, mencari ikan di sungai dan

kegiatan lainnya. Disamping itu saya juga ikut berpartisipasi dalam berbagai

kegiatan yang dilakukan dalam organisasi perempuan dalam hal ini kelompok

kerajinan. Mulai dari menganyam, mencari bahan baku hingga ikut serta

membantu menjual hasil kerajinan tersebut.

Hal ini perlu dilakukan karena dalam proses ini akan muncul relasi,

interaksi dan komunikasi yang intensif antara penulis dan responden untuk

meminimalisir kekeliruan pandangan antara keduanya sehingga penelitian

etnografi bisa dicapai. Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna

tindakan dari kejadian yang menimpa orang lain yang ingin kita pahami. Sistem

makna ini merupakan kebudayaan mereka. Etnografi selalu mengimplikasikan

teori kebudayaan. Kebudayaan merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang

digunakan orang untuk mengintepretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah

laku sosial (Spradley, 1997: 5).

Informan yang saya pilih adalah anggota masyarakat desa, baik laki-laki

maupun perempuan yang sudah menikah, maupun belum menikah. Untuk

informan perempuan saya melakukan wawancara dengan perempuan anggota

kelompok kerajinan anyaman dan perempuan yang bukan anggota. Wawancara

mendalam saya lakukan kepada anggota kelompok perempuan yang tergabung

36

dalam kelompok dan pengurus kelompok. Hal ini saya lakukan untuk mengetahui

respon dan tanggapan perempuan sendiri tentang kegiatan pemberdayaan

perempuan.

Sementara informan laki-laki yang saya pilih adalah anggota dan elit desa

serta para suami perempuan baik yang mengikuti kegiatan pemberdayaan maupun

tidak. Selain itu saya juga melakukan wawancara dengan stake holder dan tokoh

yang berkaitan REDD+ dan keberadaan hutan di Sekitar Senamat Ulu. Mulai dari

kepala dinas di kota kabupaten dan provinsi hingga kepala desa.

Wawancara yang saya lakukan tergantung dari kondisi saat melakukan

wawancara, yaitu wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam. Untuk

wawancara yang mendalam biasanya saya membuat janji dengan informan

beberapa hari sebelumnya. Sementara itu wawancara sambil lalu saya lakukan

saat perempuan dan laki-laki melakukan kegiatan sehari-hari.

Pada awal kedatangan saya di desa Senamat Ulu, saya datang bersama

dengan Warsi. Mereka memperkenalkan saya pada masyarakat dan perempuan di

Senamat Ulu. Pada awal penelitian saya banyak dianggap merupakan fasilitator

dari Warsi yang akan tinggal selama 6 bulan di sini. Sehingga dalam perjalanan

penelitian saya banyak dimintai pendapat tentang kegiatan perempuan. Bahkan

saya juga memfasilitasi beberapa kegiatan pemberdayaan lantaran tidak setiap hari

fasilitator dari Warsi tinggal di desa. Dalam penelitian ini saya juga membantu

memfasilitasi pertemuan-pertemuan dan kegiatan perempuan dan laki-laki yang

dilakukan oleh Warsi. Seperti FGD, Rapat dan sebagainya. Namun seiring

berjalannya waktu, saya menjelaskan bahwa posisi saya bukan bagian dari Warsi

37

namun sebagai mahasiswa yang sedang melakukan penelitian.

Setiap hari saya membuat catatan harian yang berupa hasil dari wawancara

dan observasi yang saya lakukan. Hal ini berguna untuk mengingatkan saya

berbagai kegiatan yang saya lakukan dan masyarakat lakukan selama penelitian

berlangsung. Selain catatan harian yang saya buat saya juga mencatat tentang

cerita berbagai kejadian yang disampaikan oleh para informan saya. Data ini

cukup penting dan menarik untuk melihat bagaimana proses perubahan yang

dialami oleh perempuan dari masa lalu hingga sekarang.

Pengumpulan data sekunder saya lakukan dengan kajian pustaka dan

mengumpulkan data dari berbagai tempat. Kajian pustaka dilakukan sebagai

pencarian data sekunder guna mendukung proses penelitian yang dilaksanakan,

terutama untuk mengetahui luas wilayah penelitian, dan data demografi lainnya.

Sementara itu, untuk pembahasan saya menggunakan analisis deskriptif.

Data yang dikumpulkan kemudian dipilah untuk digunakan secara sesuai agar

analisis yang dilakukan lebih dalam. Proses analisis data dilakukan sejak selama

pengumpulan data berlangsung. Data yang diperoleh kemudian diklasifikasi,

dianalisis, diinterpretasi dan dideskripsikan secara terus menerus sesuai dengan

topik, tema dan sub-sub tema dari permasalahan penelitian. Rangkaian makna

yang menjadi satuan pengetahuan atau sistem budaya, ditemukan setelah melewati

keseluruhan kegiatan analisis. Begitupun kesimpulan analisis dan representasi dari

kegiatan penelitian yang dilakukan, diperoleh pada tahap analisis (Spradley, 2007:

132-133).