bab virepository.unimal.ac.id/2105/1/bab 6.pdfpemiliknya. preskripsi berbeda dengan okupasi. dalam...

32
BAB VI NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapatmenghubungkan aspek-aspek negara dalam Hukum Internasional dengan benar. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menjelaskan pengertian pengakuan negara; 2. Menyebutkan pengertian suksesi negara; 3. Menjelaskan maksud dari yurisdiksi negara; 4. Memberikan gambaran umum tentang kedaulatan negara di laut, udara, dan ruang angkasa.

Upload: nguyendiep

Post on 18-Jun-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

BAB VI

NEGARA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)

Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapatmenghubungkan

aspek-aspek negara dalam Hukum Internasional dengan benar.

SASARAN BELAJAR (SB)

Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:

1. Menjelaskan pengertian pengakuan negara; 2. Menyebutkan pengertian suksesi negara; 3. Menjelaskan maksud dari yurisdiksi negara; 4. Memberikan gambaran umum tentang kedaulatan negara di

laut, udara, dan ruang angkasa.

Page 2: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

P O K O K B A H A S A N

PENGAKUAN

Masalah Pengakuan (Recognition) dalam Hukum Internasional merupakan suatu

persoalan yang cukup rumit karena melibatkan dua masalah sekaligus, yaitu masalah

hukum dan politik. Namun demikian, ada baiknya kita mencoba untuk memberikan

pengertian dari pengakuan itu sendiri. Menurut Komisi Arbitrasi, Konferensi

Perdamaian mengenai Yugoslavia, Pengakuan adalah “Suatu perbuatan berhati-hati

yang dapat dilakukan negara disaat yang dikehendakinya dan dalam bentuk yang

ditentukannya secara bebas.”

Sedangkan menurut Huala Adolf dalam bukunya Aspek-aspek Negara dalam

Hukum Internasional, menyebutkan bahwa pengakuan adalah “Tindakan politis suatu

negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek Hukum Internasional yang

mengakibatkan hukum tertentu.” Adapun fungsi dari pengakuan itu adalah untuk

memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara baru atau pemerintah

baru sebagai anggota masyarakat internasional.

PENGAKUAN DE FACTO DAN DE JURE

1. Pengakuan De Facto

Pengakuan de facto adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu

pemerintahan yang belum lagi sah secara konstitusional. Artinya pengakuan

tersebut diberikan oleh suatu negara kepada suatu pemerintahan baru, tetapi

masih ada keragu-raguan terhadap stabilitas dan kelangsungan hidup suatu negara

atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban

internasional. Pengakuan ini diberikan semata-mata didasarkan bahwa pemerintah

tersebut secara nyata berkuasa di dalam wilayahnya.

2. Pengakuan De Jure

Pengakuan de Jure dapat dianggap sebagai tindak lanjut dari pengakuan de

facto. Pengakuan de jure diberikan kepada suatu pemerintah baru apabila negara

tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadapnya. Adapun untuk mendapatkan

pengakuan de jure, suatu pemerintah baru harus memiliki tiga ciri, yaitu:

d) Efektivitas, artinya memiliki kekuasaan yang diakui di seluruh wilayah negara

tersebut;

e) Regularitas, artinya pemerintah tersebut berasal dari pemilihan umum atau

telah disahkan oleh konstitusi;

Page 3: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

f) Eksklusifitas, artinya pemerintah tersebut merupakan satu-satunya pemerintah

di negara baru tersebut dan tidak ada pemerintah tandingannya.

TEORI PENGAKUAN

1. Teori Konstitutif

Teori konstitutif berpendapat bahwa suatu negara menjadi subjek Hukum

Internasional hanya melalui pengakuan. Artinya, apabila telah mendapat

pengakuan maka negara baru tersebut akan dapat diterima sebagai anggota

masyarakat internasional dan karena itu akan diterima sebagai subjek Hukum

Internasional. Suatu negara akan dianggap telah lahir bila sudah ada pengakuan,

bila tidak ada pengakuan maka negara tersebut tidak dianggap telah lahir. Teori ini

dianut oleh Oppenheim, Lauterpacht, Chen, Anzilotti dan Hans Kelsen.

Ada dua alasan lahirnya teori ini. Pertama, jika kesepakatan yang menjadi dasar

berlakunya Hukum Internasional, maka tak ada negara atau pemerintah yang yang

diperlakukan sebagai subjek Hukum Internasional tanpa adanya kesepakatan dari

engara yang telah ada lebih dulu. Kedua, suatu negara atau pemerintah yang tidak

diakui, tidak mempunyai status hukum terhadap negara-negara yang tidak

mengakuinya.

2. Teori Deklaratif

Teori deklaratif lahir sebagai respon terhadap teori konstitutif. Menurut teori

ini, pengakuan hanya merupakan penerimaan suatu negara baru oleh negara-

negara lain. Pengakuan tidak menciptakan suatu negara baru karena negara itu lahir

sebagai fakta yang murni dan pengakuan hanyalah bentuk penerimaan fakta

tersebut. Teori ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa suatu negara memiliki

kemampuan dalam Hukum Internasional segera setelah negara tersebut lahir

berdasarkan fakta.

Dari dua teori tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam penerapannya

dewasa ini, teori pengakuan lebih dekat ke arah teori deklaratif. Artinya kelahiran suatu

negara adalah suatu peristiwa yang tidak ada kaitan langsung dengan Hukum

Internasional. Pengakuan yang diberikan kepada negara yang baru lahir hanya bersifat

politis, merupakan pengukuhan terhadap statusnya sebagai anggota masyarakat

internasional yang baru dengan segala hak dan kewajibannya sesuai dengan Hukum

Internasional.

BENTUK-BENTUK PENGAKUAN

1. Pengakuan Secara Terang-Terangan Dan Individual

Page 4: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Pengakuan ini diberikan oleh pemerintah atau organ yang berwenang di bidang

hubungan luar negeri. Pengakuan ini dapat diberikan dalam bentuk-bentuk yang

lazim digunakan, yaitu:

a. Nota diplomatik, surat pernyataan atau telegram;

b. Perjanjian internasional;

2. Pengakuan Secara Diam-Diam

Pengakuan diam-diam ini terjadi jika suatu negara mengadakan hubungan

dengan pemerintah atau negara baru dengan mengirimkan seorang wakil

diplomatik, mengadakan pembicaraan dengan pejabat-pejabat resmi ataupun

kepala negara setempat, dan membuat persetujuan dengan negara tersebut.

Dalam hubungan internasional, hubungan yang terjadi melalui kontak-kontak

antara dua negara melalui perundingan-perundingan tingkat duta besar tidak

mungkin terjadi kalau kedua negara satu sama lain tidak saling mengakui

eksistensinya.

3. Pengakuan Kolektif

Pengakuan kolektif dapat diberikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk deklarasi

bersama dalam suatu kelompok negara, dan bentuk pengakuan yang diberikan

melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi peserta dalam suatu

perjanjian multilateral.

4. Pengakuan Prematur

Pengakuan premature merupakan suatu pengakuan yang diberikan kepada

negara yang baru tanpa adanya kelengkapan unsure-unsur konstitutif yang harus

dimilikinya. Kasus pengakuan ini sering terjadi pada negara yang memisahkan diri

dari negara induknya. Pengakuan yang mendahului kelengkapan unsur-unsur

konstitutif ini merupakan suatu kecenderungan yang memberikan dorongan

kepada entitas yang baru untuk menjadi negara yang merdeka. Sering terjadi

pengakuan terhadap gerakan-gerakan pembebasan nasional sebagai negara oleh

negara-negara pendukungnya bahkan sebelum gerakan tersebut mencapai

kemerdekaannya. Pengakuan ini merupakan gambaran bahwa pengakuan yang

dibeirkan oleh negara terhdapa suatu negara lain atau pemerintah yang baru lebih

banyak bersifat politis dan diluar ketentuan Hukum Internasional.

AKIBAT HUKUM DARI RECOGNITION DAN NON RECOGNITION

Dengan diberikannya suatu pengakuan (recognition) kepada negara baru atau

pemerintah baru, maka akan didapatkan beberapa akibat hukumnya, yaitu:

a. Negara yang diakui dapat mengadakan hubungan-hubungan diplomatic

dengan negara yang mengakuinya;

Page 5: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

b. Negara tersebut menikmati kekebalan diplomatic di negara yang

mengakuinya;

c. Negara yang diakui dapat menuntut di wilayah negara yang diakui;

d. Negara yang diakui dapat mendapatkan harta benda yang berasal dari

penguasa terdahulu yang berada di wilayah negara yang mengakui;

e. Tindakan-tindakan negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya

tidak dapat diuji lagi;

f. Perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pemerintah terdahulu dapat

berlaku kembali.

Adapun akibat tidak diberikannya suatu pengakuan kepada suatu negara atau

pemerintah yang baru dapat memberikan beberapa akibat, yaitu:

a. Negara tersebut tidak dapat menuntut di dalam wilayah negara yang tidak

mengakuinya;

b. Negara tersebut tidak dapat mengadakan hubungan diplomatic yang tetap

dengan negara yang tidak mengakuinya;

c. Warga negaranya tidak dapat memasuki wilayah negara yang tidak mengakui

dengan menggunakan passport dari negara yang tidak diakui;

d. Perjanjian yang diadakan oleh pemerintah terdahulu menjadi beku.

PENGAKUAN NEGARA DAN PENGAKUAN PEMERINTAH

Pengakuan pemerintah adalah suatu pernyataan dari suatu negara bahwa negara

tersebut telah siap dan bersedia berhubungan dengan pemerintahan yang baru yang

diakui sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negara. Perbedaan antara

pengakuan negara dengan pengakuan pemerintah adalah:

a. pengakuan negara merupakan terhadap keberadaan negara baru yang telah

memenuhi unsur-unsur konstitutif suatu negara baru, sedangkan pengakuan

pemerintah adalah pengakuan terhadap pemerintah dari negara baru

tersebut sebagai organ yang bertindak untuk dan atas nama negara baru

tersebut;

b. pengakuan terhadap suatu negara apabila sudah diberikan sekali tidak

mungkin ditarik kembali, sedangkan pengakuan terhadap pemerintah masih

mungkin dapat ditolak atau dicabut sewaktu-waktu.

SUKSESI NEGARA

Page 6: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

PENGERTIAN

Secara harfiah, istilah Suksesi Negara (State Succession atau Succession of State)

berarti “penggantian atau pergantian negara”. Namun istilah penggantian atau

pergantian negara itu tidak mencerminkan keseluruhan maksud maupun kompleksitas

persoalan yang terkandung di dalam subjek bahasan state succession itu. Memang sulit

untuk membuat suatu definisi yang mampu menggambarkan keseluruhan persoalan

suksesi negara. Tetapi untuk memberikan gambaran sederhana, suksesi negara adalah

suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu

negara sehingga terjadi semacam “pergantian negara” yang membawa akibat-akibat

hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama atau negara yang “digantikan” disebut

dengan istilah Predecessor State, sedangkan negara yang “menggantikan” disebut

Successor State. Contohnya : sebuah wilayah yang tadinya merupakan wilayah jajahan

dari suatu negara kemudian memerdekakan diri. Predecessor state-nya adalah negara

yang menguasai atau menjajah wilayah tersebut, sedangkan successor state-nya adalah

negara yang baru merdeka itu. Contoh lain, suatu negara terpecah-pecah menjadi

beberapa negara baru, sedangkan negara yang lama lenyap. Predecessor state-nya

adalah negara yang hilang atau lenyap itu, sedangkan successor state-nya adalah

negara-negara baru hasil pecahan itu.

Pengertian suksesi negara dapat diklsifikasikan menjadi 2, yaitu:

(1) FACTUAL STATE SUCCESSION.

Dalam hal bagaimana suksesi negara itu benar-benar terjadi / kejadian-

kejadian atau fakta-fakta apa saja yang dapat digunakan sebagai indikator

telah terjadinya suksesi negara. Suatu negara diserap oleh satu negara lain.

Jadi disini terjadi penggabungan dua subyek HI. Misalnya penyerahan

Korea oleh Jepang tahun 1910. Suatu negara pecah menjadi beberapa

negara yang masing-masing memiliki kedaulatan sendiri-sendiri. Dalam ini

terjadi pemecahan suatu subyek HI. Misalnya pecahnya Columbia (1832)

menjadi Venezuela, Equador dan New Grenada. Pecahnya Uni Sovyet menjadi

beberapa negara merdeka (1991). Gabungan dari bentuk 1 dan 2, yaitu suatu

negara pecah menjadi beberpa negara yang kemudian diserap oleh negara-

negara disekitarnya. Polandia pecah menjadi beberapa bagian yang kemudian

diserap Rusia, Austria dan Prusia (1795). Lahirnya negara baru yang

sebelumnya merupakan wilayah negara lain atau merupakan jajahan negara

lain. Terjadinya penggabungan dua atau lebih subyek HI atau pemecahan satu

subyek HI menjadi beberapa subyek HI (secara disengaja).

(2) LEGAL STATE SUCCESSION.

Akibat-akibat hukum suksesi negara. Terutama mengenai pemindahan hak-

hak dan kewajiban-kewajiban dari negara yang telah kehilangan identitasnya

Page 7: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

itu kepada negara atau satuan lain yang menggantikannya. Dalam hal ini ada

2 pendapat, yaitu:

Pendukung common doctrine yang berpendapat bahwa semua hak dan

kewajiban dari negara yang digantikan beralih kepada negara yang

menggantikan.

Penolak common doctrine, yang berpendapat bahwa semua hak dan

kewajiban yang dimiliki suatu negara akan hilang bersamaan dengan

lenyapnya negara tersebut.

Kedua pendapat tersebut sama-sama tidak realistis. Pada kenyataannya

perubahan hak dan kewajiban itu pasti ada, walaupun tidak seluruhnya.

Suksesi negara dalam hubungannya dengan kekayaan negara. Kekayaan

negara yang meliputi gedung-gedung dan tanah milik negara, alat-alat

transport milik negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan di bank,

pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya beralih kepada negara pengganti.

Permasalahan suksesi negara merupakan salah satu bidang yang cukup sulit di

dalam hukum internasional. Pembahasan yang sering dilakukan adalah mengenai

bagaimana caranya suatu negara memperoleh kemerdekaan dan bagaimana kesatuan

itu memenuhi kriteria atau unsur-unsur hukum internasional agar dapat menjadi suatu

negara dan diakui oleh negara-negara lainnya.

Pada dasarnya ada dua cara untuk mendapatkan kemerdekaan sebagai suatu

negara baru. Pertama, adalah melalui cara-cara konstitusional yaitu melalui perjanjian

dengan negara yang mendudukinya. Kedua, adalah melalui cara-cara kekerasan senjata

dan cara-cara yang bertentangan dengan keinginan negara yang menduduki.

CARA-CARA SUKSESI

1. Occupation;

Okupasi atau pendudukan adalah pendudukan terhadap suatu wilayah (terra

nullius) yang bukan dan belum pernah dimiliki oleh suatu negara ketika

pendudukan terjadi. Okupasi bisa dilakukan melalui cara penemuan, yang

kemudian diikuti dengan pengawasan terhadapnya. Selain itu negara yang

menemukan harus mempunyai niat dan keinginan untuk bertindak sebagai

pihak yang berdaulat.

2. Annexation;

Aneksasi atau penaklukan adalah suatu cara pemilikan suatu wilayah

berdasarkan kekerasan. Saat ini, cara yang demikian sudah dilarang digunakan

oleh hukum internasional. Tetapi aneksasi dapat dilakukan hanya untuk maksud

dekolonialisasi. Negara-negara koloni atau jajahan dapat menggunakan senjata

Page 8: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

untuk emndapatkan kemerdekaannya apabila negara yang menduduki menolak

untuk memberikan kemerdekaan. Tindakan ini juga disebut sebagai perang

pembebasan (wars of liberation).

3. Akresi;

Akresi adalah suatu cara memperoleh suatu wilayah baru melalui proses alam

(geografis). Melalui proses ini suatu tanah atau wilayah baru terbentuk dan

menjadi bagian dari wilayah yang ada. Misalnya, pembentukan pulau di mulut

sungai atau perubahan arah suatu sungai yang menyebabkan tanah menjadi

kering yang sebelumnya dilalui oleh air.

4. Prescription;

Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu engara yang telah

didudukinya dalam jangka waktu yang lama dan dengan sepengetahuan

pemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak

dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah tersebut,

sementara preskripsi membutuhkan waktu yang lama untuk dapat ditetapkan

menjadi negara baru. Adapun syarat sahnya preskripsi adalah:

a. pemilikan tersebut harus memperlihatkan suatu kewenangan negara dan di

wilayah tersebut tidak ada negara yang mengklaimnya;

b. Pemilikan tersebut harus berlangsung secara damai dan tidak ada gangguan

dari pihak lain;

c. Pemilikan tersebut harus bersifat publik, yang diumumkan dan diketahui

oleh pihak lain;

d. Pemilikan tersebut harus berlangsung lama.

5. Cession;

Cession adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu negara ke negara

lain dan berlangsung dalam suatu perjanjian perdamaian setelah usainya

perang. Pengalihan ini biasanya dilakukan dalam bentuk perjanjian pengalihan

kedaulatan dari negara koloni kepada perwakilan penduduk asli. Satu prinsip

yang penting dalam Cession ini adalah bahwa pengalihan hak yang diserahkan

tidak boleh melebihi hak yang dimiliki oleh si pemilik. Cession dapat juga berlaku

dalam bentuk-bentuk lain, seperti pembelian Alaska oleh Amerika Serikat dari

Rusia tahun 1867. Cession juga dapat berlangsung melalui tukar menukar atau

pemberian wilayah tanpa adanya pembayaran ganti rugi.

6. Plebicite;

Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan penduduknya,

menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum, atau cara-cara

Page 9: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

lainnya yang dipilih oleh penduduk. Indonesia memperoleh dan akhirnya

kehilangan Timor Timur melalui cara ini.

AKIBAT HUKUM DARI SUKSESI NEGARA

1. Status Individu

Bila terjadi suksesi negara, secara prinsip negara pengganti memberikan

kewarganegaraannya kepada penduduk dari wilayah yang mengalami suksesi.

Namun ada dua cara yang dapat diberikan kepada penduduknya untuk menentukan

kewarganegaraannya, yaitu dengan cara kolektif atau plebisit, sedangkan yang

kedua adalah dengan cara individual, yaitu hak untuk memilih.

Sistem plebisit ini kemudian berubah menjadi sistem referendum, yaitu

menentukan pilihan untuk menerima atau menolak pemerintahan yang baru

tersebut. Sedangkan hak untuk memilih adalah hak yang diberikan kepada para

penduduk dari wilayah yang baru diduduki untuk memilih dalam jarak waktu

tertentu apakah akan menjadi warga negara baru atau tetap menjadi warga negara

yang lama. Pelaksanaan prinsip ini merupakan hasil dari perjanjian damai yang

dilakukan setelah ada pihak yang menang.

2. Barang-Barang Milik Negara Dan Hutang Publik

Praktek internasional selama ini telah menunjukkan bahwa negara baru akan

mewarisi barang-barang publik dari negara yang terpecah. Di dalam Konvensi Wina

tanggal 8 April 1983 dalam Pasal 10 dan 11, menerima peralihan tanpa kompensasi

kepada negara pengganti, terhadap barang-barang negara sebelumnya. Namun

demikian, barang-barang tersebut harus dibedakan, yaitu:

a. Barang-barang yang merupakan bagian dari milik pemerintah.

b. Pemindahan Arsip, yang dianggap mengikuti nasib wilayahnya, maka akan

diserahkan kepada negara yang mendudukinya, siapapun pemerintahnya.

c. Suksesi mengenai hutang negara, yang diatur dalam Konvensi Wina 1983

yang menyangkut hutang negara.

Ketentuan umumnya adalah pemindahan hutang negara kepada negara

pengganti dilakukan dalam proporsi yang adil terutama dengan memperhitungkan

benda-benda, hak-hak dan kepentingan yang dipindahkan kepada negara

pengganti. Tetapi bila suksesi terjadi akibat dekolonialisasi maka tidak akan

dibebankan hutang sama sekali, kecuali ada pernyataan yang jelas dari negara

tersebut.

3. Perjanjian Internasional

Page 10: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Praktek internasional telah menerima prinsip bahwa perjanjian-perjanjian

politik tidak dapat dipindahkan. Misalnya perjanjian aliansi militer, konvensi

mengenai status netralitas atau mengenai bantuan timbal balik negara. Untuk

perjanjian yang memiliki nilai hukum kebiasaan tetap berlaku. Contohnya

perjanjian-perjanjian teritorial yang berkaitan dengan batas dan jalur komunikasi

negara. Selanjutnya untuk perjanjian yang dibuat untuk kepentingan umum

masyarakat internasional yang disebut perjanjian hukum secara umum dapat

dipindahkan dari negara sebelumnya kepada negara pengganti.

Konvensi Wina 1978 mengkodifikasikan sebagian besar dari prinsip-prinsip yang

ada dalam hukum kebiasaan tersebut di atas. Menurut Konvensi, suksesi negara

tidak akan merubah status tapal batas dan status teritorial lainnya.

Suksesi negara harus dapat dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi

negara bersifat eksternal sedangkan suksesi pemerintah bersifat internal. Terhadap

suksesi pemerintah berlaku prinsip kontinuitas yaitu apabila telah terjadi

perubahan pemerintah atau ketatanegaraan, negara tersebut tetap terikat pada

hak-hak dan kewajiban internasionalnya. Pemerintah yang baru tetap terikat

terhadap hak dan kewajiban pemerintah lama.

YURISDIKSI

PENGERTIAN YURISDIKSI

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang,

benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar

kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan negara

terhadap urusan dalam negeri pihak lain.

Yurisdiksi muncul dari beberapa tindakan yang dilakukan oleh:

a. Legislatif, yaitu kekuasaan pengadilan untuk menetapkan atau membuat

peraturan atau keputusan-keputusan;

b. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang, benda ataupun

peristiwa dapat mentaati peraturan yang berlaku;

c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan suatu

peristiwa hukum.

Walaupun yurisdiksi erat kaitannya dengan wilayah, namun hal ini tidaklah

mutlak, karena ada kalanya yurisdiksi untuk mengadili suatu perkara atau tindak pidana

itu dilakukan di luar negeri. Selain itu ada beberapa subjek hukum, benda atau peristiwa

tertentu kebal terhadap yurisdiksi suatu negara meskipun mereka berada di dalam

Page 11: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

negara tersebut. Misalnya seorang diplomat atau konsulat yang sedang bertugas di

negara lain.

Yurisdiksi dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu yurisdiksi perdata dan yurisdiksi

pidana. Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan suatu negara

terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan, baik nasional maupun

internasional (hukum perdata internasional). Sedangkan yurisdiksi pidana adalah

kewenangan pengadilan suatu negara terhadap suatu perkara-perkara yang

menyangkut kepidanaan, baik dengan unsur nasional (pidana nasional) maupun

internasional (hukum pidana internasional).

1. Prinsip Teritorial

Menurut prinsip teritorial, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap

kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya. Suatu negara harus

memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda-benda dan perkara-perkara

pidana dan perdata dalam batas-batas teritorialnya sebagai tanda negara tersebut

telah berdaulat.

Prinsip ini terbagi dua yaitu prinsip teritorial subjektif dan prinsip teritorial

objektif. Prinsip teritorial subjektif merupakan prinsip yang mendasarkan kepada

tempat suatu peristiwa hukum mulai dilakukan, sedangkan prinsip teritorial

objektif adalah berdasarkan dimana tempat peristiwa hukum itu diakhiri atau

diselesaikan.

Prinsip ini dapat diberlakukan terhadap:

a. Hak Lintas di laut teritorial;

b. Prinsip teritorial terhadap kapal berbendera asing di laut teritorial;

c. Prinsip teritorial di pelabuhan yang disinggahi oleh kapal asing;

d. Terhadap orang asing;

e. Terhadap pelaku tindak pidana;

Adapun pengecualian prinsip teritorial ini dapat diberlakukan terhadap:

a. Negara dan kepala negara asing;

b. Perwakilan diplomatik dan konsuler;

c. Kapal pemerintah negara asing;

d. Angkatan bersenjata negara asing;

e. Organisasi internasional.

2. Prinsip Personal

Menurut prinsip personal ini, suatu negara dapat mengadili warga negaranya

terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Yurisdiksi

dengan prinsip nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu:

a. Yurisdiksi dengan prinsip personal aktif;

Page 12: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap warga

negaranya yang melakukan tindak pidana di luar negeri. Untuk mengadilinya,

orang tersebut harus diekstradisi terlebih dahulu.

b. Yurisdiksi dengan prinsip personal pasif;

Menurut prinsip ini, suatu negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili orang

asing yang melakukan tindak pidana terhadap warga negaranya di luar negeri.

3. Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan

yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri

yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan

kemerdekaannya. Misalnya adanya komplotan yang ingin menggulingkan

pemerintah, menyelundupkan mata uang asing, spionase, atau pelanggaran

imigrasi.

Penerapan prinsip perlindungan ini dapat dilihat dari yurisdiksi negara pantai

di jalur laut tambahan dalam hukum laut internasional. Di zona tambahan ini,

negara pantai mempunyai hak untuk melakukan pengawasan untuk:

a. Mencegah pelanggaran peraturan tentang bea cukai, fiscal, imigrasi dan

kesehatan di dalam wilayahnya atau laut teritorial.

b. Menghukum pelanggaran peraturan tersebut di atas yang dilakukan di dalam

wilayahnya atau laut teritorialnya.

4. Prinsip Universal

Menurut prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili tindak

kejahatan tertentu. Prinsip ini dapat diterima oleh semua masyarakat internasional

karena tindakan tersebut dianggap dapat mengancam masyarakat internasional

keseluruhan. Selain itu negara juga mempunyai hak dan kewajiban untuk

menghukum pelakunya. Kejahatan-kejahatan yang dapat diberlakukan dengan

prinsip universal adalah kejahatan pembajakan di laut dan kejahatan perang.

YURISDIKSI PADA PESAWAT UDARA

Ketentuan yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam pesawat udara,

dengan ketentuan:

a. Kejahatan itu dilakukan di wilayah negaranya;

Page 13: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

b. Kejahatan itu dilakukan terhadap atau di atas pesawat udara yang terdaftar di

negaranya;

c. Pesawat tempat terjadinya kejahatan tersebut mendarat di wilayahnya dan si

pelaku kejahatan masih berada di dalam pesawat;

d. Kejahatan dilakukan di atas pesawat yang di sewa tanpa awaknya dan

kedudukan kantor tempat pesawat itu disewa berada di dalam wilayahnya, atau

pemiliknya tinggal di wilayah negaranya.

TANGGUNG JAWAB NEGARA

PENGERTIAN

Yang menjadi latar belakang munculnya tanggung jawab negara dalam hukum

internasional adalah tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya

tanpa menghormati hak-hak negara lain. Karena itu, suatu negara dapat dimintakan

pertanggungjawabannya untuk tindakan-tindakan melawan hukum atau kelalaiannya.

Menurut Shaw, yang menjadi faktor penentu dalam prinsip tanggung jawab adalah

adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara, adanya

suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional, serta

adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar

hukum atau kelalaian tersebut.

MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB NEGARA

1. Tanggung Jawab Perbuatan Melawan Hukum

Tanggung jawab perbuatan melawan hukum dapat muncul dari setiap

kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing dalam wilayahnya atau

wilayah negara lain. Hal ini bisa timbul karena adanya eksplorasi ruang angkasa,

eksplorasi nuklir, dan kegiatan-kegiatan lintas batas nasional.

2. Pelanggaran Perjanjian Internasional

Suatu negara juga dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap

pelanggaran perjanjian internasional. Hal ini bisa dilakukan terhadap suatu negara

manakala ia melanggar suatu perjanjian atau kontrak. Untuk pelanggaran terhadap

perjanjian yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap

negara lainnya. Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran

Page 14: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

semacam ini merupakan kelalaian suatu negara yang sangat serius, yang akan

mengurangi kepercayaan negara-negara lain kepadanya.

Untuk pelanggaran terhadap kontrak yang diadakan antara suatu negara

dengan orang atau pengusaha asing untuk tujuan-tujuan tertentu, pelanggaran

dapat saja terjadi pada salah satu pihak. Biasanya pejabat negara yang

berhubungan dengan kontrak tersebut melakukan suatu pelanggaran, yang biasa

disebut sebagai ultra vires, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan melebihi

kapasitas atau wewenangnya. Tindakan ini biasanya terjadi dalam bidang hukum

perjanjian. Walaupun pelanggaran ini dilakukan oleh si pejabat, namun negaralah

yang harus bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

3. Ekspropriasi

Hal ini merupakan bentuk pengambilalihan perusahaan asing (milik negara

penjajah) yang berupa perusahaan-perusahaan dagang. Tindakan ini biasanya

dilakukan sebagai salah satu cara negara memperbaiki dan memajukan

perekonomiannya. Pengambilalihan suatu perusahaan asing adalah suatu

perbuatan pelanggaran hukum. Namun ada beberapa hal yang memberikan

kemungkinan untuk dilaksanakannya pengambilalihan tersebut, yaitu:

a. Tidak dilaksanakan hak-hak pemilikan perusahaan oleh negara yang

bersangkutan;

b. Untuk kepentingan umum;

c. Diberikannya ganti rugi yang pantas;

d. Perlunya nondiskriminasi terhadap tindakan ekspropriasi.

UPAYA HUKUM UNTUK MEMPEROLEH KOMPENSASI ATAU

PEMULIHAN HAK

Dalam hal adanya nasionalisasi besar-besaran dalam rangka pemulihan dan

perombakan struktur ekonomi sosial secara menyeluruh dari engara yang bekas

dijajah, maka tidak dapat diberikan ganti rugi yang sifatnya “Prompt, adequate and

effective”, tetapi cukup dengan nilai ganti rugi “lump sum” yang nantinya akan

dibagikan kepada warga negara korban yang dinasionalisasi tersebut.

Kompensasi dapat berupa ganti rugi dalam bentuk uang, atau ganti rugi dalam

bentuk permintaan maaf, yang biasanya diminta untuk ganti rugi non materiil atau

moral suatu negara.

Ganti rugi dalam bentuk uang dapat berupa :

a. Penggantian biaya pada waktu keputusan pengadilan dikeluarkan;

b. Kerugian tak langsung;

Page 15: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

c. Hilangnya keuntungan yang diharapkan;

d. Pembayaran terhadap kerugian atas bunga yang hilang karena tindakan

melanggar hukum tersebut.

KEDAULATAN NEGARA

KEDAULATAN TERITORIAL

Kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam

melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Kedaulatan juga memiliki dua cirri

yaitu kedaulatan itu merupakan syarat hukum untuk adanya suatu negara dan negara

yang sudah berdaulat artinya negara tersebut sudah merdeka.

Kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara

untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal kegiatan

tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Berdasarkan konsep Hukum

Internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu:

i. Aspek ekstern kedaulatan, artinya hak bagi setiap negara untuk secara bebas

menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok-kelompok

lain tanpa kekangan, takanan atau pengawasan dari negara lain.

ii. Aspek intern kedaulatan, artinya hak atau kewenangan eksklusif suatu negara

untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga tersebut,

dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya.

iii. Aspek teritorial kedaulatan, artinya kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki

oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah

tersebut.

Selain itu kedaulatan juga mempunyai pengertian positif dan negatif.

Pengertian positif maksudnya adalah berkaitan dengan sifat hak eksklusif wewenang

suatu negara terhadap wilayah dan kekayaan alamnya. Sedangkan pengertian negatif

kedaulatan teritorial adalah kewajiban untuk tidak mengganggu hak-hak berdaulat

negara lain.

Page 16: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

KEDAULATAN ATAS WILAYAH PERAIRAN

1. Konferensi PBB III Tentang Hukum Laut

Pada konferensi yang diadakan dari Desember 1973 sampai September 1982,

dengan jumlah 12 kali sidang ini dihasilkan suatu karya hukum terbesar masyarakat

internasional dalam bidang hukum laut yaitu Konvensi PBB tentang Hukum Laut

Internasional, yang diterima pada tanggal 30 April 1982 di New York. Konferensi ini

merupakan konferensi terbesar karena dihadiri oleh lebih 160 negara, dan 5000

anggota delegasi dengan bermacam latar belakangnya.

Hal ini juga merupakan keberhasilan Indonesia karena rancangan atau konsep

negara kepulauan yang diajukannya diterima dalam salah satu bab khusus

mengenai negara kepulauan. Konvensi ini telah diratifikasi oleh Indonesia melalui

Undang-undang No. 17 tanggal 31 Desember 1985. Kemenangan ini merupakan

kemenangan bagi seluruh masyarakat internasional karena telah ebrhasil

mengakomodir berbagai kepentingan antara negara-negara maju dengan negara-

negara berkembang.

Adapun rezim hukum laut dapat dilihat pada skema berikut:

2. Laut Lepas

Page 17: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

a. Pengertian dan Prinsip Kebebasan

Pasal 86 Konvensi 1982 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan laut lepas

adalah ”Semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif,

dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam

perairan kepulauan suatu negara kepulauan.”

Adapun prinsip yang terkandung di dalam laut lepas adalah prinsip kebebasan.

Pengertian dari prinsip kebebasan adalah ”Semua negara, baik berpantai ataupun

tidak berpantai, dapat menggunakan laut lepas dengan syarat mematuhi

ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konvensi atau Hukum Internasional

lainnya.”

Adapun kebebasan tersebut meliputi:

i. kebebasan berlayar;

ii. kebebasan penerbangan;

iii. kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan pipa di bawah laut, dengan

mematuhi ketentuan Konvensi;

iv. kebebasan untuk membangun pulai buatan atau instalasi lainnya;

v. kebebasan menangkap ikan;

vi. kebebasan riset ilmiah.

3. Status Hukum Kapal-Kapal Di Laut Lepas

Untuk menentukan status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka hal

terpenting adalah adanya wewenang eksklusif negara bendera. Artinya tiap-tiap

kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar

kapal-kapal itu dapat memakai bendera negara tersebut.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah adanya pembedaan antara kapal publik

dengan kapal swasta. Pembedaan didasarkan kepada bentuk penggunaannya

bukan pada kualitas pemilik kapal-kapal tersebut. Kapal-kapal publik adalah kapal

yang digunakan untuk dinas pemerintah dan bukan untuk tujuan swasta. Contoh

kapal publik adalah kapal perang, kapal logistik pemerintah, kapal riset ilmiah,

meteorology, dan kapal pengawasan pantai. Selain itu ada juga kapal organisasi

internasional yang dikategorikan ke dalam kapal publik. Selain kapal publik, ada juga

kapal dagang atau niaga, yang ditentukan dari tujuan penggunaannya. Jadi

walaupun kapal itu milik pemerintah, tetapi digunakan untuk kepentingan swasta,

misalnya disewa, maka kapal tersebut tetap dianggap sebagai kapal swasta atau

niaga.

Page 18: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

4. Pengawasan Di Laut Lepas

Pengawasan di laut lepas dilakukan dalam dua bagian, yaitu pengawasan umum

dan pengawasan khusus. Pengawasan umum terdiri dari pengawasan biasa,

inspeksi dan tindakan kekerasan untuk menjamin keamanan umum lalu lintas laut.

Berdasarkan wewenang absolut, kapal publik hanya tunduk kepada kapal perang

negaranya. Sedangkan semua kapal perang memiliki wewenang terhadap semua

kapal swasta negara lain. Jadi tiap kapal mempunyai wewenang untuk mengetahui

kebangsaan suatu kapal dengan meminta kapal tersebut mengibarkan benderanya.

Pengawasan khusus meliputi beberapa hal, diantaranya pemberantasan budak

belian, bajak laut, pengawasan penangkapan ikan, pengawasan pemasangan pipa

dan kabel bawah laut, pemberantasan pencemaran laut, dan pengawasan untuk

kepentingan sendiri negara-negara.

Di laut lepas juga terdapat hak pengejaran seketika yang memberikan

wewenang kepada negara untuk dapat mengejar, menangkap dan membawa ke

pelabuhannya suatu kapal swasta asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut

wilayah atau di perairan pedalamannya.

5. Landas Kontinen

a. Pengertian Landas Kontinen

Pasal 76 Konvensi menyebutkan bahwa landas kontinen merupakan

perpanjangan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen,

atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut

wilayah diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak

tersebut.

Jadi berdasarkan ketentuan Pasal 76 Konvensi tahun 1982, lebar landas

kontinen terbagi dua, yaitu:

- untuk negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya kurang dari

200 mil, lebar landas kontinen negara tersebut diperbolehkan sejauh

200 mil dari pantai;

- untuk negara-negara yang pinggiran luar tepi kontinennya lebih lebar

dari 200 mil dari garis pangkal dapat memperoleh landas kontinen

sejauh pinggiran luar tepi kontinen tersebut.

Batas luar landasan kontinen tidak akan melebihi 350 mil laut dari garis

pangkal atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman

(isobath) 2.500 meter. Jadi batas-batas terluar landas kontinen menurut

Page 19: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Konvensi 1982 adalah tepi terluar dari tepian kontinen apabila tepi terluarnya

lebih dari 200 mil, sedangkan bila tepi terluar kontinen tidak mencapai 200 mil,

maka lebar landas kontinen adalah 200 mil laut diukur dari garis pangkal yang

digunakan untuk mengukur lebar laut wilayah.

b. Delimitasi Landas Kontinen

Di dalam Pasal 83 Konvensi 1982 disebutkan secara khusus bahwa

penetapan garis batas landas kontinen antara negara yang pantainya

berhadapan atau berdampinagan harus dilakukan dengan persetujuan atas

dasar Hukum Internasional. Kepada kedua negara didiwajibkan membuat

perjanjian bilateral mengenai batas-batas maritime mereka. Tetapi bila belum

ada atau tidak ada perjanjian diantara keduanya, maka akan digunakan garis

tengah atau median line yang membagi daerah dengan sama rata.

c. Wewenang di Landas Kontinen

Wewenang yang dimiliki atas landas kontinen adalah:

i. hak-hak berdaulat atas tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam;

ii. Kalau negara pantai tidak melakukan eksplorasi atau eksploitasi di landas

kontinennya, maka negara lain tidak boleh menggantikannya, kecuali ada

persetujuan yang nyata dari negara pantai;

iii. Sumber daya yang diekploitasi dan eksplorasi adalah mineral dan sumber

alam non hayati lainnya di dasar laut dan tanah di bawahnya dengan

organisme hidup sejenis sedimen pada dasar laut;

iv. Hak negara pantai tidak boleh menghalangi jalur laut dan kebebasan negara

lain yang diberikan oleh Konvensi;

v. Negara pantai berhak untuk membuat terowongan dan melakukan

pengeboran untuk semua tujuan di landas kontinennya;

vi. Negara lain berhak memasang kabel dan pipa di bawah laut, dengan ijin dari

negara pantai, dengan tidak mengganggu kabel atau pipa yang sudah ada.

6. Zona Ekonomi Eksklusif

a. Pengertian

Zona ekonomi eksklusif dapat diartikan dari kata-katanya, yaitu zona artinya

sebagai suatu jalur atau wilayah laut yang berjarak 200 mil diukur dari garis

pangkal. Ekonomi artinya pada jalur itu terdapat kekayaan alam yang diberikan

pada negara pantai untuk kemakmuran kehidupan bangsanya. Kekayaan alam

Page 20: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

yang terkandung di dalamnya adalah kekayaan ikan-ikan, binatang laut, dan

tumbuhan laut, bahan-bahan tambang, dan pembagkit tenaga di lautan

(gelombang laut dan arus laut). Sedangkan pengertian Eksklusif adalah negara-

negara lain tidak boleh mengambil kekayaan alam di laut negara yang

bersangkutan, kecuali ada izin resmi dari negara yang bersangkutan. Larangan

ini hanya berlaku terhadap kekayaan alamnya saja, tidak termasuk jalur lautnya.

b. Delimitasi

Delimitasi pada zona ekonomi eksklusif sama dengan delimitasi pada landas

kontinen yaitu melalui perjanjian bilateral dan ditentukan dengan prinsip

keadilan.

c. Wewenang

Pasal 56 Konvensi menyebutkan wewenang negara pantai untuk keperluan

eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik

hayati maupun nonhayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut

dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan

eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut. Selain itu, negara-negara

pantai juga memiliki wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan yang

dianggap perlu seperti pemeriksaan, penangkapan ikan-ikan maupun

melakukan proses peradilan terhadap kapal-kapal yang melanggar ketentuan-

ketentuan yang dibuat negara pantai.

7. Laut Wilayah

a. Pengertian

Menurut Konvensi 1982, laut wilayah adalah suatu jalur laut selebar 12 mil,

yang berbatasan dengan daratan, atau perairan pedalaman dalam hal suatu

negara kepulauan, dimana negara pantai berdaulat penuh di atasnya.

b. Lebar dan Delimitasi

Pasal 3 Konvensi 1982 menyebutkan bahwa setiap negara berhak

menetapkan lebar laut wilayahnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12

mil laut, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan konvensi.

Page 21: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Dengan demikian jelas lebar laut wilayah yang sudah disepakati adalah 12 mil,

walaupun masih ada sekitar 12 negara yang mengklaim melebihi dari 12 mil.

Delimitasi laut wilayah pada Konvensi 1982 sama dengan Konvensi Jenewa

1958. Perumusan aturan delimitasi tentang laut wilayah dalam Konvensi 1982

menekankan pada prinsip garis tengah (median line) dalam menetapkan garis

batas laut wilayah kecuali ada alasan hak historis atau keadaan lain. Dalam hal

pantai negara tersebut letaknya berhadapan atau berdampingan dengan

negara lain, kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut wilayah

antara kedua negara adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari

titik-titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut wilayah masing-

masing negara diukur. Ketentuan ini tidak berlaku bila ada alasan historis atau

keadaan khusus lainnya yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut

wilayah antara kedua negara.

c. Wewenang

Dalam Pasal 2 ayat (2) Konvensi 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan

suatu negara pantai meliputi ruang udara di atas laut wilayah serta dasar laut

dan lapisan tanah di bawahnya. Artinya negara pantai memiliki kedaulatan

penuh terhadap laut wilayah, udara dan tanah di bawahnya. Selain itu

ditentukan juga dalam Pasal 25 mengani wewenang lain yang dimiliki negara

pantai di laut wilayah yaitu mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam

laut wilayahnya untuk mencegah lintas yang tidak damai; mempunyai hak untuk

mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran

apapun terhadap persyaratan yang telah ditentukan bagi masuknya kapal ke

perairan pedalaman atau untuk melakukan persinggahan di pelabuhan;

menangguhkan sementara bagian tertentu laut wilayahnya bagi lintas damai

kapal asing apabila penangguhan tersebut sangat diperlukan untuk

perlindungan keamanannya. Ada juga wewenang untuk melaksanakan kegiatan

pengawasan terhadap kapal-kapal asing dan pengawasan di bidang bea dan

cukai.

8. Konsepsi Negara Kepulauan Republik Indonesia

a. Deklarasi Djuanda

Dalam Deklarasi Djuanda disebutkan bahwa:

Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-

pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik

Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-

bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia

Page 22: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

dan dengan dmeikian merupakan bagian dari perairan nasional yang

berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia.

Lalu lintas damai di perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin

selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan

keselamatan Negara Republik Indonesia. Penentuan batas laut teritorial

yang lebarnya 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik

terluar dari pulau-pulau Negara Republik Indonesia.

b. Sistem Penarikan Garis Pangkal

Sistem penarikan garis pangkal lurus kepulauan adalah garis-garis lurus yang

menghubungkan titik-titik terluar pada garis air terendah pulau-pulau dan

karang-karang yang terluar dari kepulauan Indonesia. Ada juga penarikan garis

pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang

menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di

dekat sepanjang pantai.

c. Laut Wilayah

Laut wilayah Indonesia ialah lajur laut selebar 12 mil laut yang garis luarnya

diukur tegak lurus atau garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari

garis-garis lurus yang menghubungkan titik terluar pada garis air rendah

daripada pulau atau bagian pulau terluar dalam wilayah Indonesia dengan

ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan

negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, garis batas laut

ditarik pada tengah selat (median line).

d. Perairan Pedalaman

Sesuai dengan Pasal 50 Konvensi 1982, negara nusantara dapat menarik

garis-garis penutup untuk menetapkan perairan pedalaman. Laut pedalaman

adalah laut yang terletak pada sisi darat garis penutup, pada sisi laut dari garis

air terendah. Perairan pedalaman Indonesia ialah semua perairan yang terletak

pada sisi dalam dari garis dasar. Lalu lintas pada perairan pedalaman Indonesia

terbuka bagi kenderaan asing.

Page 23: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

KEDAULATAN ATAS RUANG UDARA DAN RUANG ANGKASA

Mengenai kedaulatan negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn

mengemukakan sejumlah teori yaitu:

a. berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti di lautan lepas;

b. yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki diatas bumi dengan

status udara di atasnya yang bebas seperti di laut lepas;

c. seluruh ruang udara di atas negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap

sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua

pesawat udara yang terdaftar di negara-negara sahabat;

d. kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas

ketinggian.

Menurut praktek dan perkembangan yang terjasi selama Perang Dunia I, maka

status ruang udara menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh

dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan laut wilayah. Berbeda

dengan hukum laut, pada hukum udara tidak dikenal hak lintas damai melalui ruang

udara nasional. Yang ada hanya pemberian izin untuk melakukan lintas udara, baik

secara unilateral, bilateral maupun multilateral dengan negara lain.

1. Hukum Udara

a. Konvensi Paris 1919

Yang menjadi sumber hukum udara adalah Konvensi Paris 13 Oktober 1919

mengenai Navigasi Udara. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 11 Juli 1922 dan

pada tahun 1939 telah mengikat sebanyak 29 negara.

Page 24: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Konvensi 1919 dengan tegas menerima prinsip kedaulatan nasional. Dalam

Pasal 1 Konvensi ditegaskan kedaulatan penuh dan eksklusif negara-negara peserta

terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Ruang udara tunduk kepada kedaulatan

negara-negara dimana saja udara itu membawahi daratan dan laut wilayahnya.

Tiap-tiap negara pihak pada Konvensi berjanji untuk memberikan hak lintas

damai pesawat-pesawat udara negara pihak lain di atas wilayahnya sesuai syarat-

syarat yang dimuat dalam Konvensi, jika dalam masa damai. Namun pemberian hak

ini dapat dibatasi dengan alasan militer atau kepentingan keamanan publik.

Konvensi 1919 hanya berlaku untuk masa damai, bila datang masa berperang, maka

negara-negara bebas untuk menentukan pemberian izin kepada negara lain untuk

melintasi ruang udaranya.

Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan

internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Menurut Konvensi

sistem kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua pesawat udara harus

mempunyai satu kebangsaan. Jadi kebangsaan suatu pesawat udara akan

ditentukan oleh kewarganegaraan pemiliknya.

b. Konvensi Chicago 1944

Dalam Konvensi ini dihasilkan pengakuan terhadap lima kebebasan udara, yaitu:

i. dua kebebasan dasar yaitu :

a) hak lintas damai

b) hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan

reparasi atau perbaikan

ii. tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial

yaitu :

a) hak untuk menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan

barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat

udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut;

b) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju

wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara

tersebut;

c) hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua

wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara

pihak lainnya.

Konvensi ini juga mendirikan suatu organisasi dengan nama International Civil

Aviation Organization (ICAO), suatu organisasi teknik yang bertujuan untuk

menyeragamkan ketentuan navigasi udara.

Page 25: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

2. Hukum Angkasa Luar

Angkasa luar terutama tunduk kepada suatu rejim internasional yang ditandai

oleh pelaksanaan dua prinsip yaitu tidak dapat dimiliki dan kebebasan penggunaan,

namun kebebasan penggunaan ini dibatasi oleh beberapa ketentuan.

Prinsip tidak dapat dimiliki tercantum dalam Deklarasi mengenai Ruang Angkasa

Luar tahun 1963, dan ditegaskan dalam Pasal II Perjanjian Ruang Angkasa Luar

tanggal 2 Januari 1967 yang berbunyi:

“Ruang angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa lainnya

tidak dapat dijadikan milik nasional baik melalui pernyataan kedaulatan,

penggunaan ataupun pendudukan maupun melalui cara lain apapun.”

Prinsip tidak boleh memiliki menyebabkan ruang angkasa luar digunakan secara

bebas oleh semua negara tanpa perbedaan dan atas kesamaan yang adil.

Kebebasan ini adalah sama dengan kebebasan di laut lepas, artinya akses ke

angkasa luar adalah bebas dan kegiatan-kegiatan spasial yang dilakukan di sana

terutama riset ilmiah tidak memerlukan otorisasi negara-negara yang berada di

bawahnya.

Adapun batasan-batasan terhadap kebebasan tersebut adalah:

a. kegiatan spasial yang dilakukan harus sesuai dengan Hukum Internasional

termasuk Piagam PBB;

b. Tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan

internasional.

R I N G K A S A N

1. Pengertian pengakuan negara;

Menurut Komisi Arbitrasi, Konferensi Perdamaian mengenai Yugoslavia, Pengakuan

adalah “Suatu perbuatan berhati-hati yang dapat dilakukan negara disaat yang

dikehendakinya dan dalam bentuk yang ditentukannya secara bebas. Sedangkan

menurut Huala Adolf dalam bukunya Aspek-aspek Negara dalam Hukum

Internasional, menyebutkan bahwa pengakuan adalah “Tindakan politis suatu

negara untuk mengakui negara baru sebagai subjek Hukum Internasional yang

mengakibatkan hukum tertentu.”

2. Pengertian suksesi negara;

Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian

kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam “pergantian negara”

yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. Negara yang lama

Page 26: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

atau negara yang “digantikan” disebut dengan istilah Predecessor State,

sedangkan negara yang “menggantikan” disebut Successor State.

3. Maksud dari yurisdiksi negara;

Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang,

benda atau peristiwa hukum. Yurisdiksi merupak refleksi dari prinsip dasar

kedaulatan negara, kesamaan derajat negara, dan prinsip tidak campur tangan

negara terhadap urusan dalam negeri pihak lain.

4. Gambaran umum tentang kedaulatan negara di laut, udara, dan ruang angkasa.

Kedaulatan juga merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara

untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal

kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Internasional. Terhadap

wilayah laut, terdapat rejim hukum laut yang terdiri dari kedaulatan di laut

teritorial, Zona Tambahan, ZEE, Landas Kontinen dan Laut Lepas. Wilayah Udara

terdiri dari kebebasan dasar dan kebebasan komersial. Sedangkan wilayah luar

angkasa terkandung 2 prinsip dasar, bebas dan tidak dapat dimiliki.

L A T I H A N

Mahasiswa harus mendiskusikan dalam kelompok masing-masing tentang peran

penting negara dalam perkembangan Hukum Internasional. Bagaimana peran

negara dibandingkan dengan organisasi internasional?

D A F T A R P U S T A K A

Adolf Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, 1996

Agrawala, S.K., (eds.) Essays on the Law of Treaties. Orient Longman: New Delhi, 1972.

Akehurst, Michael, A Modern Introduction to International Law, 7th edition, Peter Malanczuk, Routledge, New York, 1997

AM.Wahyudidjafar, Judicial Review: Sebuah Pengantar, http://wahyudidjafar.wordpress.com/

Page 27: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Aust, Anthony, "Modern treaty law and practice", Cambridge University Press, 2000

B. Conforti & A. Labella, Invalidity and Termination of Treaties: the Role of National Courts, EJIL 1, 1990

Bennet, Le Roy. International Organizations, Prentice Hall, Inc. USA, 1995

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, 2003, Alumni, Bandung

Bowett, D.H, The Law of International Institutions, Stevens, London, 1982

Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985

Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, 1990

-----------------, Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, 1974.

Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.

Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989

Churchill, R.R., dan Lowe, A.V. The Law of the Sea, 3th edition, Manchester University Press, 1999

Charter of the United Nations http://www.un.org/en/documents/charter/

Djalal. Hasyim, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Bina Cipta, 1979

Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976.

Dunoff, Jeffrey L.International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006

Drs. R. Poerwanto, SH, MA, M.Si, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, 2010.

Damos Dumoli Agusman, Apa Perjanjian Internasional itu? Beberapa Perkembangan Teori dan Praktek di Indonesia Tentang Perjanjian

Page 28: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Internasional, Refleksi Dinamika Hukum, 2008, dapat diakses di http://e-library.kemlu.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=65%3Aapa-perjanjian-internasional-itu&catid=45%3Ae-resources&Itemid=76&lang=en

--------------------------, Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional Republik Indonesia: Tinjauan dan Perspektif Praktik Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 5 No. 3 April 2008.

Electronic Information System for International Law (EISIL) http://www.eisil.org/

Electronic Legal Resources on International Terrorism (UNODC) https://www.unodc.org/tldb

Elias, T.O. The Modern Law of Treaties, Oceana, Dobbs Fery, NY, 1974

E. Klein, Genocide Convention (Advisory Opinion), EPIL II, 1995

Gautama, Sudargo, Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980.

--------------------------, Capita Selecta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983.

--------------------------, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Buku Kedelapan). Bandung: Alumni, 1987.

International Court of Justice http://www.icj-cij.org/

International Law Commission (ILC) http://www.un.org/law/ilc/

International Law website http://www.un.org/en/law/

Komar Mike., 1981, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 Mengenai Hukum Perjanjian Internasional, Diktat.

Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional.

Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.

-----------, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Bina Cipta, 1978.

Kusumo Hamidjojo, Budiono., 1986, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 Tentang Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung.

Page 29: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional.

Konvensi Wina 1986 tentan Perjanjian Internasional Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Sesama Organisasi Internasional

Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik

Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler

Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang

Lita Arijati, et al, 2009, Kemungkinan Perjanjian Internasional Di-Judicial Review-Kan, http://treatyroom.blogspot.com,

L. Wildhaber, Treaty Making Power and Constituion: An Interpretational and Comparative Study, 1971.

Lord, Mac Nair., 1967., Law of Treaties, Clorendon Press, Oxford, London.

M. Brandon, Analysis of the Term ‘Treaty’ and ‘International Agreement’ for Purposes of Registration Under Article 102 of the United Nations Charter. American Journal of International Law 47, 1953

Office of Legal Affairs/TreatySection-Technical Assistance http://untreaty.un.org/OLA/div_treaty_techassist.aspx?section=treaty

Oppenheim-Lauterpacht., 1996, International Law a Treaties, Longmans Gren and Company, 8th.ed.London, New York.

Pratiana Wayan., 1981, Perjanjian Internasional , Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn ke-XI.

Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.

Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995.

Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987

Suryono, Edy, 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia, Remaja Karya, Bandung.

Syahmin, AK., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung.

Page 30: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Treaty Reference Guide http://untreaty.un.org/English/guide.asp

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

United Nations University http://www.unu.edu/

UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties http://treaties.un.org/doc/Treaties/1996/11/19961106%2005-51%20AM/Ch_XXIII_02p.pdf

Vienna Convention on the Law of Treaties http://untreaty.un.org/ilc/texts/instruments/english/conventions/1_1_1969.pdf

Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations http://treaties.un.org/doc/Treaties/1986/03/19860321%2008-45%20AM/Ch_XXIII_03p.pdf

Patriana Wayan., 1981, Perjanjian Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn ke-XI.

R. Poerwanto, Praktek Ratifikasi Dalam Organisasi Internasional, 2010

Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969.

Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.

Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995

Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987

Suryono, Edy., 1984, Praktek Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia , Remaja Karya, Bandung.

Syahmin, AK., 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Armico, Bandung.

T.O. Elias, The Modern Law of Treaties, 1974, Oceana Publications, INC., Dobbs Ferry, NY.

Page 31: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah

Villiger, Mark E. Commentary on the 1969 Convention on the Law of Treaties, Brill, Leiden, 2009

Treaty Reference Guide http://untreaty.un.org/English/guide.asp .

Page 32: BAB VIrepository.unimal.ac.id/2105/1/Bab 6.pdfpemiliknya. Preskripsi berbeda dengan okupasi. Dalam pendudukan tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk diakui hak-haknya atas wilayah