bab 4 gambaran umum lingkungan masyarakat … · karakteristik budaya sunda pada abad ke-18 (asep,...

21
BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI 4.1 Letak Geografis Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi adalah sebagai berikut: Barat : Desa Cicadas Timur : Kampung Cikaret Utara : Sungai Cibareno Selatan : Kampung Cibombong Menurut Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) batas-batas Kasepuhan sulit ditentukan secara administratif, karena tersebarnya masyarakat adat Kasepuhan (incu putu) di wilayah Gunung Halimun. Bahkan masih menurut Abah, seluruh kawasan Gunung Halimun adalah wilayah adat Komunitas Adat Banten Kidul, dimana Kasepuhan Sinar Resmi adalah salah satu bagiannya. Jumlah penduduk Desa Sirna Resmi berdasarkan data monografi desa tahun 2010 terdiri dari 1537 kk, dengan jumlah penduduk laki-laki 2619 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2694 jiwa. Namun, untuk jumlah penduduk Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Sinar Resmi sendiri, menurut

Upload: duongmien

Post on 02-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

35

BAB 4

GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT

KASEPUHAN SINAR RESMI

4.1 Letak Geografis

Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam

kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada

karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip

Hanafi et al., 2004). Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas

Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan

merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar

Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi,

Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km

ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar

Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada

di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi

adalah sebagai berikut:

Barat : Desa Cicadas

Timur : Kampung Cikaret

Utara : Sungai Cibareno

Selatan : Kampung Cibombong

Menurut Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) batas-batas Kasepuhan sulit

ditentukan secara administratif, karena tersebarnya masyarakat adat Kasepuhan

(incu putu) di wilayah Gunung Halimun. Bahkan masih menurut Abah, seluruh

kawasan Gunung Halimun adalah wilayah adat Komunitas Adat Banten Kidul,

dimana Kasepuhan Sinar Resmi adalah salah satu bagiannya.

Jumlah penduduk Desa Sirna Resmi berdasarkan data monografi desa

tahun 2010 terdiri dari 1537 kk, dengan jumlah penduduk laki-laki 2619 jiwa dan

jumlah penduduk perempuan 2694 jiwa. Namun, untuk jumlah penduduk

Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Sinar Resmi sendiri, menurut

Page 2: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

36

Abah terdiri dari 76 kk. Desa Sirna Resmi memiliki luas 4917 hektar dan

memiliki luas hutan sebesar 2950 hektar, dan lahan pertanian 275 hektar.

4.2 Kondisi Sosial-Budaya

4.2.1 Kepercayaan atau Religi

Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam

kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada

karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip

Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al.

(2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang

berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas

sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa

pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang berasal dari dinamika konflik

yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang

didatangkan oleh VOC dari seluruh Nusantara).

Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku

beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang

bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun)

mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah

Slampangan dika Gusti Rasul.

“kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul kami. Tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, yang disebut dengan Slampangan dika Gusti Rasul” Menurut Rosdiana (1994) sebagaimana dikutip oleh Kurniawan (2002)

masyarakat adat Kasepuhan mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap

kekuatan alam yang dikuasai oleh para leluhur mereka. Hal ini ditunjukkan

dengan masih adanya ritual-ritual adat yang diwariskan leluhur dalam setiap

kegiatan kemasyarakatan, seperti membakar kemenyan dengan diiringi dengan

mantera-mantera yang dilafalkan dalam bahasa Sunda yang ditujukan untuk Gusti

Nu Kuasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan para leluhur. Bagi mereka, adat dan

kepercayaan itu merupakan pedoman hidup utama dalam menjalankan kehidupan.

Page 3: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

37

Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Kasepuhan mempunyai

persepsi bahwa alam semesta memiliki keteraturan dan keseimbangan.

Terganggunya keteraturan dan keseimbangan berbagai komponen fisik maupun

non fisik yang ada di bumi, dapat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat.

Oleh karena itu, masyarakat adat Kasepuhan masih memegang teguh aturan-

aturan yang diwariskan oleh para leluhurnya.

4.2.2 Bahasa Sehari-hari

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar merupakan suku

Sunda dan ada beberapa yang merupakan pendatang. Masyarakat asli Kasepuhan

merupakan keturunan dari para leluhurnya yang terus mengabdi pada pimpinan

Adat mereka. Masyarakat pendatang yang tinggal di Kampung Sinar Resmi ada

yang berkomitmen untuk mengabdi pada pimpinan Adat, ada pula yang mengabdi

kepada Abah di Kasepuhan lainnya.

Menurut sejarah, masyarakat adat Kasepuhan merupakan keturunan dari

para sisa pasukan Kerajaan Padjajaran yang melarikan diri ke wilayah Gunung

Halimun ketika terjadi penyerangan oleh Kerajaan Islam. Oleh sebab itu,

masyarakat adat Kasepuhan mewariskan adat dan budaya dari Kerajaan

Padjajaran, salah satunya adalah Bahasa Sunda. Bahasa Sunda digunakan dalam

percakapan sehari-hari masyarakatnya. Selain itu, bahasa Sunda pun digunakan

dalam berkomunikasi dengan para leluhur dan dalam ritual-ritual adat.

4.2.3 Mata Pencaharian Masyarakat

Masyarakat adat kasepuhan Sinar Resmi berupaya untuk hidup mandiri

dan lepas dari ketergantungan hidup pada pihak lain. Namun, mereka tidak

melupakan nilai kekeluargaan dan sifat kegotong-royongan. Walaupun pada

umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan peladang, tidak pernah terdengar

kabar adanya krisis pangan atupun warga yang kekurangan pangan. Bahkan,

lumbung-lumbung padi pun tidak pernah kosong sepanjang tahun, sampai panen

padi berikutnya.

Pertanian ladang (huma) dan sawah masyarakat adat Kasepuhan hanya

dilakukan setahun sekali pada bulan September hingga bulan Oktober. Hal ini

didasarkan pada kepercayaan masyarakat yang diwariskan oleh leluhur mereka,

Page 4: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

38

yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu

kali dalam setahun. Selain itu, anggapan ini didasarkan pada prinsip Ibu Bumi

yang menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu

hanya dapat melahirkan setahun sekali. Terdapat 46 jenis padi yang dimiliki

Kasepuhan Sinar Resmi. Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) mengharapkan warga

dapat menanam ke-46 jenis padi tersebut di tiap petak sawah.

“Dahuu, di ladang dan sawah milik masyarakat ditanami kurang lebih 100 spesies padi. Namun, saat ini, hanya bersisa 46 spesies. Abah menginginkan warga dapat menanam 46 spesies padi tersebut, di setiap petak ladang. Jadi, warga dapat memiliki 46 petak ladangdan 46 lumbung padi. Namun, saat ini, hal tersebut belum dapat terlaksana.” Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan

pada sesepuh girang sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal

yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila

musim paceklik datang, dan bisa dipinjam kepada warga yang kekurangan beras,

dan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi

sebagai tempat menyimpan cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan

dalam upacara adat Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan

indung pare (Ibu padi).

Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras

sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan

padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan

terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan,

maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan.

Seperti pernyataan yang disebut oleh tokoh adat, Wa UGS (64 tahun).

“Secara filosofis, beras dianalogikan sebagai seorang wanita yang tidak memakai pakaian, maka tidak pantas ketika kami menjual wanita yang tidak berpakaian, sedangkan wanita sangat dihormati terkait dengan istilah Ibu Bumi.” Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil

olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada

ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudah

Page 5: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

39

terpenuhi sampai panen padi berikutnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ketua

Adat, Abah ASN (44 tahun).

“Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.” Masyarakat adat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga

hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh

tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan. Selain

itu, warga juga menanan pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan albasia untuk

keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana

ibadah. Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk

memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian. Namun, untuk pohon kayu-kayuan

tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana

dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah.

Selain berkebun, masyarakat juga beternak ayam. Hampir semua warga memiliki

kBapak/Ibung ayam di depan rumahnya.

4.2.4 Nilai-nilai Tradisional

Kearifan lokal adalah pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat

adat Kasepuhan khususnya secara turun temurun dalam pengelolaan lingkungan.

Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam

pengelolaan pertanian, pengelolaan hutan, dan pepatah-pepatah lokal yang terkait

dalam pengelolaan pertanian dan hutan.

Pengelolaan pertanian masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam tiga

pengelolaan, yaitu pertanian ladang (huma), sawah dan kebun (talun). Telah

disinggung dalam sub-bab sebelumnya, bahwa pertanian ladang dan sawah hanya

dilakukan sekali dalam setahun. Hal ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat

yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu

kali dalam setahun. Selain itu, ini juga didasarkan pada prinsip Ibu Bumi yang

menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu hanya

Page 6: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

40

dapat melahirkan setahun sekali. Beras sebagai komoditas utama pertanian sawah

dan ladang tidak boleh diperjualbelikan.

Kegiatan pertanian ladang berbeda dengan kegiatan pertanian di sawah.

Masing-masing pertanian memiliki ritual-ritual adat tersendiri dalam

pelakasaannya. Berikut adalah tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam

pertanian ladang.

Tabel-3 Tahap-tahap Kegiatan Pertanian Ladang

Kegiatan Bulan (Sistem Kalender Islam)

Pelaksana *)

Narawas (menBapak/Ibui lokasi yang akan dijadikan lahan huma)

Jumadil awal Lk

Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu setelah itu di keringkan selama 15 hari – 1 bulan)

Jumadil awal Lk, Pr, P

Ngahuru (membakar semak kering untuk dijadikan pupuk)

Jumadil akhir Lk

Ngerukan (mengumpulkan sisa-sisa yang belum terbakar )

Jumadil akhir Lk, Pr, P

Ngaduruk (membakar sisa-sisanya)

Jumadil akhir Lk, Pr

Nyara (meremahkan tanah)

Jumadil akhir

Lk, Pr, P

Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk)

Rajab Lk, Pr, P

Ngored (menyiangi rumput)

Ruwah Lk, Pr, P

Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen)

Haji Lk, Pr

Ngadamel lantayan (membuat tempat menjemur padi)

Haji Lk

Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayan)

Haji Lk, Pr

Mocong (mengikat padi yang kering)

Muharam Lk, Pr, P

Ngunjal (diangkut ke lumbung padi)

Muharam Lk

Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung)

Muharam Lk, Pr

Ngeuleupkeun (dirapikan)

Muharam Lk

Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit)

Muharam Lk

Selametan (ampih pare)

Muharam Lk, Pr, P

Keterangan: Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, dan P = Pemuda

Sumber: diolah dari data primer, (2010)

Page 7: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

41

Dari 17 prosesi di atas, ada enam kegiatan utama yang harus dilakukan

antara lain:

• Ngaseuk merupakan kegiatan menanam padi dengan memasukkan benih

ke dalam lubang dengan menggunakan aseuk (tongkat).

• Beberes Mager: ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan

ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik Kasepuhan)

dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam.

• Ngarawunan : ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur,

sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu

putu untuk meminta doa kepada abah melalui bagian pamakayaan.

Ngasrawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat

bulan.

• Mipit: kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah

sebagai pertBapak/Ibu masuknya musim panen.

• Nutu: kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen.

• Nganyaran: memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua

bulan setelah masa panen.

Adapun tahap-tahap pertanian sawah yang dilakukan oleh masyarakat

kampung mulai dari menanam padi hingga memanen padi adalah sebagai berikut:

1. Macul (nyangkul), yaitu kegiatan menyangkul tanah yang akan ditanami

sawah, meliputi macul badag dan macul alus.

2. Ngalur Garu, yaitu membajak sawah dengan menggunakan alat bantu garu

dan hewan ternak kerbau.

3. Ngoyos, yaitu membersihkan tanaman pengganggu seperti rumput liar yang

menghambat pertumbuhan tanaman padi.

4. Patangkeun, yaitu meratakan seluruh permukaan tanah di sawah yang belum

rata.

5. Sebar, yaitu menumbuhkan benih padi (persemaian) pada tahap pembibitan

awal.

6. Tandur, yaitu menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar.

Page 8: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

42

7. Ngabungkil, yaitu memberikan sedikit pupuk kimia pada tanaman (TSP dan

urea) agar tanaman padi tumbuh dengan baik.

8. Ngoyos Kadua, yaitu membersihkan kembali tanaman pengganggu seperti

rumput liar yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi.

9. Babad, yaitu membersihkan rumput atau tanaman pengganggu yang terdapat

di pematang sawah.

10. Nunggu Dibuat, yaitu menjaga padi yang sudah mulai tumbuh dari gangguan,

seperti burung-burung pemakan padi.

11. Dibuat, yaitu panen tanaman padi yang sudah matang.

12. Ngalantai, yaitu menjemur padi yang sudah dipanen hingga kering.

13. Mocong, yaitu mengikat padi dari jemuran sebelum dimasukkan ke dalam

leuit (lumbung).

14. Asup Leuit, yaitu memasukkan padi yang sudah kering ke dalam leuit

(lumbung).

15. Nganyaran, yaitu mengadakan acara selamatan untuk padi yang baru dipanen

dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut.

Penentuan waktu untuk mulai menanam padi ditentukan dengan sistem

perbintangan yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan. Ada dua bintang

yang diyakini sebagai permulaan penanaman ketika keduanya telah muncul, yaitu

bintang Kerti dan bintang Kidang.

Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga bulan Oktober pada

pukul 00.00 WIB. Ketika bintang Kerti muncul atau disebut sebagai Tanggal

Kerti Turun Besi, menBapak/Ibukan bahwa masyarakat sudah memulai untuk

membuat perkakas-perkakas pertanian. Bintang Kidang muncul sekitar tiga

hingga empat minggu kemudian yang menBapak/Ibukan sudah saatnya untuk

menggunakan perkakas pertanian yang telah dibuat. Sebutannya adalah Turun

Kujang. Artinya masyarakat sudah mulai untuk mengolah lahan untuk ditanami

padi dengan menggunakan perkakas-perkakas pertanian tradisional, seperti bajak

dan cangkul. Enam bulan kemudian bintang Kidang tenggelam, yang disebut

dengan Turun Kungkang. Artinya, sudah saatnya padi dipanen, karena saatnya

hama-hama muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru

Page 9: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

43

pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama

tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang.

Setelah padi dipanen, padi dijemur (ngalantai) dan diikat dengan tali-tali

pocong (mocong). Satu ikatan pocong padi dapat menghasilkan tiga hingga empat

liter beras. Kemudian padi yang telah diikat tadi dimasukkan ke dalam lumbung

(leuit). Setelah itu, dilakukan kegiatan syukuran dengan memasak beras pertama

dari hasil panen tahun tersebut yang disebut dengan nganyaran.

Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen

atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen

tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu

tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan

melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun)

berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk

biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah

disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap

kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makam-

makam leluhurnya, mulai dari makam Abah sebelumnya hingga makam

leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada

para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.

Kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan

diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan,

Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan

hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang, dan tidak

boleh berubah keutuhannya, yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa

yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai

daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem.

Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia

bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah

kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan

tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat

bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan,

Page 10: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

44

rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan,

masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang

ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung Bukaan

adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan

digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah,

maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan

pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan

yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan

usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang

didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang

diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang,

Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.

Selain ritual-ritual dalam pengelolaan pertanian dan hutan, masyarakat

adat Kasepuhan pun memiliki pepatah-pepatah lokal sebagai pedoman dalam

menjalankan kehidupannya. Pepatah-pepatah lokal tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, Nu hiji Eta-eta Keneh

Basis dari hukum adat Kasepuhan Sinar Resmi adalah filosofi hidup

mereka yang berbasis pada tiga tiang (Tilu Sapamulu), yaitu Tekad, Ucap, dan

Lampah, yang diartikan sebagai tekad, perkataan dan perilaku. Masyarakat

Kasepuhan harus memberikan perhatian besar kepada ketiga prinsip tersebut dan

menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan baik tingkat

individu maupun komunitas.

Dalam tingkat individu, Tekad, Ucap, dan Lampah digunakan dalam

perkataan dan perbuatan: satu kata dan perbuatan harus konsisten dengan niat

yang baik. Dalam level komunitas, komunitas (Buhun), harus serasi dengan

pemerintah (Nagara) sebagai penguasa komunitas, dan adat kampung (Syara).

Pada level lainnya, komunitas dan sistem pemerintahan harus menghormati

kehidupan masyarakat. Kasepuhan, urusan pemerintah dan komunitas harus

memperhitungkan ruh (kehidupan komunitas), raga (sosial-politik) dan norma

adat (Papakean). Jika hal ini diatur tanpa memperhitungkan komunitas (Buhun),

Page 11: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

45

akan seperti orang yang berpakaian lengkap namun tidak memiliki ruh seperti

mayat. Jika hanya memperhitungkan raga dan komunitas (Buhun), akan

menghasilkan komunitas tanpa aturan, seperti manusia yang tidak berpakaian.

2. Ibu bumi, bapak langit, tanah ratu

Bumi (tanah) dianalogikan sebagai ibu yang dapat melahirkan sebuah

kehidupan (makanan untuk hidup manusia). Langit dianalogikan sebagai bapak

yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan

menumbuhkan kehidupan baru.

Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak

tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki

makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki

banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik

bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat

memberikan penghidupan kepada manusia.

4.2.5 Kelembagaan Adat

Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh seorang Abah, yang bernama Abah

ASN. Peranan seorang Abah, sangatlah penting karena selain pimpinan adat,

beliau juga merupakan junjungan masyarakat Kasepuhan, sehingga

keberadaannya sangat dihormati. Tidak sembarang orang mendapatkan posisi

sebagai pemimpin adat. Hanya anak laki-laki keturunan Abah sebelumnya yang

bisa menjadi penerus ayahnya. Itu pun harus berdasarkan wangsit yang diturunkan

oleh karuhun (leluhur) mereka. Jika bukan orang yang mendapatkan wangsit

memaksakan diri menjadi pemimpin adat, maka akan mendapatkan kabendon

(kualat) karena melanggar apa yang telah ditetapkan oleh para karuhun. Kabendon

dapat berupa musibah atau bencana kepada orang yang kena kabendon, seperti

misalnya sakit yang tidak kunjung sembuh. Kabendon dapat hilang ketika orang

tersebut ”turun” dari posisi Abah dan meminta maaf kepada karuhun dengan

ritual-ritual khusus.

Page 12: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

46

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi mengenal adanya perangkat-

perangkat Kasepuhan yang membantu Abah dalam menjalankan sistem

pemerintahan di Kasepuhan. Perangkat-perangkat tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel-4 Perangkat-perangkat Kasepuhan berdasarkan Fungsinya

No. Jabatan Fungsi 1 Kanagaraan

(Kepala urusan luar kampung) Membantu Abah dalam semua permasalahan yang terkait dengan pemerintah. Sebagai penasihat Abah ketika ada isu-isu yang terjadi di komunitas.

2 Syara’ (Kepala urusan agama)

Membantu Abah dalam permasalahan yang terakait dengan hukum adat dan agama.

3 Panghulu (Kepala urusan adat)

Sebagai pemimpin doa dalam ritual-ritual adat. Menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman, dan menentukan biaya untuk pemakaman.

4 Tatanen (Pengatur air)

Mengkoordinasi manajemen sawah dan sistem irigasi. Menghukum orang-orang yang ikut campur dalam mensuplai air.

5 Dukun Manusia (Penyembuh orang)

Memimpin ritual-ritual untuk mencegah dan mengobati penyakit. Memberikan obat-obatan dan menentukan biaya untuk pengobatan.

6 Dukun Hewan (Penyembuh hewan)

Mengobati hewan yang sakit.

7 Panyawah (Pengatur urusan sawah)

Mengawasi dan mengurus sawah komunal

8 Paraji (Bidan)

Membantu wanita melahirkan

9 Moro (Pemburu)

Memburu hewan untuk ritual adat mengusir hama yang mengganggu

10 Kemit (Penjaga)

orang yang bertugas menjaga keamanan wilayah tempat tinggal

11 Ganek/Koja (Asisten abah)

Mendampingi abah ketika melakukan perjalanan ke luar kampung

Sumber: diolah dari data primer (2010)

Perangkat-perangkat Kasepuhan bekerja sesuai dengan tugas yang telah

ditetapkan. Posisi-posisi perangkat-perangkat tersebut ditunjuk secara

musyawarah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang yang

ditunjuk dan disetujui oleh Abah sebagai ketua adat.

Page 13: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

47

4.2.6 Nilai Hutan bagi Masyarakat

Hutan memiliki arti penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Karena masyarakat sekitar hutan memiliki intensitas interaksi yang tinggi

terhadap hutan. Masyarakat sekitar hutan menganggap bahwa hutan adalah tempat

untuk memperoleh hasil hutan atau mendayagunakan hutan dalam rangka

memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya, dan bersifat subsisten. Selain itu,

ada juga masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat yang mengandung

nilai-nilai spiritual yang tinggi dan sebagai tempat makhluk-makhluk gaib berada

sehingga keberadaan hutannya tidak boleh diganggu oleh manusia.

Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap

hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan

adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu

untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk

membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinan-

kerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan.

Penggunaan kayu-kayuan dan bambu untuk membuat bangunan termasuk

rumah dan leuit dan penggunaan nipah dan kirai sebagi atap merupakan perintah

karuhun yang tidak boleh dilanggar. Masyarakat adat Kasepuhan tidak boleh

menggunakan bahan tanah dalam mendirikan bangunan. Hal ini diyakini bahwa

sebagai makhluk yang hidup, tidak sepatutnya untuk tinggal di bawah tanah,

karena makhluk hidup yang tinggal di bawah tanah hanya makhluk yang sudah

mati. Penggunaan rotan untuk pembuatan kerajinan dan peralatan rumah tangga,

ini dilakukan karena adat hanya memperbolehkan penggunaan peralatan-peralatan

tradisional dalam melakukan aktivitas harian. Penggunaan kayu-kayu yang sudah

mati dan ranting-ranting untuk kayu bakar diharuskan, karena masyarakat harus

menggunakan hawu semacam tungku untuk memasak, khususnya memasak nasi.

Page 14: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

48

Seperti yang diungkapkan oleh Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat.

“Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.” Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat

Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka

terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual

yang terkandung di dalamnya. Kawasan hutan tutupan yang merupakan hutan

titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang

harus dijaga. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air

(leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka

sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam

kehidupannya. Maka, tidak adil rasanya ketika akses masyarakat Kasepuhan

terhadap hutan harus dibatasi bahkan diputus oleh pihak-pihak yang memiliki

wewenang tinggi terhadap hutan.

4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan

Kampung Sinar Resmi memiliki kekayaan sumberdaya alam yang

melimpah, salah satunya adalah sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan

masyarakatnya untuk bertani sawah, berladang, dan berkebun. Masyarakat

memanfaatkan lahan pertanian ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan

komoditi yang dihasilkan berupa padi, sayuran, jagung, dan buah-buahan. Dalam

mengelola lahan pertanian, masyarakat adat hanya diperkenankan menggunakan

peralatan pertanian tradisional, seperti garu, cangkul, arit, dan kerbau untuk

membajak sawah.

Sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh kampung Sinar Resmi adalah

sumberdaya hutan. Dalam pengelolaannya, adat membagi hutan (leuweung) ke

dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung

Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang memiliki

Page 15: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

49

keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan

lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan

pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan

atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga

keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak

termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh

dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah

diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di

dalam hutan tutupan. Pemeriksaan hanya dilakukan setahun sekali. Leuweung

tutupan berada di atas pegunungan atau puncak pegunungan Halimun. Kawasan

leuweung tutupan memiliki luas 60% dari seluruh kawasan hutan adat yang

dimiliki oleh kampung.

Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang dialokasikan untuk kawasan

pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya.

Perpindahan pemukiman didasarkan pada wangsit yang diterima Abah.

Perpindahan biasa dilakukan dalam kurun waktu 30-40 tahun sekali. Perpindahan

dilakukan untuk memulihkan kembali daya dukung alam secara ekologis bagi

kebutuhan manusia. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah,

dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan

membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu

hutan, rotan dan sebagainya. Dalam mengambil kayu tidak boleh dilakukan secara

sembarangan, ada aturan khusus yang harus dijalankan. Setiap warga yang ingin

mengambil kayu harus menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang

antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah

pohon yang akan ditebang. Selain itu, pohon yang ditebang pun harus pohon yang

telah cukup umur, dan pohon yang memiliki jarak dekat satu sama lainnya.

Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama

secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa

ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk

memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Pengaturan

lahan garapan untuk warga dilakukan oleh Abah sebagai pimpinan adat tertinggi.

Untuk daerah-daerah tertentu, penanaman padi sawah dan huma tidak boleh

Page 16: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

50

dilakukan pada lokasi yang sama untuk kedua kalinya, daerah ini disebut dengan

Huma Serang (suci).

Tabel-5. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di desa Sirna Resmi

Penggunaan lahan Zona di Kasepuhan Luas (Ha) Pemukiman Hutan bukaan (leuweung garapan) 78,18 Sawah Hutan bukaan (leuweung garapan) 559,98 Perkebunan Hutan bukaan (leuweung garapan) 303,4 Tanah kuburan Hutan bukaan (leuweung garapan) 7.00 Hutan adat Hutan titipan (leuweung titipan) 1.013,00 Hutan adat Hutan yang dilindungi (leweung

tutupan) 2.948,48

Total luas desa 4.906,04

Sumber: Suganda, 2009

Sumberdaya lainnya yang tersedia di kampung Sinar Resmi adalah

sumberdaya air, berupa sungai. Sungai-sungai yang dimanfaatkan masyarakat

adalah sungai Cipanengah, sungai Cibareno dan sungai Cikaret. Sungai-sungai ini

dimanfaatkan untuk keperluan mengairi sawah, mandi, dan air minum. Air sungai

dialirkan menggunakan pipa-pipa paralon ke bak-bak penampungan yang tersedia

di belakang Imah Gede (rumah Abah) untuk digunakan mandi, mencuci dan

memasak. Air untuk pengairan sawah, dialirkan dari sungai dengan membuat

saluran-saluran irigasi yang langsung menuju ke sawah.

Dalam peraturan adat Kasepuhan, sumberdaya lahan dikelompokkan

menurut fungsinya, seperi hutan ditanami pohon kayu-kayuan keras (gunung

kayuan); lereng curam ditanami dengan bambu (lamping gawit awian); area

perkebunan (kebun talun); pertanian padi (datar sawahan), dan kolam ikan (legok

balongan). Pengelompokan lahan ini mempengaruhi cara masyarakat Kasepuhan

dalam mengelola sumberdaya alam.

Sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan

dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur

mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan

mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat

ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh

sumberdaya alam ini diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Hanya

Page 17: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

51

boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk

dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan

sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat.

Kawasan Gunung Halimun, selain terdapat wilayah adat yang telah ada

sejak dahulu, ada juga wilayah konservasi pemerintah berupa kawasan hutan

lindung taman nasional. Kawasan ini berfungsi sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa

serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Kawasan

konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2)

disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan

wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu

yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan

status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan

kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum

antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai

kehutanan. Selain itu, pengaturan pengelolaan Gunung Halimun secara konservasi

dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 Tahun 2003.

Terkait dengan keberadaan taman nasional sebagai kawasan konservasi,

institusi pengelola di Indonesia mencakup unsur hak kepemilikan, batas wilayah

kewenangan dan aturan keterwakilan. Hak kepemilikan taman nasional, sesuai

dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kehutanan adalah milik Negara (state property). Menurut pasal

34 UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan

Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam

hal ini oleh Kementrian Kehutanan.

Kawasan konservasi taman nasional, memiliki lokasi yang berdekatan,

bahkan bertumpang tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Dalam kasus

Kasepuhan Sinar Resmi, wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan

taman nasional pada zona rimba dan zona rehabilitasi adalah leuweung tutupan,

leuweung titipan dan leuweung Bukaan.

Page 18: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

52

4.3 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi

Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam

kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada

karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip

Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al.

(2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang

berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas

sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa

pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik

yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang

didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara).

Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru

dan hanya meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya.

Itupun bila ada peninggalan makam leluhur. Masyarakat Kasepuhan Sinar

Resmi menggambarkan latar belakang asal muasal leluhur mereka yang

mempunyai kaitan dengan prosesi ritual adat dalam kegiatan perladangan.

Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah syukuran panen, para

sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara ritual

ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai

hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar

kawasan hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di

Cipatat Urug - Bogor, di Cisono, Tegal Lumbu, Lebak Larang, Lebak Binong

daerah Banten. Tempat-tempat ini diyakini berhubungan dengan tempat dan asal

muasal leluhur mereka.

Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi selalu berpindah-pindah sebelum di desa

Sirna Resmi saat ini. Berpindah-pindahnya lokasi Kasepuhan didasarkan pada

wangsit dari para karuhun yang disampaikan melalui kepala Adat yang disebut

dengan Abah. Lokasi Kasepuhan sendiri telah berpindah-pindah selama 29

generasi dimulai sejak tahun 611 M. Namun hanya delapan generasi terakhir saja

yang boleh diketahui oleh Incu putu (masyarakat adat), karena 21 generasi lainnya

merupakan “rahasia para karuhun” yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.

Page 19: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

53

Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya

Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang

kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat

sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:

1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni

2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur

3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga

4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten

5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug

6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten

7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten

8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga

9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten

10. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten

11. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret

12. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas

13. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sinar Resmi dan Cipta Gelar

Dimulai tahun 1474, lokasi Kasepuhan berlokasi di daerah Cipatat,

Jasinga, Kabupaten Bogor. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang sesepuh yang

bernama Uyut Cipatat (Aki Buyut Bao Rosa) yang berasal dari Banten selama 150

tahun masa kepemimpinan. Anak Uyut Cipatat sebagai penerus setelah Uyut

Cipatat wafat, kemudian memindahkan pusat Kasepuhan ke Lebak Larang,

Banten. Anak Uyut Cipatat ini dikenal dengan Uyut Gondok (Aki Buyut

Warning). Tiga Tahun di Lebak Larang, Uyut Gondok wafat dan Kasepuhan

diteruskan oleh Aki Buyut Kayon. Lokasi Kasepuhan pun berpindah ke Lebak

Binong, Banten, selama 27 tahun. Pada waktu itu, pemerintahan colonial Hindia-

BelBapak/Ibu baru saja berdiri. Setelah Aki Kayon wafat, penerus selanjutnya

adalah putranya yang bernama Aki Ceboy. Namun karena saat itu, Aki Ceboy

Page 20: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

54

belum dewasa saat ayahnya wafat, maka untuk sementara Kasepuhan dipimpin

oleh adik Aki Kayon yang bernama Aki Buyut Santayan sampai usia Aki Ceboy

cukup umur untuk memimpin Kasepuhan. Semasa pimpinan Aki Santayan,

Kasepuhan berada di daerah Pasir Talaga, Sukabumi. Setelah Aki Ceboy dewasa,

kepemimpinan Kasepuhan diberikan pada beliau, Kasepuhan berpindah tempat

lagi ke Tegal Lumbu, Banten.

Aki Ceboy memimpin Kasepuhan selama 32 tahun. Setelah wafat,

diteruskan oleh anaknya yang bernama Uyut Jasiun (Ki Ciung), Kasepuhan

berpindah lokasi lagi ke Bojong Cisono, Banten. Ketika Jepang masuk, pengganti

Uyut Jasiun, yaitu Aki Rusdi membawa incu putu-nya ke Cimapag. Di sinilah

incu putu diizinkan untuk membuka ladang oleh pemerintah Jepang.

Di Cimapag mereka menetap cukup lama. Semasa perang kemerdekaan,

dusun ini menjadi salah satu basis brigade Kian Santang dari Divisi Siliwangi.

Tidak kurang dari 3.000 pocong padi disediakan Ki Rusdi buat ransum para

gerilyawan. Ki Ardjo, anaknya yang menjadi lurah Cimapag, pun sempat diberi

pangkat sersan mayor oleh TRI. Untuk jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi

Bintang Gerilya, Aksi Militer I dan Aksi Militer II. Lalu disusul dengan bintang

GOM II dan GOM V. Karena ikut serta dalam penumpasan pemberontakan DI/TII

dan G30S-PKI di daerah itu. Sekitar tahun 1980-an, dusun terpencil itu membara.

Pernah, 10 orang warga ditebas kepalanya sekaligus oleh gerombolan DI/TII yang

sedang panik. Belum lagi gangguan gerombolan-gerombolan penyamun yang

tidak jelas ideologinya. Maka, pada tahun 1957, Ki Rusdi pun memindahkan pusat

kesepuhan ke Cikaret. Kali ini, campur tangan pihak luar mulai tampak. Pada

acara yang dinamai serah tahun, nama dusun itu ditetapkan sebagai Sirna Resmi.

Idenya dari Overste Ishak Djuarsa. Di Sirna Resmi ini pula, Ki Rusdi wafat. Tidak

lama kemudian, pada tahun 1974, Ki Ardjo yang telah menjadi sesepuh membawa

pengikutnya ke Ciganas, Sirna Rasa. Daerah ini termasuk kawasan Perhutani dan

PHPA. Ki Ardjo pun wafat pada tahun 1982. Kasepuhan saat itu digantikan oleh

Abah Encup Sucipta (Abah Anom).

Page 21: BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT … · karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., ... (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya

55

Tahun 1983 Beliau pindah ke Cipta Rasa selama 17 Tahun. Pada tahun

1985 Kesepuhan terpecah menjadi dua yaitu:

1. Kasepuhan Cipta Rasa ( Abah Anom )

2. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Ujat Sujati ).

Tahun 2000 Abah Anom pindah ke Cipta Gelar. Dan pada Tahun 2002

Abah Ujat Sujati mengakhiri hidupnya. Dan waktu itu pula Kasepuhan Sinar

Resmi terpecah kembali menjadi dua Kasepuhan, yaitu:

1. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep Nugraha )

2. Kasepuhan Cipta Mulya ( Abah Uum Sukmawijaya)

Pada Tahun 2007 Abah Anom meninggal dunia dan Kasepuhan

dilanjutkan oleh anaknya Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.

Sejak tahun 2002 hingga tahun akhir tahun 2010 Kasepuhan terbagi menjadi tiga:

1. Kasepuhan Cipta Gelar (Abah Ugi Sugriana Rakasiwi)

2. Kasepuhan Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha)

3. Kasepuhan Cipta Mulya (Abah Hendrik)