bab 3 konteks kultural praktik pengorbanan 3.1 pendahuluan · 2019. 7. 18. · “alexandrianus”...
TRANSCRIPT
37
Bab 3
Konteks Kultural Praktik Pengorbanan
dalam Matius 26:36-46
3.1 Pendahuluan
Pada pembahasan dalam bab sebelumnya, penulis telah menjelaskan tentang
pentingnya perspektif dalam hermeneutik poskolonial untuk memaknai sebuah teks. Teks
yang penulis maksudkan di sini ialah teks Matius 26:36-46. Namun, sebelum melakukan hal
tersebut penulis akan memaparkan konteks dari teks. Konteks yang dimaksud adalah konteks
sosial, keagamaan maupun budaya, termasuk di dalamnya tentang ritus korban yang berlaku
dalam konteks teks tersebut. Hal inilah yang akan menjadi pembahasan dalam bab ketiga ini.
3.2 Waktu dan Tempat Penulisan Injil Matius
Di dalam memahami sebuah teks berdasarkan konteksnya, kita perlu untuk mencari
tahu tempat dan waktu secara spesifik. Hal ini karena masing-masing teks ditulis dalam
waktu dan tempat yang tentu saja turut mempengaruhi isi dari masing-masing teks. Untuk itu,
penulis akan memaparkan tentang tempat dan waktu penulisan Injil Matius sebagai awal dari
penjelasan tentang berbagai konteks yang terdapat dalam Injil Matius.
Injil Matius merupakan Injil pertama yang tercatat dalam Alkitab Perjanjian Baru.
Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa Injil Matius merupakan Injil yang ditulis pertama
kali sebelum Injil-Injil lainnya dalam Alkitab. Banyak penelitian membuktikan bahwa Injil
Markuslah adalah Injil tertua dan merupakan salah satu sumber dari penulisan Injil Sinoptis
lainnya. Matius ditempatkan diawal karena sesuai dengan yang tertera dalam
38
“Alexandrianus” dan “Vatikanus”, manuskrip-manuskrip (tulisan tangan) tertua Perjanjian
Baru.1
Banyak kesulitan yang dialami oleh para ahli untuk menentukan siapa penulis atau
pengarang dari Injil ini. Duyverman misalnya, menyebutkan bahwa sudah berabad lamanya
taradisi gereja memperkirakan nama Matius sebagai penulis Injil Matius. Matius yang
dimaksud dihubung-hubungkan dengan salah seorang murid Yesus yakni Rasul Matius,
bekas pemungut cukai yang juga disebut orang Lewi. Namun, ia meragukan hal tersebut oleh
karena bahasa yang dipakai untuk menulis Injil Matius adalah bahasa Yunani sedangkan
Rasul Matius sendiri berbahasa Aram. Kalaupun ia memang adalah benar penulisan yang
sebenarnya, maka ia tidak perlu mengutip Injil Markus. Hal ini karena Rasul Matius adalah
seorang murid yang selalu bersama-sama dengan Yesus dan karena itu ia pasti dapat
menggambarkan atau menuliskan kisah tentang Yesus tanpa mengutip dari pihak mana pun.
Ia malah memperkirakan bahwa penulis Injil Matius yang sebenarnya mungkin seorang
pemimpin agama Yahudi.2 Hal senada juga disampaikan oleh Kingsbury bahwa penulis Injil
Matius adalah seorang Kristen asal Yahudi atau paling tidak memiliki latar belakang
Yahudi.3 Michael Baigent dan kawan-kawan juga setuju dengan pernyataan tersebut dengan
mengatakan bahwa penulis Injil Matius mungkin adalah seorang pelarian dari Palestina.
Mereka juga mengatakan bahwa jelas penulis Injil ini bukanlah murid Yesus yang bernama
Matius.4
Berbicara mengenai waktu dan tempat sekiranya Injil Matius itu ditulis, beberapa ahli
berusaha menyampaikan pendapatnya untuk menjelaskan hal tersebut. Duyverman
mengatakan bahwa keterangan mengenai waktu penulisan Injil Matius sangat minim.
1 J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab, Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, ), 1
2 M. E. Duyverman, Pembimbing Ke dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 48
3 Jack Dean Kingsbury, Injil Matius Sebagai Cerita, Berkenalan dengan Narasi Salah Satu Injil, Wenas
Kalangit (terj,.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 220 4 Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, Holy Blood, Holy Grail, Isma B. Koesalamwardi (terj,.),
(Jakarta: Cahaya Insan Suci, 2006), 413
39
Mengacu pada satra Kristen di luar Alkitab dilihat bahwa kira-kira tahun 100 M, Injil ini
sudah dikutip sehingga sudah diakui dan dihormati. Hal ini berarti bahwa penulisan Injil
Matius diperkirakan sebelum tahun 100 M. Dari keterangan tersebut, ia menyimpulkan
bahwa Injil ini ditulis antara tahun 72-85M. Menurutnya, Injil ini ditujukan kepada pembaca
Yahudi yang ditulis dalam bahasa Yunani dengan disertakan juga ungkapan dan adat Yahudi.
Oleh karena itu, diperkirakan bahwa Injil ini ditulis di sebuah daerah di luar Palestina, yakni
Antiokhia.5
Jack Dean Kingsbury menyarankan untuk melihat kembali perikop dalam Injil
Matius tentang perumpamaan mengenai perjamuan anggur. Dikatakannya bahwa pada pasal
22:7 ditemukan apa yang para ahli anggap sebagai singgungan yang jelas terhadap
kehancuran Yerusalem (66-70 M). Dari sudut sejarah penulisan Injil pertama, peristiwa ini
nampaknya sudah terjadi di masa lalu (bnd. Pasal 21:41). Selain itu, ada keterangan bahwa
Ignatius, yang menulis tidak lama sesudah abad pertama (110 atau 115 M), nampaknya
mengetahui Injil Matius. Dengan keterangan ini, menurut Jack, orang bisa berkesimpulan
bahwa waktu penulisan Injil Matius adalah tahun 85 atau 90 M. Senada dengan Duyverman,
ia juga memperkirakan bahwa lokasi penulisan Injil Matius, yakni Antiokhia di Syria.6
Injil Matius mendapatkan bentuknya yang terakhir sekitar tahun 85M. Kemungkinan
ditulis di Antiokia, Syria. Ini berarti bahwa jemaat Kristen telah berdiri sekitar lima tahun
sesudah kematian Yesus dan sekitar lima belas tahun sesudah Yerusalem dihancurkan pada
tahun 70M. Data ini berdasarkan pada apa yang muncul sebagai bagian penggambaran
kejadian tahun 70M dalam pasal 22:7. Kemungkinan lain mengenai kehancuran Yerusalem
tampak dalam pasal 21:4 dan 27:25.7
5 M. E. Duyverman, Pembimbing Ke..., 48-49
6 Jack Dean Kingsbury, Injil Matius..., 195
7 Daniel J. Harington, Matius, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Dianne Bergant dan Robert J. Karris (edt.),
Yogyakarta: Kanisius, 2002, 33
40
Bersama-sama dengan kebanyakan para ahli masa kini, David J. Bosch mengakui
bahwa pengarang dari Injil Matius adalah seorang anggota komunitas Kristen Yahudi yang
telah meninggalkan Yudea sebelum perang Yahudi dan menetap di sebuah lingkungan yang
kebanyakan bukan Yahudi, kemungkinan di Syria. Di Yudea, komunitas itu kemungkinan
besar telah bersama-sama mengalami keterpisahan dari orang-orang Kristen Yahudi lainnya.
Oleh karena itu, kemungkinan mereka telah mengikuti budaya dan juga ibadah-ibadah
Yudaisme sejauh hal tersebut dimungkinkan sebelum perang. Berdasarkan hal itu, ia juga
sepakat bahwa Injil Matius memang ditulis di Syria, Antiokhia kira-kira pada tahun 80an
sesudah Masehi.8
Groenen juga mengatakan bahwa daerah yang paling cocok untuk dikatakan sebagai
lokasi tempat penulisan Injil Matius adalah Syria khususnya Antiokhia.9 Mengenai waktu
penulisan, ia memperkirakan Injil ini ditulis antara tahun 60-100M. Hal ini dikatakannya
karena ia melihat situasi yang terjadi di Syria sangat cocok dengan keadaan yang terjadi pada
pertengahan kedua abad pertama Masehi. Pada saat itu, jemaat Kristen di Syria (Pantai
Palestina) di satu pihak masih berkaitan erat dengan masyarakat Yahudi dan belum terkucil.
Di lain pihak, hubungan itu sudah mulai longgar atau retak. Dari penjelasan tersebut,
Groenen kemudian menyimpulkan lagi bahwa Injil ini ditulis sekitar tahun 75-80M. Jadi,
persis pada saat masa peralihan agama Kristen yang masih baru dari kerangka masyarakat
dan agama Yahudi ke dalam masyarakat Yunani sebagai suatu agama sendiri.10
Di dalam menetapkan tempat dan tahun penulisan Injil Matius, J. de Heer
membandingkannya dengan waktu dan tempat ditulisnya Injil Markus. Injil Markus adalah
Injil tertua yang ditulis kira-kira 65M. Oleh karena isi dari Injil Matius juga bersumber dari
Injil Markus, maka diperkirakan penulisan Injil Matius adalah sebelum tahun 65M. Sesuai
8 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah,
(Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2001), 89-90 9 C. Groenen, Pengantar Ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 88
10 C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 90
41
dengan penjalasan sebelumnya, para ahli menduga bahwa Injil Matius baru ditulis kira-kira
tahun 80M. Menurutnya, hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, pada tahun 70 terjadi
satu peristiwa penting di mana Bait Allah dibakar habis oleh tentara Romawi. Hal ini terjadi
ketika orang Romawi berhasil mengalahkan orang Yahudi yang telah memberontak terhadap
pemerintahan Romawi. Perebutan Kota Yerusalem oleh orang Romawi pastilah
menggemparkan Gereja Kristen pada saat itu. Injil Matius dalam perumpamaan tentang
perjamuan kawin menekankan bahwa “kota orang-orang yang bersalah dibakar” (Mat.22:7).
Ahli-ahli umumnya menganggap itu sebagai suatu tanda bahwa Injil Matius ditulis setelah
pembakaran Bait Allah. Kedua, orang Yahudi yang masih hidup setelah Bait Allah tidak
dapat mengejar tujuan politis lagi. Mereka memusatkan perhatiannya pada suatu reorganisasi
rohani di bawah pimpinan Ahli-ahli Taurat. Ahli-ahli Taurat itu mulai membedakan dengan
lebih tegas ajaran yang benar dan aliran-aliran sesat yang tidak boleh diikuti oleh orang-orang
Yahudi. Antara lain, yaitu ajaran agama Kristen. Hal ini juga dijelaskan dalam Injil Matius
yang mengupas secara jelas tentang kesalahan-kesalahan dari para Ahli Taurat. Oleh karena
itu, pendapat dari para ahli bahwa Injil Matius ditulis kira-kira pada tahun 80M dapat
diterima.11
Dengan berbagai pemaparan di atas terkait dengan waktu dan tempat penulisan Injil
Matius, maka penulis sepakat bahwa Injil Matius memang ditulis di Antiokhia, Syria kira-
kira antara tahun 72-85M. Perkiraan ini tepat dengan alasan-alasan yang tentu secara historis
benar adanya. Gambaran yang dikemukakan oleh penulis Injil Matius dalam tulisannya pun
turut mendukung diperkirakannya tempat dan waktu penulisan Injil tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, maka pada bagian selanjutnya penulis merasa perlu untuk memaparkan tentang
konteks dari wilayah Anthiokia. Hal ini karena Injil Matius diperuntukkan bagi komunitas
Kristen yang berada di perantauan (diaspora) dalam hal ini di Anthiokia.
11
J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab..., 4-5
42
3.3 Konteks Sosio-Kultural Syria, Anthiokia
Anthiokia didirikan oleh Seleucus I Nicator pada tahun 300 SM setelah
kemenangannya atas Antigonus. Nama Antiokhia diberikan untuk menghormati ayahnya.
Antiokhia di Syria terletak di sisi timur Sungai Orontes, kira-kira 25 kilometer dari laut, di
sebelah timur Laut Mediterania. Pada masa itu, kota ini menjadi pusat perdagangan penting
antara dunia Mediterania, daerah pedalaman Suriah, dan Timur yang dapat diakses baik dari
darat maupun perairan. Antiokhia bertanggung jawab atas pengiriman barang dari Arab,
China, India, Babilonia dan Persia ke Roma. Kota ini dikatakan telah melampaui Roma
bahkan dalam kemewahan dan kemegahannya. Sejak awal, Antiokhia dihuni oleh orang
Makedonia, Yunani, dan penduduk asli Syria, serta koloni orang Yahudi yang telah diberi
tanah oleh Seleukus sebagai hadiah untuk layanan militer mereka.12
Kota ini merupakan kota
ketiga terbesar di dunia kuno setelah Roma dan Alexandria dan merupakan ibukota provinsi
gabungan Romawi, Suriah, dan Kilika pada masa itu.13
Dalam struktur sosial masyarakat Anthiokia, terdapat dua kelompok besar, yakni
kelompok elit dan kelompok non-elit. Kelompok elit ini relatif sedikit tetapi merekalah yang
menguasai kehidupan kota untuk keuntungan mereka sendiri. Kehidupan mereka lebih
menonjol karena mereka mengendalikan kekayaan dan kekuasaan politik pemerintahan.14
Dalam struktur ini, dominasi kelompok elit sosial pada dasarnya bertumpu pada kemampuan
ekonomi, politik, kekayaan (tanah) , dan reputasinya dalam masyarakat.15
Golongan elit juga
dibantu oleh dua grup di dalam menjalankan kekuasaan mereka. Pertama, para pemimpin
keagamaan yang bertugas di kuil-kuil kota. Kedua, para pelayan yang bertugas sebagai
12
Douglas Rutt, Antioch as Pardigmatic of the Urban Center of Mission, Missio Apostolica 11 no 1 (My 2003), 2
13 David J. Bosch, Transformasi Misi..., 67
14 John Stambaugh, David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Stephen Suleeman (terj.,),
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 133 15
Warren Carter, Matthew and The Margins, A Sociopolitical and Religious Reading, (Maryknoll: Orbis Bokks, 2000), 17
43
pemungut cukai, petugas pengadilan, birokrat pemerintah atau administrator atau pegawai,
pendidik, hakim, dan tentara.16
Selanjutnya, kelompok non-elit yang terdiri dari para
pedagang kecil, pengrajin dengan penghasilan yang terbatas sehingga tidak bisa mendapatkan
kekayaan yang signifikan. Selain itu, para buruh, penjual makanan, penyedia transportasi
juga termasuk dalam kelompok ini.17
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelompok ini
merupakan kelompok marginal yang sering dikucilkan oleh para kaum elit.
Sebagai kota yang mempertemukan berbagai identitas dan etnis, wilayah ini
menyimpan potensi gesekan sosial manakala terjadi pertemuan antara dua atau lebih entitas
yang saling bertolak belakang. Streeter sebagaimana yang dikutip oleh Ner Dah, menyebut
kondisi tersebut sebagai “Antagonisme Etnis” oleh karena wilayah ini diliputi ancaman
kejahatan dan konflik akibat percampuran orang-orang dari berbagai latar belakang etnis
yang berbeda.18
Berkenaan dengan hal tersebut, Rodney Stark mengungkapkan bahwa kota
Anthiokia adalah sebuah kota yang penuh dengan penderitaan, bahaya, ketakutan, putus asa,
dan kebencian.19
Kota ini juga menjadi tempat yang dituju oleh para penginjil yang diusir dari
Yerusalem. Di sana mereka mulai nampak sebagai suatu kelompok tersendiri. Kemungkinan
mereka menamai kelompok tersebut sebagai orang-orang Kristen (bdk. Kis. 11:26). Di
Palestina sendiri orang-orang percaya tersebar di daerah pedalaman, meskipun pusat mereka
di Yerusalem (bdk. Kis 8:4-5; 26; 40; 9:32). Justru di Antiokhia orang-orang Kristen mulai
menyebarkan keyakinan kepada orang-orang bukan Yahudi atau setengah Yahudi.20
Di
Anthiokia mereka tergolong dalam kelompok sosial kelas atas dalam hal ini kelompok elit.21
16
Warren Carter, Matthew and..., 19 17
Warren Carter, Matthew and..., 20 18
Streeter, The Four Gospel, dalam Ner Dah, “Reading the Kingdom Teaching of Matthew from the Konteks of Myanmar,” PhD., diss, 2009
19 Rodney Stark, Antioch as the Social Situation for Matthew’s Gospel, in David L. Balch, Social History
of the Matthean Comunity, ed. David L. Balch, (Minneapolis: Fotress Press, 1991), 198 20
C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 32 21
Herman C. Waetjen, The Origin and Destiny of Hummanes, (California: Crystal Press, 1976), 29
44
Mereka berprofesi sebagai tuan tanah dan pedagang yang terlibat dalam bisnis dan
perdagangan.22
Justin Taylor memaparkan bahwa sebutan Kristen (pengikut Kristus) berasal dari
bahasa Latin dan bukan bahasa Yunani.23
Pada mulanya nama itu dimaksudkan sebagai nama
ejekan, tetapi kemudian orang-orang Kristen menganggapnya sebagai nama kehormatan.24
Misi mereka ialah memberitakan Injil kepada orang-orang yang masih berpegang teguh
kepada takhyul dan yang masih memuja dewa-dewa. Mereka mengabarkan tentang Yesus
Kristus yang telah meruntuhkan tembok pemisah antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa
lain.25
Dua tokoh yang terkenal sebagai pemberita yang begitu peduli terhadap keadaan
jemaat di Anthiokia dan terus membina orang-orang percaya di wilayah tersebut, yakni
Barnabas dan Paulus.26
Pada masa itu timbul berbagai kesukaran antara lain, perdebatan
mengenai sunat. Orang-orang Kristen Yahudi menyebarkan ajaran bahwa orang-orang dari
bangsa lain yang telah dibaptiskan dan telah masuk Krsiten wajib disunat. Sunat merupakan
tradisi yang diwariskan oleh Musa. Sunat sebagai tanda bahwa mereka adalah orang-orang
yang diistimewakan oleh Allah di antara bangsa-bangsa lain. Dengan memberi diri untuk
disunat, maka orang tersebut layak untuk memperoleh keselamatan. Namun, Barnabas dan
Paulus menyampaikan hal berbeda bahwa untuk mendapatkan keselamatan hanya melalui
satu jalan yaitu percaya kepada Yesus.27
Rupanya mereka juga masih memegang teguh
Hukm-hukum Musa (Taurat). Ritual-ritual yang mereka jalankan masih disertai dengan
penumpahan darah seperti pemberian korban untuk keampunan dosa dan lain sebagainya.
Mereka tidak menyadari bahwa darah Yesus yang telah dicurahkan di Bukit Golgota telah
menghapus segala dosa manusia. Dengan kehadiran Yesus di dunia dan mengerjakan karya
22
Herman C. Waetjen, The Origin..., 30 23
Justin Taylor, Asal-Usul Agama Kristen, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 170 24
J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2, Perjanjian Baru, A. Simanjuntak (terj,.), (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 763
25 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 760
26 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 762
27 J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 783
45
Allah mulai dari kelahiran hingga kenaikanNya menunjukkan bahwa Turat Musa telah
digenapi.28
Dewata pelindung kota ini adalah Dewi Tikhe (Fortuna atau dewi keberuntungan).
Pada dinding kota terdapat patung Dewi Tikhe yang memakai mahkota dan menggenggam
gandum dengan tangan kanannya. Ia duduk di atas batu karang yang melambangkan Gunung
Siplus, dan meletakkan sebelah kakinya di atas seorang anak laki-laki yang sedang berenang
(lambang sungai Orentas). Dewi ini dipercaya sebagai pembawa keberuntungan seperti
kesuburan tanah, keamanan kota sehingga terlepas dari bencana banjir dan gempa bumi.29
Selain Dewi Tike, nama Adinos sebagai dewa penebus dosa juga dipuja oleh
penduduk Anthiokia dan Siprus serta wilayah-wilayah sekitar Mediterania lainnya. Dewa
Adinos merupakan salah satu di antara dewa-dewa penebus dosa. Hashem dalam tulisannya
mengutip Davies bahwa banyak tuhan kafir yang dipuja di sekitar penyebaran agama Kristen
yang memiliki kemiripan dengan riwayat hidup Yesus sebagaimana digambarkan dalam
Alkitab.30
Ia juga memaparkan apa yang disampaikan oleh Arthur Weigall yang mengatakan
bahwa meskipun Anthiokia sebagai tempat pertama agama Kristen, namun di wilayah ini
pada tiap tahunnya memperingati kematian dan kebangkitan tuhan Adonis/Tammuz. Adonis
dikisahkan mengalami kematian dengan cara yang sangat kejam lalu turun ke neraka Hades
kemudian naik ke langit. Peringatan akan Adinos ditandai dengan disediakannya sebuah
boneka tubuhnya yang telah mati sambil diratapi oleh para pemujanya. Boneka itu kemudian
dibaptis dengan air lalu diurapi dan dikuburkan. Keesokan harinya kebangkitannya
diperingati dengan penuh kegembiraan.31
28
J. H. Bavinck, Sejarah Kerajaan..., 784 29
John Stambaugh, David Balch, Dunia Sosial..., 179 30
M. Hashem, Misteri Darah dan Penebusan Dosa di Mata Agama Purba, Yahudi, Kristen, dan Islam, (Jakarta: Hikmah, 2006), 20
31 M. Hashem, Misteri Darah..., 25
46
3.4 Ritus Korban di Wilayah Mediterania
Tindakan agama terutama ditampakkan dalam upacara (ritual).32
Dhavamony
mengatakan bahwa dalam pemikiran manusia religius, kehidupan di alam semesta dalam
kesatuan sosial maupun sebagai individu tidak dapat berlangsung, jika tidak dipelihara dan
dirangsang dengan ritus-ritus yang menjamin kesesuaian dengan kekuatan-kekuatan kosmis
atau ilahi. Dari semua ritus, upacara korban mempunyai tempat utama karena dengannya
manusia religius mengadakan persembahan diri kepada dewa lewat suatu pemberian. Oleh
karena itu, tidak perlu diragukan bahwa upacara korban tampak sebagai suatu ritus religius
yang penting dan pada banyak suku bangsa korban darah merupakan tindakan religius inti.33
Berikut ini, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai ritus korban di
wilayah Mediterania sekitar wilayah pusat penyebaran agama Kristen dini. Ritus korban di
wilayah ini terbilang lumrah.
Masyarakat Yunani kuno adalah masyarakat yang percaya kepada banyak dewa
bahkan sejumlah dewa-dewi khusus dipuja secara resmi oleh negara. Dewa utamanya ialah
Jupiter yang disamakan dengan dewa utama Yunani, yakni Zeus. Dewa-dewi lain yang juga
secara resmi dihormati, antara lain, Mars, Neptunus, Mercurius, Yuno, Vespa, dan lain-lain.34
Legenda-legenda Yunani kuno memperlihatkan bagaimana hubungan para dewa dengan
manusia. Terkadang manusia dan dewa itu saling bersitegang. Oleh karena mereka meyakini
bahwa kekuatan para dewa sangat mempengaruhi kehidupan mereka, maka untuk
menghentikan ketegangan tersebut mereka mengadakan pendekatan-pendekatan untuk
merebut hati para dewa. Hal ini dicapai dengan jalan melakukan ritual-ritual, upacara-upacara
atau pemberian korban. Legenda yang sama juga terdapat dalam masyarakat Mesir kuno dan
Romawi kuno. Sama halnya dengan masayrakat primitif lainnya, upacara, ritual, dan doa
32
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 167 33
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 203 34
C. Groenen, Pengantar Ke dalam..., 61
47
merupakan jalan untuk “menundukkan para dewa” agar mereka memberikan bantuan atau
pertolongan, keselamatan, mengabulkan harapan, serta tidak memberikan ketakutan-
ketakutan dan kengerian-kengerian. Singkatnya ialah agar para dewa itu memberi
keselamatan dan bukan menghukum manusia.35
A. Powell Davies menulis, “menonjol di mana-mana di seluruh wilayah Mediterania,
di mana terdapat pemujaan bagi dewi Rhea (atau dengan berbagai nama lain), di mana
pendeta-pendetanya menari mengikuti lagu liar, dan dalam keadaan kerasukan mereka
merogoh darah dari si korban, darah yang berarti nyawa.”36
Rhea adalah salah satu dewi bumi
dalam mitologi Yunani. Ia dipercaya memiliki kekuatan produktif yang menyebabkan
tumbuhan mulai bersemi sehingga dapat mempertahankan kehidupan manusia dan hewan.37
Di Uspala, manusia atau binatang korban digantungkan pada pohon suci, kemudian ditusuk
dan mengeluarkan darah korban hingga mati.38
Kepada Dionysos yang adalah dewa anggur
dan penjelmaan dari berkah alam,39
disajikan korban berupa kambing dan lembu. Sementara
kepada Artemis seorang dewi bulan yang mewakili cahaya, dikorbankan beruang.40
James
Carpenter menulis, “Banyak makna yang terdapat dalam berbagai macam ritual pengorbanan
karena magi dan agama telah bercampur aduk secara aneh. Kisah-kisah panjang tentang
korban berupa manusia menggambarkan hasrat dan gairah manusia untuk memperoleh
berbagai pertolongan adikodrati. Korban-korban itu dibunuh di saat bangsa itu dalam krisis
mara bahaya, untuk menebus dosa, atau sebagai pernyataan syukur atas kemenangan.
Korban-korban itu dikuburkan di pondasi rumah atau pondasi kota supaya rohnya tetap
35
Muhammad Muhyidin, Hidup di Pusaran Al-Fatihah, Mengungkap Keajaiban Konstruksi Ummul Kitab, (Bandung: Mizan Media Utama, 2008), 136
36 M. Hashem, Misteri Darah..., 4
37 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi dan Legenda Yunani dan Romawi, (Jakarta: Bukune, 2010), 47
38 M. Hashem, Misteri Darah..., 4
39 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi..., 121
40 E. M. Berens, Kumpulan Mitologi..., 88
48
melindungi gerbang-gerbang kota itu. Manusia korban itu dibunuh pada musim bertani
supaya nyawanya dapat menyuburkan tanah dan menumbuhkan benih.”41
Dalam tulisannya, Tiele juga mengungkapkan hal yang sama bahwa di dalam dinding-
dinding Kota Kopenhagen yang kokoh itu terdapat seorang gadis kecil yang dijadikan sebagi
korban untuk mengokohkan dinding-dinding tersebut. Praktik ini dianggap Kristiani dan
dibenarkan oleh para pemuka agama. Bahkan dikatakan bahwa pembangunan gereja pun
diperlukan pengorbanan yang keji itu.42
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ritus persembahan korban di wilayah
ini merupakan sebuah ritus yang terbilang sangat kejam. Untuk menenangkan hati para dewa,
ada darah bahkan nyawa yang harus dikorbankan. Dari sini, penulis menemukan beberapa
makna persembahan korban dalam ritus yang sangat mengerikan itu. Pertama, korban
dimaknai sebagai sebuah bentuk persembahan untuk melunakkan hati para dewa. Di sini,
para pemuja atau para pemberi korban harus berupaya untuk mengambil hati para dewa
tersebut. Mereka tidak hanya sekadar memuji dan “merayu” para dewa dengan berbagai
macam puisi atau kata-kata yang menyanjung hati, tetapi semuanya itu dinyatakan lewat
pemberian nyawa seorang manusia. Hanya dengan melakukan hal tersebut, mereka meyakini
bahwa segala permintaan mereka akan dipenuhi oleh para dewa. Kedua, persembahan korban
sebagai bentuk pengampunan dosa. Sama halnya dengan yang terdapat dalam ritual korban di
wilayah lainnya, dalam komunitas ini pun memiliki pemahaman bahwa ritus persembahan
korban yang mereka lakukan merupakan sebuah upaya untuk mengharapkan pengampunan
dari yang kuasa (para dewa). Mereka meyakini bahwa dengan adanya pemberian darah atau
nyawa dari seorang manusia, maka segala bentuk kejahatan dan dosa yang telah dilakukan
sehingga melukai hati para dewa dapat diampuni.
41
M. Hashem, Misteri Darah..., 5 42
M. Hashem, Misteri Darah..., 6
49
3.5 Ritus Korban dalam Komunitas Bangsa Yahudi
Selain membahas tentag ritus korban di wilayah Mediterania, penulis merasa perlu
juga untuk memaparkan tentang ritus korban dalam komunitas bangsa Yahudi. Hal ini
sebagai upaya untuk memahami Yesus sebagai korban sebagaimana tercatat di dalam Injil
termasuk Injil Matius. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa orang-
orang Yahudi yang hidup dirantauan (diaspora) tetap setia pada agama nenek moyangnya
termasuk Hukum Taurat. Dalam ajaran agama mereka, terdapat juga berbagai macam ibadah
kultis yang dilakukan sebagai bentuk pemujaan dan persembahan kepada Allah. Dalam kitab
suci Yahudi, yakni Kitab Perjanjian Lama, hampir segala sesuatu harus diselesaikan melalui
upacara korban. Ada korban penghapusan dosa, ada korban keselamatan, korban perdamaian,
korban tahunan, korban bulanan, korban mingguan (sabat), dan korban harian yang dilakukan
setiap pagi dan petang.43
Hans Weber mengatakan bahwa pelaksanaan kultis ini sebagai respon terhadap
manifestasi Allah yang berlangsung di Gunung Sinai.44
Salah satu bentuk ibadah kultis yang
telah membudaya dalam kehidupan mereka ialah pelaksanaan upacara/ritus. Ritus yang
dipandang penting dalam kehidupan mereka yakni ritus korban. Ritus yang diturunkan dari
nenek moyang mereka (Israel) ini biasanya dipimpin oleh para imam kepala dan kaum Lewi.
Keterangan mengenai seluk beluk sistem korban di Israel sangatlah minim.
Keterangan tersebut hanya dapat ditemukan dalam Kodeks-kodeks Hukum yang kuno
maupun karangan sejarah zaman pra-pembuangan di Isarel. Baru pada zaman post-
pembuangan, Kodeks Imamat melakukan pembaruan terhadap bentuk-bentuk kuno tersebut.45
Di dalam bagian prasejarah dari sumber Yahwist, terdapat dua jenis persembahan korban
yang berbeda. Kain mengorbankan hasil pertama dari tanamannya sedangkan Habel
43
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 107 44
Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah Studi Teologi Alkitabiah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 150 45
H. H. Rowley, Ibadat Israel Kuno, Worship in Ancient Israel, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 89
50
mempersembahkan anak ternak pertamanya. Upacara ini dikatakan sebagai sebuah respon
atau ungkapan terimakasih kepda Yahwe atas berkat-Nya yang diberikan lewat pekerjaan
manusia. Selanjutnya, Nuh yang mempersembahkan korban kepada Yahwe setelah air bah
surut. Persembahan ini bertujuan sebagai sebuah bentuk pemujaan dan ungkapan terima kasih
kepada-Nya yang telah memberikan pertolongan. Dalam perkembangannya, hukum-hukum
para imam mengenai tata cara persembahan korban juga mencantumkan bentuk persembahan
korban lainnya yang berbeda. Korban persembahan yang dimaksudkan seperti, korban
bakaran, korban tanaman, korban perdamaian, korban dosa, dan korban salah (Im. 1-7).
Pemujaan itu membantu Israel untuk mengenang Allah mereka dan membuat mereka selalu
sadar bahwa segala sesuatu itu adalah milik Allah.46
Rowley dalam tulisannya juga memaparkan bahwa terdapat beberapa jenis korban
dalam komunitas bangsa Israel kuno.47
Pertama, korban Paskah. Upacara korban Paskah
merupakan suatu masa raya musim semi di kalangan nomadis (penggembala pengembara)
yang bertujuan mencegah pengaruh jahat yang mengancam kawanan ternak dan rumah
tangga. Upacara ini sudah dilakukan sejak perebutan tanah Kanaan sampai kepada zaman
Yosia.48
Orang-orang Israel mempertahankan hubungan perayaan ini dengan pertanian
namun tidak lagi dihubungkan dengan dewa-dewi kesuburan Kanaan yang diakui sebagai
pembawa hujan dan sinar matahari bagi pertumbuhan dan hasil panen. Perayaan ini ditujukan
hanya kepada Yahwe.49
Dalam pelaksanaan upacara korban Paskah, biasanya binatang-binatang korban
dibawa ke kuil setempat untuk disembelih disitu. Riwayat tentang perayaan Paskah ini, tidak
disebutkan mengenai adanya sebuah mezbah. Dengan demikian tidak dapat dipastikan
apakah darah dan lemak korban Paskah dipersembahkan di atas mezbah. Rowley berpendapat
46
Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 152 47
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 93 48
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 95 49
Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 154
51
bahwa rupanya masing-masing keluarga menyembelih binatang korbannya sendiri. Lalu,
darah korban itu disapukan ke ambang atas dan pada kedua tiang pembantu rumah masing-
masing keluarga. Setelah itu, binatang korban itu dipanggang dalam keadaan utuh dan
dimakan habis sebelum fajar menyingsing. Bagian-bagian yang tidak dapat dimakan harus
dibakar habis sebelum esok hari. Perayaan ini selalu dikaitkan dengan masa raya Roti tak
Beragi oleh karena pada saat upacara ini berlangsung, daging korban itu biasanya dimakan
bersamaan dengan roti yang tak beragi beserta sayur pahit (Kel. 12:8).50
Kedua, korban bakaran. Upacara korban ini biasanya disebut Olah yang berasal dari
kata kerja nahasa Ibrani yang berarti naik. Maksudnya ialah korban yang naik dalam bentuk
asap. Upacara ini sering juga disebut dengan Kail yang berasal dari kata Kol yang berarti
“seluruh,” dalam arti bahwa korban itu secara keseluruhan dibakar di atas mezbah.51
Istilah
lain yang sering terdapat dalam Kodeks Imamat, tetapi jarang ditemukan ialah isysyeh yang
berasal dari kata esy yang berarti api. Maksudnya ialah korban dibakar habis dengan api.
Upacara korban bakaran ini bertujuan untuk menyatakan sembah sujud si penyembah kepada
Tuhan dan untuk menarik perhatian Tuhan dengan menyerahkan persembahan yang berharga
kepadaNya. Kodeks Imamat menyebutkan korban bakaran itu sebagi korban api-apian yang
baunya menyenangkan hati Tuhan (Im. 1:9; 13, 17). Kodeks Imamat juga mencatat bahwa
korban bakaran ini wajib disajikan dua kali sehari, yakni pagi dan sore, sebagai persembahan
masyarakat umum.52
Ketiga, korban pendamaian. Upacara korban ini kadang disebut dengan syelamim
yang berhubungan dengan kata syalom (damai, kesejahteraan). Akan tetapi, kata kerja syilem
digunakan dalam arti “melunasi utang” atau “membayar nazar.” Menurut Koehler, jika kedua
kata ini dihubungkan, maka dapat ditemukan sebuah makna “beres di hadapan Allah.” Di lain
50
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 93-94 51
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Imamat, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 31 52
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 97-98
52
pihak, Pedersen menerjemahkan syelamim dengan istilah “persembahan perjanjian.”
Meskipun demikian, Rowley meragukan apakah konsep ini meliputi segala aspek dari kata
syelamim. Menurutnya, korban syelamim adalah upacara korban yang bertujuan untuk
memelihara atau memperbaiki hubungan antara si penyembah dengan Tuhan. Hal ini
bersesuaian dengan arti kata syalom yang pada akhirnya dapat dikatakan sebagai sebuah
kesadaran bahwa kesejahteraan manusia berlandaskan hubungan yang baik dengan Allah.
Proses pelaksanaan upacara korban pendamaian adalah dengan cara mencucurkan darah
korban pada kaki mezbah kemudian lemaknya dibakar di atas mezbah (Im.3:2). Sebagian dari
daging menjadi hak para imam dan sebagian lagi dimakan oleh para penyembah beserta
keluarga dan tamu-tamunya (Im. 7:11). Oleh karena itu, persembahan ini juga disebut sebagai
persembahan persaudaraan atau persembahan pembagian.53
Hans Weber mengemukakan
bahwa biasanya dalam ritus ini korban dalam bentuk hasil penenan pun turut
dipersembahkan. Biasanya setelah ritus ini dilakukan, para pemujanya akan berpesta dan
bersukaria (Kel. 3:26; bnd. Ul. 12:5-7; 1 Sam. 1:3).54
Salah satu ritus korban yang erat
kaitannya dengan korban pendamaian adalah ritus korban kambing bagi Azazel. R. D. Vaux
berpendapat bahwa Azazel merupakan nama dari salah satu roh jahat. Ritus ini merupakan
sebuah ritus yang sudah sangat kuno. Dalam upacara ini, disediakan dua ekor kambing
namun hanya satu yang disembelih sedangkan satunya lagi dilepaskan ke padang gurun.
Salah satu korban yang dilepaskan itu ditujukan kepada Azazel sedangkan korban yang
disembelih ditujukan kepada Yahwe.55
Ketiga, korban penghapus dosa dan korban penebus salah. Korban penebus salah
dalam bahasa Ibrani disebut dengan istilah asyam. Istilah ini terdapat dalam dokumen-
domuken pra-pembuangan, namun yang dimaksudkan bukanlah penyembelihan binatang
53
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 99-100 54
Hans Ruedi Weber, Kuasa, Sebuah..., 154 55
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 74
53
korban melainkan simbol-simbol emas yang diletakkan di samping tabut pada waktu orang
Filistin mengembalikannya kepada Israel (1 Sam. 6:3, 4, 8, 17). Istilah asyam juga menunjuk
pada uang yang dibayar kepada imam (2 Raj. 12:17). Istilah asyam juga diartikan “salah
karena dosa” tanpa menyinggung adanya persembahan korban yang menyatakan rasa salah
itu. Sedangkan untuk upacara korban penghapus dosa digunakan istilah hata’th.56
Kata yang
diterjemahkan sebagai korban penghapus dosa pada aslinya bukan istilah tehknis di bidang
agama/kultus sama seperti korban bakaran, korban keselamatan, dan sering berart dosa saja.
Memang ungkapan ini bisa diterjemahkan sebagai untuk dosa. Jika diperhatikan, korban ini
berbeda dengan korban-korban lainnya karena sebagian besar dari korban itu bukan dibakar
di atas mezbah, tetapi di luar perkemahan.57
Kedua ritus korban ini pada dasarnya memiliki
perbedaan. Perbedaannya terletak pada proses pelaksanaannya di mana dalam ritus korban
penebus salah darah dan korban dilemparkan atau disiramkan pada mezbah. Pada
pelaksanaan korban penebus dosa, pemberi korban mencucukan jarinya ke darah korban lalu
dibubuhkan di atas tanduk-tanduk mezbah dan sisanya dituangkan di kaki mezbah.58
Menurut Luis Berkhof, ada lima teori pengorbanan dalam memahami ibadah korban
di Israel. Pertama, The gift theory. Teori ini melihat korban sebagai hadiah-hadiah atau
pemberian kepada dewa untuk memelihara hubungan yang baik dan mendapat
perlindungan. Kedua, The sacramental-communion theory. Latar belakang teori ini
adalah pemujaan terhadap totem. Warga komunitas ibadah bertemu pada waktu untuk
menyembelih binatang totem untuk dimakan bersama sebagai tanda persekutuan mereka
dengan ilahi sekaligus menerima khasiat ilahi dari totem itu. ketiga, The homage-theory.
Teori ini menyatakan bahwa korban sejatinya adalah ungkapan penghormatan dan
ketergantungan. Manusia mendekatkan diri kepada Tuhan bukan karena perasaan
56
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 104 57
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab..., 97 58
H. H. Rowley, Ibadat Israel..., 102
54
bersalah melainkan karena merasa bergantung pada dan menunjukkan hormat kepada
Tuhan. Keempat, The simbol-theory. Di sini korban dipahami sebagai simbol pemulihan
relasi dengan Tuhan yang terganggu. Kehadiran darah binatang korban yang merupakan
simbol kehidupan adalah untuk memulihkan kembali relasi itu. Kelima, The piacular theory.
Dalam teori ini, ritus korban dipahami sebagai sebuah akta penebusan. Binatang korban yang
disembelih berperan sebagai penebusan yang menggantikan atau menutupi dosa dari
pemberi korban. Pemaknaan ini mengakomodir semua praktek korban, baik yang
ditemukan dalam ibadah Israel maupun ibadah di berbagai agama manusia.59
3.6 Kesimpulan
Injil Matius yang diperkirakan dituliskan sekitar tahun 75-85 M di Anthiokia, Syria
merupakan sebuah Injil yang sangat dipengaruhi oleh konteks masyarakat Yahudi di
perantauan (diaspora). Penulisnya adalah seorang Yahudi yang dalam tulisannya banyak kali
mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi bahkan komunitas itu sendiri lewat kisah
perjanalan Yesus mulai dari kelahiran hingga amanat terakhir yang Ia berikan sebelum
terangkat ke surga. Tulisan ini menekankan terutama pada Perjanjian Lama dan Hukum
Taurat.
Anthiokia sebagai tempat penulisan Injil Matius merupakan sebuah kota yang penting
karena merupakan jalur para pedagang asing. Dalam kehidupan sosial, masyarakat ini terdiri
dari dua kelompok, yakni kelompok elit dan non-elit. Perbedaan status sosial ini seringkali
memicu konflik di antara keduanya. Selain itu, terdapat juga suatu kelompok dari kalangan
Yahudi yang disebut Kristen. Dalam komunitas Kristen dan komunitas Yahudi pun sering
terjadi konflik yang diakibatkan oleh perbedaan keyakinan yang dianut oleh masing-masing
59
Luis Berkhof, Sistematic Theology, (London: The Banner Of Truth Trust, 1949), 362-363
55
dari mereka. Persoalan yang dimaksud antara lain mengenai sunat, makanan yang najis dan
tidak najis, serta pemahaman mereka yang berbeda tentang Mesias.
Kota ini masih kental dengan budayanya dalam hal ini yang berhubungan dengan
keagamaan. Mereka masih percaya kepada para dewa yang memiliki kekuatannya masing-
masing. Untuk menjaga hubungan mereka dengan para dewa, mereka mengadakan berbagai
ritus termasuk di dalamnya ritus persembahan korban.
Yesus sebagaimana yang dikabarkan oleh penulis Injil Matius, hidup dalam sebuah
komunitas yang juga melakukan ritus-ritus untuk menjaga hubungan mereka dengan yang
Maha Kuasa. Korban atau persembahan yang diberikan kepada Yahwe adalah sebuah bentuk
permohonan dan perlindungan kepada Tuhan agar mereka diluputkan dari berbagai bencana
dan malapetaka. Korban juga sebagai bentuk ungkapan terima kasih atas segala berkat yang
diberikan Tuhan kepada mereka. Korban yang dimaksud antara lain, korban pendamaian,
korban bakaran, korban pengampunan dosa dan pengahapusan salah. Dalam pemberian
korban tersebut darah memainkan peranan penting. Arti pentingnya darah untuk pemurnian
sudah terkenal. Hampir semua benda, menurut hukum Taurat dibersihkan dengan darah.
Tanpa menumpahkan darah tidak ada pengampunan dari dosa.60
Konteks ini adalah konteks Injil Matius yang menjadi bagian penting dalam
menafsirkan Matius 26:36-46. Penafsiran tersebut akan dipaparkan dalam bab selanjutnya.
Dari penjelasan dalam bab ini jelas bahwa ritus korban memainkan peranan penting baik
dalam komunitas Yahudi maupun nonYahudi. Ritus ini bertujuan untuk menyatukan
masyarakat bahkan untuk membangun hubungan yang baik dengan yang Ilahi atau Sang
Adikodrati, mereka meyakini bahwa ada darah yang harus ditumpahkan.
60
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama..., 28