bab 3 geologi daerah penelitian -...
TRANSCRIPT
11
BAB 3
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian
Analisis geomorfologi dilakukan untuk mempelajari proses bentang alam terbentuk secara
konstruksional (yang diakibatkan oleh gaya endogen), berupa aktivitas tektonik ataupun struktur
geologi, dan bagaimana bentang alam tersebut dipengaruhi oleh proses-proses di permukaan
bumi berupa gaya eksogen seperti iklim, sungai, dan lainnya yang bersifat destruksional dan
menghasilkan bentangan alam tertentu. Pengaruh struktur (perlipatan, penyesaran, pengangkatan,
dan termasuk di dalamnya jenis-jenis batuan) yang bersifat konstruksional dan proses yang
bersifat destruksional (pelapukan, longsoran kerja air, angin, gelombang, pelarutan, dan lain
sebagainya) merupakan dua buah parameter sangat penting dalam pembentukan rupa bumi
sekarang di daerah penelitian.
Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan
menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan gambaran kecurigaan
pada keterdapatan unsur-unsur struktur geologi atau jenis-jenis batuan tertentu.
Metode yang digunakan dalam melakukan analisis ini adalah dengan analisis peta topografi
untuk mendapatkan data kelurusan lereng, pola kontur topografi, kisaran besar sudut lereng,
tingkat erosi yang terjadi, interpretasi kemiringan lapisan (dipslope), sehingga dari semua itu
dapat merepresentasikan jenis dan penyebaran batuan, serta struktur yang mengontrol daerah
tersebut. Data tersebut diolah dan dianalisis untuk menentukan satuan geomorfologinya
berdasarkan klasifikasi Lobeck (1939) serta analisis proses-proses geologi yang
menyebabkannya. Hasilnya ditampilkan pada peta geomorfologi.
3.1.1 Penafsiran Kondisi Geologi
Bentang alam daerah penelitian terdiri dari perbukitan, dataran, dan lembah yang memiliki
perbedaan relief. Keberadaan punggungan dan lembah menunjukkan perbedaan tingkat resistensi
dari batuan yang ada terhadap proses erosi.
Punggungan dan perbukitan, dicirikan dengan pola kontur yang relatif rapat pada peta
topografi, dengan jumlah yang hanya sedikit terdapat pada peta, yaitu pada bagian barat daya
12
dari daerah penelitian. Berdasarkan pengamatan di lapangan, tersusun atas litologi batupasir
dengan setempat-tempat terdapat sisipan teras. Dataran dan lembah, dicirikan dengan pola kontur
yang relatif renggang pada peta topografi, terdapat pada hampir seluruh bagian pada daerah
penelitian namun terutama terdapat pada bagian utara dan tengah daerah penelitian. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, dataran dan lembah tersusun atas litologi yang di dominasi oleh
batulempung yang kurang resisten terhadap pelapukan dan erosi.
3.1.2. Pola Aliran Sungai dan Tipe Genetik Sungai
Pola aliran sungai yang berkembang di daerah penelitian (Gambar 5) menunjukkan pola
dendritik pada hampir seluruh daerah penelitian dan terdapat dua lokasi yang memiliki pola
radial. Sungai-sungai yang berada di daerah penelitian umumnya memiliki tipe konsekuen yang
memiliki arah aliran searah dengan kemiringan dari perlapisan dan subsekuen (Foto 1) yang
memiliki arah aliran searah dengan jurus perlapisan.
Gambar 5. Peta aliran dan tipe genetik sungai daerah penelitian. (S) Subsekuen = Sungai searah jurus
lapisan, (K) Konsekuen = Sungai searah kemiringan lapisan.
Pola dendritik
Pola dendritik
Pola dendritik
Pola radial
Pola radial
13
Foto 1. Sungai subsekuen dengan arah aliran yang searah kemiringan lapisan. Foto diambil pada
sungai di daerah Nglebak dengan menghadap ke arah barat.
Pola dendritik ini menunjukkan daerah – daerah dengan kemiringan lapisan yang landai
dengan lereng yang tidak terjal. Hal ini mendukung dengan kenyataan bahwa aliran dendritik
pada daerah penelitian berada pada topografi yang rendah dan kemiringan yang landai. Pola
dendritik pada daerah ini terletak pada daerah di sekitar Girang dan utaranya, Kalikangkung,
Nglebak dan Plumbon (Gambar 5). Daerah – daerah ini memiliki kemiringan lereng yang landai
serta topografi yang rendah.
Pola radial pada daerah ini terlihat pada daerah di bagian barat dari Sungai Orororombo
(Gambar 5), dengan alirannya yang menjauhi pusat aliran. Hal ini disebabkan topografi pada
daerah pusat aliran lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Pola radial ini juga
terdapat pada daerah Jamurpulu, dengan arah aliran sungai yang menjauhi pusat aliran.
14
Pola rektangular terdapat di beberapa daerah pada daerah penelitian, yaitu pada daerah
Dawung dan pada bagian barat dari Kali Kedunggedang. Daerah Dawung diperkirakan
merupakan daerah yang dilewati oleh sesar mendatar sehingga terkena pengaruh dari sesar
tersebut.
3.1.3 Satuan Geomorfologi
Geomorfologi daerah penelitian (Gambar 6) dibagi menurut klasifikasi Lobeck (1939).
Klasifikasi dan pembagian nama satuan geomorfologi secara genetis berdasarkan pada tipe
genetik atau proses dan faktor penyebab bentukan morfologi, sehingga daerah penelitian dibagi
menjadi dua satuan geomorfologi, yaitu Satuan Dataran Perlipatan dan Satuan Teras Sungai.
Gambar 6. Peta satuan geomorfologi
3.1.3.1 Satuan Geomorfik Teras Sungai
Satuan ini menempati sekitar 30% dari luas total daerah penelitian yang berada di bagian barat
daya daerah penelitian, yang meliputi daerah Gunung Rambut (Foto 2). Daerah ini mempunyai
ketinggian antara 56 m hingga 110 m dan batuan penyusun terdiri dari batupasir dengan sisipan
lempung dan teras yang berada pada bagian atas litologi batupasir.
15
Melalui pengamatan dari daerah penelitian dan peta topografi, satuan ini dicirikan oleh dataran
landai dan punggungan yang memiliki kemiringan ke arah selatan dengan kemiringan lereng
landai – agak terjal. Punggungan pada satuan ini terdapat pada daerah Gunung Rambut.
Proses pembentukan yang utama dari satuan ini adalah proses tektonik pengangkatan yang
terjadi pada saat Pleistosen Awal – Pleistosen Akhir sehingga menyebabkan daerah ini terangkat
lebih tinggi dibandingkan satuan lainnya.
Proses pembentukan satuan teras ini merupakan hasil pengendapan endapan yang terbawa oleh
arus Sungai Bengawan Solo selama kurun waktu jutaan tahun. Proses perubahan muka air akan
menyebabkan perubahan dari lokasi sedimentasi disebabkan oleh bedload dari endapan yang
terbawa akan berubah kedudukannya. Hal ini akan menyebabkan tertinggalnya endapan
sebelumnya akibat perubahan muka air, dan menyebabkan terdapat beberapa terasan teras
dikarenakan oleh beberapa perubahan muka air dalam kurun waktu tertentu
Foto 2. Foto satuan geomorfologi teras. Foto diambil menghadap ke arah tenggara, dengan punggungan yang terlihat
merupakan Gunung Rambut
Teras gunung
rambut
16
3.1.3.2 Satuan Geomorfik Perbukitan Perlipatan
Satuan ini menempati sekitar 70% dari luas total daerah penelitian (Foto 3) dan penyebarannya
hampir mencakupi seluruh daerah penelitian. Daerah ini mempunyai elevasi antara 50 m dan 120
m dan batuan litologi penyusunnya terdiri dari batupasir, napal, endapan teras dan batugamping.
Pada peta geomorfologi, satuan ini dicirikan dengan garis kontur yang sangat renggang.
Satuan ini memiliki kemiringan lereng sekitar landai – agak terjal. Satuan ini termasuk daerah
yang didominasi oleh dataran landai, walaupun di beberapa tempat masih terdapat tinggian.
Daerah ini telah melewati erosi secara lateral yang cukup ekstensif sehingga terdapat lembah –
lembah vertikal yang curam.
Satuan ini tersebar pada daerah Girang, Kalikangkung, dan Kedunggedang.
Pada daerah ini terdapat beberapa perlipatan berupa sinklin dan antiklin, sehingga dapat
disimpulkan bahwa daerah ini masuk ke dalam zona perlipatan.
Proses paling utama sebagai pengontrol dari satuan ini adalah proses tektonik yang menyebabkan
terdapatnya sesar – sesar mendatar, sesar naik, serta lipatan – lipatan berupa antiklin dan sinklin
yang didapatkan berdasarkan pengamatan di lapangan.
17
Foto 3. Satuan geomorfologi perbukitan perlipatan. Foto diambil meghadap ke arah selatan.
18
3.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan hasil analisis data – data yang diperoleh
dari lapangan, maka stratigrafi daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat satuan tidak resmi
dari tua ke muda sebagai berikut (Gambar 7):
1. Satuan Batupasir
2. Satuan Napal
3. Satuan Batugamping
4. Satuan Teras
5. Satuan Aluvial
3.2.1 Satuan Batupasir
Satuan ini berada pada bagian selatan daerah penelitian dengan dicirikan oleh
kemunculan litologi batupasir karbonatan dan lempung yang hadir sebagai sisipannya.
Batupasir berwarna coklat terang hingga abu-abu terang, kompak, porositas baik,
pemilahan sedang, kemas terbuka, karbonatan (Foto 4). Ketebalan lapisannya sekitar 40 -
60 cm. Dari sayatan tipis pada satuan ini ditentukan penamaan batupasir pada satuan ini
sebagai lithic greywacke.
19
Gambar 7. Stratigrafi daerah penelitian.
20
Foto 4. Foto singkapan batupasir.
Berdasarkan hasil sayatan tipis yang dilakukan pada sampel, didapatkan hasil penamaan
batupasir lithic greywacke, bertekstur klastik, terpilah butuk, kemas terbuka, point
contact, concave-convex, butiran (35%), terdiri dari kuarsa, opak, plagioklas, hornblenda
rata-rata ukuran butiran (0,065-0,25mm), matriks lempung (45%), litik, oksida besi,
porositas (20%) (Lampiran A).
Lempung berwarna putih hingga abu-abu gelap, karbonatan, kompak, masif, ketebalan
lapisan sekitar 30-45 cm. Berdasarkan analisis kalsimetri diperoleh persentasi karbonat
sekitar 5% - 35%, sehingga berdasarkan klasifikasi Pettijohn (1951) (Gambar 8) dapat
disimpulkan bahwa lempung ini termasuk ke dalam lempung karbonatan hingga lempung
(Lampiran B).
21
Gambar 8. Modifikasi tabel klasifikasi Pettijohn (1951) (http://www.answers.com/topic/marl-1,
diambil pada Agustus 2010)
Melalui hasil analisis penentuan umur dengan menggunakan fosil foraminifera plankton
dan bentonik, ditemukan umur lapisan yaitu pada Miosen Akhir (N16 – N17). Hasil ini
diperoleh dengan ditemukannya keberadaan fosil Globigerinoides meratumida yang
muncul pertama kali pada masa N-16 dan keberadaan fosil Globigerinoides praebulloides
praebulloides yang kehadirannya berakhir pada masa N-17 (Lampiran C).
Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menggunakan analisis
foraminifera bentonik yang hadir pada singkapan batuan. Berdasarkan Robertson
Research (1985), beberapa fosil bentonik dapat dipergunakan sebagai penciri lingkungan
pengendapan tertentu, namun harus diperhatikan juga bahwa beberapa fosil dapat hadir
pada lebih dari satu lingkungan pengendapan, sehingga persentasi ratio antara
foraminifera planktonik dengan bentonik juga dipergunakan sebagai faktor penentuan
lingkungan pengendapan (Robertson Research, 1985).
Fosil bentonik yang ditemukan pada daerah penelitian adalah Uvigerina peregnina,
Ammonia sp, dan. Operculina sp., sehingga lingkungan pengendapan dari satuan
22
batupasir sisipan lempung ini diperkirakan merupakan daerah neritik dalam (Robertson
Research, 1985) dengan persentasi kehadiran plantonik sebesar 20%.
Satuan batuan ini diperkirakan diendapkan melalui mekanisme turbidit, dikarenakan
sekalipun tidak ada struktur sedimentasi yang mendukung pernyataan bahwa satuan ini
merupakan hasil dari mekanisme turbidit, pada daerah yang bersebelahan dengan daerah
penelitian pada satuan dengan ciri – ciri litologi yang sama dengan satuan ini ditemukan
beberapa struktur sedimen seperti sekuen Bouma yang merupakan salah satu penciri
mekanisme turbidit.
Dari ciri litologi dan umur pengendapannya, satuan Batupasir dengan sisipan Lempung
ini dapat disetarakan dengan Formasi Kerek.
Foto 5. Foto singkapan batupasir.
23
3.2.2 Satuan Napal.
Satuan ini merupakan satuan terbesar, dengan dominasi napal dan beberapa sisipan pasir
yang dapat ditemukan sepanjang satuan. Sisipan pasir semakin bertambah dalam hal
kuantitas semakin ke arah selatan. Terdapat banyak fosil pada satuan ini.
Napal berwarna putih hingga abu-abu kehijauan, kompak, di lapangan bereaksi dengan
HCl (Foto 6) sedangkan berdasarkan analisis kalsimetri diperoleh persentase kandungan
karbonat dengan kisaran sebesar 21% hingga 35% yang berdasarkan klasifikasi Pettijohn
(1951) termasuk ke dalam napal - lempung. (lihat lampiran B, Analisis Kalsimetri).
Batupasir berwarna abu-abu terang hingga kecoklatan, getas, porositas baik, pemilahan
sedang, kemas terbuka, karbonatan. Batupasir hadir sebagai sisipan pada satuan napal.
Dari hasil analisis foraminifera plankton dan bentos ditentukan umur lapisan Pliosen
Awal hingga Pliosen Akhir Pulleniatina obliqueloculata praecursor dan Globorotalia
acostaensis. Pulleniatina obliqueloculata praecursor hadir mulai dari N18 – N21 dan
Globorotalia acostaensis hadir dari N16 – N21, sehingga dapat disimpulkan bahwa umur
dari satuan ini adalah (N18 – N21) (Lampiran C).
Foraminifera bentonik yang ditemukan pada daerah ini adalah Nodosaria sp., Cibicides
sp., Gyrodina sp., Lagena sp., Dentalina spp., dan Uvigerina sp. dengan persentase
kehadiran plantonik 20% - 30% sehingga daerah pengendapannya disimpulkan neritik
tengah (Robertson Research, 1985).
Satuan ini memanjang dari barat – timur dan memenuhi sekitar 30% dari luas daerah
penelitian dan meliputi dari daerah Kalikangkung hingga Sembungan.
Napal pada satuan ini bersifat pejal, sehingga diperkirakan bahwa napal pada satuan ini
diendapkan dengan arus suspensi, dan hal ini juga dikuatkan dengan kenyataan bahwa
napal di daerah ini cenderung bersifat masif. Melalui hasil analisis lingkungan
24
pengendapan dengan menggunakan keberadaan fosil foraminifera bentonik pada sampel
satuan napal ini, diperkirakan bahwa lingkungan pengendapan dari satuan ini berada pada
daerah neritik dalam.
Satuan ini memiliki hubungan penjemarian dengan satuan batugamping di bagian utara
dari satuan ini. Penarikan hubungan penjemarian pada satuan ini dengan lapisan di
atasnya diambil dari hasil analisis mikrofosil untuk penentuan umur yang menyatakan
bahwa umur dari satuan ini sama dengan satuan batugamping perselingan napal.
Foto 6. Foto singkapan napal. Napal putih hampir menyerupai tuff dikarenakan kering (A), di-
ambil di sungai Orororombo, dan napal abu – abu kehijauan karena basah (B) diambil di sungai
Bengawan Solo di daerah Sembungan.
A
B
25
3.2.3 Satuan Batugamping, Fomasi Kalibeng Anggota Klitik
Satuan batugamping di bagian utara dari daerah penelitian dengan menempati area seluas
sekitar 25% dari luas total daerah penelitian. Ketebalan satuan ini dengan menggunakan
rekonstruksi dari penampang regional adalah sekitar 250 m. Satuan ini ditemukan pada
daerah Nglebak dan menerus ke arah barat timur dengan kemiringan ke arah utara.
Satuan ini dicirikan dengan terdapatnya perselingan antara batugamping dan napal.
Batugamping merupakan batugamping klastik, berbutir pasir halus hingga sedang,
porositas baik, pemilahan sedang, kemas sedang, kompak dan keras. Ketebalan lapisan
ini berkisar antara 20-30 cm. Dari sayatan tipis pada litologi ini ditemukan jenis
batugamping, yaitu kalkarenit dengan menggunakan klasifikasi Grabau (1904).
Melalui hasil sayatan tipis yang dilakukan pada sampel, didapatkan hasil penamaan
batuan sebagai kalkarenit, bertekstur klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, butiran
(25%), terdiri dari kuarsa, fragmen plagioklas , mineral opak, dan fosil foraminifera,
berukuran (0,052-0,5mm), matriks (63%) lumpur karbonatan, dan porositas total sebesar
12% (Lampiran A).
Napal berwarna putih hingga abu-abu kehijauan, kompak, bereaksi dengan HCl.
Berdasarkan analisis kalsimetri deiperoleh persentase kandungan karbonat dengan
kisaran sebesar 21% hingga 35% yang berdasarkan klasifikasi Pettijohn (1951) termasuk
ke dalam napal - lempung (lihat lampiran B, Analisis Kalsmetri).
Dari hasil analisis foraminifera plankton dan bentos (Bab 3 dan lampiran Analisis
Mikropaleontologi), diperoleh bahwa satuan ini diendapkan pada kala Pliosen Awal
(N18-N19), dengan ditandai kemunculan spesies Sphaerodinellopsis seminula yang
berakhir pada N19 dan kemunculan Pulleniatina obliqueloculata yang muncul pertama
kali pada N18 (Lampiran C).
26
Satuan batugamping dengan perselingan napal ini diendapkan menjari dengan satuan
napal dan ditunjukkan dengan umur yang diperoleh pada satuan ini termasuk ke dalam
rentang umur satuan napal (N18-N21).
Lingkungan pengendapan daerah ini dianalisis menggunakan analisis foraminifera
bentonik yang diperoleh dari sampel napal yang diperoleh pada singkapan di daerah
penelitian. Fosil bentos yang ditemukan pada sampel dan dipergunakan sebagai acuan
analisis adalah Uvigerina spp, Dentalina sp. dan Nodosaria sp. dengan keberadaan
planktonik sebesar 20% - 30%, sehingga diperkirakan daerah pengendapannya berada di
daerah neritik tengah (Robertson Research 1985).
Pada satuan ini dapat dilihat gradasi dari jumlah batugamping dan napal melalui
singkapan – singkapan yang terdapat pada daerah penelitian. Singkapan dengan
keberadaan napal yang masif dan kehadiran batugamping sebagai sisipan dapat dilihat
pada foto 6, foto ini diambil dari daerah Kali Kedunggedang, sekitar timur laut dari
Kalikangkung. Pada foto 8 dapat dilihat perubahan jumlah persentase batugamping dan
napal yang hampir 50% - 50%, atau terjadi perselingan antara batugamping dan napal
pada singkapan tersebut. Gambar 9 diambil pada terusan Kali Kedunggede di daerah
Nglebak.
Melalui gradasi ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya terdapat penjemarian dari satuan
batugamping perselingan napal dan satuan napal. Dari bagian bawah lapisan satuan
batugamping perselingan napal terlihat penambahan jumlah batugamping hingga terjadi
perselingan antara batugamping dan napal. Perselingan ini sendiri dapat diperkirakan
merupakan bukti penting dari penjemarian itu sendiri. Dilihat dari hubungan stratigrafi
antara satuan batugamping perselingan napal dan napal, maka diperkirakan bahwa influx
sedimen karbonat paling banyak terjadi pada Pliosen Akhir, dilihat dari posisi
penjemarian batugamping perselingan napal yang terletak di bagian atas dari satuan
napal.
27
Dilihat dari tekstur batugamping pada daerah ini yang bertekstur klastik, maka
diperkirakan bahwa material batugamping pada satuan ini terbawa lingkungan perairan
dangkal ke bagian yang lebih dalam dan terendapkan secara bersamaan dengan napal,.
Dari ciri litologi, umur dan lingkungan pengendapannya, satuan batugamping dengan
perselingan napal ini dapat disebandingkan dengan Anggota Klitik Formasi Kalibeng.
Foto 7. Foto singkapan napal dengan sisipan batugamping (A) di Kali Kedunggedang,
A
28
Foto 8. Foto singkapan batugamping (B) perselingan napal (A) di daerah Nglebak.
3.2.4 Satuan Teras
Satuan ini tersebar dengan tidak merata pada beberapa tempat di daerah penelitian, hadir
di atas litologi lain dan pada umumnya tersebar lokal di beberapa lokasi pada daerah
penelitian. Adapun alasan letak satuan ini hanya di beberapa tempat di daerah penelitian
dikarenakan satuan ini telah terkena erosi, terutama akibat pengangkatan akibat tektonik
pada masa Plio – Pleistosen. Satuan ini terendapkan dari endapan-endapan yang terbawa
oleh arus Sungai Bengawan Solo dari waktu ke waktu, dan membentuk beberapa tingkat
teras karena perubahan yang terjadi pada muka air Bengawan Solo dari waktu ke waktu
dan adanya pengangkatan, sehingga endapan yang telah ada sebelumnya akan tertinggal
di atas pada saat perubahan muka air terjadi sehingga posisi ketinggian pengendapan
secara vertikal juga akan ikut berubah mengikuti muka air (Gambar 10).
Satuan ini dicirikan dengan warna coklat kehitaman dan abu-abu kehitaman, besar butir
sedang – kasar, dan terdapat beberapa fragmen batuan beku.
B
A
29
Gambar 9. Sketsa pembentukan teras serta hubungannya dengan ketinggian muka air dan pengangkatan
30
serta beberapa batuan beku. Satuan ini bersifat loose, porositas baik, pemilahan buruk,
kemas terbuka. Satuan ini memiliki matrik berupa pasir atau lempung (Foto 9).
Satuan ini terdapat pada beberapa tempat di daerah penelitian, yaitu pada daerah
Nglebak, Kalikangkung, Sembungan dan Gunung Rambut.
Foto 9. Foto jarak dekat singkapan teras, di ambil di sekitar daerah Nglebak.
Umur satuan ini diperoleh dari hasil studi literatur, yaitu berumur Pleistosen. Dari hasil
studi literatur, endapan teras pada daerah Gunung Rambut merupakan endapan teras
dengan usia yang paling tua, dengan umur berkisar pada Pleistosen awal dan kemudian
terangkat akibat pengangkatan (Sartono, 1976).
31
3.2.5 Satuan Aluvial
Satuan ini merupakan satuan yang disusun oleh batupasir, napal, lempung dan beberapa
fragmen batuan beku (Foto 10). Pada beberapa tempat, satuan ini hadir sebagai batupasir
berwarna abu - abu gelap.
Satuan ini berada di sekitar pinggiran sungai Bengawan Solo, namun tidak terendapkan
secara merata pada seluruh pinggiran sungai Bengawan Solo.
Foto 10. Foto singkapan aluvial, diambil pada cabang sungai Bengawan Solo pada daerah Kalikangkung.
32
3.3 Struktur Geologi
3.3.1 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur yang dijumpai pada daerah penelitian adalah struktur antiklin dan sinklin yang berarah
relatif barat – timur (Gambar 10). Antiklin daerah ini terpotong oleh sesar geser yang terdapat
pada daerah penelitian. Antiklin ini dikenal dengan nama antiklin Nglebak.
Legenda :
Gambar 10. Peta struktur daerah penelitian.
Sinklin Kalikangkung dapat diamati dengan jelas pada daerah timur dari Kalikangkung dan
daerah di sekitar Sembungan. Pada daerah ini dapat diamati dengan jelas perbedaan kemiringan
lapisan yang membentuk suatu sinklin, dengan sudut kemiringan pada lapisan bagian utaranya
mengarah ke selatan dan kemiringan lapisan pada bagian selatannya mengarah ke selatan.
Sinklin ini terpotong oleh sesar mendatar pada bagian baratnya, sehingga dicurigai terdapat
kemenerusan sinklin ini hingga melewati Sungai Orororombo, namun dikarenakan tidak
ditemukannya kemiringan lapisan pada daerah tersebut, keberadaan sinklin pada daerah itu
masih berupa perkiraan dari hasil penarikan kelurusan sinklin Kalikangkung bagian timur.
Utara 1
2 3
4
5
1. Antiklin Nglebak 2. Sinklin Kalikangkung 3. Sesar Mendatar Orororombo 4. Sesar Mendatar Nglebak 5. Sesar Naik Kerek
33
Antiklin Nglebak merupakan antiklin yang dapat ditemukan pada daerah Nglebak. Pada daerah
ini dapat diamati kemiringan lapisan yang berlawanan, dengan kemiringan lapisan bagian utara
mengarah ke utara dan kemiringan lapisan bagian selatan mengarah ke selatan. Kemiringan yang
paling jelas dapat diamati pada daerah Kali Kedunggedang dan terusannya hingga ke arah
Nglebak. Pada daerah ini dapat diamati dengan jelas kemiringan lapisan yang berangsur berubah
pada lapisan batugampingnya sehingga membentuk struktur antiklin. Antiklin ini memanjang
hingga ke arah baratnya dan merupakan antiklin yang terpotong oleh dua sesar mendatar pada
daerah penelitian, yaitu sesar mendatar Nglebak dan sesar mendatar Orororombo. Antiklin ini
diperkirakan merupakan satu rangkaian lipatan dengan sinklin Kalikangkung.
Sesar – sesar yang ditemukan pada daerah ini adalah sesar geser dan sesar naik. Terdapat dua
sesar geser pada daerah penelitian, yaitu sesar menganan turun pada yang dikenal dengan Sesar
Nglebak dan sesar mengiri naik yang dikenal dengan nama Sesar Orororombo.
Sesar Nglebak memanjang dari utara hingga selatan dari daerah Nglebak hingga mencapai
daerah Sembungan pada daerah penelitian. Sesar ini memotong antiklin Kalikangkung dan Sesar
Kerek. Dilihat dari arah tegasan utama yang cenderung berarah barat laut – tenggara, maka dapat
diperkirakan bahwa sesar ini terbentuk dari arah tegasan yang berbeda dengan arah tegasan
utama lipatan – lipatan dan sesar naik yang berada pada daerah ini. Arah tegasan ini diperkirakan
merupakan arah tegasan utama sekunder yang terbentuk dari arah tegasan utama daerah ini yang
berarah utara – selatan, arah tegasan ini membentuk sudut sekitar 15° dari arah tegasan utama
utara – selatan. Data didapatkan di sekitar daerah Nglebak (Foto 10) dan Sembungan, dengan
data berupa sesar gerus yang menghasilkan bidang sesar NW-SE.
34
Foto 11. Kekar – kekar daerah Nglebak, tempat dilakukan pengukuran struktur.
Sesar Ororombo memanjang dari utara hingga selatan di sepanjang Sungai Orororombo di
bagian barat dari daerah penelitian. Sesar ini memotong antiklin Kalikangkung dan sesar Kerek.
Sesar ini salah satunya dapat diperkirakan dari posisi kemiringan lapisan yang berubah secara
drastis pada bagian Sungai Orororombo, yaitu mengarah ke arah barat pada sepanjang Sungai
Orororombo, sedangkan pada daerah lainnya kecenderungan kemiringan lapisan adalah berarah
utara-selatan. Perubahan kemiringan lapisan ini diperkirakan hasil dari pergerakan sesar
mendatar pada daerah tersebut. Arah tegasan utama σ1 pada sesar ini diperkirakan berarah utara –
selatan, dan diperkirakan merupakan hasil pengaruh arah tegasan utama Jawa yang berarah utara
– selatan. Analisis sesar dilakukan pada daerah Orororombo dan Kedunggede dengan data
berupa kekar gerus.
Sesar Kerek merupakan sesar naik yang memanjang dari timur hingga barat dan merupakan
batas satuan antara Satuan Napal dan Satuan Batupasir dengan sisipan lempung di bawahnya.
Zona gerusan pada daerah ini dapat dilihat pada daerah Plumbon ke arah selatannya, pada daerah
ini dapat dilihat gejala – gejala struktur yang dapat dilihat pada singkapan napal dan batupasir di
daerah ini.
35
Foto 12. Zona gerusan di daerah Plumbon
Dari kedudukan sumbu lipatan yang berarah relatif barat – timur dan pola umum arah sumbu
lipatan pada daerah Jawa Timur yang berarah barat – timur dan barat daya – timur laut, maka
dapat ditafsirkan arah tegasan adalah relatif utara – selatan.
3.3.2 Proses Pembentukan Struktur Daerah Penelitian
Data yang digunakan pada penghitungan dan pemodelan sesar adalah menggunakan data
shear fracture yang diperoleh dari hasil penghitungan di lapangan. Struktur geologi yang
terbentuk lebih dahulu merupakan sinklin dan antiklin yang kemudian diikuti dengan
36
kemunculan sesar naik pada daerah penelitian sebagai akibat dari gaya tegasan yang sama
dengan gaya penyebab kemunculan struktur sinklin antiklin. Sesar naik dan lipatan – lipatan ini
diperkirakan merupakan hasil dari arah tegasan utama utara – selatan dan mempunyai hubungan
dengan tegasan utama pulau Jawa yang juga berarah utara – selatan. Arah tegasan utama ini juga
menyebabkan terbentuknya sesar naik Kerek pada daerah penelitian yang memanjang dari barat
– timur.
Dapat dilihat bahwa secara skematik sesar mendatar Orororombo dan sesar naik Kerek
merupakan struktur – struktur yang dihasilkan oleh satu tegasan utama yang sama, begitu pula
dengan struktur perlipatan pada daerah penelitian. Tegasan utama yang cenderung utara – selatan
menghasilkan sesar naik Kerek sebagai sesar naiknya, sinklin Kalikangkung dan antiklin
Nglebak sebagai perlipatannya yang tegak lurus dengan arah tegasan utama dari daerah
penelitian, dan sesar mendatar Orororombo.
Arah tegasan utama utara – selatan ini kemudian menghasilkan arah tegasan utama imur
laut – barat daya. Arah tegasan timur laut – barat daya ini dihasilkan oleh tegasan utama yang
searah dengan sesar mendatar Orororombo yang berarah timur laut – barat. Tegasan utama ini
menghasilkan suatu sistem pure shear dengan tegasan utama timur laut – barat daya, dan
menghasilkan sesar mendatar Nglebak sebagai sesar mendatar pada sistem ini.
Proses pembentukan struktur – struktur ini diperkirakan merupakan hasil tektonik aktif
pada sekitar daerah penelitian pada umur Plio – Pleistosen (Datun dkk., 1996). Hal ini juga dapat
dilihat dari umur satuan Teras di Gunung Rambut yang merupakan umur Pleistosen, hal ini
dikarenakan setelah teras tersebut terendapkan, terjadi peristiwa tektonik yang menyebabkan
teras dan litologi di bawahnya terangkat pada kala tersebut. Struktur sesar naik yang juga
mempengaruhi tiga satuan pada daerah penelitian, satuan Batupasir sisipan Napal, Satuan Napal
dan Satuan Batugamping, sehingga bisa disimpulkan bahwa peristiwa pembentukan struktur ini
terjadi setelah pengendapan ketiga satuan ini selesai (Miosen Akhir – Pliosen Awal), dan
peristiwa tektonik setelah masa itu yang paling dekat merupakan pada masa Plio – Pleistosen.