bab 2 tinjauan pustaka 2.1 transfer pelatihan 2.1.1...
TRANSCRIPT
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Transfer Pelatihan
2.1.1 Pengertian Pelatihan
Pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan kerja yang
dimiliki oleh tenaga kerja yang bersangkutan dengan cara menambah pengetahuan
dan keterampilannya. Moekijat (2008:4) berpendapat bahwa pelatihan adalah
suatu bagian pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku, dalam waktu
yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan praktik daripada
teori.
Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi agar suatu kegiatan dapat disebut
latihan, yaitu: (a) Latihan harus membantu pegawai menambah kemampuannya.
(b) Latihan harus menimbulkan perubahan dalam kebiasaan, informasi dan
pengetahuan yang ia terapkan dalam pekerjaan sehari-harinya. (c) Latihan harus
berhubungan dengan pekerjaan tertentu yang sedang dilaksanakan ataupun
pekerjaan yang akan diberikan pada masa yang akan datang..
Sudjana dalam Duludu (2012:24) mengemukakan bahwa pelatihan
mengandung beberapa pengertian; Pertama, pelatihan adalah suatu proses
penyampaian dan pemilikan keterampilan, pegetahuan dan nilai-nilai. Kedua,
pelatihan adalah produk dan proses tersebut, yaitu pengetahuan dan pengalaman
yang diperoleh dalam pelatihan. Ketiga, pelatihan adalah kegiatan profesional
9
yang memerlukan pengalaman khusus dan pengakuan (sertifikasi). Keempat,
pelatihan adalah suatu disiplin akademik, yaitu kegiatan terorganisasi untuk
mempelajari proses produk, dan profesi pelatihan dengan menggunakan kajian
sejarah, filsafat dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau kajian keilmuan
tentang manusia yang bermasyarakat (the sciences of social man).
Menurut Robinson dalam Marzuki (2010:174) pelatihan adalah pengajaran
atau pemberian pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah
laku (pengetahuan, skill, sikap) agar mencapai sesuatu yang diinginkan. Sejalan
dengan pendapat tersebut Dearden dalam Kamil (2010:7) menyatakan bahwa
pelatihan pada dasarnya meliputi proses mengajar dan latihan bertujuan untuk
mencapai tingkatan kompetensi tertentu atau efisiensi kerja.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelatihan adalah suatu proses pendidikan jangka pendek untuk meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk
melaksankan tugas dan tanggungjawabnya, sehingga karyawan dapat memberikan
kontribusi yang berarti terhadap perusahaan dan demikian juga bagi perusahaan.
pelatihan bukanlah merupakan suatu tujuan, tetapi merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan tanggung jawab mencapai tujuan perusahaan. Pelatihan merupakan
proses keterampilan kerja timbal balik yang bersifat membantu, oleh karena itu
dalam pelatihan seharusnya diciptakan suatu lingkungan di mana para karyawan
dapat memperoleh atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan
dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan sehingga dapat
mendorong mereka untuk dapat bekerja lebih baik.
10
2.1.2 Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan lebih banyak dinilai dari segi sejauhmana perubahan
perilaku yang diharapkan terjadi pada peserta atau lulusan pelatihan sebagai hasil
dari proses pelatihan. Seperti yang dikemukakan oleh Dale S. Beach dalam
Duludu (2012:28) “The objective of training is to achieve a change in the
behavior of those trained.” Artinya, tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh
perubahan dalam tingkah laku mereka yang dilatih.
Menurut Tziner, et al., dalam Kustini (2005) yang menjadi dasar tujuan
pelatihan adalah membantu orang mengembangkan keahlian dan kemampuannya,
ketika menerapkan ke pekerjaan, akan dapat meningkatkan kinerja mereka.
Definisi lain yang dikemukakan oleh Campbell dalam Kustini (2005) mengatakan
bahwa pelatihan adalah sebuah perencanaan pengalaman belajar yang di desain
untuk membawa perubahan pada pengetahuan, kemampuan, atau keahlian
individu.
Simamora (2007) mengelompokkan tujuan pelatihan kedalam 7 (tujuh)
bidang, yaitu:
1. Memperbaiki kinerja. Kendatipun pelatihan tidak dapat memecahkan
semua masalah kinerja yang tidak efektif, program pelatihan dan
pengembangan yang sehat kerap berfaedah dalam meminimalkan masalah-
masalah ini.
2. Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan.
teknologi Melalui pelatihan, pelatih (trainer) memastikan bahwa karyawan
dapat secara efektif menggunakan teknologi-teknologi baru. Perubahan
11
teknologi pada gilirannya berarti bahwa pekerjaan-pekerjaan sering
berubah dan keahlian serta kemampuan karyawan mestilah dimutakhirkan
melalui pelatihan sehingga kemajuan teknologi tersebut secara sukses dapat
diintegrasikan ke dalam organisasi.
3. Mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten
dalam pekerjaan. Sering seorang karyawan baru tidak memiliki keahlian-
keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi “job competent”
yaitu mampu mencapai output dan standar kualitas yang diharapkan.
4. Membantu memecahkan permasalahan operasional. Meskipun persoalan-
persoalan organisasional menyerang dari berbagai penjuru, pelatihan adalah
salah satu cara terpenting guna memecahkan banyak dilema yang harus
dihadapi oleh manajer.
5. Mempersiapkan karyawan untuk promosi. Salah satu cara untuk menarik,
menahan dan memotivasi karyawan adalah melalui program pengembangan
karir yang sistematik. Organisai yang gagal menyediakan pelatihan akan
kehilangan karyawan yang berorientasi pada pencapaian (achievement
oriented) yang merasa frustasi karena tidak adanya kesempatan untuk
promosi dan akhirnya memilih keluar dari perusahaan dan mencari
perusahaan lain yang menyediakan pelatihan bagi kemajuan karir mereka.
6. Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi. Selama beberapa hari
pertama pada pekerjaan, karyawan baru membentuk kesan pertama mereka
terhadap organisasi dan tim manajemen. Kesan ini dapat meliputi dari
kesan yang menyenangkan sampai yang tidak mengenakkan, dan dapat
12
mempengaruhi kepuasan kerja dan produktivitas keseluruhan karyawan
karena alasan inilah, beberapa pelaksana orientasi melakukan upaya
bersama suapaya secara benar mengorientasikan karyawan-karyawan baru
terhadap organisasi dan pekerjaan.
7. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan
pengembangan dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan
aktivitas-aktivitas yang membuahkan efektifitas organisasional yang lebih
besar dan meningkatkan pertumbuhan peribadi bagi semua karyawan.
Dari pendapat diatas mengenai tujuan pelatihan maka dapat disimpulkan
bahwa adanya pelatihan diharapkan dapat mengembangkan karyawan sesuai
dengan kompetensinya, dapat menggunakan keahlian sesuai dengan perubahan
teknologi, karyawan akan lebih berorientasi pada pengembangan perusahaan,
meningkatkan kinerja karyawan dan untuk pengembangan karir, sehingga dengan
adanya pelatihan diharapkan akan dapat meningkatkan pertumbuhan pribadi
dalam setiap karyawan.
2.1.3 Metode Pelatihan
Metode pelatihan yang dipilih hendaknya sesuai dengan jenis pelatihan
yang akan dilaksanakan dan dikembangkan oleh perusahaan. Dalam pelatihan
beberapa teknik akan menjadikan prinsip belajar tertentu menjadi lebih efektif.
Dalam melaksanakan pelatihan ini ada beberapa metode yang dapat digunakan
menurut Rivai (2004:240) yaitu metode on the job dan off the job training.
13
A. On the job training
On the job training atau disebut juga pelatihan di tempat kerja adalah
metode yang bertujuan untuk memberikan kecakapan kepada karyawan baru
setelah pelatihan berakhir, dalam pelatihan ini, pengawasan dan instruksi langsung
diberikan kepada peserta pelatihan ditempat kerjanya dan dengan demikian
karyawan akan lebih mudah dalam menguasai pekerjaannya.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi:
1. Job instruction training
Proses belajar yang mencerminkan langkah urutan pekerjaan dimana
petunjuk pekerjaan diberikan secara langsung, dimana bantuan-bantuan
instruktur biasanya digunakan untuk melatih karyawan tentang cara-cara
pelaksanaan pekerjaan saat ini.
2. Job rotation
Teknik pengembangan yang dilakukan dengan cara memindahkan peserta
dari suatu jabatan atau pekerjaan kejabatan atau ke pekerjaan lainnya secara
periodik untuk menambah keahlian dan kecakapan karyawan pada setiap
jabatan atau pekerjaan tertentu. Dengan demikian maka karyawan dapat
mengetahui dan melaksanakan pekerjaannya pada tiap bagian yang
berbeda.
3. Apprenticehip
Proses belajar dari seseorang yang lebih berpengalaman dan biasanya
dikernal dengan istilah magang.
14
4. Coaching
Teknik pelatihan dimana atasan memberikan bimbingan dan pengarahan
kepada karyawan dalam melaksanakan pekerjaan rutin mereka.
B. Off the job training
Off the job training atau pelatihan di luar tempat kerja adalah pelatihan
yang menggunakan situasi diluar perkerjaan, teknik ini banyak digunakan bila
banyak pekerjaan yang harus dilatih dengan cepat, seperti halnya bila perusahaan
melakukan perluasan usaha dan bila pelatihan langsung pada pekerjaan tidak
dapat dilakukan karena biaya yang sangat mahal.
Beberapa teknik yang bisa digunakan meliputi:
1. Lecture
Merupakan metode pelatihan yang memberikan kuliah dan kelemahan yang
dimilkinya yaitu pelatihan partisipasi dan pasif.
2. Video presentation
Metode ini biasanya dilakukan dengan presentasi melalui media televise,
film, slide, dan sejenisnya, dimana bantuknya sama dengan metode lecture.
3. Vestibule training
Merupakan metode pelatihan yang dilakukan pada suatu ruangan latihan
yang khusus dan terpisah dari tempat kerja biasa dimana disediakan jenis
peralatan yang sama seperti yang akan digunakan pada pekerjaan
sebenarnya.
15
4. Case study
Dalam pelatihan para peserta dihadapkan pada beberapa kasus tertulis dan
memecahkan masalah-masalah tersebut.
5. Laboratory training
Merupakan jenis kelompok yang terutama digunakan untuk
mengembangkan keterampilan antar pribadi. Salah satu bentuk latihan
laboratorium yang terkenal adalah sensitivitas, dimana peserta belajar
menjadi lebih sensitif terhadap perasaan orang lain dan lingkungan.
Pelatihan ini juga berguna untuk mengembangkan berbagai perilaku serta
tanggung jawab pekerjaan diwaktu yang akan datang.
2.1.4 Evaluasi Program-program Pelatihan
Pelatihan mestilah di evaluasi dengan sistematis mendokumentasikan hasil-
hasil pelatihan dari segi bagaimana sesungguhnya peserta pelatihan berperilaku
kembali pada pekerjaan mereka dan relevansinya perilaku peserta pada tujuan-
tujuan perusahaan. Dalam menilai manfaat atau kegunaan program pelatihan,
perusahaan mencoba menjawab empat pertanyaan (Simamora, 2007):
1. Apakah terjadi perubahan?
2. Apakah perubahan disebabkan oleh pelatihan?
3. Apakan perubahan secara positif berkaitan dengan pencapaian tujuan-
tujuan organisasional?
4. Apakah perubahan yang serupa terjadi pada partisipan yang baru dalam
program pelatihan yang sama?
16
Evaluasi membutuhkan adanya penilaian terhadap dampak program
pelatihan pada perilaku sikap dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adapun pengukuran efektifitas penilaian meliputi penilaian (Simamora, 2007):
1. Reaksi-reaksi yaitu bagaimana perasaan partisipan terhadap program.
2. Belajar yaitu pengetahuan, keahlian dan sikap-sikap yang diperoleh sebagai
hasil dari pelatihan.
3. Perilaku yaitu perubahan-perubahan yang terjadi pada pekerjaan sebagai
akibat dari pelatihan.
4. Hasil-hasil yaitu dampak pelatihan pada keseluruhan efektifitas organisasi
atau pencapaian pada tujuan-tujuan organisasional.
Pengukuran reaksi dan belajar yang berhubungan dengan hasil-hasil
program pelatihan saja disebut dengan kriteria internal. Pengukuran perilaku dan
hasil-hasil yang mengindikasikan dampak pelatihan pada lingkungan pekerjaan
disebut sebagai kriteria eksternal yaitu dukungan dari pihak manajemen untuk
memberi kesempatan peserta pelatihan mempraktekan apa yang telah mereka
peroleh dari pelatihan.
Adanya pengukuran efektifitas pelatihan yang telah dilaksanakan dapat
disimpulkan bahwa evaluasi pelatihan baik mengenai program maupun instruktur
atau pelatih dapat menjadi umpan balik untuk pelatihan selanjutnya demikian pula
dengan pembelajaran mereka apakah mereka mempelajari prinsip-prinsip,
keterampilan, dan fakta-fakta yang seharusnya mereka pelajari. Selanjutnya dapat
untuk mengetahui apakah perilaku peserta berubah karena program pelatihan atau
17
bukan. Terakhir dengan melihat hasil dari pelatihan apakah sesuai dengan tujuan
pelatihan yang ditetapkan.
2.1.5 Pengertian Transfer Pelatihan
Tujuan akhir dari setiap program pelatihan adalah bahwa belajar yang
terjadi selama pelatihan ditransfer kembali ke dalam pekerjaan. Transfer pelatihan
(transfer of training) didefinisikan sejauh mana, pengetahuan, keahlian dan
perilaku belajar dalam pelatihan diterapkan dalam pekerjaan (Noe, et al., 2003).
Definisi lain diberikan pada istilah transfer pelatihan, diantaranya pendapat
dari Baldwin & Ford (2008). “Positive transfer of training is the degree to which
trainess effectively apply the knowledge, skills, and attitude gained in a training
context to the job”. Broad & Newstrom dalam Suhartono dan Raharso (2003)
“Transfer of training is the effective and continuing application, by trainees to
their jobs, of the knowledge and skills gained in training-both on and off the job”.
Definisi transfer pelatihan tersebut di atas menunjukkan adanya persamaan
bahwa transfer pelatihan merupakan aktivitas secara efektif dan berkelanjutan
untuk menerapkan pengetahuan, keahlian dan perilaku yang diperoleh dari suatu
pelatihan. Pada definisi pertama bahwa perolehan hasil dari pelatihan hanya pada
konteks pekerjaan. Sedangkan definisi kedua tidak hanya pada konteks pekerjaan
tapi juga di luar pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transfer
pelatihan mengidentifikasikan sejauh mana peserta pelatihan dapat menerapkan
apa yang diperoleh dari pelatihan sehingga dapat mengubah perilaku peserta
dalam pelaksanaan pekerjaan mereka.
18
Ada tiga cara transfer pelatihan ke tempat kerja (Craig, 2006):
1. Positif, yaitu hasil pelatihan akan meningkatkan kinerja pekerjaan.
2. Negatif, yaitu hasil pelatihan menurunkan kinerja sebelumnya.
3. Netral, yaitu hasil pelatihan tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan.
Dari ketiga cara transfer tersebut transfer positiflah yang diharapkan pada
hasil program-program pelatihan sehingga pengetahuan dan keahlian yang mereka
peroleh secara maksimal dapat mereka terapkan ke pekerjaan yang akhirnya akan
dapat meningkatkan kinerja pekerjaan.
2.1.6 Kerangka Sistem Transfer Pelatihan
Untuk penelaah transfer pelatihan berdasarkan studi komprehensif terhadap
transfer pelatihan, dari Baldwin dan Ford (2008) mereka membangun suatu model
antara input, output, dan kondisi suatu pelatihan seperti terlihat pada gambar
berikut ini.
Gambar 2.1. Model Proses Transfer Of Training
Sumber : Baldwin & Ford (2008)
Input Pelatihan Output Pelatihan Kondisi Transfer
Karakteristik Peserta
Desain Pelatihan
Lingkungan Kerja
Pembelajaran dan
Resistensi
Generalisasi dan
Pemeliharaan
19
Model proses transfer of training memperlihatkan adanya hubungan yang
langsung dan tidak langsung antara input, output dan kondisi transfer. Transfer
pelatihan yang efektif ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut dengan input
pelatihan. Input pelatihan merupakan suatu kondisi individu sebelum pelatihan,
artinya, input pelatihan merupakan faktor yang menentukan terjadinya transfer
pelatihan. Scaduto et al. (2008), Velada et al., (2007), Burke and Hutchincs
(2008) serta Chiaburu and Marinova (2005) menyebutkan bahwa input pelatihan
terdiri dari tiga faktor utama yaitu karakteristik peserta, desain pelatihan dan
lingkungan kerja.
Dari masing-masing faktor tersebut dapat diterangkan bahwa karakteristik
peserta seperti self-efficacy, motivasi mengikuti pelatihan yang ada pada peserta
akan dapat mendukung proses transfer pelatihan sehingga peserta akan mudah dan
mempunyai motivasi untuk pembelajaran atau penguasaan pada isi program
pelatihan yang diberikan.
Desain pelatihan juga merupakan hal yang penting agar materi-materi yang
diberikan pada saat pelatihan lebih mudah diterima yaitu berkaitan dengan isi atau
materi pelatihan, ruang kelas, instruktur dan praktek langsung. Dimensi desain
pelatihan antara lain adalah retensi pelatihan dan desain pelatihan yang efektif.
Desain pelatihan yang baik akan menjadi umpan balik bagi peserta maupun
penyelenggara sehingga proses belajar dan transfer akan lebih mudah.
Demikian juga dengan lingkungan kerja, yaitu dukungan dalam organisasi
akan dirasakan oleh karyawan ketika mereka percaya bahwa pihak lain (seperti
atasan, kelompok kerja) memberikan peluang untuk mempraktekan pengetahuan
20
dan keterampilan baru ke tempat kerja. Adanya peluang untuk mempraktekan
hasil pelatihan, maka akan terjadi proses atau budaya pembelajaran sehingga apa
yang mereka telah pelajari akan dapat mereka terapkan ke dalam pekerjaanya.
Dimensi lingkungan kerja antara lain adalah dukungan organisasional dan
dukungan supervisor.
Kesimpulannya bahwa variabel transfer pelatihan yaitu karakteristik peserta,
desain pelatihan, dan karakteristik lingkungan kerja mempunyai peran yang
penting, yang seharusnya dipertimbangkan agar peserta pelatihan dapat
menerapkan apa yang mereka pelajari kedalam pekerjaannya. Berdasarkan
kesimpulan diatas penelitian ini lebih menekankan pada pengaruh generalisasi
dari aspek karakteristik peserta, desain pelatihan, serta karakteristik lingkungan
kerja yang menunjukkan tingkat keyakinan peserta pelatihan dalam menjalankan
tugas sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dipelajari dalam pelatihan
untuk diterapkan dalam pekerjaan mereka.
1. Karakteristik Perserta
Self-efficacy merupakan bagian dari social cognitive theory atau social
learning theory yang dikembangkan oleh Bandura dalam Ginting (2012). Teori ini
memandang pembelajaran sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses
kognitif informasi yang diterima. Dimana sosial mengandung pengertian bahwa
pemikiran dan kegiatan manusia berawal dari apa yang dipelajari dalam
masyarakat. Sedangkan kognitif mengandung pengertian bahwa terdapat
kontribusi influensial proses kognitif terhadap motivasi, sikap dan perilaku
manusia. Secara singkat teori ini menyatakan, sebagian besar pengetahuan dan
21
perilaku anggota organisasi digerakkan dari lingkungan, dan secara terus menerus
mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Hal tersebut
mempengaruhi motivasi, sikap dan perilaku individu.
Adanya self efficacy pada peserta pelatihan akan dapat menambah
kepercayaan dirinya bahwa dia dapat menjalankan tugas pelatihan secara benar.
Seperti yang dikemukakan oleh Noe, et al yang dikutip oleh Ginting (2012)
bahwa self efficacy adalah tingkat kepercayaan karyawan, bahwa mereka dapat
berhasil mempelajari isi program pelatihan. Meskipun kerangka kerja ini
menghasilkan kinerja, tingkat aktifitas bervariasi dari cakap ke kreatif, tingkat self
efficacy dapat dicapai melalui interaksi manusia dan kognisi mental, merupakan
faktor yang dapat dipercaya menghasilkan transfer positif dan transfer
keterampilan terhadap lingkungan kerja (Decker, 2008).
Individu melakukan proses pembelajaran sebelum melakukan perilaku
tertentu, mempelajari perilaku terdahulu, mempelajari perilaku orang lain dan
memahami konsekuensi perilaku tersebut. Individu yang memiliki self efficacy
tinggi akan lebih mampu menunjukan kinerja yang baik dibandingkan dengan
individu dengan self-efficacy rendah. Penilaian efficacy juga menentukan seberapa
besar usaha yang dikeluarkan dan seberapa lama individu bertahan dalam
menghadapi rintangan dan pengalaman yang menyakitkan. Semakin kuat persepsi
self efficacy semakin giat dan tekun usaha-usahanya. Ketika menghadapi
kesulitan, individu yang mempunyai keraguan diri yang besar tentang
kemampuannya akan mengurangi usaha-usaha atau menyerah sama sekali.
22
Sedangkan mereka yang mempunyai perasaan efficacy yang kuat menggunakan
usaha yang lebih besar untuk mengatasi tantangan (Bandura dalam Indah, 2010).
Bandura dalam Indah (2010) menggambarkan empat sumber informasi
yang mengarah ke self efficacy yaitu:
1. Penguasaan aktif
Penguasaan aktif dengan melihat pada diri peserta seberapa besar dia dapat
menguasai pelatihan, penguasaan aktif akan dapat meningkatkan self
efficacy sedangkan orang yang tidak menguasai pelatihan akan ada
kecenderungan menurunkan self efficacy.
2. Pengalaman
Pengalaman, baik pengalaman diri maupun pengalaman orang lain
menyediakan informasi langsung mengenai kemampuan memprediksi dan
mengatasi ancaman-ancaman untuk mengembangkan dan membuktikan self
efficacy yang kuat. Secara umum, keberhasilan akan meningkatkan self
efficacy, sedangkan kegagalan akan menurunkan self efficacy.
3. Persuasi
Persuasi dapat berupa persuasi sosial (orang lain yang meyakinkan bahwa
kita dapat melakukan sesuatu) atau persuasi diri (meyakinkan diri sendiri).
Zimbardo (2005).
4. Pembangkit fisiologis
Pembangkit fisiologis yaitu individu mengamati tingkat self efficacy dengan
memperhatikan reaksi emosional dalam menghadapi situasi. Ketika
individu merasa terlalu cemas atau takut, mereka akan mengantisipasi
23
kegagalan. Individu yang tidak terlalu tegang cenderung mempersiapkan
dirinya dapat berhasil.
Robbins (2007) mengungkapkan sumber atau indikator dari self efficacy
yang tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu: perasaan
mampu melakukan pekerjaan, kemampuan yang lebih baik, senang pekerjaan
yang menantang dan kepuasan terhadap pekerjaan.
2. Desain Pelatihan
Transfer pelatihan yang efektif ditentukan oleh desain pelatihan itu sendiri.
Desain pelatihan yang efektif dan mampu menghasilkan luaran (outcomes) yang
positif berupa luaran kognitif, luaran afektif, keterampilan dan pengetahuan baru
akan menentukan keberhasilan transfer pelatihan. Luaran kognitif itu menunjukan
bahwa peserta pelatihan dapat menguasi dan memahami berbagi prinsip, fakta,
prosedur dan proses yang diberikan pada saat pelatihan berlangsung. Luaran
afektif menunjukan peningkatan motivasi dan terbentuknya sikap positif peserta
selama dan setelah mengikuti pelatihan. Selain itu, desain pelatihan efektif juga
menunjukan bahwa peserta pelatihan mampu memahami dan menggunakan
keterampilan baru dalam pekerjaan sehari-hari.
Desain pelatihan juga berkaitan dengan retensi pelatihan yang menjamin
bahwa materi pelatihan yang diperoleh peserta tetap dikuasainya dalam jangka
waktu tertentu. Retensi pelatihan ini menunjukan kapasitas kemampuan seseorang
dalam memahami dan memelihara materi pelatihan yang telah diperolehnya.
Velada, et al., (2007) menunjukan bahwa retensi pelatihan merupakan faktor
penting yang menentukan terjadinya transfer pelatihan yang efektif. Intinya adalah
24
bahwa desain pelatihan yang efektif akan mampu meningkatkan kinerja individual
apabila hasil pelatihan yang berupa keterampilan dan pengetahuan baru itu benar-
benar direalisasikan dalam pekerjaan (Velada, et al., 2007).
3. Lingkungan Kerja
Satu pola pikir mengenai pengaruh lingkungan kerja pada transfer pelatihan
akan mempengaruhi pemberian pelatihan secara keseluruhan. Transfer pelatihan
bisa ditingkatkan dengan menciptakan ikatan kerja diantara peserta pelatihan.
Peserta pelatihan bisa berbagi pengalaman sukses mereka dalam menggunakan
keterampilan yang didapat dari pelatihan pada hasil kerja mereka, adanya
kesempatan untuk menggunakan keahlian yang dipelajari (kesempatan
mempraktekkan) berarti kesempatan dimana peserta pelatihan secara aktif
mencari pengalaman dengan menggunakan ilmu keahlian dan sikap kerja yang
didapat dari program pelatihan. Program pelatihan karyawan untuk bisa
memimpin diri mereka sendiri atas penggunaan keterampilan atau keahlian dan
sikap yang mereka dapat dari pelatihan pada pekerjaan mereka.
Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi keberhasilan suatu transfer
adalah: iklim organisasi yang mendukung, diskusi dengan atasan sebelum terlibat
dalam pelatihan, kesempatan menggunakan keahlian dan keterampilan yang
diperoleh dari pelatihan serta pascapelatihan dan umpan balik (Broad &
Newstrom) (dalam Suharsono & Raharso 2003). Menurut Noe, et al., dalam
Kustini (2005) transfer pelatihan dipengaruhi oleh: iklim untuk transfer, dukungan
manajer, dukungan teman kerja, kesempatan menggunakan keahlian secara cakap.
25
Saks and Belcourt (2006) juga menyatakan bahwa aktivitas untuk menciptakan
kondisi lingkungan kerja yang kondusif untuk transfer pelatihan harus dilakukan
sebelum proses pelatihan itu berlangsung. Artinya, pihak manajemen dan supervisor
yang memberikan perhatian pada kesejahteraan, pekerjaan dan motivasi individu
akan berdampak prositif kepada keberhasilan proses transfer pelatihan. Pihak
manajemen dan pengawas yang mendukung dan memberikan dorongan terhadap
realisasi keterampilan dan pengetahuan baru akan menentukan transfer pelatihan yang
efektif. Hasil riset yang dilakukan oleh Velada, et al., (2007) menunjukan bahwa
dukungan organisasi dan pengawas terhadap aplikasi keterampilan dan pengetahuan
baru akan mendorong individu untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuannya
itu dalam pekerjaan. Demikian pula hasil riset yang dilakukan oleh Chiaburu dan
Marinova (2005) yang menunjukan bahwa transfer keterampilan baru ke dalam
pekerjaan ditentukan oleh dukungan pengawas.
Transfer pelatihan bisa ditingkatkan dengan menciptakan ikatan kerja
diantara peserta pelatihan. Peserta pelatihan bisa berbagi pengalaman sukses
mereka dalam menggunakan keterampilan yang didapat dari pelatihan pada hasil
kerja mereka. Adanya kesempatan untuk menggunakan keahlian yang dipelajari
(kesempatan mempraktekkan) berarti kesempatan dimana peserta pelatihan secara
aktif mencari pengalaman dengan menggunakan ilmu, keahlian dan sikap kerja
yang didapat dari program pelatihan. Program pelatihan harus mempersiapkan
karyawan untuk bisa memimpin diri mereka sendiri atas penggunaan keterampilan
atau keahlian dan sikap yang mereka dapat dari pelatihan pada pekerjaan mereka.
26
2.2 Kinerja Karyawan
2.2.1 Pengertian Kinerja Karyawan
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan
kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu
instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui
dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Adanya
informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil
tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-
kegiatan utama, dan tugas pokok instansi, bahan untuk perencanaan, menentukan
tingkat keberhasilan instansi untuk memutuskan suatu tindakan, dan lain-lain.
Kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil kerja
dengan standar yang diharapkan (Dessler, 2006). Definisi lain mengenai kinerja
menurut Nawawi (2006:63) adalah “kinerja dikatakan tinggi apabila suatu target
kerja dapat diselesaikan pada waktu yang tepat atau tidak melampaui batas waktu
yang disediakan.” Artinya kinerja akan menjadi rendah jika diselesaikan
melampaui batas waktu yang disediakan atau sama sekali tidak terselesaikan.
Sejalan dengan pendapat di atas BPKP memberikan pengertian tentang
kinerja ini adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang tertuang dalam
perumusan perencanaan strategi (strategis planning) suatu organisasi (2009:9).
Menurut Hasibuan (2007:94) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil
kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu.
27
Sedangkan menurut Prawirosentono (2008:2) kinerja atau dalam bahasa inggris
adalah performance, yaitu:
Hasil kerja yag dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan
moral maupun etika.
2.2.2 Penilaian Kinerja
Melalui pengukuran kinerja diharapkan pola kerja dan pelaksanaan tugas
pembangunan dan tugas umum pemerintahan akan terlaksana secara efisien dan
efektif dalam mewujudkan tujuan nasional. Pengukuran kinerja pegawai akan
dapat berguna untuk: (1) mendorong orang agar berperilaku positif atau
memperbaiki tindakan mereka yang berada di bawah standar kinerja, (2) sebagai
bahan penilaian bagi pihak pimpinan apakah mereka telah bekerja dengan baik,
dan (3) memberikan dasar yang kuat bagi pembuatan kebijakan untuk peningkatan
organisasi (Badan Pemeriksa Keuangan Pemerintah, 2009).
1. Manfaat Penilaian Kinerja
Mengenai manfaat penilaian kinerja, Sedarmayanti (2009) mengemukakan
adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan prestasi kerja
Dengan adanya penilaian, baik pimpinan maupun karyawan memperoleh
umpan balik dan mereka dapat memperbaiki pekerjaan/prestasinya.
28
2. Memberikan kesempatan kerja yang adil
Penilaian akurat dapat menjamin karyawan memperoleh kesempatan
menempati posisi pekerjaan sesuai kemampuannya.
3. Kebutuhan pelatihan dan pengembangan
Melalui penilaian kinerja, terdeteksi karyawan yang kemampuannya rendah
sehingga memungkinkan adanya program pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan mereka.
4. Penyesuaian kompensasi.
Melalui penilaian, pimpinan dapat mengambil keputusan dalam
menentukan perbaikan pemberian kompensasi, dan sebagainya.
5. Keputusan promosi dan demosi
Hasil penilaian kinerja dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan untuk mempromosikan atau mendemosikan karyawan.
6. Mendiagnosis kesalahan desain pekerjaan
Kinerja yang buruk mungkin merupakan suatu tanda kesalahan dalam
desain pekerjaan. Penilaian kinerja dapat membantu mendiagnosis
kesalahan tersebut.
7. Menilai proses rekrutmen dan seleksi
Kinerja karyawan baru yang rendah dapat mencerminkan adanya
penyimpangan proses rekruitmen dan seleksi.
2. Hambatan Penilaian Kinerja
Penilaian yang dilakukan dengan baik sesuai fungsinya akan sangat
menguntungkan organisasi, yaitu akan dapat meningkatkan kinerja. Akan tetapi,
29
dalam proses melakukan penilaian kinerja yang baik terdapat beberapa penyebab
kesalahan dalam penilaian kinerja (Sedarmayanti, 2009) sebagai berikut:
1. Efek halo. Terjadi bila pendapat pribadi penilai tentang karyawan
mempengaruhi pengumuman kinerja.
2. Kesalahan kecenderungan terpusat. Disebabkan oleh penilai yang
menghindari penilaian sangat baik atau sangat buruk. Penilaian kinerja
cenderung dibuat rata-rata.
3. Bisa terlalu lemah dan bisa terlalu keras. Bisa terlalu lemah disebabkan
oleh kecenderungan penilai untuk terlalu mudah memberikan nilai baik
dalam evaluasi. Bisa terlalu keras adalah penilai cenderung terlalu kental
dalam evaluasi. Kedua kesalahan ini pada umumnya terjadi bila standar
kinerja tidak jelas.
4. Prasangka pribadi. Faktor yang membentuk prasangka pribadi (seperti
faktor senioritas, suku, agama, kesamaan kelompok dan status sosial) dapat
mengubah penilaian.
5. Pengaruh kesan terakhir. Penilaian dipengaruhi oleh kegiatan yang paling
akhir. Kegiatan terakhir baik atau buruk cenderung lebih diingat oleh
penilai.
2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Mathis & Jackson (2006) mengemukakan kinerja karyawan yang umum
untuk kebanyakan pekerjaan meliputi elemen sebagai berikut, kuantitas dari hasil,
kualitas, ketepatan waktu, kehadiran, kemampuan bekerja sama. Hasibuan (2007)
mengemukakan bahwa salah satu aspek yang dijadikan kriteria dalam penilaian
30
kinerja karyawan adalah sikap dan kejujuran. Faktor-faktor utama yang
mempengaruhi bagaimana individu yang ada bekerja adalah (1) kemampuan
individual, (2) tingkat usaha, (3) dukungan organisasi.
Menurut Gomes (2003:142) kinerja seseorang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Quantity of work (Kuantitas kerja)
Jumlah kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan
kesiapannya.
2. Quality of work (Kualitas kerja)
Kualitas kerja yang dicapai pegawai berdarkan syarat-syarat kesesuaian dan
kesiapannya.
3. Job knowledge (Pengetahuan pekerjaan)
Luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.
4. Creativeness (Kreativitas)
Keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan persoalan yan timbul.
5. Cooperation (Kerjasama)
Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (semua anggota
organisasi).
6. Dependability (Kesadaran)
Kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.
7. Initiative (Inisiatif)
31
Semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar
tanggung jawabnya.
8. Personal qualities (Kualitas personal)
Menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-tamahan dan integritas
pribadi.
Sedangkan menurut Simamora dalam Mangkunegara (2009:14), kinerja
(performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
a. Faktor individual yang terdiri dari:
1. Kemampuan dan keahlian.
2. Latar belakang.
3. Demografi.
b. Faktor psikologis yang terdiri dari
1. Persepsi.
2. Attitude.
3. Personality.
4. Pembelajaran.
5. Motivasi.
c. Faktor organisasi yang terdiri dari:
1. Sumber daya.
2. Kepemimpinan.
3. Penghargaan.
4. Struktur.
5. Job design.
32
2.3 Penelitian Terdahulu
Suhartono dan Raharso (2003) dalam judul Transfer Pelatihan : Faktor Apa
yang Mempengaruhinya? Penelitian tersebut mengacu pada penelitian Baldwin &
Ford (1988) dan sebagai objek penelitiannya adalah pelatihan yang dilaksanakan
oleh Politeknik Negeri Bandung, dengan sampel sejumlah 100 responden.
Menggunakan variabel karakteristik peserta, desain pelatihan dan lingkungan
kerja sebagai variabel terikat. Analisis data menggunakan jalur path. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pelatihan yang dilaksanakan oleh Politeknik
Negeri Bandung kurang berhasil. Hal ini ditunjukkan pada variabel generalisasi,
pada variabel desain pelatihan juga relatif kurang bagus hal ini ditunjukkan dari
responden yang memberi nilai cukup untuk variabel ini. Walaupun ada beberapa
kelemahan dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Politeknik tersebut, tetapi secara
umum lingkungan kerja peserta pelatihan dan kemampuan serta motivasi peserta
pelatihan cukup tinggi.
Requel Velada, et al,. (2007) meneliti dengan judul The effects of Training
Design, Individual Characteristics and Work Environment on Transfer of
Training. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang beberapa
faktor yang menentukan transfer pelatihan dengan konteks kerja. Penelitian ini
menguji hubungan antara tiga faktor yaitu transfer pelatihan, antara lain desain
pelatihan, karakteristik individu dan lingkungan kerja. Penelitian dilakukan di
sebuah organisasi grosir, dengan data responden sebanyak 182 karyawan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa desain transfer kinerja self efficacy, retensi
33
pelatihan dan umpan balik kinerja secara signifikan terkait dengan transfer
pelatihan.
Ginting (2012) dalam judul Pengaruh Karakteristik Peserta Pelatihan dan
Karakteristik Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Melalui Transfer
Pelatihan. Penelitian ini mengambil PT Telkom Kandatel Medan sebagai objek
penelitian, dengan jumlah sampel sebanyak 142 responden. Data dalam penelitian
ini dianalisis dengan menggunakan metode analisis statistik deskriptif dan metode
statistik inferensial yang meliputi: uji asumsi klasik, analisis regresi linier
berstruktur, analisis koefisien determinasi, uji secara simultan (uji F), uji secara
parsial (uji t) dan analisis jalur (path analysis). Hasilnya Locus control, self
efficacy dan karakteristik lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja pegawai
PT. Telkom Kandatel Medan melalui transfer pelatihan.
Glorianto (2005) meneliti dengan judul Analisis Pengaruh Motivasi
Mengikuti Pelatihan Dan Peran Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan
Melalui Orientasi Pembelajaran (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak
Pekalongan). Dalam penelitiannya Glorianto (2005) berhasil membuktikan salah
satu hipotesisnya yang menyebutkan bahwa motivasi mengikuti pelatihan
mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan pada kinerja karyawan. Dengan
adanya motivasi yang tinggi dari karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pekalongan
untuk mengikuti pelatihan dapat meningkatkan kinerja karyawan. Karyawan
dalam melaksanakan tugasnya dapat menghasilkan pekerjaan yang benar-benar
sesuai dengan rencana kerja sehingga target atau rencana penerimaan Kantor
Pelayanan Pajak Pekalongan dapat tercapai.
34
2.4 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir digunakan untuk menggambarkan dengan jelas bahwa
transfer pelatihan merupakan faktor yang berhubungan dan berpengaruh terhadap
kinerja karyawan.
2.4.1 Hubungan Transfer Pelatihan Dengan Kinerja Karyawan
Seiring persaingan dan perubahan yang terjadi dalam organisasi, pelatihan
menjadi lebih penting daripada sebelumnya. Para karyawan yang harus
beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang dihadapi organisasi harus dilatih
secara terus-menerus dengan tujuan untuk memelihara dan memperbaharui
kapabilitas mereka. Di samping itu, para manajer harus mempunyai pelatihan
untuk meningkatkan keterampilan dan kepemimpinan mereka.
Tracy, et al., dalam Kustini (2005) menyatakan bahwa mengembangkan
dan melaksanakan program pelatihan yang efektif bukanlah pekerjaan yang
mudah, harus dilakukan pertimbangan yang matang sehubungan dengan
banyaknya variabel dan isu-isu terkait. Beberapa isu penting yang terkait dengan
proses pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia, diantaranya adalah
transfer pelatihan (transfer of training).
Transfer pelatihan (transfer of training) adalah penerapan pengetahuan,
keahlian dan perilaku lainnya yang dipelajari dalam pelatihan yang dapat
digunakan atau diterapkan dalam pekerjaan (Simamora, 2007). Suatu pelatihan
dikatakan berhasil atau efektif bila para peserta dapat menerima dan mengalami
peningkatan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), maupun perilaku
(attitude) yang tepat karena diberikan oleh instruktur yang tepat pula, serta
35
pencapaian peningkatan kinerja atau kompetensi karyawan. Untuk melakukan
transfer pelatihan bukanlah hal yang sederhana, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhinya.
Transfer pelatihan dalam kaitannya dengan kinerja, Craig (2006)
menyebutkaan 3 (tiga) cara transfer pelatihan di tempat kerja, antara lain: Positif,
yaitu hasil pelatihan meningkatkan kinerja pekerjaan; Negatif, yaitu hasil
pelatihan justru menurunkan kinerja sebelumnya; dan Netral, yaitu hasil pelatihan
tidak mempengaruhi kinerja pekerjaan. Kinerja dalam penelitian ini difokuskan
pada kinerja karyawan/individu. Menurut Gomes (2003) indikator penilaian
kinerja meliputi quantity of work (kuantitas kerja), quality of work (kualitas kerja),
job knowledge (pengetahuan pekerjaan), creativeness (kreatifitas), cooperation
(kerjasama), dependability (kesadaran), initiative (inisiatif) dan personal qualities
(kualitas personal).
Holding (1991) dalam Indah (2010) mengatakan bahwa transfer of training
terjadi ketika pelatihan tersebut mempengaruhi kinerja atau aktivitas selanjutnya.
Derajat untuk peserta pelatihan yang berhasil diterapkan dalam pekerjaan mereka
dianggap sebagai "positif transfer of training" (Baldwin & Ford,1980).
36
2.4.2 Pengaruh Transfer Pelatihan
Untuk lebih jelasnya, model penelitian dapat dilihat pada gambar 2.2
berikut ini.
Gambar 2.2 Model Penelitian
Sumber: Hasil Olah Data (2013)
Dari model penelitian di atas, maka hipotesisnya adalah:
1. Hipotesis penelitian:
Jika transfer pelatihan meningkat, kinerja karyawan akan semakin tinggi.
2. Hipotesis operasional:
Ho = Tidak ada pengaruh antara transfer pelatihan terhadap kinerja
karyawan PT Pindad (Persero) Bandung.
Ha = Terdapat pengaruh antara transfer pelatihan terhadap kinerja
karyawan PT Pindad (Persero) Bandung.
Variabel X(Transfer Pelatihan)
Variabel Y(Kinerja Karyawan)