bab 2 tinjauan pustaka 2.1 sampah dan tparepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/45187/4/chapter...
TRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah dan TPA
Sampah adalah istilah umum yang sering digunakan untuk menyatakan
limbah padat. Sampah merupakan sisa-sisa bahan yang mengalami perlakuan-
perlakuan, baik karena telah diambil bagian utamanya, karena pengolahan, maupun
karena sudah tidak memberikan manfaat dari segi sosial ekonomi serta dapat
menyebabkan pencemaran atau gangguan terhadap lingkungan hidup (Soemirat,
1999).
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai,
tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak
terjadi dengan sendirinya. Banyak sampah organik masih mungkin digunakan
kembali/pendaurulangan (re-using), walaupun akhirnya akan tetap merupakan
bahan/material yang tidak dapat digunakan kembali (Sastrawijaya, 2000).
Kusnoputranto, (2000), menyatakan bahwa sampah adalah sesuatu bahan
atau benda padat yang terjadi karena berhubungan dengan aktifitas manusia yang
tidak dipakai lagi, tidak disenangi dan dibuang dengan cara-cara saniter kecuali
buangan yang berasal dari tubuh manusia.
Sampah bisa didefinisikan sesuatu bahan atau benda padat yang sudah tidak
dipakai lagi oleh manusia, atau benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam
kegiatan manusia dan dibuang. Para ahli kesehatan masyarakat membuat batasan,
sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi
9
Universitas Sumatera Utara
atau sesuatu yang dibuang, yang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi
dengan sendirinya. Untuk pengelolaan sampah agar tidak menimbulkan dampak
terhadap lingkungan dan kesehatan, maka sampah harus dikelola oleh suatu
likaso/badan yang disebut TPA (Kusnoputranto,2000).
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan suatu tempat
pembuangan sampah bagi penduduk kota. Setiap hari berbagai jenis sampah
penduduk diangkut dari bak-bak sampah yang terdapat di kota, kemudian ditumpuk
di TPA. Beberapa bahan organik yang ada di TPA sampah yang bersifat mudah urai
(biodegradable) umumnya tidak stabil dan cepat menjadi busuk karena mengalami
proses degradasi menghasilkan zat-zat hara, zat-zat kimia toksik dan bahan-bahan
organik sederhana, selanjutnya akan menimbulkan bau yang menyengat dan
mengganggu (Pascucci, 2011). Sampah elektronik yang dibuang ke TPA
menghasilkan lindi yang mengandung berbagai macam logam berat terutama
kromium, merkuri, timbal dan kadmium (Pichtel, 2005).
Masalah lain yang ada di TPA adalah adanya lindi sampah. Lindi sering
terkumpul pada lahan TPA dan mengandung berbagai turunan senyawa kimia dari
pelarutan sampah dan hasil reaksi kimia dan biokimia yang terjadi di TPA
(Hadiwidodo, 2012). Keberadaan air lindi di TPA dapat menyebabkan pencemaran
air tanah. Pembentukan air lindi disebabkan oleh terjadinya presipitasi cairan ke TPA,
baik dari resapan air hujan maupun kandungan air pada sampah itu sendiri (Bali,
2013).
2.2 Air Lindi
Universitas Sumatera Utara
Lindi adalah cairan yang meresap melalui sampah yang mengandung unsur-
unsur terlarut dan tersuspensi atau cairan yang melewati landfill dan bercampur
dengan zat-zat atau materi yang ada dalam tempat penimbunan tersebut. Cairan
dalam landfill merupakan hasil dari dekomposisi sampah dan cairan yang masuk ke
tempat pembuangan seperti aliran atau drainase permukaan, air hujan dan air tanah
(Tchobanoglous, 1993). Brown (1996) menyatakan, lindi merupakan air yang
terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada
sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik yang sangat tinggi.
Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air, baik air tanah maupun
permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik.
Lindi terbentuk di setiap lokasi pembuangan sampah. Pembentukan lindi
terjadi dari interaksi hasil dari infiltrasi dan perkolasi (perembesan air dalam tanah)
dari air hujan, air tanah, air limpasan atau air banjir yang menuju dan melalui lokasi
pembuangan sampah (Timothy, 1998).
Lindi memiliki karakteristik tertentu, hal ini disebabkan limbah yang
dibuang pada lokasi pembuangan sampah berasal dari berbagai sumber yang berbeda
dengan tipe limbah yang berbeda pula. Menurut Bahri dan Masduki (2000),
komposisi lindi tidak hanya dipengaruhi oleh karakteristik sampah (organik,
anorganik), tetapi juga mudah tidaknya penguraian (larut/tidak larut), kondisi
tumpukan sampah (suhu, pH, kelembaban, umur), karakteristik sumber air (kuantitas
dan kualitas air yang dipengaruhi iklim dan hidrogeologi), komposisi tanah penutup,
ketersediaan nutrient dan mikroba, serta kehadiran inhibitor.
Universitas Sumatera Utara
Umur tumpukan sampah mempengaruhi kualitas lindi dan gas yang
terbentuk. Perubahan kualitas lindi dan gas menjadi parameter utama untuk
mengetahui tingkat stabilisasi tumpukan sampah. Selain itu iklim juga merupakan
faktor penting yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas lindi. Hujan menjadi fase
transport untuk pencucian dan migrasi kontaminan dari tumpukan sampah dan
memberikan kelembaban yang dibutuhkan untuk aktivitas biologis pada tumpukan
sampah (Timothy, 1998).
Lindi berasal dari proses perkolasi/percampuran (umumnya dari air hujan
yang masuk kedalam tumpukan sampah), sehingga bahan-bahan terlarut dari sampah
akan terekstraksi atau berbaur. Cairan ini harus diolah dari suatu unit pengolahan
aerobik atau anaerobik sebelum dibuang ke lingkungan. Tingginya kadar COD dan
ammonia pada air lindi (bisa mencapai ribuan mg/L), sehingga pengolahan air lindi
tidak boleh dilakukan sembarangan. Lindi yang ditimbulkan dari lokasi penimbunan
limbah, jika tidak diolah akan mencemarkan sungai, laut dan air tanah. Kandungan air
lindi yang dihasilkan dari tempat penimbunan mengandung sejumlah bahan
berbahaya seperti; logam berat, komponen inorganic, komponen BTEX (bezene,
toluene, ethyl benzene, dan xylen), dan Komponen Halogenated Hydrocarbon
(Suhendrayatna, 2006).
Lindi yang bersifat toksik perlu dikendalikan secara baik, untuk menghindari
kontaminasi air tanah serta efeknya terhadap menurunnya kualitas air sumur gali di
sekitarnya. Kontaminasi sering terjadi lebih cepat jika TPA sampah terletak di atas
kantong air, porositas tanah tinggi dan teksturnya berpasir, maka hal ini baik
Universitas Sumatera Utara
kontaminasi kimia maupun biologi akan cepat terjadi terhadap kantong air tersebut.
Bahan pencemar kimia umumnya mengalami proses perpindahan lebih cepat daripada
pencemar-pencemar lainnya. Konsentrasi logam yang terdapat dalam lindi pada
landfill dapat dilihat pada tabel berikut (Suhendrayatna, 2006) :
Tabel 2.1. Konsentrasi Lindi Rata-rata pada Landfill
Logam Konsentrasi Logam (mg/L) Cd Ni Zn Cu Pb Cr
0,0002 0,05 2,2 0,04 0,02 0,02
Beberapa bahan pencemar yang terdapat dalam lindi seperti BOD, COD,
bahan anorganik dan bakteri patogen. Keberadaan bahan organik yang tinggi dalam
lingkungan perairan dapat menimbulkan masalah berupa bau, warna dan rasa. Dalam
suasana anaerobic (kekurangan oksigen), degradasi bahan organik dapat
menghasilkan gas-gas (NH3, H2S dan CH4) yang menyebabkan bau (Sastrawijaya,
2000).
Beberapa hara tanaman, baik berupa hara makro seperti: nitrat (NO3-),
amonium (diindikasikasikan oleh NH3), phosfat (PO43-), kalium (K), kalsium (Ca),
magnesium (Mg) dan Sulfat (SO42-); hara mikro seperti : besi (Fe), mangan (Mn),
tembaga (Cu) dan seng (Zn) ditemukan di dalam lindi. Sedangkan bakteri patogen
yang umumnya diindikasikan oleh nilai E. coli juga terdapat pada lindi.
Air hujan yang masuk ke dalam timbunan sampah akan mempercepat
terjadinya proses dekomposisi sehingga air lindi mengandung komponen organik
Universitas Sumatera Utara
terlarut, komponen anorganik dan logam berat seperti kromium, magnesium, mangan,
seng dan nitrat (Pichtel, 2005). Adanya senyawa-senyawa anorganik seperti logam
berat kromium yang terlarut menyebabkan air lindi berpotensi sebagai pencemaran
lingkungan.
2.3 Logam Kromium
2.3.1 Karakteristik dan Sifat Kromium
Logam kromium adalah unsur yang memiliki nomor atom (NA=24) serta
memiliki massa molekul relatif (MR=51,6691). Logam kromium diberikan simbol
kimia Cr yang merupakan singkatan yang berasal dari bahasa Yunani dari kata
chroma yang berarti warna, karena banyak warna yang dihasilkan dari logam tersebut
(Widowati dkk, 2008).
Kromium (Cr) mempunyai konfigurasi elektron [Ar] 3d54s
1, sangat keras,
Memiliki titik didih 2671oC dan memiliki titik lebur 2403
oC. Bilangan oksidasi yang
terpenting adalah +2, +3 dan +6. jika dalam keadaan murni melarut dengan lambat
sekali dalam asam encer membentuk garam kromium (II) (Palar 2008). Cr dalam
larutan tanah diserap oleh akar melalui pengangkutan yang digunakan untuk
penyerapan logam penting untuk metabolisme tanaman. Pengaruh Cr pada tanaman
adalah gejala klorosis pada daun dan penurunan pertumbuhan akar, polusi kromium
disebabkan oleh erosi badan dari automobile dan exstensive road marking oleh cat
kromat timbal kuning dan beberapa aktifitas industri (Puspita dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Secara alamiah kromium merupakan elemen yang ditemukan dalam
konsentrasi yang rendah di batuan, hewan, tanah, debu vulkanik dan juga gas.
Kromium yang terdapat di alam dalam bentuk senyawa yang berbeda. Bentuk yang
paling umum adalah kromium (0), kromium (III), dan kromium (IV) (Palar, 2008).
Logam Cr seperti halnya kadmium (Cd) dalam tanah dapat berubah
konsentrasinya karena proses oksidasi atau reduksi, terlarut dalam larutan tanah,
teradsorbsi pada permukaan mineral tanah atau partikel organik, terkompleksasi oleh
senyawa organik, atau terpresipitasi sebagai komponen yang tidak larut. Logam Cr
(III) secara alami terbentuk di alam, sedangkan Cr (0) dan Cr (VI) pada umumnya
berasal dari industri (Widowati dkk, 2008).
Faktor yang mempengaruhi keberadaan dan status Cr dalam tanah yaitu :
a. pH, karena mempengaruhi kelarutan dan laju reduksi oksidasi dan
mempengaruhi valensi ion dalam larutan tanah.
b. Keberadaan elektron donor atau elektron penerima. Jumlah asam organik
seperti asam sitrat dan asam asetat dalam tanah yang dapat mengikar Cr
dalam proses chelation, atau sebagai elektron donor bagi Cr (VI).
Kondisi aerob, pH, dan potensial redoks yang rendah membuat Cr akan
berada dalam kondisi trivalent yaitu Cr (III), logam Cr (VI) selain bersifat
karsinogenik, logam tersebut juga sangat beracun dan korosif serta iritan terhadap
kulit dan selaput lendir.
2.3.2 Sumber Kromium di Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Logam kromium dapat masuk ke dalam semua strata (tingkat) lingkungan,
apakah itu strata perairan, tanah ataupun udara (lapisan atmosfer). Kromium yang
masuk ke dalam lingkungan dapat datang dari bermacam-macam sumber, tetapi
sumber-sumber masuknya logam kromium yang umum dan diduga paling banyak
adalah dari kegiatan-kegiatan perindustrian, kegiatan rumah tangga dan dari
pembakaran (Palar, 2008).
Kromium masuk ke tanah melalui dua cara yaitu secara alamiah dan non
alamiah. Masuknya kromium secara alamiah dapat disebabkan oleh beberapa faktor
fisika, seperti erosi atau pengikisan yang terjadi pada batuan mineral. Di samping itu
debu-debu dan partikel-partikel kromium yang di udara akan dibawa turun oleh air
hujan. Kromium yang masuk secara non alamiah merupakan hasil dari aktivitas
manusia berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah tangga (Palar,
2008).
Beberapa logam yang sering dijumpai dalam lindi adalah Cu, Zn, Mn, Fe yang
merupakan hara mikro essensial dan Pb, Cd, Cr yang merupakan hara mikro non
essensial bagi tanaman. Logam-logam tersebut dapat mengendap pada pH tertentu
atau setelah mengalami oksidasi (Brown, 1996).
Polusi lingkungan oleh racun logam berat terjadi secara global melalui proses
industri, proses pertanian, dan pembuangan limbah. Kromium merupakan salah satu
logam berat yang paling berbahaya dalam lingkungan, karena dengan levelnya yang
tinggi akan berbahaya terhadap kehidupan organisme. Cr tidak dapat dengan mudah
didegradasi dan biasanya membutuhkan proses yang sesuai untuk membersihkannya
Universitas Sumatera Utara
dari lingkungan (Buyong dkk, 2007). Cr masuk ke lingkungan melalui udara, air, dan
tanah yang pada akhirnya masuk ke dalam ikatan melalui air yang terkontaminasi.
Dampak dari hasil kegiatan manusia yang menyebabkan pencemaran logam di
lingkungan alam sangat bervariasi (Palar, 2008), seperti berikut ini :
a. Limbah rumah tangga dan aliran kota
Penggunaan detergen yang sudah sangat meluas di kalangan masyarakat kota
maupun desa dapat mengakibatkan limbah yang mengandung Cr, Fe, Mn, Ni,
Cu, Zn. Sedangkan air limbah dari jalan, transportasi dan penimbunan sampah
di perkotaan banyak mengandung Cu, Cr, Pb, Fe, Hg. Komposisi logam dalam
aliran kota tergantung dari rencana perkotaan, keadaan lalu lintas, konstruksi
jalan dan penggunaan tanah.
b. Limbah industri
Sumber pencemaran kromium ke lingkungan berasal dari industri cat, industri
tekstil, dan industri pelapisan logam. Pemanfaatan kromium untuk memberi
warna cemerlang pada perkakas dari logam. Selain itu kromium juga
terkandung dalam air limbah industri penyamakan kulit dan kerajinan kulit
(Widowati dkk, 2008). Penyamakan kulit secara konvensional menghasilkan
limbah cair dengan kadar krom : 1500 – 3000 ppm, sedangkan penyamakan
kulit dengan teknik yang lebih maju menghasilkan limbah cair dengan kadar
krom : 500 – 1000 ppm.
2.3.3 Dampak Kromium terhadap Manusia
Universitas Sumatera Utara
Kromium valensi III dalam jumlah kecil tergolong mineral penting yang
dibutuhkan manusia yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipenuhi
dari makanan sehari-hari. Zat ini diperlukan hampir semua jaringan tubuh manusia,
termasuk kulit, otak, otot, limpa dan ginjal. Kromium berperan mengendalikan
metabolisme insulin yang mengontrol kadar gula darah, membantu proses pencernaan
protein dan lemak, menurunkan kadar trigliserid dan kolesterol darah (Mukono,
2002).
Keracunan tubuh manusia oleh kromium, dapat berakibat buruk terhadap
saluran pernafasan, kulit, pembuluh darah dan ginjal. Efek kromium terhadap saluran
pernafasan (Respiratory system effects), berupa kanker paru dan ulkus
kronis/perforasi pada spektrum nasal. Pada kulit (skin effects), berupa ulkus kronis
pada permukaan kulit. Pada pembuluh darah (Vascular effects), berupa penebalan
oleh plag pada pembuluh aorta (Atherosclerotic aortic plaque). Sedangkan pada
ginjal (Kidney effects), kelainan berupa nekrosis tubulus ginjal (Widowati dkk, 2008).
Senyawa kromium (VI) yang masuk ke dalam tubuh akan ikut dalam proses
fisiologis atau metabolisme tubuh. Senyawa yang mempunyai berat molekul rendah
terdapat dalam sel darah dapat melarutkan kromium dan ikut terbawa ke seluruh
tubuh bersama peredaran darah. Ion-ion Cr 6+ dalam proses metabolisme tubuh akan
menghambat kerja dari enzim benzopiren hidroksilase sehingga dapat mengakibatkan
perubahan dalam kemampuan pertumbuhan sel, sehingga sel-sel menjadi tumbuh
secara liar dan tidak terkontrol, atau yang disebut dengan istilah kanker (Palar, 2008).
Dampak kesehatan terhadap pemajanan kromium antara lain :
Universitas Sumatera Utara
a. Efek Fisiologi : krom (III) merupakan unsur penting dalam makanan yang
mempunyai fungsi menjaga agar metabolisme glukosa, lemak, dan kolesterol
berjalan normal. Data kebutuhan krom perhari diperkirakan sekitar 50-200 µgr/hr.
jarang terjadi defisiensi krom, bila kebanyakan terjadi pada penderita diabetes,
malnutrisi dan mereka yang mendapat makanan melalui parenteral. Faktor utama
terjadinya toksisitas dari krom adalah “oxidation state” dan daya larutnya. Krom
(VI) mudah menembus membran sel dan akan terjadi reduksi di dalamnya. Organ
utama yang terserang karena krom adalah terhisap oleh paru-paru, organ lain yang
bisa terserang adalah ginjal, liver, kulit dan sistem imunitas.
b. Efek Pada Kulit : Asam kromik, dikromat dan kromium VI selain iritan kuat juga
korosif. Letak luka biasa di akar kuku, persendian dan selaput antara jari, bagian
belakang tangan dan lengan. Karakteristik luka karena krom mula-mula melepuh
(papulae) kemudian terbentuk luka dengan tepi yang meninggi dan keras.
Penyembuhan luka lambat, bisa beberapa bulan dan luka tidak sakit diduga ada
gangguan syaraf perifer. Dermatitis alergi dengan eksim pernah dilaporkan terjadi
pada pekerja percetakan, semen, metal, pelukis dan penyamak kulit. Diperkirakan
bahwa krom (III) protein kompleks yang bertanggungjawab atas terjadinya reaksi
alergi.
c. Efek pada pernafasan : Efek iritasi paru-paru terjadi pada pemajanan (menghirup
debu kromium) dalam jangka panjang dan mempunyai efek terhadap iritasi kronis,
penyumbatan dan hiperemia, renitis kronis, polip, trakheabronkhitis dan paringitis
kronis.
Universitas Sumatera Utara
d. Efek pada ginjal : Gangguan pada ginjal terjadi setelah menghirup dan menelan
kromium. Kenaikan kadar Beta-2 mikroglobulin dalam urin merupakan indikator
adanya kerusakan tubulus. Urinary treshold untuk efek nefrotik diperkirakan 15
µg/gram kreatinin.
e. Efek pada hati : Pemajanan akut kromium dapat menyebabkan nekrosis hepar. Bila
terjadi 20% tubuh tersiram asam kromat akan mengakibatkan kerusakan berat
hepar dan terjadi kegagalan ginjal akut.
f. Efek karsinogenik : kromium (VI) sebagai penyebab kanker paru, sedangkan
kromium (III) tidak. Kanker paru timbul 20 tahun setelah terpajan kromium
dengan jangka waktu pemajanan sekitar 2 tahun.
Logam kromium yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami proses
metabolisme. Tubuh merubah komposisi zat kimia yang masuk ke tubuh sehingga
menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang ke luar tubuh. Zat kimia tersebut
menjalani biotransformasi yang merupakan salah satu fungsi penting hati yang dapat
mendetoksifikasi dan menyederhanakan suatu zat sehingga lebih mudah
diekskresikan melalui paru-paru, eksokrin, kulit dan traktus intestinal (Widyastuti dan
Ester, 2002).
Untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk, tubuh memerlukan
antioksidan. Zat antioksidan dapat disediakan oleh tubuh kita dan adakalanya
diperoleh dari luar tubuh melalui makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Vitamin E
adalah salah satu antioksidan yang terbaik dibandingkan antioksidan lainnya
(Khomsan dan Anwar, 2008). Sifat antioksidan vitamin E memberikan proteksi
Universitas Sumatera Utara
terhadap gangguan respon imun tubuh melalui pemusnahan radikal bebas.
Antioksidan itu bekerja menangkap radikal hidroksil, mengikat ion logam katalisator,
dan melakukan dekomposisi produk utama menjadi senyawa non radikal (Anwar dan
Khomsan, 2009).
2.3.4 Dampak Kromium terhadap Lingkungan
Kromium relatif stabil di udara dan air, tetapi setelah kontak dengan biota, air,
udara dan tanah, akan berubah menjadi bentuk kromium trivalen (Widowati dkk,
2008). Kromium di alam berada dalam bentuk senyawa-senyawa : kromik sulfat,
kromik oksida, kromik klorida, kromik trivalen, kalsium kromat, timbal kromat,
kalium dikromat, natrium dikromat, seng kromat. Senyawa kromium masing-masing
mempunyai peranan yang berbeda di lingkungan dan efek yang berbeda pula terhadap
kesehatan manusia sesuai dengan bilangan oksidasinya. Akinci dan Akinci (2010)
menyatakan kisaran normal kromium di alam mulai dari 10 hingga 50 mg/kg.
Kandungan kromium dalam sayuran sekitar 30 ppm, sedangkan pada buah-buahan
sekitar 20 ppm.
Kromium yang berada di perairan dapat menyebabkan penurunan kualitas air
serta membahayakan lingkungan dan organisme akuatik (Susanti dan Henny, 2008).
Dampak yang ditimbulkan bagi organisme akuatik yaitu terganggunya metabolisme
tubuh akibat terhalangnya kerja enzim dalam proses fisiologis. Kromium dapat
menumpuk dalam tubuh dan bersifat kronis yang akhirnya mengakibatkan kematian
organisme akuatik (Palar, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Logam berat dalam keadaan bebas dapat bersifat racun dan dapat terserap oleh
tanaman, sedangkan dalam bentuk tidak bebas dapat berikatan dengan unsur hara,
bahan organik maupun an organik lainnya. Logam berat dapat mempengaruhi
ketersediaan hara tanaman juga dapat mengkontaminasi hasil tanaman. Jika logam
berat memasuki lingkungan tanah, maka akan terjadi keseimbangan dalam tanah,
kemudian akan terserap oleh tanaman melalui akar, dan selanjutnya akan terdistribusi
ke bagian tanaman lainnya (Palar,2008).
Kontaminasi oleh kromium menjadi perhatian serius karena dapat mencemari
tanah maupun air tanah serta dapat menyebar ke daerah sekitarnya melalui air dan
terakumulasi oleh tumbuhan (Wise dan Trantolo, 2000). Upaya pemulihan perlu
dilakukan agar tanah yang tercemar dapat digunakan kembali dengan aman. Salah
satu metode yang aplikatif dan diharapkan mampu menangani masalah pencemaran
logam berat pada tanah adalah fitoremediasi (Mangkoedihardjo, 2010).
2.4 Fitoremediasi
Fito berasal dari kata Yunani phyton yang berarti tumbuhan/tanaman,
remediation asal kata Latin remediare yaitu memperbaiki, menyembuhkan atau
membersihkan sesuatu. Berdasarkan hal tersebut phytoremediasi (phytoremediation)
dapat diartikan suatu sistem di mana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan
micro-organisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat kontaminan
(pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang
berguna secara ekonomi (Moenir, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Cunningham dalam Siregar dan Siregar (2010) fitoremediasi adalah
penggunaan tanaman dan mikroorganisme terkait, untuk mendegradasi, menyerap
atau membuat kontaminan pada tanah dan/atau air tanah menjadi tidak berbahaya.
Pada dasarnya fitoremediasi memanfaatkan inisiatif manusia untuk mempercepat
proses peluruhan secara alamiah sebuah area yang terkontaminasi. Teknik
fitoremediasi adalah teknologi pembersihan zat polutan dari badan air yang telah
tercemar dengan menggunakan tanaman. Teknologi ini mudah dan murah serta
memberikan efek negatif yang kecil bagi kesehatan (Khiatuddin, 2003).
Proses yang terjadi pada fitoremediasi berlangsung secara alami dengan enam
tahap proses yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan yang berada di
sekitarnya, prosesnya antara lain (Siregar dan Siregar, 2010) :
a. Fitoekstraksi adalah suatu proses penyerapan kontaminan melalui akar
tanaman dan ditranslokasikan di dalam tubuh tanaman. Kontaminan biasanya
dibersihkan dengan cara memanen tanaman tersebut.
b. Rhizofiltrasi adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat kontaminan oleh
akar untuk menempel pada akar. Eksudat dari akar tanaman dapat
menyebabkan pengendapan beberapa logam.
c. Fitostabilisasi didefinisikan sebagai imobilisasi dari kontaminan dalam tanah
melalui penyerapan dan akumulasi oleh akar serta penggunaan tanaman dan
akar tanaman untuk mencegah migrasi kontaminan melalui angin, erosi air,
pencucian dan dispersi tanah.
Universitas Sumatera Utara
d. Rhizodegradasi adalah penguraian kontaminan organik dalam tanah melalui
aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan, misalnya ragi, fungi
dan bakteri.
e. Fitodegradasi (fitotransformasi) adalah penguraian kontaminan yang diambil
oleh tanaman melalui proses metabolisme dalam tanaman, atau penguraian
kontaminan di luar tanaman melalui pengaruh senyawa (seperti enzim) yang
diproduksi oleh tanaman.
f. Fitovolatilisasi adalah pengambilan dan transpirasi kontaminan oleh tanaman,
dengan pelepasan kontaminan atau bentuk modifikasi dari kontaminan ke
atmosfer dari tanaman, melalui penyerapan kontaminan, metabolisme
tanaman, dan transpirasi tanaman.
Tanaman hiperakumulator adalah tanaman yang mempunyai kemampuan
untuk menyerap dan kemudian mengkonsentrasikan logam di dalam biomassanya
dalam kadar yang luar biasa tinggi namun tidak mengganggu kehidupannya.
Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm
Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2005).
Pillon-Smits (2003) mengemukakan ciri-ciri tumbuhan yang digunakan pada
proses fitoremediasi adalah sebagai berikut :
a. Tumbuh secara cepat
b. Mempunyai biomassa yang tinggi
c. Bersifat kompetitif, kuat dan sangat toleran pada polutan
Universitas Sumatera Utara
d. Mempunyai level yang tinggi dalam pengambilan nutrisi, translokasi dan
akumulasi pada jaringan.
Beberapa jenis tumbuhan hiperakumulator yang telah diteliti seperti Thlaspi,
Pteris vittata dan Brassica (Brooks, 1998). Selain itu ada pula tumbuhan yang dapat
dijadikan hiperakumulator yaitu yang termasuk famili : Brassicaceae, Lamiaceae,
Scrophulariaceae, Cyperaceae, Poaceae, Typhaceae, Apocynaceae, Euphorbiaceae,
Flacourtiaceae, Fabaceae dan Violaceae (Dhir, 2013).
Pada mekanisme fitoremediasi, perpindahan zat dari tanah ke dalam
tumbuhan dapat mengakumulasi zat dalam tumbuhan. Potensi akumulasi zat dalam
tumbuhan dapat diprediksi dari bioaccumulation factor (BAF). BAF merupakan
kemampuan tanaman untuk mengakumulasi logam berat tertentu sebagai tanggapan
terhadap kandungan logam tersebut di dalam suatu substrat. Pada tanah yang
terkontaminasi oleh banyak pencemar, BAF mempunyai arti yang sangat penting.
Apabila nilai BAF rendah maka dapat dijadikan petunjuk bahwa pencemar
mengalami transformasi dalam tumbuhan atau lepas ke udara mengikuti aliran
transpirasi. Namun jika nilai BAF tinggi maka pencemar dapat diindikasikan telah
terakumulasi ke dalam tumbuhan (Mangkoedihardjo, 2010).
Faktor bioakumulasi diperoleh dengan membandingkan kandungan logam di
dalam tanaman dengan kandungan logam di dalam tanah/media. Nilai BAF > 1 dapat
disebut fitoremediator (Marques dkk, 2009).
2.5 Jenis Tumbuhan
Universitas Sumatera Utara
Banyak tanaman yang telah diuji pada lahan basah, namun hasilnya
menunjukkan bahwa tanaman air Typha latifolia, Typha angustifolia, Phalaris
arundinacea, Phragmintes australis dan beberapa jenis spesies Bulrush adalah
tanaman yang paling baik untuk ditanami pada lahan basah. Tumbuhan-tumbuhan
tersebut terbukti mudah ditanam dan ditangani sehingga tidak memerlukan terlalu
banyak biaya serta memiliki ketahanan yang tinggi terhadap perubahan cuaca dan
kondisi lingkungan (Dhir, 2013).
Jenis tanaman air yang mempunyai kemampuan untuk mengurangi logam
berat di dalam air seperti Eichhornia crassipes dan Hydrocotyle umbellata l. (Buyong
dkk, 2007), namun tumbuhan ini masih memiliki keterbatasan dalam kemampuan
akumulasinya. Tumbuhan lain adalah Typha latifolia yang merupakan tumbuhan
yang dapat hidup pada kondisi wetland. Tumbuhan ini dapat digolongkan kepada
jenis tumbuhan hiperakumulator. Kemampuan tumbuhan Typha latifolia dalam
menyerap logam berat besar, menjadikan tumbuhan ini digunakan sebagai alternatif
dalam menyerap limbah logam (Moenir, 2010)
2.5.1 Purun (Typha latifolia)
Typha latifolia merupakan tanaman rumput-rumputan dengan batang yang
panjang, hijau dan ramping. Termasuk tanaman air dari keluarga Typhaceae. Bunga
betina berbentuk silindris berwarna coklat. Bunga jantan yang bentuknya juga sama
terletak di atas bunga betina dengan ukuran lebih kecil. Panjang bunga 15-20 cm,
tumbuh lurus di ujung tangkai yang panjang. Karena sosoknya yang tinggi, sekitar
1,5-2,5 meter banyak dipakai di dalam kolam taman (Marianto, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Tumbuhan purun (T. Latifolia) merupakan tanaman dari suku Typhaceae dan
bangsa Typhales yang mempunyai rizoma, beramilum, sering membentuk koloni
padat, menjulang dari air dangkal atau tumbuh di tempat yang basah, sel-sel bertanin
tersebar, batang tegak, serta berakhir dengan pembungaan. Daun berbentuk dua garis,
kebanyakan di dasar, pelepah laminalinearis. Habitat dari T. latifolia ini adalah
lingkungan yang mempunyai nilai pH 4 – 10 dan temperatur 10 – 30o C (Heyne,
1987).
T. latifolia memiliki sistem perakaran yang banyak dan kuat yang dapat
membantu menstabilisasi sungai dengan menyerap zat organik dan membatasi erosi
tanah. Dari sisi ekonomis tanaman Typha dapat dijadikan tanaman hias, yaitu diambil
bunganya untuk keperluan rangkaian bunga. Selain itu typha juga dapat dibuat sejenis
tikar atau kerajinan tangan lainnya (Marianto, 2001).
Gambar 2.1 Tumbuhan Purun (Typha latifolia) 2.5.2 Mendong (Scirpus californicus)
Tumbuhan mendong (Scirpus californicus) mempunyai akar rimpang, tumbuh
pada daerah rawa-rawa yang tergenang air tawar, seperti kolam dan sawah, tumbuh
Universitas Sumatera Utara
baik pada dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl dengan tinggi tanaman antara
0,80 – 2 meter, bentuk batangnya bersegi tiga. Tumbuhan ini sering ditemukan dalam
jumlah besar secara berkelompok (Heyne, 1987).
Biasanya tanaman liar ini tumbuh di kebun, di ladang dan di tempat lain
sampai pada ketiggian 1000 m dari permukaan laut. Tanaman ini mudah dikenali
karena bunga-bunganya berwarna hijau kecoklatan , terletak di ujung tangkai dengan
tinas benang sari berwarna kuning jernih, membentuk bunga-bunga berbulir.
Daunnya berbentuk pita, berwarna mengkilat dan terdiri dari 4-10 helai, terdapat pada
pangkal batang membentuk rozel akar, dengan pelepah daun tertutup tanah
(Marianto, 2001).
Pada umumnya tanaman ini digunakan untuk membuat tikar atau tali. Karena
kegunaan inilah istilah mendong lebih mengacu kepada tumbuh-tumbuhan perdu
yang tumbuh di air yang dapat digunakan untuk keperluan itu. Istilah mendong
diberikan pada marga Cyperaceae, yang penampangnya berbentuk segitiga.
Gambar 2.2 Tumbuhan Mendong (Scirpus californicus)
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Padi Liar (Zizaniopsis miliacea)
Padi liar (Zizaniopsis miliacea) termasuk ke dalam famili rumput-rumputan
atau suku padi-padian (Poaceae) yang memiliki batang yang tersusun dari beberapa
ruas. Tingginya 1 sampai 1,5 meter, pada tiap-tiap buku batang tumbuh daun yang
bebentuk pita dan berpelepah. Bunga dari batang ini berbulir seperti padi (Heyne,
1987).
Zizaniopsis miliacea disebut juga rumput raksasa atau rumput tinggi yang
ditemukan di rawa, parit, sungai dan sepanjang tepi danau. Berasal dari Amerika
Serikat bagian tenggara. Rumput raksasa telah diidentifikasi dari sampel herbarium,
survei taman negara dan pengelolaan air lainnya (Fox dan Thaller, 2000).
Gambar 2.3 Tumbuhan Padi Liar (Zizaniopsis miliacea)
2.6 Landasan Teori
Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah merupakan suatu tempat
pembuangan sampah bagi penduduk kota. Sampah yang dihasilkan bersumber dari
buangan industri dan sebagian dari buangan rumah tangga, seperti baterai, logam-
Universitas Sumatera Utara
logam dan lain-lain. Pencemaran tempat pembuangan sampah terkandung dalam lindi
sebagai hasil penguraian timbunan sampah. Lindi ini dapat mengandung logam berat
yang kemudian mencemari air dan tanah di sekitar TPA (Timothy, 1998).
Pencemaran logam berat pada air lindi di TPA dapat memberikan dampak buruk bagi
masyarakat sekitar TPA. Dalam rantai makanan, logam berat dapat mengancam
kehidupan manusia karena jika terakumulasi di dalam tubuh dapat mengakibatkan
kelumpuhan bahkan kematian (Palar, 2008).
Tindakan pemulihan dapat dilakukan dengan menggunakan fitoremediasi,
yaitu penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan polutan dari tanah atau perairan
yang terkontaminasi (Mangkoedihardjo, 2010). Jenis tanaman yang dapat digunakan
untuk fitoremediasi antara lain termasuk tumbuhan timbul Scirpus californicus,
Zizaniopsis miliaceae, Panicum helitomom, Pontederia cordata, Sagittaria lancifolia,
dan Typha latifolia adalah yang terbaik digunakan pada sistem lahan basah buatan
untuk mengolah limbah.
2.7 Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Jenis Tumbuhan : 1. Purun (Typha latifolia) 2. Mendong (Scirpus californicus) 3. Padi liar (Zizaniopsis miliacea)
Kandungan logam kromium pada tanaman
dan tanah
Universitas Sumatera Utara