bab 2 tinjauan pustaka 2.1 konsep sindrom nefrotik 2.1

13
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Sindrom Nefrotik 2.1.1 Definisi Sindrom Nefrotik Sindrom Nefrotik (SN) ialah sindrom klinis, didefinisikan oleh proteinuria masif (lebih dari 40 mg / m2 per jam), menyebabkan hipoalbuminemia (kurang dari 30 g / L) dan menyebabkan hiperlipidemia, Edema dan berbagai komplikasi. Hal ini disebabkan peningkatan permeabilitas kerusakan membran basal glomerulus (terutama infeksi atau tromboemboli). Ini adalah hasil dari permeabilitas glomerulus abnormal, yang mungkin merupakan penyakit ginjal primer atau sekunder akibat infeksi kongenital, diabetes, lupus eritematosus sistemik, pembentukan tumor atau penggunaan obat-obatan tertentu. Penderita SN dapat terjadi kekambuhan dalam 6 bulan pertama atau lebih dari empat kambuh dalam 12 bulan (Tapia & Bashir, 2020). SN dapat menyerang pria, wanita, orang dewasa, dan anak-anak dari ras apa pun. Ini dapat terjadi dalam bentuk karakteristik atau dikaitkan dengan sindrom nefrotik. Item terakhir menunjukkan peradangan glomerulus, hematuria, dan gangguan fungsi ginjal (Sinnakirouchenan, 2020). 2.1.2 Epidemologi Pada umumnya kasus SN ini dialami oleh anak-anak. Adanya insiden yang dilaporkan 2-3/100.000 anak-anak di negara Barat, insiden lebih tinggi pada anak-anak di Asia Selatan dengan prevalensi 12-16/100.000 anak. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan insiden sebanyak 6/100.000/tahun pada anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2:1 (Albar & Bilondatu, 2019). Sedangkan insiden yang terjadi pada orang dewasa adalah 3/100.000 orang. Sekitar 80% hingga 90% kasus SN pada orang dewasa bersifat idiopatik yang artinya belum

Upload: others

Post on 13-Nov-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Sindrom Nefrotik

2.1.1 Definisi Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefrotik (SN) ialah sindrom klinis, didefinisikan oleh

proteinuria masif (lebih dari 40 mg / m2 per jam), menyebabkan

hipoalbuminemia (kurang dari 30 g / L) dan menyebabkan hiperlipidemia,

Edema dan berbagai komplikasi. Hal ini disebabkan peningkatan

permeabilitas kerusakan membran basal glomerulus (terutama infeksi atau

tromboemboli). Ini adalah hasil dari permeabilitas glomerulus abnormal,

yang mungkin merupakan penyakit ginjal primer atau sekunder akibat

infeksi kongenital, diabetes, lupus eritematosus sistemik, pembentukan

tumor atau penggunaan obat-obatan tertentu. Penderita SN dapat terjadi

kekambuhan dalam 6 bulan pertama atau lebih dari empat kambuh dalam

12 bulan (Tapia & Bashir, 2020).

SN dapat menyerang pria, wanita, orang dewasa, dan anak-anak dari

ras apa pun. Ini dapat terjadi dalam bentuk karakteristik atau dikaitkan

dengan sindrom nefrotik. Item terakhir menunjukkan peradangan

glomerulus, hematuria, dan gangguan fungsi ginjal (Sinnakirouchenan,

2020).

2.1.2 Epidemologi

Pada umumnya kasus SN ini dialami oleh anak-anak. Adanya

insiden yang dilaporkan 2-3/100.000 anak-anak di negara Barat, insiden

lebih tinggi pada anak-anak di Asia Selatan dengan prevalensi

12-16/100.000 anak. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan insiden

sebanyak 6/100.000/tahun pada anak laki-laki dan perempuan dengan

perbandingan 2:1 (Albar & Bilondatu, 2019). Sedangkan insiden yang

terjadi pada orang dewasa adalah 3/100.000 orang. Sekitar 80% hingga

90% kasus SN pada orang dewasa bersifat idiopatik yang artinya belum

6

jelas akan penyebab utamanya. Penyebab yang sering terjadi pada kulit

putih ialah Nefropati membranosa. Sedangkan pada kulit hitam ialah

glomerulosklerosis fokal segmental. Masing-masing pada gangguan

tersebut menyumbang sekitar 30% sampai 35% pada kasus NS orang

dewasa (Kodner, 2016). Kejadian nefropati membranosa terjadi sekitar

12/juta pertahun dengan usia rata-rata 50 sampai 60 tahun. Pada kasus ini

didominasi oleh pria dengan perbandingan 2:1 (Politano et al., 2020).

2.1.3 Etiologi

Penyebab SN dapat dikategorikan secara primer dan sekunder akibat

dari infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin,

dan akibat penyakit sistemik lainnya (Arsita, 2017).

Menurut (Sinnakirouchenan, 2020), penyebab utama dari SN ialah

sebagai berikut,

a. Minimal-change Nefropati

b. Glomerulosklerosis Fokal

c. Nefropati Membaranosa

d. Nefropati herediter

Sedangkan penyebab dari SN sekunder, sebagai berikut,

a. Diabetes Mellitus

b. Lupus Eritematosus

c. Infeksi Virus (misal, hepatitis B, hepatitis C, HIV)

d. Amiloidosis dan paraproteinemias

e. Preekalmsia

f. Allo-antibodi dari terapi pengganti enzim

2.1.4 Prognosis

Menurut tipe histologis SN, angka remisi, nonresponsif dan prognosis

dapat bervariasi. Penderita SN dengan MCNS (Minimal Change Nephrotic

Syndrome) menunjukan tingkat remisi lebih tinggi yaitu sebesar 90%,

sedangkan untuk kekambuhannya sendiri lebih tinggi dengan presentase

30%-70%. Sedangkan pada FSGS (Focal Segmental Glomerulosclerosis),

7

angka remisi yang ditunjukkan lebih rendah dan prognosis ginjal yang

lebih buruk dapat mengakibatkan penyakit ginjal dengan stadium akhir.

Pasien SN dengan perubahan patologi minimal menunjukkan prognosis

yang baik dengan menunjukkan remisi setelah pengobatan kortikosteroid.

Pasien responsif terhadap steroid menunjukkan presentase sebesar

85%-90% dapat kambuh sehingga akan beresiko mengalami toksisitas

steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya (Nishi et al., 2016; Tapia

& Bashir, 2020).

2.1.5 Patofisiologi

Hilangnya plasma protein merupakan kondisi dari SN, terutama pada

albumin di dalam urine. Meskipun produksi urine dapat ditingkatkan oleh

hati, akan tetapi organ hati tidak dapat mempertahankan produksi

albumin, sehingga albumin akan hilang melalui ginjal dan terjadilah

hipoalbuminemia (Muttaqin & Sari, 2011). Albumin yang hilang dalam

urine menyebabkan tekanan onkotik menjadi menurun, sehingga volume

pada sirkulasi juga menurun. Perubahan yang terjadi pada volume

sirkulasi ini berdampak pada apartus juxtaglomerular dan menstimulasi

aksis renin-angiotensin yang dapat meneybabkan retensi natrium dan

cairan pada tubuh. Pasien SN tidak mampu dalam mengeluarkan natrium

pada nefron distal, sehingga menyebabkan retensi volume dan hipertensi

(Politano et al., 2020).

Pada kondisi penurunan tekanan osmotik plasma, dapat

menyebabkan edema sistemik. Munculnya preparat protein dalam serum

akan merangsang sintesis lipoprotein di hati dan meningkatkan

kandungan lemak dalam darah (hiperlipidemia). Sindrom nefrotik dapat

terjadi pada hampir semua penyakit ginjal internal atau sistemik yang

mempengaruhi glomeruli. Meski penyakit ini biasanya menyerang

anak-anak, sindrom nefrotik juga bisa terjadi pada orang dewasa

termasuk lansia (Muttaqin & Sari, 2011).

8

2.1.6 Manifestasi Klinis

Menurut (Arsita, 2017), manifestasi klinis yang dapat terjadi pada SN

antara lain,

2.1.5.1 Proteinuria

Menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO)

(2012), proteinuria merupakan istilah yang luas untuk keberadaan protein

dalam urine. Hal ini sebagian besar terjadi pada saat menigkatnya

premeabilitas glomerulus, perubahan membran basal dan glikokaliks, dan

dapat menyebabkan hilangnya protein yang biasanya terdapat dalam

plasma (Copeland & Gillis, 2020).

Batasan kehilangan protein pada ginjal yang sehat diatur oleh filter

glomerulus dengan penghalang filtrasi untuk protein dengan batas yang

lebih besar dari 50 kDa terutama pada molekul yang bermuatan listrik

negatif, serta reabsorpsi tubular dari protein yang lebih kecil dan asam

amino yang lolos melewati membran glomerulus (Merseburger, Kuczyk,

& Moul, 2014).

Tabel 2.1 Parameter Proteinuria pada Sindrom Nefrotik

Parameter Anak Dewasa

Dipsik urine 3+ 3+ - 4+

Kadar proteinuria >40 mg/m2 /jam >3,0 – 3,5 g/hari

Kadar kreatinin >2,0 mg/mg atau ≥2000

mg/dL – 3000 mg/dL

>300 mg/mmol atau 3000

mg/g

2.1.5.2 Hipoalbuminemia

Albumin ialah protein globular kecil yang disintesis oleh hati dengan

panjang sekitar 5nm dan berat molekulnya 66,5 kDa. Protein ini

merupakan protein paling melimpah dalam plasma dengan presentase

55% protein darah (35-50 g/L dalam serum manusia). Albumin adalah

protein penting untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid dan

mengatur pH plasma. Albumin juga memiliki peran dalam meningkatkan

ketersediaan hayati serta mengatur pengangkutan asam lemak rantai

panjang, nutrisi, dan ion logam, serta berbagai macam obat yang dikelola

9

secara sistemik dengan meningkatkan ketersediaan hayati dan

stabilitasnya dalam cairan biologis (Parodi, Miao, Soond, Rudzińska, &

Zamyatnin, 2019).

Sedangkan Hipoalbuminemia dewasa didefinisikan sebagai

penurunan Tingkat albumin intravaskular <3,5 g / dL. Mekanisme yang

mendasari hipoalbuminemia termasuk penurunan sintesis (penyakit hati,

Malnutrisi protein), peningkatan katabolisme jaringan (sepsis), sindrom

nefrotik, saluran gastrointestinal Kehilangan (enteropati kehilangan

protein) atau perubahan distribusi (isolasi) (Kim, McClave, Martindale,

Miller, & Hurt, 2017).

2.1.5.3 Edema

Edema pada sindrom nefrotik dapat dijelaskan dengan 2 teori, yaitu

teori underfill dan teori overfill. Pada teori underfill dijelaskan bahwa

faktor utama terjadinya edema ialah disebabkan oleh hipoalbuminemia.

Hipoalbuminemia menyebabkan adanya penurunan pada tekanan osmotik

plasma sehingga cairan berpindah dari intravascular ke jaringan

interstesium dan terjadilah edema. Akibat penurunan tersebut akan

mengakibatkan hipovolemia dan ginjal akan melakukan kompensasi

dengan meningkatkan retensi pada natrium dan air. Pada mekanisme ini

akan memperbaiki volume intravaskular akan tetapi juga akan

mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia dan edema akan semakin

berlanjut (Arsita, 2017).

Sedangkan teori overfill menjelaskan bahwa edema disebabkan

karena terjadinya proteinuria yang mana protein yang hilang melalui

saluran urine akan menyebabkan retensi natirum dan akan menyebabkan

cairan menumpuk di ruang intravaskuler. Cairan yang berlebih pada

ruang ini akan merembes keluar dan menumpuk di ruang interstitial dan

menyebabkan edema (Suwantopo et al., 2020).

Mekanisme dari pembentukan edema pada kasus SN masih menjadi

perdebatan. Studi terbaru menjelaskan bahwa cacat tubular primer dapat

berkontribusi dalam peningkatan penyerapan natrium dan mendorong

10

ekspansi volume. Pada awalnya, edema sering terlihat di jaringan ikat

yang longgar, seperti terjadi pada daerah perlorbital atau genital. Selain

itu, edema juga terjadi pada sakrum, abdomen, dan ektremitas bawah

proksimal. Edema pada usus dapat terjadi pada kasus SN ini dan

berpotensi mengakibatkan terjadinya malabsorbsi. Sehingga, pada

pedoman terbaru menekankan asupan protein yang memadai dengan

cukup akan karbohidrat untuk mengurangi terjadinya malnutrisi

(Mahalingasivam, Booth, Sheaff, & Yaqoob, 2018; Politano et al., 2020).

2.1.7 Klasifikasi

Saat ini, ada beberapa klasifikasi sindrom nefrotik. Menurut

penyebabnya, SN terbagi menjadi tiga kategori yaitu kongenital,

idiopatik / primer dan sekunder. Menurut ciri histopatologi, ada beberapa

bentuk sindrom nefrotik. Bentuk yang paling umum adalah lesi minimal

(85%), glomerulosklerosis fokal segmental (10%), glomerulitis

proliferatif difus (3%) dan glomerulonefritis proliferatif mesangial (2 %).

Keempat bentuk ini adalah bagian dari SN idiopatik. Menurut respon

terhadap terapi kortikosteroid, dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik

sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik anti-steroid (SNRS).

Klasifikasi SN didasarkan pada respons klinis umum terhadap terapi

kortikosteroid. Gambaran histopatologi sindrom nefrotik adalah lesi

minimal (80%), respons yang baik terhadap pemberian steroid, dan

glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulitis proliferatif difus, dan

nefropati membranosa. Nefritis globular biasanya resisten terhadap

pemberian steroid (Manalu, 2019).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain,

a. Urinalisis

Pemeriksaan ini dilakukan ketika terdapat gejala klinis yang

menunjukkan adanya ISK

11

b. Protein Urine Kuantitatif

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kandungan

protein/kreatinin pada urine yang pertama di pagi hari. Atau bisa

menggunakan urine dalam kurun waktu 24 jam

c. Pemeriksaan Darah Lengkap

Pemeriksaan darah lengkap dapat berupa darah tepi lengkap

(kadar hemoglobin, kadar leukosit dan hitung jumlah jenisnya, kadar

trombosit, kadar hematokrit, dan Laju Endap Darah), jumlah kadar

albumin dan kolesterol serum, dan yang terakhir kadar ureum,

kreatinin serta klirens kreatinin (Trihono, Alatas, Tambunan, &

Pardede, 2012).

2.1.9 Komplikasi

a. Gangguan fungsi ginjal

Pada pasien SN potensi untuk mengalami gagal ginjal akut

sangatlah tinggi dengan melalui berbagai mekanisme. Penurunan

volume plasma dan atau sepsis dapat menyebabkan timbulnya

nekrosis tubular akut. Adapun mekanisme lain yang bisa

diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut ialah terjadi edema

intrarenal yang bisa menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal

(Arsita, 2017).

b. Infeksi

Pada pasien SN sangat rentan terkena infeksi. Jika pasien SN

terdapat infeksi perlu segera ditangani dengan cara pemberian

antibiotik. Infeksi yang sering terjadi pada SN ialah selulitis dan

peritonitis primer. Jika terjadi peritonitis primer perlu diberikan

pengobatan penisilin parental yang dikombinasi dengan sefalosporin

generasi ketiga selama 10-14 hari (Trihono et al., 2012).

Pada kasus edema, adanya peningkatan tekakan hidrostatik di

interstium dan menyebabkan penurunan perfusi interstitium sehingga

sangat mudah mengalami kerusakan kulit dan dapat mengakibatkan

infeksi (Pardede, 2017).

12

c. Trombosis

SN adalah predisposisi tromboemboli vena. Hal ini terjadi

karena antitrombin III yang hilang, volume intravaskular yang

berkurang, terjadinya imobilisasi, kateter vaskular indwelling, dan

pungsi vena dalam. Trombosis dicurigai pada SN dengan oligonuria,

hematuria atau nyeri pinggang, kongesti vena nyeri, berkurangnya

mobilitas pada ekstremitas, kejang, muntah, dan defisit neurologis

(Pardede, 2017).

d. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia adalah penyakit SN sering disertai. Tingkat

kolesterol Biasanya meningkat sementara trigliserida Dari normal

menjadi sedikit lebih tinggi. Menyebabkan kadar kolesterol

meningkat LDL (low density lipoprotein) meningkat, Lipoprotein

utama mengangkut kolesterol. Kadar trigliserida tinggi dan

Peningkatan VLDL (kepadatan sangat rendah lipoprotein). Selain itu,

saya juga menemukan IDL dan lipoprotein meningkat, sementara

HDL cenderung normal atau rendah (Arsita, 2017).

e. Hipokalsemia

Pasien dengan SN dapat terjadi hipokalsemia karena,

a. Penggunaan steroid dengan jangka yang panjang dan dapat

menimbulkan osteopenia.

b. Kebocoran pada metabolit vit D

Oleh sebab itu pasien dengan SD yang mendapat terapi steroid

dalam jangka yang lama (> 3 bulan) dianjurkan untuk pemberian

suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vit D (125-250 IU). Jika

terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5

mL/kgBB intravena (Trihono et al., 2012).

f. Hipertensi

Hipertensi adalah tanda utama yang sering dijumpai pada pasien

SN. Retensi garam dan air, aktivasi dari sistem

renin-angiotensi-aldosteron, dan progresi dari kerusakan ginjal dapat

13

meningkatkan tekanan darah diatas pedoman tekanan darah tujuan

saat ini kurang dari 130/80 mmHg (Politano et al., 2020).

2.1.10 Penatalaksanaan Non-Farmakologis

Pasien SN dapat melakukan Diet yaitu dengan menyediakan asupan

kalori yang adekuat dan protein yang adekuat juga (Sinnakirouchenan,

2020). Beberapa dekade yang lalu, pasien SN dianjurkan untuk diit tinggi

protein untuk mencegah terjadinya hipoalbuminemia, akan teteapi tidak

ada bukti yang dapat menjelaskan bahwa asupan dengan tinggi protein

dapat memperbaiki keadaan albumin. Sehingga, diit protein tidak lagi

dianjurkan lagi dan bahkan sekarang sudah menjadi indikasi kontra

karena menyebabkan beban glomerulus meningkat dalam mengeluarkan

sisa-sisa metabolisme protein saat di filtrasi yang bisa mengakibatkan

sklerosis glomerulus. Dan sebaliknya, diit rendah protein dapat

mengakibatkan pasien mengalami malnutrisi protein. Sehingga, pada saat

ini SN dianjurkan untuk melakukan diit protein normal (Pardede, 2017).

Diet rendah garam dapat membatasi retensi cairan dan edema yang

terjadi pada pasien SN. Dengan menggunakan sampel urine 25 jam dapat

digunakan untuk mengukur asupan natrium dari makanan

(Sinnakirouchenan, 2020).

2.1.11 Penatalaksanaan Farmakologis

Pada penatalaksanaan SN pada orang dewasa prinsipnya serupa

dengan penatalaksanaan pada anak-anak. Obat dengan jenis diuretik yang

dapat digunakan antara lain, furosemide, spironalactone, dan metolazone.

Pada penggunaan obat jenis ini, pengurangan volume dapat terjadi

dengan mengobservasi mengenai tanda gejala, BB, Nadi, dan TD. Obat

jenis antikoagulasi dapat dianjurkan dalam pencegahan komplikasi

tromboemboli, akan tetapi dalam penggunaan dan pencegahan primer

belum dapat dibuktikan. Pada SN sekunder, seperti halnya nefropati

diabetik inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) dan/atau

penghambat reseptor angiotensin II banyak digunakan. Hal ini dapat

14

mengurangi terjadinya proteinuria dengan cara mengurangi tekanan darah

sistemik, mengurangi tekanan intraglomurular, dan juga tindakan

langsung pada podosit (Sinnakirouchenan, 2020).

2.2 Dukungan Keluarga

2.2.1 Definisi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga ialah nasihat, sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit. Peran keluarga sangatlah

penting disetiap aspek perawatan kesehatan terhadap anggota keluarga.

Dukungan keluarga dapat berupa dukungan instrumental, dukungan

informasional, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan.

Dukungan keluarga ini dapat diberikan selama hidup pasien untuk

menunjang penyembuhannya (Carolina & Aziz, 2019).

Dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap pentingnya

pengobatan dengan berbagai jenis penyakit kronis dan dukungan

keluarga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota

keluarganya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang bisa mencegah

dengan berkembangnya masalah akibat tekanan yang ia hadapi.

Seseorang yang memiliki dukungan tinggi akan lebih berhasil dalam

menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan sesorang yang

tidak memiliki dukungan. Faktor dukungan keluarga bisa menjadi faktor

yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai serta

bisa juga menentukan program penyembuhan yang bisa diterima mereka.

Selain itu, keluarga juga dapat memberikan dukungan serta membuat

keputusan terhadap perawatan keluarga yang sakit (Shalahuddin &

Rosidin, 2018).

2.2.2 Jenis Dukungan Keluarga

Berikut jenis dukungan keluarga, antara lain,

a. Dukungan Informasional

Informasi adalah segala pengetahuan yang dapat disampaikan

secara tertulis maupun lisan. Informasi sangatlah dibutuhkan saat

15

seseorang mengahdapi suatu masalah sehingga ia membutuhkan

masukan dari berbagai pihak disekitarnya, salah satunya bersal dari

orang yang berada di sekitarnya seperti keluarga dan teman.

Dukungan dalam konteks ini bertindak sebagai pencari dan penyebar

informasi kepada pasien. Informasi bisa berbentuk pemberian saran,

informasi, nasihat, dan pendapat. Dukungan ini bisa membantu untuk

meringankan pasien dalam mengambil keputusan terkait manajemen

penyakitnya (Rachmawati et al., 2019).

b. Dukungan Instrumental

Dukungan instrumental berupa dukungan dengan memberikan

bantuan-bantuan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan

materi. Dalam hal ini keluarga berfungsi sebagai bantuan praktis dan

konkrit. Contoh bentuk daripada bantuan ini dapat berupa

menyajikan makanan yang tidak merangsang rasa haus seperti

makanan yang asin, menyediakan media bacaan untuk menambah

ilmu pengetahuan pasien (Rachmawati et al., 2019).

c. Dukungan Penilaian

Penilaian terhadap pasien secara verbal dan norvebal mampu

mempengaruhi pola dari tingkah laku setiap individu secara sadar

maupun tidak sadar. Penilaian merupakan suatu kebutuhan

psikososial yakni kebutuhan integritas yang meliputi penghargaan

dan berafiliasi. Tingginya dari dukungan ini dapat membantu pasien

dalam mengambil tindakan serta dapat meyakinkan pasien bahwa

masalah tersebut dapat diatasi dengan memaksimalkan kemampuan

yang dimiliki. Bentuk dari dukungan ini dapat berupa penghargaan

yang positif, semangat, dan persetujuan terhadap pendapat

(Rachmawati et al., 2019).

d. Dukungan Emosional

Dukungan emosional ini dapat melibatkan kekuatan dari jasmani

dan kepercayaan terhadap orang lain sehingga menjadi yakin bahwa

orang sekitar dapat memberikan cinta dan kasih sayang terhadap

pasien. Bentuk daripada dukungan ini dapat berupa empati,

16

kepedulian dan kperhatian keluarga sehingga keluarga dapat menjadi

tempat istirahat dan pemulihan serta dapat membantu dalam

penguasaan emosional pasien (Rachmawati et al., 2019).

2.3 Dukungan Keluarga dalam Pemenuhan Diit Protein

Penatalaksanaaan diitetik yang terdiri dari kalori adekuat dan sesuai

dengan umur, protein yang cukup, lemak dengan low saturated, dan rendah

akan garam. Pada diit tersebut adapun komposisi zat yang dianjurkan, antara

lain, 10-14% protein; 40-50% lemak poly- dan monounsaturated, dan 40-50%

dari karbohidrat (Pardede, 2017).

Beberapa tahun lalu, penatalaksanaan SN dengan diit tinggi protein

dalam mengatasi hipoalbuminemia dianjurkan, akan tetapi tidak ada bukti

yang dapat membuktikan bahwa diit tinggi protein akan memperbaiki kadar

albumin dalam hati. Sehingga diit tinggi protein tidak dianjurkan lagi, bahkan

diit tinggi protein menjadi indikasi kontra dikarenakan dapat menambah

beban dari glomerulus untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein

pada saat difiltrasi, dan pada keadaan ini dapat mengakibatkan sklerosis

glomerulus. Akan tetapi, diit rendah protein akan mengakibatkan malnutrisi

pada pasien SN. Sehingga pada penatalaksanaan kasus SN dianjurkan diit

protein normal dengan recomended daily allowance (RDA) dan protein

high-biologic value (Pardede, 2017).

Pengetahuan keluarga terkait dengan perawatan pasien SN sangatlah

penting. Salah satunya dalam ketaatan pemberian makanan dengan rendah

garam atau sodium dan makanan yang cukup dengan kandungan protein.

Menurut penelitian Immawati (2017), sejumlah keluarga telah memberikan

pasien makanan berupa ayam dan ikan sebagai upaya dalam mengkompensasi

protein pada pasien SN (Immawati, 2017).

Pada penderita SN, mereka mencoba berusaha memahami penyakit

mereka dan berusaha menanganinya sebaik mungkin. Dalam hal ini, penderita

mecoba untuk mencari informasi di internet, akan tetapi tidak semua

informasi yang ada diinternet merupakan informasi yang akurat. Oleh sebab

itu, dukungan keluarga sangat penting dalam mengelola situasi dengan cara

17

yang konstruktif. Keluraga dan kerabat memberikan dukungan intrumental

terkait dengan penyembuhan pasien dan dukungan praktis lain yang

dibutuhkan pada saat situasi yang akut. Sejumlah keluarga telah memberikan

pasien makanan berupa ayam dan ikan sebagai upaya dalam mengkompensasi

protein pada pasien SN, hal ini merupakan dukungan instrumental. Keluarga

dan kerabat juga memberikan dukungan emosional dengan cara menanyakan

tentang perasaan dan memberikan penghargaan/penilaian berupa motivasi

serta semangat (Immawati, 2017; Jönsson, Hellmark, & Forsberg, 2020).

Seperti penyakit pada umumnya, SN ini memberikan dampak atau

pengaruh kepada pasien secara negatif. Oleh karena itu, pasien dengan SN

akan menyebabkan perubahan biologis, perilaku, dan sosial. Perubahan

tersebut berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis, pertumbuhan

pribadi dan sosial pasien, serta dapat mempengaruhi status psikologis sosial

dan koping keluarganya. Sehingga, keluarga harus berpartisipasi dalam

membantu pasien di berbagai bidang, salah satunya adalah dalam hal

dukungan emosional pasien. Selain itu keluarga terlibat langsung dalam

mengkoordinasikan pemberian layanan kesehatan, mengelola tantangan sosial,

ekonomi, emosi yang terkait dengan pasien SN (Fajer, 2019).