bab 2 tinjauan pustaka 2.1 konsep sindrom nefrotik 2.1
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Sindrom Nefrotik
2.1.1 Definisi Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik (SN) ialah sindrom klinis, didefinisikan oleh
proteinuria masif (lebih dari 40 mg / m2 per jam), menyebabkan
hipoalbuminemia (kurang dari 30 g / L) dan menyebabkan hiperlipidemia,
Edema dan berbagai komplikasi. Hal ini disebabkan peningkatan
permeabilitas kerusakan membran basal glomerulus (terutama infeksi atau
tromboemboli). Ini adalah hasil dari permeabilitas glomerulus abnormal,
yang mungkin merupakan penyakit ginjal primer atau sekunder akibat
infeksi kongenital, diabetes, lupus eritematosus sistemik, pembentukan
tumor atau penggunaan obat-obatan tertentu. Penderita SN dapat terjadi
kekambuhan dalam 6 bulan pertama atau lebih dari empat kambuh dalam
12 bulan (Tapia & Bashir, 2020).
SN dapat menyerang pria, wanita, orang dewasa, dan anak-anak dari
ras apa pun. Ini dapat terjadi dalam bentuk karakteristik atau dikaitkan
dengan sindrom nefrotik. Item terakhir menunjukkan peradangan
glomerulus, hematuria, dan gangguan fungsi ginjal (Sinnakirouchenan,
2020).
2.1.2 Epidemologi
Pada umumnya kasus SN ini dialami oleh anak-anak. Adanya
insiden yang dilaporkan 2-3/100.000 anak-anak di negara Barat, insiden
lebih tinggi pada anak-anak di Asia Selatan dengan prevalensi
12-16/100.000 anak. Di Indonesia sendiri telah dilaporkan insiden
sebanyak 6/100.000/tahun pada anak laki-laki dan perempuan dengan
perbandingan 2:1 (Albar & Bilondatu, 2019). Sedangkan insiden yang
terjadi pada orang dewasa adalah 3/100.000 orang. Sekitar 80% hingga
90% kasus SN pada orang dewasa bersifat idiopatik yang artinya belum
6
jelas akan penyebab utamanya. Penyebab yang sering terjadi pada kulit
putih ialah Nefropati membranosa. Sedangkan pada kulit hitam ialah
glomerulosklerosis fokal segmental. Masing-masing pada gangguan
tersebut menyumbang sekitar 30% sampai 35% pada kasus NS orang
dewasa (Kodner, 2016). Kejadian nefropati membranosa terjadi sekitar
12/juta pertahun dengan usia rata-rata 50 sampai 60 tahun. Pada kasus ini
didominasi oleh pria dengan perbandingan 2:1 (Politano et al., 2020).
2.1.3 Etiologi
Penyebab SN dapat dikategorikan secara primer dan sekunder akibat
dari infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik lainnya (Arsita, 2017).
Menurut (Sinnakirouchenan, 2020), penyebab utama dari SN ialah
sebagai berikut,
a. Minimal-change Nefropati
b. Glomerulosklerosis Fokal
c. Nefropati Membaranosa
d. Nefropati herediter
Sedangkan penyebab dari SN sekunder, sebagai berikut,
a. Diabetes Mellitus
b. Lupus Eritematosus
c. Infeksi Virus (misal, hepatitis B, hepatitis C, HIV)
d. Amiloidosis dan paraproteinemias
e. Preekalmsia
f. Allo-antibodi dari terapi pengganti enzim
2.1.4 Prognosis
Menurut tipe histologis SN, angka remisi, nonresponsif dan prognosis
dapat bervariasi. Penderita SN dengan MCNS (Minimal Change Nephrotic
Syndrome) menunjukan tingkat remisi lebih tinggi yaitu sebesar 90%,
sedangkan untuk kekambuhannya sendiri lebih tinggi dengan presentase
30%-70%. Sedangkan pada FSGS (Focal Segmental Glomerulosclerosis),
7
angka remisi yang ditunjukkan lebih rendah dan prognosis ginjal yang
lebih buruk dapat mengakibatkan penyakit ginjal dengan stadium akhir.
Pasien SN dengan perubahan patologi minimal menunjukkan prognosis
yang baik dengan menunjukkan remisi setelah pengobatan kortikosteroid.
Pasien responsif terhadap steroid menunjukkan presentase sebesar
85%-90% dapat kambuh sehingga akan beresiko mengalami toksisitas
steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lainnya (Nishi et al., 2016; Tapia
& Bashir, 2020).
2.1.5 Patofisiologi
Hilangnya plasma protein merupakan kondisi dari SN, terutama pada
albumin di dalam urine. Meskipun produksi urine dapat ditingkatkan oleh
hati, akan tetapi organ hati tidak dapat mempertahankan produksi
albumin, sehingga albumin akan hilang melalui ginjal dan terjadilah
hipoalbuminemia (Muttaqin & Sari, 2011). Albumin yang hilang dalam
urine menyebabkan tekanan onkotik menjadi menurun, sehingga volume
pada sirkulasi juga menurun. Perubahan yang terjadi pada volume
sirkulasi ini berdampak pada apartus juxtaglomerular dan menstimulasi
aksis renin-angiotensin yang dapat meneybabkan retensi natrium dan
cairan pada tubuh. Pasien SN tidak mampu dalam mengeluarkan natrium
pada nefron distal, sehingga menyebabkan retensi volume dan hipertensi
(Politano et al., 2020).
Pada kondisi penurunan tekanan osmotik plasma, dapat
menyebabkan edema sistemik. Munculnya preparat protein dalam serum
akan merangsang sintesis lipoprotein di hati dan meningkatkan
kandungan lemak dalam darah (hiperlipidemia). Sindrom nefrotik dapat
terjadi pada hampir semua penyakit ginjal internal atau sistemik yang
mempengaruhi glomeruli. Meski penyakit ini biasanya menyerang
anak-anak, sindrom nefrotik juga bisa terjadi pada orang dewasa
termasuk lansia (Muttaqin & Sari, 2011).
8
2.1.6 Manifestasi Klinis
Menurut (Arsita, 2017), manifestasi klinis yang dapat terjadi pada SN
antara lain,
2.1.5.1 Proteinuria
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO)
(2012), proteinuria merupakan istilah yang luas untuk keberadaan protein
dalam urine. Hal ini sebagian besar terjadi pada saat menigkatnya
premeabilitas glomerulus, perubahan membran basal dan glikokaliks, dan
dapat menyebabkan hilangnya protein yang biasanya terdapat dalam
plasma (Copeland & Gillis, 2020).
Batasan kehilangan protein pada ginjal yang sehat diatur oleh filter
glomerulus dengan penghalang filtrasi untuk protein dengan batas yang
lebih besar dari 50 kDa terutama pada molekul yang bermuatan listrik
negatif, serta reabsorpsi tubular dari protein yang lebih kecil dan asam
amino yang lolos melewati membran glomerulus (Merseburger, Kuczyk,
& Moul, 2014).
Tabel 2.1 Parameter Proteinuria pada Sindrom Nefrotik
Parameter Anak Dewasa
Dipsik urine 3+ 3+ - 4+
Kadar proteinuria >40 mg/m2 /jam >3,0 – 3,5 g/hari
Kadar kreatinin >2,0 mg/mg atau ≥2000
mg/dL – 3000 mg/dL
>300 mg/mmol atau 3000
mg/g
2.1.5.2 Hipoalbuminemia
Albumin ialah protein globular kecil yang disintesis oleh hati dengan
panjang sekitar 5nm dan berat molekulnya 66,5 kDa. Protein ini
merupakan protein paling melimpah dalam plasma dengan presentase
55% protein darah (35-50 g/L dalam serum manusia). Albumin adalah
protein penting untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid dan
mengatur pH plasma. Albumin juga memiliki peran dalam meningkatkan
ketersediaan hayati serta mengatur pengangkutan asam lemak rantai
panjang, nutrisi, dan ion logam, serta berbagai macam obat yang dikelola
9
secara sistemik dengan meningkatkan ketersediaan hayati dan
stabilitasnya dalam cairan biologis (Parodi, Miao, Soond, Rudzińska, &
Zamyatnin, 2019).
Sedangkan Hipoalbuminemia dewasa didefinisikan sebagai
penurunan Tingkat albumin intravaskular <3,5 g / dL. Mekanisme yang
mendasari hipoalbuminemia termasuk penurunan sintesis (penyakit hati,
Malnutrisi protein), peningkatan katabolisme jaringan (sepsis), sindrom
nefrotik, saluran gastrointestinal Kehilangan (enteropati kehilangan
protein) atau perubahan distribusi (isolasi) (Kim, McClave, Martindale,
Miller, & Hurt, 2017).
2.1.5.3 Edema
Edema pada sindrom nefrotik dapat dijelaskan dengan 2 teori, yaitu
teori underfill dan teori overfill. Pada teori underfill dijelaskan bahwa
faktor utama terjadinya edema ialah disebabkan oleh hipoalbuminemia.
Hipoalbuminemia menyebabkan adanya penurunan pada tekanan osmotik
plasma sehingga cairan berpindah dari intravascular ke jaringan
interstesium dan terjadilah edema. Akibat penurunan tersebut akan
mengakibatkan hipovolemia dan ginjal akan melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi pada natrium dan air. Pada mekanisme ini
akan memperbaiki volume intravaskular akan tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia dan edema akan semakin
berlanjut (Arsita, 2017).
Sedangkan teori overfill menjelaskan bahwa edema disebabkan
karena terjadinya proteinuria yang mana protein yang hilang melalui
saluran urine akan menyebabkan retensi natirum dan akan menyebabkan
cairan menumpuk di ruang intravaskuler. Cairan yang berlebih pada
ruang ini akan merembes keluar dan menumpuk di ruang interstitial dan
menyebabkan edema (Suwantopo et al., 2020).
Mekanisme dari pembentukan edema pada kasus SN masih menjadi
perdebatan. Studi terbaru menjelaskan bahwa cacat tubular primer dapat
berkontribusi dalam peningkatan penyerapan natrium dan mendorong
10
ekspansi volume. Pada awalnya, edema sering terlihat di jaringan ikat
yang longgar, seperti terjadi pada daerah perlorbital atau genital. Selain
itu, edema juga terjadi pada sakrum, abdomen, dan ektremitas bawah
proksimal. Edema pada usus dapat terjadi pada kasus SN ini dan
berpotensi mengakibatkan terjadinya malabsorbsi. Sehingga, pada
pedoman terbaru menekankan asupan protein yang memadai dengan
cukup akan karbohidrat untuk mengurangi terjadinya malnutrisi
(Mahalingasivam, Booth, Sheaff, & Yaqoob, 2018; Politano et al., 2020).
2.1.7 Klasifikasi
Saat ini, ada beberapa klasifikasi sindrom nefrotik. Menurut
penyebabnya, SN terbagi menjadi tiga kategori yaitu kongenital,
idiopatik / primer dan sekunder. Menurut ciri histopatologi, ada beberapa
bentuk sindrom nefrotik. Bentuk yang paling umum adalah lesi minimal
(85%), glomerulosklerosis fokal segmental (10%), glomerulitis
proliferatif difus (3%) dan glomerulonefritis proliferatif mesangial (2 %).
Keempat bentuk ini adalah bagian dari SN idiopatik. Menurut respon
terhadap terapi kortikosteroid, dapat dibagi menjadi sindrom nefrotik
sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik anti-steroid (SNRS).
Klasifikasi SN didasarkan pada respons klinis umum terhadap terapi
kortikosteroid. Gambaran histopatologi sindrom nefrotik adalah lesi
minimal (80%), respons yang baik terhadap pemberian steroid, dan
glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulitis proliferatif difus, dan
nefropati membranosa. Nefritis globular biasanya resisten terhadap
pemberian steroid (Manalu, 2019).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain,
a. Urinalisis
Pemeriksaan ini dilakukan ketika terdapat gejala klinis yang
menunjukkan adanya ISK
11
b. Protein Urine Kuantitatif
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kandungan
protein/kreatinin pada urine yang pertama di pagi hari. Atau bisa
menggunakan urine dalam kurun waktu 24 jam
c. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan darah lengkap dapat berupa darah tepi lengkap
(kadar hemoglobin, kadar leukosit dan hitung jumlah jenisnya, kadar
trombosit, kadar hematokrit, dan Laju Endap Darah), jumlah kadar
albumin dan kolesterol serum, dan yang terakhir kadar ureum,
kreatinin serta klirens kreatinin (Trihono, Alatas, Tambunan, &
Pardede, 2012).
2.1.9 Komplikasi
a. Gangguan fungsi ginjal
Pada pasien SN potensi untuk mengalami gagal ginjal akut
sangatlah tinggi dengan melalui berbagai mekanisme. Penurunan
volume plasma dan atau sepsis dapat menyebabkan timbulnya
nekrosis tubular akut. Adapun mekanisme lain yang bisa
diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut ialah terjadi edema
intrarenal yang bisa menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal
(Arsita, 2017).
b. Infeksi
Pada pasien SN sangat rentan terkena infeksi. Jika pasien SN
terdapat infeksi perlu segera ditangani dengan cara pemberian
antibiotik. Infeksi yang sering terjadi pada SN ialah selulitis dan
peritonitis primer. Jika terjadi peritonitis primer perlu diberikan
pengobatan penisilin parental yang dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga selama 10-14 hari (Trihono et al., 2012).
Pada kasus edema, adanya peningkatan tekakan hidrostatik di
interstium dan menyebabkan penurunan perfusi interstitium sehingga
sangat mudah mengalami kerusakan kulit dan dapat mengakibatkan
infeksi (Pardede, 2017).
12
c. Trombosis
SN adalah predisposisi tromboemboli vena. Hal ini terjadi
karena antitrombin III yang hilang, volume intravaskular yang
berkurang, terjadinya imobilisasi, kateter vaskular indwelling, dan
pungsi vena dalam. Trombosis dicurigai pada SN dengan oligonuria,
hematuria atau nyeri pinggang, kongesti vena nyeri, berkurangnya
mobilitas pada ekstremitas, kejang, muntah, dan defisit neurologis
(Pardede, 2017).
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah penyakit SN sering disertai. Tingkat
kolesterol Biasanya meningkat sementara trigliserida Dari normal
menjadi sedikit lebih tinggi. Menyebabkan kadar kolesterol
meningkat LDL (low density lipoprotein) meningkat, Lipoprotein
utama mengangkut kolesterol. Kadar trigliserida tinggi dan
Peningkatan VLDL (kepadatan sangat rendah lipoprotein). Selain itu,
saya juga menemukan IDL dan lipoprotein meningkat, sementara
HDL cenderung normal atau rendah (Arsita, 2017).
e. Hipokalsemia
Pasien dengan SN dapat terjadi hipokalsemia karena,
a. Penggunaan steroid dengan jangka yang panjang dan dapat
menimbulkan osteopenia.
b. Kebocoran pada metabolit vit D
Oleh sebab itu pasien dengan SD yang mendapat terapi steroid
dalam jangka yang lama (> 3 bulan) dianjurkan untuk pemberian
suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vit D (125-250 IU). Jika
terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5
mL/kgBB intravena (Trihono et al., 2012).
f. Hipertensi
Hipertensi adalah tanda utama yang sering dijumpai pada pasien
SN. Retensi garam dan air, aktivasi dari sistem
renin-angiotensi-aldosteron, dan progresi dari kerusakan ginjal dapat
13
meningkatkan tekanan darah diatas pedoman tekanan darah tujuan
saat ini kurang dari 130/80 mmHg (Politano et al., 2020).
2.1.10 Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Pasien SN dapat melakukan Diet yaitu dengan menyediakan asupan
kalori yang adekuat dan protein yang adekuat juga (Sinnakirouchenan,
2020). Beberapa dekade yang lalu, pasien SN dianjurkan untuk diit tinggi
protein untuk mencegah terjadinya hipoalbuminemia, akan teteapi tidak
ada bukti yang dapat menjelaskan bahwa asupan dengan tinggi protein
dapat memperbaiki keadaan albumin. Sehingga, diit protein tidak lagi
dianjurkan lagi dan bahkan sekarang sudah menjadi indikasi kontra
karena menyebabkan beban glomerulus meningkat dalam mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme protein saat di filtrasi yang bisa mengakibatkan
sklerosis glomerulus. Dan sebaliknya, diit rendah protein dapat
mengakibatkan pasien mengalami malnutrisi protein. Sehingga, pada saat
ini SN dianjurkan untuk melakukan diit protein normal (Pardede, 2017).
Diet rendah garam dapat membatasi retensi cairan dan edema yang
terjadi pada pasien SN. Dengan menggunakan sampel urine 25 jam dapat
digunakan untuk mengukur asupan natrium dari makanan
(Sinnakirouchenan, 2020).
2.1.11 Penatalaksanaan Farmakologis
Pada penatalaksanaan SN pada orang dewasa prinsipnya serupa
dengan penatalaksanaan pada anak-anak. Obat dengan jenis diuretik yang
dapat digunakan antara lain, furosemide, spironalactone, dan metolazone.
Pada penggunaan obat jenis ini, pengurangan volume dapat terjadi
dengan mengobservasi mengenai tanda gejala, BB, Nadi, dan TD. Obat
jenis antikoagulasi dapat dianjurkan dalam pencegahan komplikasi
tromboemboli, akan tetapi dalam penggunaan dan pencegahan primer
belum dapat dibuktikan. Pada SN sekunder, seperti halnya nefropati
diabetik inhibitor angiotensin-converting enzyme (ACE) dan/atau
penghambat reseptor angiotensin II banyak digunakan. Hal ini dapat
14
mengurangi terjadinya proteinuria dengan cara mengurangi tekanan darah
sistemik, mengurangi tekanan intraglomurular, dan juga tindakan
langsung pada podosit (Sinnakirouchenan, 2020).
2.2 Dukungan Keluarga
2.2.1 Definisi Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga ialah nasihat, sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit. Peran keluarga sangatlah
penting disetiap aspek perawatan kesehatan terhadap anggota keluarga.
Dukungan keluarga dapat berupa dukungan instrumental, dukungan
informasional, dukungan emosional, dan dukungan penghargaan.
Dukungan keluarga ini dapat diberikan selama hidup pasien untuk
menunjang penyembuhannya (Carolina & Aziz, 2019).
Dukungan keluarga sangat berpengaruh terhadap pentingnya
pengobatan dengan berbagai jenis penyakit kronis dan dukungan
keluarga sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anggota
keluarganya. Dukungan yang dimiliki oleh seseorang bisa mencegah
dengan berkembangnya masalah akibat tekanan yang ia hadapi.
Seseorang yang memiliki dukungan tinggi akan lebih berhasil dalam
menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan sesorang yang
tidak memiliki dukungan. Faktor dukungan keluarga bisa menjadi faktor
yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai serta
bisa juga menentukan program penyembuhan yang bisa diterima mereka.
Selain itu, keluarga juga dapat memberikan dukungan serta membuat
keputusan terhadap perawatan keluarga yang sakit (Shalahuddin &
Rosidin, 2018).
2.2.2 Jenis Dukungan Keluarga
Berikut jenis dukungan keluarga, antara lain,
a. Dukungan Informasional
Informasi adalah segala pengetahuan yang dapat disampaikan
secara tertulis maupun lisan. Informasi sangatlah dibutuhkan saat
15
seseorang mengahdapi suatu masalah sehingga ia membutuhkan
masukan dari berbagai pihak disekitarnya, salah satunya bersal dari
orang yang berada di sekitarnya seperti keluarga dan teman.
Dukungan dalam konteks ini bertindak sebagai pencari dan penyebar
informasi kepada pasien. Informasi bisa berbentuk pemberian saran,
informasi, nasihat, dan pendapat. Dukungan ini bisa membantu untuk
meringankan pasien dalam mengambil keputusan terkait manajemen
penyakitnya (Rachmawati et al., 2019).
b. Dukungan Instrumental
Dukungan instrumental berupa dukungan dengan memberikan
bantuan-bantuan dan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan
materi. Dalam hal ini keluarga berfungsi sebagai bantuan praktis dan
konkrit. Contoh bentuk daripada bantuan ini dapat berupa
menyajikan makanan yang tidak merangsang rasa haus seperti
makanan yang asin, menyediakan media bacaan untuk menambah
ilmu pengetahuan pasien (Rachmawati et al., 2019).
c. Dukungan Penilaian
Penilaian terhadap pasien secara verbal dan norvebal mampu
mempengaruhi pola dari tingkah laku setiap individu secara sadar
maupun tidak sadar. Penilaian merupakan suatu kebutuhan
psikososial yakni kebutuhan integritas yang meliputi penghargaan
dan berafiliasi. Tingginya dari dukungan ini dapat membantu pasien
dalam mengambil tindakan serta dapat meyakinkan pasien bahwa
masalah tersebut dapat diatasi dengan memaksimalkan kemampuan
yang dimiliki. Bentuk dari dukungan ini dapat berupa penghargaan
yang positif, semangat, dan persetujuan terhadap pendapat
(Rachmawati et al., 2019).
d. Dukungan Emosional
Dukungan emosional ini dapat melibatkan kekuatan dari jasmani
dan kepercayaan terhadap orang lain sehingga menjadi yakin bahwa
orang sekitar dapat memberikan cinta dan kasih sayang terhadap
pasien. Bentuk daripada dukungan ini dapat berupa empati,
16
kepedulian dan kperhatian keluarga sehingga keluarga dapat menjadi
tempat istirahat dan pemulihan serta dapat membantu dalam
penguasaan emosional pasien (Rachmawati et al., 2019).
2.3 Dukungan Keluarga dalam Pemenuhan Diit Protein
Penatalaksanaaan diitetik yang terdiri dari kalori adekuat dan sesuai
dengan umur, protein yang cukup, lemak dengan low saturated, dan rendah
akan garam. Pada diit tersebut adapun komposisi zat yang dianjurkan, antara
lain, 10-14% protein; 40-50% lemak poly- dan monounsaturated, dan 40-50%
dari karbohidrat (Pardede, 2017).
Beberapa tahun lalu, penatalaksanaan SN dengan diit tinggi protein
dalam mengatasi hipoalbuminemia dianjurkan, akan tetapi tidak ada bukti
yang dapat membuktikan bahwa diit tinggi protein akan memperbaiki kadar
albumin dalam hati. Sehingga diit tinggi protein tidak dianjurkan lagi, bahkan
diit tinggi protein menjadi indikasi kontra dikarenakan dapat menambah
beban dari glomerulus untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein
pada saat difiltrasi, dan pada keadaan ini dapat mengakibatkan sklerosis
glomerulus. Akan tetapi, diit rendah protein akan mengakibatkan malnutrisi
pada pasien SN. Sehingga pada penatalaksanaan kasus SN dianjurkan diit
protein normal dengan recomended daily allowance (RDA) dan protein
high-biologic value (Pardede, 2017).
Pengetahuan keluarga terkait dengan perawatan pasien SN sangatlah
penting. Salah satunya dalam ketaatan pemberian makanan dengan rendah
garam atau sodium dan makanan yang cukup dengan kandungan protein.
Menurut penelitian Immawati (2017), sejumlah keluarga telah memberikan
pasien makanan berupa ayam dan ikan sebagai upaya dalam mengkompensasi
protein pada pasien SN (Immawati, 2017).
Pada penderita SN, mereka mencoba berusaha memahami penyakit
mereka dan berusaha menanganinya sebaik mungkin. Dalam hal ini, penderita
mecoba untuk mencari informasi di internet, akan tetapi tidak semua
informasi yang ada diinternet merupakan informasi yang akurat. Oleh sebab
itu, dukungan keluarga sangat penting dalam mengelola situasi dengan cara
17
yang konstruktif. Keluraga dan kerabat memberikan dukungan intrumental
terkait dengan penyembuhan pasien dan dukungan praktis lain yang
dibutuhkan pada saat situasi yang akut. Sejumlah keluarga telah memberikan
pasien makanan berupa ayam dan ikan sebagai upaya dalam mengkompensasi
protein pada pasien SN, hal ini merupakan dukungan instrumental. Keluarga
dan kerabat juga memberikan dukungan emosional dengan cara menanyakan
tentang perasaan dan memberikan penghargaan/penilaian berupa motivasi
serta semangat (Immawati, 2017; Jönsson, Hellmark, & Forsberg, 2020).
Seperti penyakit pada umumnya, SN ini memberikan dampak atau
pengaruh kepada pasien secara negatif. Oleh karena itu, pasien dengan SN
akan menyebabkan perubahan biologis, perilaku, dan sosial. Perubahan
tersebut berdampak negatif pada kesejahteraan psikologis, pertumbuhan
pribadi dan sosial pasien, serta dapat mempengaruhi status psikologis sosial
dan koping keluarganya. Sehingga, keluarga harus berpartisipasi dalam
membantu pasien di berbagai bidang, salah satunya adalah dalam hal
dukungan emosional pasien. Selain itu keluarga terlibat langsung dalam
mengkoordinasikan pemberian layanan kesehatan, mengelola tantangan sosial,
ekonomi, emosi yang terkait dengan pasien SN (Fajer, 2019).