bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/48548/4/bab 2.pdf · 8 klasifikasi berdasarkan hasil...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycrobacterium tuberculosis. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi menular dan
dapat menyerang berbagai organ terutama paru-paru. TB juga dapat menyerang
organ selain paru atau biasa dikenal ekstrapulmonary TB (InfoDatin, 2016).
Berdasarkan laporan WHO 2013, sekitar 8,6 juta kasus pada tahun 2012 dimana 1,1
juta kasus adalah TB dengan HIV positif. Sekitar 75% terjadi di Afrika. Pada tahun
2012 diperkirakan ada 450.000 orang yang menderita TB-MDR dan 170.000
diantaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012, kasus TB anak mencapai 6%
diantara seluruh kasus TB secara global. Dan jumlah kematian pada TB anak sekitar
8% dari seluruh kasus kematian disebabkan oleh TB (KemenkesRI, 2014).
Pasien dengan TB BTA positif dapat menularkan TB melalui percikan dahak
yang dikeluarkannya. Hal tersebut bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal itu bisa
terjadi karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji ≤ dari 5.000
kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis
langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB (KemenkesRI, 2014).
Berdasarkan segi epidemiologi, kejadian penyakit merupakan hasil interaksi
antara tiga komponen yaitu agent, host, dan environment. Pada sisi host, infeksi
Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang.
6
Pengidap HIV AIDS atau orang dengan status gizi yang buruk, lebih mudah
terinfeksi penyakit TB (InfoDATIN, 2016)
(WHO, 2017)
Gambar 2.1
Laporan TB WHO tahun 2016
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih, dengan gejala tambahan berupa dahak bercampur darah atau batuk darah,
sesak nafas disertai badan lemas, nafsu makan dan berat badan menurun, serta
berkeringat pada malam hari tanpa disertai aktifitas fisik. Pada TB ekstra paru,
gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena (InfoDATIN, 2016).
Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:
dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan contoh uji biologinya. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah: 1. Pasien TB paru BTA positif, 2. Pasien TB paru hasil
biakan Microbacterium tuberculosis positif, 3. Pasien TB paru hasil tes cepat
Microbacterium tuberculosis positif, 4. Pasien TB ekstra paru terkonfirmasi secara
bakteriologis, baik dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena, 5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis
(KemenkesRI, 2014).
7
Pasien TB terdiagnosis secara Klinis. Termasuk dalam kelompok pasien ini
adalah: 1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB, 2. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis, 3. TB anak yang
terdiagnosis dengan sistim skoring (KemenkesRI, 2014).
Pasien TB juga diklasifikasikan menurut : a. Lokasi anatomi dari penyakit, b.
Riwayat pengobatan sebelumnya, c. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, d. Status
HIV Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit ada 2, 1) TB paru dan 2)
TB ekstra paru. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya: 1) Pasien
baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂ dari 28
dosis). 2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu: a. Pasien kambuh:
adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan
saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis
(baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). b. Pasien yang diobati
kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan gagal
pada pengobatan terakhir. c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost
to follow-up): adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat
/default). d. Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui. 3) Pasien yang riwayat pengobatan
sebelumnya tidak diketahui (KemenkesRI, 2014).
8
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat. Pengelompokan
pasien dapat berupa: 1) Mono resistant (TB-MR): resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama saja. 2) Poli resistant (TB-PR): resistan terhadap lebih dari satu
jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3) Multi drug resistant (TB-MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan. 4) Extensive drug resistan (TB-XDR): adalah TB-MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin). 5) Resistan Rifampisin (TB-RR): resistan terhadap Rifampisin
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional). Klasifikasi pasien
TB berdasarkan status HIV: 1) HIV positif, 2) HIV negatif, 3) HIV tidak diketahui
(Kemenkes RI, 2014).
Pengobatan untuk pasien TB memiliki tujuan untuk menyembuhkan pasien,
memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian
akibat kuman TB, mencegah terjadinya kekambuhan, menurunkan penularan, serta
mencegah terjadinya resistensi obat TB. OAT adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Penggunaan OAT harus dilakukan dengan adekuat dan harus
memenuhi beberapa prinsip pengobatan yaitu pertama pengobatan OAT harus
diberikan dalam bentuk paduan minimal empat macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi. Kedua diberikan dalam dosis yang tepat dan dikonsumsi
secara teratur. Ketiga pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup dan
dapat terbagi menjadi tahap awal serta tahap lanjutan (Kemenkes RI, 2014).
9
Obat anti tuberkulosis (OAT) dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu OAT
lini pertama dan OAT lini kedua. Obat-obat anti tuberkulosis yang termasuk dalam
obat lini pertama yaitu isoniazid (H), rifampisin (R), pirazinamid (Z), dan etambutol
(E). Obat-obat ini memiliki efektifitas yang tinggi terhadap MTB. Selain itu obat-
obat tersebut memiliki efek samping yang banyak. Tetapi efek samping yang
ditimbulkan lebih rendah dibandingkan obat lini kedua. Sedangkan yang termasuk
dalam OAT lini kedua merupakan paduan dari beberapa golongan OAT. Golongan
yang pertama yaitu golongan OAT suntik / injeksi yaitu kanamycin (Km), amikacin
(Am), dan capreomycin (Cm). Golongan selanjutnya yaitu golongan
fluorokuinolon yang terdiri dari levofloksasin (Lfx) dan moksifloksasin (Mfx).
Golongan selanjutnya yaitu para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserine (Cs), dan
ethionamide (Etio). OAT lini kedua ini biasanya digunakan untuk pasien TB
dengan resistensi obat terutama MDR-TB (KemenkesRI, 2014).
(KemenkesRI, 2014)
Gambar 2.2
OAT Lini Pertama
10
(KemenkesRI, 2014)
Gambar 2.3
OAT Lini Kedua untuk TB MDR
2.1.1 TB-MDR
Penyakit TB sudah ada sejak lama, dan penggunaan obat anti tuberkulosis
selalu digunakan untuk penanganannya. Namun obat anti tuberkulosis sering
mengalami resistensi karena sering digunakan secara tidak tepat, melalui resep
yang salah, obat berkualitas rendah, dan pasien menghentikan pengobatan
sebelum waktunya atau tidak sesuai aturan. TB-MDR adalah suatu bentuk TB
yang terjadi akibat resistensi terhadap lebih dari 1 obat lini pertama terutama
isoniazid dan rifampisin. Isoniazid dan rifampisin merupakan obat lini pertama
paling kuat. TB MDR dapat diobati menggunakan obat anti tuberkulosis lini
kedua (WHO, 2018).
11
(InfoDATIN, 2016)
Gambar. 2.4
Jumlah Kasus TB MDR di Indonesia Tahun 2009-2015
Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk
penderita TB-MDR. Pengobatan bergantung dari hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain
yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin),
etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin + asam klavulanat. Saat ini
paduan yang dianjurkan OAT yang masih sensitive minimal 2 – 3 OAT dari
obat lini 1 ditambah dengan obat lain (lini 2) golongan kuinolon, yaitu
Ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasin 1 x 400 mg (Kemenkes, 2014).
Program TB-MDR yang akan dilaksanakan saat ini menggunakan strategi
pengobatan yang standard (standardized treatment). Paduan obat TB-MDR
yang akan diberikan kepada semua pasien TB-MDR (standardized treatment)
adalah:
Panduan ini hanya diberikan pada pasien yang sudah terbukti TB-MDR.
Obat-obat diatas adalah kanamisin, etambutol, etionamid, lefofloksasin,
Km - E – Etho – Levo – Z – Cs / E – Etho – Levo – Z – C
12
pirazinamid dan sikloserine. Untuk obat kanamisin dalam sediaan injeksi
(DepKesRI, 2010).
(WHO, 2016)
Gambar 2.5
Penggolongan Obat TB
2.1.2 Levofloksasin, Etambutol, dan Pirazinamid
Etambutol adalah antibiotik yang besifat bakteriostatik, larut air, dan stabil
panas. Hampir semua MTB sensitif terhadap etambutol akan tetapi etambutol
tidak efektif untuk kuman yang lain. Etambutol akan menekan pertumbuhan
kuman tuberkulosis meskipun yang telah resisten terhadap isoniazid dan
streptomisin. Mekanisme kerjanya yaitu dengan cara menginhibisi arabinosyl
transferase sehingga mengganggu sintesis arabinose menjadi arabinogalactan
(komponen pada dinding bakteri) sehingga akan mengganggu pembentukan
dinding bakteri (Katzung, 2015).
Etambutol baik absorbsi jika diberikan secara oral dan didistribusikan
secara merata ke seluruh tubuh termasuk CNS. Bioavaibilitasnya jika diberikan
secara oral mencapai 80%. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu
2-4 jam setelah pemberian. Sekitar 10%-40% obat berikatan dengan protein
13
plasma. Sekitar 80% obat tidak di metabolisme dan diekskresikan melalui
ginjal (urin). Karena diekskresikan melalui ginjal maka pada pasien dengan
gagal ginjal harus dilakukan penyesuaian dosis (Katzung, 2015).
Efek samping yang ditimbulkan oleh etambutol yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain yaitu
pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, pening,
bingung, disorientasi, dan halusinasi. Efek samping yang terpenting adalah
optic neuritis yaitu berupa penurunan tajam penglihatan, hilangnya
kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandang, dan skotoma
sentral maupun lateral. Terapi dengan etambutol juga menyebabkan
peningkatan kadar asam urat darah pada 50% pasien. Hal ini disebabkan karena
penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal, efek samping ini mungkin
diperkuat juga oleh isoniazid dan piridoksin (Katzung, 2015).
Lefofloksasin merupakan salah satu obat antibiotik dari golongan
fluoroquinolon yang mempunyai aktivitas cukup baik terhadap bakteri MTB.
Lefofloksasin merupakan suatu L-isomer ofloksasin dan mempunyai aktivitas
antibakteri lebih besar dari pada ofloksasin. Antibiotik golongan
fluoroquinolon termasuk lefofloksasin dikenal relatif aman sehingga
penambahan obati ini sebagai antituberkulosis lini kedua akan sangat
membantu terutama bagi yang sudah resisten terhadap obat lini pertama.
Golongan fluoroquinolon tidak dapat diberikan sebagai pengobatan tunggal
karena akan cepat timbul resistensi terhadap MTB sehingga perlu
dikombinasikan dengan OAT lainnya (Murhananto, 2012).
14
Lefofloksasin termasuk obat golongan fluoroquinolon baru yang memiliki
daya antibakteri dengan spektrum luas, baik terhadap kuman gram negatif,
gram positif, serta kuman-kuman atipik. Lefofloksasin bekerja sebagai DNA-
gyrase inhibitor sehingga mengakibatkan kerusakan rantai DNA bakteri. DNA-
gyrase (topoisomerase II) merupakan enzim yang sangat diperlukan oleh
bakteri untuk memelihara struktur superheliks DNA serta diperlukan juga
untuk replikasi, transkripsi, dan perbaikan DNA (Trevor et al, 2013).
Semua obat golongan fluoroquinolon termasuk levofloksasin di absorbsi
baik bila diberikan secara oral sehingga bioavaibilitasnya tinggi. Waktu puncak
(konsentrasi puncak) obat golongan fluoroquinolon mencapai serum adalah 1-
3 jam setelah pemberian secara oral. Makanan dapat memperpanjang waktu
konsentrasi puncak dari obat golongan fluoroquinolon. Obat golongan
fluoroquinolon mempunyai kemampuan untuk berpenetrasi ke seluruh jaringan
tubuh dengan sangat baik sehingga dapat didistribusikan ke seluruh organ
tubuh dengan sangat baik termasuk paru-paru. Volume distribusi dari obat ini
juga tinggi dengan konsentrasi di urin, ginjal, prostat, feses, empedu, makrofag,
dan neutrofil lebih tinggi dari pada di serum. Levofloksasin dapat
didistribusikan sampai ke dalam air susu ibu karena bioavaibilitasnya yang
tinggi. Lefofloksasin di eliminasi melalui ginjal via sekresi aktif tubular, maka
dari itu penurunan dosis diperlukan pada pasien yang menderita gagal ginjal.
Waktu paruh dari levofloasin sekitar 3-8 jam (Brunton et al, 2018).
Pirazinamid merupakan keluarga nikotinamid. Obat ini stabil dan sedikit
larut dalam air. Obat ini inaktif pada PH netral, tetapi pada pH 5,5 obat ini
menghambat basil tuberkel pada konsentrasi sekitar 20 mcg/mL. Obat ini
15
diserap oleh makrofag dan memiliki aktivitas terhadap mikrobakteri yang
berada dalam lingkungan asam lisisom (Katzung, 2015).
Pirazinamid bersifat bakterisid kuat untuk bakteri tahan asam yang berada
dalam sel makrofag. Pirazinamid menunjukkan aktivitas antibiotic secara in
vitro hanya pada pH sedikit asam, ini tidak menimbulkan masalah karena
pirazinamid membunuh basilus tuberculum yang terletak pada fagozom asam
di dalam makrofag (Katzung, 2015) Pirazinamid diubah menjadi asam
pirazinoat (bentuk aktif obat) oleh pirazinamidase mikrobakteri yang disandi
pleh pncA. Target spesifik obat ini belum diketahui, tetapi asam pirazinoat
mengganggu metabolism membrane sel mikrobakteri dan fungsi transpornya.
Resistensi mungkin disebabkan oleh gangguan penyerapan pirazinamid atau
mutase di pncA yang menghambat perubahan pirazinamid menjadi bentuk
aktifnya (Katzung, 2015).
Pirazinamid diabsorbsi baik dari saluran gastrointestinal dan terdistribusi
luas di seluruh tubuh, termasuk SSP, paru dan hati. Waktu paruh plasma
sebesar 9-10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Obat diekskresikan
terutama melalui filtrasi glomerulus. Pirazinamid dihidrolisis menjadi asam
pirazinoat dan kemudian dihidroksi menjadi asam 5-hidroksipirazinoat
(Goodman & Gilman, 2012).
Senyawa induk dimetabolisasi oleh hati tetapi metabolitnya dibersihkan
oleh ginjal, karena itu pirazinamid perlu diberikan dengan dosis 25-35 mg/kg
tiga kali seminggu pada pasien hemodialysis dan mereka yang klirens
kreatininnya kurang dari 30 mL/menit. Pada pasien dengan fungsi ginjal
normal, digunakan dosis 40-50 mg/kg untuk rejimen pengobatan tiga atau dua
16
kali seminggu (Katzung, 2015). Efek samping lain pada pirazinamid adalah
mual dan muntah, demam obat dan hiperurisemia (pada 1-5%). Hiperurisemia
dapat memicu artritis gout akut (Katzung, 2015).
2.2 Hepar
2.2.1 Anatomi Hepar
Hepar merupakan organ terbesar di tubuh manusia setelah kulit. Organ
tersebut memiliki berat 1500gr dan menyumbang sekitar 2,5% dari berat badan
orang dewasa. Hepar terletak di bagian kanan atas rongga perut yang dilindungi
oleh costae 7–11 dan diagfragma. Sebagian besar hepar terletak pada regio
hipokondrium dextra dan meluas melintasi regio epigastrika sampai
hipokondrium sinistra. Permukaan atas hepar bersentuhan dengan bagian
bawah diagfragma yang memisahkan hepar dari pleura, paru-paru,
perikardium, dan jantung. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan
intraabdominalis (Snell dan Richard, 2012). Hepar secara anatomi dapat dibagi
menjadi 4 bagian, yaitu lobus dextra yang besar dan lobus sinistra yang kecil
dengan pelekatan ligamentum falciformis, serta lobus kaudatus dan lobus
kuadratus (Moore, et al, 2014).
Hepar menerima darah dari dua sumber yaitu arteri dan vena, pendarahan
arterial dilakukan oleh arteri hepatika yang bercabang menjadi arteri hepatika
dextra dan sinistra pada porta hepatika. Pendarahan vena dilakukan oleh vena
porta hepatis yang membawa darah dari seluruh traktus gastroinstentinal yang
berisi produk-produk digestive, kemudian darah masuk ke sinusoid hepar.
Darah arteri dan vena kemudian bergabung dan masuk ke dalam sinusoid,
17
kemudian masuk ke dalam vena sentral lalu ke vena hepatika dan berakhir di
vena kava inferior (Netter, 2011).
(Netter, 2011)
Gambar 2.6
Anatomi Hepar Manusia
2.2.2 Fisiologi hepar
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, menyumbang sekitar 2 persen
berat tubuh total, atau sekitar 1,5kg (3,3pon) pada rata-rata manusia dewasa.
Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yaitu struktur yang berbentuk
silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8-2mm. Hati
manusia mengandung 50.000-100.000 lobulus. Hati merupakan sekumpulan
sel yang bereaksi secara kimiawi dengan laju metabolisme yang tinggi, saling
memberikan substrat dan energi dari satu sistem metabolisme ke sistem
metabolisme yang lain, mengolah dan menyintesis berbagai zat yang diangkut
ke daerah tubuh lain, dan menyelenggarakan sejumlah besar fungsi
metabolisme lain (Guyton and Hall, 2016).
18
(Moore, Dalley, Agur, 2014)
Gambar 2.7
Vaskularisasi Hepar
2.2.3 Histologi Hepar
Hepar memiliki beragam fungsi yang kompleks, namun tidak banyak
spesialisasi yang ditemukan diantara sel-sel hepatosit. Hepatosit melakukan
beragam tugas metabolik dan sekretorik yang sama, satu-satunya fungsi hepar
yang tidak dilakukan oleh hepatosit adalah aktivitas fagosit oleh sel kupffer
yang melapisi bagian dalam sinusoid. Hepar tersusun atas unit-unit fungsional
yang dikenal sebagai lobulus, yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal
yang mengelilingi satu vena sentral dan dibatasi oleh vaskuler dan saluran
empedu, serta di setiap enam sudut luar lobulus terdapat tiga pembuluh: cabang
arteri hepatika, cabang vena porta hepatika, dan duktus biliaris (Sherwood,
2012).
19
(Gartner dan Hiatt, 2012)
Gambar 2.8
Histologi Hepar
Hepar memiliki sel yang tetap stabil pada kehidupan pasca-kelahiran
dalam kondisi normal, karena apabila bagian dari hati diangkat secara operasi
atau mengalami kerusakan, sel hepatosit dapat beregenerasi kembali dan
mengganti sel yang hilang untuk menjaga fungsi normal organ. Gambaran
histologi hepar terdapat sinusoid kapiler yaitu pembuluh darah yang tidak
beraturan dan berliku-liku, dengan diameter yang jauh lebih lebar, sinusoid
dapat memperlambat aliran darah. Hepar memiliki unit heksagonal yang
disebut lobulus hati, ditengah setiap lobulus terdapat satu vena sentral, dan sel
hepatosit di pinggirannya, jaringan ikat sekitarnya berisi kanal portal, juga
disebut area portal atau triad portal yang terdiri dari cabang arteri hepatik,
portal vena hepatik, saluran empedu, dan pembuluh getah bening. Hepar juga
mengandung makrofag yang disebut dengan sel kupffer yang ada di dinding
sinusoid bertugas untuk fungsi fagositosis (Eroschenko, 2012).
Hepar secara fungsional dapat dibagi menjadi tiga zona berdasarkan suplai
oksigen yang diterima. Zona satu yang mengelilingi trias porta dimana darah
20
teroksigenasi berasal dari arteri hepatik. Zona tiga terletak di sekeliling vena
sentral, dimana daerah ini merupakan daerah yang minim suplai oksigen,
sedangkan, zona dua berada di antara zona satu dan tiga (Savannah, et al,
2016).
(Kumar, 2016)
Gambar 2.9
Histologi Hepar Zona 1 (1), Zona 2 (2), dan Zona 3 (3).
Pewarnaan HE, 30x
Hepatosit jika dilihat di bawah mikroskop akan berbentuk polyhedral dan
berdiameter 20-30µm. Permukaan dari setiap hepatosit akan bersentuhan
dengan dinding sinusoid, space of disse, dan dengan permukaan hepatosit lain,
lalu antar hepatosit satu dengan yang lain dibatasi oleh ruang tubulus (duktus
canaliculi). Hepatosit jika dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya,
maka akan tampak bahwa hepatosit-hepatosit tersebut membentuk suatu unit
struktural yang disebut lobulus hepar, dikatakan satu lobulus hepar adalah satu
bentukan polyhedral ukuran 0,7 x 2 mm dengan triad porta di bagian tepi, serta
sebuah vena sentralis (Eroschenko, 2012).
21
(Gartner P, Hiatt J, 2012)
Gambar 2.10
Histologi Triad Porta
(Gartner P, Hiatt J, 2012)
Gambar 2.11
Histologi Lobulus Hepar
2.3 Histopatologi Hepar
Hepatosit adalah target utama ketika terjadi kerusakan pada hepar, karena hepar
tersusun atas hepatosit yang memiliki fungsi utama untuk metabolisme obat (Boyer,
et al, 2012). Secara morfologis luka hati dapat terwujud dalam bentuk hydropic
swelling dimana akan terjadi pembesaran sel yang biasanya terlihat pada cell injury.
Hal ini terkait dengan peningkatan permeabilitas membran plasma. Cell injury
disebut hydropic swelling atau degenerasi vakuol. Pada hydropic swelling
22
penampakannya menjadi pucat dan bengkak karena penumpukan cairan. Hydropic
swelling ini umumnya disebabkan karena gangguan metabolisme seperti hipoksia
atau toksisitas (Rojko, 1996).
Membran pompa ion bertanggung jawab terhadap pemeliharaan homeostasis
intraseluler, misal, kalsium, kalium, dan konsentrasi natrium dalam sel tersebut
bergantung pada persediaan Adenosine Triphosphate (ATP) yang cukup. Setiap
antigen kimia yang menghabiskan ATP, baik dengan mengganggu oksidatif
mitokondria dan fosforilasi, hal tersebut akan membahayakan integritas dari pompa
membran dan berisiko ke pecahnya sel. Na/K ATPase dalam sel membrane dapat
langsung dihambat oleh racun secara alami. Kegagalan pompa ion membrane sering
menyebabkan terjadinya pembengkakan sel yang disebut oncosis atau hydropic
swelling yang nantinya berkembang menjadi kematian sel (Rojko, 1996).
(Kumar, 2016)
Gambar 2.12
Gambaran hydropic swelling pada sel hepar
23
2.4 Kerusakan Sel Hepar
Kerusakan sel hepar atau hepatosit merupakan kerusakan awal dari hepar.
Kerusakan hepar dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya infeksi, trauma,
atau terkena pajanan zat toksik yang berbahaya seperti konsumsi obat-obatan yang
bersifat hepatotoksik. Kerusakan hepar dapat meliputi perubahan struktur hepar
yang dilihat dari segi histologi dan perubahan fisiologi hepar. Kerusakan sel
hepatosit yang disebabkan oleh pajanan zat toksik yang bersifat hepatotoksik
disebut dengan Drug Induced Liver Injury (DILI) (Kumar, et al, 2016). DILI
disebabkan oleh hepatotoksik melalui dua mekanisme yaitu hepatotoksisitas
intrinsik dan hepatotoksisitas idiosinkratik. Hepatotoksisitas intrinsik dapat
menyebabkan kerusakan hepatosit yang bergantung pada tinggi rendahnya dosis
obat, baik langsung karena obat atau metabolit dari obat itu sendiri, misalnya saja
bahan-bahan toksik industri, rumah tangga, ataupun lingkungan lainnya, sebagai
contoh adalah Carbon Tetracloride (CCl4). Hepatotoksisitas idiosinkratik
mayoritas merupakan obat-obatan. Mekanisme hepatotoksisitas idiosinkratik dapat
diklasifikasikan menjadi kategori metabolik dan imunologik (Ramachandran,
2009). Kategori Metabolik yaitu obat dimetabolisme menjadi produk metabolit
yang dapat berpotensi menjadi zat toksik, sedangkan kategori imunologik adalah
mekanisme yang melalui proses hipersensitivitas. Hepatotoksisitas intrinsik dapat
menyebabkan sel nekrosis hepatoseluler dengan sedikit inflamasi, sedangkan
hepatotoksisitas idiosinkratik dapat menyebabkan dominansi sel inflamasi (Kleiner,
2014).
24
2.5 Patofisiologi DILI
DILI diawali dengan bioaktivitas obat yang dimetabolisme menjadi metabolit
reaktif yang mampu berinteraksi dengan makromolekul seluler, seperti protein,
lemak, dan asam nukleat. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi protein, peroksidasi
lipid, kerusakan Deoxyribose Nucleic Acid (DNA), reaksi imunologi, stres
oksidatif, disfungsi mitokondria, dan gangguan pembentukan ATP. Gangguan
fungsi seluler ini pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel dan gagal hati
(Loho, 2014). Obat yang dapat menyebabkan DILI adalah beberapa obat
antituberkulosis, mekanisme kerusakan sel hepar yang diakibatkan penggunaan
obat antituberkulosis diawali dari proses metabolisme obat tersebut. Pirazinamid,
etambutol, dan lefofloksasin dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hepar
memicu peningkatan aktivitas enzim sitokrom P450, sehingga metabolismenya
meningkat dan menyebabkan hasil metabolit meningkat (Singh, 2011).
Peningkatan dari kadar hydrazine akan memicu produksi Reactive Oxygen
Species (ROS) yang berlebihan, sehingga dapat menyebabkan homeostasis sel
hepar terganggu, hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada hepar seperti nekrosis
dan inflamasi (Li, et al, 2015). Hydrazine yang berlebihan dapat mengaktifkan
mediator inflamasi, seperti sitokin Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-α) oleh sel
kupffer yang menginduksi reaksi inflamasi di hepar (Legoh, et al, 2017).
2.6 Jahe Merah
2.6.1 Taksonomi Jahe Merah
Taksonomi tanaman jahe merah adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
25
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Marga : Zingiberis
Spesies : Zingiber officinale Roscoe
Varietas : Zingiber officinale Roscoe var. amarum
(Bermawie, 2010)
Gambar 2.13
Tanaman Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe.)
(Aryanti, 2015)
Gambar 2.14
Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe.)
(Aryanti, 2015)
26
2.6.2 Deskripsi Tanaman Jahe merah
Batang jahe merah merupakan batang semu dengan tinggi 30 hingga 100
cm. Akarnya berbentuk rimpang dengan akar berwarna putih, kuning hingga
kemerahan dengan bau menyengat. Daun tanaman jahe menyirip dengan
panjang 15 hingga 23 mm dan panjang 8 hingga 15 mm. Tangkai daun berbulu
halus, bunga jahe tumbuh dari dalam tanah berbentuk bulat telur dengan
panjang 3,5 hingga 5 cm dan lebar 1,5 hingga 1,75 cm. Gagang bunga bersisik
sebanyak 5 hingga 7 buah. Bunga berwarna hijau kekuningan. Bibir bunga dan
kepala putik ungu. Tangkai putik berjumlah dua (Murhananto, 2012).
2.6.3 Kandungan Nutrisi Tanaman Jahe Merah
Tabel 2.1 Komposisi Nutrisi Jahe Merah
Constituents Value
Protein (g) 5.087 + 0.09 (5.98)
Fat (g) 3.72 + 0.03 (4.37)
Insoluble fibre (%) 23.5 + 0.06 (27.65)
Soluble fibre (%) 25.5 + 0.04 (30.0)
Carbohydrate (g) 38.35 + 0.1
Vitamin C (mg) 9.33 + 0.08 (10.97)
Total carotenoids (mg) 79 + 0.2 (92.96)
Ash (g) 3.85 + 0.61 (4.53)
Calsium (mg) 88.4 + 0.97 (103.02)
Phosphorous (mg) 174 + 1.2 (204.75)
Iron (mg) 8.0 + 0.2 (9.41)
Zinc (mg) 0.92 + 0.01 (10.74)
Copper (mg) 0.545 + 0.002 (0.641)
Manganese (mg) 9.13 + 0.01 (10.74)
(Gupta & Sharma, 2014)
Tabel 2.2 Kandungan Vitamin pada Jahe Merah
No Vitamin Kandungan (per 100 g)
1 Thiamine (B1) 0.025 mg
2 Riboflavin (B2) 0.034 mg
3 Niacin (B3) 0.75 mg
4 Panthenic acid (B5) 0.203 mg
5 Vitamin B6 0.16 mg
6 Folate (B9) 11 µg
7 Vitamin C 5 mg
8 Vitamin E 0.26 mg
(Gupta & Sharma, 2014)
27
2.6.4 Manfaat Jahe Merah
Rimpang jahe merupakan bagian utama yang dimanfaatkan sebagai bumbu
dapur dan obat herbal untuk beberapa penyakit. Rimpang jahe mengandung
beberapa komponen kimia yang berkhasiat bagi kesehatan. Jahe segar
digunakan sebagai anti muntah (antiematic), anti batuk
(antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran keringat, dan
menghangatkan tubuh serta mempunyai efek antiinflamasi, antitumor, anti-
apoptosis, antimikroba dan efek hipokolesterolemi (Fathona, 2011).
Jahe merah memiliki manfaat antara lain untuk merangsang pelebaran
pembuluh darah sehingga darah mengalir lebih cepat dan lancar. Hal tersebut
menyebabkan tekanan darah menjadi turun. Komponen utama Jahe adalah
Gingerol yang bisa bersifat sebagai antikoagulan, yaitu mencegah
penggumpalan darah. Gingerol diperkirakan juga dapat membantu
menurunkan kadar kolestrol. Gingerol juga dapat memberikan efek
antiinflamasi melalui mekanisme menghambat aktivasi makrofag (Riduan,
2015).
Ekstrak jahe merah jika diminum dalam dosis rendah 0,2–2 mg/kg
menunjukkan efek analgesik dan anti-inflamasi sangat efektif, karena adanya
sinergisitas senyawa dalam ekstrak jahe merah. Bahkan ketika diberikan
kepada 8 volunter ternyata sangat efektif dalam mencegah mabuk laut
termasuk di dalamnya vertigo yang berhubungan dengan mabuk laut (Fathona,
2011).
Komposisi kimia jahe merah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antara lain waktu panen, lingkungan tumbuh (ketinggian tempat, curah hujan,
28
dan jenis tanah), keadaan rimpang (segar atau kering), dan geografi. Rasa pedas
pada jahe berasal dari kelompok senyawa gingerol, yaitu fenol. Beberapa
senyawa kimia jahe, seperti gingerol, shogahol, dan zingerone memberi efek
farmakologi dan fisiologis seperti antiinflamasi, antioksidan, analgesik,
antikarsinogenik, non-toksik dan non-mutagenik meskipun pada konsentrasi
tinggi (Fathona, 2011).
Jahe merah aman sebagai obat herbal (Weidner dan Sigwart 2001 dalam
Amir A,2014). Hasil penelitian terhadap tikus hamil yang diberikan ekstrak
jahe merah secara oral tidak mempengaruhi kehamilan dan tidak menyebabkan
toksisitas sampai konsentrasi 100 mg/Kg. Walaupun dilaporkan juga beberapa
efek samping minor akibat konsumsi jahe seperti diare ringan atau reaksi alergi
ringan (Fathona, 2011).
Menurut Daryono, 2012, jahe memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai obat
batuk, peluruh keringat, pencegah mual, penambah nafsu makan,
menghangatkan badan, anti nyeri. Selain itu kandungan minyak atsirinya
mempunyai efek antiseptik, antioksidan dan mempunyai aktivitas terhadap
bakteri dan jamur.
2.6.5 Kandungan Fitokimia Jahe Merah
Jahe mengandung senyawa volatile yakni terpenoid dan non volatile yang
terdiri dari gingerol, shogaol, paradol, zingerone dan senyawa turunan mereka
serta senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol. Gingerol dan shogaol
merupakan kandungan utama senyawa flavonoid pada Jahe. Senyawa tersebut
mempunyai efek antioksidan yang dapat mencegah adanya radikal bebas dalam
tubuh dan juga mempunyai efek antiinflamasi yang dapat mencegah aktivasi
29
makrofag, sehingga dapat menurunkan keluarnya mediator-mediator inflamasi
(Riduan, 2015) .
Jahe merah mempunyai kandungan 6-gingerol, 8-gingerol, 10-gingerol
dan 6-shogaol yang lebih tinggi dibandingkan dengan jahe gajah yaitu sebesar
18.03, 4.09, 4.61, dan 1.36 mg/g sehingga banyak dikonsumsi masyarakat
sebagai bahan obat (Fathona, 2011). Data kandungan fitokimia rimpang jahe
merah yang sudah diketahui menurut Fathona pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Kandungan fitokima rimpang jahe merah dan Gajah (mg/g) Kandungan Jahe merah Jahe gajah
6-gingerol,
8-gingerol,
10-gingerol
6-shogaol
18.03 mg/g
4.09 mg/g
4.61 mg/g
1.36 mg/g
9.56 mg/g
1.49 mg/g
2.96 mg/g
0.92 mg/g (Fathona, 2011)
2.6.6 6-Gingerol
6-gingerol (1-[40-hydroxy-30-methyoxyphenyl] – 5 – hydroxy – 3 –
decanone) merupakan senyawa phenol alami pada tanaman dan merupakan
komponen utama pada jahe segar atau jahe yang belum diolah. 6-gingerol
memiliki beragam efek farmakologis, termasuk diantaranya ialah efek
antioksidan, anti-inflamasi, dan anti kanker (Fathona, 2011).
Gambar 2.15
Struktuk kimia 6-Gingerol