bab 2 seboroik new

Upload: ghaisaninabilah

Post on 29-Oct-2015

68 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dermatitis seboroik

TRANSCRIPT

25

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi dan EtiologiDermatitis seboroik adalah penyakit kulit inflamasi superfisial kronis yang mengalami remisi dan eksaserbasi dengan area seboroik sebagai area predileksi. Area seboroik adalah bagian tubuh yang banyak terdapat kelenjar sebasea yaitu kulit kepala, telinga bagian luar, saluran telinga, badan bagian atas (presternum, interskapula, areolla mammae) dan daerah lipatan ( ketiak, lipatan di bawah mammae, umbilikus, lipatan paha, daerah anogenital, dan lipatan pantat) (Pohan, 2005).Dermatitis seboroik memiliki karakterisitk efloresensi berupa eritema yang ditutupi dengan skuama berminyak, predileksi pada area tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, wajah, dada, punggung, dan area lipatan-lipatan (Valia, 2006). Berdasarkan penelitian pada 1.116 anak, dermatitis seboroik terjadi pada 10% anak laki-laki dan 9,5% pada anak perempuan, dengan prevalensi tertinggi pada usia 0-3 bulan (Schwartz, 2006).

Dermatitis seboroik merupakan penyakit dermatosis papuloskuamus dengan karakteristik khas untuk penegakan diagnosisnya. Penyakit ini dapat dialami pasien dari berbagai usia mulai dari neonatus hingga dewasa yang diakibatkan oleh peningkatan produksi sebum (seborrhea). Kulit yang terkena akan tampak kemerahan, edematous, serta ditutupi dengan skuama dan krusta kuning kecoklatan. Terdapat beberapa variasi klinis dari dermatitis seboroik mulai dari ringan sampai berat, termasuk bentuk-bentuk psoriasiform, pitiriasiform, dan eritroderma. Dermatitis seboroik adalah salah satu manifestasi kulit yang banyak ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV. Sehingga, penyakit ini termasuk dalam spektrum lesi premonitory dan harus dievaluasi dengan cermat pada pasien risiko tinggi. Walaupun banyak teori telah dikemukakan, penyebab pasti dari dermatitis seboroik masih belum diketahui dengan jelas (Wolff et al, 2008).

Dermatitis seboroik bukan merupakan penyakit yang disebabkan oleh gangguan kelenjar sebasea. Banyak pasien dewasa normal dengan kulit yang tampak berminyak tetapi tidak mengalami dermatitis seboroik. Lebih lanjut, dari penelitian diketahui bahwa laju sekresi sebum pada pasien dermatitis seboroik masih pada rentang normal (Valia, 2006). Beberapa faktor seperti hormon, infeksi jamur, defisit nutrisional, dikaitkan dengan timbulnya dermatitis seboroik. Keterkaitan hormonal ini dapat menjelaskan alasan mengapa kondisi ini dapat hilang dengan spontan jika terjadi pada bayi, kemudian muncul lagi pada usia puber. Hubungan kausatif yang lebih kuat tampak pada proliferasi spesies Malassezia ( e.g Malassezia furfur dan Malassezia ovalis). Hubungan kausatif ini dikemukakan karena adanya respon terhadap agen terapi antijamur dan ditemukannya Malassezia pada lesi pasien dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik juga mungkin terkait dengan defisiensi nutrisi, tetapi mekanismenya masih belum diketahui (Schwartz, 2006).Perubahan pola asam lemak esensial merupakan patogenesis penting dalam dermatitis seboroik infantil. Penelitian terhadapa pola asam lemak esensial serum pada 30 anak dengan dermatitis seboroik menunjukkan adanya gangguan transien fungsi enzim delta-6 desaturase. Teori neurogenik dapat menjelaskan hubungan antara dermatitis seboroik dengan parkinsonisme dan gangguan neurologis lainnya termasuk post CVA, epilepsy, trauma sistem saraf pusat, kelumpuhan nervus fasialis, dan siringomielia yang diinduksi oleh obat neuroleptic dengan efek ekstrapiramidal (Schwartz, 2006).Terdapat peningkatan hifa dari genus Malassezia pada skuama epidermis penderita dermatitis seboroik. Walaupun sebelumnya telah dikemukakan bahwa hal ini merupakan akibat sekunder dari adanya skuama yang memberikan habitat menguntungkan bagi pertumbuhan Malassezia, disetujui pula bahwa adanya hifa dapat menyebabkan munculnya kondisi ini. Mekanisme induksi inflamasi dan deskuamasi oleh Malassezia spp. masih belum diketahui dengan pasti (Jones, 2010). Schuster mengemukakan bahwa organisme Malassezia furfur atau bentuk hifanya yaitu Pityrosporum ovale merupakan etiologi dermatitis seboroik. Jumlah organisme ini diketahui meningkat pada pasien dermatitis seboroik dan dapat diketahui dengan pasti dari kultur lesi. Hasil penelitian eksperimental menunjukkan bahwa infeksi Malassezia furfur mengakibatkan timbulnya dermatitis seboroik (Valia, 2006).2.2 Faktor Predisposisi dan Pencetus

Dermatitis seboroik lebih banyak dijumpai dan bermanifestasi lebih berat pada pasien dengan infeksi HIV, terutama pada pasien dengan jumlah CD4 di bawah 400 sel per millimeter, dan dapat berkurang dengan terapi antiretroviral aktif. Dermatitis seboroik dilaporkan terkait dengan beberapa kondisi seperti neuroleptic-induced parkinsonism, amyloidosis familial dengan polineuropati, dan trisomy 21, tetapi meknisme keterkaitannya masih belum diketahui. Kondisi ini juga dapat dipicu oleh adanya stres emosional. Pasien dermatitis seboroik juga banyak datang dengan keluhan kondisi yang semakin memberat karena paparan cahaya matahari (Naldi, 2009). Kelenjar sebasea lebih aktif saat lahir, tetapi dengan berkurangnya stimulasi dari androgen maternal, kelenjar ini inaktif selama 9-12 tahun. Hal ini terkait dengan insidensi dermatitis seboroik yang signifikan pada usia tertentu. Kondisi ini disebut dermatitis seboroik infantile yang normal terjadi pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Tetapi etiologi karena aktivitas kelenjar sebasea ini tidak dapat menjelaskan terjadinya dermatitis seboroik pada usia pubertas dan dewasa. (Jones, 2010). Beberapa penelitian mengemukakan adanya keterkaitan hormonal yang dibuktikan dengan dermatitis seboroik infantil yang dapat sembuh spontan dan muncul kembali pada usia pubertas (Schwartz, 2006). Adanya sedikit perbedaan prevalensi antara laki-laki dan perempuan (10% pada laki-laki, 9.5% pada perempuan) memberikan gambaran kemungkinan adanya keterkaitan androgen dalam patogenesis dermatitis seboroik (World Health Organization, 1997).Kematangan kelenjar sebasea merupakan faktor permisif bagi berkembangnya dermatitis seboroik, peran seborrhea sendiri dalam patogenesis penyakit ini masih diperdebatkan (Jones, 2010). Seborrhea adalah kulit yang tampak berminyak (seborrhea oleosa), karena peningkatan produksi sebum (tidak selalu dapat ditemukan pada pasien). Walaupun seborrhea merupakan faktor predisposisi, tetapi dermatitis seboroik tidak termasuk dalam penyakit kelenjar sebasea (Wolff, 2008).

Banyak insidensi dermatitis seboroik didapatkan dari kelompok pasien dengan AIDS, dan pasien dengan peningkatan seropositive HIV yang belum menampakkan gejala klinis AIDS. Diabetes Mellitus terutama pada individu obesitas, sprue, gangguan alabsorbsi, epilepsy, mendapatkan terapi neuroleptic seperti haloperidol, dan reaksi terhadap arsenic dan emas biasanya memiliki gejala klinis erupsi berbentuk seperti dermatitis seboroik (James, 2002). Secara histologis, perbedaan antara dermatitis seboroik primer dengan yang disertai underlying disease AIDS dapat dilihat dalam tabel berikut :

Sumber : Wolff, 2008.2.3 Epidemiologi

Dermatitis seboroik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling sering ditemukan walaupun perkiraan prevalensinya terbatas oleh kurangnya validasi kriteria untuk diagnosis atau grading. Secara global, prevalensi dermatitis seboroik adalah 3-5%. Dandruff atau ketombe yang merupakan bentuk paling ringannya lebih umum dijumpai dengan estimasi prevalensi 15-20% populasi dunia (Selden, 2013).

Bentuk infantil sangat banyak ditemukan, yang biasanya mengenai kulit kepala (cradle cap), wajah, dan area diaper. Kondisi ini dialami oleh 70% bayi usia 0-3 bulan dan biasanya sembuh dengan spontan sebelum usia 1 tahun. Survei oleh National Health and Nutrition Examination, yang mengikutsertakan sampel dengan rentang usia 1-74 tahun di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa prevalensi dermatitis seboroik adalah 11.6% secara keseluruhan dan 2.8% (3.0% laki-laki, 2.6% perempuan) pada kelompok yang signifikan secara klinis. Prevalensi signifikan secara klinis pada dermatitis seboroik berada pada tingkat paling rendah pada kelompok usia < 12 tahun (