bab 2 rampung
TRANSCRIPT
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1. Word Of Mouth
2.1.1 Definisi Word of mouth
Kebanyakan proses komunikasi antar manusia adalah melalui WOM. Setiap
orang setiap hari berbicara dengan yang lainnya. Saling tukar pikiran, saling tukar
informasi, saling berkomentar dan proses komunikasi yang lainnya. Konsumen
banyak melihat iklan-iklan di media massa setiap harinya maka konsumen tersebut
melindungi dirinya dari serangan begitu banyak iklan dengan lebih mendengarkan
teman atau sumber lain yang mereka percayai. Hal ini terjadi karena informasi dari
teman akan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari
iklan. Informasi yang diperoleh dari orangtua lebih bernilai dan dapat dipercaya
dibandingkan dari brosur. Dalam hal ini pengaruh individu lebih kuat dibandingkan
dengan pengaruh informasi dari iklan. Pada umumnya, seseorang lebih menghormati
teman dan oleh karena itu teman lebih dapat dipercaya. Lebih jauh dari itu, informasi
dari teman, tetangga, atau keluarga akan mengurangi risiko pembelian, sebab
konsumen terlebih dahulu bisa melihat dan mengamati produk yang akan
dibelikannya dari teman, tetangga atau keluarga. Selain itu informasi yang diperoleh
berdasarkan word-of-mouth communication juga dapat mengurangi pencarian
informasi.
Word of mouth, atau biasa disingkat WOM, menurut WOM Marketing
Association (WOMMA), merupakan usaha meneruskan informasi dari satu konsumen
ke konsumen lain (www.WOMma.com, 2007). Sedangkan WOM Marketing menurut
WOMMA, adalah memberikan pelanggan alasan untuk membicarakan produk dan
layanan, dan memudahkan pembicaraan tersebut terjadi. WOM Marketing adalah seni
dan ilmu membangun komunikasi yang baik dan saling menguntungkan dari
konsumen-ke-konsumen maupun konsumen ke produsen.
Secara sederhana WOM adalah bahwa informasi apapun terkait produk dapat
disebarkan dari orang yang satu ke orang yang lain. Brown et al (2005) dalam Harsasi
(2006) mendefinisikan WOM sebagai informasi tentang suatu target objek yang
dipindahkan dari satu individu ke individu lain yang dilakukan secara langsung atau
tidak langsung melalui media komunikasi. Sedangkan menurut WOM Marketing
Association (WOMMA) WOM adalah usaha pemasaran yang memicu konsumen
untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan hingga menjual merek
kepada calon konsumen lainnya. Steffes dan Burgee (2008) mengemukakan bahwa
WOM adalah segala macam bentuk komunikasi informal yang diarahkan pada
konsumen-konsumen lain mengenai kepemilikan, penggunaan atau karakteristik
barang-barang tertentu dan juga penjualannya. Sweeney et al (2006) mengemukakan
bahwa pada intinya, WOM adalah proses pengaruh personal antara pengirim dan
penerima dalam komunikasi interpersonal yang mana dapat mengubah perilaku
maupun pikiran si penerima.
Putri (2007), mengartikan word-of-mouth seperti buzz, yaitu obrolan murni di
tingkat konsumen yang menular, tentang orang, barang atau tempat (infectious
chatter; genuine, street level excitement about a hot new person, place or thing). Atau
secara lebih umum obrolan tentang brand.
Adapun Kotler (2001) mendefinisikan WOM sebagai suatu komunikasi
interpersonal tentang produk diantara pembeli dan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Sementara Harrisson dan Walker dalam Harsasi (2006) mendefinisikan
WOM sebagai informasi informal dari satu orang ke orang lain antara seorang
pembawa pesan nonkomersial tentang apa yang dirasanya dengan penerima terhadap
suatu produk, organisasi, jasa, dan merek. WOM diyakini memiliki efektifitas yang
lebih tinggi dibandingkan dengan iklan biasa, karena WOM berasal dari informan
yang lebih dipercaya oleh konsumen dan kebanyakan berasal dari kelompok orang-
orang terdekatnya.
WOM menjadi bagian penting dalam studi pemasaran mengingat bahwa
komunikasi dalam WOM mampu mempengaruhi keputusan pembelian konsumen
(Noviandra, 2003 dalam Harsasi, 2006). di sisi lain, kekuatan WOM juga bertambah
mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senang berinteraksi dan
berbagi dengan sesamanya termasuk masalah preferensi pembelian. WOM mampu
menyebar begitu cepat bila individu yang menyebarkannya juga memiliki jaringan
yang luas.
WOM adalah suatu sarana komunikasi pemasaran yang efektif, murah, dan
kredibel (Kertajaya, 2007). WOM juga penting karena esensi pemasaran adalah
mempromosikan dengan meyakinkan untuk kemudian diakhiri dengan keputusan
pembelian, (Sholihati, 2009). Bahkan menurut Kumar et al (2002) pelanggan yang
paling berharga itu bukanlah pelanggan yang paling banyak membeli, melainkan
pelanggan yang paling banyak beraktivitas WOM dan mampu membawa pelanggan
yang lain untuk membeli di perusahaan, tanpa memperhatikan banyaknya pembelian
yang pelanggan-pelanggan tersebut lakukan sendiri.
Kurtz dan Clow dalam Harsasi(2006) membagi 3 sumber darimana WOM
berasal, yakni :
1. Personal Sources
Meliputi teman, keluarga, maupun rekan kerja. Contohnya dalam memilih
restoran favorit, calon konsumen akan bertanya pada teman atau
keluarga tentang restoran mana yang akan direkomendasikan.
2. Expert Sources
Konsumen akan lebih percaya seorang ahli yang memiliki informasi yang
dinilai lebih baik dari sumber informasi personal. Contohnya dalam
menyewa jasa pengacara, meminta pendapat seorang ahli sangat
diperlukan. Sumber ini akan lebih bernilai ketika konsumen tidak
memiliki pengetahuan yang cukup akan informasi jasa ideal yang
harusnya mereka dapatkan.
3. Derived Source.
Digunakan dalam membentuk ekspektasi dan berasal dari sumber ketiga.
Contohnya ialah testimony pada iklan yang mengarahkan dan
meyakinkan calon kosumen lainnya terkait kehandalan produk yang
dikonsumsi.
Jenis-jenis WOM di atas dilihat dari sisi sumbernya, sedangkan bila dilihat
dari sifatnya, maka WOM dapat dibagi ke dalam 2 sifat, (Harasi, 2006) ;
1. Negatif WOM\
Merupakan bentuk WOM yang bersifat negatif dan membahayakan
kesuksesan perusahaan. Dikatakan bahaya karena, konsumen yang tidak
puas akan menyebarkan ketidakpuasannya tersebut kepada orang lain.
2. Positive WOM
Kebalikan dari WOM negatif, WOM yang positif sangat berguna bagi
perusahaan dan memiliki dampak serta efek pada keputusan pembelian
konsumen.
Penelitian Februadi dan Kusdibyo dalam Harsasi (2006) yang menunjukkan
bahwa WOM negatif mempunyai kekuatan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan
WOM yang positif, konsumen cenderung untuk mempercayai WOM negatif karena
sifat alaminya yang menghindari resiko (Harasi, 2006). Harasi (2006) bahkan
mengungkap hasil temuannya, yang menunjukkan bahwa konsumen yang puas
hanya akan menceritakan kepuasannya tersebut hanya pada sekitar 5 orang saja,
sebaliknya bila ia tidak puas maka ia akan menceritakan ketidakpuasannya itu pada
sekitar 9 orang.
Lebih jauh, Kotler dan Keller (2006) bahkan mengungkapkan bahwa
konsumen yang puas akan menceritakan kepuasannya hanya pada tiga orang di
sekelilingnya saja. Sementara, bila ia tidak puas maka ia akan menceritakannya
pada sebelas orang di sekitarnya. Harsasi (2006) mengungkapkan bahwa jika
masing-masing orang tersebut menceritakan hal yang sama kepada orang lain, maka
efek WOM akan meningkat secara eksponensial.
Kotler (2000) menyatakan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan
seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dia rasakan dibandingkan
dengan harapannya. Kepuasan konsumen sangat bergantung pada persepsi dan
harapan konsumen. Gasperz (dalam Nasution, 2005) mengatakan faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen, adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan
konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen
produk (perusahaan).
2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan
maupun pesaing-pesaingnya.
3. Pengalaman dari teman-teman, Komunikasi melalui iklan dan pemasaran
mempengaruhi persepsi konsumen.
Dari beragam pengertian kepuasan konsumen diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kepuasan konsumen merupakan tanggapan perilaku, berupa evaluasi atau penilaian
purnabeli konsumen terhadap penampilan, kinerja suatu barang atau jasa yang
dirasakan konsumen dibandingkan dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan
terhadap produk atau jasa tersebut. Hal ini yang dapat menimbulkan kepuasan
konsumen, pembelian ulang dan loyalitas. Dan kepuasan konsumen ini sangat
dipengaruhi oleh persepsi dan harapan konsumen terhadap suatu produk atau jasa.
WOM sendiri adalah mempengaruhi seseorang dalam berprilaku serta minat
pembelian dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh non profesional baik sadar
maupun tidak sadar, dimana positif WOM memberikan perhatian yang lebih terhadap
suatu produk dan minat beli dibandingkan konsumen yang menerima negatif WOM,
karena WOM dikenal sebagai alat yang memiliki kekuatan yang besar dalam
mempengaruhi pilihan para konsumen, dan juga banyaknya perusahaan yang
memanfaatkan konsumen yang merasa puas sebagai subjek yang berbicara dengan
calon konsumen lainnya. Hasil penelitian ini didapat bahwa suatu media WOM pada
suatu produk dapat efektif mempengaruhi suatu perilaku dan minat beli seseorang
terhadap produk atau jasa yang memiliki perbedaan tingkat keterlibatan serta suatu
informasi WOM dari satu pesan dan satu sumber .
Pengaruh WOM berdasarkan perilaku dalam suatu lingkungan yang
menunjukkan mengenai perbedaan peranan dalam hubungan sosial yang kuat dan
lemah pada fenomena WOM yaitu “kekuatan dalam hubungan yang lemah” yaitu
suatu hubungan yang terjadi dalam suatu hubungan yang kuat atau inti, seseorang
yang menjadi rekomendasi adalah seseorang yang mempunyai hubungan dekat atau
kuat tetapi suatu hubungan tersebut mempunyai kekuatan yang lemah seperti halnya
frekuensi interaksi yang jarang dilakukan dan “kekuatan pada hubungan yang kuat”
suatu hubungan yang terjadi dengan interaksi yang selalu berlangsung sering
dilakukan. Penelitian ini menunjukkan beberapa aspek pada perilaku WOM dalam
suatu hubungan perspektif akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam penyebaran
WOM dari referral atau orang yang merekomendasikan suatu jasa atau produk yang
ditawarkan dengan hubungan pada level perorangan
Definisi WOM lainnya dikemukan Emanuel Rosen “Keseluruhan komunikasi
orang ke orang mengenai suatu produk, jasa, atau perusahaan tertentu pada suatu
waktu.” Dalam bukunya Emanuel Rosen menjelaskan pula bahwa WOM tidak
mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana peranan yang
dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:
1. Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku,
piringan hitam dan film
2. Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk
ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang
terkesan oleh kepandaian para penciptannya.
3. Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu
jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau jasa,
komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren, mobil,
dan lain-lainnya.
4. Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat
lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat
ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.
5. Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau
barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor
utama orang-orang membicarakannya
6. Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan
telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat.
Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan
mereka kurang untuk membicarakannya.
Jika dilihat dari sifatnya produk jasa PO Sumber Kencono termasuk Personal
experience products karena merupakan produk-produk jasa berwujud pengalaman
yang menghasilkan komentar pengalaman dan desas-desus.
2.1.2 Aspek - aspek WOM
Dari penjelasan di atas ada 5 aspek yang dibutuhkan untuk word of mouth
agar dapat menyebar yaitu :
1. Talkers (Pembicara), yaitu yang pertama dalam elemen ini adalah
mengetahui siapa pembicara dalam hal ini, pembicara adalah konsumen
yang telah mengkonsumsi produk atau jasa yang telah diberikan,
terkadang orang lain cenderung dalam memilih atau memutuskan suatu
produk tergantung kepada konsumen yang telah berpengalaman
menggunakan produk atau jasa tersebut atau biasa disebut dengan referral
pihak yang merekomendasikan suatu produk atau jasa. Talkers
(pembicara) berbicara karena mereka merasa senang berbagi cerita atau
pengalaman kepada keluarga, teman ,relasi maupun orang yang berada
dekat dengan mereka.
2. Topics (Topik9) yaitu adanya suatu word of mouth karena tercipta suatu
pesan atau perihal yang membuat mereka berbicara mengenai produk atau
jasa, seperti halnya pelayanan yang diberikan, karena suatu produk
mempunyai keunggulan tersendiri, tentang perusahaan , lokasi yang
strategis.
3. Tools (alat), yaitu mengetahui pesan atau perihal yang membuat mereka
berbicara mengenai produk atau jasa tersebut dibutuhkan suatu alat untuk
membantu agar pesan tersebut dapat berjalan, seperti website game yang
diciptakan untuk orang-orang bermain, jejaring sosial seperti facebook,
twittter dan suatu tempat dan waktu dimana bisa menimbulkan word of
mouth seperti komunitas, lingkungan kerja,dan lingkungan sosial, brosur,
spanduk, melalui iklan diradio, televisi, dan apa saja alat yang bisa
membuat orang mudah membicarakan atau menularkan suatu produk atau
jasa kepada temannya.
4. Taking Part (Partisipasi), yaitu suatu partisipasi perusahaan seperti halnya
dalam menanggapi respon pertanyaan-pertanyaan mengenai produk atau
jasa tersebut dari para calon konsumen dengan menjelaskan secara lebih
jelas dan terperinci mengenai produk atau jasa tersebut, melakukan follow
up ke konsumen sehingga mereka melakukan suatu proses pengambilan
keputusan.
5. Tracking (Pengawasan) setelah suatu alat tersebut berguna dalam proses
word of mouth dan perusahaan pun cepat tanggap dalam merespon
tanggapan konsumen, perlu pula pengawasan akan word of mouth yang
telah ada tersebut yaitu dengan melihat hasil seperti dalam kotak saran
sehingga terdapat informasi banyaknya word of mouth positif atau word
of mouth negatif dari para konsumen.
Sehingga komunikasi word of mouth yang positif dan negatif akan
mempengaruhi sejauh mana pihak lain akan menggunakan produk atau jasa tersebut
seperti halnya dalam industri transportasi (industri jasa), apabila seseorang akan
memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut, seseorang tersebut akan mulai
berinteraksi dengan penyedia jasa dan akan merasakan suatu fungsional jasa yang
diberikan, maka seseorang tersebut akan menceritakan suatu pengalamannya terhadap
suatu jasa yang telah diterima tersebut kepada pihak lain. WOM positif diyakini
sebagai sarana yang sangat berharga dalam mempromosikan suatu produk barang dan
jasa perusahaan. Sedangkan WOM negatif akan mengurangi suatu promosi akan
suatu produk barang dan jasa perusahaan
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi WOM
WOM tidak mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana
peranan yang dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:
1. Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku,
piringan hitam dan film
2. Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk
ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang
terkesan oleh kepandaian para penciptannya.
3. Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu
jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau
jasa,komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren,
mobil, dan lain-lainnya.
4. Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat
lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat
ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.
5. Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau
barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor
utama orang-orang membicarakannya
6. Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan
telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat.
Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan
mereka kurang untuk membicarakannya.
Ada 3 motivasi yang membuat banyak orang membicarakan sebuah produk
barang atau jasa yaitu perasaan suka karena suatu fungsi, perasaan bangga menjadi
pengguna suatu produk barang atau jasa karena suatu nilai dan yang terakhir adalah
merasa terhubung satu sama lain dan merasa menjadi satu keluarga pengguna produk
yang sama.
2.1.4 Proses Word Of Mouth Communication
Komunikasi word of mouth tak bisa terjadi tanpa proses, dimulai dari sumber
sampai tujuan. pendapat Sutisna (2002). Dalam pandangan tradisional, proses
komunikasi word of mouth dimulai dari informasi yang disampaikan melalui media
masa, kemudian diinformasikan atau ditangkap oleh pemimpin opini yang
mempunyai pengikut dan berpengaruh. Informasi yang ditangkap oleh pemimpin
opini kepada pengikutnya melalui komunikasi dari mulut ke mulut. Bahkan secara
lebih luas model itu juga memasukan penjaga informasi (gatekeeper) sebagai pihak
yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Model komunikasi word of mouth
yang lebih luas digambarkan oleh Sutisna (2002;191) sebagai berikut:
Sumber : Sutisna, perilaku konsumen & komunikasi pemasaran (2002;192)
2.2. Brand loyalty
2.2.1 Definisi Brand loyalty
Loyalty yang dalam bahasa Indonesia diartikan Loyalitas secara harfiah
diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Menurut
Schiffman dan Kanuk (2004). Sedangkan brand loyalty atau brand loyalty
merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku
konsumen. Ada banyak definisi brand loyalty ditinjau dari berbagai macam sudut
pandang. Definisi yang umum dipakai adalah penjelasan bahwa brand loyalty
gatekeeper
Media
massa
Pemimpin
opini
pengikut
merupakan suatu preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian
pada merek yang sama pada produk yang spesifikasi atau pelayanan tertentu.
Loyalitas (Loyalty)
Loyalitas menurut Mowen dan Minor (1998) adalah kondisi dimana pelanggan
mempunyai sikap yang positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen terhadap
merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang.
Pernyataan yang sama berasal dari Dharmmesta (1999) yang menyatakan bahwa
loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek
tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Hal ini berarti loyalitas selalu
berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual.
Brand loyalty menunjukkan adanya suatu ikatan antara konsumen dengan
merek tertentu dan ini seringkali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari
konsumen.
Adapun menurut Griffin (2005) prasyarat untuk Pernyataan yang terkait
dengan tingkat konsistensi ini juga berasal dari Oliver (1999) dalam Fandi Tjiptono
(2006) yang menyatakan, bahwa brand loyalty merupakan komitmen yang teguh
untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara
konsisten dimasa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau rangkaian
merek yang sama secara berulang, meskipun pengaruh situasional dan upaya
pemasaran berpotensi untuk menyebabkan perilaku beralih merek.
Mowen (2002:109) mengemukakan bahwa loyalitas dapat didasarkan pada
perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Suatu
merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut kepercayaan,
konsistensi, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting baik bagi
konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk
mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas
(Riana, 2008:187) dalam hal loyalitas diperlukan adanya 2 keterikatan yang dirasakan
pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu yaitu pertama tingkat preferensi
(seberapa besar keyakinan) pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu dan yang
kedua tingkatan differensiasi produk yang dipersepsikan, misalnya seberapa
signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternative-
alternatif lain.
Merek (Brand)
Menurut American Marketing Association (Kotler, 2000), merek adalah nama,
istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksud
untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan
untuk membedakan dari produk pesaing.
Menurut Aaker (1991), merek adalah “A distinguishing name and/or symbol
(such as logo, trade mark, or package design) intended to identify to goods or service
of either one seller of a group of seller, and to differentiate those goods or service
from those of competitors”. Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada
konsumen mengenai sumber produk tersebut. Di samping itu, merek melindungi, baik
konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan
produk-produk yang tampak identik.
Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten
memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek
terbaik memberikan jaminan mutu. Akan tetapi, merek lebih dari sekedar simbol.
Merek dapat memiliki enam level pengertian (Kotler, 2000) yaitu sebagai berikut :
1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut tertentu. Mercedes memberi
kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan
baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi.
2. Manfaat : bagi konsumen, kadang sebuah merek tidak sekadar
menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka memberi produk tidak
membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atibut yang dimiliki oleh suatu
produk dapat terjemahkan menjadi mafaat fungsional dan atau emosional.
Sebagai contoh: atribut “tahan lama” diterjemahkan menjadi mafaat
fungsional “tidak perlu cepat beli lagi, atribut”mahal” diterjemahkan
menjadi manfaat emosional “bergengsi”, dan lain-lain.
3. Nilai : merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi,
Mercedes berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain.
4. Budaya : merek juga mewakili budaya tertentu. Mercedes mewakili
budaya Jerman, terorganisai, efisien, bermutu tinggi.
5. Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes
mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang
memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek).
6. Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau
menggunakan produk tersebut. Mercedes menunjukkan pemakainya
seorang diplomat atau eksekutif.
Pada intinya merek adalah penggunaan nama, logo, trade mark, serta slogan
untuk membedakan perusahaan-perusahaan dan individu-individu satu sama lain
dalam hal apa yang mereka tawarkan. Penggunaan konsisten suatu merek, simbol,
atau logo membuat merek tersebut segera dapat dikenali oleh konsumen sehingga
segala sesuatu yang berkaitan dengannya tetap diingat. Dengan demikian, suatu
merek dapat mengandung tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Menjelaskan apa yang dijual perusahaan.
2. Menjelaskan apa yang dijalankan oleh perusahaan.
3. Menjelaskan profil perusahaan itu sendiri.
Suatu merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut
kepercayaan, konsisten, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting, baik
bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk
mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas.
Sebaliknya, bagi produsen, merek dapat membantu upaya-upaya untuk membangun
loyalitas dan hubungan berkelanjutan dengan konsumen.
Brand Loyality (Loyalitas Merek)
Berdasarkan beberapa definisi diatas, pengertian brand loyalty dalam
penelitian ini mengacu pada pendapat Shiffman dan Kanuk (2004) dimana brand
loyalty merupakan bentuk preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan
pembelian/penggunaan pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau
kategori pelayanan tertentu sehingga pengukuran brand loyalty akan melibatkan
pengukuran sikap (aspek kognitif, afektif, dan konatif serta action/tindakan konsumen
terhadap merek).
Brand Loyalty bisa didefinisikan sebagai sikap menyenangi terhadap suatu
merek yang direpresentasikan dalam pembelian atau penggunaan yang konsisten
terhadap merek itu sepanjang waktu
Brand loyalty juga merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada
sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya
seorang pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama jika pada merek tersebut
didapati adanya perubahan, baik yang menyangkut harga ataupun atribut lain.
Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut
meski dihadapkan banyak alternatif merek pesaing yang menawarkan karakteristik
produk yang lebih unggul. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek,
pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak
didasarkan karena keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada
karakteristik produk, harga, dan kenyaman pemakaiannya serta atribut lain yang
ditawarkan oleh merek lain (Durianto, 2001).
Terdapat dua pendekatan dalam mempelajari brand loyalty. Pertama
pendekatan instrumental conditioning, yang memandang bahwa pembelian yang
konsisten sepanjang waktu adalah menunjukkan brand loyalty.
Pendekatan kedua yaitu didasarkan pada teori kognitif. Perilaku itu sendiri
tidak merefleksikan brand loyalty. Loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek
yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus.
Assael (1992) mengemukakan empat hal yang menunjukkan kecenderungan
konsumen yang loyal sebagai berikut:
1. konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri pada
pilihannya.
2. konsumen yang lebih loyal mungkin merasakan tingkat risiko yang lebih
tinggi dalam pembeliannya.
3. konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap
toko.
4. kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap
merek.
Brand Loyalty adalah kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif
terhadap merek, mempunyai komitmen terhadap merek, dan bermaksud meneruskan
pembeliannya dimasa mendatang. Brand loyalty merupakan faktor yang penting
dalam menetapkan nilai dari suatu merek, nilai penting dari merek tersebut dapat
meliputi kualitas, bentuk serta kegunaan dari barang dan jasa yang ditawarkan lebih
baik dari yang ditawarkan para pesaing.
2.2.2 Aspek - aspek Brand loyalty
Schiffman dan Kanuk (2004) menerangkan bahwa aspek brand loyalty terdiri
atas empat macam, yaitu:
1. Kognitif (cognitive) merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh
konsumen. Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan
stereotype seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti
bahwa konsumen akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut
harga, segi keistimewaan merek dan atribut-atribut penting lainnya.
Konsumen yang loyal dari segi kognitif akan mudah dipengaruhi oleh
strategi persaingan dari merek-merek lain yang disampaikan lewat media
komunikasi khususnya iklan maupun pengalaman orang lain yang
dikenalnya serta pengalaman pribadinya.
2. Afektif (affective), yaitu komponen yang didasarkan pada perasaan dan
komitmen konsumen terhadap suatu merek. Konsumen memiliki
kedekatan emosi terhadap merek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan
fungsi dari perasaan (affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek
seperti rasa suka, senang, gemar, dan kepuasan pada merek tersebut.
Konsumen loyal secara afektif dapat bertambah suka dengan merek-
merek pesaing apabila merek-merek pesaing tersebut mampu
menyampaikan pesan melalui asosiasi dan bayangan konsumen yang
dapat mengarahkan mereka kepada rasa tidak puas terhadap merek yang
sebelumnya.
3. Konatif (conative), merupakan batas antara dimensi loyalitas sikap dan
loyalitas perilaku yang direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku
konsumen untuk menggunakan merek yang sama di kesempatan yang
akan datang. Komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan
konsumen untuk membeli merek karena telah terbentuk komitmen dalam
diri mereka untuk tetap mengkonsumsi merek yang sama. Bahaya-bahaya
yang mungkin muncul adalah jika para pemasar merek pesaing berusaha
membujuk konsumen melalui pesan yang menantang keyakinan mereka
akan merek yang telah mereka gunakan sebelumnya. Umumnya pesan
yang dimaksud dapat berupa pembagian kupon berhadiah maupun
promosi yang ditujukan untuk membuat konsumen langsung membeli.
4. Tindakan (action), berupa merekomendasikan atau mempromosikan
merek tersebut kepada orang lain. Konsumen yang loyal secara tindakan
akan mudah beralih kepada merek lain jika merek yang selama ini ia
konsumsi tidak tersedia di pasaran. Loyal secara tindakan mengarah
kepada tingkah laku mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Brand loyalty
Schiffman dan Kanuk (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi
terbentuknya/terciptanya brand loyalty antara lain perceived product superiority
(penerimaan keunggulan produk), personal fortitude (keyakinan yang dimiliki oleh
seseorang terhadap merek tersebut), bonding with the product or company
(keterikatan dengan produk atau perusahaan) dan kepuasan yang diperoleh
konsumen. Jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi brand
loyalty.
Pada barang-barang konsumsi sehari-hari (consumer goods) seperti makanan,
minuman, sabun, pembersih dan lain sebagainya, konsumen memiliki keterlibatan
yang rendah dalam proses pembeliannya. Umumnya para konsumen tidak secara luas
mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik tentang merek, dan
memutuskan merek apakah yang akan dibeli (Kotler, 2004). Untuk kategori consumer
goods tersebut, dalam proses pembeliannya melalui tahapan trial (coba-coba) yang
dipengaruhi oleh iklan yang beredar. Setelah melakukan pembelian dan mengalami
kepuasan, bila dibandingkan dengan mereklain, maka pembelian produk tersebut
akan dilakukan secara berulang. Pembelian berulang ini akan mengarahkan pada
brand loyalty (Schiffman dan Kanuk, 2004).
Gounaris dan Stathakopoulus (2004) menyatakan bahwa brand loyalty
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Consumer drivers merupakan dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri
konsumen itu sendiri yang terdiri dari :
1. Aspek demografis yang menyangkut faktor usia dan penghasilan.
Hubungan antara usia dengan brand loyalty adalah positif. Semakin
bertambah usia seseorang, maka loyalitasnya terhadap merek semakin
meningkat. Wright dan Spark (dalam Wood, 2004) menyatakan bahwa
brand loyalty yang tinggi terdapat pada individu yang berusia 35-44
tahun. Hal tersebut juga didukung dengan penelitian Murder (2000) yang
mengungkapkan bahwa individu berusia 18-34 tahun memiliki brand
loyalty yang rendah. Selanjutnya, Farley (dalam Harton, 1984)
mengungkap bahwa jumlah pendapatan individu berhubungan dengan
brand loyalty. Individu yang pendapatannya tinggi akan lebih sedikit
mencari informasi mengenai harga-harga dari merek lain, sehingga
individu tersebut lebih setia terhadap merek yang digunakannya.
2. Aspek psikografis yang menyangkut pengetahuan, pengalaman dan
kepribadian konsumen. Faktor psikografis yang mempengaruhi loyalitas
konsumen terhadap suatu merek adalah tipe kepribadian individu yang
tidak menyukai resiko (risk aversion) dan tipe kepribadian individu yang
suka mencari variasi, termasuk merek (variety seeking). Individu yang
bertipe kepribadian tidak menyukai resiko akan mempertahankan merek
yang telah dipakai meski banyak tawaran untuk berpindah merek. Mereka
sangat mencemaskan ketidaknyamanan yang mungkin akan mereka
terima jika berpindah merek sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan
cenderung tinggi. Konsumen yang bertipe kepribadian suka mencari
variasi akan berperilaku berkebalikan dari tipe kepribadian sebelumnya.
Mereka tidak peduli dengan resiko yang akan mereka hadapi jika harus
berpindah merek. Mereka akan selalu memanfaatkan kesempatan untuk
mencoba merek-merek baru sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan
rendah.
b. Brand drivers, merupakan atribut-atribut pada merek yang juga berperan sebagai
komponen karakteristik produk yang memiliki keterikatan emosional dengan
konsumen. Karakteristik produk yang dimaksud adalah:
1. Reputasi merek (brand reputation), yaitu tanda ekstrinsik yang
dihubungkan dengan produk. Reputasi merek memberi indikasi kuat
terhadap kualitas produk sehingga akan menciptakan loyalitas terhadap
merek. Reputasi yang kuat terhadap merek merupakan faktor yang
signifikan dalam membangun brand loyalty karena reputasi merek
memperkuat persepsi terhadap ekuitas merek. Selain itu, reputasi merek
akan memperkuat kebiasaan konsumen untuk menggunakan merek
tertentu dan membuat merek tersebut disukai konsumen. Hasilnya,
reputasi merek akan menciptakan brand loyalty yang tinggi pada
konsumen yang juga akan meningkatkan pangsa pasar (market share).
2. Ketersediaan merek pengganti (availability of substitute brand). Ketika
beberapa produk dipersepsi secara sama oleh konsumen, perbedaan
diantara merek tersebut sukar untuk diketahui. Akibatnya, individu tidak
memiliki alasan untuk loyal terhadap merek tertentu. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa jika beberapa merek memiliki persepsi
yang sama, maka akan memunculkan loyalitas yang rendah. Hal tersebut
muncul karena pada saat melakukan pembelian, konsumen tidak
menetapkan merek yang akan dibelinya melainkan menentukan beberapa
alternatif merek yang dianggap sama oleh konsumen.
c. Social drivers, yaitu lingkungan sosial di sekitar konsumen yang dapat
mempengaruhi sikap konsumen terhadap suatu merek, diantaranya adalah:
1. Pengaruh kelompok sosial (social group influences). Kelompok social
berpengaruh secara langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.
Suatu kelompok akan menjadi referensi utama seseorang dalam membeli
suatu produk. Ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan
kelompok tersebut, besar tidaknya pengaruh dari kelompok referensi
tergantung pada mudah tidaknya individu untuk dipengaruhi, kedekatan
dengan kelompok, dan tingkat kejelasan produk. Pengaruh kelompok
referensi yang kuat dengan mudah dapat mengubah perilaku anggotanya
atau calon anggotanya. Dalam keluarga, orang tua yang konsisten dalam
memilih merek tertentu akan menyebabkan munculnya positif terhadap
merek pada diri anak. Hal ini menyebabkan anak juga ikut memilih merek
tersebut dan menjadi loyal.
2. Rekomendasi teman sebaya (peers recommendation). Selain kelompok
referensi, anjuran teman juga dapat mempengaruhi brand loyalty.
Pengaruh normatif teman sebaya dan identifikasi terhadap kelompok
teman sebaya merupakan petunjuk bagi individu untuk mencari produk,
merek, dan toko.
2.2.4 Fungsi Brand Loyalty
Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat
menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat
diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: (Darmadi Durianto, 2001:72) :
1) Reduced marketing costs (mengurangi biaya pemasaran)
2) Trade leverage (meningkatkan perdagangan)
3) Attracting new customers (menarik minat pelanggan baru)
4) Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk
merespon ancaman persaingan)
2.2.5 Tingkatan Brand Loyalty
Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya
beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan
tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan.
Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut :
1) Switcher (berpindah-pindah)
Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai
pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi
frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek
ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang
sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada
tingkatan ini merek apa pun mereka anggap memadai serta memegang
peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling
nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk
karena harganya murah.
2) Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan
sebagai pembeli yang puas dengan mereka produk yang dimonsumsikan
atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam
mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya
tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk
membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jikaperalihan
tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain.
Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek
didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.
3) Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)
Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila
mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja
mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menganggung
switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau
resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek.
Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat
loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang
harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan
menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya
(switching cost loyal).
4) Likes the brand (menyukai merek)
Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli
yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini
dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli
bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian
pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi
maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang
tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu
perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk
dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik
5) Comitted buyer (pembeli yang komit)
Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka
memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna suatu mereka dan bahkan
merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi
fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya
mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli
ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan
merek tersebut kepada pihak lain.
2.3. Kerangka berpikir
2.4. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahn
penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71).
Sedangkan hipotesis pada penelitian ini yaitu ; “Ada pengaruh word of mouth
terhadap brand loyalty pada PO Sumber Kencono.”