bab 2 rampung

47
BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Word Of Mouth 2.1.1 Definisi Word of mouth Kebanyakan proses komunikasi antar manusia adalah melalui WOM. Setiap orang setiap hari berbicara dengan yang lainnya. Saling tukar pikiran, saling tukar informasi, saling berkomentar dan proses komunikasi yang lainnya. Konsumen banyak melihat iklan-iklan di media massa setiap harinya maka konsumen tersebut melindungi dirinya dari serangan begitu banyak iklan dengan lebih mendengarkan teman atau sumber lain yang mereka percayai. Hal ini terjadi karena informasi dari teman akan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari iklan. Informasi yang diperoleh dari orangtua lebih bernilai dan dapat dipercaya dibandingkan dari brosur. Dalam hal ini pengaruh individu lebih kuat dibandingkan dengan pengaruh informasi dari iklan. Pada

Upload: rotantio-rijalul-fikri

Post on 08-Aug-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 Rampung

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Word Of Mouth

2.1.1 Definisi Word of mouth

Kebanyakan proses komunikasi antar manusia adalah melalui WOM. Setiap

orang setiap hari berbicara dengan yang lainnya. Saling tukar pikiran, saling tukar

informasi, saling berkomentar dan proses komunikasi yang lainnya. Konsumen

banyak melihat iklan-iklan di media massa setiap harinya maka konsumen tersebut

melindungi dirinya dari serangan begitu banyak iklan dengan lebih mendengarkan

teman atau sumber lain yang mereka percayai. Hal ini terjadi karena informasi dari

teman akan lebih dapat dipercaya dibandingkan dengan informasi yang diperoleh dari

iklan. Informasi yang diperoleh dari orangtua lebih bernilai dan dapat dipercaya

dibandingkan dari brosur. Dalam hal ini pengaruh individu lebih kuat dibandingkan

dengan pengaruh informasi dari iklan. Pada umumnya, seseorang lebih menghormati

teman dan oleh karena itu teman lebih dapat dipercaya. Lebih jauh dari itu, informasi

dari teman, tetangga, atau keluarga akan mengurangi risiko pembelian, sebab

konsumen terlebih dahulu bisa melihat dan mengamati produk yang akan

dibelikannya dari teman, tetangga atau keluarga. Selain itu informasi yang diperoleh

berdasarkan word-of-mouth communication juga dapat mengurangi pencarian

informasi.

Word of mouth, atau biasa disingkat WOM, menurut WOM Marketing

Association (WOMMA), merupakan usaha meneruskan informasi dari satu konsumen

Page 2: BAB 2 Rampung

ke konsumen lain (www.WOMma.com, 2007). Sedangkan WOM Marketing menurut

WOMMA, adalah memberikan pelanggan alasan untuk membicarakan produk dan

layanan, dan memudahkan pembicaraan tersebut terjadi. WOM Marketing adalah seni

dan ilmu membangun komunikasi yang baik dan saling menguntungkan dari

konsumen-ke-konsumen maupun konsumen ke produsen.

Secara sederhana WOM adalah bahwa informasi apapun terkait produk dapat

disebarkan dari orang yang satu ke orang yang lain. Brown et al (2005) dalam Harsasi

(2006) mendefinisikan WOM sebagai informasi tentang suatu target objek yang

dipindahkan dari satu individu ke individu lain yang dilakukan secara langsung atau

tidak langsung melalui media komunikasi. Sedangkan menurut WOM Marketing

Association (WOMMA) WOM adalah usaha pemasaran yang memicu konsumen

untuk membicarakan, mempromosikan, merekomendasikan hingga menjual merek

kepada calon konsumen lainnya. Steffes dan Burgee (2008) mengemukakan bahwa

WOM adalah segala macam bentuk komunikasi informal yang diarahkan pada

konsumen-konsumen lain mengenai kepemilikan, penggunaan atau karakteristik

barang-barang tertentu dan juga penjualannya. Sweeney et al (2006) mengemukakan

bahwa pada intinya, WOM adalah proses pengaruh personal antara pengirim dan

penerima dalam komunikasi interpersonal yang mana dapat mengubah perilaku

maupun pikiran si penerima.

Putri (2007), mengartikan word-of-mouth seperti buzz, yaitu obrolan murni di

tingkat konsumen yang menular, tentang orang, barang atau tempat (infectious

Page 3: BAB 2 Rampung

chatter; genuine, street level excitement about a hot new person, place or thing). Atau

secara lebih umum obrolan tentang brand. 

Adapun Kotler (2001) mendefinisikan WOM sebagai suatu komunikasi

interpersonal tentang produk diantara pembeli dan orang-orang yang ada di

sekitarnya. Sementara Harrisson dan Walker dalam Harsasi (2006) mendefinisikan

WOM sebagai informasi informal dari satu orang ke orang lain antara seorang

pembawa pesan nonkomersial tentang apa yang dirasanya dengan penerima terhadap

suatu produk, organisasi, jasa, dan merek. WOM diyakini memiliki efektifitas yang

lebih tinggi dibandingkan dengan iklan biasa, karena WOM berasal dari informan

yang lebih dipercaya oleh konsumen dan kebanyakan berasal dari kelompok orang-

orang terdekatnya.

WOM menjadi bagian penting dalam studi pemasaran mengingat bahwa

komunikasi dalam WOM mampu mempengaruhi keputusan pembelian konsumen

(Noviandra, 2003 dalam Harsasi, 2006). di sisi lain, kekuatan WOM juga bertambah

mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang senang berinteraksi dan

berbagi dengan sesamanya termasuk masalah preferensi pembelian. WOM mampu

menyebar begitu cepat bila individu yang menyebarkannya juga memiliki jaringan

yang luas.

WOM adalah suatu sarana komunikasi pemasaran yang efektif, murah, dan

kredibel (Kertajaya, 2007). WOM juga penting karena esensi pemasaran adalah

mempromosikan dengan meyakinkan untuk kemudian diakhiri dengan keputusan

pembelian, (Sholihati, 2009). Bahkan menurut Kumar et al (2002) pelanggan yang

Page 4: BAB 2 Rampung

paling berharga itu bukanlah pelanggan yang paling banyak membeli, melainkan

pelanggan yang paling banyak beraktivitas WOM dan mampu membawa pelanggan

yang lain untuk membeli di perusahaan, tanpa memperhatikan banyaknya pembelian

yang pelanggan-pelanggan tersebut lakukan sendiri.

Kurtz dan Clow dalam Harsasi(2006) membagi 3 sumber darimana WOM

berasal, yakni :

1. Personal Sources

Meliputi teman, keluarga, maupun rekan kerja. Contohnya dalam memilih

restoran favorit, calon konsumen akan bertanya pada teman atau

keluarga tentang restoran mana yang akan direkomendasikan.

2. Expert Sources

Konsumen akan lebih percaya seorang ahli yang memiliki informasi yang

dinilai lebih baik dari sumber informasi personal. Contohnya dalam

menyewa jasa pengacara, meminta pendapat seorang ahli sangat

diperlukan. Sumber ini akan lebih bernilai ketika konsumen tidak

memiliki pengetahuan yang cukup akan informasi jasa ideal yang

harusnya mereka dapatkan.

3. Derived Source.

Digunakan dalam membentuk ekspektasi dan berasal dari sumber ketiga.

Contohnya ialah testimony pada iklan yang mengarahkan dan

meyakinkan calon kosumen lainnya terkait kehandalan produk yang

dikonsumsi.

Page 5: BAB 2 Rampung

Jenis-jenis WOM di atas dilihat dari sisi sumbernya, sedangkan bila dilihat

dari sifatnya, maka WOM dapat dibagi ke dalam 2 sifat, (Harasi, 2006) ;

1. Negatif WOM\

Merupakan bentuk WOM yang bersifat negatif dan membahayakan

kesuksesan perusahaan. Dikatakan bahaya karena, konsumen yang tidak

puas akan menyebarkan ketidakpuasannya tersebut kepada orang lain.

2. Positive WOM

Kebalikan dari WOM negatif, WOM yang positif sangat berguna bagi

perusahaan dan memiliki dampak serta efek pada keputusan pembelian

konsumen.

Penelitian Februadi dan Kusdibyo dalam Harsasi (2006) yang menunjukkan

bahwa WOM negatif mempunyai kekuatan pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan

WOM yang positif, konsumen cenderung untuk mempercayai WOM negatif karena

sifat alaminya yang menghindari resiko (Harasi, 2006). Harasi (2006) bahkan

mengungkap hasil temuannya, yang menunjukkan bahwa konsumen yang puas

hanya akan menceritakan kepuasannya tersebut hanya pada sekitar 5 orang saja,

sebaliknya bila ia tidak puas maka ia akan menceritakan ketidakpuasannya itu pada

sekitar 9 orang.

Lebih jauh, Kotler dan Keller (2006) bahkan mengungkapkan bahwa

konsumen yang puas akan menceritakan kepuasannya hanya pada tiga orang di

sekelilingnya saja. Sementara, bila ia tidak puas maka ia akan menceritakannya

Page 6: BAB 2 Rampung

pada sebelas orang di sekitarnya. Harsasi (2006) mengungkapkan bahwa jika

masing-masing orang tersebut menceritakan hal yang sama kepada orang lain, maka

efek WOM akan meningkat secara eksponensial.

Kotler (2000) menyatakan bahwa kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan

seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dia rasakan dibandingkan

dengan harapannya. Kepuasan konsumen sangat bergantung pada persepsi dan

harapan konsumen. Gasperz (dalam Nasution, 2005) mengatakan faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi dan harapan konsumen, adalah sebagai berikut :

1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan

konsumen ketika sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen

produk (perusahaan).

2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan

maupun pesaing-pesaingnya.

3. Pengalaman dari teman-teman, Komunikasi melalui iklan dan pemasaran

mempengaruhi persepsi konsumen.

Dari beragam pengertian kepuasan konsumen diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kepuasan konsumen merupakan tanggapan perilaku, berupa evaluasi atau penilaian

purnabeli konsumen terhadap penampilan, kinerja suatu barang atau jasa yang

dirasakan konsumen dibandingkan dengan keinginan, kebutuhan, dan harapan

terhadap produk atau jasa tersebut. Hal ini yang dapat menimbulkan kepuasan

konsumen, pembelian ulang dan loyalitas. Dan kepuasan konsumen ini sangat

dipengaruhi oleh persepsi dan harapan konsumen terhadap suatu produk atau jasa.

Page 7: BAB 2 Rampung

WOM sendiri adalah mempengaruhi seseorang dalam berprilaku serta minat

pembelian dari mulut ke mulut yang dilakukan oleh non profesional baik sadar

maupun tidak sadar, dimana positif WOM memberikan perhatian yang lebih terhadap

suatu produk dan minat beli dibandingkan konsumen yang menerima negatif WOM,

karena WOM dikenal sebagai alat yang memiliki kekuatan yang besar dalam

mempengaruhi pilihan para konsumen, dan juga banyaknya perusahaan yang

memanfaatkan konsumen yang merasa puas sebagai subjek yang berbicara dengan

calon konsumen lainnya. Hasil penelitian ini didapat bahwa suatu media WOM pada

suatu produk dapat efektif mempengaruhi suatu perilaku dan minat beli seseorang

terhadap produk atau jasa yang memiliki perbedaan tingkat keterlibatan serta suatu

informasi WOM dari satu pesan dan satu sumber .

Pengaruh WOM berdasarkan perilaku dalam suatu lingkungan yang

menunjukkan mengenai perbedaan peranan dalam hubungan sosial yang kuat dan

lemah pada fenomena WOM yaitu “kekuatan dalam hubungan yang lemah” yaitu

suatu hubungan yang terjadi dalam suatu hubungan yang kuat atau inti, seseorang

yang menjadi rekomendasi adalah seseorang yang mempunyai hubungan dekat atau

kuat tetapi suatu hubungan tersebut mempunyai kekuatan yang lemah seperti halnya

frekuensi interaksi yang jarang dilakukan dan “kekuatan pada hubungan yang kuat”

suatu hubungan yang terjadi dengan interaksi yang selalu berlangsung sering

dilakukan. Penelitian ini menunjukkan beberapa aspek pada perilaku WOM dalam

suatu hubungan perspektif akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam penyebaran

Page 8: BAB 2 Rampung

WOM dari referral atau orang yang merekomendasikan suatu jasa atau produk yang

ditawarkan dengan hubungan pada level perorangan

Definisi WOM lainnya dikemukan Emanuel Rosen “Keseluruhan komunikasi

orang ke orang mengenai suatu produk, jasa, atau perusahaan tertentu pada suatu

waktu.” Dalam bukunya Emanuel Rosen menjelaskan pula bahwa WOM tidak

mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana peranan yang

dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:

1. Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku,

piringan hitam dan film

2. Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk

ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang

terkesan oleh kepandaian para penciptannya.

3. Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu

jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau jasa,

komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren, mobil,

dan lain-lainnya.

4. Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat

lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat

ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.

5. Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau

barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor

utama orang-orang membicarakannya

Page 9: BAB 2 Rampung

6. Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan

telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat.

Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan

mereka kurang untuk membicarakannya.

Jika dilihat dari sifatnya produk jasa PO Sumber Kencono termasuk Personal

experience products karena merupakan produk-produk jasa berwujud pengalaman

yang menghasilkan komentar pengalaman dan desas-desus.

2.1.2 Aspek - aspek WOM

Dari penjelasan di atas ada 5 aspek yang dibutuhkan untuk word of mouth

agar dapat menyebar yaitu :

1. Talkers (Pembicara), yaitu yang pertama dalam elemen ini adalah

mengetahui siapa pembicara dalam hal ini, pembicara adalah konsumen

yang telah mengkonsumsi produk atau jasa yang telah diberikan,

terkadang orang lain cenderung dalam memilih atau memutuskan suatu

produk tergantung kepada konsumen yang telah berpengalaman

menggunakan produk atau jasa tersebut atau biasa disebut dengan referral

pihak yang merekomendasikan suatu produk atau jasa. Talkers

(pembicara) berbicara karena mereka merasa senang berbagi cerita atau

pengalaman kepada keluarga, teman ,relasi maupun orang yang berada

dekat dengan mereka.

2. Topics (Topik9) yaitu adanya suatu word of mouth karena tercipta suatu

pesan atau perihal yang membuat mereka berbicara mengenai produk atau

Page 10: BAB 2 Rampung

jasa, seperti halnya pelayanan yang diberikan, karena suatu produk

mempunyai keunggulan tersendiri, tentang perusahaan , lokasi yang

strategis.

3. Tools (alat), yaitu mengetahui pesan atau perihal yang membuat mereka

berbicara mengenai produk atau jasa tersebut dibutuhkan suatu alat untuk

membantu agar pesan tersebut dapat berjalan, seperti website game yang

diciptakan untuk orang-orang bermain, jejaring sosial seperti facebook,

twittter dan suatu tempat dan waktu dimana bisa menimbulkan word of

mouth seperti komunitas, lingkungan kerja,dan lingkungan sosial, brosur,

spanduk, melalui iklan diradio, televisi, dan apa saja alat yang bisa

membuat orang mudah membicarakan atau menularkan suatu produk atau

jasa kepada temannya.

4. Taking Part (Partisipasi), yaitu suatu partisipasi perusahaan seperti halnya

dalam menanggapi respon pertanyaan-pertanyaan mengenai produk atau

jasa tersebut dari para calon konsumen dengan menjelaskan secara lebih

jelas dan terperinci mengenai produk atau jasa tersebut, melakukan follow

up ke konsumen sehingga mereka melakukan suatu proses pengambilan

keputusan.

5. Tracking (Pengawasan) setelah suatu alat tersebut berguna dalam proses

word of mouth dan perusahaan pun cepat tanggap dalam merespon

tanggapan konsumen, perlu pula pengawasan akan word of mouth yang

telah ada tersebut yaitu dengan melihat hasil seperti dalam kotak saran

Page 11: BAB 2 Rampung

sehingga terdapat informasi banyaknya word of mouth positif atau word

of mouth negatif dari para konsumen.

Sehingga komunikasi word of mouth yang positif dan negatif akan

mempengaruhi sejauh mana pihak lain akan menggunakan produk atau jasa tersebut

seperti halnya dalam industri transportasi (industri jasa), apabila seseorang akan

memutuskan untuk menggunakan jasa tersebut, seseorang tersebut akan mulai

berinteraksi dengan penyedia jasa dan akan merasakan suatu fungsional jasa yang

diberikan, maka seseorang tersebut akan menceritakan suatu pengalamannya terhadap

suatu jasa yang telah diterima tersebut kepada pihak lain. WOM positif diyakini

sebagai sarana yang sangat berharga dalam mempromosikan suatu produk barang dan

jasa perusahaan. Sedangkan WOM negatif akan mengurangi suatu promosi akan

suatu produk barang dan jasa perusahaan

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi WOM

WOM tidak mempengaruhi semua bisnis dengan cara yang sama, dimana

peranan yang dimainkannya dalam bisnis tergantung pada jenis produk:

1. Exciting products, produk-produk yang menggairahkan seperti buku,

piringan hitam dan film

2. Innovative products, orang membicarakannya baik karena produk-produk

ini dapat memberikan manfaat baru baginya dan juga karena orang

terkesan oleh kepandaian para penciptannya.

3. Personal experience products, produk-produk pengalaman pribadi yaitu

jika pengalaman pribadi diperlukan untuk menilai produk atau

Page 12: BAB 2 Rampung

jasa,komentar dan desas-desus dapat diharapkan,seperti hotel, restoren,

mobil, dan lain-lainnya.

4. Complex products, produk-produk yang kompleks, seperti perangkat

lunak atau alat kedokteran. Orang akan membicarakannya karena alat-alat

ini merupakan kebutuhan untuk mengurangi resiko.

5. Expensive products, produk-produk yang mahal, seperti computer atau

barang-barang elektronik konsumsi, resiko juga yang menjadi faktor

utama orang-orang membicarakannya

6. Observable products, produk-produk yang diamati seperti baju, mobil dan

telepon genggam. Orang cenderung membicarakan apa yang mereka lihat.

Jika produk tersebut tidak terlihat oleh konsumen, maka kemungkinan

mereka kurang untuk membicarakannya.

Ada 3 motivasi yang membuat banyak orang membicarakan sebuah produk

barang atau jasa yaitu perasaan suka karena suatu fungsi, perasaan bangga menjadi

pengguna suatu produk barang atau jasa karena suatu nilai dan yang terakhir adalah

merasa terhubung satu sama lain dan merasa menjadi satu keluarga pengguna produk

yang sama.

2.1.4 Proses Word Of Mouth Communication

Komunikasi word of mouth tak bisa terjadi tanpa proses, dimulai dari sumber

sampai tujuan. pendapat Sutisna (2002). Dalam pandangan tradisional, proses

komunikasi word of mouth dimulai dari informasi yang disampaikan melalui media

masa, kemudian diinformasikan atau ditangkap oleh pemimpin opini yang

Page 13: BAB 2 Rampung

mempunyai pengikut dan berpengaruh. Informasi yang ditangkap oleh pemimpin

opini kepada pengikutnya melalui komunikasi dari mulut ke mulut. Bahkan secara

lebih luas model itu juga memasukan penjaga informasi (gatekeeper) sebagai pihak

yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut. Model komunikasi word of mouth

yang lebih luas digambarkan oleh Sutisna (2002;191) sebagai berikut:

Sumber : Sutisna, perilaku konsumen & komunikasi pemasaran (2002;192)

2.2. Brand loyalty

2.2.1 Definisi Brand loyalty

Loyalty yang dalam bahasa Indonesia diartikan Loyalitas secara harfiah

diartikan kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap suatu objek. Menurut

Schiffman dan Kanuk (2004). Sedangkan brand loyalty atau brand loyalty

merupakan hasil yang paling diharapkan dari sebuah penelitian mengenai perilaku

konsumen. Ada banyak definisi brand loyalty ditinjau dari berbagai macam sudut

pandang. Definisi yang umum dipakai adalah penjelasan bahwa brand loyalty

gatekeeper

Media

massa

Pemimpin

opini

pengikut

Page 14: BAB 2 Rampung

merupakan suatu preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan pembelian

pada merek yang sama pada produk yang spesifikasi atau pelayanan tertentu.

Loyalitas (Loyalty)

Loyalitas menurut Mowen dan Minor (1998) adalah kondisi dimana pelanggan

mempunyai sikap yang positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen terhadap

merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya dimasa mendatang.

Pernyataan yang sama berasal dari Dharmmesta (1999) yang menyatakan bahwa

loyalitas menunjukkan kecenderungan pelanggan untuk menggunakan suatu merek

tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. Hal ini berarti loyalitas selalu

berkaitan dengan preferensi pelanggan dan pembelian aktual.

Brand loyalty menunjukkan adanya suatu ikatan antara konsumen dengan

merek tertentu dan ini seringkali ditandai dengan adanya pembelian ulang dari

konsumen.

Adapun menurut Griffin (2005) prasyarat untuk Pernyataan yang terkait

dengan tingkat konsistensi ini juga berasal dari Oliver (1999) dalam Fandi Tjiptono

(2006) yang menyatakan, bahwa brand loyalty merupakan komitmen yang teguh

untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara

konsisten dimasa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau rangkaian

merek yang sama secara berulang, meskipun pengaruh situasional dan upaya

pemasaran berpotensi untuk menyebabkan perilaku beralih merek.

Mowen (2002:109) mengemukakan bahwa loyalitas dapat didasarkan pada

perilaku pembelian aktual produk yang dikaitkan dengan proporsi pembelian. Suatu

Page 15: BAB 2 Rampung

merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut kepercayaan,

konsistensi, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting baik bagi

konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk

mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas

(Riana, 2008:187) dalam hal loyalitas diperlukan adanya 2 keterikatan yang dirasakan

pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu yaitu pertama tingkat preferensi

(seberapa besar keyakinan) pelanggan terhadap produk dan jasa tertentu dan yang

kedua tingkatan differensiasi produk yang dipersepsikan, misalnya seberapa

signifikan pelanggan membedakan produk atau jasa tertentu dari alternative-

alternatif lain.

Merek (Brand)

Menurut American Marketing Association (Kotler, 2000), merek adalah nama,

istilah, tanda, simbol, rancangan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut, yang dimaksud

untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seseorang atau kelompok penjual dan

untuk membedakan dari produk pesaing.

Menurut Aaker (1991), merek adalah “A distinguishing name and/or symbol

(such as logo, trade mark, or package design) intended to identify to goods or service

of either one seller of a group of seller, and to differentiate those goods or service

from those of competitors”. Suatu merek pada gilirannya memberi tanda pada

konsumen mengenai sumber produk tersebut. Di samping itu, merek melindungi, baik

konsumen maupun produsen dari para kompetitor yang berusaha memberikan

produk-produk yang tampak identik.

Page 16: BAB 2 Rampung

Merek sebenarnya merupakan janji penjual untuk secara konsisten

memberikan keistimewaan, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli. Merek-merek

terbaik memberikan jaminan mutu. Akan tetapi, merek lebih dari sekedar simbol.

Merek dapat memiliki enam level pengertian (Kotler, 2000) yaitu sebagai berikut :

1. Atribut: merek mengingatkan pada atribut tertentu. Mercedes memberi

kesan sebagai mobil yang mahal, dibuat dengan baik, dirancang dengan

baik, tahan lama, dan bergengsi tinggi.

2. Manfaat : bagi konsumen, kadang sebuah merek tidak sekadar

menyatakan atribut, tetapi manfaat. Mereka memberi produk tidak

membeli atribut, tetapi membeli manfaat. Atibut yang dimiliki oleh suatu

produk dapat terjemahkan menjadi mafaat fungsional dan atau emosional.

Sebagai contoh: atribut “tahan lama” diterjemahkan menjadi mafaat

fungsional “tidak perlu cepat beli lagi, atribut”mahal” diterjemahkan

menjadi manfaat emosional “bergengsi”, dan lain-lain.

3. Nilai : merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai produsen. Jadi,

Mercedes berarti kinerja tinggi, keamanan, gengsi, dan lain-lain.

4. Budaya : merek juga mewakili budaya tertentu. Mercedes mewakili

budaya Jerman, terorganisai, efisien, bermutu tinggi.

5. Kepribadian: merek mencerminkan kepribadian tertentu. Mercedes

mencerminkan pimpinan yang masuk akal (orang), singa yang

memerintah (binatang), atau istana yang agung (objek).

Page 17: BAB 2 Rampung

6. Pemakai: merek menunjukkan jenis konsumen yang membeli atau

menggunakan produk tersebut. Mercedes menunjukkan pemakainya

seorang diplomat atau eksekutif.

Pada intinya merek adalah penggunaan nama, logo, trade mark, serta slogan

untuk membedakan perusahaan-perusahaan dan individu-individu satu sama lain

dalam hal apa yang mereka tawarkan. Penggunaan konsisten suatu merek, simbol,

atau logo membuat merek tersebut segera dapat dikenali oleh konsumen sehingga

segala sesuatu yang berkaitan dengannya tetap diingat. Dengan demikian, suatu

merek dapat mengandung tiga hal, yaitu sebagai berikut.

1. Menjelaskan apa yang dijual perusahaan.

2. Menjelaskan apa yang dijalankan oleh perusahaan.

3. Menjelaskan profil perusahaan itu sendiri.

Suatu merek memberikan serangkaian janji yang di dalamnya menyangkut

kepercayaan, konsisten, dan harapan. Dengan demikian, merek sangat penting, baik

bagi konsumen maupun produsen. Bagi konsumen, merek bermanfaat untuk

mempermudah proses keputusan pembelian dan merupakan jaminan akan kualitas.

Sebaliknya, bagi produsen, merek dapat membantu upaya-upaya untuk membangun

loyalitas dan hubungan berkelanjutan dengan konsumen.

Brand Loyality (Loyalitas Merek)

Berdasarkan beberapa definisi diatas, pengertian brand loyalty dalam

penelitian ini mengacu pada pendapat Shiffman dan Kanuk (2004) dimana brand

loyalty merupakan bentuk preferensi konsumen secara konsisten untuk melakukan

Page 18: BAB 2 Rampung

pembelian/penggunaan pada merek yang sama pada produk yang spesifik atau

kategori pelayanan tertentu sehingga pengukuran brand loyalty akan melibatkan

pengukuran sikap (aspek kognitif, afektif, dan konatif serta action/tindakan konsumen

terhadap merek).

Brand Loyalty bisa didefinisikan sebagai sikap menyenangi terhadap suatu

merek yang direpresentasikan dalam pembelian atau penggunaan yang konsisten

terhadap merek itu sepanjang waktu

Brand loyalty juga merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada

sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya

seorang pelanggan beralih ke merek yang lain, terutama jika pada merek tersebut

didapati adanya perubahan, baik yang menyangkut harga ataupun atribut lain.

Pelanggan yang loyal pada umumnya akan melanjutkan pembelian merek tersebut

meski dihadapkan banyak alternatif merek pesaing yang menawarkan karakteristik

produk yang lebih unggul. Sebaliknya, pelanggan yang tidak loyal pada suatu merek,

pada saat mereka melakukan pembelian akan merek tersebut, pada umumnya tidak

didasarkan karena keterikatan mereka pada mereknya tetapi lebih didasarkan pada

karakteristik produk, harga, dan kenyaman pemakaiannya serta atribut lain yang

ditawarkan oleh merek lain (Durianto, 2001).

Terdapat dua pendekatan dalam mempelajari brand loyalty. Pertama

pendekatan instrumental conditioning, yang memandang bahwa pembelian yang

konsisten sepanjang waktu adalah menunjukkan brand loyalty.

Page 19: BAB 2 Rampung

Pendekatan kedua yaitu didasarkan pada teori kognitif. Perilaku itu sendiri

tidak merefleksikan brand loyalty. Loyalitas menyatakan komitmen terhadap merek

yang mungkin tidak hanya direfleksikan oleh perilaku pembelian yang terus menerus.

Assael (1992) mengemukakan empat hal yang menunjukkan kecenderungan

konsumen yang loyal sebagai berikut:

1. konsumen yang loyal terhadap merek cenderung lebih percaya diri pada

pilihannya.

2. konsumen yang lebih loyal mungkin merasakan tingkat risiko yang lebih

tinggi dalam pembeliannya.

3. konsumen yang loyal terhadap merek juga lebih mungkin loyal terhadap

toko.

4. kelompok konsumen yang minoritas cenderung untuk lebih loyal terhadap

merek.

Brand Loyalty adalah kondisi dimana konsumen mempunyai sikap positif

terhadap merek, mempunyai komitmen terhadap merek, dan bermaksud meneruskan

pembeliannya dimasa mendatang. Brand loyalty merupakan faktor yang penting

dalam menetapkan nilai dari suatu merek, nilai penting dari merek tersebut dapat

meliputi kualitas, bentuk serta kegunaan dari barang dan jasa yang ditawarkan lebih

baik dari yang ditawarkan para pesaing.

2.2.2 Aspek - aspek Brand loyalty

Schiffman dan Kanuk (2004) menerangkan bahwa aspek brand loyalty terdiri

atas empat macam, yaitu:

Page 20: BAB 2 Rampung

1. Kognitif (cognitive) merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh

konsumen. Komponen kognitif ini berisikan persepsi, kepercayaan dan

stereotype seorang konsumen mengenai suatu merek. Loyalitas berarti

bahwa konsumen akan setia terhadap semua informasi yang menyangkut

harga, segi keistimewaan merek dan atribut-atribut penting lainnya.

Konsumen yang loyal dari segi kognitif akan mudah dipengaruhi oleh

strategi persaingan dari merek-merek lain yang disampaikan lewat media

komunikasi khususnya iklan maupun pengalaman orang lain yang

dikenalnya serta pengalaman pribadinya.

2. Afektif (affective), yaitu komponen yang didasarkan pada perasaan dan

komitmen konsumen terhadap suatu merek. Konsumen memiliki

kedekatan emosi terhadap merek tersebut. Loyalitas afektif ini merupakan

fungsi dari perasaan (affect) dan sikap konsumen terhadap sebuah merek

seperti rasa suka, senang, gemar, dan kepuasan pada merek tersebut.

Konsumen loyal secara afektif dapat bertambah suka dengan merek-

merek pesaing apabila merek-merek pesaing tersebut mampu

menyampaikan pesan melalui asosiasi dan bayangan konsumen yang

dapat mengarahkan mereka kepada rasa tidak puas terhadap merek yang

sebelumnya.

3. Konatif (conative), merupakan batas antara dimensi loyalitas sikap dan

loyalitas perilaku yang direpresentasikan melalui kecenderungan perilaku

konsumen untuk menggunakan merek yang sama di kesempatan yang

Page 21: BAB 2 Rampung

akan datang. Komponen ini juga berkenaan dengan kecenderungan

konsumen untuk membeli merek karena telah terbentuk komitmen dalam

diri mereka untuk tetap mengkonsumsi merek yang sama. Bahaya-bahaya

yang mungkin muncul adalah jika para pemasar merek pesaing berusaha

membujuk konsumen melalui pesan yang menantang keyakinan mereka

akan merek yang telah mereka gunakan sebelumnya. Umumnya pesan

yang dimaksud dapat berupa pembagian kupon berhadiah maupun

promosi yang ditujukan untuk membuat konsumen langsung membeli.

4. Tindakan (action), berupa merekomendasikan atau mempromosikan

merek tersebut kepada orang lain. Konsumen yang loyal secara tindakan

akan mudah beralih kepada merek lain jika merek yang selama ini ia

konsumsi tidak tersedia di pasaran. Loyal secara tindakan mengarah

kepada tingkah laku mempromosikan merek tersebut kepada orang lain.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Brand loyalty

Schiffman dan Kanuk (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi

terbentuknya/terciptanya brand loyalty antara lain perceived product superiority

(penerimaan keunggulan produk), personal fortitude (keyakinan yang dimiliki oleh

seseorang terhadap merek tersebut), bonding with the product or company

(keterikatan dengan produk atau perusahaan) dan kepuasan yang diperoleh

konsumen. Jenis produk yang dihasilkan suatu merek juga mempengaruhi brand

loyalty.

Page 22: BAB 2 Rampung

Pada barang-barang konsumsi sehari-hari (consumer goods) seperti makanan,

minuman, sabun, pembersih dan lain sebagainya, konsumen memiliki keterlibatan

yang rendah dalam proses pembeliannya. Umumnya para konsumen tidak secara luas

mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik tentang merek, dan

memutuskan merek apakah yang akan dibeli (Kotler, 2004). Untuk kategori consumer

goods tersebut, dalam proses pembeliannya melalui tahapan trial (coba-coba) yang

dipengaruhi oleh iklan yang beredar. Setelah melakukan pembelian dan mengalami

kepuasan, bila dibandingkan dengan mereklain, maka pembelian produk tersebut

akan dilakukan secara berulang. Pembelian berulang ini akan mengarahkan pada

brand loyalty (Schiffman dan Kanuk, 2004).

Gounaris dan Stathakopoulus (2004) menyatakan bahwa brand loyalty

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

a. Consumer drivers merupakan dorongan-dorongan yang berasal dari dalam diri

konsumen itu sendiri yang terdiri dari :

1. Aspek demografis yang menyangkut faktor usia dan penghasilan.

Hubungan antara usia dengan brand loyalty adalah positif. Semakin

bertambah usia seseorang, maka loyalitasnya terhadap merek semakin

meningkat. Wright dan Spark (dalam Wood, 2004) menyatakan bahwa

brand loyalty yang tinggi terdapat pada individu yang berusia 35-44

tahun. Hal tersebut juga didukung dengan penelitian Murder (2000) yang

mengungkapkan bahwa individu berusia 18-34 tahun memiliki brand

loyalty yang rendah. Selanjutnya, Farley (dalam Harton, 1984)

Page 23: BAB 2 Rampung

mengungkap bahwa jumlah pendapatan individu berhubungan dengan

brand loyalty. Individu yang pendapatannya tinggi akan lebih sedikit

mencari informasi mengenai harga-harga dari merek lain, sehingga

individu tersebut lebih setia terhadap merek yang digunakannya.

2. Aspek psikografis yang menyangkut pengetahuan, pengalaman dan

kepribadian konsumen. Faktor psikografis yang mempengaruhi loyalitas

konsumen terhadap suatu merek adalah tipe kepribadian individu yang

tidak menyukai resiko (risk aversion) dan tipe kepribadian individu yang

suka mencari variasi, termasuk merek (variety seeking). Individu yang

bertipe kepribadian tidak menyukai resiko akan mempertahankan merek

yang telah dipakai meski banyak tawaran untuk berpindah merek. Mereka

sangat mencemaskan ketidaknyamanan yang mungkin akan mereka

terima jika berpindah merek sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan

cenderung tinggi. Konsumen yang bertipe kepribadian suka mencari

variasi akan berperilaku berkebalikan dari tipe kepribadian sebelumnya.

Mereka tidak peduli dengan resiko yang akan mereka hadapi jika harus

berpindah merek. Mereka akan selalu memanfaatkan kesempatan untuk

mencoba merek-merek baru sehingga loyalitasnya pada suatu merek akan

rendah.

b. Brand drivers, merupakan atribut-atribut pada merek yang juga berperan sebagai

komponen karakteristik produk yang memiliki keterikatan emosional dengan

konsumen. Karakteristik produk yang dimaksud adalah:

Page 24: BAB 2 Rampung

1. Reputasi merek (brand reputation), yaitu tanda ekstrinsik yang

dihubungkan dengan produk. Reputasi merek memberi indikasi kuat

terhadap kualitas produk sehingga akan menciptakan loyalitas terhadap

merek. Reputasi yang kuat terhadap merek merupakan faktor yang

signifikan dalam membangun brand loyalty karena reputasi merek

memperkuat persepsi terhadap ekuitas merek. Selain itu, reputasi merek

akan memperkuat kebiasaan konsumen untuk menggunakan merek

tertentu dan membuat merek tersebut disukai konsumen. Hasilnya,

reputasi merek akan menciptakan brand loyalty yang tinggi pada

konsumen yang juga akan meningkatkan pangsa pasar (market share).

2. Ketersediaan merek pengganti (availability of substitute brand). Ketika

beberapa produk dipersepsi secara sama oleh konsumen, perbedaan

diantara merek tersebut sukar untuk diketahui. Akibatnya, individu tidak

memiliki alasan untuk loyal terhadap merek tertentu. Berdasarkan hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa jika beberapa merek memiliki persepsi

yang sama, maka akan memunculkan loyalitas yang rendah. Hal tersebut

muncul karena pada saat melakukan pembelian, konsumen tidak

menetapkan merek yang akan dibelinya melainkan menentukan beberapa

alternatif merek yang dianggap sama oleh konsumen.

c. Social drivers, yaitu lingkungan sosial di sekitar konsumen yang dapat

mempengaruhi sikap konsumen terhadap suatu merek, diantaranya adalah:

Page 25: BAB 2 Rampung

1. Pengaruh kelompok sosial (social group influences). Kelompok social

berpengaruh secara langsung terhadap sikap dan perilaku seseorang.

Suatu kelompok akan menjadi referensi utama seseorang dalam membeli

suatu produk. Ketika individu mengidentifikasikan dirinya dengan

kelompok tersebut, besar tidaknya pengaruh dari kelompok referensi

tergantung pada mudah tidaknya individu untuk dipengaruhi, kedekatan

dengan kelompok, dan tingkat kejelasan produk. Pengaruh kelompok

referensi yang kuat dengan mudah dapat mengubah perilaku anggotanya

atau calon anggotanya. Dalam keluarga, orang tua yang konsisten dalam

memilih merek tertentu akan menyebabkan munculnya positif terhadap

merek pada diri anak. Hal ini menyebabkan anak juga ikut memilih merek

tersebut dan menjadi loyal.

2. Rekomendasi teman sebaya (peers recommendation). Selain kelompok

referensi, anjuran teman juga dapat mempengaruhi brand loyalty.

Pengaruh normatif teman sebaya dan identifikasi terhadap kelompok

teman sebaya merupakan petunjuk bagi individu untuk mencari produk,

merek, dan toko.

2.2.4 Fungsi Brand Loyalty

Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat

menjadi aset strategis bagi perusahaan. Berikut adalah beberapa potensi yang dapat

diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan: (Darmadi Durianto, 2001:72) :

1) Reduced marketing costs (mengurangi biaya pemasaran)

Page 26: BAB 2 Rampung

2) Trade leverage (meningkatkan perdagangan)

3) Attracting new customers (menarik minat pelanggan baru)

4) Provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk

merespon ancaman persaingan)

2.2.5 Tingkatan Brand Loyalty

Dalam kaitannya dengan brand loyalty suatu produk, didapati adanya

beberapa tingkatan brand loyalty. Masing-masing tingkatannya menunjukkan

tantangan pemasaran yang harus dihadapi sekaligus aset yang dapat dimanfaatkan.

Adapun tingkatan brand loyalty tersebut adalah sebagai berikut :

1) Switcher (berpindah-pindah)

Pelanggan yang berada pada tingkat loyalitas ini dikatakan sebagai

pelanggan yang berada pada tingkat yang paling dasar. Semakin tinggi

frekuensi pelanggan untuk memindahkan pembeliannya dari suatu merek

ke merek-merek yang lain mengindikasikan mereka sebagai pembeli yang

sama sekali tidak loyal atau tidak tertarik pada merek tersebut. Pada

tingkatan ini merek apa pun mereka anggap memadai serta memegang

peranan yang sangat kecil dalam keputusan pembelian. Ciri yang paling

nampak dari jenis pelanggan ini adalah mereka membeli suatu produk

karena harganya murah.

2) Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)

Pembeli yang berada dalam tingkat loyalitas ini dapat dikategorikan

sebagai pembeli yang puas dengan mereka produk yang dimonsumsikan

Page 27: BAB 2 Rampung

atau setidaknya mereka tidak mengalami ketidakpuasan dalam

mengkonsumsi merek produk tersebut. Pada tingkatan ini pada dasarnya

tidak didapati alasan yang cukup untuk menciptakan keinginan untuk

membeli produk yang lain atau berpindah merek terutama jikaperalihan

tersebut memerlukan usaha, biaya maupun berbagai pengorbanan lain.

Dapat disimpulkan bahwa pembeli ini dalam membeli suatu merek

didasarkan atas kebiasaan mereka selama ini.

3) Satisfied buyer (pembeli yang puas dengan biaya peralihan)

Pada tingkatan ini, pembeli merek masuk dalam kategori puas bila

mereka mengkonsumsi merek tersebut, meskipun demikian mungkin saja

mereka memindahkan pembeliannya ke merek lain dengan menganggung

switching cost (biaya peralihan) yang terkait dengan waktu, uang, atau

resiko kinerja yang melekat dengan tindakan mereka beralih merek.

Untuk dapat menarik minat para pembeli yang masuk dalam tingkat

loyalitas ini maka para pesaing perlu mengatasi biaya peralihan yang

harus ditanggung oleh pembeli yang masuk dalam kategori ini dengan

menawarkan berbagai manfaat yang cukup besar sebagai kompensasinya

(switching cost loyal).

4) Likes the brand (menyukai merek)

Pembeli yang masuk dalam kategori loyalitas ini merupakan pembeli

yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Pada tingkatan ini

dijumpai perasaan emosional yang terkait pada merek. Rasa suka pembeli

Page 28: BAB 2 Rampung

bisa saja didasari oleh asosiasi yang terkait dengan simbol, rangkaian

pengalaman dalam penggunaan sebelumnya baik yang dialami pribadi

maupun oleh kerabatnya ataupun disebabkan oleh perceived quality yang

tinggi. Meskipun demikian sering kali rasa suka ini merupakan suatu

perasaan yang sulit diidentifikasi dan ditelusuri dengan cermat untuk

dikategorikan ke dalam sesuatu yang spesifik

5) Comitted buyer (pembeli yang komit)

Pada tahapan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. Mereka

memiliki suatu kebanggan sebagai pengguna suatu mereka dan bahkan

merek tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi

fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya

mereka. Pada tingkatan ini, salah satu aktualisasi loyalitas pembeli

ditunjukkan oleh tindakan merekomendasikan dan mempromosikan

merek tersebut kepada pihak lain.

Page 29: BAB 2 Rampung

2.3. Kerangka berpikir

2.4. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahn

penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2006: 71).

Sedangkan hipotesis pada penelitian ini yaitu ; “Ada pengaruh word of mouth

terhadap brand loyalty pada PO Sumber Kencono.”