bab 2 perkembangan pemikiran mengenai administrasi pembangunan

66
Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan Pengertian Administrasi dan Pembangunan Ada berbagai pengertian mengenai administrasi. Yang paling mendasar adalah pengertian dari Waldo, yang menyatakan bahwa administrasi negara adalah species dari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri berada dalam keluarga kegiatan kerjasama antarmanusia. Waldo (1992) menyatakan yang membedakan administrasi dengan kegiatan kerjasama antarmanusia lainnya adalah derajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitas yang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapai serta cara untuk mencapainya. Administrasi negara berkenaan dengan administrasi dalam lingkup negara, sering kali pula diartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya, administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapai merupakan konsep yang mendasar pula dalam administrasi negara. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; pada setiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkan kegiatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan tertetu. Tetapi sebagai negara tentu harus ada asas, pedoman, dan tujuan, yang menjadi landasan kerja administrasi negara. Pada umumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagsan dasar tersebut ada dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Pengertian pembangunan dapat ditinjau dari berbagai segi. Kata pembangunan sedara sederhana sering diartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yang lebih baik. Seperti dikatan oleh Seers (1969) di sini ada pertimbangan nilai (value judgment). Atau menurut Riggs

Upload: cristilumeko

Post on 14-Jun-2015

2.753 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Bab 2Perkembangan Pemikiran Mengenai

Administrasi Pembangunan

Pengertian Administrasi dan PembangunanAda berbagai pengertian mengenai administrasi.Yang paling mendasar adalah pengertian dari Waldo, yangmenyatakan bahwa administrasi negara adalah speciesdari genus administrasi, dan administrasi itu sendiri beradadalam keluarga kegiatan kerjasama antarmanusia. Waldo(1992) menyatakan yang membedakan administrasidengan kegiatan kerjasama antarmanusia lainnya adalahderajat rasionalitasnya yang tinggi. Derajat rasionalitasyang tinggi ini ditunjukkan oleh tujuan yang ingin dicapaiserta cara untuk mencapainya.Administrasi negara berkenaan denganadministrasi dalam lingkup negara, sering kali puladiartikan sebagai pemerintah. Seperti halnya dalam genusnya,administrasi, adanya tujuan yang ingin dicapaimerupakan konsep yang mendasar pula dalam administrasinegara. Tujuan itu sendiri tidak perlu hanya satu; padasetiap waktu, tempat, bidang, atau tingkatan, bahkankegiatan tertentu, terdapat tujuan-tujuan tertetu. Tetapisebagai negara tentu harus ada asas, pedoman, dan tujuan,yang menjadi landasan kerja administrasi negara. Padaumumnya (meskipun tidak semuanya) gagasan-gagsandasar tersebut ada dalam konstitusi negara yangbersangkutan.Pengertian pembangunan dapat ditinjau dariberbagai segi. Kata pembangunan sedara sederhana seringdiartikan sebagai proses perubahan ke arah keadaan yanglebih baik. Seperti dikatan oleh Seers (1969) di sini adapertimbangan nilai (value judgment). Atau menurut Riggs(1966) ada orientasi nilai yang menguntungkan(favourable value orientation).Namun, ada perbedaan antara arti pembangunandan perkembangan. Pembangunan adalah perubahan kearah kondisi yang lebih melalui upaya yang dilakukansecara terencana, sedangkan perkembangan adalahperubahan yang dapat lebih baik atau lebih buruk, dan tidak perlu ada upaya tertentu. Adanya upaya yangdiselenggarakan secara berencana, merupakan unsurpenting dalam pembangunan. Hal ini mengingat adanyapandangan bahwa perubahan sosial adalah hukum sejarah

Page 2: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

yang akan terjadi dengan sendirinya walaupun tanpaupaya.Dalam kata pembangunan, hal yang sangat pokokyaitu adanya hakikat membangun, yang beralawanandengan merusak. Oleh karena itu, perubahan ke arahkeadaan yang lebih baik seperti yang diinginkan dandengan upaya yang terencana, harus dilakukan melaluijalan yang tidak merusak, tetapi justru mengoptimalkansumber daya yang tersedia dan mengembangkan potensiyang ada.Pembangunan menjadi bahan kajian berbagaidisiplin ilmu, terutama setelah Perang Dunia Kedua (PDII), denagn lahirnya banyak negara baru yang semulamerupakan wilayah jajahan. Pembangunan telah menjadibahan studi ilmu ekonomi, politik, sosial, dan administrasi,dan telah berkembang pula sebagai studi multidisiplindengan pendekatan dari berbagai cabang ilmupengetahuan.Pembangunan sering dikaitkan denganmodernisasi dan industrialisasi. Seperti dikatakan Gouled(1977), ketiga-tiganya menyangkut proses perubahan.Pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial,modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case) daripembangunan, dan industrialisasi adalah salah satu segi (asingle facet) dari pembangunan. Dari pengertian ini, dapatdisimpulkan bahwa pembangunan lebih luas sifatnya daripada modernisasi, dan modernisasi lebih luas dari padaindustrialisasi.Seperti dikatakan Rutow (1967), modernisasiadalah proses yang mencakup perubahan-perubahan yangspesifik, termasuk industrialisasi, yang menunjukkanpengusaan yang leih luas atas alam melalui kerjasamayang lebih erat antar manusia. Black, et al. (1975),melukiskan modernisasi sebagai proses di mana terjaditransformasi masyarakat sebagai dampak revolusi ilmupengetahuan dan teknologi. Proses transformasi darimasyarakat agaris ke masyarakat industri adalah salah satuindikasi dari proses industrialisasi.Berkaitan pula dengan pembangunan adalahpembaharuan, yang juga merupakan suatu bentukperubahan ke arah yang dikehendaki, tetapi lebih berkaitdengan nilai-nilai atau sistem nilai. Pembangunan dengandemikian juga berarti pembaharuan, meskipunpembaharuan tidak selalu harus berarti pembangunan.Dengan tidak mengabaikan sumbangan disiplinilmu sosial lain terhadap studi pembangunan, kajianbidang ekonomi memberikan dampak paling besarterhadap konsep-konsep pembangunan.Konsep-konsep PembangunanPembangunan, menurut literatur-literatur ekonomipembangunan, sering didefinisikan sebagai suatu prosesyang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil

Page 3: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

per kapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitassumber daya.Teori pertumbuhan ekonomi dapat ditelusurisetidak-tidaknya sejak abad ke-18. Menurt Adam Smith(1776) proses pertumbuhan diawali apabila perekonomianmampu melakukan pembagian kerja (division of labor).Division of labor akan meningkatkan produktivitas yangpada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. AdamSmith juga mengarisbawahi pentingnya sekala ekonomi.Dengan meluasnya pasar, akan terbuka inovasi-inovasibaru yang pada gilirannya akan mendorong perluasanpembagian kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.Setelah Adam Smith, muncul pemikiran-pemikiran yangberusaha mengkaji batas-batas pertumbuhan (limits togrowth), antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).Setelah Adam Smith, Malthus, dan Ricardo yangdisebut sebagai aliran klasik, berkembang teoripertumbuhan ekonomi modern dengan berbagai variasinya.Pada intinya teori ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yangmenekankan pentingnya (1) akumulasi modal (physicalcapital formation) dan (2) peningkatan kualitas daninvestasi sumber daya manusia (human capital). Salah satudampaknya yang besar dan berlanjut hingga sekarangadalah model pertumbuhan yang dikembangkan olehHarrod (1948) dan Domar (1946). Pada intinya model iniberpikjak pada pandangan Keynes (1936) yangmenekankan pentingnya aspek permintaan dalammendorong pertumbuhan jangka panjang.Dalam model Harrod-Domar, pertumbuhanekonomi akan ditentukan oleh dua unsur pokok, yaitutingkat tabungan (investasi) dan produktivitas kapital(capital output ratio). Agar dapat tumbuh secarberkelanjutan, masyarakat dalam suatu perekonomianharus mempunyai tabungan yang merupakan sumberinvestasi. Makin besar tabungan , makin besar investasi,dan makin tinggi pertumbuhan ekonomi.Apabila Harrod-Domar memberi tekanan padapentingnya peranan modal, Arthur Lewis (1954) denganmodel surplus of labor-nya memberikan tekanan padaperanan jumlah penduduk. Dalam model ini diasumsikanterdapat penawaran tenaga kerja yang sangat elastis. Iniberarti para pengusaha dapat meningkatkan produksinyadengan mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyaktanpa harus menikkan tingkat upahnya. Meningkatnyapendapatan yang diperoleh kaum pemilik modal akanmendorong investasi-investasi baru, karena kelompok inimempunyai hasrat menabung dan menanam modal(marginal propensity to save invest) yang lebih tinggidibanding kaum pekerja. Tingkat investasi yang tinggipada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi.Sementara itu berkembang sebuah modelpertumbuhan yang disebut neo-klasik. Teori pertumbuhan

Page 4: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

neo-klasik mulai memasukan unsur teknologi yangdiyakini akan berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomisuatu negara (Solow, 1957). Dala teori neo-klasik,teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersediauntuk dimanfaatkan oleh semua negara di dunia. Dalamperekonomia yang terbuka, di mana semua faktor produksidapat berpindah secara leluasa dan teknologi dapatdimanfaatkan oleh semua negara, maka pertumbuhansemua negara di dunia akan konvergen, yang berartikesenjangan akan berkurang.Teori pertumbuhan selanjutnya mencobamenemukan fakto-faktor lain di luar modal dan tenagakerja, yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Salah satuteori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusiamempunyai pengaruh yang besar terhadap peningkatanproduktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatanproduktivitas tenaga kerja ini dapat didorong melaluipendidikan dan pelatihan serta peningkatan derajatkesehatan. Teori human capital ini selanjutnya diperkuatdengan berbagai studi empiris antara lain untuk AmerikaSerikat oleh Kendrick (1976).Selanjutnya, pertumbuhan yang bervariasi diantara negara-negara yang membangun melahirkanpandangan bahwa teknologi bukan faktor eksogen, tapifaktor endogen yang dapat dipengaruhi oleh berbagaivariabel kebijaksanaan (Romer, 1990). Sumberpertumbuhan dalam teori endogen adalah meningkatnyastok pengetahuan dan ide baru dalam perekonomian yangmendorong tumbuhnya daya cipta, kreasi, inisiatif, yangdiwujudkan dalam kegiatan inovatif dan produktif. Inisemua menuntut kualitas sumber daya manusia yangmeningkat. Transformasi pengetahuan dan ide barutersebut dapat terajadi melalui kegiatan perdaganganinternasional, penanaman modal, lisensi, konsultasi, dankomunikasi.Mengenai peran perdagangan dalam pertumbuhan,Nurkse (1953) menunjukkan bahwa perdaganganmerupakan mesin pertumbuhan selama abad ke-19 baginegara-negara yang sekarang termasuk dalam kelompoknegara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia,dan Selandia Baru. Pada abad itu kegiatan industri yangtermaju terkonsentrasi di Inggris. Pesatnya perkembnganindustri dan pertumbuhan penduduk di Inggris yangmiskin sumber alam telah meningkatkan permintaan bahanbaku dan makanan dari negara-negra yang disebut diatas.Dengan demikian pertumbuhan yang terjadi di Inggrismenyebar ke negara lain melalui perdaganganinternasional. Kemudian kita melihat bahwa kamajuanekonomi di negara-negara industri baru yang miskinsumber alam di belahan kedua abad ke-20, seperti Korea,Taiwan, Hongkong, dan Singapura, juga didorong oleh

Page 5: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

perdagangan internasional.Dalam kelompok teori pertumbuhan ini adapandangan penting yang dianut oleh banyak pemikirpembangunan, yaitu teori tahapan pertumbuhan. Dua diantara yang penting adalah dari Rostow (1960) danChenery-syrquin (1975). Menurut Rostow, transformasidari negara terbelakang menjadi negara maju dapatdijelaskan melalui urutan tingkatan atau tahappembangunan. Rostow mengemukakan 5 tahap yangdilalui oleh suatu negara dalam proses pembangunannya,yaitu tahap traditional society, preconditions for growth,the take-off, the drive to maturity, dan the age of highmass-cosumption. Menurut Chenery dan Syrquin (1975),yang merupakan perkembangan pemikiran dari CollinClark dan Kuznets, perkembangan perekonomian akanmengalami transformasi (konsumsi, produksi, danlapangan kerja), dari perekonomian yang didominasisektor pertanian menjadi didominasi sektor industri danjasa.Salah satu harapan atau anggapan dari pengikutaliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhanakan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yangpalig bawah. Namun, pengalaman pembangunan dalamtiga dasawarsa (1940-1970) menunjukkan bahwa rakyat dilapisan bawah tidak senantiasa menikmati cucuranhasilpembangunan seperti yang diharapkan. Bahkan dibanyaknegara kesenjangan makin melebar. Hal ini disebabkan,meskipun pendapatan dan konsumsi mungkin meningkat,namun kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannyadan lebih mampu memanfaatkan kesempatan, antara lainkarena posisinya yang meguntungkan (privileged), akanmemperoleh semua atau sebagian besar hasilpembangunan. Dengan demikian, yang kaya semakinbertambah kaya dan yang miskin tetap miskin bahkandapat menjadi lebih miskin.

Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiranuntuk mencari alternatif lain terhadap pradigma yangsemata-mata meberi penekanan kepada pertumbuhan,antara lain berkembang kelompok pemikiran yang disebutpradigma pembangunan sosial, yang tujuannya adalahmenyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.Salah satu metode yang umum digunakan dalammenilai pengaruh pembangunan terhadap kesejahteraanmasyarakat adalah dengan mempelajari distribusipendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelaskelaspendapatan dapat diukur dengan kurva Lorenz atauindeks Gini. Selain distribusi pendapatan, dampak danhasil pembangunan juga dapat diukur dengan melihattingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara. Berbedadengan distribusi pendapatan yang menggunakan konsep

Page 6: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

relatif, analisis yang mengenai tingkat kemiskinanmenggunakan konsep absolut atau kemiskinan absolut.Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namundisadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upayamemadukan konsep pertumbuhan dan pemerataanmerupakan tantangan yang jawabanya tidak henti-hentinyadicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yangdinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atauredistribution with growth (RWG) dikembangkanberdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Duniapada tahun 1974 (Chenery, et al.). Ide dasarnya adalahpemerintah harus mempengaruhi pola pembangunansedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatanrendah (yang di banyak negara berlokasi di perdesaan danprodusen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatanmeningkatkan pendapatan dan secara simultan menerimasumber ekonomi yang diperlukan.Masih dalam rangka mencari jawaban terhadaptantangan paradigma keadilan dalam pembangunan,berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia ataubasic human needs (BHN) (Streeten, et al, 1981). StategiBHN disusun untuk menyediakan barang dan jasa dasarbagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dansanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, danperumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuanyang sama, tetapi dalam hal kebijaksanaan yang diambilterdapat perbedaan. RWG menekankan pada peningkatanproduktivitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkanBHN menekankan pada penyediaan public servicesdisertai jminan bagi masyarakat miskin untuk memperolehpelayanan tersebut.Masalah pengangguran juga makin mendapatperhatian dalam rangka pembangunan ekonomi yangmenghendaki adanya pemerataan. Todaro (1985)mengemukakan, terdapat kaitan yang erat antarapengangguran, ketidakmerataan pendapatan, dankemiskinan. Pada umumnya mereka yang tidakmemperoleh pekerjaan secara teratur termasuk dalamkelompok masyarakat miskin. Mereka yang memperolehpekerjaan secara terus-menerus adalah yang berpendapatanmenengah dan tinggi. Dengan demikian, memecahkanmasalah pengangguran dapat memecahkan masalahkemiskinan dan pemerataan pendapatan.Beberapa ahli berpendapat pula bahwapermerataan pendapatan akan meningkatkan penciptaanlapangan kerja (Seers, 1970). Menurut teori ini, barangbarangyang dikonsumsi oleh masyarakat miskincenderung lebih bersifat padat tenaga kerja dibandingdengan konsumsi masyarakat yang berpendapatan lebihtinggi. Dengan demikian, pemerataan pendapatan akanmenyebabkan pergeseran pola permintaan yang pada

Page 7: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

gilirannya akan menciptakan kesempatan kerja.Dalam rangka perkembangan teori ekonomipolitik dan pembangunan perlu dicatat pula bahwa aspekideologi dan politik turut mempengaruhi pemikiranpemikiranyang berkembang. Salah satu di antaranyaadalah teori ketergantungan yang dikembangkan terutamaberdasarkan keadaan pembangunan di Amerika Latin padatahun 1950-an. Ciri utama dari teori ini adalah bahwaanalisanya didasarkan pada adanya interaksi antarastruktur internal dan eksternal dalam suatu sistem.Menurut teori ini (Baran, 1957), keterbelakangan negaranegaraAmarika Latin terjadi pada saat masyarakatperkapitalis tergabung ke dalam sistem ekonomi duniakapitalis. Dengan demikian, masyarakat tersebutkehilangan otonominya dan menjadi daerah “pinggiran”(periphery) dari negara metropolitan yang kapitalis.Daerah (negara) penggiran dijadikan “daerah-daerahjajahan” dari negara-negara metropolitan. Mereka hanyaberfungsi sebagai produsen bahan mentah bagi kebutuhanindustri daerah (negara) metropolitan, dan sebaliknyamerupakan konsumen barang-barang jadi yang dihasilkanindustri-industri di negara-negara metropolitan tersebut.Dengan demikian, timbul struktur ketergantungan yangmerupakan rintangan yang hampir tak dapat diatasi sertamerintangi pula pembangunan yang mandiri.Ada dua aliran dalam teori ketergantungan. Yaitualiran Marxis dan Neo-Marxis, serta aliran non Merxis.Aliran Marxis dan Neo-Marxis menggunakan kerangkaanalisi dari teori Marxis tentang imperialisme. Aliran initidak membedakan secara tajam mana yang termasukstruktur internal dan mana struktur eksternal, karena keduastruktur tersebut dipandang sebagai faktor yang berasaldari sistem kapitalis dinia itu sendiri. Selain itu, aliran inimengambil perspektif perjuangan kelas internasionalantara para pemilik modal (para kapitalis) di satu pihakdan kaum buruh dipihak lain. Untuk memperbaiki nasibburuh, perlu diambil prakarsa menumbangkan kekuasaanyang ada. Oleh karena itu, menurut aliran ini, reseppembangunan untuk daerah pinggiran adalah revolusi(Andre Gunder Frank, 1967). Sedangkan aliran keduamelihat masalah ketergantungan dari perspektif ansionalatau regional. Menurut aliran ini struktur dan kondisiinternal pada umumnya dilihat sebagai faktor yang berasaldari sistim itu sendiri, meskipun struktur internal ini padamasa lampau atau sekarang dipengaruhi oleh fakto-faktorluar negeri (lihat misalnya Theotonio Dos Santos, 1969;Tavares dan Serra, 1974; serta Cariola dan Sunkel, 1982).Oleh karena itu, subyek yang perlu dibangun adalah“bangsa” atau “rakyat” dalam suatu negara (nationbuilding). Dalam menghadapi tantangan pembangunan,konsep negara atau bangsa ini perlu dijadikan landasan

Page 8: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan.Pandangan bahwa pembangunan tidak seyogyanyasaja hanya memperhatikan tujuan-tujuan sosial ekonomi,berkembang luas. Masalah-masalah demokrasi dan hakhakasasi manusia menjadi pembicaraan pula dalamkajian-kajian pembangunan (antara lain lihat Bauzon,1992). Goulet (1977) yang mengkaji falsafah dan etikapembangunan, misalnya, mengetengahkan bahwa prosespembangunan harus menghasilkan (1) terciptanya“solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yangberakar dari bawah (grass-roots oriented), (2) memeliharakeberagaman budaya dan lingkungan, dan (3) menjunjungtinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyrakat.Dalam pembahasan mengenai berbagai paradigmayang mencari jalan ke arah pembangunan yangberkeadilan perlu diketengahkan pula teori pembangunanyang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapikondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisiera industri dan menyajikan potensi-potensi baru yangpenting guna memantapkan pertumbuhan dankesejahteraan manusia, keadilan, dan kelestarianpembangunan (Korten, 1984). Logika yang dominan dariparadigma ini adalah ekologi manusia yang seimbangdengan sumber-sumber daya yang utama berupa sumberdaya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habishabisnya.Tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusiayang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggidari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberiperan kepada individu bukan sebagai obyek, melainkansebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikansumber daya, dan mengerahkan proses yangmempengaruhi kehidupannya. Pembangunan yangberpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkanprakarsa rakyat dan kekhasan setempat.Paradigma terakhir dalam pembahasan ini, yangtidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosialdan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahasterdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia.Menurut pendekatan ini, tujuan utama pembangunanadalah menciptakan suatu lingkungan yangmemungkinkan masyarakat menikmati kehidupan yangkreatif, sehat dan berumur panjang. Walaupun tujuan inisederhana, namun sering terlupakan oleh keinginan untukmeningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyakpengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan

antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusiatidaklah terjadi dengan sendirinya. Pengalamanpengalamantersebut mengingatkan bahwa pertumbuhanproduksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat,sedangkan tujuan akhir dari pembangunan harus

Page 9: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

manusianya sendiri.Menurut pandangan ini, tujuan pokokpembangunan adalah memperlus pilihan-pilihan manusia(UI Haq, 1995). Pengertian ini mempunyai dua sisi.Pertama, pembentukan kemampuan/kapabilitas manusia,seperti tercemin dalam kesehatan, pengetahuan, dankeahlian yang meningkat. Kedua, penggunaan kemampuanyang telah dipunyai untuk bekerja, untuk menikmatikehidupan, atau untuk aktif dalam kegiatan kebudayaan,sosial dan politik. Paradigma pembangunan manusia yangdisebut sebagai sebuah konsep yang holistik inimempunyai 4 unsur penting, yakni: (1) peningkatanproduktivitas, (2) pemerataan kesempatan, (3)kesinambungan pembangunan, dan (4) pemberdayaanmanusia.Konsep ini diprakarsai dan ditunjang oleh UnitedNation Development Program (UNDP), yangmengembangkan Indeks Pembangunan Manusia danHuman Devlopment Index (HDI). Indeks ini merupakanindikator komposit/gabungan yang terdiri dari 3 ukuran,yaitu: kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan(sebagai ukuran knowledge), dan tingkatan pendapatan riil(sebagai ukuran living standards).Demikianlah berbagai aliran pemikiran dalamstudi pembangunan, yang berkembang selama ini.Meskipun konsep pembangunan manusia dapat dianggappaling lengkap dan merupakan sintesa dari pendekatanpendekatansebelumnya, namun tampaknya belum ada satupun pendekatan yang dapat memberikan jawaban yangmemuaskan bagi semua orang. Masing-masing adakekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian,pendekatan yang terbaik adalah pendekatan yangdisesuaikan pada kebutuhan, kondisi dan tingkatperkembangan masing-masing negara.Perkembangan Pemikiran dalam Ilmu AdministrasiNegaraSebagaimana disiplin ilmu-ilmu lainnya, danseperti juga konsep-konsep mengenai pembangunan yangtelah diuraikan di atas, ilmu administrasi negara jugaberkembang. Selama kurang lebih satu abad, administrasinegara telah mengalami perjalanan yang panjang, dansebagai disiplin ilmu mengalami pasang surut.Berbagai cara dapat digunakan unutk menganalisisperkembangan konseptual ilmu administrasi negara, antaralain metode pendekatan matriks loccus dan focus (2 x 2matrix) dari Golembiewski (1977) yang menghasilkanempat fase dalam perkembangan ilmu administrasi negara.Fase-fase tersebut adalah (1) fase perbedaan analitikpolitik dari administrasi (2) fase perbedaan konkrit politikdari admisnistrasi, (3) fase manajemen, dan (4) faseorientasi terhadap kebijaksanaan publik.

Page 10: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Golembiewski juga mengetengahkan adanya tigaparadigma komprehensip dalam perkembangan pemikiranpemikiranilmu administrasi negara, yakni (1) paradigmatradisional, (2) paradigma sosial psikologi, dan (3)paradigma kemanusiaan (humanist/systemic).Gelombiewski mengajukan kritik terhadap paradigmaparadigmatersebut yang banyak kelemahannya danmeramalkan tumbuhnya gejala anti paradigma. Iamengetengahkan bahwa yang akan muncul adalahparadigma-paradigma kecil (mini paradigm)Nicholas Henry (1995) menggunakan pendekatanlain. Dengan memperkenalkan pandangan Bailey, bahwaunutk analisis administrasi negara sebagai ilmu harusditerapkan empat teori, yaitu teori deskriptif, normatif,asumtif dan instrumental, Henry mengenali tiga soko gurupengertian (defining pillras) administrasi negara, yaitu: (1)perilaku organisasi dan perilaku manusia dalam organisasipublik, (2) teknologi manajemen dan lembaga-lembagapelaksana kebijaksanaan, dan (3) kepentingan publik yangberkaitan dengan perilaku etis individual dab urasanpublik.Henry mengetengahkan lima paradigma yangdalam administrasi negara, yaitu (1) dikotomipolitik/administrasi, (2) prinsip-prinsip administrasi sertatantangan yang timbul dan jawaban terhadap tantangantersebut, (3) administrasi negara sebagai ilmu politik, (4)administrasi negara sebagai manajemen, (5) administrasinegara sebagai administrasi negara. Berbagai carapendekatan tersebut perlu dipahami oleh pelajar ilmuadministrasi negara.Sejak kelahairannya, pendekatan ilmu administrasinegara selalu berhubungan dengan ilmu politik. Bahkanesai Woodrow Wilson (1887) dalam The Study of PublicAdministration yang menjadi cikal bakal ilmu administrasimerupakan upaya untuk menajamkan fokus bidang studipolitik, yaitu membuat pemisahan antara politik denganadministrasi. Di tahun-tahun berikutnya ilmu administrasidiperkuat dengan berkembangnya konsep-konsepmanajemen, seperti manajemen ilmia dari Taylor (1912),dan organisasi, seperti model organisasi yang disebutbirokrasi dari weber (1922). Namun, dalam kontekspembahasan ini, perhatian utama diberikan padaperkembangan pemikiran menuju kelahiran administrasipembangunan sebagai sebuah konsep.Meskipun telah berkembang sebagai bidang studitersendiri, administrasi negara masih saja menghadapikesulitan untuk memisahkan diri dari ilmu politik. Dalamperkembangannya kemudian, mulai ada usaha untukmenghindari dari dikotomi plotik-administrasi yangmenandai pandangan-pandangan pada priode sebelumnyadan memberikan perhatian lebih besar pada sisimanajemen dari administrasi. Hal ini antara lain dilakukan

Page 11: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

oleh White (1926). Berkat White, pendidikan ilmuadministrasi berkembang lebih cepat, dengan bukunyaIntroduction to be Theory of Public Administration, yangselama setengah abad menjadi buku pelajaran (text book)utama bagi dipsiplin ilmu.Sementara itu, pendekatan scientific yang dirintisoleh Taylor (1912) pada masa sebelumnya dan diperkuatantara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), mulaimemperoleh tandingan dari para teoritis, yang mulaimenerapkan pendekatan hubungan manusia dan ilmu-ilmuprilaku (behavioral sciences) ke dalam teori-teoriadministrasi dan organisasi. Karya Barnard (1938) yangmengemukakan pandangan mengenai adanya organisasiinformal di samping organisasi formal, merupakan contohdan karya monumental yang sampai sekarang menjadibahan rujukan yang penting. Selain itu, Maslow (1943)seorang psikolog, mengetengahkan faktor motivasi dalamorganisasi, yang tidak semata-mata ekonomi, tetapi jugaada sisi-sisi sosial dan kemanusian lainnya, yang sampaisekarang juga masih dijadikan acuan.PD II membawa perubahan yang besar padaadministrasi negara. Program-program sosial yang besardan pengendalian mesin perang pada PD II telahmenampilkan administrasi negara pada tataran yang makinmenonjol. Pemikiran yang lahir setelah PD II, yang besarsekali dampaknya pada perkebangan ilmu administrasi,ada dari Simon (1947). Ia mengetengahkan pandanganyang terus melekat dalam perkembangan ilmu iniselanjutnya, yaitu pada intinya administrasi adalahpengambilan keputusan. Namun, di lain pihak, Simon jugamempertanyakan keabsahan administrasi sebagai ilmuyang berdiri sendiri. Pertanyaan ini memcerminkanberlanjutnya krisis identitas dalam ilmu administrasi, ditengah makin majunya ilmu-ilmu sosial lain, yang ditunjang oleh peralatan analisis yang makin canggih yangmenggunakan pendekatan kuantitatif, khususnyamatematika dan statistika. Kompleksitas kehidupanmanusia serta institusi-institusi kemasyarakatan dankenegaraan menyebabkan universalitas dan kemampuanmeramal ilmu administrasi mulai dipertanyakan. Padahal,keduanya merupakan dasar untuk tegaknya sbuah disiplinilmu.Para pakar administrasi negara berusaha mencarijalan ke luar. Selain harus mengenali kompleksitas prilakumanusia, unutk dapat sah menjadi ilmu, menurut Dahl(1947), administrasi negara harus dapat mengatasipersoalan nilai atau norma dan berbagai situasiadministrasi, dan memperthitungkan hubungan antaraadministrasi negara dengan lingkungan sosialnya. Iamenegaskan bahwa administrasi sebagai ilmu perlumengembangkan studi-studi perbandingan dalamadministrasi negara, yang memang pada waktu itu sangat

Page 12: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

langka sekali.Upaya mengembangkan studi perbandinganadministrasi negara dilakukan dengan sungguh-sungguhantara lain dengan dibentuknya ComperativeAdministration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh parapakar administrasi, seperti Jhon D. Montgomery, WiliamJ. Siffin, Dwight Waldo, Geroge F. Grant, Edward W.Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahirkonsep administrasi pembangunan (developmentadministration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannyadidorong oleh kebutuhan membangun administrasi negaradi negara-negara berkembang.Kritik terhadap prinsip-prinsip administrasi yangberkembang pada masa sebelumnya (pada masa kaumreformis dan ortodoks) terus berlangsung, antara laindatang dari Waldo. Dalam upaya merevitalisasi ilmuadministrasi, ia memprakarsai pertemuan sejumlah pakarmuda ilmu administrasi, unutk mempelajari masalahmasalahkonseptual yang dihadapi ilmu administrasi, danberusaha memecahkannya. Pertemuan itu dikenal dengannama Minnowbrook Conferency yang diselengarakan diuniversitas Syaracuse, Amerika Serikat, tahun 1968.Sementara itu, makin senter suara-suara yang inginmengaitkan administrasi dengan demokrasi, bahkandemokrasi sudah berkembang menjadi paradigmatersendiri dalam ilmu administrasi. Penganjurnya antaralain adalah Ostrom (1973). Perkembang itu jugamelahirkan dorongan untuk menigkatkan desentralisasidan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan yangdisebut administrasi negara baru (new publicadministration) yang sebelumnya lahir di MinnowbrookConferency, yang esensi dan semangatnya masih terusbergerak hingga kini.Pada dasarnya administrasi negara abru itu inginmengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebasnilai dan harus menghayati, memperhatikan, sertamengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkannilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebihtegas lagi menyatakan bahwa administrasi negara harusmemasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (sicialequity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkanmenegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral.Dengan begitu administrasi negara baru harus mengubahpola pikir yang selama ini menghambat terciptanyakeadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itumenggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmuadministrasi.Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemenpublik (public managemant) sebagai bidang studi yang

Page 13: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

makin penting dalam administrasi negara. Manajemenpublik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatianpada masalah anggaran dan personil telah berkembangbersama teknologi informasi. Manajemen publik kini jugamencakup manajemen dalam sistem pengambilankeputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian danpengawasan, serta berbagai aspek lainnya.Selain itu, dunia juga mengalami perubahan besar.Runtuhnya komunisme dan munculnya proses globslisasitelah menimbulkan kebutuhan akan pendekatanpendekatanbaru dalam ilmu-ilmu sosial. Memasuki abadke-21, ilmu-ilmu sosial ditantang, unutk mengikutikemajuan teknologi yang pesat yang dihasilkan ilmu-ilmueksakta, meurmuskan apa dampaknya pada kehidupanmanusia dalam berbagi sisinya, dan bagaimanamengarahkan agar perkembangan itu menuju ke arah yangmenguntungkan bagi umat manusia.Dalam era global ini, persaingan dan kerja samamerupakan tarikan-tarikan besar dalam tata hubungan baruantar manusia dan antar bangsa. Kualitas hidup manusiabaik secara perorangan maupun sebagai masyarakatmendapat perhatian yang lebih besar. Karena keterbatasansumber alam, lingkungan hidup sudah menjadi faktor yangharus diperhitungkan dalam setiap disiplin ilmu. Peranmasyrakat dituntut makin besar, dan oleh karena ituprivatisasi, deragulasi, dan debirokratisasi menjadi polapemikiran dan pembahsan yang amat berkembang,termasuk dalam ilmu administrasi.Pemikiran dalam administrasi yang berkembangkemudian adalah administrasi yang partisipatif, yangmenempatkan administrasi di tengah-tengah masyrakatdan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery,1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkanadministrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencobamenggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkanaspirasi masyrakat bawah. Implikasi lain dari pemikirantersebut adalah bahwa sistem administrasi memilikidimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya jugadipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, danekonomi. Sistem pemerintahan yang otoriter mempuyaiimplikasi berbeda dengan yang demokratik, demikian jugasistem pemerintahan negara federal mempunyai implikasiadministratif yang berbeda dengan negara kesatuan.Kesempatan itu menuntut reorientasi perananpemerintah (baca: birokrasi). Drucker (1989) menegaskanbahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau samabaiknya oleh masyrakat, hendaknay jangan dilakukan olehpemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besaratau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif.Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasitetap diperlukan, tetapi harus tidak birokratis. Osbone dan

Page 14: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembalipemerintah”, dengan mengetengahkan konsep

Perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasiterus berlanjut. Perkembangan yang cukup mendasar telahterjadi dengan munculnay kebijaksanaan publik (publicpolicy) sebagai paradigma administrasi negara. Didalamnya tercakup politik perumusan kebijaksanaan,teknik analisis kebijaksanaan, serta perencanaan,pelaksanaan, dan pengawasan kebijaksanaan.Dari uraian di atas tampak bahwa admisnistrasinegara modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik,terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagaiadministrasi pembangunan) maupun di negara majudengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian jugaterlihat bahwa ada Konvergensi dari pemikiran-pemikiranyang melahirkan berbagai konsep pembangunan denganpendangan-pandangan dalam ilmu administrasi yangmengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspekmanusia serta nilai-nilai kemanusian yang tercemin dalamberbagai pendekatan yang sedang berkembang. Dengandemikian, berkembang pula pikiran-pikiran mengenai etikaadministrasi yang sekarang telah menjadi kajian tersendiridalam ilmu administrasi. Mengingat pentingnya peranetika dalam administrasi pembangunan, perkembanganpemikiran dan kerangka teorinya dibahas tersendiri berikutini.Etika AdministrasiEtika dan AdministrasiDunia etika adalah dunia filsafat, nilai,dan norma.Dunia administrasi adalah dunia keputusan dan tindakan.Etika bersifat abstrak dan berkenan dengan persoalan baikdan buruk, sedangkan administrasi adalah konkrit danharus mewujudkan apa yang diinginkan (get the job done).Pembicaraan tentang etika dalam administrasi adalahbagaimana mengaitkan keduanya, bagaimana gagsangagasanadministrasi--seperti ketertiban,efesiensi,kemanfaatan, produktivitas-dapat menjealaskan etikadalam praktiknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasaretika—mewujudkan yang baik dan menghindari yangburuk dapat menjelaskan hakikat administrasi.Sejak dasawarsa tahun 1970-an, etika administrasitelah menjadi bidang studi yang berkembang pesat dalamilmu administrasi. Nicholas Henry (1995) berpandanganada tiga perkembangan yang mendorong berkembangnyakonsep etika dalam ilmu administrasi, yaitu (1) hilangnyadikotomi politik-administrasi, (2) tampilnya teori-teoripengambilan keputusan di mana masalah prilaku manusiamenjadi tema sentral dibandingkan dengan pendekatansebelumnya, seperti rasionalitas dan efisiensi, (3)berkembangnya pandangan-pandangan pembaharuan, yang

Page 15: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

disebut counterculture critique, termasuk di dalamnyakelompok administrasi negara baru seperti yang telahdikemukakan di atas.

Kajian-kajian mengenai etika administrasi masihberlangsung hingga saat ini, masih belum terkristalisasi.Hal ini mencerminkan uapya untuk menetapkan identitasilmu administrasi, yang sebagai dipsiplin ilmu bersifatelektif dan terkait erat dengan dunia praktik, tidak dapattidak terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.Untuk kepentingan pembahasan di sini diikutijejak Rohr (1989), pakar masalah etika dalam birokrasi,yang menggunakan etika dan moral dalam pengertian yangkurang lebih sama, meskipun untuk kepentinganpembahasan lain, misalnya dari sudut filsafati, memangada perbedaan. Rohr menyatakan: For the most part, Ishaal use the words “ethics” and “morals”interchangeably. Although there may be nuances andshades of meaning that differentiate these words, they arederived etymologically from Latin and Greek words withthe same meaning. Berbagai kepustakaan dan kamusmenunjukkan kata etika berasal dari Yanani ethos yangartinya kebiasaan atau watak; dan moral, dari kata Latinmos (atau mores untuk jamak) yang artinya juga kebiasaanatau cara hidup.Walaupun etika administarasi sebagai subdisiplinbaru berkembang kemudian, namun masalah kebaikan dankeburukan sejak awal telah menjadi bagian daripembahasan dalam administrasi. Misalnya, konsepbirokrasi dari Weber, dengan konsep hirarki dan birokrasisebagai profesi, mencoba menunjukkan birokrasi yangbaik dan benar. Begitu juga upaya Wilson untukmemisahkan politik dari administrasi. Bahkan konsepmanajemen ilmiah dari Taylor dapat dipandang sebagaiupaya ke arah itu. Cooper (1990) justru menyatakan bahwanilai-nilai adalah jiwa dari administrasi negara. SedangkanFrederickson (1994) mengatakan nilai-nilai menempatisetiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo (1948)menyatakan, siapa yang mempelajari administrasi berartitelah mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktikkanadministrasi berarti mempraktikkan alokasi nilai-nilai.Peran etika dalam administrasi mengambil wujudyang lebih terang belakangan ini saja, ya kni kurang lebihdalam dua dasawarsa terakhir ini. Masalah etika initerutama lebih ditampilkan oleh kenyataan bahwameskipun kekuasaan ada di tangan mereka yangmemegang kekuasaan politik (political masters), namunadministrasi juga memiliki kewenangan yang secara umumdisebut discretionary power. Persoalannya sekarang adalahapa jaminan dan bagaimana menjamin kewenangan itudigunakan secara “benar” dan tidak secara “salah” atau

Page 16: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

secara baik dan tidak secara buruk. Banyak pembahasandalam kepustakaan dan kajian subdisiplin etikaadministrasi yang merupakan upaya untuk menjawabpertanyaan itu. Etika tentu bukan hanya masalahadministrasi negara. Ia masalah manusia dan kemanusiaan,dan karena itu sejak lama sudah menjadi bidang studi ilmufalsafat dan juga dipelajari dalam semua bidang ilmusosial. Di bidang administrasi, etika juga tidak terbatashanya pada administrasi negara, tetapi juga dalamadministrasi niaga, yaitu antara lain disebut sebagaibusiness ethics.Di bidang administrasi negara, masalah etikadalam birokrasi menjadi keprihatinan (concern) yangsangat besar, karena perilaku birokrasi mempengaruhibukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu,birokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karenaseorang birokrat bekerja untuk negara dan berarti jugauntuk rakyat. Wajarlah apabila rakyat mengharapkanadanya jaminan bahwa para birokrat yang dibiayanyaharus mengabdi kepada kepentingan umum menurutstandar etika yang selaras dengan kedudukannya.Selain itu, tumbuh pula keprihatinan bukan sajaterhadap individu – individu para birokrat tetapi terhadaporganisasi sebagai sebuah sistem yang cenderungmengesampingkan nilai – nilai. Apalagi birokrasi moderncenderung bertambah besar dan bertambah luaskewenangannya. Appleby (1952) termasuk orang yangpaling berpengaruh dalam studi masalah ini. Ia mencobamengaitkan nilai – nilai demokrasi dengan birokrasi danmelihat besarnya kemungkinan untuk memadukannyasecara serasi. Namun, Appleby mengakui bahwa dalampraktiknya yang terjadi adalah kebalikannya. Ia membahaspatologi birokrasi yang memperlihatkan bahwa birokrasimelenceng dari keadaan yang seharusnya. Golembiewski(1989, 1993) yang juga merujuk pada pandangan Appleby,selanjutnya mengatakan bahwa selama ini organisasi selaludilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral,sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanyabirokrasi pemerintah. Hummel (1977, 1982, 1987)mengritik birokrasi rasional ala Weber dengan mengatakanbahwa birokrasi yang disebut sebagai bentuk organisasiyang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnyadengan ketiadaan norma – norma, nilai – nilai dan etikadan masyarakatnya dengan ketiadaan norma – norma, nilai– nilai, dan etika yang berpusat pada manusia. SementaraHart (1994) antara lain mengungkapkannya sebagaiberikut : … For too long, the management orthodoxy hastaken as axiomatic the proposition that “good systems willproduce good people,” and that ethical problems will yieldto better systems design. But history is clear that a justsociety depends more upon the moral trustworhiness of its

Page 17: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

citizens and its leaders than upon structures designed totransform ignoble actions into socially useful results.Systems are importany, but good character is moreimportant. As a result, management scholars andpractitioners are giving increasing attention toadministrative ethics…

PendekatanSecara garis besar ada dua pendekatan yang dapatdiketengahkan untuk mewakili banyak pandanganmengenai administrasi negara yang berkaitan dengan etika,yaitu (1) pendekatan teleologi, dan (2) pendekatandeontologi.Pertama, pendekatan teleologi. Pendekatanteleologi terhadap etika administrasi berpangkal tolakbahwa apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnyadilakukan oleh administrasi, acuan utamanya adalah nilaikemanfaatan yang akan diperoleh atau dihasilkan, yaknibaik atau buruk dilihat dari konsekuensi keputusan atautindakan yang diambil. Dalam konteks administrasinegara, pendekatan teleologi mengenai baik dan buruk ini,diukur antara lain dari pencapaian sasaran kebijaksanaan –kebijaksanaan – kebijaksanaan publik (sepertipertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatanuntuk mengikuti pendidikan, kualitas lingkungan),pemenuhan pilihan – pilihan masyarakat atau perwujudankekuasaan organisasi, bahkan kekuasaan perorangan kalauitu menjadi tujuan administrasi.Pendekatan ini terdiri atas berbagai kategori, tetapiada dua yang utama. Pertama adalah ethical egoism, yangberupaya mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Yangamat dikenal disini adalah Niccolo Machaveavelli, seorangbirokrat di Itali pada abad ke-15, yang menganjurkanbahwa kekuasaan dan survival pribadi adalah tujuan yangbenar untuk seorang administrator pemerintah. Keduaadalah utilitarianism, yang pangkal tolaknya adalah prinsipkefaedahan (utility), yaitu mengupayakan yang terbaikuntuk sebanyak – banyaknya orang. Prinsip ini sudahberakar sejak lama, terutama pada pandangan – pandanganabad ke-19, antara lain dari Jeremy Bentham dan JohnStuart Mills. Namun, di antara keduanya yaitu egoism danutilitarianism, tidak terdapat jurang pemisah yang tajamkarena merupakan suatu kontinuum, yang di antaranyadapat ditempatkan, misalnya, pandangan Weber bahwaseorang birokrat sesungguhnya bekerja untuk kepentingandirinya sendiri pada waktu ia melaksanakan perintahatasanya, yang oleh Chandler (1994) disebut sebagai adisguise act of ego.Namun, dapat diperkirakan bahwa dalam masamodern dan pasca modern ini pandangan utilitarianismdari kelompok pendakatan teleologis ini memperoleh lebih

Page 18: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

banyak perhatian. Dalam pandangan ini yang amat pokokadalah bukan memperhatikan nilai – nilai moral, tetapikonsekuensi dari keputusan dan tindakan administrasi itubagi masyarakat. Kepentingan umum (public interest)merupakan ukuran penting menurut pendekatan ini. Disiniditemui berbagai masalah, antara lain :(1) Siapa yang menentukan apakah sesuatusasaran, ukuran atau hasil yang dikehendaki didasarkankepentingan umum, dan bukan kepentingan si pengambilkeputusan, atau kelompoknya, atau kelompok yang ingindiuntungkan.(2) Di mana batas antara hak perorangan dengankepentingan umum. Jika kepentingan umummencerminkan dengan mudah kepentingan individu, makamasalahnya sederhana. Namun, jika ada perbedaan tajamantara keduanya, maka akan timbul masalah yang lebihrumit.(3) Bagaimana membuat perhitungan yang tepatbahwa langkah – langkah yang dilakukan akanmenguntungkan kepentingan umum dan tidak merugikan.Hal ini penting karena kekuatan dari pendekatan(utilitarianism) ini adalah bahwa karena kekuatan daripendekatan manfaat yang sebesar – besarnya dan kerugianyang sekecil – kecilnya, untuk kepentingan masyarakatsecara keseluruhan. Atau dengan kata lain efisiensi.Salah satu jawaban yang juga berkembang adalahapa yang disebut pilihan (public choice) suatu teori yangberkembang atas dasar prinsip – prinsip ekonomi.Pandangan ini berpangkal pada pilihan – pilihanperorangan (individual choices) sebagai basis dari langkah– langkah politik dan administratif. Memaksimalkanpilihan – pilihan individu merupakan pandangan teleologisyang paling pokok dengan mengurangi sekecil mungkinbiaya atau beban dari tindakan kolektif terhadap individu.Konsep ini berkaitan erat dengan prinsip – prinsipekonomi pasar dan partisipasi masyarakat dalampengambilan keputusan. Dengan sendirinya akan adakonflik dalam pilihan – pilihan tersebut, dan bagaimanamengelola konflik – konflik itu merupakan tantanganpokok bagi administrasi dalam merancang dan mengelolabadan – badan dan program – program publik.Tidak semua pihak merasa puas denganpendekatan – pendekatan tersebut. Munculnya pandangan– pandangan mengenai etika administrasi menjelang akhirabad ke 20 ini justru berkaitan erat dengan upayamenundukkan etika atau moral sebagai prinsip utama(guiding principles) dalam administrasi. Hal ini merupakantema dari pendekatan yang kedua, yaitu pendekatandeontologi.Pendekatan ini berdasar pada prinsip – prinsipmoral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada

Page 19: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

dalam dirinya, dan tidak terkait dengan akibat ataukonsekuensi dari keputusan atau tindakan yang dilakukan.Asasnya adalah bahwa proses administrasi harusberlandaskan pada nilai – nilai moral yang mengikat.Pendekatan inipun, tidak hanya satu garisnya. Yang amatmendasar adalah pandangan yang bersumber pada falsafahImmanuel Kant (1724-1809), yaitu bahwa moral adalahimperatif dan kategoris, yang tidak membenarkanpelanggaran atasnya untuk tujuan apapin, meskipun karenaitu masyarakat dirugikan atau jatuh korban.

Berbeda dengan pandangan Kantian tersebut,adapula pandangan relativisme dalam moral dankebudayaan, yang menolak kekuatan dan absolutismedalam memberi nilai pada moral. Menurut pandangan inisuatu peradaban atau kebudayaan akan menghasilkansistem nilainya sendiri yang dapat tapi tidak harus selalusama dengan peradaban atau kebudayaan lain. Dari pokokpikiran tersebut berkembang pandangan – pandangan yangdisebut situalionism yang bertentangan dengan pahamuniversalism. Situation ethics ini intinya adalah bahwadeterminan dari moralitas yang ditetapkan senantiasaterkait dengan situasi tertentu.Dalam dunia praktik, yang menjadi duaadministrasi, masukkan nilai – nilai moral ke dalamadministrasi meruapakan upaya yang tidak mudah, karenaharus mengubah pola pikir yang sudah lama menjiwaiadministrasi, seperti yang dicerminkan oleh pahamutilitarianism. Oleh karena memang per definisiadministrasi adalah usaha bersama untuk mencapai suatutujuan, maka pencapaian tujuan itu merupakan nilai utamadalam administrasi selama ini.Selanjutnya, Fox (1994) mengetengahkan tigapandangan yang menggambarkan pendekatan deontologidalam etika administrasi ini. Pertama, pandanganmengenai keadilan sosial, yang muncul bersamaberkembang konsep administrasi negara baru (antara lainFrederickson dan Hart, 1985). Seperti telah diungkapkandi atas, menurut pandangan ini administrasi negaraharuslah secara pro-aktif mendorong terciptanyapemerataan atau keadilan sosial (Social equity).Pandangan ini tidak lepas dari pengaruh John Rawls(1971), dengan Theory of Justice-nya yang menjadirujukan dari berbagai teori pemerataan dan keadilan sosial.Mereka melihat bahwa masalah yang dihadapi olehadministrasi negara modern adalah adanyaketidakseimbangan dalam kesempatan. Sehingga merekayang kaya, memiliki pengetahuan, dan terorganisasidengan baik memperoleh posisi yang senantiasamenguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan,secara etika, administrasi harus membantu yang miskin,

Page 20: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

yang kurang memiliki pengetahuan dan tidak terorganisasi.Pandangan ini cukup berkembang meskipun diduniaakademik banyak juga yang mengkritiknya. Kedua, apayang disebut regime values atau regime norms. Pandanganini bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwaetika administrasi negara harus mengacu kepada nilainilaiyang melandasi keberadaan negara yangbersangkutan. Dalam hal ini ia merujuk pada konstitusiAmerika yang harus menjadi landasan etika administrasidinegara itu. Ketiga, tatanan moral universal atauuniversal moral order (antara lain Denhardt, 1988, 1994).Pandangan ini berpendapat ada nilai-nilai moral yangbersifat universal yang menjadi pegangan bagiadministrator publik. Masalah disini adalah nilai-nilaimoral itu sendiri banyak dipertanyakan karena beragamsumbernya dan juga beragam kebudayaan sertaperadabannya seperti telah diuraikan diatas.Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyakkepustakaan etika administrasi yang membahas danmengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika iniberbicara mengenai karakter yang dikehendaki dariseorang administrator. Konsep ini merupakan koreksiterhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalamadministrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules),yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsifungsiserta prosedur, termasuk sistem insentif dandisinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.Pandangan etika kebajikan bertumpu padakarakter individu. Pandangan ini, seperti juga pandanganadministrasi negara baru, bersumber dari konferensiMinnowbrook di New York pada akhir dasawarsa 1960-an, yang ingin memperbaharui dan merevitalisasi bidangstudi administrasi negara. Nilai-nilai kebajikan inilah yangdiharapkan dapat mengendalikan peran seseorang di dalamorganisai sehingga pencapaian tujuan organisasi senantiasaberlandaskan nilai-nilai moral yang sesuai denganmartabat kemanusiaan.Tantangan selanjutnya adalah menemukan apasaja nilai-nilai kebajikan itu, atau lebih tepatnya lagi nilainilaimana yang pokok (cardinal value), dan mana yangmenjadi turunan (derivative) dari nilai-nilai pokok itu.Frankena (1973) misalnya mengatakan many moralists,among them schopenbouer, have taken benevolence andjustice to be the cardinal moral virtues, as I WOULD . Itseems to me that all of the usual virtues (such as love,courage, temperance, honesty, gratitude, andconsiderateness), at least insofar as they are moral virtues,can be derived from these two. Hart mengatakan bahwakebajikan utama itu adalah eudaimonia dan benevolence.Yang dimaksud dengan eudaimonia menurut Hart adalahkonsep bahwa all individuals are born with uniquepotentialities and the purpose of life is to actualize them in

Page 21: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

the world. These potentialities involve, first, moral virtuesand, second, our unique individual talents. With respect tomorality, eudaimonia cannot involve harming either self orothers, as the prefix”eu”, or “good”, makes clear.Sedangkan benevolence diartikannya sebagai the love ofother.Selanjutnya administrator yang baik (virtuousadministrator) adalah yang berusaha, seperti dikatakanHart (1994), agar kebajikan menjadi sentral dalamkarakternya sendiri, yang akan membimbing perilakunyadalam organisasi. Tidak berhenti disitu saja, administratoryang baik berkewajiban moral untuk mengupayakan agarkebajikan juga menjadi karakter mereka yang bekerjadibawahnya. Namun, dinyatakannya pula bahwa kebajikantidak bisa dipaksakan kepada yang lain karena kebajikanberasal dari diri masing – masing individu (voluntaryobservance). Ia menekankan bahwa virtue does not yieldto social engineering. Disini Hart mengetengahkanpentingnya pendidikan kebajikan sejak dini, sertadilancarkannya kebijaksanaan program, praktik – praktikyang mendorong berkembangnya nilai – nilai kebajikandalam organisasi. Akhirnya, yang teramat penting adalahketeladanan. Ia sendiri mengakui tidak ada orang yangdapat mencapai tingkat kebajikan ideal, karena itu dalametika kebajikan yang penting adalah proses untukmenginternalisasikannya dibandingkan dengan hasilnya.Etika Perorangan dan Etika OrganisasiDalam membahas etika dalam organisasi,sejumlah pakar membedakan antara etika perorangan(personal ethics) dan etika organisasi. Etika peroranganmenentukan baik atau buruk perilaku individual seseorangdalam hubungannya dengan orang lain dalam organisasi.Etika organisasi menetapkan parameter dan merincikewajiban – kewajiban (obligations) organisasi, sertamenggariskan konteks tempat keputusan – keputusan etikaperorangan itu dibentuk (Vasu, Stewart dan Garson, 1990).Menjadi tugas para pengkaji organisasi untuk memahamilebih dalam hakikat etika perorangan dan etika organisasiserta interaksinya.Nilai – nilai kebajikan yang diuraikan diatasadalah etika perorangan yang harus dimiliki siapa saja,bahkan dalam pandangan ilmu administrasi, justru harusdimiliki oleh mereka yang menjadi pengabdi masyarakat(public servants).Dalam menganalisis etika perorangan dari kacamata ilmu administrasi, Rohr (1983) membaginya dalamkelompok metaetika (studi mengenai dasar – dasar ini iamemasukkan etika profesional. Etika profesional lebihsempit dibandingkan dengan etika profesional. Etikaprofesional lebih sempit dibandingkan dengan etikaperorangan yang berlaku untuk semua itu. Etika

Page 22: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

profesional berkaitan dengan pekerjaan seseorang. Olehkarena itu, etika profesional berlaku dalam suatu kerangkayang diterima oleh semua yang secara hukum atau secaramoral mengikat mereka dalam kelompok profesio yangbersangkutan. Etika profesional pada profesi tertentudilembagakan dalam kode etik. Misalnya, kode etik untukdokter, hakim, pengacara, wartawan, arsitek, pegawainegeri, periklanan, dan sebagainya. Kode etik itu ada yangdiperkuat oleh sistem hukum, atau mengikat secara sosialdan kultural, sehingga mengikat secara moral.Administrasi PembangunanSetelah membahas berbagai pengertian dasar danperkembangan pemikiran dalam konsep pembangunan danadministrasi dapatlah kiranya diperoleh pemahaman yanglebih jelas mengenaiAdministrasi pembangunan berkembang karenaadanya kebutuhan di negara – negara yang sedangmembangun untuk mengembangkan lembaga – lembagadan pranata – pranata sosial, politik, dan ekonominya, agarpembangunan dapat berhasil. Dari sudut praktik, danekonominya, agar pembangunan merangkum dua kegiatanbesar dalam satu kesatuan pengertian, yakni administrasidan pembangunan. Perkembangan administrasipembangunan, baik dalam tataran teoritik maupun dalampraktik, mengikuti perkembangan pemikiran studiadministrasi, khususnya administrasi negara dan studipembangunan. Oleh karena itu, upaya untuk memahamiadministrasi pembangunan perlu dimulai denganpemahaman mengenai administrasi dan pembangunan,sebagaimana telah diupayakan pada awal bab ini.Sebagai bidang studi, administrasi pembangunanberkembang dari studi administrasi perbandingan(comparative administration), yang merupakan upayauntuk menyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untukmenyegarkan kembali ilmu administrasi, dan untukmenyempurnakan sistem administrasi di negara – negaratersebut. Perkembangan ilmu administrasi pembangunandidorong oleh lembaga internasional terutama PerserikatanBangsa – Bangsa dan badan – badannya, serta badan –badan pemerintah di negara maju, yang berupayamembantu negara – negara berkembang dalampembangunannya.Administrasi pembangunan bersumber dariadministrasi negara. Dengan demikian, kaidah – kaidahumum administrasi negara berlaku pula pada administrasipembngunan. Namun administrasi pembangunan memberiperhatian lebih luas daripada hanya membahaspenyelenggaraan administrasi pemerintahan dalampengertian umum, seperti memelihara keamanan, hukumdan ketertiban, mengumpulkan pajak, memberikanpelayanan publik, dan menyelenggarakan hubungandengan negara lain. Administrasi pembangunan bersifat

Page 23: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

dinamis dan inovatif, karena menyangkut upayamengandalkan perubahan – perubahan sosial. Dalamupaya itu administrasi pembangunan sangatberkepentingan dan terlibat dalam pengerahan sumberdaya dan pengalokasiannya untuk kegiatan pembangunan(Katz, 1971).Perbedaan tersebut kini tidak terlalu tajam lagikarena pada dasarnya administrasi negara modern jugamenghendaki perubahan dalam dirinya dan inginmemprakarsai pembaharuan lingkungan sosialnya, sepertitercermin dalam paradigma administrasi negara baru.Perbedaannya mungkin terletak pada di manaditerapkannya konsep itu. Administrasi pembangunanadalah untuk negara berkembang, dan umumnya tidakditerapkan di negara maju, meskipun administrasi negaradi negara maju juga secara aktif terlibat dalam upayamemperbaiki diri dan kehidupan masyarakatnya. Dengan hakikat administrasi pembangunandemikian, latar belakang perbedaan antara keduanyaterletak pada dua aspek : (1) tingkat perkembangan sosialekonomi dan sosial politik sebagai ukuran kemajuan; dan(2) lingkungan budaya yang mempengaruhi perkembangansistem nilai serta penerapan sasaran – sasaranpembangunan.Di negara maju, peranan pemerintah relatif kecil,karena insitusi – institusi masyarakat telah berkembangmaju. Bahkan pemerintah yang kecil dans edikitketerlibatannya lebih dikehendaki. Sebaliknya, di negaraberkembang, dengan segala kekurangannya, pemerintahadalah institusi yang paling maju. Oleh karena itu,tanggung jawab pembangunan terutama berada di pundakpemerintah (administrasi negara). Institusi lain, sepertiusaha swasta, pada umumnya belum berkembang.Dengan demikian, adanya sistem administrasinegara yang mampu menyelenggarakan pembangunanmenjadi prasyaratan bagi berhasilnya pembangunan. Dilain pihak, sistem pemerintahan di negara – negaraberkembang pada awal kemerdekaanya, umumnyamempunyai ciri – ciri sebagai berikut :Pertama, kelembagaannya mewarisi sistemadministrasi kolonial yang sangat terbatas cakupannya,karena tujuan pemerintahan kolonial bukan memajukanbangsa jajahan, tetapi mengeksploitasinya. Kedua, sumberdaya manusianya terbatas dalam kualitas. Jabatan banyakdiisi oleh orang – orang yang tidak memenuhi persyaratanyang dibutuhkan untuk jabatan itu. Ketiga, kegiatan sistempemerintahan terutama untuk menyelenggarakan fungsi –fungsi pemerintahan yang bersifat umum atau rutin, dantidak berorientasi kepada pembangunan.Membangun sistem administrasi tradisionalmenjadi sistem administrasi modern yang mampumenyelenggarakan pembangunan merupakans alah satu

Page 24: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

tujuan administrasi pembangunan. Berbagai ahlimemberikan berbagai batasan dan pengertian mengenaiadministrasi pembangunan. Pada dasarnya,a dministrasipembangunan adalah bidang studi yang mempelajarisistem administrasi negara di negara yang sedangmembangun serta upaya untuk meningkatkankemampuannya. Ini berarti dalam studi dan praktikadministrasi pembangunan diperlukan adanya perhatiandan komitmen terhadap bilai – nilai yang mendasari danperlu diwujudkan menjadid asar etika birokrasi.Dengan demikian ada dua sisi dalam batasanpengertian administrasi pembangunan tersebut. Pada sisipertama tercakup upaya untuk mengenali perananadministrasi negara dalam pembangunan, atau dengan katalain administrasi dari proses pembangunan, yangmemebdakannya dengan administrasi negara dalampengertian umum. Pada sisi kedua tercakup kehendakuntuk mempelajari dengan cara bagaimana membangunadministrasi negara dan tugas pembangunan. Namun, takkurang pentingnya adalah perhatian dan komitmenterhadap kepentingan publik yang dapat menjadi ukuranbagi kredibilitas dan akuntabilitasnya.Kedua sisi administrasi pembangunan tersebutakan dibahas lebih lanjut dalam bab – bab berikutnya.Namun sebelum sampai kepada pembahasan lebih lanjutperlu kiranya diketengahkan dua aspek penting dalamadministrasi pembangunan, yaitu aspek atau dimensi ruang(spatial dimension of development administration) dankebijaksanaan publik.Dimensi Spesial dalam Administrasi PembangunanPembangunan suatu abngsa yang jumlahpenduduknya besar dan wilayahnya luas pada dasarnyadilakukan melalui tiga pendekatan yakni pembangunanmakro, sektoral dan regional. Pembangunan makromencakup sasaran – sasaran dan upaya – upaya padalingkup nasional, yang pencapaiannya merupakan hasildari upaya – upaya pada tingkat sektoral dan regional(Kartasasmita, 1996d). Ketiga pendekatan tersebutmempunyai implikasi administratif yang berbeda, sesuailingkup dan kewenangan amsing – masing dalam rangkapenyelenggaraan negara dan pembangunan. Dari sisi inilahdimensi ruang dan daerah menajdi penting artinya dalamadministrasi pembangunan dan administrasi pembangunandaerah menjadi penting dalam rangka pembangunannasional.Pertimbangan dimensi ruang dan daerah dalamadministrasi pembangunan memiliki cara pandang ataupendekatan (Heaphy, 1971). Cara pandang pertamamenyebutkan bahwa dimensi ruang dan daerah dalamperencanaan pembangunan adalah perencanaanpembangunan bai suatu kota, daerah, ataupun wilayah.

Page 25: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Pendekatan ini memandang kota, daerah, atau wilayahsebagi suatu maujud (entity) bebas yangpengembangannya tidak terikat dgh kota, daerah, atauwilayah lain,s ehingga penekanan perencaanaanyamengikuti pola yang lepas dan mandiri (independent).Cara pandang kedua melihat bahwa pembangunan didaerah merupakan bagian dari pembangunan nasional.Perencanaan pembangunan daerah, dalam pednekatan inimerupakan pola perencanaan pada suatu jurisdiksi ruangatau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagiandari pola perencanaan pembangunan nasional. Yang ketigaadalah cara pandang yang melihat bahwa perencanaanpembangunan daerah adalah instrumen bagi penentuanalokasi sumber daya pembangunan dan lokasi kegiatan didaerah yang telah direncanakan secara terpusat yangberguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomiantar daerah.Kebijaksanaan yang menyangkut dimensi ruangdalam administrasi pembangunan dipengaruhi oleh banyakfaktor, disamping sistem pemerintahan, politik, danekonomi sebagaimana disebutkan diatas, juga olehpandangan eideologi, kemampuan sumber daya manusiadid aerah, pengelompokan wilayah, perubahan sosial, danlain sebagainya. Implikasi aspek ruang yang meliputitingkat pembangunan daerah, lokasi, mobilitas pendudukdan penyebarannya, serta budaya daerah, memilikihubungan dan keterkaitan yang sangat erat denganpembangunan ekonomi. Untuk itu, administrasipembangunan, dalam kaitannuya dengan dimensi ruangdan daerah harus dapat mencari jawaban tentangbagaimana pembangunan dapat tetap menjaga kesaruandan persatuan, tetapi dengan memberikan kewenangan dantanggung jawab yang cukup pada daerah danmasyarakatnya.Ada beberapa aspek dari dimensi ruang dand aerahyang berkaitan dengan administrasi pembangunan daerah.Aspek pertama adalah regionalisasi atau perwilayahan.Regionalisasi, sebagai bagian dari upaya mengatasi aspekruang dalam pembangunan, memberikan keuntungandalam mempertajam fokus dalam lingkup ruang yang jauhlebih kecil dalam suatu negara. Tidak ada rumusan bakudan pasti yang dapat digunakan dalam pengelompokanatau penggolongan suatu wilayah. Namun, wilayah disiniumumnya dimaksudkan sebagai suatu wujud (entity)politik dan pemerintahan,a rtinya unit – unit wilayahpemerintah sesuai dengan tingkatannya, baik bersifatotonom atau administratif. Unit – unit wilayah dapatdibentuk karena alasan historis, geografis, kondisiekonomi[, atau latar belakang sosial budaya (Kartasasmita,1996d). aspek kedua, yaitu ruang, akan tercermin dalampenataan ruang. Tata ruang pada hakikatnya merupakanlingkungan fisik yang mempunyai hubungan organisatoris

Page 26: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

/ fungsional antara berbagai macam obyek dan manusiayang terpisah dalam ruang – ruang (Rapoport, 1980). Didalam tata ruang terdapat suatu distribusi dari tindakanmanusia dan kegiatannya untuk mencapai tujuansebagaimana dirumuskan sebelumnya. Tata ruang dalamhal ini, menurut Wetzing (1978), merupakan jabataran darisuatu produk perencanaan fisik, konsepsi tata rung initidak hanya menyangkut suatu wawasan yang disebutwawasan spesial, tetapi menyangkut pula aspek – aspeknon spasial atau a-spasial (Foley, 1970). Hal ini didasarkanpada kenyataan bahwa struktur fisiks angat ditentukan dandipengaruhi oleh faktor – faktor nonfisik seperti organisasifungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupankomunitas (Porteous, 1981).Penataan ruang secara umum memiliki pengertiansebagai suatu proses yang meliputi proses perencanaan,pelaksanaan atau pemanfaatan tata ruang, danpengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yangterkait satu dengan lainnya. Berdasarkan konsepsi ini,penataan ruang dapat disebutkan secara lebih spesifiksebagai upaya mewujudkan tata ruang yang terencana,dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam,lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antarlingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, sertapembinaan kemampuan kelembagaan dan sumber dayamanusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkanpada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar– besarnya kemakmuran rakyat, memelihara lingkunganhidup, dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanankeamanan. Jadi, dalam konteks ini, pengelolaan ruangdalam dimensi administratif adalah upayamengoptimasikan sumber daya untuk pembangunan(Kartasasmita, 1995d).Aspek ketiga adalah otonomi daerah. Amsyarakatdalam suatu negara tidak hanya tinggal dan berada di pusatpemerintahan, tetapi juga di tempat – tempat yang jauh danterpencil dari pusat pemerintahan. Jika kewenangan danpenguasaan pusat atas sumber daya menjadi terlalu besar,maka akan timbul konflik atas penguasaan sumber –sumber daya tersebut. Untuk menjaga agar konflik tersebuttidak terjadi dan meletakkan kewenangan pada masyarakatdalam menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsipkedaulatan rakyat maka diterapkan prinsip ekonomi.Melalui otonomi diharapkan upaya meningkatkankesejahteraan masyarakat did aerah menjadi lebih efektif.Dimensi administratif yang berkaitan denganotonomi adalah sentralisasi. Desentralisasi pada dasarnyaadalah penataan mekanisme pengelolaan kebiajaksanaandengan kewenangan yang lebih besar diberikan kepadadaerah agar penyelenggaraan pemerintahan danpelaksanaan pembangunan menjadi lebih efektif dan

Page 27: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

efisien. Desentralisasi dierminkan oleh pendelegasianpenyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunankepada pemerintah daerah dan hak untuk menguruskeperluannya sendiri. Selain memberikan hak – hakkepada daerah, desentralisasi juga menerima kewajiban –kewajiban. Kedua aspek ini harus dapat diserasikan, danuntuk itu administrasi pembangunan berperan dalammenjembatani kebijaksanaan dan strategi nasional denganupaya – upaya pembangunan yang diselenggarakan didaerah.Aspek keempat adalah partisipasi masyarakatdalam pembangunan. Salah satu karakteristik atau cirisistem administrasi modern adalah bahwa pengambilankeputusan dilakukan sedapat – dapatnya pada tingkat yangpaling bawah (grass-root level). Dalam hal ini masyarakat,bersama – sama dengan aparatur pemerintah, menjadistakeholder dalam perumusan, implementasi, dan evaluasidaris etiap upaya pembangunan. Dengan meningkatnyapendidikan, masyarakat akan menjadi semakin terbuka,semakin maju dan modern. Dalam kondisi seeprti ini,masyarakat tidak akan puas dengan hanya mendegar danmelaksanakan petunjuk, tetapi juga ingin ikutberpartisipasi dalam pembangunan dan menentukan nasibmereka sendiri. Pembangunan yang memberi kesempatandan bertumpu pada masyarakat telah menjadi paradigmapembangunan yang memang relatif baru, namun sekarangberkembang dan dianut oleh para pakar seperti terungkatdalam banyak kepustakaan mengenai studi pembangunan(Kartasasmita, 1996b).Aspek kelima, sebagai implikasi dari dimensiadministrasi dalam pembangunan daerah yang dikaitkandengan kemajemukan adalah dimungkinkannya keragamandalam kebijaksanaan (policy diversity). Dari segiperencanaan pembangunan harus dipahami bahwa satudaerah berbeda dengan daerah lainnya. Tak ada satu pundaerah yang memiliki karakteristik yang sama, baik daripotensi ekonomi, sumber daya manusia, maupunkelembagaan masyarakatnya. Disamping itu, premisbahwa pemerintahan di daerah lebih mengetahuipermasalahan daerahnya semakin menguat. Dalamkerangka ini, kebijaksanaan yang bersifat nasional harusluwes (flexible), agar aparat pemerintah dibawahnya dapatmengembangkan dan memodifikasi kebijaksanaan tersebutsesuai dengan kondisi masing – masing wilayah (Heaphy,1971). Untuk itu, kebijaksanaan nasional harus memahamikarakteristik daerah dalam mempertimbangkan potensipembangunan di daerah terutama dalam kebijaksanaaninvestasi sarana dan prasarana guna merangsangberkembangnya kegiatan ekonomi daerah.Kebijaksanaan Publik dalam AdministrasiPembangunan

Page 28: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Kebijaksanaan publik (public policy) merupakanbidang kajian yang berkembang pesat pada dasawarsa(1980-an. Bidang kajian ini, yang oleh banyak ahlidipandang sebagai suatu subdisiplin atau sub-field,menjadi bidang kajian ilmu administrasi dan ilmu politik,bahkan oleh Henry (1995) diidentifikasi sebagai berada diantara (twilight zone) kedua disiplin ilmu itu. Ilmuekonomi, khususnya ekonomi politik juga mempunyaikontribusi yang kuat pada studi kebijaksanaan.Kebijaksanaan atau policy berkembang sebagaibidang studi multidisiplin, sehingga sering disebut sebagaipolicy sciences. Sebagai suatu bidang studi, kebijaksanaanpublik relatif masih baru, tetapi telah menarik banyakperahtian dan menjadi kajian dalam berbagai disiplin ilmusosial. Analisis kebijaksanaan (policy) analysis) selainmerupakan metode untuk memahami apa dan bagaimanakebijaksanaan terjadi, juga menyediakan alat yangbermanfaat bagi para praktisi yang terlibat dalam proseskebijaksanaan.PengertianBanyak pengertian diberikan kepadakebijaksanaan publik. Dilihat dari berbagai disiplin dapatmuncul berbagai pengertian. Di antaranya dikemukakanoleh Dye (1995), Eulau dan Prewitt (1973) dan Peters(1993). Menurut Dye (1995) kebijaksanaan publik adalahapa saja yang dilakukan dan tidak dilakukan olehpemerintah. Dalam kaitan ini, kebijaksanaan merupakanupaya untuk memahami dan mengartikan (1) apa yangdilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintahmengenai suatu masalah, (2) apa yang menyebabkan atauyang mempengaruhinya, (3) apa pengaruh dan dampakdari kebijaksanaan publik tersebut. Eulau dan Prewitt(1973) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai sebuah“ketetapan yang berlaku” yang dicirikan oleh perilakuyang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnyamaupun yang menaatinya. Sedangkan Peters (1993)mengartikan kebijaksanaan publik sebagai total kegiatanpemerintah, baik yang dilakukan langsung atau melaluipihak lain, yang berpengaruh pada kehidupan penduduk dinegara itu.Analisis kebijaksanaan adalah upayamenghasilkan dan mentransformasikan informasi yangdibutuhkan untuk suatu kebijaksanaan, denganmenggunakan berbagai metode penelitian dan pembahasandalam suatu kondisi tertentu untuk menyelesaikan masalah(Dunn, 1981). Analisis kebijaksanaan publik dengandemikian lebih banyak memberi perhatian kepada teknikyang dapat digunakan untuk menganalisis danmengevaluasi kebijaksanaan, dalam kaitannya denganmasukan (input), keluaran (outpuT0, hasil, pengorbanan,dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijaksanaan

Page 29: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

publik (Waldo, 1992), dan bukan pada substansi darikebijaksanaan itu sendiri.Oleh karena itu, banyak yang menganggap bahwakebijaksanaan publik lebih dekat kepada administrasinegara dibandingkan dengan ilmu politik. Bahlan Eulaumenyatakan bahwa studi kebijaksanaan sebenarnyahanyalah “administrasi negara lama dalam baju yangdiperbaharui” (dalam Goodin, 1982). Henry menunjukkanbahwa kebijaksanaan publik dari segi politik lebih banyakmemberikan perhatian kepada substansi (substantivebranch) dibandingkan dengan administrasi negara yanglebih memperhatikan masalah – masalah perancangan,pilihan, pelaksanaan, evaluasi, efisiensi, efektivitas,produktivitas, dan hal – hal lain yang tidak berkenaandengan isi dari kebijaksanaan itu sendiri (theoriticalbranch). Meskipun sebenarnya ilmu politik pun mengkajikebijaksanaan publik sebagai analisis yang bersifatdeskriptif dengan membedakannya dengan substansi yangdisebutnya policy advocacy yang bersifat preskriptif.Policy analysis mempersoalkan mengapa, sedangkanpolicy advocacy mempersoalkan apa yang harus dilakukanpemerintah (Dye, 1995). Namun, asumsi yang mendasaradalah bahwa dengan mengetahui berbagai daya(kekuatan) yang membentuk kebijaksanaan dandampaknya, maka kebijaksanaan yang diambil akan lebihbaik, dalama rti bisa menghasilkan apa yang dikehendakidengan kebijaksanaan tersebut secara lebih tepat, efisien,dan efektif.

Berbagai pandangan tersebut dikemukakan untuklebih memperjelas bahwa bidang studi ini berada di antarakedua disiplin yang besar itu, bahkan juga diliput secarakuat oleh ilmu ekonomi. Ekonomi politik, dan ekonomiperencanaan, merupakan kajian ekonomi atas tindakan –tindakan atau kebijaksanaan pemerintah dalammempengaruhi jalannya perekonomian. Dalam kaitan inipilihan masyarakat (public choice) merupakan telaah yangpenting dalam ekonomi, supaya pilihan yang ditetapkan(sebagai kebijaksanaan) benar – benar mencerminkanpilihan masyarakat. Yang diupayakan adalah kondisipareto Optimum, yaitu keadaan di mana perbaikanekonomi untuk menguntungkan seseorang tidak dapatdilakukan tanpa merugikan orang lain, karena keadaannyasudah optimal.Namun, bagaimana pun juga kebijaksanaan publikmerupakan bidang kajian yang makin penting dalamadministrasi negara, bahkan oleh Golembiewski (1977)dianggap sebagai menandai fase perkembangannya yangpaling mutakhir. Semua administrasi negara berdiri netraldalam kebijaksanaan publik, yang dianggap sebagai urusandisiplin ilmu lain. Namun, dengan berkembangnya studi

Page 30: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

mengenai analisis kebijaksanaan dan proses kebijaksanaanitu sendiri, maka peranan administrasi negara telahdireevaluasi dalam kaitannya dengan kebijaksanaan publik(Rosenbloom et al, 1994). Caiden (1991).Memformulasikan bahwa kebijaksanaan publik produkadministrasi negara sebagai alat untuk mempengaruhikinerja pemerintah dalam mengemban amanat untukkepentingan publik.Metode PendekatanBerbagai metode pendekatan dalam analisiskebijaksanaan publik telah dikembangkan. Adapendekatan deskriptif vs preskriptif, ada pula pendekatandeterministik vs probabilistik dilihat dari derajatkepastiannya (Stokey dan Zeckhauser, 1978). Atau denganpednekatan lain, ada yang bersifat empirik, evaluatif dannormatif (Dunn, 1981). Robert Goodin,s eorang pakar ilmupolitik mendekati dengan teori empiris dan teori etis atauteori nilai. Pendekatan ini sangat tipikal ilmu politikseperti ditunjukkan oleh Henry diatas.Untuk memahami dan menjelaskan kebijaksanaanpublik, Dye menunjukkana danya sembilan model, yaknimodel institusional, proses, kelompok, elite, rasional,inkremental, teori permainan (game theory), pilihan publik(public choice), dan sistem. Henry lebih lanjut membagimodelnya dalam dua kelompok, yakni sebagai proses dansebagai keluaran (outpu). Sebagai proses iamenggolongkan enam model, yakni model elite,kelompok, sistem, institusional, neo-institusional, dananarki yang diatur (organized anarchy). Dari segi output, iamengenalkan tiga model, yakni inkremental, rasional danperencanaan strategis. Pendekatan proses lebih bersifatdeskriptif,s edangkan pendekatan output lebih bersifatpreskriptif. Preskriptif dimaksudkan bahwa denganpendekatan yang baik maka hasil atau isi darikebijaksanaan publik akan menjadi lebih baik pula. Bukanmaksudnya disini untuk membahas model – modeltersebut. Yang patut dicatat adalah bahwa banyakkebijaksanaan tidak dapat dijelaskan hanya melalui satumodel, tetapi merupakan gabungan dari berbagai model.Perhatian dalam kebijaksanaan publik banyakdiberikan kepada proses penetapan kebijaksanaan.Pembuatan kebijaksanaan pada umumnya adalah sebuahproses yang dilakukan melalui tahap – tahap tertentu. Padagaris besarnya proses tersebut dikenali sebagai berikut :pengenalan masalah, penetapan agenda, perumusankebijaksanaan, pengukuhan (legitimation), pelaksanaandan evaluasi (Dye, 1995). Jones menguraikannya lebihrinci, meliputi 11 tahapan atau rangkaian kegiatan dalamproses, yakni : pemahaman, penghitungan (aggregation),pengorganisasian, perwakilan, penetapan agenda,perumusan, pengukuhan, pendanaan, pelaksanaan,

Page 31: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

evaluasi, penyesuaian atau penyelesaian (penghentian).Meskipun lebih rinci, unsur – unsur pokoknya tidakbanyak berbeda dengan pandangan Dye diatas.Kebijaksanaan Publik dan PembangunanSeperti dikemukakan diatas, kebijaksanaan publikdapat dilihat dari (1) mengapa dan bagaimana (why danhow), yang mencoba memahami “bekerjanya”kebijaksanaan publik tanpa terkait dengan isinya, dan (2)apa (what), yang memberi perhatian pada substansikebijaksanaan publik dan mencari pemecahan atas masalahyang dihadapi kebijaksanaan publik.Dalam konteks pembahasan ini, dan dalam studi –studi kebijaksanaan publik, pengetahuan mengenaikeduanya memang diperlukan. Para pengambilkebijaksanaan yang tidak memahami metodologipenetapan kebijaksanaan publik, dapat menanggung resikomengambil pendekatan yang menyebabkan hasil ataudampak kebijaksanaan publik tidak sesuai dengan yangdimaksud. Sebaliknya, para pelajar dan praktisi yang inginmendalami pengetahuan mengenai berbagai aspekkebijaksanaan, tidak mungkin hanya membatasi diri padateknik analisis, tanpa mengetahui isu – isu yang dihadapidalam masyarakat, yang akan dijawab dan diatasi denganberbagai kebijaksanaan. Karena, meskipun Dyemenyatakan tidak perlu kebijaksanaan publik itumengandung tujuan yang rasional (bahkan tidakmengambil langkah apapun sudah menunjukkankebijaksanaan), namun dalam praktiknya untuk setiapkebijaksanaan publik harus jelas apa yang ingin dihasilkan.Di negara berkembang kebijaksanaanpembangunan menjadi pokok substansi (policy content) kebijaksanaan publik. Setiap hari pemerintah di semuanegara mengambil keputusan atas dasar kewenangannyamengatur alokasi sumber daya publik, mengarahkankegiatan masyarakat, memberikan pelayanan publik,menjamin keamanan dan ketentraman, dan sebagainya.Kegiatan itu tidak ada bedanya di negara manapun, baiknegara maju maupun negara berkembang. Namun, tetapada perbedaan di antara keduanya. Pertama – tamadisebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang berbeda, danjuga karena adanya kegiatan pembangunan di negaraberkembang yang merupakan kegiatan diatas dari yang“biasa” dilakukan oleh pemerintah di negara maju. Adanyasistem administrasi negara yang mampumenyelenggarakan pembangunan menjadi prsyarat bagiberhasilnya pembangunan. Berarti pula administrasinegara yang mampu menghasilkan kebijaksanaan –kebijaksanaan publik yang “baik”, dan mendorong“kepentingan umum”, merupakan tantangan yang lebihbesar bagi negara yang sedang membangun (Grindle danThomas, 1991).Oleh karena itu, pengetahuan mengenai

Page 32: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

kebijaksanaan publik dan berbagai aspeknya perlu dimilikioleh para pelajar administrasi pembangunan. Yang amatpenting adalah mempelajari dan memahami kondisilingkungan kebijaksanaan publik di negara berkembang,yang berbeda dengan di negara – negara maju danmempengaruhi kebijaksanan, berfungsinya administrasipembangunan di negara berkembang, serta prosespenetapan kebijaksanan publik untuk pembangunan (lihatKartasasmita, 1995b).

PERSPEKTIF ADMINISTRASI PEMBANGUNAN KUALITAS MANUSIA DAN KUALITAS MASYARAKAT Sofian Effendi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Pengantar Lebih kurang dua minggu yang lalu saya mendapat kesem-patan dari kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup mengunjungi Swiss untuk menghadiri lokakarya analisis kebijaksanaan buat pembangunan berkelanjutan. Perjalanan tersebut sejak awal tidak berjalan mulus karena adanya ber-bagai hambatan administrasi. Perjalanan menjadi agak lebih menyenangkan setelah saya melapor ke loket Swissair di Singapura. Para petugasnya amat kompeten, profesional, efisien tetapi tetap ramah dan sangat baik pelayanannya. Di pesawat para pramugari dan pramugara amat cekatan melayani penumpang, penuh atensi, murah senyum serta selalu siap membantu sehingga para penumpang pada perjalanan yang jauh dari Singapura ke Genewa nampaknya merasa puas pada pelayanan yang telah diberikan oleh personil Swissair. Ke Lausanne, tempat pertemuan diadakan, yang jaraknya hanya 40 mil dari Genewa saya harus menggunakan kereta api. Sekali lagi saya menjumpai para petugas yang amat gampang menolong, murah senyum dan selalu bersedia melayani para pe-numpang. Hotel Pre Fleuri tempat para peserta kongres IAIA menginap hanya lah hotel kecil yang diurus oleh 3 pegawai. Namun, kualitas pelayanan yang diberikan, dan tentu saja ongkosnya, tidak kalah dari hotel bintang empat di banyak negara. Dan di hotel ini pun saya bertemu dengan petugas yang murah senyum, selalu siap membantu dan amat profesional pelayanannya. Sudah barang tentu cukilan pengalaman pribadi ini bukan merupakan usaha untuk memberikan gambaran yang akurat dan lengkap tentang kualitas birokrasi Swiss. Birokrasi negara tersebut memang terlalu besar dan kompleks untuk dapat dini-lai pada kunjungan yang singkat. Uraian ini

Page 33: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

hanyalah sekedar ilustrasi tentang pelayanan birokrasi yang berkualitas ting-gi karena didukung oleh profesionalisme petugas yang memili-ki budaya pelayanan publik. Kita sudah sering mendengar dari kalangan praktisi dan ilmuwan bahwa administrasi negara kita memiliki berbagai kelemahan birokrasi transisional, misalnya, inefisiensi, produktivitas rendah, kurang mampu melaksanakan tugas pemba-ngunan dan sebagainya. Para ahli seperti Tjokrowinoto (1989), Effendi (1990), Evers (1988), Bintoro (1987), Mustopadidjaja (1988), Abdullah (1985), Brett (1988) dan Bryant dan White (1987) sudah sering mensinyalir bahwa salah satu hambatan yang besar dalam pembangunan di negara berkembang, termasuk Indonesia, adalah sistem administrasi negara yang belum memiliki kemampuan yang cukup memadai buat melaksanakan berbagai tugas pembangunan yang semakin kompleks. Hambatan ini akan menjadi semakin nyata pada Tahap Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1993/94 - 2018/2019) karena, berbeda dengan Pembangunan Jangka Panjang Pertama, tujuan pembangunan nasional masa masa tersebut akan lebih menitik beratkan pada peningkatan kualitas manusia dan kualitas masyarakat sebagai upaya meningkatkan martabat manusia. Orientasi pembangunan yang telah berubah ini memerlukan sistem administrasi yang berbeda dari sistem yang ada sekarang ini. Sistem

Page 34: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

administrasi baru ini memerlukan struktur yang lebih organis-adaptif, deregulasi prosedur, lebih memiliki orientasi pelayanan publik serta lingkungan politiko-birokratik yang mampu mengawasi kegiatan birokrasi (Brett, 1988 dan Effendi, 1990). Sesuai dengan tema Seminar Ilmu-ilmu Sosial 1990 "Membangun Martabat Manusia", pada kesempatan ini saya ingin melontarkan pemikiran-pemikiran awal mengenai sistem administrasi buat pembangunan nasional yang menekankan kualitas manusia dan kualitas masyarakat. Untuk itu kupasan akan saya sampaikan dalam tiga bagian. Pertama, bagaimana sistem administrasi yang diperlukan untuk pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia. Pembahasan akan dipusatkan pada kualitas manusia organisasi yang diperlukan buat sistem administrasi tersebut. Kedua, apa hambatan-hambatan sosio-kultural dan politiko-birokratis dalam pengembangan kualitas manusia organisasi tadi. Ketiga, apa upaya yang perlu dilaksanakan untuk menumbuhkan kualitas manusia organisasi yang banyak diperlukan di masa depan. Birokrasi untuk Pembangunan Kualitas Manusia Max Weber, sosiolog Jerman yang merumuskan konsep biro-krasi untuk pertama kali, mempunyai pemikiran yang amat ber-beda dari para sarjana yang dibicarakan di atas tentang hu-bungan antara birokrasi dan pembangunan ekonomi. Menurut Weber, birokratisasi adalah prasyarat bagi pembangunan eko-nomi dan upaya penciptaan industri modern. Tanpa birokrasi tidak mungkin dicapai ekonomi modern yang berkelanjutan, industrialisasi yang cepat dan "take-off into selfsustained growth" (Giddens, 1985:195). Teori birokratisasi Weber tadi menimbulkan satu perta-nyaan yang selalu mengusik di benak para sarjana adminis-trasi pembangunan: "Apakah birokratisasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah sampai ke tingkat yang cukup tinggi sebagai prasarana pembangunan ekonomi?" Atau, sebaliknya, sudahkah birokratisasi yang terlalu berlebihan (overbureaucratization) justru telah menjadi beban yang menghambat kemajuan ekonomi negara ini? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibahas proses birokratisasi secara lebih mendalam agar kita dapat memban-dingkan tingkat birokratisasi di Indonesia dengan di bebera-pa negara di kawasan ini. Evers (1987) dalam analisisnya tentang birokratisasi Asia Tenggara membedakan tiga pola birokratisasi berikut: (a) Pola pertama adalah birokratisasi sebagai proses rasionalisasi prosedur pemerintahan dan aparat administrasi negara. Proses ini menjadi fokus dan dibahas secara luas da-lam teori Weber dan oleh Evers dinamakan birokratisasi a la Weber atau Weberisasi atau (Bw). (b) Pola kedua adalah proses birokratisasi dalam bentuk peningkatan jumlah pegawai negeri dan pembesaran organisasi pemerintah. Dalam literatur ilmu sosial sering disebut nama Parkinson, tokoh ilmu sosial dari Universitas Singapura men-jadi terkenal karena "Parkinson's Law" yang telah diciptakannya. Hukum Parkinson ini menyatakan: (1) tiap pegawai negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya, dan (2) tiap pegawai akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya. Karena itu laju birokratisasi akan meningkat dan jumlah pegawai negeri akan naik secara otomatis tidak

Page 35: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

tergantung dari beban tugas yang diperlukan. Pola semacam ini disebut Evers birokratisasi Parkinson. (c) Pola ketiga adalah birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol ke-giatan ekonomi, politik dan sosial masyarakat dengan pera-turan, regulasi, dan bila perlu pemaksaan. Proses ini di-sebut Evers birokratisasi Orwell atau Orwellisasi sesuai dengan gambaran masyarakat yang digambarkan oleh penulis George Orwell dalam novelnya yang berjudul "1984". Dengan ketiga pola ini kita dapat mengukur tingkat bi-rokratisasi di Indonesia serta membandingkannya dengan ting-kat yang sama di beberapa negara Asia Tenggara. Evers, meng-gunakan pola Parkinson, mengukur tingkat birokratisasi ter-sebut dengan memakai rasio pegawai negeri dan penduduk seba-gai tolok ukur. Dia menyimpulkan bahwa proses birokratisasi relatif berjalan dengan cepat di negara Asia Tenggara. Tingkat birokratisasi yang tertinggi adalah di Malaysia dengan 40 pegawai per 1000 pada tahun 1986 diikuti oleh Indonesia dengan 19 pegawai per 1000 penduduk dan Thailand dengan 10 pegawai per 1000 penduduk. Walau pun Indonesia mempunyai tingkat birokratisasi yang terendah tetapi pertumbuhannya adalah yang tercepat karena antara 1950 dan 1988 jumlah pe-gawai negeri telah meningkat sebanyak lebih dari sepuluh kali lipat, dari 303 ribu menjadi 3,4 juta. Evers menamakan pertumbuhan yang cepat ini "runaway bureaucratization". Menurutnya, proses ini dapat dibandingkan dengan inflasi mata uang. Bila peredaran mata uang ditambah terus maka nilainya akan merosot. Bila jumlah pegawai negeri ditambah terus se-cara cepat tanpa mengingat keseimbangannya dengan beban tugas pemerintahan, maka "nilai" pegawai negeri akan semakin menurun dan terjadilah inefisiensi. Dengan kata lain, inflasi pegawai negeri tadi akan menghambat tercapainya birokratisasi seperti yang diinginkan oleh Weber. Seperti sudah disinggung di atas, tesis utama teori bi-rokratisasi Weber adalah sebagai berikut: birokrasi modern yang rasional diperlukan untuk ekonomi modern. Apa ciri-ciri birokrasi modern ini? Weber menggunakan konsep tipe ideal (idealtyp) untuk menjawab pertanyaan ini. Menurut pemikiran Weber suatu birokrasi modern mempunyai ciri-ciri berikut: (a) kegiatan birokrasi dilaksanakan secara teratur dengan batas-batas otoritas yang jelas, (b) ada hirarki kewenangan, (c) ada aturan yang jelas tentang perilaku, otoritas dan tanggung-jawab pegawai, dan (d) pegawai diterima atas dasar merit bukan ikatan kekrabatan. Salah satu ciri yang penting dari birokrasi rasional a la Weber ini adalah suatu sistem penggajian bagi pegawai se-bagai alat untuk meningkatkan produktivitas birokrasi tadi. Dalam hal ini, birokrasi Indonesia mempunyai pola yang agak "unik" menurut pola pemikiran Weber dan lebih mendekati pola imbalan dalam suatu birokrasi patrimonial yang lebih menyan-darkan pada hubungan antar patron dan client atau yang seca-ra populaer dikenal sebagai "bapakisme". Selama sistem peng-gajian dan honor seperti ini seimbang dengan beban tugas ma-ka dia dapat memacu produktivitas pegawai. Kalau tidak, sis-tem seperti diragukan kemampuannya untuk menghasilkan biro-krasi yang berdayaguna dan berhasilguna seperpti yang difi-kirkan oleh Weber. Cara lain yang telah ditempuh oleh Pemerintah untuk me-ningkatkan prestasi pegawai adalah dengan menaikkan gaji me-reka. Anggaran pemerintah untuk gaji pegawai memang mening-kat sebesar 48 persen selama PELITA IV, tetapi pendapatan riil pegawai negeri sebenarnya

Page 36: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

menurun sebesar 24 persen (BIES, Survey of Recent Development, 23:2, 1987). Gaji pega-wai negeri golongan I misalnya hanya mencapai 30 persen dari Kebutuhan Fisik Minimal keluarga dengan 2 anak (Effendi, dkk, 1989). Tingkat gaji pegawai yang rendah ini akhirnya telah menciptakan birokrasi tidak produktif dan tingkat efisiensi yang rendah. Dengan kata lain, sistem remunerasi yang dipakai oleh Indonesia telah menyimpang dari prinsip yang difikirkan oleh Weber, dan karenanya sistem tersebut tidak akan mampu menumbuhkan birokrasi yang rasional dan memiliki tingkat produktivitas dan efektivitas yang diper-lukan untuk menopang pembangunan yang sedang meningkat. Peranan birokrasi pemerintah dalam berbagai aspek ke-hidupan masyarakat di Indonesia, Thailand dan Singapura da-pat dikatakan cukup besar. Bahkan ada sebagian penulis yang menganggap bahwa peranan birokrasi dalam kehidupan ekonomi dan dunia usaha Indonesia termasuk yang tertinggi di ASEAN. Sistem birokrasi Indonesia ini dinamakan masyarakat politik birokratik (bureaucratic polity) oleh Jackson (1978), atau kapitalisme birokratik (bureaucratic capitalism) oleh Robison (1986) untuk menggambarkan suatu sistem ekonomi dan politik dimana kegiatan ekonomi yang utama dimiliki oleh pemerintah dan sangat dikendalikan oleh peraturan-peratutan pemerintah. Sistem seperti ini menggambarkan pola birokrasi Orwell dan seperti yang kita lihat keadaan ini amat mengham-bat proses pembangunan, terutama buat jangka panjang. Untuk sementara masyarakat birokratis seperti ini memang mampu menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Studi yang diadakan oleh Muhaimin (1986), misalnya, menyimpulkan bahwa dari berbagai tolok ukur nampak bahwa Pemerintah Orde Baru telah mampu mencapai hasil-hasil yang cukup besar dalam memperkuat kehidupan bernegara. Antara 1969/70 dan 1985/86 pengeluaran pembangunan pemerintah telah meningkat hampir 80 kali sebelum menurun mencapai titik terendah pada tahun 1988/89. Seiring dengan itu telah terjadi peningkatan pe-nerimaan dalam negeri sebesar hampir 90 kali termasuk pe-ningkatan penerimaan pajak sebesar 67 kali lipat pada kurun waktu yang sama. Dalam pada itu volume APBN yang merupakan salah satu tolok ukur kegiatan pembangunan pemerintah juga telah mengalami pertumbuhan yang amat pesat seiring dengan bertambahnya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan. Pada PELITA I, besarnya dana yang disediakan melalui APBN adalah Rp. 3.283,23 milyar, pada PELITA II meningkat menjadi Rp. 18.019,4 milyar, pada PELITA III meningkat lagi menjadi Rp. 66.393,7 milyar dan pada PELITA IV telah meningkat lagi menjadi Rp. 91.063 milyar. Peningkatan APBN ini telah memperkuat daya beli dalam negeri sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan pesat. Tetapi, seperti dugaan Weber, birokrasi patrimonial terbukti tidak mampu bertahan buat usaha pembangunan ekonomi jangka pan-jang. Kenyataan ini mulai nampak pada pertengahan PELITA IV. Gejolak-gejolak ekternal yang diakibatkan oleh resesi ekono-mi dunia yang berkepanjangan telah menimbulkan penurunan permintaan terhadap minyak, bahan tambang serta komoditi pertanian yang menjadi andalan Indonesia dalam pencarian de-visa. Keadaan ini lebih diperburuk lagi oleh berbagai tinda-kan protektif yang diadakan oleh negara-negara maju untuk menghambat serangan ekspor dari negara berkembang. Keadaan ini membawa dampak langsung bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Sampai dengan pertengahan PELITA IV laju pertumbuhan ekonomi hanya mencapai sekitar 4 persen bila diukur dari Produk Domestik Bruto. Dengan demikian tingkat

Page 37: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

pertumbuhan riil kurang dari 2 persen karena tingkat pertum- buhan penduduk adalah 2,1 persen. Keadaan ini sedikit membaik pada tahun-tahun berikutnya karena ekonomi dunia lebih sehat keadaannya. Kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang nampaknya mampu memperbaiki kinerja ekonomi nasional. Selain dapat mengura-ngi kerentanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak ekonomi internasional tindakan-tindakan tadi nampaknya telah dapat meningkatkan daya-saing berbagai produk buatan Indonesia di pasar internasional. Lebih penting lagi tindakan deregulasi yang telah dilaksanakan secara sistematis oleh Pemerintah nampaknya telah menyebabkan perubahan struktur yang cukup besar pada ekonomi Indonesia. Menurut perkiraan staf Bank Dunia tindakan-tindakan debirokratisasi dan deregulasi dalam bidang ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia telah menurunkan secara drastis peranan BBM sebagai sumber pendapatan dari ekspor dari hampir 81 persen pada 1981/82 menjadi 66.6 persen pada 1985/86 dan turun lagi menjadi 35.8 pada 1988/89. Akibatnya, terjadi juga penurunan pada kontribusi penghasilan dari BBM terhadap penghasilan total dari hampir 71 persen pada 1981/82 menjadi 57.5 persen pada 1985/86 dan hanya 41.3 persen pada 1988/89. Perubahan struktur ekonomi ini nampak juga dari perbandingan antara hasil ekspor Non-BBM terhadap impor non-BBM yang telah meningkat dari hanya 28.8 persen pada 1981/82 menjadi 55.4 pada 1985/86 dan meningkat menjadi 90.3 persen pada 1988/89. Namun, belum semua bidang kegiatan rupanya tersentuh oleh berbagai tindakan debirokratisasi dan deregulasi tadi. Misalnya, arus barang antar daerah masih terhalang oleh berbagai peraturan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang akhirnya akan merugikan masyrakat banyak. Sampai saat ini memang sebagian besar kebijaksanaan debirokratisasi dan deregulasi yang ditempuh oleh Pemerin-tah masih dipusatkan pada upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Tindakan deregulasi yang ditempuh adalah menyang-kut pemberian peluang yang lebih besar kepada swasta dalam memobilisasi dana masyarakat dan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan memperlancar arus barang serta menyederhanakan sistem perizinan. Namun masih banyak aspek pengelolaan pembangunan yang belum disentuh dan karenanya memerlukan tindakan debirokra-tisasi dan deregulasi lebih lanjut. Misalnya, Pembangunan Jangka Panjang Kedua (1994/95 - 2019/20) yang menekankan pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan juga memerlukan peninjauan yang kritis terhadap bentuk serta peranan birokrasi pemerin-tah. Agar dapat melaksanakan pembangunan kualitas manusia yang mencakup dimensi-dimensi kapasitas (capacity), pemera-taan (equity), pemberian kewenangan dan kekuasaan kepada masyarakat (empowerment), keberlanjutan (sustainability) dan kesadaran akan saling-ketergantungan (interdependency), di- perlukan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada parti-sipasi masyarakat melalui LSM mau pun lembaga perwakilan rakyat. Dengan kata lain diperlukan peninjauan kembali ten-tang peranan birokrasi dalam usaha pembangunan nasional. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama Repelita III dan IV dan di masa-masa yang akan datang menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi semata-mata tidak lagi memadai untuk meningkatkan taraf kemakmuran kita serta untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Kapasitas adminis-trasi negara untuk melaksanakan pembangunan relatif masih rendah dan

Page 38: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

belum mampu memecahkan masalah-masalah nasional yang besar seperti pemerataan hasil pembangunan, pening-katan produktivitas nasional, penyediaan kesempatan kerja dan penyelenggaraan pelayanan publik. Masalah-masalah tersebut tidak mungkin dapat dipecahkan melalui upaya pemba-ngunan yang unidimensional atau sektoral seperti yang kita ikuti selama ini dengan semata-mata mengandalkan kemampuan administrasi negara. Untuk mengatasi masalah-masalah nasio-nal tadi kualitas manusia dan masyarakat perlu ditingkatkan agar potensi penduduk dapat diarahkan pada upaya pembangunan nasional. Dalam kerangka pemikiran ini lah, pembangunan kualitas manusia mendapatkan penekanan pada GBHN 1988. Sekarang sema-kin disadari oleh Pemerintah mau pun oleh para ilmuwan bahwa pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan martabat manusia Indonesia, baru dapat dilaksanakan secara berhasil bila upaya pembangunan tersebut dapat meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia sebagai sumberdaya pembangunan. Untuk melaksanakan pembangunan seperti itu diperlukan suatu sistem administrasi yang baru yang lebih berkemampuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Konsep pembangunan kualitas manusia sebenarnya cukup sederhana, yakni suatu upaya yang terencana untuk mening-katkan kapasitas individu dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat secara aktif menentukan masa depannya. Kapasitas ini mencakup 5 aspek yakni: kapasitas untuk berproduksi, pemera-taan, pemberian kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat, keberlanjutan (sustainable), dan kesada-ran akan interdependensi antar manusia, antar manusia dan lingkungannya, dan antar negara. Bila di difinisikan seperti ini, pembangunan kualitas manusia pada dasarnya adalah upaya untuk mengembangkan inisiatif dan kreativitas penduduk sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dalam rangka mencapai kesejahteraan material dan spiritual. Dalam konteks Indonesia, konsep pembangunan kualitas manusia ini perlu diperkaya dengan dimensi-dimensi yang khas buat bangsa kita yakni, ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama, kesetiakawanan sosial dalam hubungan antar manusia, pengembangan rasionalitas, dan kemampuan menegakkan keman-dirian (Salim, 1990:12). Pergeseran titik berat pembangunan dari Trilogi yang lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi yang cepat, ke yang menekankan pemerataan, dan ke pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat pada Pelita-Pelita yang akan datang, membawa implikasi pada sistem administrasi yang digunakan buat mencapai tujuan yang berbeda ini. Untuk melaksanakan pembangunan sumberdaya manusia sebagai upaya untuk meningkatkan martabat mereka diperlukan suatu rona birokrasi yang tidak sama dengan yang kita miliki sekarang ini. Beberapa penulis, misalnya Riggs (1976) dan Brett (1988), meramalkan bahwa sistem administrasi Indonesia sekarang ini memiliki struktur organisasi, prosedur kerja, orientasi petugas, serta lingkungan birokrasi yang lebih mendekati gambaran suatu masyarakat birokrasi politik a la Jackson (1978) atau kapitalisme birokratik a la Robison (1986). Seperti administrasi pemerintahan di NIB lainnya, admi-nistrasi negara Indonesia menduduki tempat yang masih sentral walau pun dengan kadar yang sedang menuju perubahan. Dimensi pembangunan yang semakin luas dan kompleks telah menimbulkan perubahan yang drastis pada fungsi pemerintahan di negara-negara tersebut. Perubahan-perubahan yang cepat di tingkat global dan nasional serta tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang bertambah baik

Page 39: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

adalah faktor pendorong yang amat kuat bagi perubahan-perubahan pada sistem administrasi agar sistem tersebut lebih mampu untuk mendukung pembangunan yang bertambah kompleks tadi. Seperti sudah disinggung di atas, pembangunan kualitas manusia itu sebenarnya mencakup lima dimensi yakni kapasitas untuk berproduksi, pemerataan, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada rakyat, kesadaran yang lebih tinggi ten-tang interdependensi antar manusia dan lingkungannya mau pun hubungan antar daerah dan antar bangsa, dan juga penekanan pada azas keberlanjutan (sustainability). Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem administrasi baru yang lebih cocok untuk pembangunan kualitas manusia, yakni sistem administra-si yang memiliki struktur yang lebih terbuka atau organis adaptif (Bennis, 1969, dan Saxena, 1985), prosedur yang le-bih sederhana dan cepat, petugas yang berorientasi fasilita-tor dan memiliki budaya pelayan publik serta lingkungan politik-birokratis yang mampu menciptakan "pengawasan" yang fungsional dan effektif terhadap birokrasi pemerintah. Meningkatkan Kualitas Manusia dalam Birokrasi Pembangunan Kiranya tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pemerintah, khususnya sistem administrasinya, pada akhirnya merupakan salah satu faktor penentu yang utama yang akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembangunan kualitas manusia. Para kritikus birokrasi pada umumnya masih sepakat bahwa peranan birokrasi dalam pembangunan nasional tidak mungkin dapat digantikan sepenuhnya oleh lembaga swasta (Mathur, 1986:9). Namun, di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sistem administrasi pembangunan menghadapi banayak hambatan yang amat mempengaruhi kemampuan sistem tersebut buat melaksanakan pembangunan kualitas manusia secara baik dan dengan amat memperhatikan martabat manusia. Secara garis besar hambatan-hambatan pada birokrasi pembangunan dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: hamba-tan proses dan hambatan orientasi (Saxena, 1986:49). Hambatan proses mencakup baik aspek struktur dan prosedur. Hingga kini struktur organisasi modern tetap dipandang sebagai model birokrasi yang tepat buat melaksanakan pembangunan. Oleh para ahli sering kekurang berhasilan yang terjadi di banyak negeri dihubungkan dengan bentuk birokrasi ini. Teta-pi, yang menyebabkan model tersebut kurang berhasil bukanlah bentuknya itu tetapi adalah karena adanya nilai-nilai dan struktur organisasi yang tradisional yang menyebabkan tumbuhnya distorsi bentuk organisasi modern menjadi sistem yang patrimonial. Pada sistem ini prinsip-prinsip nepotisme dan partikularistik berlaku. Kalau pada sistem ekonomi kita mengenal adanya dualisme antara ekonomi tradisional-agraris dan ekonomi modern-industrial, maka dalam sistem adminis-trasi kita dikenal adanya dualisme antara sistem adminis-trasi tradisional yang menekankan ritualisme administratif yang tidak efisien dan sistem administrasi modern yang menekankan rasionalisme administratif yang efisien (Riggs, 1957:59). Dualisme administratif ini yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan budaya pelayan publik dalam birokrasi kita merupakan salah satu sebab kekurang-mampuan administrasi pembangunan Indonesia. Birokratisasi dan sentralisasi yang kuat dalam pengelolaan pembangunan telah menimbulkan struktur birokrasi yang amat hirarkis dan legalistis, sehingga prosedur lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan struktur daripada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar yang amat diperlukan dalam penyelenggaraan program pembangunan memnjadi terhambat, dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku

Page 40: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

dan lamban. Yang lebih parah adalah prosedur yang mencekik ini ditumpangi lagi oleh kepentingan pribadi dan dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk keuntungan pribadi mau pun kelompok. Peranan birokrasi pemerintah yang kuat dan dominan da-lam pengelolaan program pembangunan selama 25 tahun ini telah menimbulkan mental penguasa yang amat kuat di kala-ngan pejabat birokrasi dan ini menjadi penghambat yang cukup besar dalam upaya penciptakan aparatur pemerintahan yang terbuka dan mampu menggalang partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dalam birokrasi seperti itu prestasi seorang pejabat bawahan akan diukur dari kemampuannya mencapai target-target yang telah ditentukan dan oleh "kepuasan" atasan terhadap prestasi bawahan tadi. Karena itu sifat yang paling menonjol adalah semangat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan serta kurang mementingkan perubahan dan kemajuan yang identik dengan pembangunan. Dengan kata lain, tumbuhlah dengan subur etos kerja status quo yang mendorong para pejabat untuk lebih mempertahankan keharmonisan dalam segala hal. . Perubahan-perubahan pada birokrasi pemerintah itu sen-diri sebenarnya tidak akan terjadi terlepas dari kondisi lingkungannya. Karena itu dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini diperlukan suatu persyaratan mutlak yakni kemungkinan setiap anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya untuk meningkatkan kapasitasnya (Bryant dan White, Ibid; dan Korten dan Klaus, Ibid). Partisipasi masyarakat ini akan memungkinkan mereka untuk membantu menentukan masalah-masalah yang akan dipecahkan dalam pembangunan. Partisipasi ini juga akan memungkinkan masuknya informasi yang lebih banyak dari lapangan yang berguna bagi penentuan strategi pembangunan yang lebih tepat. Dukungan masyarakat yang lebih besar dalam pelaksanaan program pembangunan pun akan dapat digerakkan dengan parptisipasi. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam pengawasan akan memungkinkan pengawasan yang lebih effektif. Dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan sebagai upaya peningkatan kapasitas, sifat-sifat birokrasi peme-rintah yang stabil-mekanistis tidak mungkin dihilangkan secara keseluruhan. Sifat tersebut hanya dapat dikurangi dan diganti dengan organisasi yang lebih bersifat organis-adaptif (Saxena, Ibid; dan Bennis, 1969), yaitu organisasi yang selalu tumbuh dan menyesuaikan diri dengan tujuan yang hendak dicapai dan dengan dinamika lingkungannya, yang lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, serta yang mampu melaksanakannya. Struktur birokrasi yang organis-adaptif ini mempunyai pola hubungan yang lebih longgar dan terbuka terhadap pengaruh positif dari luar. Partisipasi dalam perumusan tujuan menjadi lebih lebar sehingga terbuka kesempatan yang luas untuk keterlibatan dari bawah (bottom-up) mau pun dari atas (top-down). Selain struktur organisasi yang organis-adaptif, dalam pengembangan partisipasi ini perlu diadakan distribusi kekuasaan dan sumberdaya. Dengan kata lain, suatu peringkat desentralisasi yang memadai adalah prasyarat lain yang diperlukan buat pelaksanaan pembangunan kualitas manusia agarberhasil. Dalam hal ini ada perbedaan yang jelas antara pem-bangunan dan nation-building. Dalam nation-building memang diperlukan sentralisasi kekuasaan. Bagi Indonesia, tahap ini sudah dapat kita lewati dengan berhasil. Dalam tahap pem-bangunan untuk meningkatkan kualitas manusia dan kualitas masyarakat, sentralisasi yang berlebih-lebihan ini harus segera ditinggalkan untuk diganti dengan desentralisasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah dan masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, dan menga-wasi pembangunan.

Page 41: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Untuk melaksanakan pembangunan seperti ini diperlukan desentralisasi sebanyak mungkin urusan kepada daerah. Hanya daerah yang tahu secara lebih baik aspirasi daerah serta dapat menilai apa sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang mereka miliki serta untuk apa kekayaan tersebut akan digunakan. Karena itu hambatan paling besar dalam pelaksa-naan kebijaksanaan semacam itu adalah sentralisasi yang amat besar dalam sistem administrasi kita. Hambatan yang ketiga adalah karena kelemahan yang ter-kandung dalam sistem politik kita yang kurang mampu mengem-bangkan pengawasan oleh DPR dan DPRD. Salah satu sebab utama kekurang berhasilan pembangunan di negara sosialis dan Dunia Ketiga menurut kajian yang diadakan oleh Institute of Devel-opment Studies, Universitas Sussex, adalah karena lemahnya sistem pengawasan demokratis di negara-negara ini. Sampai saat ini DPR dan DPRD, dengan berbagai cara, masih diperla-kukan sebagai kepanjangan dari lembaga eksekutif. Karena itu tidak ada kekuatan politik yang berarti yang mengontrol lem-baga eksekutif. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik, karena amat sukar membedakan antara birokrasi dengan Golkar sebagai kekuatan politik yang sedang berkuasa, telah memper-buruk keadaan ini dan telah amat melemahkan efektivitas pe-ngawasan terhadap lembaga eksekutif. Upaya Meningkatkan Kualitas Manusia Organisasi Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan administrasi pemerintah untuk melaksanakan pembangunan martabat manusia tidak mungkin dapat ditingkat-kan tanpa peningkatan kualitas manusia dalam birokrasi pem-bangunan itu sendiri. Kualitas yang diperlukan oleh petugas birokrasi pembangunan itu antara lain mencakup ketaatan pada prinsip-prinsip moral dan agama yang tinggi, rasa kesetiaka-wanan sosial dalam hubungan sebagai pejabat dan masyarakat, rasionalitas sebagai pejabat yang merupakan individu organi-sasi dan institusi yang lebih mementingkan tujuan organisasi daripada tujuan individu serta tingkat kemandirian yang juga tinggi. Karena itu perlu didukung upaya yang sedang dirintis oleh Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara untuk me-ningkatkan kualitas aparat dalam birokrasi seperti yang dilontarkan beberapa waktu yang lalu pada Seminar Nasional Pembangunan Kualitas Manusia dalam Era Tinggal Landas di Universitas Widya Mataram, Yogyakarta (Kusumaatmadja, 1990). Ada beberapa pilihan upaya yang dapat ditempuh oleh para perumus kebijaksanaan kita, khususnya dalam bidang pem-bangunan administrasi. Semua upaya ini dilandasi oleh suatu asumsi bahwa dalam pelaksanaan pembangunan kualitas manusia ini organisasi modern adalah satu-satunya wadah implementasi yang tersedia sampai saat ini. Dalam upaya untuk menghasilkan organisasi yang memiliki effisiensi dan otonomi yang diperlukan buat melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan martabat manusia, disadari bahwa hirarhi yang terlalu panjang dan compartmentalized akana menghasilkan ke-kakuan dan subordinasi yang berlebihan. Karena itu inti dari upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dalam birokrasi pembangunan meliputi upaya meningkatkan produktivitas mereka melalui sistem insentif, baik finansial dan non-finansial, yang lebih baik, serta merubah tata nilai serta lingkungan birokrasi melalui: 1. Pelatihan Tehnis dan Moral Sudah disinggung di atas bahwa birokrasi kita belum di- landasi oleh budaya pelayanan publik serta ra-sionalitas organisasi yang memadai. Karena itu program pelatihan yang tepat untuk

Page 42: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

menanamkan budaya tersebut serta rasionalitas sebagai manusia organisasi dan manusia institusi haruslah mendapatkan penekanan dalam upaya reformasi administrasi di Indonesia. Program pelatihan yang baik dan tepat tidak akan dapat digantikan oleh upaya restrukturisasi bentuk organi-sasi yang telah ditempuh selama ini. 2. Desentralisasi dan Reintegrasi Pembangunan kualitas manusia dan kualitas masyarakat amat memerlukan desentralisasi kewenangan kepada daerah dan kepada masyarakat. Hanya daerah yang tahu dengan lebih baik potensi yang dimilikinya serta bagaimana menggunakan potensi tersebut untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Hamba-tan-hambatan antar kantor dan dinas di pusat dan di daerah perlu dikurangi dengan mengadakan reintegrasi tugas-tugas oleh berbagai kantor tadi. Pembicaraan mengenai reintegrasi ini sudah pernah dilontarkan oleh Menteri Rudini beberapa waktu yang lalu sehubungan dengan pengaturan kembali tugas Kkantor-kantor perwakilan Departemen di daerah atau oleh Menteri Sarwono sehubungan dengan perampingan birokrasi. 3. Demokratisasi Studi-studi yang diadakan oleh para sarjana adminis-trasi semakin menunjukkan bahwa kinerja sistem administrasi yang kurang memuaskan di negara selalu lebih menonjol di negara yang tidak demokratis. Dengan kata lain, tanpa pe-ngawasan politik yang effektif birokrasi pembangunan cende-rung untuk kurang berprestasi. Karena itu, sejalan dengan u-paya reformasi administrasi, harus diadakan transformasi politik untuk menciptakan pengawasan demokratis yang efektif terhadap birokrasi. Transformasi ini harus lebih luas dari transformasi yang kita kenal selama ini yang bertujuan untuk memperbaiki accountability dan partisipasi. Yang diperlukan adalah pemberian keleluasaan kepada masyarakat untuk mengem-bangkan basis-basi organisasi sosial yang bebas dalam suatu masyarakat sipil (civil society). Referensi Abdullah, Syukur, Birokrasi dan Pembangunan Nasional: Studi tentang Peranan Birokrasi Lokal dalam Implementasi Program-program Pembangunan di Sulawesi Selatan. Disertasi Universitas Hasanuddin, 1985. Bennis, Warren G., "Changing Organizations," dalam W.G. Bennis, K.D. Benne dan R. Chin, Eds., The Planning of Change. New York, Holt, Rinehart and Winston, 1969. Brett, E.A., "Adjustment and the State:The Problem of Administrative Reform," IDS Bulletin, 1988, IV:4. Buchanan, J. "Foreword" in Tullock, G., The Politics of Bureaucracy, New York, University Press of America, 1987.

Page 43: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Effendi, S., Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi Untuk Melaksanakan Pembangunan. Makalah pada Seminar DAAD-UGM, Yogyakarta, 19 Desember 1987. ___________, "Pelayanan Publik, Pemerataan, dan Administrasi Negara Baru," Prisma, XV:12, 1986. ___________, Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi untuk Melaksanakan Pembangunan Nasional. Makalah pada Seminar UGM-DAAD di Yogyakarta, 19 Desember 1987. ___________, Birokrasi, Pembangunan Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional. Makalah pada Seminar Kualitas Manusia dan Produktivitas Nasional diselenggarakan oleh Panitia Dies Natalis ke 38 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 17 Desember 1987. Frederickson, H. George, The New Public Administration. Alabama: University of Alabama Press, 1980. Frederickson, H. George, dan Charles R. Wise, Eds., Public Administration and Public Policy. Lexington: Lexington Books, 1977. Eisenstadt, S.N. "Bureaucratization, Overbureaucratization, and Debureaucratization," American Sociological Review 1966. Evers, H.D., Bureaucratization of Southeast Asia, Working Paper Series No. 71, Sociology of Development Research Center, University of Bielefeld, 1985. Mathur, Hari M., Administering Development in the Third World: Constraints and Choices. New Delhi, Sage, 1986. Muhaimin, Jahja, "Beberapa Segi Birokrasi Indonesia," Prisma 1980:10. Mustopadidjaja, Paradigma-paradigma Pembangunan Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Makalah dibacakan pada Temukaji "Posisi dan Ilmu Administrasi dan Manajemen dalam Pembangunan Nasional". Diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara R.I. di Jakarta, 28-30 Januari 1988. Myrdal, Gunnar, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations. New York: Vintage Books, 1972. Riggs, Fred N., "Agraria and industria - towards a typology of comparative administration", dalam W. J. Siffin, Ed. Toward the Comparative Study of Public Administration, Bloomington, Indiana University Press, 1957.

Page 44: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Robison, Richard, "Toward a Class Analysis of the Indonesian Military Buraucaratic State," Indonesia, 1978:25. ________________, Indonesia: The Rise of Capital, Sidney: Allen & Unwin, Ltd., 1986. Salim, Emil, Perspektif Pembangunan: Harapan dan Kendala. Makalah pada Seminar Nasional Ilmu-Ilmu Sosial 1990, HIPIIS, di Yogyakarta, 16 Juli 1990. Saxena, A.P., "Peningkatan Produktivitas Tatalaksana Pemerintahan," Prisma, XV:11, 1986.

DAFTAR PUSTAKAEffendi, Sofian. “Perspektif Administrasi Pembangunan Kualitas Manusia dan KualitasMasyarakat.” <http://lib.ugm.ac.id/data/pubdata/sofiane/perspektifkualitasmanusia.pdf>, diakses pada 16 Mei 2007.Gie, Kwik Kian. “Reformasi Birokrasi dalam Mengefektifkan Kinerja PegawaiPemerintah.” (Makalah disampaikan dalam Workshop Gerakan PemberantasanKorupsi, diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, 5Januari 2003), <http://www.bappenas.go.id_index.php_module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpress_&view=167_Reformasi%20Kinerja>,diakses pada 16 Mei 2007.Hayati, Tri, Harsanto Nursadi, dan Andhika Danesjvara. Administrasi Pembangunan:Suatu Pendekatan Hukum dan Pernecanaannya. Depok: Badan Penerbit FakultasHukum Universitas Indonesia, 2005.Kartasasmita, Ginandjar. Administrasi Pembangunan: Perkembangan dan Praktiknya diIndonesia. Jakarta: LP3ES, 1997.Rasad, Fauziah. “Reformasi Birokrasi dalam Perspektif Pemberantasan Korupsi.”<http://www. transparansi.or.id>, Januari 2006.Siagian, Sondang P. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya.Jakarta: Bumi Aksara, 2003.Suminta, Pradja. Bahan Ajar Administrasi Pembangunan. Surakarta: Program StudiPendidikan Ekonomi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FakultasKeguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, 2005.

Page 45: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Suryono, Agus. “Budaya Birokrasi Pelayanan Publik,” <http://publik.brawijaya.ac.id/simple/us/jurnal/pdffile/7Budaya%20Birokrasi%20Pelayanan%20Publik-Agus%20Suryono.pdf>, diakses pada 16 Mei 2007.

Tjokroamidjojo, Bintoro. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 1995

www.ginandjar.com 1

Administrasi pembangunan berkembang karena adanya

kebutuhan di negara – negara yang sedang membangununtuk mengembangkan lembaga –lembaga dan pranata –pranata social, politik, dan ekonominya, agarpembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu, padadasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studiyang mempelajari system administrasi negara di negarayang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkankemampuannya. Dari sudut praktik, administrasipembangunan merangkum dua kegiatan besar dalam satupengertian, yakni administrasi dan pembangunan.Oleh karena itu, untuk memahami administrasipembangunan perlu dipelajari hakikat administrasi, yaituadministrasi negara atau administrasi publik, dan hakikatpembangunan. Dengan demikian kajian mengenai konsepadministrasi pembangunan harus dimulai dengan teori –teori dalam ilmu administrasi, yaitu mengenai administrasinegara dan berbagai konsep pembangunan.Untuk itu, yang pertama kaan dilakukan dalambuku ini adalah mengupas berbagai konsep pembangunan,yang mencerminkan pergeseran paradigma pembangunanmenuju ke arah makin terpusatnya pembangunan padaaspek – aspek manusia dan nilai – nilai kemanusiaan.Perkembangan paradigma dalam pemikiran – pemikiranmengenai pembangunan itu, ternyata selain menunjukkankonvergensi dengan pemikiran yang berkembang dalamilmu administrasi, juga makin mengarah pada manusia dannilai – nilai kemanusiaan serta konsep – konseppemerataan dan keadilan social.Administrasi pembangunan dengan demikianmemiliki nilai – nilai yang dikandung dalam administrasidan pembangunan dengan paradigma yang sejalan, dimana peranan etika menjadi makin tampil sebagai aspek

Page 46: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

yang penting dalam kebijaksanaan – kebijaksanaanpembangunan yang menjadi ruang lingkup tanggung jawabadministrasi pembangunan. Dalam telaah administrasipembangunan dibedakan adanya dua pengertian, yaituadministrasi bagi pembangunan dan pembangunanadministrasi itu sendiri. Untuk membahas administrasibagi pembangunan, dalam konteks ini digunakanpendekatan manajemen. Karena itu, pada dasarnya dapatdikatakan bahwa masalah administrasi bagi pembangunanadalah masalah manajemen pembangunan. Sedangkanuntuk menerangkan pembangunan administrasi akandigunakan pendekatan organisasi.Manajemen pembangunan adalah manajemenpublik dengan cirri – cirri yang khas, seperti jugaadministrasi publik (negara) dengan kekhasan tertentu.Studi mengenai manajemen telah banyak mengalamiperkembangan, namun teori pokoknya tidak berubah.Sekurang – kurangnya ada tiga kegiatan besar yangdilakukan oleh amanjemen, yakni perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan. Kendati demikian,pengkajian mengenai fungsi – fungsi manajemen dapatdikembangkan secara bervariasi sesuai kebutuhan.Untuk analisis manajemen pembangunan dikenalbeberapa fungsi yang cukup nyata (distinct), yakni :perencanaan, pengerahan (mobilisasi) sumber daya,pengerahan pembangunan yang ditangani langsung olehpemerintah, koordinasi, pemantauan dan evaluasi danpengawasan. Pendekatan terhadap fungsi – fungsi tersebutdilengkapi dengan peran informasi yang amat pentingsebagai instrumen atau perangkat bagi manajemen.Pendekatan terhadap kajian pembangunan ataupembaharuan administrasi dapat dilakukan dari sisiadministrasi sebagai organisasi pemerintahan. Fokus darisystem administrasi negara sebagai unit analisis cenderungterkonsentrasi kepada birokrasi, baik sebagai institusinasional maupun dalam hubungan dengan lingkungannya.Birokrasi yang dimaksud disini adalah tingkatan nasionaldari administrasi, yang memperlihatkan cirri – cirri umum(overall) yang mempengaruhi pelayanan publik sertapengelolaan pembangunan social ekonomi di negaraberkembang. Studi awal mengenai analisis administrasidalam perkembangannya, kira – kira counterpart teoriRostow di bidang ekonomi, diberikan oleh Riggs (1964).Ia menggambarkan taraf – taraf perkembanganadministrasi mulai dari tingkat terbelakang sampai yangpaling maju, dengan teori yang dikenal sebagai the theoryof prismatic society.

Bab 1

Page 47: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Pendahuluanwww.ginandjar.com 2Heady (1995) menunjukkan ada lima cirriadministrasi yang indikasinya ditemukan secara umum dibanyak negara berkembang. Pertama, pola dasar (basicpattern) administrasi publik bersifat jiplakan (imitative)daripada asli (indigenous). Kedua, birokrasi di negaraberkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusiaterampil yang dibutuhkan untuk menyelenggarakanpembangunan. Ketiga, birokrasi lebih berorientasi pada hal– hal lain daripada mengarah pada yang benar – benarmenghasilkan (production directed). Keempat, adakesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atauyang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepancybetween form and realitiy). Kelima, birokrasi di negaraberkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dariproses politik dan pengawasan masyarakat. Terhadapanalisis Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik lagihasil dari pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyaknegara berkembang birokrasi sangat lamban dan makinbertambah birokratik. Kedua, unsure – unsure nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnyahubungan keluarga, hubungan – hubungan primordial lainseperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (politicalconnections) mempengaruhi birokrasi.Keadaan yang demikian itulah yang ingindiperbaiki melalui pembangunan administrasi. Banyakkonsep dikembangkan dalam pembangunan ataupembaharuan administrasi. Untuk kasus negaraberkembang, kedua istilah tersebut sering kali dapatdigunakan untuk maksud yang sama.Di antara pengkajian yang termasuk paling awaldan banyak menjadi rujukan para pakar administrasipembangunan selanjutnya adalah konsep dari Riggs.Menurut Riggs (1966), pembaharuan administrasimerupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatanefektivitas pemanfaatan sumber daya yang tersedia untukmencapai tujuan yang telah ditetapkan. Wallis (1989)mengartikan pembaharuan administrasi sebagai induced,permanent improvement in administration. Esman (1995)dalam sebuah analisis yang lebih mutakhir mengenaikeadaan administrasi di negara berkembang menunjukkan,bahwa upaya memperbaiki kinerja birokrasi negaraharuslah meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadappengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Dalamhal ini Rodinelli (1993) mengusulkan suatu pendekatanyang disebut adaptive administration. Ia menekankanpentingnya fleksibilitas dan inovasi dalam administrasi

Page 48: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

pembangunan, sebab kebijaksanaan – kebijaksanaanpembangunan sangat kompleks dan penuh ketidakpastian.Sementara itu, menjelang dasawarsa 90-an, systemkomunisme yang menerapkan dominasi negara secarasangat ekstrim, runtuh. Pengalaman empiris negara –negara industri baru juga menunjukkan bahwa strategimelepaskan dominasi negara atas ekonomi dan mengiktuiprinsip – prinsip apsar dengan ekspor sebagai pacuan telahmembuahkan hasil seperti tercermin dalam tingkatpertumbuhan dan taraf kesejahteraan yang meningkatdengan pesat. Oleh karena itu, berkembang arus deetatisme,yang dikenal dengan sebutan – sebutanderegulasi dan debirokratisasi.Dalam kerangka pembaharuan administrasisebagai lanjutan dari pembangunan administrasi, yangpertama perlu menjadi perhatian adalah perubahan sikapbirokrasi yang cukup mendasar sifatnya. Di dalamnyaterkandung berbagai unsure. Pertama, birokrasi harusdapat membangun partisipasi rakyat. Kedua, birokrasihendaknya tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat,tetapi harus lebih kepada yang lemah dan yang kurangberdaya. Ketiga, peran birokrasi harus bergeser darimengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberimenjadi memberdayakan. Keempat, mengembangkanketerbukaan dan kebertanggungjawaban. Pembaharuanmemerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangatdan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dantantangan yang datang dari kalangan mereka yang akandirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembaharuanharus dilakukan secara sistematis dan terarah, didukungoleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen.Tidak selalu harus segera menghasilkan perubahan besr,tetapi dapat secara bertahap, namun konsisten.Sistem pemerintahan atau administrasi negara diIndonesia mengikuti aturan dasar negara, yaitu UUD 1945.Dalam pembukaan UUD 1945 termaktub falsafahkehidupan bangsa Indonesia, yakni Pancasila, serta pokok– pokok pikiran mengenai negara kesatuan RI. Indonesiaadalah negara kesatun, tidak ada negara di dalam negaraIndonesia. Daerah Indonesia dibagi dalam daerah – daerahotonom, yakni daerah propinsi, dan propinsi terdiri darikabupaten / kotamadya dan dibawahnya pemerintah desa.Kesemua itu diatur dalam Undang – undang (UU).Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok – pokokPemerintahan di Daerah, pemerintahan daerah didasarkanpada tiga asas yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dantugas pembantuan atau medebewind.Administrasi negara juga menjadi administrasipembangunan. Pembangunan dilaksanakan olehpemerintah berdasarkan amanat Majelis PermusyawaratanRakyat (MPR) yang dituangkan dalam Garis – garis Besar

Page 49: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Haluan Negara (GBHN) dan ketetapan – ketetapanlainnya. Pelaksanaannya dirinci lebih lanjut oleh Presidendan dituangkan dalam Repelita. Pembiayaan pelaksanaanrencana – rencana pembangunan itu setiap tahundituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN) dalam bentu UU dan karenanyamemerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR). Pada akhir masa jabatannya, Presidenmempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepadaMPR, yang akan menilai isi pertanggungjawaban itu.www.ginandjar.com 3Selama PJP I, pembangunan administrasi negaraditempatkan sebagai abgian integral dari keseluruhanstrategi pembangunan nasional dan telah banyak kemajuanyang dicapai. Namun demikian, administrasi di Indonesiaseperti halnya di negara lain menghadapi banyak masalah.Memasuki PJP II, masalah – masalah tersebut dikenali danditampilkan dalam Repelita VI sebagai kendala – kendalayang harus diatasi. Dengan berlandaskan hasil – hasil yangtelah dicapai dalam PJP I, pembangunan administrasinegara dilanjutkan pada Repelita VI. Sasarannya sesuaiamanat GBHN 1993 yaitu tertatanya manajemen aparaturnegara untuk meningkatkan kualitas, kemampuan dankesejahteraan manusianya. Terwujudnya administrasinegara yang handal. Professional, efisien dan efektif,s ertatanggap terhadap aspirasi rakyat dan dinamika perubahanadalah bagian dari sasaran pembangunan administrasinegara.Uraian lebih lanjut tentang berbagai konseppembangunan, pokok – pokok bahasan dan aspek – aspeklain di bidang administrasi pembangunan tersebut diatasberturut – turut disajikan dalam lima bab setelah Bab 1Pendahuluan ini. Pada Bab 2 Perkembangan PemikiranMengenai Administrasi Pembangunan sebagai suatubidang studi, diuraikan pengertian administrasi danpembangunan, konsep – konsep pembangunan khususnyamenurut literature – literature studi pembangunan,perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasipembangunan termasuk aspek ruang atau perwilayahan,serta kebijaksanaan publik dalam administrasipembangunan.Bab 3 Administrasi bagi Pembangunan membahaspengertian, pendekatan dan ruang lingkup kegiatanadministrasi pembangunan dalam rangka manajemen ataupengelolaan pembangunan. Selanjutnya, Bab 4Pembangunan Administrasi menguraikan keadaanadministrasi di negara berkembang, berbagai aspekpembangunan administrasi,s erta adnaya berbagaihambatan terhadap pembaharuan administrasi.Pembahasan mengenai pembangunan administrasiini dilanjutkan dengan uraian dalam Bab 5 mengenai

Page 50: Bab 2 Perkembangan Pemikiran Mengenai Administrasi Pembangunan

Administrasi Pembangunan di Indonesia. Isinyamengemukakan system administrasi negara di Indonesia,proses pengelolaan pembangunan melalui pelaksanaanfungsi – fungsi administrasi pada tingkat pusat maupundaerah seperti perencanaan, pembiayaan, pengeluaran,pelaksanaan proyek pembangunan, system pemantauandan evaluasi kiberja pembangunan, pengawasanpembangunan, serta masalah administrasi dan peran sertamasyarakat dalam pembangunan. Selanjutnya dalam Bab 6diuraikan secara ringkas perkembangan selama PJP I danpembangunan administrasi yang diupayakan dalamRepelita VI.Buku ini diakhiri dengan Bab 7 Penutup yangselain memberikan kata – kata akhir juga mengungkapkansejumlah pemikiran mengenai beberapa aspek yangmenjadi tantangan administrasi pembangunan di Indonesiadi tahun – tahun mendatang. Administrasi akan tetapmenjadi perhatian mereka yang bergerak di bidangaakdemik maupun dalam dunia praktik, karena perananpemerintah akan tetap besar dalam kehidupan danpembangunan suatu bangsa meskipun sifat atauorientasinya dapat bergeser atau berubah, sesuai dengan

perkembangan zaman.S