bab 2 landasan teori - bina nusantara | library &...

32
15 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pemasaran Kotler (2009:10) mengatakan pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran merupakan suatu konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses mengidentifikasi segala aspek sosial yang mampu diterjemahkan melalui penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk yang memiliki arti di dalam benak konsumen.

Upload: ngodieu

Post on 27-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pemasaran

Kotler (2009:10) mengatakan pemasaran adalah suatu proses sosial

yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka

butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas

mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Menurut Stanton (2001), definisi pemasaran adalah suatu sistem

keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan,

menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa

yang memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli

potensial.

Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran

merupakan suatu konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses

mengidentifikasi segala aspek sosial yang mampu diterjemahkan melalui

penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk yang memiliki arti di

dalam benak konsumen.

16

Menurut Kotler (2009:22), pekerjaan pemasaran bukan lagi untuk

menemukan pelanggan yang tepat untuk produk, melainkan menemukan

produk yang tepat untuk pelanggan. Konsep pemasaran untuk mencapai

sasaran organisasi adalah perusahaan harus lebih efektif dibandingkan pesaing

dalam menciptakan, menyerahkan, dan mengkomunikasikan kepada pasar

sasaran yang dipilih.

Menurut Swastha dan Irawan, (2005:10) mendefinisikan konsep

pemasaran sebuah falsafah bisnis yang menyatakan bahwa pemuasan

kebutuhan konsumen merupakan syarat ekonomi dan sosial bagi kelangsungan

hidup perusahaan.

Konsep pemasaran menurut Kotler (2009:33) menegaskan bahwa kunci

untuk mencapai sasaran organisasi adalah menentukan kebutuhan dan

keinginan sasaran pasar dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara

lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaing.

2.1.2 Moment of Truth

2.1.2.1 Pengertian Moment of Truth

Salah satu sifat dari jasa atau pelayanan adalah diproduksi dan

dikonsumsi pada saat yang bersamaan (Irawan, 2002). Tidak seperti produk

manufaktur di mana hasil produksi dapat disimpan di gudang, dikirim ke

toko, dibeli oleh konsumen dan kemudian dikonsumsi. Oleh karena sifat ini,

kepuasan pelanggan terhadap suatu pelayanan sangatlah bergantung pada

17

proses interaksi atau waktu di mana pelanggan dan penyedia jasa bertemu.

Kepuasan pelanggan akan ditentukan oleh ratusan, bahkan ribuan interaksi

antara pelanggan dengan penyedia jasa. Istilah yang sering digunakan untuk

setiap interaksi adalah moment of truth (MOT) dan sebagian pakar

menyebutnya service encounter. Berdasarkan perspektif pelanggan, kesan

paling utama terhadap sebuah jasa terjadi pada service encounter (moment of

truth), di mana pelanggan berinteraksi dengan perusahaan jasa (Lovelock

dan Wirtz, 2011).

Moment of truth adalah setiap peristiwa di mana pelanggan

berinteraksi dengan setiap aspek perusahaan dan menerima kesan mengenai

mutu produk atau jasa yang diterimanya (Carlzon, 1987:3 dalam Irawan,

2002). Moment of truth dimulai ketika pelanggan datang hingga pelanggan

selesai melakukan kegiatannya atau sudah selesai berinteraksi. Dengan

adanya moment of truth, pihak perusahaan harus memberikan layanan yang

terbaik karena karena hal ini akan menentukan citra dari perusahaan atau

organisasi tersebut dan persepsi pelanggan sudah mulai terbentuk pada saat

itu. Bila moment of truth tidak dikelola dengan baik, maka persepsi tentang

mutu produk dan jasa perusahaan akan menurun. Gambar di bawah ini

menunjukkan beberapa input yang mempengaruhi faktor dari moment of

truth.

18

Sumber : Karl Albrecht, The Service Advantage, 1990 : 37

Gambar 2.1 The Moment of Truth Model

Dasar pemikiran yang utama untuk menjelaskan bagaimana manusia

berinteraksi dan berkomunikasi dikenal sebagai contect bound. Ini berarti

bahwa seluruh elemen dalam interaksi antara pelanggan dengan karyawan

memiliki dampak yang besar bagi mereka, bagi hubungan itu sendiri dan

hasilnya (Utomo, 2011).

Frames of Reference, bertindak sebagai filter dan membawa akibat

yang kuat bagi individu terhadap pelayanan, dan secara total didominasi

oleh proses berpikir, sikap-sikap, perasaan nilai-nilai keyakinan, keinginan

dan harapan-harapan individu. Customer's Generic Preferance

mengungkapkan bahwa :

• Pelanggan ingin diperlakukan sebagai manusia.

• Pelanggan tersentuh bila diperlakukan sebagai individu.

• Pelanggan menyukai produk yang bisa berfungsi dengan baik.

• Pelanggan menyukai hal yang mudah dan sederhana.

• Pelanggan mendambakan pengalaman tanpa birokrasi.

19

Menurut Zeithaml dan Bitner (2006), terdapat 3 dimensi moment

of truth yang terjadi dengan suatu pelayanan, yaitu:

1) Remote MOT, yakni interaksi antara pelanggan dengan penyedia jasa

tanpa melibatkan faktor manusia. Biasanya pelanggan mendapatkan

MOT-nya dari suatu instrumen atau mesin.

2) Human MOT, yaitu interaksi yang terjadi antara pelanggan dan

penyedia pelayanan di mana terdapat elemen manusia dalam

interaksinya dan melibatkan kontak langsung antara pelanggan dan

penyedia pelayanan. Sebagian besar dari MOT suatu pelayanan masih

melibatkan human factor.

3) Telephone MOT, yaitu interaksi yang melibatkan 2 jenis MOT di atas,

yakni Remote MOT dan Human MOT. Dalam interaksinya, masih

terdapat human factor dalam MOT ini, tetapi secara fisik tidak

bertemu karena pelayanan hanya diberikan melalui telepon saja.

Menurut Irawan (2002) terdapat dua moral yang perlu dipelajari

dalam konteks moment of truth dan kepuasan pelanggan. Pertama,

setiap pelanggan harus tahu setiap MOT yang terjadi selama proses

pelayanan. Perusahaan penyedia jasa perlu menentukan manakah

MOT yang kritikal dalam menentukan kepuasan pelanggan, dan

manakah MOT yang relatif kurang berpengaruh. Kedua, apakah

pelanggan lebih mengharapkan standarisasi pelayanan atau pelayanan

yang bersifat personal. Ini sungguh vital dalam memberikan arah

terhadap investasi perusahaan ke depan, yaitu apakah harus investasi

untuk pembelian mesin pelayanan, membuat call center, atau

20

memperbanyak jumlah customer service. Kesalahan dalam mengambil

keputusan akan memperkecil peluang untuk dapat meningkatkan

kepuasan pelanggan.

2.1.3 Kualitas Pelayanan (Service Quality)

2.1.3.1 Pengertian Kualitas

Kualitas telah menjadi harapan dan impian bagi semua orang baik

pelanggan maupun produsen. Yang dimaksud dengan kualitas atau mutu

suatu produk atau jasa yaitu:

a. Derajat atau tingkatan dimana produk atau jasa tersebut mampu

memuaskan keinginan dari pelanggan (Wignjosoebroto,

2003:251).

b. Menurut Yamit (2005) membuat definisi kualitas yang lebih luas

cakupannya yaitu “kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang

berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan

lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.

c. Menurut Utami (2006:245) keunggulan atau keistimewaan yang

dapat didefinisikan sebagai penyampaian pelayanan yang relatif

istimewa terhadap harapan pelanggan. Karena pelanggan biasanya

terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan

yang menghasilkan produk menekankan pada hasil, karena

pelanggan umumnya tidak terlibat langsung dalam prosesnya.

Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat

21

memberikan jaminan kepada pihak pelanggan bahwa produk

tersebut dihasilkan oleh proses yang berkualitas (Yamit, 2005:9).

Lima pendekatan kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi

bisnis, menurut David Garvin yang dikutip oleh (Yamit, 2005:9-10) yaitu :

a. Transcedental Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat

dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun

diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam seni musik, seni

tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan,

perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan

pernyataan-pernyataan seperti kehalusan dan kelembutan kulit

(sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik), pelayanan prima

(bank), tempat belanja yang nyaman (mall atau gerai). Definisi

seperrti ini sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam

manajemen kualitas.

b. Product-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau

atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan

adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk secara objektif,

tetapi pendekatan ini tidak menjelaskan perbedaan dalam

preferensi individual.

c. User-based Approach

Kualitas pada pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa

kualitas tergantung pada orang yang memandangnya dan produk

22

yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan

selera (fitness for used) merupakan produk yang berkualitas paling

tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan pelanggan

yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda

pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum

yang dapat dirasakan.

d. Manufacturing-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau

dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai

yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan

prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi

yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang

menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan

perusahaan, dan bukan pelanggan yang menggunakannya.

e. Value-based Approach

Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari

segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai “affordable

excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat

relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi

belum tentu produk yang bernilai. Produk yang bernilai adalah

produk yang paling tepat beli.

Meskipun sulit mendefinisikan kualitas dengan tepat dan tidak ada

definisi kualitas yang dapat diterima secara universal, dari perspektif David

Garvin tersebut dapat bermanfaat dalam mengatasi konflik-konflik yang

23

sering timbul di antara para manajer dalam departemen fungsional yang

berbeda. Misalnya, departemen pemasaran lebih menekankan pada aspek

keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan. Menghadapi konflik

seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan antara

beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan

yang berkelanjutan atau melakukan secara terus-menerus.

2.1.3.2 Pengertian Pelayanan

Bagian yang paling rumit dalam pelayanan adalah kualitasnya yang

sangat dipengaruhi oleh harapan pelanggan. Harapan pelanggan yang dapat

bervariasi dari pelanggan yang satu dengan pelanggan yang lain walaupun

pelayanan yang diberikan konsisiten.

Menurut Olsen dan Wycktoff (1978) yang dikutip oleh Yamit

(2004:22) melakukan pengamatan atas jasa pelayanan dan mendefinisikan

jasa pelayanan sebagai sekelompok manfaat yang berdaya guna secara

eksplisit maupun implisit atas kemudahan untuk mendapatkan barang

maupun jasa pelayanan. Dan definisi secara umum dari kualitas jasa

pelayanan ini adalah dapat dilihat dari perbandingan antara harapan

konsumen dengan kinerja kualitas jasa pelayanan.

2.1.3.3 Karakteristik Pelayanan

Beberapa perbedaan terhadap pengertian pelayanan secara terus

menerus perbedaan akan mengganggu, beberapa karakteristik pelayanan

berikut ini akan memberikan jawaban yang lebih mantap terhadap

24

pengertian pelayanan. Karakteristik pelayanan tersebut menurut Yamit

(2004:21) adalah:

a. Tidak dapat diraba (intangibility). Jasa adalah sesuatu yang

sering kali tidak dapat disentuh atau tidak dapat diraba. Jasa

mungkin berhubungan dengan sesuatu secara fisik seperti pesawat

udara, kursi dan meja. Bagaimanapun juga pada kenyataannya

konsumen membeli dan memerlukan sesuatu yang tidak dapat

diraba. Oleh karena itu jasa atau pelayanan yang terbaik menjadi

penyebab khusus yang secara alami disediakan.

b. Tidak dapat disimpan (inability to inventory). Salah satu ciri

khusus dari jasa adalah tidak dapat disimpan. Misalnya, ketika kita

pergi ke tempat jasa potong rambut, maka apabila pemotong rambut

telah dilakukan tidak dapat sebagiannya disimpan untuk besok.

c. Produksi dan konsumsi secara bersama. Jasa adalah sesuatu

yang dilakukan secara bersamaan dengan produksi. Misalnya

tempat praktek dokter, salon, restoran, dan sebagainya.

d. Memasukinya lebih mudah. Mendirikan usaha dibanding jasa

membutuhkan investasi yang lebih sedikit, mencari lokasi lebih

mudah dan banyak tersedia, tidak membutuhkan teknologi tinggi.

Kebanyakan usaha jasa hambatan untuk memasukinya lebih rendah.

e. Sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar. Jasa sangat

dipengaruhi oleh faktor dari luar, seperti: teknologi, peraturan

pemerintah, dan kenaikan harga energi.

25

Sedangkan Kotler (2008:12) menguraikan karakteristik atau sifat dari

jasa sebagai berikut:

a. Intangible (tidak berwujud)

Jasa memiliki sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dikecap,

dirasakan, dicium, atau dinikmati sebelum jasa tersebut dibeli.

b. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)

Jasa tidak dapat dipisahkan dari sang pemberi jasa.

c. Variability (bervariasi)

Jasa senantiasa mengalami perubahan, yang dipengaruhi oleh untuk

siapa jasa tersebut diberikan. Karena sifat jasa tidak dapat

dipisahkan dari si pemberi jasa, maka perubahan yang terjadi adalah

perbedaan kualitas jasa tergantung dari siapa penyedia jasa,

penerima, dan kondisi di mana jasa tersebut diberikan.

d. Perishability (tidak bertahan lama atau tidak dapat disimpan)

Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk

digunakan atau dijual kemudian. Jasa langsung habis dinikmati

setelah dibeli saat itu juga.

2.1.3.4 Indikator Kualitas Pelayanan

Zeithaml, Berry dan Parasuraman, dalam Tjiptono (2007:95) meneliti

sejumlah industri jasa dan berhasil mengidentifikasikan indikator pokok

kualitas jasa, yaitu: reliabilitas, responsif atau daya tanggap, kompetensi,

akses, kesopanan, komunikasi, kredibilitas, keamanan, kemampuan

memahami pelanggan, dan bukti fisik (tangibles). Karena ditemukan adanya

26

overlapping dari beberapa dimensi di atas, sehingga indikator-indikator

tersebut disederhanakan menjadi lima indikator pokok kualitas jasa, yaitu:

a. Tangibles (bukti langsung), yaitu meliputi fasilitas fisik,

peralatan/perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.

b. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan dalam memberikan

pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan yang

telah dijanjikan.

c. Responsiveness (daya tangkap), yaitu kesediaan dan kemampuan

penyedia layanan untuk membantu para pelanggan dan merespon

permintaan dengan segera, meliputi:

� Ketanggapan karyawan dalam menangani masalah

� Ketersediaan karyawan menjawab pertanyaan pelanggan

d. Assurance (jaminan), yaitu pengetahuan dan kesopanan

karyawan serta kemampuan mereka dalam menumbuhkan rasa

percaya dan keyakinan pelanggan, meliputi:

� Keramahan dan sopan santun karyawan dalam melayani

pelanggan

� Pengetahuan karyawan mengenai produk atau jasa yang

ditawarkan

� Keterampilan karyawan dalam melayani pelanggan

e. Empathy (empati), yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan

hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus

terhadap kebutuhan pelanggan.

27

2.1.4 Kepuasan Pelayanan (Service Satisfaction)

2.1.4.1. Kepuasan

a. Pengertian Kepuasan

Kepuasan adalah suatu keadaan yang dirasakan konsumen setelah dia

mengalami suatu kinerja (atau hasil) yang telah memenuhi berbagai

harapannya. Menurut Oliver (1981), kepuasan adalah tingkat perasaan

seseorang (pelanggan) setelah membandingkan antara kinerja atau hasil

yang dirasakan (pelayanan yang diterima dan dirasakan) dengan yang

diharapkannya.

Menurut Kotler (2008), kepuasan konsumen adalah hasil yang

dirasakan oleh pembeli yang mengalami kinerja sebuah perusahaan yang

sesuai dengan harapannya (Hermanto, 2010).

Hingga saat ini definisi kepuasan pelanggan masih banyak

diperdebatkan, setidaknya ada dua tipe yang domain. Disatu pihak,

kepuasan pelanggan dipandang sebagai outcome atau hasil yang didapatkan

dari pengalaman konsumsi barang atau jasa spesifik (outcome-oriented

approach). Di lain pihak, kepuasan pelanggan juga kerapkali dipandang

sebagai proses (process-oriented approach).

Kendati demikian, belakangan ini prosess-oriented approach lebih

dominan. Penyebabnya, orientasi program dipandang lebih mampu

mengungkap pengalaman konsumsi secara keseluruhan dibandingkan

orientasi hasil. Orientasi proses menekankan perseptual, evaluatif, dan

psikologis yang berkontribusi terhadap terwujudnya kepuasan atau

28

ketidakpuasan pelanggan, sehingga masing-masing komponen signifikan

dapat ditelaah secara lebih spesifik (Hermanto, 2010).

b. Manfaat kepuasan

Beberapa manfaat kepuasan menurut Hermanto (2010) adalah:

1) Kepuasan pelanggan merupakan sarana untuk menghadapi

kompetisi di masa yang akan datang.

2) Kepuasan pelanggan merupakan promosi terbaik.

3) Kepuasan pelanggan merupakan asset perusahaan terpenting.

4) Kepuasan pelanggan menjamin pertumbuhan dan perkembangan

perusahaan.

5) Pelanggan makin kritis dalam memilih produk.

6) Pelanggan puas akan kembali.

7) Pelanggan yang puas mudah memberikan referensi.

2.1.4.2. Kepuasan Pelayanan (Service Satisfaction)

Kepuasan terhadap pelayanan akan dinyatakan melalui hal-hal sebagai

berikut (Satrianegara dan Sitti Saleha, 2009:141):

1) Komunikasi dari mulut ke mulut

Informasi yang diperoleh dari orang lain yang memperoleh

pelayanan yang memuaskan ataupun tidak, akan menjadi

informasi yang dapat digunakan sebagai referensi untuk

menggunakan atau memilih jasa pelayanan tersebut.

29

2) Kebutuhan pribadi

Masyarakat selalu membutuhkan pelayanan yang tersedia sebagai

kebutuhan pribadi yang tersedia pada waktu dan tempat sesuai

dengan kebutuhan. Masyarakat mengharapkan adanya kemudahan

dalam memperoleh pelayanan dengan baik.

3) Pengalaman masa lalu

Masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan yang

memuaskan akan kembali ke pelayanan yang terdahulu untuk

memperoleh layanan yang memuaskan sesuai dengan

kebutuhannya berdasarkan pengalaman masa lalu.

4) Komunikasi eksternal

Sosialisasi yang luas dari sistem pelayanan mengenai fasilitas,

sumber daya manusia, serta kelebihan-kelebihan yang dimiliki

suatu organisasi atau perusahaan akan mempengaruhi pemakaian

jasa oleh masyarakat.

2.1.4.3. Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)

Konsep kepuasan masih bersifat abstrak. Pencapaian kepuasan dapat

merupakan proses yang sederhana maupun kompleks dan rumit. Peranan

setiap individu dalam pemberian service sangat penting dan berpengaruh

terhadap kepuasan yang dibentuk (Arief, 2007:166). Konsep kepuasan

menurut beberapa ahli:

30

a. Menurut Kotler (2008) kepuasan pelanggan adalah tingkat

perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja yang dia

rasakan atau alami terhadap harapannya.

b. Menurut Richard F. Gerson (Arief, 2007:167) kepuasan

pelanggan adalah jika harapannya telah terpenuhi atau terlampaui.

c. Menurut Hoffman dan Beteson (Arief, 2007:167) kepuasan

atau ketidakpuasan adalah perbandingan dari ekspektasi konsumen

kepada persepsi mengenai interaksi jasa (service encounter) yang

sebenarnya.

d. Wikkie (Tjiptono, 2007:349) mendefinisikan kepuasan

pelanggan sebagai tanggapan emosional pada evaluasi terhadap

pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa.

e. Menurut Wahyuddin dan Muryati (2001:191), ada dua pihak

yang terlibat dalam proses jasa atau pelayanan, yaitu penyedia

layanan (pelayan) dan pelanggan (yang dilayani). Dalam pelayanan

yang disebut pelanggan (customer) adalah masyarakat yang

mendapat manfaat dari aktivitas yang dilakukan oleh organisasi

atau petugas dari organisasi pemberi layanan tersebut.

Kepuasan pelanggan terjadi setelah mengkonsumsi produk atau jasa

yang dibelinya. Pelanggan umumnya mengevaluasi pengalaman penggunaan

suatu produk atau jasa untuk memutuskan apakah mereka akan

menggunakan kembali produk atau jasa tersebut.

Satisfaction (kepuasan) berasal dari bahasa latin “satis” (artinya cukup

baik, memadai) dan “factio” (artinya melakukan atau membuat). Secara

31

sederhana, kepuasan dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’

atau ‘membuat sesuatu memadai’ (Tjiptono, 2005:349).

Menurut Kotler (2008:70) kepuasan pelanggan sebagai perasaan

senang atau kecewa seseorang terhadap suatu produk setelah ia

membandingkan hasil/prestasi produk yang dipikirkan terhadap kinerja atau

hasil produk yang diharapkan. Jika kinerja memenuhi harapan, maka itu

artinya pelanggan puas. Tetapi jika kinerja melebihi harapan pelanggan,

maka hal ini berarti pelanggan puas atau amat puas. Menurut Simamora

(2003:18), kepuasan pelanggan adalah hasil pengalaman terhadap produk.

Ini adalah sebuah perasaan pelanggan setelah membandingkan antara

harapan (prepurchase expectation) dengan kinerja aktual (actual

performance).

Berdasarkan kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan

merupakan fungsi dari kesan kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di

bawah harapan, maka pelanggan tidak puas. Jika kinerja sesuai dengan

harapan, maka pelangan puas.

Dalam rangka mengembangkan suatu mekanisme pemberian layanan

yang memuaskan bagi pelanggan, maka perusahaan perlu mengetahui hal-

hal berikut:

1. Mengetahui apa yang pelanggan pikirkan tentang perusahaan,

pelayanan yang diberikan perusahaan dan pesaing.

2. Mengukur dan meningkatkan kinerja perusahaan

3. Mempergunakan kelebihan perusahaan dalam pemilihan pasar

32

4. Memanfaatkan kelemahan perusahaan dalam peluang

pengembangan, sebelum pesaing memulainya

5. Membangun wahana komunikasi internal sehingga setiap personil

mengetahui apa yang mereka kerjakan

6. Menunjukkan komitmen perusahaan terhadap kualitas dan

pelanggan

2.1.4.4. Elemen program Kepuasan Pelanggan

Menurut Tjiptono (2007:354) ada beberapa elemen kepuasan

pelanggan yaitu:

a. Kualitas produk dan jasa, perusahaan yang ingin

menerapkan program kepuasan pelanggan harus memiliki produk

berkualitas baik dan layanan prima. Biasanya perusahaan yang

tingkat kepuasan pelanggannya tinggi menyediakan tingkat

layanan pelanggan yang tinggi pula.

b. Program promosi loyalitas, program promosi loyalitas

banyak diterapkan untuk menjalin relasi antara perusahaan dari

pelanggan. Biasanya program ini memberikan semacam

‘penghargaan’ atau rewards khusus seperti bonus, voucher, diskon

dan hadiah yang dikaitkan dengan frekuensi pembelian atau

pemakaian produk atau jasa perusahaan kepada pelanggan yang

rutin agar tetap loyal pada produk atau jasa perusahaan.

c. Sistem penanganan keluhan, menurut Schnaars

(Tjiptono, 2007:355) penanganan komplain terkait erat dengan

33

kualitas produk dan jasa yang dihasilkan benar-benar berfungsi

sebagaimana mestinya sejak awal. Setelah itu, jika ada masalah

perusahaan segera berusaha memperbaikinya lewat system

penanganan komplain. Fakta menunjukkan bahwa kebanyakan

pelanggan mengalami berbagai macam masalah, setidaknya

berkaitan dengan konsumsi beberapa produk, waktu penyampaian,

atau layanan pelanggan. Oleh sebab itu, setiap perusahaan harus

memiliki sistem penanganan komplain yang efektif. Menurut

Tjiptono (2005:35) sistem penanganan komplain yang efektif

membutuhkan beberapa aspek yaitu:

1. Permohonan maaf kepada pelanggan atas

ketidaknyamanan

2. Empati terhadap pelanggan yang ramah

3. Kecepatan dalam penanganan keluhan

4. Kewajaran atau keadilan dalam memecahkan masalah

atau keluhan

5. Kemudahan bagi konsumen untuk menghubungi

perusahaan (via saluran telepon bebas pulsa, surat, email,

fax, maupun tatap muka langsung) dalam rangka

menyampaikan komentar, saran, kritik, pertanyaan dan

komplain.

d. Garansi, strategi unconditional guarantees menurut

Hart (Tjiptono, 2007:356) mengungkapkan bahwa garansi

dibutuhkan untuk mendukung keberhasilan program kepuasan

34

pelanggan. Garansi merupakan janji eksplisit yang disampaikan

kepada para pelanggan mengenai tingkat kinerja yang dapat

diharapkan akan mereka terima. Garansi yang baik harus memiliki

beberapa karakteristik pokok, seperti:

1. Tidak bersyarat, berarti tidak dibebani dengan berbagai

peraturan, ketentuan, atau pengecualian yang membatasi

atau menghambat kebijakan pengembalian atau

kompensasi.

2. Spesifik, yaitu perusahaan menjanjikan pengiriman sesuai

dengan kesepakatan perusahaan dan pelanggan.

3. Realistis, seperti pemberian garansi yang realistis dan

nyata.

4. Meaningful, mencakup aspek-aspek penyampaian jasa

yang penting bagi pelanggan

5. Dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan mudah

dimengerti, maksudnya tidak dalam bahasa hukum yang

berbelit-belit.

e. Harga, untuk pelanggan yang sensitif biasanya harga

yang murah adalah sumber kepuasan, yang penting karena mereka

akan mendapatkan value for money yang tinggi. Namun bagi

pelanggan yang tidak sensitif terhadap harga, akan melihat hasil

jasa yang disampaikan perusahaan tersebut sesuai harga yang

mereka bayar.

35

Hanan dan Karp (1991) menyatakan bahwa untuk menciptakan

kepuasan pelanggan, suatu perusahaan harus dapat memenuhi kebutuhan

dan keinginan konsumen yang secara umum dibagi menjadi tiga kategori

sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan produk

� Kualitas produk, yaitu merupakan mutu dari semua

komponen-komponen yang membentuk produk, sehingga

produk tersebut memiliki nilai tambah

� Hubungan antara nilai sampai pada harga, merupakan

hubungan antara harga dan nilai produk yang ditentukan

oleh perbedaan antara nilai yang diterima oleh pelanggan

dengan harga yang dibayar oleh pelanggan terhadap suatu

produk yang dihasilkan oleh perusahaan

� Bentuk produk atau jasa, merupakan komponen-

komponen fisik dari suatu produk atau jasa yang

menghasilkan suatu manfaat.

� Keandalan, merupakan kemampuan dari suatu

perusahaan untuk menghasilkan produk yang sesuai

dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelayanan

� Jaminan, merupakan suatu jaminan yang ditawarkan

perusahaan untuk harga pembelian atau mengadakan

36

perbaikan terhadap produk atau jasa yang rusak setelah

pembelian

� Respon dari cara pemecahan masalah, merupakan sikap

dari karyawan dalam menanggapi keluhan serta masalah

yang dihadapi pelanggan

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pembelian

� Pengalaman karyawan, merupakan semua hubungan

antara pelanggan dengan karyawan khususnya dalam

komunikasi yang berhubungan dengan pembelian

� Kemudahan dan kenyamanan, yaitu segala kemudahan dan

kenyamanan yang diberikan oleh perusahaan terhadap

produk atau jasa yang dihasilkannya

2.1.4.5. Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Menurut Tjiptono (2005:366) ada beberapa konsep inti mengenai

objek pengukuran sebagai berikut:

a. Kepuasan pelanggan keseluruhan

Cara paling sederhana dalam mengukur kepuasan pelanggan

adalah langsung menanyakan langsung kepada pelanggan seberapa

puas mereka dengan produk atau jasa tertentu. Ada dua proses

dalam pengukurannya, yaitu mengukur tingkat kepuasan

pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan bersangkutan dan

menilai serta membandingkannya dengan tingkat kepuasan

pelanggan keseluruhan terhadap produk atau jasa pesaing

37

b. Harapan

Dalam konsep ini kepuasan pelanggan diukur berdasarkan

kesesuaian atau ketidaksesuaian antara harapan pelanggan dengan

kinerja perusahaan

c. Minat pembelian ulang

Kepuasan pelanggan diukur dengan menanyakan apakah

pelanggan akan berbelanja atau menggunakan jasa perusahaan

tersebut lagi

d. Kemudahan

Faktor kemudahan yang dimaksudkan adalah kemudahan

pelanggan dalam mendapatkan produk atau jasa tersebut.

Pelanggan akan semakin puas apabila relatif mudah dijangkau,

nyaman, dan efisien dalam mendapatkan produk maupun

pelayanan.

Menurut Tsiros et al. (2004), skala pengukuran kepuasan pelanggan

adalah sebagai berikut:

a. Kepercayaan pelanggan terhadap penyedia pelayanan

b. Kepuasan pelanggan terhadap karyawan yang memberikan

pelayanan

c. Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan secara

keseluruhan

d. Kepuasan atas pengalaman interaksi pelanggan dengan penyedia

jasa

38

2.1.5 Niat Pembelian (Buying Intentions)

2.1.5.1 Pengertian Niat Pembelian

Niat membeli seringkali digunakan untuk menganalisa perilaku

konsumen. Sebelum melakukan pembelian, konsumen biasanya akan

mengumpulkan informasi tentang produk yang didasarkan pada

pengalaman pribadi maupun informasi yang berasal dari lingkungannya.

Setelah informasi dikumpulkan, maka konsumen akan mulai melakukan

penilaian terhadap produk, melakukan evaluasi serta membuat keputusan

pembelian setelah membandingkan produk serta mempertimbangkannya.

Niat pembelian oleh Ajzen dan Fishbein (2001) digambarkan

sebagai suatu situasi seseorang sebelum melakukan suatu tindakan yang

dapat dijadikan dasar untuk memprediksi perilaku atau tindakan tersebut.

Menurut Assael (1995:135) niat pembelian merupakan perilaku

yang muncul sebagai respon terhadap obyek yang menunjukkan

keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian. Beberapa pengertian

dari niat pembelian adalah sebagai berikut:

a. Niat beli juga mengindikasikan seberapa jauh orang mempunyai

kemauan untuk membeli.

b. Niat beli menunjukkan pengukuran kehendak seseorang dalam

membeli.

c. Niat beli berhubungan dengan perilaku membeli yang terus menerus.

Rossiter dan Percy dalam Nababan (2008:20) mengemukakan

bahwa minat beli merupakan instruksi diri konsumen untuk melakukan

39

pembelian atas suatu produk, melakukan perencanaan, mengambil

tindakan-tindakan yang relevan seperti mengusulkan (pemrakarsa),

merekomendasikan (influencer), memilih, dan akhirnya mengambil

keputusan untuk melakukan pembelian. Schiffman dan Kanuk (2007:49)

menyatakan bahwa motivasi sebagai kekuatan dorongan dari dalam diri

individu yang memaksa mereka untuk melakukan tindakan. Jika

seseorang mempunyai motivasi yang tinggi terhadap obyek tertentu,

maka dia akan terdorong untuk berperilaku menguasai produk tersebut.

Sebaliknya jika motivasinya rendah, maka dia akan mencoba untuk

menghindari obyek yang bersangkutan. Implikasinya dalam pemasaran

adalah untuk kemungkinan orang tersebut berminat untuk membeli

produk atau merek yang ditawarkan atau tidak. Dua teori yang digunakan

untuk melihat niat membeli konsumen, yaitu Theory Reasoned Action

(TRA) dan Theory of Planned Behavior (TPB).

2.1.5.2 Theory Reasoned Action (TRA)

TRA menyatakan bahwa perilaku didahului oleh niat dan niat

ditentukan oleh sikap keperilakuan serta norma subjektif secara individual

(Njite & Parsa 2005:45-46). The Theory Reasoned Action (TRA) yang

dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Summers et al

(2006:407) didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah rasional dan

membuat penggunaan informasi yang tersedia menjadi sistematis untuk

mereka.

40

Berdasarkan teori ini, niat beli seseorang ditentukan oleh dua faktor,

yaitu sikap berperilaku secara individu (individual’s attitude toward the

behavior) dan norma subjektif (subjective norm). Sikap berperilaku adalah

fungsi dari keyakinan yang menonjol (salient beliefs) yang menyatakan

bahwa perilaku memiliki beberapa atribut dan evaluasi dari keyakinan

tersebut. Norma subjektif merupakan fungsi dari keyakinan individu, secara

khusus individu atau kelompok berfikir bahwa mereka seharusnya atau tidak

seharusnya menyatakan perilaku dan motivasi individu untuk menuruti

referensi tersebut (Summers et al 2006:407).

Summers et al (2006:408) juga menemukan bahwa sebagian besar

peneliti yang menggunakan TRA hanya berfokus pada variabel utama yaitu

sikap keprilakuan (attitude toward the behavior) dan norma subjektif

(subjective norm), meskipun beberapa peneliti lairmya juga memasukkan

pengaruh variabel eksternal, seperti perdebatan, harga dan prestise sebagai

faktor eksternal yang mempengaruhi niat.

Theory of Reasoned Action yang dikembangkan oleh Fishbein &

Ajzen memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan terbesar dari teori ini

menurut Ajzen & Fisbein (1980:1) adalah orang merasa bahwa mereka

memiliki sedikit kekuatan atas sikap dan perilaku mereka. Untuk

menyeimbangkan teori ini, Ajzen menambahkan elemen ketiga yaitu kontrol

keprilakuan yang dirasakan (perceived behavioral control). Penambahan

elemen ini menghasilkan teori baru yang dikenal dengan The Theory of

Planned Behavior (Roslina, 2009).

41

2.1.5.3 Theory of Planned Behavior (TPB)

Alasan utama dari teori ini adalah perilaku pembelian tidak dibuat

secara spontan tetapi berhubungan dengan proses yang mempengaruhi

perilaku Walaupun secara tidak langsung yaitu sikap (attitude), norma

(norms), dan kontrol persepsi dari perilaku.

The Theory of Planned Behavior (Ajzen, 1985) dalam Chiou et al

(2005:319) mendalilkan tiga konseptualisasi faktor independen yang

menentukan niat. Faktor pertama adalah sikap untuk bertindak (attitude

toward the act) dan tingkat dimana orang akan menyukai atau tidak

menyukai evaluasi atau menilai pertanyaan perilaku. Faktor kedua adalah

norma yang dirasakan (perceived norm) dan tekanan sosial yang dirasakan

untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku. Faktor ketiga adalah

kontrol perilaku yang dirasakan (perceived behavioral control) dan tingkat

sumber dan kontrol perilaku yang dirasakan.

TPB merupakan perluasan dari The Theory of Reasoned Action

(TRA) Ajzen & Fishbein (1980) dengan menambahkan variabel baru untuk

memberikan perhatian pada konsep kemauan sendiri, dengan menambahkan

variabel kontrol keprilakuan yang dirasakan (perceived behavioural

control), dengan alasan beberapa perilaku tidak dalam kontrol penuh

seseorang, hal ini bisa disebabkan sumber daya yang dimiliki, kerjasama

dengan orang lain, dan kemampuan seseorang (Chiou et al, 2005:319).

Dalam TPB, norma subjektif dan kontrol keprilakuan yang

dirasakan (perceived behavioural control) bisa memperkuat atau

memperlemah niat seseorang untuk berprilaku. Jika terjadi perubahan-

42

perubahan pada norma subyektif dari konsumen tersebut dan

konsekuensinya dari perubahan yang tidak diharapkan itu akan turut

mempengaruhinya (Smith et al, 2008:312 dalam Roslina, 2009).

2.1.5.4 Pengukuran Niat Beli

Pengukuran niat beli dikemukakan oleh beberapa penulis dengan

menggunakan beberapa skala (Roslina, 2009), antara lain dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 2.1 Pengukuran Niat Pembelian

Peneliti Skala Pengukuran

Wu & Lo

(2009:l85)

Akan membeli pada harga yang sama

Akan merekomendasikan kepada teman untuk membeli

Akan membeli meskipun dengan harga yang lebih tinggi

Akan merekomendasikan kepada teman untuk membeli

meskipun dengan harga yang lebih tinggi

Lee et al

(2008:300)

Saya berniat untuk berulangkali membeli merek ini

Saya berniat untuk membeli merek ini lebih sering

Wu & Luan

(2007:ll)

Kemungkinan membeli produk

Keinginan untuk membeli produk

Ada kemungkinan saya akan mempertimbangkan

membeli produk

Saya akan mempertimbangkan membeli produk pada

harga yang ditunjukkan

43

Jika saya membeli produk saya akan

mempertimbangkan untuk membeli model yang

ditunjukkan harganya

Coombs & Holladay

(2007:306)

Kemungkinan saya membeli produk yang dibuat

organisasi ini sangat tinggi

Saya akan terus membeli produk yang dibuat oleh

organisasi ini pada tahun yang akan datang

Chandon et al.

(2005) dalam

Espejel et al. (2008)

Saya bermaksud untuk membeli produk ini lagi

Jika ada orang lain yang menyarankan saya untuk

membeli produk ini maka saya akan membeli

Saya akan membeli produk ini atas dorongan dari opini

diri saya sendiri

Saya hanya akan melakukan pembelian produk di toko

ini saja

Sumber : Penulis, 2013

2.2 Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian yang berjudul “Customer Satisfaction in the First and

Second Moments of Truth” pada Journal of Product & Brand, Lofgren, Witell

dan Gustafsson (2008) menyatakan bahwa atribut-atribut dari moment of truth

akan berdampak kepuasan pelanggan dan juga loyalitas pada akhirnya.

44

Thomas Aichner (2012) mengatakan dalam penelitiannya yang berjudul

“The Zero Moment of Truth in Mass Customization” pada International Journal

of Industrial Engineering and Management menyatakan bahwa pada produk

kustomisasi masal (mass customization), zero moment of truth akan berpengaruh

bagi niat pembelian (buying intentions) melalui pengetahuan produk (product

knowledge), dan keterlibatan produk (product involvement).

Saha dan Theingi (2009) menyatakan dalam penelitiannya yang berjudul

“Service quality, satisfaction, and behavioural intentions: A study of low-cost

airline carriers in Thailand” pada Managing Service Quality bahwa dimensi

kualitas pelayanan memiliki peran yang penting dalam membentuk kepuasan

penumpang pesawat dan juga pembentukan niat perilaku mereka sesudahnya.

Mishra dan Sharma (2010) dalam penelitiannya yang berjudul

“Relationship between service quality, loyalty and cross-buying intention:

moderating role of perceived risk and alternative attractiveness” pada

International Journal of Strategic Management menyatakan bahwa pelanggan

akan memiliki niat untuk membeli ketika pelanggan menerima pelayanan dengan

kualitas terbaik dari yang ditawarkan oleh perusahaan.

Rahman, Haque dan Khan (2012) menyatakan dalam penelitiannya yang

berjudul “A Conceptual Study on Consumers’ Purchase Intention of Broadband

Services: Service Quality and Experience Economy Perspective” pada

International Journal of Business and Management bahwa aspek-aspek kualitas

45

pelayanan dan pengalaman ekonomi akan mempengaruhi perilaku pelanggan

dalam pembentukan niat pembelian layanan broadband.

Tat et al. (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Consumers’

Purchase Intentions in Fast Food Restaurants: An Empirical Study on

Undergraduate Students” pada International Journal of Business and Social

Science menyatakan bahwa dari 5 dimensi kualitas pelayanan yang diuji,

assurance memiliki pengaruh yang paling besar terhadap kepuasan pelanggan

restoran siap saji. Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan

dapat mendorong terbentuknya niat pembelian.

Gounaris, Dimitriadis, dan Stathakopoulos (2010) menyatakan dalam

penelitiannya yang berjudul “An examination of the effects of service quality and

satisfaction on customers’ behavioral intentions in e-shopping” pada Journal of

Services Marketing bahwa kualitas pelayanan memiliki dampak positif terhadap

kepuasan pelanggan dan juga mempengaruhi niat perilaku seperti mengunjungi

ulang website, komunikasi word-of-mouth, dan pembelian ulang, baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui kepuasan tersebut.

46

2.3 Kerangka Pemikiran

Sumber : Penulis, 2013

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Moment of Truth (X1)

Service

Quality (X2)

Service

Satisfaction (Y)

Buying Intentions (Z)