bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2012-2-00378-ak bab2001.pdf ·...

27
8 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Kerangka Teori dan Literatur Pajak merupakan penerimaan utama negara yang dipungut dari warga negara yang bukan hanya merupakan suatu kewajiban tetapi juga merupakan hak bagi setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dan berperan dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak tersebut berada pada masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini sesuai dengan sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia yaitu sistem pemungutan self assessment dimana dalam sistem ini masyarakat melakukan penghitungan, penyetoran dan pelaporan sendiri pajak yang terutang. Dalam landasan teori ini dijelaskan teori-teori mengenai jenis pajak yang dikenakan berkaitan dengan kegiatan impor barang kena pajak di Indonesia. 2.1.1. Definisi Pajak Pada dasarnya pajak merupakan iuran partisipasi masyarakat kepada negara berdasarkan kemampuannya masing-masing. Peran pajak sangat besar untuk membiayai proses pembangunan yang berguna bagi kelangsungan pembangunan bangsa ini melalui partisipasi dari masyarakat dalam memenuhi kewajibannya. Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

Upload: buidan

Post on 11-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

8

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Kerangka Teori dan Literatur

Pajak merupakan penerimaan utama negara yang dipungut dari warga negara

yang bukan hanya merupakan suatu kewajiban tetapi juga merupakan hak bagi setiap

warga negara untuk ikut berpartisipasi dan berperan dalam pembiayaan negara dan

pembangunan nasional. Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak tersebut

berada pada masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut. Hal ini sesuai

dengan sistem pemungutan pajak yang dianut di Indonesia yaitu sistem pemungutan

self assessment dimana dalam sistem ini masyarakat melakukan penghitungan,

penyetoran dan pelaporan sendiri pajak yang terutang. Dalam landasan teori ini

dijelaskan teori-teori mengenai jenis pajak yang dikenakan berkaitan dengan

kegiatan impor barang kena pajak di Indonesia.

2.1.1. Definisi Pajak

Pada dasarnya pajak merupakan iuran partisipasi masyarakat kepada negara

berdasarkan kemampuannya masing-masing. Peran pajak sangat besar untuk

membiayai proses pembangunan yang berguna bagi kelangsungan pembangunan

bangsa ini melalui partisipasi dari masyarakat dalam memenuhi kewajibannya.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 1 mendefinisikan pajak sebagai

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

9

kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut beberapa ahli, definisi pajak adalah sebagai

berikut :

1. Definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. dalam buku

Perpajakan : Teori dan Kasus (Siti Resmi, 2011) :

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat jasa timbal balik

(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

membayar pengeluaran umum.”

2. Definsi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Perpajakan

Indonesia (Waluyo, 2012) :

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang

oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak

mendapat prestasi – kembali yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung

dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”

3. Definisi pajak menurut Mr. Dr. NJ. Feldmann dalam buku De Over

Heidsmiddelen Van Indonesia (terjemahan) :

“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada

pengusaha (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa

adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup

pengeluaran-pengeluaran umum.”

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan

bahwa Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh negara baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah kepada masyarakat (Wajib Pajak) yang bersifat memaksa

dan tanpa balas jasa yang diterima secara langsung karena telah diatur dalam

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

10

Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk

membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan nasional.

2.1.2. Fungsi Pajak

Pajak memiliki peranan yang penting bagi pembangunan negara karena pajak

merupakan sumber pendapatan terbesar negara untuk membiayai semua pengeluaran

termasuk pengeluaran pembangunan. Menurut Sumarsan (2012), pajak memiliki 3

(tiga) fungsi utama, yaitu :

1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara)

Pajak memiliki fungsi budgetair yang disebut juga sebagai sumber keuangan

negara, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah

untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai

sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-

banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara

ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui

penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti Pajak Penghasilan,

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta

Pajak Bumi dan Bangunan.

2. Fungsi Regulerend (Pengatur)

Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur

atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi,

serta mencapai tujuan-tujuan tertentu di luar bidang keuangan.

3. Fungsi Distribution (Pemerataan)

Selain 2 (dua) fungsi pajak diatas, pajak juga mempunyai fungsi distribution

(pemerataan) dimana fungsi ini digunakan untuk menyeimbangkan dan

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

11

menyesuaikan antara pembagian pendapatan dengan kesejahteraan

masyarakat.

2.1.3. Sistem Pemungutan Pajak

Setiap negara memiliki cara masing-masing untuk memungut pajak dari

masyarakat. Menurut Mardiasmo (2011), Indonesia memiliki 3 (tiga) sistem

pemungutan pajak antara lain :

1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak ini memberi kewenangan kepada aparatur

perpajakan untuk menentukan jumlah pajak yang terutang oleh Wajib Pajak

setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan

yang berlaku. Dalam sistem ini, seluruh kegiatan penghitungan dan

pemungutan pajak sepenuhnya berada di tangan aparatur pajak.

2. Self Assessment System

Dalam sistem pemungutan pajak ini, penghitungan, penyetoran dan pelaporan

pajak terutang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak dianggap

mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan

yang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan

arti pentingnya membayar pajak.

3. With Holding System

Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga

(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) yang ditunjuk

sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan

presiden, dan peraturan lainnya untuk menentukan besarnya pajak yang

terutang oleh Wajib Pajak dalam tahun yang bersangkutan. Pihak ketiga yang

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

12

ditunjuk tersebut melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan

pertanggungjawaban pajak melalui sarana yang perpajakan yang tersedia.

2.1.4. Saat dan Berakhirnya Utang Pajak

Utang pajak yang timbul karena adanya objek pajak dapat juga berakhir

karena disebabkan dua hal, antara lain :

1. Ajaran Materiil

Ajaran materiil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena

diberlakukannya undang-undang perpajakan. Dalam ajaran ini, Wajib Pajak

secara aktif menentukan apakah dirinya dikenakan pajak atau tidak sesuai

dengan peraturan perpajakan. Ajaran ini konsisten dengan penerapan self

assessment system.

2. Ajaran Formil

Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena dikeluarkannya

surat ketetapan pajak oleh fiskus (pemerintah). Surat ketetapan pajak tersebut

menentukan seseorang dikenakan pajak atau tidak, berapa jumlah pajak yang

harus dibayar, dan kapan jangka waktu pembayarannya. Ajaran ini konsisten

dengan penerapan official assessment system.

Sedangkan untuk berakhirnya utang pajak disebabkan beberapa hal, antara lain :

1. Pembayaran/pelunasan

Pembayaran/pelunasan pajak yang terutang dapat dilakukan dengan

pemotongan/pemungutan oleh pihak lain, pengkreditan pajak luar negeri,

maupun pembayaran sendiri oleh Wajib Pajak ke kantor penerima pajak.

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

13

2. Kompensasi

Kompensasi pajak dapat diartikan sebagai kompensasi kerugian dan

kompensasi karena kelebihan pembayaran pajak. Kompensasi kerugian dapat

menyebabkan terhapusnya atau berakhirnya utang pajak apabila Wajib Pajak

pada tahun tertentu mengalami kerugian dan pada tahun berikutnya

mengalami keuntungan, kerugian tahun sebelumnya dapat di kompensasikan

atau dikurangkan dari laba pada tahun Wajib Pajak mengalami keuntungan

paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

3. Daluwarsa

Utang pajak yang tidak ditagih oleh pemungut pajak dalam jangka waktu 10

(sepuluh) tahun dianggap telah lunas/dihapus/berakhir dan tidak dapat ditagih

lagi pada tahun bersangkutan.

4. Pembebasan atau Penghapusan

Pembebasan dan penghapusan pajak yang terutang dilakukan apabila

berdasarkan penyidikan ternyata Wajib Pajak dinyatakan tidak mampu lagi

memenuhi kewajibannya. Hal ini terjadi karena Wajib Pajak mengalami

kebangkrutan maupun mengalami kesulitan likuiditas.

2.1.5. Surat Pemberitahuan (SPT)

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat 11 menjelaskan tentang

definisi Surat Pemberitahuan (SPT) yaitu surat yang oleh Wajib Pajak digunakan

untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau

bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

14

Menurut Waluyo (2011), Surat Pemberitahuan memiliki fungsi bagi Wajib

Pajak diantaranya :

1. Bagi pengusaha

Surat Pemberitahuan berfungsi sebagai sarana melaporkan dan

mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya

terutang dan untuk melaporkan tentang :

a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah yang dilaksanakan sendiri

dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu

tahun pajak atau bagian tahun pajak

b. penghasilan yang merupakan objek dan/atau bukan objek pajak

c. harta dan kewajiban

d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau

pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2. Bagi Pengusaha Kena Pajak

Fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan

mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai

dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk

melaporkan tentang :

a. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran

b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh

Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa

pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

15

3. Bagi Pemotong atau Pemungut Pajak

Fungi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan

mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan

disetorkannya dengan mengisi formulir SPT dalam bentuk kertas dan/atau

dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, jelas sesuai dengan petunjuk

pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

Secara garis besar, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk

melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang sebenarnya terutang oleh

Wajib Pajak baik yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak maupun yang dipungut oleh

pihak lain.

2.2. Bea Masuk

Sama seperti sistem perpajakan di Indonesia, dalam menetapkan bea masuk,

Indonesia juga menerapkan sistem self assessment dimana pengguna jasa diharuskan

untuk menghitung, menetapkan dan membayar sendiri besarnya pungutan yang harus

dibayar. Oleh karena itu, pengguna jasa kepabeanan harus mengetahui cara

penghitungan pungutan Bea Masuk. Dalam hal ini, yang dimaksud pengguna jasa

adalah importir yang bertanggung jawab atas barang yang diimpor. Bea Masuk atas

barang yang diimpor tersebut, dilunasi selambat-lambatnya pada saat barang akan

dikeluarkan dari kawasan pabean (kecuali impor yang biayanya ditangguhkan atau

dibebaskan).

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

16

2.2.1. Dasar Hukum Bea Masuk

Bea Masuk diatur dibawah keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

yaitu Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1995 No. 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3612)

Tentang Kepabeanan. Selain itu juga terdapat dalam Salinan Menteri Keuangan No.

114/PMK.04/2007 tentang nilai tukar mata uang yang digunakan untuk

penghitungan dan pembayaran Bea Masuk.

2.2.2. Definisi Bea Masuk

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1995 yang

sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 Tentang

Kepabeanan, Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini

yang dikenakan terhadap barang yang diimpor. Pungutan tersebut didasarkan pada

barang yang diimpor dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean. Bea Masuk

ditetapkan dengan menggunakan Dasar Penghitungan Bea Masuk (DPBM) yang

diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang tujuannya adalah untuk kepastian

penghitungan dan memperlancar pengajuan pemberitahuan pabean oleh importir.

2.2.3. Tarif Bea Masuk

Ada dua jenis tarif Bea Masuk antara lain :

a. Tarif Advalorum

Tarif advalorum adalah tarif untuk menghitung Bea Masuk berdasarkan

persentase tertentu. Besarnya Bea Masuk yang terutang dihitung dengan cara

mengalikan persentase dengan harga barang (nilai pabean).

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

17

Bea Masuk = Nilai Pabean x NDPBM x Tarif Bea Masuk

b. Tarif Spesifik

Tarif spesifik adalah tarif untuk menghitung Bea Masuk berdasarkan nilai

rupiah tertentu untuk setiap satuan barang. Besarnya Bea Masuk yang

terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Bea Masuk dengan jumlah

barang yang diimpor.

Bea Masuk = Jumlah Satuan Barang x Tarif Pembebanan Bea Masuk per

Satuan Barang

Tarif Bea Masuk ini terdapat pada Buku Tarif Bea Masuk Indonesia

(BTBMI) yang sejak tahun 2012 diganti menjadi Buku Tarif Kepabeanan Indonesia

(BTKI). Buku ini berisi tentang penggolongan barang-barang yang diimpor dan

digunakan sebagai referensi praktis klasifikasi barang dan tarif Bea Masuk.

Untuk tarif dalam penghitungan Bea Masuk diatur dalam Keputusan Menteri

Keuangan No. 491/KMK.05/1996 tanggal 31 Juli 1996, Bea Masuk dihitung

berdasarkan tarif Bea Masuk dikalikan dengan Nilai Pabean barang impor yang

bersangkutan. Nilai pabean adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.

Nilai pabean untuk menghitung Bea Masuk dan pajak dalam rangka impor adalah

Nilai Pabean dengan kondisi Cost, Insurance, and Freight (CIF). Sedangkan untuk

penghitungan Bea Masuk didasarkan pada ketentuan tentang klasifikasi barang dan

besarnya tarif Bea Masuk atas barang impor.

Penghitungan Bea Masuk didasarkan pada Nilai Dasar Penghitungan Bea

Masuk (NDPBM) yang harus disetorkan dalam mata uang rupiah berdasarkan

Keputusan Menteri Keuangan yang ditetapkan secara berkala. Pelaksanaan

pembayaran Bea Masuk dan pungutan negara lainnya dalam rangka impor dibayar

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

18

melalui Bank Devisa Persepsi atau kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)

yang diatur beradasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam hal nilai tukar mata uang asing tidak tercantum dalam Keputusan

Menteri, maka nilai tukar yang digunakan sebagai NDPBM adalah nilai tukar spot

harian valuta asing yang bersangkutan di pasar internasional terhadap dolar Amerika

Serikat yang berlaku pada penutupan hari kerja sebelumnya. Nilai tukar mata uang

asing tersebut dikalikan dengan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika

Serikat yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.

2.3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

2.3.1. Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Apabila diihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan

pengganti dari Pajak Penjualan. Penggantian ini dilakukan melalui tax reform pada

tahun 1983 karena Pajak Penjualan dianggap sudah tidak lagi memadai untuk

menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai tujuan (sasaran) kebutuhan

pembangunan, antara lain tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara,

mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak.

Undang-undang yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai telah

mengalami reformasi dari tahun 1983. Pajak Pertambahan Nilai pertama kali diatur

dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1983 dan terus dilakukan pembaruan dan

penyempuraan secara konsisten sampai diterbitkannya Undang-Undang No. 11

Tahun 2009, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang No. 42

Tahun 2009 sampai saat ini. Perubahan ini dilakukan melalui tax reform (reformasi

pajak) dengan memiliki tujuan yaitu untuk :

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

19

1. meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak

Pertambahan Nilai baik barang maupun jasa yang pengenaannya diatur lebih

lanjut dalam undang-undang tersebut.

2. menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai dengan mengubah dan

menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai

agar memudahkan Wajib Pajak.

3. mengurangi biaya kepatuhan bagi Wajib Pajak dan biaya pengawasan bagi

Pemerintah.

4. meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak sehingga meningkatkan pula

penerimaan pajak.

2.3.2. Sifat, Tipe, dan Prinsip Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Waluyo (2011) Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia memiliki

beberapa sifat dan karakteristik diantaranya :

a. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif

Pajak Pertambahan Nilai tidak mendasarkan pada objeknya (kondisi subjektif

subjek pajak) melainkan didasarkan pada ada atau tidaknya objek pajak, yaitu

keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenai pajak.

b. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak tidak langsung

Pajak Pertambahan Nilai tergolong sebagai pajak tidak langsung karena

secara ekonomis kewajiban Pajak Pertambahan Nilai dapat dialihkan kepada

pihak lain. Tanggung jawab pembayaran Pajak Pertambahan Nilai kepada

pemerintah berada pada pihak yang menyerahkan barang atau jasa,

sedangkan yang menanggung beban pajak berada pada pihak penanggung

pajak.

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

20

c. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai bersifat multistage tax (pajak

bertingkat)

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan berkali-kali pada setiap mata

rantai jalur produksi maupun jalur distribusi dan pabrikan, pedagang besar

sampai dengan pengecer semua dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

d. Pajak Pertambahan Nilai dipungut dengan alat bukti faktur pajak

Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk membuat faktur pajak sebagai bukti

pungutan Pajak Pertambahan Nilai dan faktur pajak tersebut digunakan untuk

kredit pajak yaitu selisih antara pajak yang dikenakan pada saat penyerahan

barang dan/atau jasa (Pajak Keluaran) dengan pajak yang dibayar pada saat

pembelian barang dan/atau penerimaan jasa (Pajak Masukan).

e. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral

Netralitas Pajak Pertambahan Nilai ini dibentuk oleh dua faktor, antara lain :

1. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.

2. Pajak Pertambahan Nilai dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.

f. Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri

Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip destination principle yaitu pajak

yang dikenakan di tempat barang atau jasa akan dikonsumsi. Dalam prinsip

ini, Pajak Pertambahan Nilai memberikan perlakuan yang sama terhadap

komoditi impor dengan produk domestik yang juga dikonsumsi dalam negeri,

sebaliknya Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas arus barang atau

jasa yang melintasi batas wilayah negara dan yang dikonsumsi di luar negeri.

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

21

2.3.3. Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis (2008), Pengusaha Kena

Pajak adalah pengusaha yang melakukan kegiatan berupa penyerahan Barang Kena

Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Undang-

Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. Subjek Pajak

Pertambahan Nilai dirinci sebagai berikut:

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai yang

meliputi pabrikan dan/atau produsen yang :

a. Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak.

b. Melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak.

c. Melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

d. Melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.

e. Melakukan ekspor Jasa Kena Pajak.

f. Melakukan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk

diperjualbelikan.

2. Non Pengusaha Kena Pajak sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai antara

lain :

a. Pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak.

b. Pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar

daerah pabean di dalam daerah pabean.

c. Pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean.

d. Orang pribadi atau badan yang membangun sendiri tidak dalam kegiatan

e. usaha atau pekerjaannya.

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

22

2.3.4. Objek Pajak Pertambahan Nilai dan Non-Objek Pajak Pertambahan

Nilai

2.3.4.1.Objek Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 diatur bahwa objek

Pajak Pertambahan Nilai adalah :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean ke dalam daerah

pabean oleh Pengusaha Kena Pajak kepada pihak luar, dimana dasar

pengenaan pajaknya adalah nilai harga jual. Yang dimaksud Barang Kena

Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat

berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak yang dikenakan pajak

berdasarkan Undang-Undang.

b. Impor Barang Kena Pajak dengan dasar pengenaannya adalah nilai impor

yang didasarkan pada peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha Kena Pajak. Kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut adalah

kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak, termasuk Jasa Kena Pajak yang

digunakan untuk kepentingan pribadi dan Jasa Kena Pajak yang diberikan

secara cuma-cuma.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean.

f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

23

2.3.4.2. Non-Objek Pajak Pertambahan Nilai

Non-objek Pajak Pertambahan Nilai, terbagi atas dua kategori untuk jenis

barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan jenis jasa yang tidak

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Berikut adalah rinciannya:

Tabel 2.1 Non-Objek Pajak Pertambahan Nilai

Jenis Barang Non- Pajak

Pertambahan Nilai

Jenis Jasa Non-Pajak Pertambahan Nilai

Barang hasil pertambangan atau

hasil pengeboran yang diambil

langsung dari sumbernya

Jasa di bidang pelayanan kesehatan medis,

jasa di bidang pelayanan sosial

Barang-barang kebutuhan pokok

yang sangat dibutuhkan oleh rakyat

banyak

Jasa keagamaan, jasa pendidikan, jasa

kesenian, dan hiburan, jasa penyiaran yang

tidak bersifat iklan

Makanan dan minuman yang

disajikan di hotel, restoran, rumah

makan, warung dan sejenisnya

Jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa

angkutan umum di darat dan di air, jasa

angkutan udara

Uang, emas batangan dan surat

berharga

Jasa keuangan, jasa asuransi, jasa tenaga

kerja, jasa perhotelan, jasa penyediaan

tempat parkir, jasa boga, jasa pengiriman

uang dengan wesel pos, jasa telepon umum

dengan menggunakan uang logam

2.3.5. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Berdasarkan pada Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 17

menjelaskan bahwa dasar pengenaan pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian,

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

24

Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk

menghitung pajak yang terutang.

Komponen-komponen dasar pengenaan pajak untuk menghitung besarnya

Pajak Pertambahan Nilai didefinisikan berdasarkan Undang-Undang No. 42 Tahun

2009 yaitu :

a. Harga jual sesuai dengan pasal 1 angka 18 adalah nilai berupa uang termasuk

semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena

penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan

potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.

b. Penggantian sesuai dengan pasal 1 angka 19 adalah nilai berupa uang,

termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha

karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak atau ekspor

Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak

Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur

pajak.

c. Nilai impor sesuai pasal 1 angka 20 adalah nilai berupa uang yang menjadi

dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan

dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai yang membagi tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 2 (dua)

jenis. Pasal 7 angka 1 menjelaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 10%

dan merupakan tarif tunggal. Di angka 2 menjelaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

25

sebesar 0% yang dikenakan pada kegiatan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud,

ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan ekspor Jasa Kena Pajak.

2.3.6. Saat Terutangnya dan Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak,

impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena

Pajak Tidak Berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah

pabean, ekspor Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.

Dalam pasal 15A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, penyetoran atas

penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menimbulkan utang

Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dalam satu masa pajak paling lama tanggal 15

(lima belas) setiap bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Untuk impor,

penyetoran harus dilakukan pada hari kerja berikutnya, kecuali yang dipungut pada

tanggal 31 Maret harus disetorkan pada hari itu juga. Pajak Pertambahan Nilai yang

pemungutannya dilakukan oleh Bendahara atau instansi pemerintah yang ditunjuk

harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah masa pajak

berakhir.

2.4. Pajak Penghasilan Pasal 22

2.4.1. Definisi Pajak Penghasilan Pasal 22

Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah pajak yang dipungut pada tahun berjalan

melalui pemotongan atau pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga seperti

Bendaharawan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah,

instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, berkenaan

dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

26

pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan dibidang impor atau kegiatan

usaha dibidang lain.

2.4.2. Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22

Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Pasal 22 ayat 1

menyatakan bahwa Menteri Keuangan menetapkan :

1. Bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga

negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang,

termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat

lain yang menjalankan fungsi yang sama.

2. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan

dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti

kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen.

3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas

penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh

Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang

yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat

mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal

pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah,

serta kendaraan sangat mewah.

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 memiliki tujuan untuk

meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem

pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan

pajak yang tepat waktu.

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

27

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 254/KMK.03/2001

sebagaimana disempurnakan dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.

210/PMK.03/2008 dan diperbarui lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan RI No.

154/PMK.03/2010, pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah :

1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) atas impor

barang

2. Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB), Bendaharawan Pemerintah baik

di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas

pembelian barang.

3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah

(BUMD), yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber

dari belanja Negara (APBN) dan/atau belanja Daerah (APBD), kecuali

badan-badan tertentu.

4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan

Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT

Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT

Krakatau Steel, PT Pertamina dan bank-bank BUMN yang melakukan

pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non

APBN.

5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang industri semen, industri rokok,

industri kertas, industri baja dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala

Kantor Pelayanan Pajak atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri

6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan

bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

28

7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,

pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, atas

pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang

pengumpul.

8. Wajib Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat

mewah.

2.4.3. Objek dan Non-Objek Pajak Penghasilan Pasal 22

2.4.3.1.Objek Pajak Penghasilan Pasal 22

Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dibedakan berdasarkan kegiatan

yang dilakukan atau berdasarkan objek. Objek pemungutan Pajak Penghasilan Pasal

22 terdiri dari :

a. Impor barang.

b. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat

Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

c. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

d. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha

yang bergerak di bidang industri tertentu.

e. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri yang bergerak dalam sektor

kehutanan, perkebunan, pertanian, perikanan dari pedagang pengumpul.

f. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh Pertamina dan badan usaha

selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak dan gas.

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

29

2.4.3.2.Non-Objek Pajak Penghasilan Pasal 22

Kegiatan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 22 atau dikecualikan

dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 (bukan objek Pajak Penghasilan Pasal

22) adalah :

a. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan, dinyatakan

dengan Surat Keterangan Bebas (SKB).

b. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan

Nilai yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

c. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk di

ekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

d. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang

jumlahnya paling banyak Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan tidak

merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.

e. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum

atau PDAM, dan benda-benda pos.

f. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan

dari emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas.

g. Pembayaran dan/atau pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor

Perbendaharaan dan Kas Negara.

h. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang

telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang

memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

i. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Badan Urusan

Logistik (BULOG).

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

30

2.4.4. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Atas impor :

a. untuk pengusaha yang memiliki Angka Pengenal Importir (API), tarifnya

sebesar 2,5% dari nilai impor.

b. untuk pengusaha yang tidak memiliki API, tarifnya sebesar 7,5% dari

nilai impor.

c. untuk yang tidak dikuasai, tarifnya sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

2. Untuk pengusaha yang tidak memiliki NPWP, tarif yang dipotong 100%

lebih tinggi dari tarif Pajak Penghasilan Pasal 22 yang seharusnya.

2.4.5. Saat Terutang dan Pelunasan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang adalah

bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk

ditunda atau dibebaskan, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi

pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

2.4.6. Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan

Pasal 22

Berikut adalah uraian mengenai Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan

Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 22 :

1. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang disetor oleh importir dengan

menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean (SSPCP).

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai harus disetor ke bank devisa, atau bank persepsi, atau

bendahara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu)

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

31

hari setelah pemungutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan

paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.

2. Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat

pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,

Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor harus dilunasi saat penyelesaian

dokumen pemberitahuan pabean impor. Dilaporkan ke KPP paling lambat

tanggal 20 (dua puluh) setelah masa pajak berakhir. Dalam hal jatuh tempo

penyetoran atau batas akhir pelaporan Pajak Penghasilan pasal 22 bertepatan

dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran

atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

2.5. Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22

atas Impor Film

Nilai lain yang digunakan sebagai dasar pengenaan atas Bea Masuk, Pajak

Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor film sebelumnya

diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang telah diubah

menjadi Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011.

Dalam peraturan baru ini, jenis tarif yang digunakan untuk menghitung Bea

Masuk berubah menjadi tarif Bea Masuk spesifik dimana sebelumnya menggunakan

tarif Bea Masuk advalorum. Untuk Pajak Pertambahan Nilai atas impor film yang

sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010

menentukan Nilai Lain DPP Pajak Pertambahan Nilai sebagai berikut :

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

32

Tabel 2.2 Nilai Lain Sebagai DPP PPN atas Impor Film

Tujuan Pemakaian DPP

Untuk pemakaian sendiri Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

Harga jual atau penggantian setelah

dikurangi laba kotor

Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

Harga jual atau penggantian setelah

dikurangi laba kotor

Untuk penyerahan media rekaman suara

atau gambar

Harga jual rata-rata

Untuk penyerahan film cerita Perkiraan hasil rata-rata per

judul film

Untuk penyerahan produk hasil tembakau Harga jual eceran

Untuk Barang Kena Pajak berupa

persediaan dan/atau aktiva yang menurut

tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan

Harga pasar wajar

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dari

pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau

penyerahan Barang Kena Pajak antar

cabang

Harga pokok penjualan atau harga

perolehan

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak

melalui pedagang perantara

Harga yang disepakati antara

pedagang perantara dengan pembeli

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak

melalui juru lelang

Harga lelang

Untuk penyerahan jasa pengiriman paket 10% dari jumlah yang ditagih atau

jumlah yang seharusnya ditagih

Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau

jasa biro pariwisata

10% dari jumlah tagihan atau jumlah

yang seharusnya ditagih

Berbeda dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 75/PMK.03/2010 yang

mengatur “semua penyerahan film cerita” baik impor maupun film lokal dan juga

menetapkan Nilai Lain Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dari perkiraan rata-rata per

judul film, dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 102/PMK.011/2011,Pajak

Pertambahan Nilai atas impor film diatur berdasarkan Deemed Taxable Price (SE

Page 26: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

33

No. : SE-30/PJ.3/1987) yaitu dasar pengenaan pajak berdasarkan pada satu perkiraan

harga dan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menjadi Rp

12.000.000,00 per copy Film Cerita Impor baik atas media Film Cerita Impor

maupun penyerahan copy Film Cerita Impor ke Pengusaha Bioskop. Pajak masukan

atas impor film tersebut dapat dikreditkan sebesar Deemed Taxable Price yang

ditetapkan dan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang menyebabkan kelebihan

pembayaran pajak tidak dapat dikompensasikan dan direstitusikan pada bulan

berikutnya.

Terdapat beberapa aturan baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.

102/PMK.011/2011 yang disampaikan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak

No. SE-79/PJ/2011 diantaranya :

a. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas pemanfaatan

Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean berupa Film Cerita Impor

b. penentuan dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan

impor Film Cerita Impor

c. penentuan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang

Kena Pajak tidak berwujud berupa Film Cerita Impor.

Dasar pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk kegiatan impor Film

Cerita Impor sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf b, adalah Nilai Impor atas

media Film Cerita Impor. Yang dimaksud dengan media Film Cerita Impor dapat

berupa pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya. Berubahnya

penghitungan Bea Masuk juga mempengaruhi penghitungan Nilai Impor sebagai

dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor film tersebut.

Page 27: BAB 2 LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2012-2-00378-AK Bab2001.pdf · 10 Undang-Undang serta hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai

34

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 232/KMK.05/1996 yang

mengatur tentang tata cara pembayaran atau penyetoran Bea Masuk dalam rangka

impor dapat melalui Bank Devisa Persepsi disertai dengan Surat Setoran Bea Cukai

(SSBC) yang bentuk dan isinya ditentukan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangka

impor dapat menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang bentuk dan

isinya ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.