bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/bab 2_09-79..pdf · pentingnya...
TRANSCRIPT
9
BAB 2
LANDASAN TEORI
Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang sangat penting
dalam perekonomian Indonesia. Pentingnya kelapa sawit bagi ekonomi Indonesia
bukan saja disebabkan karena kelapa sawit merupakan salah satu sumber
pendapatan devisa negara tetapi kelapa sawit juga merupakan sumber makanan
bagi rakyat Indonesia yaitu sebagai bahan baku industri minyak goreng. Produksi
minyak kelapa sawit Indonesia meningkat dengan tajam dari 450.000 ton pada
tahun 1976 menjadi 12,11 juta ton pada tahun 2005. Indonesia merupakan
produsen kelapa sawit kedua terbesar setelah Malaysia, yang menyumbangkan
sebesar 34% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2005.
Sementara Malaysia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit menyumbang
sebesar 54% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia. Dalam satu dekade
terakhir, rata-rata pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai
21,67% sementara Malaysia tingkat pertumbuhan produksinya hanya mencapai
7,7%. Hal ini mengisyaratkan ekspansi yang cepat dari luas areal tanam dan
produksi minyak sawit di negeri ini.
Industri sawit merupakan sektor unggulan dan memiliki daya saing di pasar
internasional yang ditunjukkan dengan RCA (revealed comparative advantage)
sebesar 14,8. Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar
kedua setelah Malaysia, dengan produksi mencapai lebih dari 15 juta ton dan
ekspor sebesar 11 juta ton pada tahun 2006. Industri ini sangat berperan dalam
10
menyediakan kesempatan kerja bagi lebih dari 2 juta orang, menghasilkan devisa
dan pendapatan negara, serta menyediakan bahan baku bagi industri pangan,
seperti minyak goreng. Peran industri CPO dan produk turunannya akan
terus berkembang, utamanya dengan adanya program energi alternatif,
biodiesel, baik nasional maupun internasional.(Sugema dkk,2007,p1-10)
2.1 Posisi Indonesia dalam Perdagangan CPO Dunia
Catatan Oil World yang dikutip BPS (2007) menyebutkan, total produksi
CPO (dan produk turunannya) di dunia mencapai 33,42 juta ton pada tahun 2005
Dari jumlah ini, sekitar 84 persen dipasok dari dua negara penghasil utama CPO,
yaitu Malaysia dan Indonesia dengan produksi masing‐masing sebesar 14,96 juta
ton (44,76%) dan 13,11 juta ton (39,23%).
Tabel 2.1 Produksi CPO dan Produk Turunannya di Dunia
Sumber:GAPKI dan BPS,2006
12
Sementara itu, pertumbuhan produksi CPO menunjukkan angka yang cukup
tinggi. Pada tiga tahun terakhir, produksi CPO dunia tumbuh sekitar 9%.
Indonesia memiliki peluang pertumbuhan produksi yang relatif lebih tinggi
dibanding Malaysia, mengingat ketersediaan lahan dan teknologi produksi
yang belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2005, produksi CPO
Indonesia tumbuh sekitar 7,20 %, sedangkan Malaysia 7,01 %. Hal yang patut
diwaspadai adalah berkembangnya industri sawit di negara‐negara lain yang
ditunjukkan dengan melonjaknya pertumbuhan produksi CPO yang mencapai
20,22% pada tahun 2005, jauh di atas Indonesia dan Malaysia. Dari jumlah
produksi minyak sawit sebanyak 13,11 juta ton pada tahun 2005, sebanyak 10,38
juta ton diekspor. Angka ini merupakan 79,18% dari total produksi nasional,
meningkat secara tajam dibanding tahun 2001 yang sebesar 58,33%.
Tabel 2. 2 Volume Produksi dan Ekspor CPO dan Produk Turunannya
Keterangan 2001 2002 2003 2004 2005 Total Produksi (Juta Ton) 8.40 9.62 10.44 12.23 13.11 Volume Ekspor (Juta Ton) 4.90 6.33 6.39 8.66 10.38 Presentase Ekspor (%) 58.33 65.90 61.21 70.81 79.81
Sumber : GAPKI,2006
Peningkatan porsi ekspor CPO secara tajam dan konsisten dalam lima tahun
terakhir mencerminkan beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama, masih rendahnya penyerapan CPO didalam negeri berkaitan dengan
terbatasnya kapasitas industri hilir CPO. Dalam industri minyak goreng yang
menyerap sebagian besar pasokan CPO domestik hanya memiliki kapasitas
sekitar 1,9 juta ton per tahun (AIMMI, 2007). Industri turunan CPO saat ini belum
13
siap menyerap pasokan bahan baku, karena masih kurangnya investasi di sektor
hilir. Dalam enam tahun terakhir, produk - produk turunan CPO tidak bergerak
pada kisaran sekitar 60%; ekspor CPO murni sekitar 40%. Hal ini berbeda
dengan Malaysia yang telah mengekspor sebagian besar produk sawitnya berupa
produk turunan. Dalam kondisi industri hilir belum siap, termasuk kurangnya
infrastruktur yang diperlukan, pengekangan ekspor CPO melalui peningkatan tarif
PE hanya akan menekan nilai tambah bagi produsen di sektor hulu dan memicu
keimpangan harga di pasar domestik bagi keuntungan sebesar‐besarnya kelompok
produsen tertentu, utamanya penghasil minyak goreng.
Kedua, nilai tambah tertinggi diperoleh ketika memproduksi CPO, bukan
memproduksi produk turunan CPO. Hal ini menjadi daya tarik bisnis yang nyata
bagi produsen CPO. Memproduksi CPO akan menghasilkan nilai tambah sebesar
US$ 458 ; sementara meemproduksiproduk turunannya, misalnya olein, hanya
menghasilkan nilai tambah sebesar US$ 30.
Tabel 2.3. Ekspor CPO dan Produk Turunannya (dalam Ribu Metrik Ton)
Sumber: GAPKI,2007
14
2.2 Definisi Ekspor
Perdagangan luar negeri merupakan sektor ekonomi yang sangat berperan
dalam menunjang pembangunan ekonomi Indonesia pada umumnya dan Kutai
Kartanegara pada khususnya. Dari kegiatan ekspor dapat diperoleh devisa yang
merupakan salah satu sumber dana untuk pembangunan, sementara dari kegiatan
impor dapat diperoleh bahan baku dan barang modal yang diperlukan dalam
pembangunan.
Menurut Jurnal Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
Kabupaten Kutai Kartenegara (Kartanegara, 2007, p 248 ), Definisi ekspor adalah
pengiriman barang dagangan keluar negeri melalui pelabuhan diseluruh wilayah
Republik Indonesia, baik bersifat komersial maupun bukan komersial. Sedangkan
yang dimaksudkan Impor adalah pengiriman barang dagangan dari luar negeri ke
pelabuhan diseluruh wilayah Indonesia kecuali wilayah bebas yang dianggap luar
negeri, yang bersifat komersial maupun bukan komersial.
Nilai ekspor adalah nilai transaksi barang ekspor sampai diatas kapal
pelabuhan muat dalam keadaan free on board (f.o.bs-), sedangkan nilai impor
adalah nilai transaksi barang dagangan yang diimpor dari luar negeri dalam
keadaan cost, insurance, and freight (c.i.f). (sumber : Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Kutai Kertanegara)
2.3 Pengertian Pajak
Menurut Wikipedia (2008, http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak), Pajak
adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang
15
langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dengan demikian pajak dapat diartikan sebagai pungutan untuk membiayai
pengeluaran umum sektor publik, yang berhubungan dengan tugas pemerintah
untuk menyelenggarakan pelayanan kepada warga negaranya. Disamping sebagai
alat untuk memasukkan dana dari masyarakat ke dalam kas negara (fungsi
budgeter), pajak juga mempunyai fungsi lain, yaitu fungsi mengatur (fungsi
alokasi dan distribusi) sumberdaya dan pendapatan diantara masyarakat. Retribusi
agak berbeda dengan pajak. Dalam retribusi, hubungan antara prestasi yang
dilakukan (dalam wujud pembayaran) dengan kontra-prestasi itu bersifat
langsung. Dalam hal ini, pembayar retribusi menginginkan adanya timbal balik
jasa secara langsung dari pemerintah. Dengan demikian, retribusi adalah pungutan
sebagai imbalam atas pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung
oleh seseorang atau badan (misalnya perusahaan) atas jasa pelayanan, pekerjaan,
pemakaian barang, atau ijin yang diberikan oleh pemerintah. Jadi hanya mereka
(misalnya pengusaha) yang menikmati atau membeli prestasi atau membeli
kenikmatan dari pemerintah saja yang membayar. Disamping pajak dan retribusi,
sebagai species dari pungutan yang lain adalah sumbangan. Di dalam sumbangan
terdapat pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi tertentu
pemerintah, tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi tersebut tidak
ditujukan kepada seluruh masyarakat, melainkan hanya untuk kelompok
masyarakat tertentu saja. Oleh karenanya hanya golongan tertentu dari masyarakat
yang diwajibkan membayar sumbangan tersebut. Namun pada kenyataannya
dilapangan, istilah pajak, retribusi, dan sumbangan seringkali bercampur baur,
16
bahkan seringkali memakai istilah-istilah yang lain seperti iuran, dana
kompensasi, dll.
Selain itu terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang
dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah :
• Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
• Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut:
Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk
public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
• Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock
Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke
sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib
dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa
17
mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari
sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa
adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya
kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan
penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara
dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan
suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan
timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan
tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang
pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari
pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus
berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar
pajak.
Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata
cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
18
2.3.1 Ciri pajak
Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak baik pengertian
secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke
sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang
dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat
pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut:
1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan "pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan)
yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat
membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama
kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila
wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan
sanksi sesuai peraturan perundag-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas
Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk
19
mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi
dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).
2.3.2 Asas Pengenaan Pajak
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada
orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai
keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan
yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan
dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa segala pajak
untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat
menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-
dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan pajak.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan
pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai
landasan untuk mengenakan pajak adalah:
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan
penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang
bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak
dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu
20
berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem
pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas
domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan
baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di
luar negeri (world-wide income concept).
2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak
atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh
atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari
sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi
persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang
memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan
penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara
itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari
penghasilan yang didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh
pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle).Dalam asas ini, yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari
orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini,
tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan
pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak
berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara mengga¬bungkan
asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
21
Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau
kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak,
dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang
disebut pertama, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara
untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak,
yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau
berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara
(dalam asas nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi
objek pajak tidaklah begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang
menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang
akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari
orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak
begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak akan
dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide
income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan
pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari
sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.
Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi
mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber,
gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya
sekaligus.
Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
22
10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek
pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas
sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas
kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur
mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident individual)
menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini seorang penduduk
Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas keseluruhan penghasilan
yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang maupun di luar Jepang.
Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-resident) Jepang, dan badan-
badan usaha luar negeri berkewajiban untuk membayar pajak penghasilan atas
setiap penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber di Jepang.
Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang
berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha luar
negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di Australia.
2.3.3 Penerimaan Pajak di Indonesia
Target penerimaan negara Indonesia di sektor pajak tahun 2006 secara nasional
sebesar Rp 362 trilyun atau mengalami peningkatan 20 persen dari 2005 lalu.
Angka tersebut terdiri Rp 325 trilyun dari pajak dan Rp 37 trilyun dari Pajak
Penghasilan (PPh) Migas.(Brenan dkk,1981,p20-22)
23
Target penerimaan negara dari perpajakan dalam APBN 2006 mencapai Rp.402,1
triliun. Target penerimaan itu antara lain berasal dari:
• Pajak Penghasilan (PPh) Rp.198,22 triliun
• Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPN dan PPnBM) Rp.126,76 triliun
• Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp.15,67 triliun
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Rp.5,06 triliun
penerimaan pajak lainnya Rp.2,76 triliun.
Pendapatan pajak itu sudah termasuk pendapatan cukai Rp.36,1 triliun, bea masuk
Rp.17,04 triliun dan pendapatan pungutan ekspor Rp.398,1 miliar. Total
penerimaan pajak dalam lima tahun terakhir (2001-2005) sudah mencapai 1.040
triliun
2.3.4 Model Leviathan
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal dari pajak
daerah pada dasarnya perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu : (i) dasar pengenaan
pajak dan (ii) tarif pajak. Pemerintah Daerah cenderung untuk menggunakan tarif
yang tinggi agar diperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal.
Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu menghasilkan
total penerimaan maksimum. Hal ini tergantung pada respons wajib pajak,
permintaan dan penawaran barang yang dikenakan tariff pajak lebih tinggi.
Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan. Dengan asumsi bahwa
biaya administrasi perpajakan dianggap tidak signifikan dan ceteris-paribus level
24
pelayanan publik yang dibiayai dfari penerimaan pajak, dan hanya kegiatan
ekonomi saja yang dipengaruhi oleh besaran pajak, maka Gambar 2.1 di bawah
ini menunjukkan hubungan antara tarif pajak proporsional atas basis pajak
tertentu. Bentuk kurva (“Laffer”) yang berbentuk parabola menghadap sumbu Y
(tarif pajak), menghasilkan Total Penerimaan Pajak Maksimum yang ditentukan
oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari beban pajak baik legal maupun
illegal dengan mengubah “economic behavior” dari wajib pajak. Gambar ini juga
mengasumsikan bahwa penyesuaian wajib pajak terhadap pengenaan tarif pajak
tertentu adalah independent terhadap jenis pajak dan tarif pajak lainnya. Model
Leviathan akan mencapai total penerimaan pajak maksimum (T*) pada tarif t*.
Pada tarif t*, menunjukkan bukanlah tariff tertinggi, tetapi dapat dicapai total
penerimaan pajak maksimum. Pada kondisi ini dikenal sebagai Revenue
Maximizing Tax Rate. Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita
bahwa peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan
mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak
yang lebih rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan
penghindaran pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap pengenaan
pajak sedemikian rupa, maka akan dicapai Total Penerimaan Maksimum. Model
Leviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut
antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai Total Penerimaan Pajak
Maksimal.
25
Gambar 2.1 Model Leviathan
2.4 Definisi Pungutan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pungutan berarti; 1) mengambil yang
ada di tanah atau lantai (karena jatuh dan sebagainya), 2) menarik (biaya, derma)
yang berupa uang atau barang, 3) memetik (buah dan hasil tanaman). Dalam
kajian ini, pengertian pungutan lebih pada point 2, dimana pengertian pungutan
secara formal dapat didefinisikan sebagai sesuatu (berupa uang maupun bentuk
lainnya) yang ditarik atau dikumpulkam pihak yang berwenang (legal authority)
atau pengusaha. Dengan demikian, pungutan merupakan salah satu sumber
penerimaan negara untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Pungutan oleh negara biasanya dibedakan menjadi pajak dan
retribusi, dimana pembayaran keduanya dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundangan baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Dalam prakteknya
pungutan tidak sesederhana definisinya. Ada berbagai kategori yang dapat
digunakan untuk membuat anatomi pungutan, yaitu:
26
♦ Dari sisi formalitasnya, ada pungutan resmi (official levies) dan ada pungutan
liar (unofficial levies). Pungutan resmi dalam arti ada dasar hukumnya. Pungutan
resmi ini juga bisa didomplengi oleh pungutan liar, sehingga jumlah pungutan
yang harus dibayar menjadi tidak sesuai dengan jumlah yang semestinya.
♦ Dari sifat kesukarelaannya, ada pungutan wajib dan ada sumbangan sukarela.
Pungutan wajib biasanya dikaitkan dengan fungsi tertentu dari instansi pemerintah
(seperti fungsi pengatur, pembinaan, pelayanan, dan pengawasan). Sumbangan
sendiri secara teoritis bersifat sukarela. Namun kenyataannya sering menjadi
pungutan wajib bukan atas dasar legalitas, melainkan karena ada tekanan
moral/sosial dan atau ancaman. Selain itu, masih ada pungutan yang mungkin
dapat dimasukkan ke dalam “ongkos penyogokan” (cost of bribery) dengan
berbagai label seperti “uang pelicin”, “uang perangsang”, “uang terima kasih”,
“biaya intertainment”, “biaya negosiasi” dan lain-lain. Walaupun dalam hal ini
mengesankan pengusaha sebagai pihak yang aktif mengambil inisiatif, namun
kenyataannya di lapangan menunjukkan praktek-praktek tersebut seringkali
menjadi prosedur “wajib” yang sulit dihindari pengusaha. Berbagai ragam
pungutan yang berkembang, dapat ditarik garis tegas mengenai perspektif
pungutan dari dua sisi. Pada satu sisi, pungutan merupakan bagian dari inefisiensi
ekonomi, akibatnya ekonomi dibangun di atas biaya tinggi. Pada sisi lain,
pungutan juga bersifat sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Secara teoritis,
beban atas pungutan yang dikenakan pada perusahaan tidak secara otomatis
menjadi beban perusahaan, walaupun pungutan tersebut dikenakan langsung
kepada perusahaan. Dalam teori ekonomi dikenal dengan istilah insidens pajak
(tax incidence) yaitu pihak yang menderita beban suatu pajak/pungutan mungkin
27
dapat mengalihkan sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain. Dalam hal ini
perusahaan dapat mengalihkan beban pajaknya kepada konsumen bila mungkin
dengan cara menaikan harga jual produknya, atau pengalihkan kepada tenaga
kerja dengan menekan biaya produksi, misalnya upah tenaga kerja. Hal ini
tentunya sangat tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran, bentuk
pasar, dan motivasi pengusaha.
2.4.1 Syarat pemungutan pajak
Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila
terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila
terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang
kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai maswalah, maka pemungutan
pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
Pemungutan pajak harus adil
Seperti halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan
untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil
dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya.
Contohnya:
1. Dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak
2. Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi
syarat sebagai wajib pajak
28
3. Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum
sesuai dengan berat ringannya pelanggaran
Pengaturan pajak harus berdasarkan UU
Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak
dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan
Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang
berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan
secara umum
Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib
pajak
Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar
tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha
masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan
menengah.
29
Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan
pajak harus diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima
lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh
karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah
untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan
mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi
penghitungan maupun dari segi waktu.
Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan
keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan
memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para
wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran
pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan
semakin enggan membayar pajak.
Contoh:
Bea materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2
macam tarif
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu
tarif, yaitu 10%
30
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk
perseorangan disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh)
yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (pribadi)
2.4.2 Asas pemungutan
Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli
yang mengemukakan tentang asas pemungutan pajak, antara lain:
Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims
1. Menurut Adam Smith (Smith, 2007, p25) dalam bukunya Wealth of
Nations dengan ajaran yang terkenal "The Four Maxims", asas
pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas
keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus
sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara
tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak
harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat
dikenai sanksi hukum.
Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat
waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang
tepat bagi wajib pakak (saat yang paling baik), misalnya disaat
31
wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak
menerima hadiah.
Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya
pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai
terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan
pajak.
2. Menurut W.J. Langen (Langen, 1989, p2-3), asas pemungutan pajak
adalah sebagai berikut.
Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus
berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin
tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.
Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan
untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan
umum.
Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang
satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang
sama (diperlakukan sama).
32
Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan
sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandinglan sengan
nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
3. Menurut Adolf Wagner (Wagner, 1991, p31-38), asas pemungutan
pahak adalah sebagai berikut.
Asas politik finalsial : pajak yang dipungut negara jumlahnya
memadadi sehingga dapat membiayai atau mendorong semua
kegiatan negara
Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat Misalnya: pajak
pendapatan, pajak untuk barang-barang mewah
Asas keadilan yaitu pungutan pajak berlaku secara umum tanpa
diskriminasi, untuk kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan
(kapan, dimana harus membayar pajak), keluwesan penagihan
(bagaimana cara membayarnya) dan besarnya biaya pajak.
Asas yuridis segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-
Undang.
33
2.4.3 Teori pemungutan
Menurut R. Santoso Brotodiharjo SH, (Brotodiharjo, 1989, p 150)
dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ada beberapa teori yang
mendasari adanya pemungutan pajak, yaitu:
1. Teori asuransi, menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk
melindungi warganya dari segala kepentingannya baik keselamatan
jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk perlindungan
tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi
diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap
sebagai pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang
karena negara tidak boleh disamakan dengan perusahaan asuransi.
2. Teori kepentingan, menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah
adanya kepentingan dari masing-masing warga negara. Termasuk
kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi tingkat
kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus
dibayarkan. Teori ini banyak ditentang, karena pada kenyataannya bahwa
tingkat kepentingan perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang
kaya. Ada perlindungan jaminan sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan
orang yang miskin justru dibebaskan dari beban pajak.
2.5 Regulasi pemerintah dalam menerapkan tariff PE
Pemerintah menaikkan pungutan ekspor (PE) minyak kelapa swait (Crude
Palm Oil/CPO) dari 10 persen menjadi 20 persen untuk April karena harga CPO
34
di bursa Rotterdam selama Maret bertahan di atas US$1.200 per ton dan mencapai
rekor tertinggi US$1.395 per ton. Setelah mencapai puncaknya, harga CPO mulai
turun dan hingga hari ini senilai US$1.155 per ton. Harga rata-rata selama Maret
di atas US$1.200 per ton, PE-nya naik menjadi 20 persen. Berdasarkan
perhitungan Departemen Perdagangan, harga referensi yang dipakai untuk
menentukan besaran PE adalah US$1.273 per ton. Selain PE, Departemen
Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.09/2008 juga
menetapkan Harga Patokan Ekspor (HPE) untuk CPO senilai US$1.196 per ton.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.
09/PMK.011/2008 mengenakan tarif PE atas CPO dan produk sawit lainnya
sebagaimana terlihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4 Tarif PE kelapa sawit, CPO dan produk turunannya
Jenis Produk
Harga Referensi CPO (US$/ton)
< 550 550 -650
650 -750
750 -850
850-1100
1100-1200
1200-1300
> 1300
Buah dan Kernel Kelapa Sawit
40 40 40 40 40 40 40 40
CPO 0 2.5 5 7.5 10 15 20 25
Crude Olein 0 2.5 5 7.5 10 15 20 25
Crude Stearin
0 1.5 4 5.5 9 13 18 23
Crude PKO 0 1.5 4 5.5 9 13 18 23
Crude Kernel Stearin
0 1.5 4 5.5 9 13 18 23
Crude Kernel Olein
0 1.5 4 5.5 9 13 18 23
RBD Palm Olein
0 2.5 5 7.5 10 15 20 25
RBD Palm Olein dalam kemasan dan bermerk
0 0 0 2.5 5 10 15 20
RBD PK Olein
0 0 5 7.5 10 15 20 25
35
RBD PKO 0 1.5 4 5.5 9 13 18 23
RBD Palm Stearin
0 0.5 3 4.5 8 11 16 21
RBD PO 0 0.5 3 4.5 8 11 16 21
Biofuel dari minyak sawit
0 0 2 2 2 5 5 5
Sumber : GAPKI, 2008
Perhitungan Pungutan Ekspor ditetapkan sebagai berikut:
a. Dalam hal tarif ditetapkan secara advalorum, maka:
Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor x Harga Patokan
Ekspor (HPE) x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs
b. Dalam hal tarif ditetapkan secara spesifik, maka:
Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor dalam satuan mata uang
tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Kurs
Harga Patokan Eskpor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan setiap bulan
oleh Menteri yang bertanggung jawab dibidang perdagangan, berdasarkan harga
rata-rata internasional.
Tarif Pungutan Ekspor dan HPE yang digunakan sebagai dasar perhitungan
Pungutan Ekspor adalah Tarif Pungutan Ekspor dan HPE yang berlaku pada saat
PEB didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai.
Dalam hal tidak terdapat HPE, penentuan jumlah Pungutan Ekspor dihitung
berdasarkan Harga Free on Board (FOB) yang tercantum dalam PEB dengan
rumus sebagai berikut:
Pungutan Ekspor = Tarif Pungutan Ekspor x Jumlah Satuan Barang
x Harga Free On Board (FOB) x Nilai Kurs
36
Nilai Kurs yang digunakan sebagai dasar perhitungan Pungutan Ekspor adalah
Nilai Kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat
pembayaran Pungutan Ekspor dilakukan.
Pendekatan ekonomi kesejahteraan
Dengan posisi Indonesia sebagai negara besar pengekspor CPO, penerapan PE
secara teoritis mempengaruhi harga internasional menjadi naik. Kenaikan ini
selanjutnya akan berdampak pada kenaikan harga CPO domestik dan minyak
goreng. Gejala kenaikan harga inilah yang dindikasikan sebagai terjadinya ”efek
domino” dari penerapan PE atas CPO. Analisis keseimbangan parsial (lihat
Gambar 2.1) digunakan untuk mengetahui distribusi surplus antara produsen dan
konsumen. Kebijakan PE mengubah alokasi surplus dalam perekonomian dan
memunculkan dead weight social loss (DSL). Input variabel bergerak ke
penggunaan lain yang lebih kompetitif, tetapi input tetap dalam sektor CPO
memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan tanpa PE. Penurunan ini
merupakan kehilangan surplus yang harus ditanggung produsen.
Bagaimana kehilangan surplus ini terdistribusi dalam perekonomian di atas.
Katakanlah nilai sebesar A menjadi peningkatan surplus bagi konsumen domestik
karena adanya penurunan harga dari katakanlah p1 ke p2, Nilai sebesar C diambil
sebagai penerimaan pungutan ekspor bagi pemerintah dari volume ekspor X2X3.
37
Gambar 2.2. Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat
Nilai sebesar B dan D adalah kehilangan bersih yang harus ditanggung. Nilai D
mewakili kehilangan bersih karena sejumlah X 3 X 4 unit yang dapat dijual pada
harga p2 tidak diproduksi lagi setelah adanya PE. Input variabel yang dibebaskan
bergerak ke aktivitas yang lebih kompetitif lain. Nilai B adalah kehilangan surplus
bagi produsen karena sejumlah X1X2 unit diproduksi untuk dijual dengan harga
p2, bukan p1. Nilai B merupakan kehilangan surplus bersih setelah
mempertimbangkan peningkatan surplus bagi konsumen.
Dalam keseimbangan parsial, nilai B dan D merupakan kehilangan surplus bersih
karena perlindungan kepada konsumen dari harga CPO internasional yang tinggi
dan dalam rangka menghasilkan pendapatan bagi pemerintah dari PE. Dampak
penerapan PE secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :
38
Kehilangan surplus bagi produsen = -(A+B+C+D)
Peningkatan surplus bagi konsumen domestik = + A
Penerimaan pungutan pemerintah = + C
Deadweight social loss = - (B + D)
Ukuran dari peningkatan surplus (consumer gain) atau kehilangan surplus
(producer loss) dari penerapan PE tergantung dari elastisitas permintaan dan
penawaran domestik terhadap CPO Indonesia, disamping tingkat harga CPO.
Ilustrasi teoritis di atas akan diterapkan dalam dunia nyata CPO di Indonesia
melalui perhitungan matematika ekonomi sederhana dengan cara menghitung luas
areal A, B, C dan D.
Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat
Dalam tulisan ini, tingkat harga CPO dihitung dengan menggunakan harga CPO
ekspor dan domestik serta harga CPO di Rotterdam. Harga CPO di Rotterdam
yang digunakan dalam perhitungan ini adalah US$ 1.064 dan 1.273 per ton.
Biaya transfer Rotterdam-Belawan diperkirakan US$ 81/ton. HPE CPO untuk
bulan Maret dan April, masing-masing US$/ton 988 dan US$ 1.196/ton. Dengan
tingkat harga CPO Rotterdam tersebut, maka PE CPO adalah 10% dan 20%.
Sedangkan nilai elastisitas permintaan dan penawaran CPO adalah 0,57 dan 0,16.
Produksi CPO tahun 2008 diperkirakan 18 juta ton, ekspor 13 juta ton, dan
konsumsi domestik 5 juta ton. Perhitungan distribusi kesejahteraan masyarakat
(lihat Tabel 2) dilakukan dengan membandingkan keadaan bulan Maret dan April
2008.
39
Tabel 2.5 Dampak PE terhadap distribusi kesejahteraan masyarakat
URAIAN MARET APRIL
INPUT: Keadaan tanpa dan dengan PE PE = 10% PE = 20%
Konsumsi dengan PE, X2 (ton) 416,667 416,667
Produksi dengan PE, X3 (ton) 1,500,000 1,500,000
Elastisitas permintaan* 0.57 0.57
Elastisitas penawaran* 0.16 0.16
Nilai tukar $US1 ke Rp 9,000 9,000
Harga domestik (Rp/kg) 8,321 8,001
Harga domestik, P1 (US$/ton) 925 889
Harga ekspor, Po ($US/ton) 994 1,100
Selisih produksi, X3X4 (ton) 16,780.68 46,036.36
Produksi tanpa PE, X4 (ton) 1,516,781 1,546,036
Selisih konsumsi, X1X2 (ton) 16,605.89 45,556.82
Konsumsi, tanpa PE (Xl) 400,061 371,110
OUTPUT : Distribusi Kesejahteraan
I. Producer Loss (US$) - 10,483,313 - 64,271,367
II. Consumer Gain (US$) + 2,838,128 + 16,622,084
III. Government Tax Revenue (US$) + 7,529,167 + 45,716,667
IV. Deadweight Social Loss (US$) - 116,018 - 1,932,616
Net Welfare (II + III + I + IV) - 232,037 - 3,865,232
Sumber : GAPKI, 2008
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai producer loss bulan Maret (US$ -
10,483,313) dan deadweight social loss (US$ - 116,018 ) tidak terkompensasi
oleh consumer gain (US$ + 2,838,128) dan government tax revenue (US$ +
7,529,167). Secara keseluruhan, tingkat kesejahteraan dalam perekonomian CPO
memburuk dengan nilai US$ - 232,037 (Tabel 2). Dampak yang searah dalam
ukuran lebih besar terjadi untuk keadaan bulan April pada saat tingkat PE naik
menjadi 20%. Hal yang penting untuk diperhatikan adalah semakin tinggi PE
maka produsen CPO semakin dirugikan, konsumen CPO (industri pengolahan)
semakin diuntungkan, penerimaan pemerintah makin tinggi, dan tingkat nilai
40
kehilangan dalam perekonomian juga makin tinggi. Secara keseluruhan tingkat
kesejahteraan memburuk dengan makin tingginya tarif PE CPO.
Khusus tentang penerimaan Pemerintah, dalam dua bulan di atas saja, Pemerintah
diperkirakan dapat memperoleh tambahan pendapatan sebesar US$ 53,245,833
atau Rp 479,212,500,000. Penerimaan Pemerintah ini tentunya akan berlipat
ganda seiring dengan jumlah dan jenis produk kelapa sawit yang di ekspor.
Konon kabarnya, pada tahun 2007 saja Pemerintah memperoleh tambahan
penerimaan sekitar Rp. 9 trilyun.
Dengan perhitungan di atas, pertanyaan selanjutnya adalah kenapa Pemerintah
tetap menerapkan PE 20% atas CPO?. Jawaban atas pertanyaan ini masuk ke aras
ekonomi politik yang penerapannya berdasarkan political preference Pemerintah.
Ekonomi Politik PE CPO
Masalah keuangan nasional dan pemihakan kepada konsumen golongan
masyarakat miskin menjadi political preference function Pemerintah. Masalah
keuangan nasional memerlukan pemecahan yang bersifat instan dan substansial
(bukan dengan hutang). Pemecahan palinng mudah adalah menerapkan
pungutan. Dalam kasus CPO, PE dapat diartikan sebagaii memajaki negara lain
atau dunia yang mengimpor CPO, bukan memajaki pengusaha CPO. Pengusaha
CPO hanya sebagai perantara karena dengan posisi Indonesia sebagai salah satu
negara pengekspor besar (a big country exporter), maka pengenaan PE atas CPO
mempengaruhi situasi pasar internasional dan selanjutnya harga CPO naik.
Pengusaha tidak dirugikan, tetapi keuntungan dari adanya wind fall gain kenaikan
41
harga internasional dikurangi. Pemerintah mengambil untung untuk mengatasi
masalah keuangan nasional dan keuntungan itu saat ini baru diarahkan untuk
memberi subsidi dan menanggung PPN minyak goreng (PPN-DTP).
Dalam perspektif ekonomi politik pertanian, apa yang dilakukan Pemerintah saat
ini sebetulnya masih kurang dari cukup. Berdasarkan perhitungan dampak di atas,
maka terdapat beberapa hal yang dapat menjadi perhatian Pemerintah untuk
menggeser political preference function Pemerintah. Dana yang didapat dari
penerapan PE ditambah produk-produk lainnya harus juga dialokasikan untuk
keberlanjutan usaha perkebunan, promosi dan advokasi tentang berbagai isu
kelapa sawit di luar negeri, penelitian dan pengembangan serta perbaikan
infrastruktur perkebunan, terutama jalan-jalan produksi.
Dari berbagai produk kelapa sawit yang terkena PE (lihat Tabel 1) usulan alokasi
untuk mengatasi masalah keuangan dan kemiskinan dibandingkan dengan untuk
pengembangan industri kelapa sawit 70% berbanding 30% (lihat Tabel 3), suatu
tingkat perbandingan yang tidak mengutamakan egosektoral. Usulan alokasi
inipun tidak melanggar peraturan perundang-unangan yang berlaku (UU No. 20
Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak).
42
Tabel 2.6 Usulan pemanfaatan dan alokasi penerimaan Pemerintah dari
pengenaan PE atas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya
Pemanfaatan Porsi Alokasi (%)
Safety Net Program Stabilisasi (Subsidi bagi masyarakat miskin)
30
Pembangunan Umum 40
Sustainability Perkebunan 10
Promosi dan Advokasi 5
Penelitian dan Pengembangan 7.5
Peningkatan Infrastruktur 7.5
Sumber : GAPKI, 2008